PRAKTIK PENGEMBANGAN DESA TANGGUH DI PRO

PRAKTIK PENGEMBANGAN DESA TANGGUH DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DAN JAWA TENGAH OLEH PERKUMPULAN LINGKAR
Oleh: Untung Tri Winarso, M.Si

LATAR BELAKANG
Paradigma penanggulangan bencana sudah beralih dari paradigma bantuan darurat menuju ke
paradigma mitigasi/preventif dan sekaligus juga paradigma pembangunan karena setiap upaya
pencegahan dan mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksinya telah diintegrasikan dalam programprogram pembangunan di berbagai sektor. Dalam paradigma sekarang, Pengurangan Risiko Bencana
yang merupakan rencana terpadu yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek
sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam implementasinya kegiatan pengurangan risiko bencana
nasional akan disesuaikan dengan rencana pengurangan risiko bencana pada tingkat regional dan
internasional di mana masyarakat merupakan subyek, sekaligus sasaran utama upaya pengurangan
risiko bencana dan berupaya mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) dan
pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang ada dan berkembang dalam masyarakat.
Sebagai subyek, masyarakat diharapkan dapat aktif mengakses saluran informasi formal dan nonformal, sehingga upaya pengurangan risiko bencana secara langsung dapat melibatkan masyarakat.
Pemerintah bertugas mempersiapkan sarana, prasarana dan sumber daya yang memadai untuk
pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana. Dalam rangka menunjang dan memperkuat daya
dukung setempat, sejauh memungkinkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana akan
menggunakan dan memberdayakan sumber daya setempat. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada
sumber dana, sumber daya alam, ketrampilan, proses-proses ekonomi dan sosial masyarakat.
(Lingkar, 2010)

Tiga hal penting terkait dengan perubahan paradigma ini, yaitu: 1) penanggulangan bencana tidak lagi
berfokus pada aspek tanggap darurat tetapi lebih pada keseluruhan manajemen risiko, 2)
perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud pemenuhan hak
asasi rakyat dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah, 3) penanggulangan bencana
bukan lagi hanya urusan pemerintah tetapi juga menjadi urusan bersama masyarakat dan lembaga
usaha, dimana pemerintah menjadi penanggungjawab utamanya.
Prakarsa atau inisiatif lokal dari masyarakat dipercaya efektif untuk mengurangi risiko bencana,
sebab masyarakatlah yang memahami wilayah dan kebutuhannya serta mampu menggunakan
kemampuannya bagi perubahan diri dan lingkungannya. Komunitas sebagai pelaku utama dalam
menggali informasi, menganalisis, menyimpulkan, merencanaan, melaksanaan, memantau dan
mengevaluasi kegiatan untuk mengurangi kerentanannya sekaligus meningkatkan kemampuannya.
Pengembangan Desa Tangguh dilaksanakan untuk mencapai komunitas yang mampu mengelola risiko
dengan memaksimalkan sumber daya yang ada di komunitas tersebut. Dengan pendekatan
desentralisasi peran dalam penanggulangan bencana akan membuka ruang partisipasi komunitas
mewujudkan dasa yang tangguh yang diartikan sebagai komunitas desa yang dapat mengelola
tekanan atau kekuatan yang menghancurkan (menyerap, mengurangi, menahan, mengalihkan,
menghindar, adaptasi) dengan mempertahankan struktur dan fungsi aset penghidupan untuk
memulihkan diri setelah bencana.

 Dimuat dalam Konfrensi Nasional PRBBK VII, disampaikan pada “Lokakarya Desa Tangguh dalam Perspektif

Manajemen Bencana di Indonesia” PSBA-UGM, 30 Desember 2011.
 Direktur Kantor Perkumpulan Lingkar.

1

Pendekatan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK) merupakan kerangka kerja
untuk mewujudkan komunitas yang mampu mengelola risiko bencana dengan memobilisasi sumber
daya yang dimiliki dengan menekan keterlibatan pihak luar (external input), lebih dari itu diharapkan
masyarakat memiliki daya pegas untuk dapat segera bangkit dari kondisi keterpurukan akibat/dampak
bencana. Rangkaian kerja dalam PRBBK diantaranya pengkajian ancaman—kerentanan—kapasitas—
risiko, pemaduan PRB di dalam perencanaan pembangunan, pembentukan forum PRB desa,
perencanaan penanggulangan bencana, aksi PRB komunitas, serta adaya upaya pelembagaan pada
sistem dan mekanisme yang telah mapan di masyarakat.
Maka pelaksanaan program secara khusus bertujuan untuk melindungi masayarakat yang rentan
terhadap bencana sekaligus melindungi aset-aset penghidupan mereka dari dampak yang merugikan
akibat bencana dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, di sisi lain untuk meningkatkan
kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kerjasama lintas sektor.
Pengembangan Desa Tangguh dilaksanakan di 4 Desa, yaitu Desa Pengkok Kecamatan Patuk dan
Desa Sampang Kecamatan Gedangsari, keduanya di Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY; Desa
Negarajati Kecamatan Cimanggu dan Desa Panulisan Barat Kecamatan Dayeuhluhur, keduanya di

Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Kejadian bencana gempa bumi di DIY dan Jawa Tengah
khususnya di Desa Pengkok dan Sampang (2006), Panulisan Barat (2009) dan tanah longsor di Desa
Negarajati (2009) serta banjir di Desa Panulisan Barat (2005) telah mengakibatkan kerugian jiwa
maupun kerusakan harta benda, lahan penghidupan dan infrastruktur desa. Dari kejadian bencana di
atas, komunitas diharapkan dapat mengambil hikmah pembelajaran dengan meningkatkan kapasitas
dan mengorganisir diri agar lebih aman dengan upaya-upaya pengurangan risiko bencana.
PEMADUAN DALAM PEMBANGUNAN
Pengembangan praktik-praktik PRB yang terpadu dengan pembangunan menjadi penting agar
masyarakat lebih aman terhadap ancaman bencana, pada saat yang sama masyarakat dapat lebih
cepat pulih dari kondisi keterpurukan ekonomi, sosial, infrasatruktur, dan lingkungan. Sebab sudah
menjadi perhatian umum, bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan risiko bencana dapat
menambah kerentanan dan dapat menimbulkan bencana, bencana juga dapat meruntuhkan dan
merugikan hasil-hasil pembangunan. Pada konteks yang berbeda alokasi pembangunan yang dapat
dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terkonsentrasi atau terkurangi untuk
memperbaiki infrasturktur yang hilang atau rusak. Upaya-upaya PRB tersebut diawali dari perubahan
paradigma penanggulangan bencana yang responsif-reaktif menuju preventif-terencana yang terpadu
dalam perencanaan pembangunan desa.
Sedangkan hubungan antara bencana dan pembangunan memberikan indikasi sedikitnya empat tema
dasar (UNDP & UNDRO, 1992), yaitu:
1. Bencana menunda program pembangunan dengan menghancurkan berbagai inisiatif

