STRUKTUR FISIK STRATIFIKASI DAN DIFERENS
SOSIOLOGI PEDESAAN
STRUKTUR FISIK, STRATIFIKASI DAN DIFERENSIASI
SOSIAL DI PEDASAAN
DI SUSUN OLEH :
Desi Rosita
D0314018
Dika Pujiastuti
D0314020
Dwi Nurindah Rahayu
D0314022
Ellen Kusuma DN
D0314024
SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Untuk memahami masyarakat desa saat ini tidak sama seperti masyarakat
desa zaman dulu. kemudian didalam masyarakat desa ditemukan berbagai jenis
atau pola-pola, dan ada pembagian masing-masing. Pada kesempatan ini kami akan
membahas tentang struktur fisik, stratifikasi, dan diferensiasi masyarakat desa.
Struktur fisik erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa dalam berbagai aspek di
dalamnya. Seperti lingkungan geografis yang ciri-cirinya : iklim, curah hujan,
keadaan atau jenis tanah, ketinggian tanah, dll. Kemudian ada pola pemukiman,
pemukiman yang berdekatan dan berjauhan. Stratifikasi merupakan pelapisan,
penggambaran kelompok sosial yang susunannya hirarkis.untuk diferensiasi itu
terdapat pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat tanpa
menempatkan jenjang hierarkis.
Struktur fisik Desa erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa itu dalam
berbagai aspeknya yang ada didalamnya. Khususnya berkaitan dengan lingkungan
geografis dengan segala ciri-cirinya seperti: iklim, curah hujan, keadaan atau jenis
tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembapan udara, topografi dan lainnya. Variasi
dalam perbedaan ciri-ciri fisik ini akan menciptakan pula perbedaan dalam dalam
jenis tanaman yang ditanam, sistem pertanian yang diterapkan, dan pola kehidupan
dari masing-masing kelompok masyarat.
Desa sejatinya terbentuk dari suatu susunan-susunan yang membuatnya
terbentuk dan terbangun menjadi seperti apa yang terlihat. Selain itu, dalam sebuah
desa yang nampak adalah
suatu keseragaman antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya, individu satu dengan individu lainnya. Namun, yang
sebenarnya terjadi tidaklah seperti itu, dalam sebuah desa pun masyarakatnya
sudah mulai terbagi-bagi kedalam beberapa kelas atau kedalam kelompok tertentu.
Tidak sekompleks dan sebanyak yang terjadi dalam sebuah kota namun struktur,
stratifikasi, dan diferensiasi yang ada pada sebuah desa merupakan hal yang cukup
menarik untuk ditinjau lebih lanjut.
2|Page
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari struktur dan struktur fisik desa?
2. Apa pengertian dari stratifikasi sosial di masyarakat desa?
3. Apa pengertian dari diferensiasi sosial di masyarakat desa?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari struktur dan struktur fisik desa.
2. Untuk mengetahui pengertian dari stratifikasi sosial di masyarakat desa.
3. Untuk mengetahui pengertian dari diferensiasi sosial di masyarakat desa.
PEMBAHASAN
3|Page
A. Struktur dan Struktur Fisik Desa
Struktur dan Struktur Sosial
Secara umum istilah struktur dipahami sebagai susunan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1994) struktur juga berarti susunan atau “cara sesuatu
disusun atau dibangun”.
Dalam konsep struktur sosial dibagi menjadi dua yakni struktur sosial
vertikal dan horisontal. Struktur sosial vertikal atau stratifikasi sosial atau pelapisan
sosial, menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat
hierarkhis, berjenjang. Sehingga dalam dimensi struktur ini kita dapat melihat
adannya kelompok masyarakat yang berkedudukan tinggi (lapisan atas), sedang
(lapisan menengah), dan rendah (lapisan bawah). Sedangkan struktur sosial
horisontal atau diferensiasi sosial di sisi lain, menggambarkan kelompok-kelompok
sosial tidak dilihat dari tinggi-rendahnya kedudukan kelompok itu satu sama lain,
melainkan lebih tertuju pada variasi atau kekayaan pengelompokan yang ada dalam
suatu masyarakat. Sehingga dari struktur sosial horisontal ini kita dapat melihat
kekayaan atau kompleksitas pengelompokan yang ada dalam suatu masyarakat.
Semakin maju dan berkembang masyarakat maka akan semakin bervariasi dan
kompleks pula pengelompokannya, bukan saja secara kuantitatif tetapi juga
kualitatif.
Struktur Fisik Desa
Struktur fisik suatu desa sangat erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa
itu dalam berbagai aspeknya. Sedikit lebih khusus berkaitan dengan lingkungan
geografis dengan segala ciri-cirinya seperti: iklim, curah hujan, keadaan atau jenis
tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembaban udara, topografi, dan lainnya.
Perbedaaan dari ciri-ciri fisik ini juga akan menciptakan perbedaaan dalam jenis
tanaman yang ditanam, sistem pertanian yang diterapkan dan lebih lanjut pada pola
kehidupan dari masing-masing kelompok masyarakat. Perbedaan lingkungan
geografis ini akan memberikan kemungkinan perbedaan pada beberapa hal
diantaranya adalah pola pemukiman penduduk desa.
Pola pemukiman ini merupakan salah
satu
aspek
yang
dapat
menggambarkan dengan jelas keterkaitan antara struktur fisik desa dengan pola
kehidupan internal masyarakatnya. Pola pemukiman menurut Smith dan Zopf
(1970: 103) adalah berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial)
antara pemukiman (petani) yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian
mereka.Dalam bentuk yang paling umum terdapat dua pola pemukiman, yakni (1)
4|Page
yang pemukiman penduduknya berdekatan satu sama lain dengan lahan pertanian
berada di luar dan terpisah dari lokasi pemukiman, dan (2) yang pemukiman
penduduknya terpencar dan terpisah satu sama lain, dan masing-masing berada di
dalam atau di tengah lahan pertanian.
Namun secara lebih rinci Paul H. Landis (1948: 16-28) membedakan empat
pola pemukiman yang paling umum terdapat di dunia, yakni: (1)the farm village
type, (2)the nebulous farm type, (3) the arranged isolated farm type, dan (4) the
pure isolated farm type.