pembangunan yang telah dilakukan bertahun-tahun, misalnya untuk perbaikan insfrastruktur
transportasi dan sarana lain yang hancur
2. Pembangunan kembali setelah suatu bencana memberikan peluang peluang yang signifikan
untuk memulai program-program baru, misalnya program perumahan mandiri untuk
membangun kembali rumah yang rusak akibat gempa bumi, selain itu untuk mengajarkan
ketrampilan baru, memperkuat kepemimpinan komunitas, dan menjaga dana pembangunan
agar tidak diekspor ke perusahaan
3. Program-program pembangunan dapat meningkatkan kerentanan suatu daerah terhdap
bencana, misalnya peningkatan yang besar pada peternakan yang berpengaruh pada
desertifikasi (perubahan fungsi hutan)
4. Program-program pembangunan dapat dirancang untuk mengurangi kerentanan terhadap
bencana dan konsekuensi-konsekuensi negatifnya, misalnya pembanguanan rumah dan sekolah
yang aman dan tahan gempa.
2

3

Gambar. Kuadran pembangunan dan bencana

_


Pembangunan
Pembangunan dapat Pembangunan dapat
meningkatkan mengurangi
kerentanan kerentanan

+

Bencana dapat Bencana dapat
memundurkan memberikan peluang
Pembangunan Pembangunan
Bencana
Akhirnya, pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas dengan dukungan multi-pihak
terutama pemerintah sebagai pemanggul tugas (duty bearer) dapat menjamin pembangunan yang
berkelanjutan dan komunitas yang tangguh, meskipun kemampuan masyarakat dalam mengelola
risiko bencana tetap menjadi pondasi utama.

CITA-CITA DESA TANGGUH
Adalah hak setiap warga negara/masyarakat untuk mendapatkan jaminan negara atas
perlindungan dan rasa aman. Dalam konteks kebencanaan, upaya penanggulangan bencana menjadi

perwujudan dan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan kepastian perlindungan dan
rasa aman masyarakat. Ini sejalan dengan amanat UU PB No 24 Tahun 2007. Meski demikian,
masyarakat juga wajib mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki yang didukung dengan
komitmen semua pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan bencana. Pengerahan sumber
daya tersebut salahsatunya diwujudkan dalam sebuah kelompok/organisasi (CBO) yang terlibat aktif
dalam kegiatan pengurangan risiko bencana (PRB), dimana komunitas sebagai pelaku utama dalam
pengambilan keputusan dan pengelolaan risiko bencana dengan melakukan analisis, identifikasi,
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan dalam setiap tahapan penanggulangan
bencana.
Mengutip dari dokumen UN-ISDR (UN-ISDR, Geneva 2004), resilience merupakan “Kapasitas
sebuah sistem, komunitas atau masyarakat, yang berpotensi terpapar bahaya, untuk menyesuaikan
diri terhadap ancaman, memiliki mekanisme bertahan (coping mechanism) dan mampu memulihkan
diri terhadap dampak bencana. Kapasitas tersebut ditentukan oleh sejauh mana sistem sosial yang
ada mampu mendorong masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam meningkatkan kapasitas
belajarnya dari bencana yang lalu demi perlindungan yang lebih baik di masa depan serta mampu
meningkatkan tindakan-tindakan peredaman risiko.”
Kemampuan komunitas yang mampu mengelola risikonya menjadi tujuan dalam PRBBK atau
dalam pengertian lain komunitas sebagai pelaku utama mewujudkan ketahanan/ketangguhan
terhadap bencana. Definisi umum yang banyak dipakai untuk menjelasakan ‘ketahanan atau
ketangguhan’ adalah komunitas yang memiliki kemampuan untuk: mengantisipasi, mengurangi dan

menyerap tekanan atau kekuatan destruktif yang potensial melalui adaptasi atau perlawanan;
mengelola atau mempertahankan fungsi dasar dan struktur tertentu selama terjadi bencana;
memulihkan atau 'bangkit kembali' atau ‘melenting balik’ setelah terjadi bencana (John Twigg, 2009).
Tujuan akhir dari pengurangan risiko bencana adalah untuk membentuk ketahanan atau ketangguhan
masyarakat terhadap ancaman bencana. Ketangguhan (resilience) secara bahasa bermakna daya
4

pegas, dapat diartikan juga bouncing back atau to jump back, sehingga diartikan melenting balik atau
kemampuan untuk kembali pada keadaan semula (Paton, 2006).
Pada masyarakat yang terkena dampak dari bencana, makna melenting balik adalah kemampuan
untuk kembali pada keadaan semula sebelum bencana terjadi pada kehiduan normal secara sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Pada level komunitas, komunitas tangguh adalah komunitas yang berdaya,
komunitas yang bisa mengelola ancaman dan kerentanan yang dimiliki dengan kemampuan dan
sumber daya yang ada, sehingga dapat menurunkan risiko sampai pada titik yang diinginkan. Tangguh
artinya pada titik intervensi luar yang minimal. Komunitas yang tangguh memiliki kemampuan untuk
beradaptasi terhadap dampak bencana secara fisik untuk melindungi lingkungan dan kehidupan
(seperti perencanaan tata guna lahan, aturan pembangunan rumah) kepastian ekonomi, bisnis dan
keberlanjutan administrasi (termasuk manajemen bencana dan keberfungsian sosial), dan
keberlanjutan lingkungan.
Komunitas yang tangguh berarti juga komunitas yang memiliki adaptasi terhadap bahaya yang

menekankan pada kemampuan komunitas untuk mempergunakan kemampuan personal dan sumber
daya sosial untuk mengelola kebutuhan, tantangan dan merubah kenyataan. Ketahanan berarti
memberikan penekanan yang lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat bagi diri
mereka sendiri dan pada cara-cara untuk memperkuat kapasitas mereka, alihalih memusatkan
perhatian pada kerentanan mereka terhadap bencana atau kebutuhan-kebutuhan mereka dalam
situasi darurat. Dari pengertian diatas, kapasitas beradaptasi terbagi menjadi dua elemen: Pertama,
mencurahkan perhatian pada sumber daya yang telah ada untuk mengatasi kerugian yang
ditimbulkan dari bahaya; Kedua, sistem dan kemampuan yang diperlukan individu dan komunitas
untuk berkoordinasi dan mempergunakan sumber daya untuk menghadapi keadaan dan beradaptasi
dengan ancaman bahaya (Paton, 2008).
Ketangguhan atau ketahanan masyarakat dalam arti yang lebih luas bermakna tindakan baik
seseorang dan komunitas dapat beradaptasi untuk merubah realitas dan mempergunakan
kemungkinan baru yang ditawarkan, dengan kata lain seseorang ataupun komunitas memiliki
kemampuan (kapasitas) untuk beradaptasi (Klein, Nicholls & Thomalla, 2003) dan mengembangkan
kapasitas dengan pembelajaran (Paton, 2006). Untuk mencapai ketangguhan, individu, komunitas,
atau institusi sosial yang terkena dampak bencana harus sadar untuk mengembangkan dan mengelola
sumber daya .
‘Masyarakat yang tahan bencana’ adalah sesuatu yang lebih bersifat cita-cita. Tidak ada
masyarakat yang sepenuhnya aman dari bahaya alam ataupun bahaya-bahaya terkait
kegiatan manusia. Mungkin dapat membantu bila kita membayangkan suatu

masyarakat yang tahan bencana atau tangguh terhadap bencana sebagai ‘sebuah
masyarakat dengan tingkat keamanan tertinggi yang kita ketahui memiliki kemampuan
merancang dan membangun dalam lingkungan yang mengandung risiko bahaya alam’,
yang meminimalkan kerentanannya dengan memaksimalkan penerapan langkahlangkah PRB. Dengan demikian PRB merupakan gabungan aksi-aksi, atau proses, yang
dilaksanakan dalam rangka mencapai ketahanan. (Geis DE, dalam John Twigg, 2009)
Maka dapat diambil satu kesimpulan awal bahwa masyarakat/komunitas yang tangguh atau
memiliki ketahanan/kemampuan meredam, mengelola, mengurangi akibat bencana yang dapat
memapar dirinya karena segera memiliki daya pegas atau keseimbangan baru untuk memulihkan
fungsi-fungsi dan struktur menggunakan sumberdayanya sendiri secara bijaksana, serta memastikan
fungsi dan struktur tersebut tetap berlanjut untuk penghidupan mereka. Inisiasi pihak luar diposisikan
mendorong komunitas akar rumput memiliki kemampuan untuk mengelola risiko di tingkat lokal
dengan memaksimalkan sumber daya internal dan meminimalkan sumber daya eksternal.

PENDEKATAN DAN STRATEGI
5

Pelaksanaan program Desa Tangguh Lingkar ini menggunakan pendekatan Pengurangan Risiko
Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). PRBBK merupakan suatu kerangka kerja pengembangan
komunitas yang diselenggarakan oleh komunitas itu sendiri dengan mengembangkan kemampuan
untuk mengenali dan mengelola ancaman, mengurangi kerentanan, mengelola sumber-sumber daya

secara sistematis dan terpadu dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan tanpa menciptakan
ketergantungan untuk menurunkan risiko bencana, sehingga masyarakat menjadi lebih aman dan
memiliki ketahanan terhadap bencana.
Penerapan pengurangan risiko bencana mengasumsikan bahwa: a) Komunitas dan kelompok paling
rentan adalah aktor utama/kunci dalam PRBBK, b) Tidak ada yang lebih berkepentingan dalam
memahami masalah bencana di tingkat komunitas sendiri yang kerap bertahan dan bertaruh dengan
bencana, c) Komunitas lokal memiliki kesempatan untuk lebih mengetahui tantangan, ancaman,
hambatan dan kekuatan lokal dalam menghadapi bencana, d) Sumber daya lokal dalam penanganan
bencana (maupun pembangunan) layak diasah dan dikembangkan secara berkelanjutan, e)
Pengalaman PRBBK di komunitas tertentu dapat dimodifikasi, direvisi, dan disesuaikan di tempat lain.
Kelompok rentan sebagai aktor utama, tidak diartikan sebagai satu-satunya kelompok target akan
tetapi kelompok-kelompok lain (“tidak rentan”) dapat menjadi kelompok pendukung pada saat
bencana terjadi/ mengenai kelompok rentan.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi PRBBK adalah: 1) Partisipasi
bermakna, dengan mengandaikan partisipasi pihak rentan laki-laki dan perempuan; anak-anak, tuarenta, cacat, ras marginal, dan sebagainya; 2) “bottom up” bukan “top down”, komunitas memiliki
akses dan kontrol, pendekatan inklusif yang menghadirkan rasa memiliki (komunitas) terhadap sistem
penanganan bencana yang sudah/sedang/akan dibangun; 3) Konsep “dari, oleh dan untuk”
masyarakat dalam keseluruhan proses, partisipasi penuh dalam merencanakan, melaksanakan,
mengawasi dan mengevaluasi – komunitas bukan sekedar penyumbang dana atau bergotong royong;
4) Masyarakat yang mengontrol sistem (bukan dikontrol sistem PRB).

Untuk memastikan keberhasilan program, strategi yang digunakan yaitu: Pengarusutamaan Gender;
Peningkatan Kapasitas; Penghidupan Berkelanjutan; Pembangunan Berkelanjutan; Pengkajian Risiko
Bencana secara Partisipatif; Integrasi PRB dalam Perencanaan Pembangunan; Keberlanjutan Program
dan Pelembagaan.

PROSES DAN PELAKSANAAN
Riset Aksi Partisipatoris Kajian HVCA
Kegiatan ini berbentuk kajian-kajian bersama masyarakat untuk mengenali dan menganalisis
ancaman, kerentanan, kapasitas, identifikasi dan penilaian risiko yang ada di komunitas yang
menghasilkan profil risiko komunitas, dilengkapi dengan pembedaan risiko berdasarkan gender
dan pandangan perempuan atas kerentanan dan risiko. Profil risiko kumunitas ini sebagai dasar
penyusunan perencanaan pembangunan desa, Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana
Aksi Masyarakat (RAK), dan Rencana Kontijensi. Lebih dari itu, dengan mengenali risiko, komunitas
dapat melakukan upaya Pengurangan Risiko Bencana dalam kehidupan sehari-hari secara mandiri.
Kajian Manajemen Risiko dan kajian Building Code
Kegiatan ini dilakukan untuk menganalisis kerugian pada sektor penghidupan dengan melakukan
kajian proyeksi kerusakan dan kerugian (damage and loses assesment). Serial kajian dilengkapi
dengan kajian strategi adaptasi, agar masyarakat dapat melindungi aset-aset penting dalam
penghidupan dan melakukan adaptasi dalam mengadapi bencana dan perubahan iklim sebagai
strategi awal penghidupan berkelanjutan.
Kajian persyaratan bangunan aman (building code) bertujuan untuk menganalisis jaminan
bangunan terutama fasilitas umum aman terhadap bencana oleh masyarakat sendiri. Pelaksanaan
kegiatan dilakukan dengan metode pendekatan partisipatif dimana pengetahuan warga mengenai
6