The farm village type(FVT) adalah pola pemukiman dimana penduduk
(petani) tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan
pertanian berada di luar lokasi pemukiman.Karakterikstik pola pemukiman FVT
antara lain, mempunyai hubungan yang intim antar tetangga, kedekatan warga
denganberbagai lembaga kemasyarakatan, kedekatan bermain bagi anak-anak, rasa
gotong royong dan tolong menolong yang kuat. Singkatnya pola pemukiman ini
kaya akan kehidupan sosial.
The nebulous farm type(NFT) hampir sama dengan pola FVT bedanya,
disamping yang tinggal bersama-sama di suatu tempat, terdapat penduduk yang
tinggal tersebar di luar tempat pemukiman itu. Karakteristik pola pemukiman NTF
antara lain, warganya cukup dekat untuk berkomunikasi, tanah pertanian yang
berdekatan memungkinkan mudahnya modernisasi, trade center selain berfungsi
sebagai tempat menjual hasil pertanian juga sebagai media berkomunikasi antar
warga, sebagai penghubung antara desa dan kota.
The arranged isolated farm type (AIFT) adalah pola pemukiman dimana
penduduk tinggal disekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian
mereka, dengan suatu trade center di antara mereka. Karakteristik pola pemukiman
ini adalah warganya cukup dekat untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga
tercipta kehidupan sosial yang cukup baik tetapi cukup jauh untuk terciptanya
tradisi yang ketat, mudahnya modernisasi pertanian.
The pure isolated farm type(PIFT) adalah pola pemukiman yang
penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, terpisah dan
berjauhan satu sama lain, dengan suatu trade center.Karakteristik pola pemukiman
PIFT ini adalah jiwa mandiri yang kuat, jiwa demokratis yang tinggi, mekanisasi
dan sistim pertanian modern mudah diterapkan, rasa tolong menolong dan gotong
royong kurang, mahalnya lembaga dan sarana2 pokok yang melayani mereka
(gereja, sekolah, pengairan, dll.).
5|Page
Apabila
terdapat perbedaan-perbedaan dalam pola
pemukimannya,
perbedaan itu lebih berkaitan dengan tingkat kesuburan dan topografi (atau kondisi
geografis lainnya). Seperti misalnya, untuk daerah-daerah yang subur terdapat
kecenderungan terciptanya satuan pemukiman yang padat, dalam pengelompokan
yang besar dan berdekatan satu sama lain. Sebaliknya untuk daerah-daerah yang
kurang subur terdapat kecenderungan munculnya desa-desa yang jarang
penduduknya dengan pengelompokan yang kecil dan berjauhan satu sama lain.
B. Stratifikasi Sosial Masyarakat Desa
Stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertical merupakan
penggambaran kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hierarkis,
berjenjang. Keberadaan pelapisan sosial ini juga tidak terlepas dari tingkat
diferensiasi masyarakatnya. Apabila tingkat diferensiasinya rendah maka
pelapisannya tidak terlalu terlihat. Seperti misalnya, sebuah komunitas desa yang
warganya merupakan satuan keluarga besar atau meluas dan tinggal bersama di
satu rumah, dengan sendiri tidak akan memperlihatkan pelapisan sosial yang jelas
kecuali sekedar stasus-status dalam system kekerabatan yang ada. Dalam
masyarakat terjadi pelapisan-pelapisan karna kehidupan manusia di dekati oleh
nilai. Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidak mudah di dapat, dan
oleh karnanya memberi harga pada penyandangnya. Secara umum hal-hal yang
mengandung nilai berkaitan dengan harta/kekayaan, jenis mata pencaharian,
pengetahuan atau pendidikan, keturunan, keagamaan, dan dalam masyarakat yang
masih bersahaja juga unsur-unsur biologis (usia, jenis kelamin). Bagi masyarakat
desa yang di pandang bernilai adalah lahan pertanian. Maka seberapa besar
pemilikan atau penguasaan seseorang terhadap lahan pertanian akan menentukan
seberapa tinggi kedudukannya di tengah masyarakat mereka keberadaan pelapisan
sosial ini juga tidak terlepas dari tingkat diferensiasi masyarakatnya. Oleh sebab itu
tingkat diferensiasi masyarakat desa rendah, maka membahas pelapisan sosial
mereka hakikatnya adalah berbicara tentang system pelapisan sosial yang
sederhana, tidak kompleks.
1. Struktur biososial
Di antara sejumlah faktor yang menciptakan stratifikasi sosial (struktur sosial
vertikal) adalah faktor biologis. Faktor biologis tidak hanya berkaitan dengan
struktur vertikal melainkan juga dengan struktur sosial horisontal. Yang
6|Page
berkaitan dengan faktor-faktor biologis seperti jenis kelamin, usia, perkawinan,
suku bangsa dan lainnya.
Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial vertikal (stratifikasi
sosial) dapat di tunjukan lewat sifat mata pencaharian masyarakat
bersangkutan. Dalam masyarakat yang masih bersahaja yakni dari ketika
masyarakat masih dalam tingkat food gathering economics (hunting, fishing,
meramu) sampai pada ketika mereka telah mengalami era pertanian
(tradisional), masyarakat manusia masih mengandal kepada kekuatan fisik dan
pengalaman.
Kekuatan fisik kaum laki-laki tergolong lebih kuat dibanding dengan wanita.
Keterampilan dan kekuatan fisik yang di butuhkan untuk perburuan di miliki
kaum laki-laki. Kaum wanita yang memiliki kemampuan tersebut merupakan
perkecualian sekalipun juga ada yang berpendapat bahwa kelemahan kaum
wanita di sebabkan oleh kebudayaan yang menciptakan kaum wanita sebagai
kaum lemah (feminin). Maka menurut pendapat ini kaum wanita menjadi
lemah karena penyesuaian dengan tuntutan budaya. Akibatnya, kaum laki-laki
lebih banyak berperanan dan dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam
ethnologi terdapat konsep potlach, yakni semacam prinsip bahwa siapa yang
berada di pihak memberi akan berkedudukan lebih tinggi di banding dengan
pihak yang menerima pemberian itu. Dengan demikian di sebabkan oleh
peranannya yang besar dan berada dalam kedudukan memberi, maka kaum
laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada kaum wanita.
Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum pria tidak semata-mata di sebabkan
oleh keunggulan fisiknya. Faktor lain yang ikut menonjol adalah keterkaitan
dengan komposisi jenis kelamin penduduk desa yang dalam hal ini merupakan
salah satu aspek struktur horisontal masyarakat desa.
Struktur sosial masyarakat desa di indonesia juga di pengaruhi faktor biologis.
Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum laki-laki sering kali di topan dan di
perkuat dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat ataupun sistem kekerabatan.
2. Desa satu kelas dan dua kelas
Berkaitan dengan sistem pemilikan atau penguasan tanah pertaniannya, maka
ada desa-desa yang tidak atau kurang memperlihatkan adanya pelapisan sosial.
Dalam hal ini smith dan zopf mengegemukakan adanya dua tipe desa, yakni
apa yang dia sebut one-class system (tipe satu kelas) dan two-class system
7|Page
(tipe dua kelas) secara garis besarnya desa tipe satu kelas dapat digambarkan
sebagai tipe desa yang pemilikan lahan pertanian warganya rata-rata sama.
Sedangkan desa tipe dua kelas secera garis besarnya digambarkan sebagai desa
yang di dalamnya terdapat sejumlah kecil warga yang memiliki lahan yang
amat luas, dan selebihnya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak
memiliki lahan pertanian. Dengan lain perkataan, dalam desa tipe dua kelas ini
terdapat pemilik tanah yang amat luas atau tuang tanah.
3. Dimensi-dimensi pelapisan sosial
Stratifikasi sosal merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan
sosial. Namun terdapat perbedaan mendasar antara stratifikasi yang terdapat
dalam desa tipe satu-kelas dan desa tipe dua kelas. Apabila di lihat dari
kesenjangan yang ada serta kecenderungan yang antagonostik antara dua
kelompok ini, maka plorisasi sosial lebih mengena untuk menandai situasi
yang demikian itu. Smith dan Zopfdalam kaitan ini mengunakan istilah kasta
(caste) untuk mengambarkan kekakuan hubungan antara dua kelompok
tersebut. Di sebut kasta karena antara kedua kelas itu, di samping jarak
sosialnya tajam dan jauh juga tidak terjdi mobilita sosial vertikal. Sedangkan
konsep stratifikasi yang dilihat sebagai suatu piramida sosial lebih
memperlihatkan perbedaan gradual, tidak hanya terpilah dalam dua lapisan
sosial, ada interseksi antara lapisan yang satu dengan yang lain, dan ada
kemungkinan terjadinya mobilita sosial vertikal dalam strata itu.
Stratifikasi sosial sebagai suatu piramida sosial akan lebih terlihat dalam desa
tipe satu-kelas, yakni apabila setidaknya memenuhi dua persyarakatan.
a) Apabila kesamaan dalam pemilikan tanah warganya tidak berifat mutlak
( sepenuhnya sama) Keseragaman dan kesamaan penguasaan tanah yang
jelas di antara petani, umumnya lebih terlihat di negara-negara sosialis.
b) Apabila tidak ada okupasi-okupasi lain di luar sektor pertanian yang dapat
menjadi alternatif bebas warganya. Sebab apabila
demikian, tanah
pertanian tidak lagi menjadi faktor determinan bagi sistem pelapisan sosial
masyarakatnya.
8|Page
Luas sempitnya pemilikan tanah pertanian memang merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam sistem pelapisan sosial masyarakat desa pertanian.
Dalam kaitan ini, Smith dan Zopf mengetengahkan adanya lima faktor yang
determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa.
a) Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di
tangan sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga
desa.
b) Pertautan antara sektor pertanian dan industri.
c) Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah.
d) Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya.
e) Komposisi rasial penduduk.
Faktor pemilikan tanah merupakan faktor yang sangat determinan terhadap
sistem pelapisan masyarakat desa pertanian. Menegaskan apa yang telah di
jelaskan di atas, faktor pemilikan tanah ini mengandung dua kemungkinan
yang berbeda pengaruhnya terhadap sistem stratifikasi sosial masyarakatnya.
Sutardjo
Kartohadikoesoemo
(1965)
memberikan
gambaran
tentang
penggolongan masyarakat desa di Jawa yang berlandaskan pemilikan tanah ini
sebagai berikut.
Warga baku, adalah warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah, dan
tanah pengarangan (orang baku, sikep, gogol kenceng, kuli/wong kenceng).
Warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan (lindung,
angguran kampung, kuli, sikep, buri/sikep nomor dua, wong setengah
kenceng)
Warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain (wong
dempel, menumpamg, numpang karang)
Warga desa yang kawin dan mendok di rumah orang lain, orang tua,
penganten baru, orang baru (rangkepan, kumpulan, nusup, kempitan).
Pemuda yang belum kawin (joko, sinoman)
9|Page
Pelapisan sosial masyarakat desa (jawa) yang didasarkan atas pemilikan atau
penguasaan tanah sebagaimana digambarkan sutardjo Kartohadikoesoemo itu
juga dikemukakan oleh sejumlah pakar lainnya. M. Jaspan mengambarkan
adanya empat pelapisan sosial yang terdapat di kalangan masyarakat desa di
daerah yogyakarta.
Kuli kenceng, yakni mereka yang memiliki tanah pekarangan dan sawah,
Kuli gundul, yakni mereka yang hanya memiliki sawah
Kuli karangkopek, yakni mereka yang memiliki pekarangan saja, dan
Indung tlosor, yakni mereka yang memiliki rumah saja di atas tanah orang
lain.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1964) pelapisan sosial masyarakat desa
digambarkan sebagai berikut :
Keturunan cikal bakal desa dan pemilik tanah (kentol)
Pemilik tanah di luar golongan kentol (kuli)
Yang tidak memiliki tanah.
Sebagaimana telah di jelaskan di atas, masih sangat luasnya tanah dalam
perbandingan dengan masih sangat jarangnya penduduk, telah menyebabkan
tanah kurang cukup bernilai untuk menjadi basis terciptanya pelapisan sosial.
Di samping itu, kuatnya adat-istiadat dan tradisi mencegah atau paling tidak
menahan lajunya proses pemilikan tanah secara perorangan. Di kalangan suku
masyarakat ( khususnya desa Bontoramba) yang secara umum memilki susunan
kelas sosial yang tajam, namun basis pengelompokannya bukan terutama
pemilikan tanah melainkan kekerabatan.