pembangunan gedung dan bangunan pemukiman dipadukan dengan peraturan dan standarstandar dari pemerintah. Pelaksanaannya dilakukan dengan tahapan sebagai berikut;
mengidentifikasi ancaman dan akibatnya, menggali pengetahuan warga mengenai standar-standar
yang umum dilakukan, menyelaraskan dengan peraturan yang ada.
Hasil kajian ini berupa dokumen building code yang berisi tentang gambaran profil ancaman yang
berpengaruh terhadap bangunan gedung (rumah tinggal dan fasilitas umum) dan sejarah bencana,
persyaratan umum mengenai; lokasi, administratif, kemudahan akses, sosial budaya, material dan
kontruksi, air bersih dan sanitasi, serta pelaksana pembangunan. Dokumen building code menjadi
dokumen desa sebagai rekomendasi dan atau acuan desa dan warga masyarakat dalam
mendirikan bangunan yang aman.
Pengarusutamaan PRB dalam Pembangunan Desa
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana dalam pembangunan adalah upaya menjadikan
PRB sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam perencanaan pembangunan desa dan kebijakankebijakan sektoral. Bagi desa yang belum menyusun RPJMDesa dapat secara langsung
memasukkan program PRB yang beririsan dengan bidang-bidang atau berdiri sendiri sebagai
bidang kebencanaan, sedangkan bagi desa-desa yang sudah memiliki RPJMDesa dapat melakukan
revisi atau perubahan.
Proses integrasi melalui tiga tahapan. Pertama, tahap input, dimulai dari penilaian masalah dan
potensi desa menggunakan perangkat penilaian desa secara partisipatif/PRA (transek, sketsa desa,
kalender musim, diagram kelembagaan), dalam tahap input ini masyarakat terlibat dalam diskusi
membahas potensi, masalah, dan ancaman yang ada di desa yang menghasilkan daftar masalah
dan potensi atau profil desa sebagai dasar penyusunan kebijakan dan program, profil risiko
bencana desa menjadi pertimbangan untuk mengintegrasikan PRB dalam perencanaan
pembangunan desa. Kedua, tahap proses, dengan melakukan lokakarya desa dengan
pengelompokan masalah,
pemeringkatan masalah, pengkajian alternatif tindakan, dan
penyusunan program dan kegiatan pembanguman desa yang mengarusutamakan PRB dalam
bidang-bidang program yang selanjutnya disusun draft perdes RPJM. Ketiga, dilaksanakan
musrenbangdes untuk mengkonfirmasi, menggali input, dan memprioritaskan program. Keempat,
tahap hasil, setelah RPJMDesa direvisi berdasarkan saran dan masukan masyarakat Pemerintah
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa mengesahkan RPJMDesa. Proses penyusunan
perencanaan pembangunan desa berdasarkan mekanisme dalam Permendagri No. 66 Tentang
Perencanaan Pembangunan Desa.
Perencanaan pembangunan desa yang mengintegrasikan PRB didasari dengan pendekatan
perencanaan yang mengacu pada UU No. 25 Tentang Sistem Perencaan Pembangunan Nasional,
yaitu: pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, dan atas bawah (top down) dan bawah atas
(bottom up) dengan prinsip berkesinambungan, holistik, mengandung sistem yang dapat
berkembang (a learning and adaptive system), serta terbuka dan demokratis (a pluralistic social
setting).
Kegiatan ini juga disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan desa guna mendorong
terciptanya kebijakan-kebijakan yang mengarusutamakan PRB dengan memperbaharui profil
dusun dan desa, pelatihan penyusunan RPJM Desa sesuai dengan Permendagri No. 66/2007
Tentang Perencanaan Pembangunan Desa, pelatihan penyusunan Perdes, dan Manajemen
Pemerintahan Desa, serta pendampingan penyusunan RPJM Desa. Disamping hal diatas, untuk
meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan dengan mengadakan pelatihan public
speaking.
Perencanaan Aksi PRB
7

Setelah risiko bencana telah dikaji dan risiko prioritas telah ditetapkan sebagai dasar perencanaan
pengurangan risiko bencana, komunitas menyusun perencanaan penanggulangan bencana/PRB
yang didahului dengan rembug (musyawarah) warga untuk memperoleh kesepakatan (road map)
guna mewujudkan desa yang tangguh. Kesepakatan-kesepakatan tersbut ditindaklanjuti dengan
menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Aksi Komunitas (program
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan), dan Rencana Kontinjensi termasuk pembentukan Forum PRB
Desa yang beranggotakan perwakilan multi-pihak untuk memastikan upaya PRB secara lintas
sektor dan kepentingan bersama seluruh komponen masyarakat. Fasilitasi mendorong proses
perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi aksi sepenuhnya dilakukan oleh
masyarakat dengan mekanisme dari-oleh-untuk masyarakat, yang sekaligus sebagai media belajar
dari dan antar masyarakat dalam mengelola risiko.
Aksi Komunitas
Rencana aksi komunitas (RAK) PRB yang telah disepakati diaplikasikan dalam aksi komunitas
pengurangan risiko bencana dalam program pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan oleh
komunitas secara partisipatif yang dimotori oleh Forum PRB dengan harapan terjadi mobilisasi
sumber daya komunitas secara maksimal dengan kontribusi dari berbagai pihak (pemerintah
kabupaten, institusi vertikal, pemerintah desa, pihak swasta) sesuai tanggung jawab dan tugas
masing-masing untuk menuju desa yang tangguh. Tindakan pengelolaan risiko bencana tersebut
diantaranya:
Peredaman ancaman/pencegahan
Serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau
mengurangi ancaman bencana. Diantaranya:
 Pembuatan tanggul
 Rehabilitasi lahan dengan melakukan rehabilitasi lahan (reboisasi, terasiring, dan
penanaman vegetasi penutup lahan) terutama pada lahan-lahan kritis untuk ancaman
longsor dan kekeringan
 Fogging untuk ancaman Demam Berdarah
Rehabilitasi dilakukan pada kawasan hutan produksi Perum. Perhutani RPH Cimanggu BKPH
Majenang yang masuk dalam wilayah KPH Banyumas Barat yang menjadi titik longsor (2009)
dan berpotensi longsor kembali. Forum PRB Desa Negarajati sedang mendesak Perhutani
memenuhi kewajibannya dalam pengelolaan hutan untuk mengurangi risiko bencana tanah
longsor, diantaranya dengan melakukan rehabilitasi lahan dengan reboisasi dan terasiring,
mendesak perubahan status hutan menjadi kawasan lindung terutama pada lahan yang
sangat berpotensi longsor dan dekat dengan pemukiman, serta keterlibatan dalam tindakan
kesiapsiagaan dengan menyediakan alat peringatan dini dan keterlibatan dalam sistem
peringatan dini tanah longsor.
Mitigasi
Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Diantaranya yaitu:
 Legalisasi Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Komunitas (RAK)
PRB dengan Peraturan Desa
 Penetapan kawasan lindung hutan untuk konservasi lahan dan air
 Perbaikan dan pembuatan sarana air bersih, Penampungan Air Hujan (PAH)
 Pembuatan peta ancaman, peta jalur evakuasi dan tanda evakuasi
 Diseminasi pengetahuan tentang bangunan yang aman-bencana dalam keluarga
 Pelatihan pertanian terpadu organik
8

 Pembangunan kebun bibit komunitas
 Pengembangan usaha produktif rumah tangga
 Peningkatan ketrampilan pengolahan hasil-hasil pertanian; budidaya dan pengolahan
empon-empon, umbi-umbian, sale pisang, dll.
Kesiapsiagaan
Program dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan
gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat. Diantaranya yaitu:
 Adanya Radio komunitas (DeTa FM) di Desa Pengkok
 Pendirian posko pemantauan ancaman banjir dan tanah longsor
 Pengadaan alat peringatan dini; ekstensometer
 Adanya rencana kontijensi yang telah diujicobakan
 Pelaksanaan simulasi/gladi teknis penanganan longsor dan banjir
 Pelatihan SAR dan evakuasi dan manajemen pengungsian
 Pengadaan alat tanggap darurat; tenda, HT, alat dapur umum, generator set, peralatan
P3K, peralatan evakuasi.
 Adanya dana siap pakai pada keadaan darurat yang dikelola melalui koperasi simpan
pinjam.
Inisiasi Organisasi PRB Tingkat Desa
Tujuan dari pembentukan organisasi masyarakat adalah untuk memungkinkan masyarakat untuk
menjadi lebih siap menghadapi bencana yang akan datang dan menjadi tangguh dalam jangka
panjang. Pengorganisasian komunitas merupakan metode untuk memobilisasi sumber daya agar
organisasi memiliki rumusan visi, tujuan, stuktur, tugas masing-masing bagian, serta komitmen
yang disepakati oleh anggota. Selain itu, agar menjadi organisasi yang kapabel untuk mengelola
risiko bencana, diperlukan peningkatan kapasitas yang terencana minimal dengan memberikan
pelatihan tentang tema-tema PRB (analisis risiko, kesiapsiagaan dan respon, penghidupan
berkelanjutan, advokasi) dan manajemen organisasi (kepemimpinan, perencanaan, negosiasi,
mobisisasi sumber daya, budgeting dan manajemen keuangan, penulisan proposal dan pelaporan,
fasilitasi pertemuan dan pelatihan, dokumentasi).
Keberadaan Organisasi sebagai perwujudan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan risiko
bencana sebagai upaya pelembagaan PRB di masyarakat yang terorganisir, terkoordinasi, dan
sistematis sekaligus menjadi mitra pemerintah desa terutama dalam melakukan upaya-upaya
pengurangan risiko bencana pada fase pra bencana/kondisi normal, sedangkan pada fase saat dan
setelah bencana (tanggap darurat dan pemulihan) organisasi komunitas menjadi mitra pemerintah
desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan memonitoring serta mengevaluasi aktifitas tanggap
darurat dan pemulihan dengan semangat kerelawanan. Dengan kata lain, organisasi komunitas
sebagai leading sector dalam memobilisasi sumber daya komunitas untuk melakukan upaya
peredaman ancaman, penurunan kerentanan, dan peningkatan kapasitas yang pada gilirannya
dapat mengurangi intervensi pihak luar (eksternal input).
Rembug desa menyepakati adanya pembentukan wadah beranggotakan multipihak untuk
memobilisasi sumber daya komunitas dalam penanganan bencana. Kesepakatan ini didasari pada
belum adanya organisasi/lembaga di desa yang beranggotakan multipihak dalam urusan PB/PRB.
Wadah ini disebut Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) yang bertugas untuk merencanakan,
melaksanakan, memantau dan memonitoring kegiatan PB/PRB.

9

Pada tahap ini organisasi komunitas berperan dalam (1) penyusunan Rencana Penanggulanan
Bencana (RPB) Desa, (2) penusunan Rencana Aksi Komunitas (RAK) PRB, (3) penyusunan Rencana
Kontinjensi, (4) membentuk tim aksi tiap kegiatan dan memobilisasi sumber daya komunitas, (4)
mendorong proses integrasi PRB dalam perencanaan pembangunan desa, (5) pelaksanaan aksi
PRB, (6) memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan aksi. Misalnya dalam penyusunan rencana
kontinjensi, Forum PRB mengundang para pemangku kepentingan lintas sektor dalam
merumuskan tahapan, alokasi sumber daya dan komitmen pada saat tanggap darurat yang
dilanjutkan dengan gladi posko dan uji materi/simulasi. Pada saat uji materi para relawan Forum
terlibat aktif melakukan peringatan dini, evakuasi, penyiapan barak pengungsian, penyiapan pos
kesehatan dan dapur umum. Kemudian pasca simulasi melakukan evaluasi bersama pemerintah
desa dan para pemangku kepentingan untuk memperbaiki dokumen rencana kontinjensi tersebut.
Salah satu aktivitas organisasi komunitas yang masih aktif melakukan upaya PRB adalah Forum PRB
Desa Negarajati dengan mengembangkan jejaring dan kemitraan sekaligus advokasi hak-hak
masyarakat pada Perum Perhutani agar memenuhi kewajibannya sebagai pengelolaan hutan,
upaya tersebut merupakan realisasi perencanaan yang tertuang dalam Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Komunitas (RAK). Walaupun masih ada beberapa kelemahan
yang ditemukan dari sisi manajerial organisasi, manajemen komunikasi, dan keaktifan anggota.
Forum PRB beranggotakan minimal perwakilan dari:
a. Sosial-Fungsional : Pemerintah desa, BPD, LPPMD, PKK, Karang Taruna, LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan), Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama
b. Territorial-khusus : Kepala Dusun, RT, RW, Instansi Pemerintah/swasta
c. Profesi: Petani, Pengrajin, Pengusaha, Peternak, PNS, TNI, POLRI, bidan
d. Marginal: Kelompok miskin, Perempuan, difabel.
Organisasi yang kababel merupakan organisasi yang dapat (1) memobilisasi sumber daya dan aset
komunitas yang dapat mengurangi tingkat risiko dan dampak bencana, (2) menyebarluaskan
pengetahuan dan ketrampilan, (3) mengembangkan jejaring dan kemitraan, (4) melakukan
prakarsa-prakarsa peredaman ancaman, pengurangan kerentanan, peningkatan kapasitas secara
berkelanjutan.
Kampanye
Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaratahuan masyarakat dan sekolah agar dapat
terlibat dalam aksi komunitas, terlebih sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
komunitas. Kampanye PRB dilakukan melalui; (1) pemutaran film dan disertai tanya jawab; (2)
Penyebaran informasi PRB pada kegiatan-kegiatan formal/informal masyarakat (pengajian, arisan,
posyandu, pertemuan RT/RW); dan (3) kampanye di sekolah dengan permainan edukatif dan
diskusi untuk mengenali ancaman, kerentanan, kapasitas, risiko, dan memahami kesiapsiagaan
bencana, serta workshop pengintegrasian PRB kedalam pendidikan sekolah.
Pelembagaan PRB
Untuk menjamin bahwa PRB dapat terlembaga pada komunitas, upaya yang dilakukan yaitu: (1)
Peningkatan kapasitas perangkat pemerintahan desa dan lembaga desa tentang tata kelola dan
kebijakan desa; (2) Forum multi pihak yang tergabung dalam Forum PRB Desa; (3) memastikan
masyarakat telah merebut dan menjalankan perangkat-perangkat analisis (VCA, PRA, dan
musrenbangdes) dalam bentuk lokakarya pengembangan perangkat dan pendampingan ujicoba
perangkat, komunitas secara bersama-sama diharapkan dapat mengembangkan alat kajian untuk
selanjutnya diaplikasikan guna memperbaharui profil risiko, perencanan penanggulangan bencana
dan dokumen perencanaan pembangunan desa secara periodik yang pada gilirannya upaya
10