Mengenai pengaruh pertautan antara sektor pertautan antara sektor pertanian
dan industri terhadap stratifikasi sosial masyarakat desa dapat di simpulkan
memiliki relevansi yang cukup tinggi di indonesia, terutama untuk daerah10 | P a g e
daerah yang telah memiliki akses bagi bagi mobilitas penduduknya, melainkan
juga di tunjang oleh tekanan penduduk dan semakin sempitnya lahan pertanian.
Semakin banyaknya jumlah buruh tani dari tahun ke tahun merupakan salah
satu indikasi tentang bertambah beratnya tekanan penduduk di pedesaan jawa.
Ikatan daerah yang kuat di satu pihak, dan kekurang pastian kelestarian kerja di
sektor industri di lain pihak, menyebabkan banyak dari mereka yang melakukan
migrasi musiman.
Sudah barang tentu gambaran-gambaran stratifikasi sosial yang banyak
berkaitan dengan keadaan-keadaan masa lalu ini, kini telah mengalami
sejumlah perubahan. Modernisasi pertanian dengan mekanisasi dan pola
produksinya, proses urbanisasi yang terjadi, semakin transparanya desa-desa
baik oleh semakin merebaknya pengaruh-pengaruh luar lewat media massa
ataupun oleh semakin tingginya mobilitas horisontal penduduknya, adalah
merupakan sekian faktor yang merubah berbagai aspek kehidupan masyarakat
desa termasuk sistem stratifikasi sosialnya.
C. Diferensiasi Sosial Masyarakat Desa
Diferensiasi sosial berasal dari bahasa Inggris difference, yang artinya
perbedaan. Secara istilah, diferensiasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat
ke dalam golongan-golongan secara horizontal (tidak memandang perbedaan
lapisan). Diferensiasi sosial atau struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah
berkaitan dengan banyaknya pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada
dalam masyarakat itu tanpa menempatkannya dalam jenjang hirarkis. Sehingga
dapat juga disebut dengan gambaran dari heteroginitas sosial masyarakatnya. Suatu
diferensiasi tidak selalu berkaitan dengan sikap dengan pengelompokan, melainkan
juga berkaitan dengan sikap atau tingkat intelegensi, yakni kemampuan mental atau
intelegensi seseorang untuk mendiferensikan sesuatu.
Menurut Soerjono Soekanto, differensiasi sosial adalah variasi pekerjaan,
prestise dan kekuasaan kelompok dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan
interaksi atau akibat namun pada proses interaksi yang lain.
11 | P a g e
Diferensiasi sosial merupakan karakteristik sosial yang membuat individu
atau kelompok terpisah dan berbeda satu sama lain. Perbedaan ini didasarkan pada
beberapa faktor, yaitu:
1.
Usia
2.
Gender (Jenis Kelamin)
3.
Latar belakang etnik
Suatu konsep diferensiasi sosial secara teoritik sering dirumuskan bahwa
semakin maju atau modern suatu masyarakat, semakin tinggi pula tigkat
diferensiasinya. Sebaliknya semakin bersahaja masyarakatnya, semakin rendah
pula tingkat diferensiasinya. Masyarakat desa adalah masyarakat yang relatif lebih
bersahaja daripada masyarakat kota pada umumnya. Pada masyarakat desa tingkat
diferensiasi yang terjadi tidaklah terlalu komplek dan tidak terlalu tinggi.
Menurut Smith dan Zopf (1970: 239) pengertian kelompok sosial harus
menyangku tiga elemen, yakni:
a. Pluralisme subjek
Pluralitas subyek artinya, eksistensi pengelompokan mensyaratkan adanya
pluralitas dalam elemen-elemen pembentukannya. Dimana pluralitas subyek
menjadi salah satu faktor determinan terhadap tingkat diferensiasi masyarakat.
b. Interaksi antar subjek-subjek itu
Interaksi di samping pluralitas adalah sangat penting untuk eksistensi
kelompok sosial. Kelompok tanpa adanya interaksi antar anggota-anggotanya
bukanlah merupakan kesatuan yang fungsional dan karenanya bukan kelompok
sosial yang sebenarnya.
c. Solidaritas atau kohesi sosial mereka
Solidarita atau kohesi sosial ialah solidaritas yang menciptakan apa yang
dalam sosiologi di sebut “we feeling group”, perasaan “kekitaan”, perasaan
yang membawa seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok.
Emile Durkheim mengetengahkan dua tipe solidarita sosial, yakni
Solidarita mekanik, sosial yang pertama dilandasi oleh solidaritas yang
terbentuk oleh kesamaan-kesamaan para anggota kelompok
12 | P a g e
Solidarita organik, sosial yang kedua dilandasi oleh solidaritas yang terbentuk
justru oleh perbedaan namun saling tergantung di antara para anggota
kelompok.
Dikaitkan dengan tiga elemen tersebut, maka pola pengelompokan masyarakat
desa hakekatnya adalah:
1. Termasuk masyarakat dengan pluralitas rendah sehingga tidak cenderung
menciptkan diferensiasi
2. Cenderung termasuk tipe primer dengan karakteristik yang melekat padanya
3. Cenderung tipe kohesi sosial yang berdasarkan solidaritas mekanik
Dalam keseluruhannya, pengertian kelompok sosial lewat tiga elemen tersebut
telah mengantarkan kita pada karakterstik ikatan sosial masyarat desa.
Secara umum, memahami diferensiasi masyarakat desa di Indonesia,
hendaknya memahami pluralitas masyarakat desa dalam berbagai dimensi dan
aspeknya. Juga perlu dipahami aspek kesejarahan yang menjadi titik tolak untuk
memahami keaslian struktur sosial masyarakat desa kita secara umum. Aspek
keaslian perkembangan masyarakat bangsa kita dari berbagai daerah tidaklah
sama. Ada yang sudah sangat transparan dan maju sekali, atau sebaliknya masih
ada yang (sangat) terbelakang.
13 | P a g e
PENUTUP
Konsep struktur sosial dibagi menjadi dua yakni struktur sosial vertikal dan
horisontal. Semakin maju dan berkembang masyarakat maka akan semakin bervariasi dan
kompleks pula pengelompokannya, bukan saja secara kuantitatif tetapi juga kualitatif.