pegurangan risiko bencana dapat menjadi bagian dalam sistem sosial masyarakat dan perencanaan
pembangunan desa.
Secara sederhana, kerangka kerja diatas dapat digambarkan pada diagram alur di bawah:

Diagram 1. Alur Pelaksanaan

HASIL-HASIL
1. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk mengenali risiko, merencanakan,
melaksanakan, dan memonitoring upaya pengelolaan risiko bencana.
2. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pemerintah desa dalam perencanaan
pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan partisipatif.
3. Terbentuknya Forum Pengurangan Risiko Bencana yang terdiri dari perwakilan kelompok
sosial-fungsional, sektoral, teritorial khusus, dan marginal, serta Tim Aksi Komunitas.
4. Terdokumentasikannya blue print perencanaan PRB dalam dokumen Rencana Penanggulangan
Bencana, Rencana Aksi (PRB) Komunitas, serta rencana kontinjensi yang telah diujicobakan.
5. Adanya upaya pengurangan risiko struktural melalui pembangunan PAH, tanggul, penyediaan
sarana kesiapsiagaan berupa tenda, jerigen, HT dan radio komunitas, rehabilitasi lahan
(terasiring lahan dan drainase), pembuatan gorong-gorong, pos pemantauan dan alat
peringatan dini.
6. Adanya upaya pengurangan risiko non-struktural diantaranya pelatihan SAR-Evakuasi,
pelatihan public speaking untuk perempuan, pelatihan pertanian organik, dana kesiapsiagaan,
budidaya dan pengolahan tanaman lokal, simulasi penanganan bencana tanah longsor dan
banjir.
7. Masyarakat mampu mendemonstrasikan penggunaan perangkat analisis risiko dan perangkat
perencanaan pembangunan.
8. Terpadunya upaya PRB dalam perencanaan pembangunan desa dan kebijakan-kebijakan
sektoral.
11

9. Mobilisasi sumber daya komunitas untuk mengelola ancaman dengan keswadayaan tenaga,
waktu, alat-alat dan bahan-bahan bangunan.
10. Terbukannya peluang kerjasama yang lebih erat antara masyarakat dengan pemerintah
kabupaten, institusi pemerintah vertikal dan swasta dalam pengelolaan risiko bencana.
11. Meningkatnya kewaspadaan masyarakat dalam mengenali tanda-tanda dan peringatan
ancaman.
12. Hubungan antar kelompok masyarakat, kelompok dengan perangkat/ lembaga desa
mengalami peningkatan dengan rasa saling percaya dan terbuka.
13. Tersedianya alolasi anggaran desa (APBDes) untuk program dan kegiatan PRB, termasuk
operasional Forum PRB.
14. Dokumentasi berupa film dokumenter persepsi perempuan terhadap bencana. Perempuan
lebih sadar terhadap posisinya dalam perencanaan pembangunan dan penanggulangan
bencana. Kesadaran ini nampak pada keterlibatan perempuan dalam setiap kegiatan, suara
perempuan lebih diperhatikan, mengapresiasi kebutuhan perempuan dalam kondisi darurat,
dan sadar bahwa perempuan harus meningkatkan kapasitasnya karena termasuk kaum
rentan yang sangat berisiko terhadap ancaman.
Perempuan lebih sering berada di rumah yang sangat berisiko ketika terjadi bencana,
perempuan juga harus menyelamatkan anak. Maka, perempuan juga harus terlatih dan
terampil dalam melakukan evakuasi bagi dirinya dan anak. (Suciwati).
Bapak sudah mau melakukan pekerjaan rumah, setelah kadang kami mendiskusikan hasil-hasil
pertemuan. Dan saya akan terlibat aktif dalam Forum PRB, karena sangat penting untuk
membangun masyarakat yang aman. (Siti Hanani)

KENDALA YANG DIHADAPI
1. Otonomi desa belum dipahami dan dipraktikkan dengan baik oleh pemerintah desa mupun
pemerintah kebupaten, sehingga berdampak pada keberanian desa mengatur pemerintahannya
sendiri termasuk dalam menerbitkan peraturan desa dan kebijakan sektoral.
2. Komitmen multistakeholder untuk melakukan aksi PRB berbenturan dengan birokrasi dalam
perencanaan dan pelaksanaan program. Maka diperlukan pengawalan dan advokasi secara
berkelanjutan.
3. Pemahaman bahwa PRB/PB merupakan urusan wajib pemerintah belum terlembaga dengan
baik. Program PRB belum menjadi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam RPJMD
Kabupaten.
4. Paradigma penanggulangan bencana yang berorientasi pada penanganan gawat darurat masih
tertanam kuat pada masyarakat dan pemerintah. Tingkat kehadiran/partisipasi masyarakat pada
kegiatan kajian, rembug, perencanaan, kegiatan pencegahan dan mitigasi sangat minimal.
Namun pada kegiatan gladi/simulasi tanggap darurat sangat maksimal.
5. Kesulitan dalam menerjemahkan istilah-istilah kebencanaan ke dalam bahasa yang mudah
dipahami oleh masyarakat.
6. Kurangnya optimalnya Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten dalam meningkatkan kapasitas
kelembagaan desa.

PELUANG DAN TANTANGAN
Peluang
1. Budaya gotong royong, keswadayaan, toleransi masih berjalan baik sebagai modal sosial untuk
mengelola risiko.
12

2. Pengetahuan dan kebijakan masyarakat tentang PRB yang belum tertulis sebagai kapasitas
masyarakat yang dapat dilembagakan.
3. Adanya kebijakan Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten Gunungkidul.
4. Adanya program dan aktor lain (tagana, sekolah lapang pertanian, kader kesehatan/desa siaga)
yang bisa bersama-sama mendukung program.
Tantangan
1. Meningkatkan keterlibatan masyarakat secara kolektif untuk merencanakan, melaksanakan, dan
memonitoring rencana aksi komunitas, diperlukan sosialisasi RPB dan RAK pada masyarakat desa
secara luas oleh pemerintah desa dan Forum PRB.
2. Pemutakhiran data-data desa/profil desa secara berkala dengan melakukan pengkajian risiko,
masalah, dan potensi desa pada berakhirnya periode dokumen perencanaan PB, RAK, RPJM
Desa.
3. Keberlanjutan pengawalan realisasi komitmen pelaksanaan RPB dan RAK oleh para pemangku
kepentingan. Upaya yang dilakukan dengan mengintensifkan komunikasi dengan pemangku
kepentingan.
4. Pelembagaan dan atau pemaduan PRB pada kegiatan-kegiatan perencanaan pembangunan
wilayah setempat secara berkelanjutan.
5. Penyusunan kebijakan Kabupaten tentang RPB, RAK, Rencana Kontinjensi, dan RPJMD yang telah
mengintegrasikan dan atau mengarusutamakan PRB.
6. Peningkatan Kapasitas UPTD/instansi di tingkat kecamatan dan kabupaten dalam hal kerangka
kerja PRBBK agar program dan kegiatan PRB terpadu dan berkesinambungan.

PEMBELAJARAN
1. Rencana kontinjensi hendaknya terpadu dengan kegiatan lain, diantaranya pelatihan evakuasi
dan PPGD, pembuatan peta jalur evakuasi dan rambu evakuasi, penyediaan alat-alat tanggap
darurat.
2. Masyarakat yang pernah mengalami kejadian bencana besar lebih terbuka dan kooperatif
terhadap program, ketimbang masyarakat yang belum pernah mengalami bencana,
tantangannya adalah merubah memori kolektif menjadi aksi kolektif.
3. Untuk melakukan integrasi PRB pada perencanaan pembangunan harus didasari tata kelola
pemerintahan yang baik dan kapasitas perangkat pemerintahan desa agar dapat melahirkan
kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mengarusutamakan PRB.
Begitu pula dengan partisipasi komunitas, partisipasi bermakna dari komunitas dapat terpenuhi
apabila komunitas telah meningkat kapasitasnya.
4. PRBBK tidak berjalan efektif selama otonomi desa belum dijalankan secara holistik, baik dalam
aturan, sistem, birokrasi, dan pelaksanaan. Desa sebagai entitas dan ujung tombak
pemerintahan masih terbelenggu dengan sistem dan birokrasi pemerintah diatasnya, semisal
inisiatif desa menjalankan program PRB terpaksa tercerabut karena belum adanya kebijakan
yang mengatur.
5. Tidak semua kearifan lokal masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
mengelola risiko, praktik kearifal lokal yang ada lebih banyak menjadi pendorong kerentanan
semisal pandangan mistik dan fatalistik.
6. Besarnya dana hibah program membuat masyarakat tidak tahan terhadap proses, sebaliknya
ingin segera menerima bantuan tersebut, sehingga adanya bantuan yang besar dapat
mematikan inisiatif dan keswadayaan masyarakat, maka diperlukan strategi pengorganisasian
yang tepat dan pendampingan yang ekstra ketat dalam pelaporan pembelanjaan agar tidak
disalahgunakan dan tidak menimbulkan konflik. Sumber daya eksternal sebaiknya tidak lebih
besar dari sumber daya yang biasa dikelola oleh komunitas/desa yang akan membuat persepsi
bahwa pengelolaan risiko bencana harus berbiaya besar.
13

7. Program PRBBK memberikan peluang untuk memasukkan pengarusutamaan gender dalam
masyarakat pedesaan, melalui pendekatan pengarusutamaan gender dalam program. Hal ini
menjadi wajib, bahwa fakta menunjukkan bahwa korban bencana kebanyakan adalah
perempuan dan anak-anak yang termasuk dalam kategori kelompok rentan yang perlu perhatian
khusus dalam upaya pengurangan risiko bencana. Pentingnya pengarusutamaan gender dapat
dilakukan pada program dengan prinsip kehati-hatian terhadap kemungkinan timbulnya beban
ganda pada perempuan yang merupakan efek atau dampak dari program.
8. Kesadaran warga akan pentingnya membangun rumah yang aman sudah menjadi bagian dari
budaya baru warga. Hal ini karena warga belajar dari dampak kejadian bencana Gempa Bumi
2006 khususnya di Desa Pengkok dan Sampang. Secara budaya dalam pemilihan lokasi yang baik
untuk mendirikan bangunan gedung sudah ada dari jaman dahulu dan masih digunakan sampai
sekarang.

POTENSI REPLIKASI
Program ini bisa berjalan efektif apabila masyarakat telah memiliki sistem pengetahuan dan
keahlian baru maupun dari pengalaman mengalami kejadian bencana yang didorong dengan potensi
keswadayaan dalam mengelola risikonya. Intervensi program Desa Tangguh dengan membantu
mensistematisasikan pengetahuan dan keahlian tersebut menjadi bangunan pengetahuan yang tidak
terpisahkan dalam sistem sosial, dari memori kolektif menuju aksi kolektif. Pihak ekternal hanya
mendorong terciptanya mobilisasi sumber daya komunitas untuk mengelola risiko sesuai dengan
elemen perencanaan atau siklus penanganan bencana.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah tentang gagasan dasar integrasi PRB dalam
perencanaan desa, usulan-usulan program dan prioritas merupakan hasil dari prioritas risiko dan
ancaman juga potensi dan masalah masing-masing wilayah, bukan hanya masalah infrastruktur-fisik.
Hal tersebut harus disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintah desa secara teknis dan
manajerial dalam menjalankan pemerintahan, seperti keterampilan validasi data, pelaksanaan
musrenbangdes, pembuatan peraturan desa dan anggaran. Pertimbangan lain yang tidak kalah
penting adalah merangkul berbagai pihak untuk dapat terlibat dalam pelaksanaan program, terutama
kelompok marginal yang jarang diperhatikan oleh komunitas.
Pengorganisasian kelompok/Forum PRB Desa dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama,
dengan membentuk organisasi baru berbentuk Forum PRB Desa karena tidak ada organisasi yang
melakukan kegiatan PB/PRB dengan mewadahi multistakeholder desa. Kedua, jika telah ada
organisasi untuk melakukan PB/PRB upaya yang dilakukan cukup merevitalisasi organisasi tersebut.
Forum PRB di empat desa dibentuk dengan metode pertama, yaitu membentuk kelompok/organisasi
baru untuk melakukan PB/PRB.
Dalam program ini memberikan dana hibah kepada desa/komunitas dimana pemberian dana
hibah ini menjadikan gambaran program Desa Tangguh memerlukan biaya yang besar. Biaya yang
besar ini bisa dikurangi dengan kegiatan dan pengelolaan program yang menggunakan sumber daya
yang ada di desa/komunitas.
Anggaran dan pembelanjaan intervensi program oleh pihak luar (mitra) di komunitas selama
pelaksanaan program PRBBK (Desa Tangguh) tidak bisa diasumsikan sebagai gambaran pembiayaan
untuk program-program serupa di tempat lain. Karena pada prinsipnya pengerahan sumber daya dan
kebutuhan untuk mereplikasi program tersebut bisa dilakukan secara mandiri oleh komunitas,
sehingga bisa dikatakan tidak membutuhkan biaya yang besar/terlalu besar; misalnya kegiatankegiatan kajian dan proses-proses penyusunan dokumen-dokumen desa bisa menyesuaikan dengan
tingkat keswadayaan komunitas setempat atau mengikuti program yang telah ada di desa
sebelumnya.
14