Struktur fisik suatu desa sangat erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa itu dalam
berbagai aspeknya. Sedikit lebih khusus berkaitan dengan lingkungan geografis dengan
segala ciri-cirinya seperti: iklim, curah hujan, keadaan atau jenis tanah, ketinggian tanah,
tingkat kelembaban udara, topografi, dan lainnya. Perbedaaan dari ciri-ciri fisik ini juga
akan menciptakan perbedaaan dalam jenis tanaman yang ditanam, sistem pertanian yang
diterapkan dan lebih lanjut pada pola kehidupan dari masing-masing kelompok
masyarakat.
Stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertical merupakan
penggambaran kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hierarkis, berjenjang.
Struktur biososial seperti jenis kelamin, perkawinan, suku bangsa, umur. Desa satu kelas
dan dua kelas kepemilikan lahan pertanian yang sama luasnya itu dinamakan desa satu
kelas, sdangkan dua kelas lahan tanah luas dimiliki sedikit warga. Diferensiasi sosial atau
struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah berkaitan dengan banyaknya
pengelompokan-pengelompokan
sosial
yang
ada
dalam
masyarakat
itu
tanpa
menempatkannya dalam jenjang hirarkis. Sehingga dapat juga disebut dengan gambaran
dari heteroginitas sosial masyarakatnya. Suatu diferensiasi tidak selalu berkaitan dengan
sikap dengan pengelompokan, melainkan juga berkaitan dengan sikap atau tingkat
intelegensi, yakni kemampuan mental atau intelegensi seseorang untuk mendiferensikan
sesuatu.
14 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
15 | P a g e
STRUKTUR FISIK, STRATIFIKASI DAN DIFERENSIASI
SOSIAL DI PEDASAAN
DI SUSUN OLEH :
Desi Rosita
D0314018
Dika Pujiastuti
D0314020
Dwi Nurindah Rahayu
D0314022
Ellen Kusuma DN
D0314024
SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Untuk memahami masyarakat desa saat ini tidak sama seperti masyarakat
desa zaman dulu. kemudian didalam masyarakat desa ditemukan berbagai jenis
atau pola-pola, dan ada pembagian masing-masing. Pada kesempatan ini kami akan
membahas tentang struktur fisik, stratifikasi, dan diferensiasi masyarakat desa.
Struktur fisik erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa dalam berbagai aspek di
dalamnya. Seperti lingkungan geografis yang ciri-cirinya : iklim, curah hujan,
keadaan atau jenis tanah, ketinggian tanah, dll. Kemudian ada pola pemukiman,
pemukiman yang berdekatan dan berjauhan. Stratifikasi merupakan pelapisan,
penggambaran kelompok sosial yang susunannya hirarkis.untuk diferensiasi itu
terdapat pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat tanpa
menempatkan jenjang hierarkis.
Struktur fisik Desa erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa itu dalam
berbagai aspeknya yang ada didalamnya. Khususnya berkaitan dengan lingkungan
geografis dengan segala ciri-cirinya seperti: iklim, curah hujan, keadaan atau jenis
tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembapan udara, topografi dan lainnya. Variasi
dalam perbedaan ciri-ciri fisik ini akan menciptakan pula perbedaan dalam dalam
jenis tanaman yang ditanam, sistem pertanian yang diterapkan, dan pola kehidupan
dari masing-masing kelompok masyarat.
Desa sejatinya terbentuk dari suatu susunan-susunan yang membuatnya
terbentuk dan terbangun menjadi seperti apa yang terlihat. Selain itu, dalam sebuah
desa yang nampak adalah
suatu keseragaman antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya, individu satu dengan individu lainnya. Namun, yang
sebenarnya terjadi tidaklah seperti itu, dalam sebuah desa pun masyarakatnya
sudah mulai terbagi-bagi kedalam beberapa kelas atau kedalam kelompok tertentu.
Tidak sekompleks dan sebanyak yang terjadi dalam sebuah kota namun struktur,
stratifikasi, dan diferensiasi yang ada pada sebuah desa merupakan hal yang cukup
menarik untuk ditinjau lebih lanjut.
2|Page
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari struktur dan struktur fisik desa?
2. Apa pengertian dari stratifikasi sosial di masyarakat desa?
3. Apa pengertian dari diferensiasi sosial di masyarakat desa?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari struktur dan struktur fisik desa.
2. Untuk mengetahui pengertian dari stratifikasi sosial di masyarakat desa.
3. Untuk mengetahui pengertian dari diferensiasi sosial di masyarakat desa.
PEMBAHASAN
3|Page
A. Struktur dan Struktur Fisik Desa
Struktur dan Struktur Sosial
Secara umum istilah struktur dipahami sebagai susunan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1994) struktur juga berarti susunan atau “cara sesuatu
disusun atau dibangun”.
Dalam konsep struktur sosial dibagi menjadi dua yakni struktur sosial
vertikal dan horisontal. Struktur sosial vertikal atau stratifikasi sosial atau pelapisan
sosial, menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat
hierarkhis, berjenjang. Sehingga dalam dimensi struktur ini kita dapat melihat
adannya kelompok masyarakat yang berkedudukan tinggi (lapisan atas), sedang
(lapisan menengah), dan rendah (lapisan bawah). Sedangkan struktur sosial
horisontal atau diferensiasi sosial di sisi lain, menggambarkan kelompok-kelompok
sosial tidak dilihat dari tinggi-rendahnya kedudukan kelompok itu satu sama lain,
melainkan lebih tertuju pada variasi atau kekayaan pengelompokan yang ada dalam
suatu masyarakat. Sehingga dari struktur sosial horisontal ini kita dapat melihat
kekayaan atau kompleksitas pengelompokan yang ada dalam suatu masyarakat.
Semakin maju dan berkembang masyarakat maka akan semakin bervariasi dan
kompleks pula pengelompokannya, bukan saja secara kuantitatif tetapi juga
kualitatif.
Struktur Fisik Desa
Struktur fisik suatu desa sangat erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa
itu dalam berbagai aspeknya. Sedikit lebih khusus berkaitan dengan lingkungan
geografis dengan segala ciri-cirinya seperti: iklim, curah hujan, keadaan atau jenis
tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembaban udara, topografi, dan lainnya.