KESIMPULAN
Tujuan program ini adalah “Masyarakat yang lebih aman dan berbudaya keselamatan melalui
praktik PRB berbasis komunitas (PRBBK) dan mengintegrasikannya ke dalam proses pembangunan
wilayah setempat”. Indikator keberhasilan tujuan tersebut adalah adanya praktik dan pelembagaan
PRBBK oleh kelompok-kelompok masyarakat yang telah dipadukan dengan perencanaan
pembangunan, dengan demikian kapasitas masyarakat telah meningkat dan secara tidak langsung
telah dapat menurunkan tingkat risiko bencana. Program pengembangan Desa Tangguh ini
merupakan program peletakan pondasi bagi kerangka kerja Pengurangan Bencana Berbasis
Komunitas (PRBBK) untuk menuju Desa Tangguh.
Dalam program ini terlihat upaya untuk menurunkan kerentanan seperti menemukenali
ancaman, kerentanan, kapasitas, risiko, potensi dan masalah di masing-masing desa. Upaya mandiri
lainnya seperti adanya upaya peredaman risiko dengan melakukan rehabilitsi lahan. Sedangkan
upaya meningkatkan kapasitas dengan adanya integrasi PRB dalam RPJMDes, adanya roadmap Desa
Tangguh, adanya dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), dokumen Rencana Aksi
Komunitas (RAK) PRB, dan dokumen Rencana kontijensi di masing-masing desa, adanya dokumen
building code, penyediaan jalur evakuasi, penyediaan sarana instalasi air untuk kekeringan,
pengadaan alat peringatan dini, penyediaan alat-alat tanggap darurat, penyediaan dana
kesiapsiagaan, pembuatan posko pemantauan ancaman, radio komunitas, pengolahan sumber daya
alam, dan adanya Forum PRB Desa.
Berangkat dari keyakinan bahwa pengurangan risiko bencana merupakan urusan semua
pihak, hal ini menjadi pendekatan untuk melibatkan multi-pihak dalam program yang diwujudkan
dengan keterlibatan pada Forum PRB secara sukarela. Dorongan lain yang dilakukan dengan
mengadakan audensi antara Forum PRB dengan pihak-pihak yang berkepentingan agar terjalin
kerjasama dan kolaborasi yang efektif dan menyukseskan praktik-praktik PRB.
Upaya pelembagaan kerangka kerja PRBBK oleh komunitas menggunakan metode
peningkatan kapasitas perangkat pemerintahan desa dan lembaga desa tentang tata kelola dan
kebijakan desa perebutan serta alat/perangkat kajian ancaman, kerentanan, kapasitas, risiko dan
perebutan alat/perangkat kajian desa partisipatif (PRA) berikut proses dan mekanisme perencanaan
pembangunan. Diharapkan komunitas dapat melakukan kembali analisis risiko sebagai dasar
penyusunan dokumen RPB, RAK, dan Rencana Kontinjensi, serta dapat melakukan kajian masalah dan
potensi sebagai dasar perencanaan pembangunan yang memadukan prakarsa PRB. Terlebih
masyarakat dapat menerapkan PRB dalam kehidupan rutin dan menjadi sebuah sistem yang tidak
terpisahkan dengan sistem sosial yang telah mapan.
Karakteristik umum Desa Tangguh adalah dengan praktik-praktik PRBBK yang dipadukan pada
pembangunan desa, hal tersebut dijabarkan dengan:
1. Adanya proses menemukenali wilayah desa (risiko, masalah, dan potensi) secara partisipatif.
2. Komunitas adalah pelaku utama dalam pengelolaan risiko bencana di wilayahnya. Adanya proses
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi untuk mengelola risiko dengan pendekatan
dari-oleh-untuk komunitas,
3. Adanya mobilisasi sumber daya komunitas untuk mendukung praktik-praktik PRB, seperti adanya
Forum PRB, alokasi dana desa, keswadayaan dalam bentuk tenaga, waktu, dan materi.
4. Adanya pemaduan prakarsa PRB ke dalam perencanaan pembangunan desa dan kebijakankebijakan sektoral dengan pola intervensi multidisiplin, lintas sektor, dan lintas ancaman.
5. Adanya media saling berbagi pengetahuan dari masyarakat pada pihak luar dan antar masyarakat,
maupun pihak luar pada masyarkat.

15

Tentunya dalam waktu 1 tahun pelaksanaan program di Desa Negarajati, Desa Panulisan
Barat, Desa Pengkok, dan Desa Sampang tidak secara langsung menjadi Desa Tangguh, secara umun
program ini mencapai peletakan dasar untuk menuju Desa yang Tangguh telah dimulai dengan
meningkatkan kapasitas komunitas supaya dapat menurunkan risiko, mengelola aset agar tetap
berfungsi selama terjadi bencana, dan mampu pulih dengan baik setelah terjadi bencana.

DAFTAR BACAAN
Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme
Penyusunan Peraturan Desa.
SC-DRR, Rancangan Panduan Desa Tangguh, 2009.
UN-ISDR, Living with Risk: A Global Review of Disaster Rreduction Initiatives, Geneva: 2004.
Gustavo Wilches and Inter Works, Bencana dan Lingkungan: Program Pelatihan Manajemen Bencana
(DMTP), Edisi ke 2, UNDP 1995.
Jhon Twigg, Characteristics of a Disaster-Resilient Community: A Guidance Note, Version 2, DFID,
2009.
Paton, Dauglas & Kathryn Gow (ed.), The Phoenix of Natural Disaster: Comminity Resilience, New York: Nova
Science Publishers, 2008.
Paton, Douglas & David Johnston, Disaster Resilience: An Integrated Approach (edt.), Illinois: Charles C ThomasPublisher, 2006.

Perkumpulan Lingkar, Modul Pelatihan Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Dalam
Program Dan Kegiatan Pemerintah Provinsi DIY, 2010.

UNDP dan UNDRO, Tinjauan Umum Manejemen Bencana; Program Pelatihan Manajemen Bencana, 1992,

16