Perbedaaan dari ciri-ciri fisik ini juga akan menciptakan perbedaaan dalam jenis
tanaman yang ditanam, sistem pertanian yang diterapkan dan lebih lanjut pada pola
kehidupan dari masing-masing kelompok masyarakat. Perbedaan lingkungan
geografis ini akan memberikan kemungkinan perbedaan pada beberapa hal
diantaranya adalah pola pemukiman penduduk desa.
Pola pemukiman ini merupakan salah
satu
aspek
yang
dapat
menggambarkan dengan jelas keterkaitan antara struktur fisik desa dengan pola
kehidupan internal masyarakatnya. Pola pemukiman menurut Smith dan Zopf
(1970: 103) adalah berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial)
antara pemukiman (petani) yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian
mereka.Dalam bentuk yang paling umum terdapat dua pola pemukiman, yakni (1)
4|Page
yang pemukiman penduduknya berdekatan satu sama lain dengan lahan pertanian
berada di luar dan terpisah dari lokasi pemukiman, dan (2) yang pemukiman
penduduknya terpencar dan terpisah satu sama lain, dan masing-masing berada di
dalam atau di tengah lahan pertanian.
Namun secara lebih rinci Paul H. Landis (1948: 16-28) membedakan empat
pola pemukiman yang paling umum terdapat di dunia, yakni: (1)the farm village
type, (2)the nebulous farm type, (3) the arranged isolated farm type, dan (4) the
pure isolated farm type.
The farm village type(FVT) adalah pola pemukiman dimana penduduk
(petani) tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan
pertanian berada di luar lokasi pemukiman.Karakterikstik pola pemukiman FVT
antara lain, mempunyai hubungan yang intim antar tetangga, kedekatan warga
denganberbagai lembaga kemasyarakatan, kedekatan bermain bagi anak-anak, rasa
gotong royong dan tolong menolong yang kuat. Singkatnya pola pemukiman ini
kaya akan kehidupan sosial.
The nebulous farm type(NFT) hampir sama dengan pola FVT bedanya,
disamping yang tinggal bersama-sama di suatu tempat, terdapat penduduk yang
tinggal tersebar di luar tempat pemukiman itu. Karakteristik pola pemukiman NTF
antara lain, warganya cukup dekat untuk berkomunikasi, tanah pertanian yang
berdekatan memungkinkan mudahnya modernisasi, trade center selain berfungsi
sebagai tempat menjual hasil pertanian juga sebagai media berkomunikasi antar
warga, sebagai penghubung antara desa dan kota.
The arranged isolated farm type (AIFT) adalah pola pemukiman dimana
penduduk tinggal disekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian
mereka, dengan suatu trade center di antara mereka. Karakteristik pola pemukiman
ini adalah warganya cukup dekat untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga
tercipta kehidupan sosial yang cukup baik tetapi cukup jauh untuk terciptanya
tradisi yang ketat, mudahnya modernisasi pertanian.
The pure isolated farm type(PIFT) adalah pola pemukiman yang
penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, terpisah dan
berjauhan satu sama lain, dengan suatu trade center.Karakteristik pola pemukiman
PIFT ini adalah jiwa mandiri yang kuat, jiwa demokratis yang tinggi, mekanisasi
dan sistim pertanian modern mudah diterapkan, rasa tolong menolong dan gotong
royong kurang, mahalnya lembaga dan sarana2 pokok yang melayani mereka
(gereja, sekolah, pengairan, dll.).
5|Page
Apabila
terdapat perbedaan-perbedaan dalam pola
pemukimannya,
perbedaan itu lebih berkaitan dengan tingkat kesuburan dan topografi (atau kondisi
geografis lainnya). Seperti misalnya, untuk daerah-daerah yang subur terdapat
kecenderungan terciptanya satuan pemukiman yang padat, dalam pengelompokan
yang besar dan berdekatan satu sama lain. Sebaliknya untuk daerah-daerah yang
kurang subur terdapat kecenderungan munculnya desa-desa yang jarang
penduduknya dengan pengelompokan yang kecil dan berjauhan satu sama lain.
B. Stratifikasi Sosial Masyarakat Desa
Stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertical merupakan
penggambaran kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hierarkis,
berjenjang. Keberadaan pelapisan sosial ini juga tidak terlepas dari tingkat
diferensiasi masyarakatnya. Apabila tingkat diferensiasinya rendah maka
pelapisannya tidak terlalu terlihat. Seperti misalnya, sebuah komunitas desa yang
warganya merupakan satuan keluarga besar atau meluas dan tinggal bersama di
satu rumah, dengan sendiri tidak akan memperlihatkan pelapisan sosial yang jelas
kecuali sekedar stasus-status dalam system kekerabatan yang ada. Dalam
masyarakat terjadi pelapisan-pelapisan karna kehidupan manusia di dekati oleh
nilai. Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidak mudah di dapat, dan
oleh karnanya memberi harga pada penyandangnya. Secara umum hal-hal yang
mengandung nilai berkaitan dengan harta/kekayaan, jenis mata pencaharian,
pengetahuan atau pendidikan, keturunan, keagamaan, dan dalam masyarakat yang
masih bersahaja juga unsur-unsur biologis (usia, jenis kelamin). Bagi masyarakat
desa yang di pandang bernilai adalah lahan pertanian. Maka seberapa besar
pemilikan atau penguasaan seseorang terhadap lahan pertanian akan menentukan
seberapa tinggi kedudukannya di tengah masyarakat mereka keberadaan pelapisan
sosial ini juga tidak terlepas dari tingkat diferensiasi masyarakatnya. Oleh sebab itu
tingkat diferensiasi masyarakat desa rendah, maka membahas pelapisan sosial
mereka hakikatnya adalah berbicara tentang system pelapisan sosial yang
sederhana, tidak kompleks.
1. Struktur biososial
Di antara sejumlah faktor yang menciptakan stratifikasi sosial (struktur sosial
vertikal) adalah faktor biologis. Faktor biologis tidak hanya berkaitan dengan
struktur vertikal melainkan juga dengan struktur sosial horisontal. Yang
6|Page
berkaitan dengan faktor-faktor biologis seperti jenis kelamin, usia, perkawinan,
suku bangsa dan lainnya.
Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial vertikal (stratifikasi
sosial) dapat di tunjukan lewat sifat mata pencaharian masyarakat
bersangkutan. Dalam masyarakat yang masih bersahaja yakni dari ketika
masyarakat masih dalam tingkat food gathering economics (hunting, fishing,
meramu) sampai pada ketika mereka telah mengalami era pertanian
(tradisional), masyarakat manusia masih mengandal kepada kekuatan fisik dan
pengalaman.
Kekuatan fisik kaum laki-laki tergolong lebih kuat dibanding dengan wanita.
Keterampilan dan kekuatan fisik yang di butuhkan untuk perburuan di miliki
kaum laki-laki. Kaum wanita yang memiliki kemampuan tersebut merupakan
perkecualian sekalipun juga ada yang berpendapat bahwa kelemahan kaum
wanita di sebabkan oleh kebudayaan yang menciptakan kaum wanita sebagai
kaum lemah (feminin). Maka menurut pendapat ini kaum wanita menjadi
lemah karena penyesuaian dengan tuntutan budaya. Akibatnya, kaum laki-laki
lebih banyak berperanan dan dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam
ethnologi terdapat konsep potlach, yakni semacam prinsip bahwa siapa yang
berada di pihak memberi akan berkedudukan lebih tinggi di banding dengan
pihak yang menerima pemberian itu. Dengan demikian di sebabkan oleh
peranannya yang besar dan berada dalam kedudukan memberi, maka kaum
laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada kaum wanita.
Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum pria tidak semata-mata di sebabkan
oleh keunggulan fisiknya. Faktor lain yang ikut menonjol adalah keterkaitan
dengan komposisi jenis kelamin penduduk desa yang dalam hal ini merupakan
salah satu aspek struktur horisontal masyarakat desa.
Struktur sosial masyarakat desa di indonesia juga di pengaruhi faktor biologis.
Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum laki-laki sering kali di topan dan di
perkuat dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat ataupun sistem kekerabatan.
2. Desa satu kelas dan dua kelas
Berkaitan dengan sistem pemilikan atau penguasan tanah pertaniannya, maka
ada desa-desa yang tidak atau kurang memperlihatkan adanya pelapisan sosial.
Dalam hal ini smith dan zopf mengegemukakan adanya dua tipe desa, yakni
apa yang dia sebut one-class system (tipe satu kelas) dan two-class system
7|Page
(tipe dua kelas) secara garis besarnya desa tipe satu kelas dapat digambarkan
sebagai tipe desa yang pemilikan lahan pertanian warganya rata-rata sama.
Sedangkan desa tipe dua kelas secera garis besarnya digambarkan sebagai desa
yang di dalamnya terdapat sejumlah kecil warga yang memiliki lahan yang
amat luas, dan selebihnya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak
memiliki lahan pertanian. Dengan lain perkataan, dalam desa tipe dua kelas ini
terdapat pemilik tanah yang amat luas atau tuang tanah.
3. Dimensi-dimensi pelapisan sosial
Stratifikasi sosal merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan
sosial. Namun terdapat perbedaan mendasar antara stratifikasi yang terdapat
dalam desa tipe satu-kelas dan desa tipe dua kelas. Apabila di lihat dari
kesenjangan yang ada serta kecenderungan yang antagonostik antara dua
kelompok ini, maka plorisasi sosial lebih mengena untuk menandai situasi
yang demikian itu. Smith dan Zopfdalam kaitan ini mengunakan istilah kasta
(caste) untuk mengambarkan kekakuan hubungan antara dua kelompok
tersebut. Di sebut kasta karena antara kedua kelas itu, di samping jarak
sosialnya tajam dan jauh juga tidak terjdi mobilita sosial vertikal. Sedangkan
konsep stratifikasi yang dilihat sebagai suatu piramida sosial lebih
memperlihatkan perbedaan gradual, tidak hanya terpilah dalam dua lapisan
sosial, ada interseksi antara lapisan yang satu dengan yang lain, dan ada
kemungkinan terjadinya mobilita sosial vertikal dalam strata itu.
Stratifikasi sosial sebagai suatu piramida sosial akan lebih terlihat dalam desa
tipe satu-kelas, yakni apabila setidaknya memenuhi dua persyarakatan.
a) Apabila kesamaan dalam pemilikan tanah warganya tidak berifat mutlak
( sepenuhnya sama) Keseragaman dan kesamaan penguasaan tanah yang
jelas di antara petani, umumnya lebih terlihat di negara-negara sosialis.
b) Apabila tidak ada okupasi-okupasi lain di luar sektor pertanian yang dapat
menjadi alternatif bebas warganya. Sebab apabila
demikian, tanah
pertanian tidak lagi menjadi faktor determinan bagi sistem pelapisan sosial
masyarakatnya.
8|Page
Luas sempitnya pemilikan tanah pertanian memang merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam sistem pelapisan sosial masyarakat desa pertanian.
Dalam kaitan ini, Smith dan Zopf mengetengahkan adanya lima faktor yang
determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa.
a) Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di
tangan sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga
desa.
b) Pertautan antara sektor pertanian dan industri.
c) Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah.
d) Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya.
e) Komposisi rasial penduduk.
Faktor pemilikan tanah merupakan faktor yang sangat determinan terhadap
sistem pelapisan masyarakat desa pertanian. Menegaskan apa yang telah di
jelaskan di atas, faktor pemilikan tanah ini mengandung dua kemungkinan
yang berbeda pengaruhnya terhadap sistem stratifikasi sosial masyarakatnya.
Sutardjo
Kartohadikoesoemo
(1965)
memberikan
gambaran
tentang
penggolongan masyarakat desa di Jawa yang berlandaskan pemilikan tanah ini
sebagai berikut.
Warga baku, adalah warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah, dan
tanah pengarangan (orang baku, sikep, gogol kenceng, kuli/wong kenceng).
Warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan (lindung,
angguran kampung, kuli, sikep, buri/sikep nomor dua, wong setengah
kenceng)
Warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain (wong
dempel, menumpamg, numpang karang)
Warga desa yang kawin dan mendok di rumah orang lain, orang tua,
penganten baru, orang baru (rangkepan, kumpulan, nusup, kempitan).
Pemuda yang belum kawin (joko, sinoman)
9|Page
Pelapisan sosial masyarakat desa (jawa) yang didasarkan atas pemilikan atau
penguasaan tanah sebagaimana digambarkan sutardjo Kartohadikoesoemo itu
juga dikemukakan oleh sejumlah pakar lainnya. M. Jaspan mengambarkan
adanya empat pelapisan sosial yang terdapat di kalangan masyarakat desa di
daerah yogyakarta.
Kuli kenceng, yakni mereka yang memiliki tanah pekarangan dan sawah,
Kuli gundul, yakni mereka yang hanya memiliki sawah
Kuli karangkopek, yakni mereka yang memiliki pekarangan saja, dan
Indung tlosor, yakni mereka yang memiliki rumah saja di atas tanah orang
lain.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1964) pelapisan sosial masyarakat desa
digambarkan sebagai berikut :
Keturunan cikal bakal desa dan pemilik tanah (kentol)
Pemilik tanah di luar golongan kentol (kuli)
Yang tidak memiliki tanah.
Sebagaimana telah di jelaskan di atas, masih sangat luasnya tanah dalam
perbandingan dengan masih sangat jarangnya penduduk, telah menyebabkan
tanah kurang cukup bernilai untuk menjadi basis terciptanya pelapisan sosial.
Di samping itu, kuatnya adat-istiadat dan tradisi mencegah atau paling tidak
menahan lajunya proses pemilikan tanah secara perorangan. Di kalangan suku
masyarakat ( khususnya desa Bontoramba) yang secara umum memilki susunan
kelas sosial yang tajam, namun basis pengelompokannya bukan terutama
pemilikan tanah melainkan kekerabatan.
Mengenai pengaruh pertautan antara sektor pertautan antara sektor pertanian
dan industri terhadap stratifikasi sosial masyarakat desa dapat di simpulkan
memiliki relevansi yang cukup tinggi di indonesia, terutama untuk daerah10 | P a g e
daerah yang telah memiliki akses bagi bagi mobilitas penduduknya, melainkan
juga di tunjang oleh tekanan penduduk dan semakin sempitnya lahan pertanian.
Semakin banyaknya jumlah buruh tani dari tahun ke tahun merupakan salah
satu indikasi tentang bertambah beratnya tekanan penduduk di pedesaan jawa.
Ikatan daerah yang kuat di satu pihak, dan kekurang pastian kelestarian kerja di
sektor industri di lain pihak, menyebabkan banyak dari mereka yang melakukan
migrasi musiman.
Sudah barang tentu gambaran-gambaran stratifikasi sosial yang banyak
berkaitan dengan keadaan-keadaan masa lalu ini, kini telah mengalami
sejumlah perubahan. Modernisasi pertanian dengan mekanisasi dan pola
produksinya, proses urbanisasi yang terjadi, semakin transparanya desa-desa
baik oleh semakin merebaknya pengaruh-pengaruh luar lewat media massa
ataupun oleh semakin tingginya mobilitas horisontal penduduknya, adalah
merupakan sekian faktor yang merubah berbagai aspek kehidupan masyarakat
desa termasuk sistem stratifikasi sosialnya.
C. Diferensiasi Sosial Masyarakat Desa
Diferensiasi sosial berasal dari bahasa Inggris difference, yang artinya
perbedaan. Secara istilah, diferensiasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat
ke dalam golongan-golongan secara horizontal (tidak memandang perbedaan
lapisan). Diferensiasi sosial atau struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah
berkaitan dengan banyaknya pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada
dalam masyarakat itu tanpa menempatkannya dalam jenjang hirarkis. Sehingga
dapat juga disebut dengan gambaran dari heteroginitas sosial masyarakatnya. Suatu
diferensiasi tidak selalu berkaitan dengan sikap dengan pengelompokan, melainkan
juga berkaitan dengan sikap atau tingkat intelegensi, yakni kemampuan mental atau
intelegensi seseorang untuk mendiferensikan sesuatu.
Menurut Soerjono Soekanto, differensiasi sosial adalah variasi pekerjaan,
prestise dan kekuasaan kelompok dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan
interaksi atau akibat namun pada proses interaksi yang lain.
11 | P a g e
Diferensiasi sosial merupakan karakteristik sosial yang membuat individu
atau kelompok terpisah dan berbeda satu sama lain. Perbedaan ini didasarkan pada
beberapa faktor, yaitu:
1.
Usia
2.
Gender (Jenis Kelamin)
3.
Latar belakang etnik
Suatu konsep diferensiasi sosial secara teoritik sering dirumuskan bahwa
semakin maju atau modern suatu masyarakat, semakin tinggi pula tigkat
diferensiasinya. Sebaliknya semakin bersahaja masyarakatnya, semakin rendah
pula tingkat diferensiasinya. Masyarakat desa adalah masyarakat yang relatif lebih
bersahaja daripada masyarakat kota pada umumnya. Pada masyarakat desa tingkat
diferensiasi yang terjadi tidaklah terlalu komplek dan tidak terlalu tinggi.
Menurut Smith dan Zopf (1970: 239) pengertian kelompok sosial harus
menyangku tiga elemen, yakni:
a. Pluralisme subjek
Pluralitas subyek artinya, eksistensi pengelompokan mensyaratkan adanya
pluralitas dalam elemen-elemen pembentukannya. Dimana pluralitas subyek
menjadi salah satu faktor determinan terhadap tingkat diferensiasi masyarakat.
b. Interaksi antar subjek-subjek itu
Interaksi di samping pluralitas adalah sangat penting untuk eksistensi
kelompok sosial. Kelompok tanpa adanya interaksi antar anggota-anggotanya
bukanlah merupakan kesatuan yang fungsional dan karenanya bukan kelompok
sosial yang sebenarnya.
c. Solidaritas atau kohesi sosial mereka
Solidarita atau kohesi sosial ialah solidaritas yang menciptakan apa yang
dalam sosiologi di sebut “we feeling group”, perasaan “kekitaan”, perasaan
yang membawa seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok.
Emile Durkheim mengetengahkan dua tipe solidarita sosial, yakni
Solidarita mekanik, sosial yang pertama dilandasi oleh solidaritas yang
terbentuk oleh kesamaan-kesamaan para anggota kelompok
12 | P a g e
Solidarita organik, sosial yang kedua dilandasi oleh solidaritas yang terbentuk
justru oleh perbedaan namun saling tergantung di antara para anggota
kelompok.
Dikaitkan dengan tiga elemen tersebut, maka pola pengelompokan masyarakat
desa hakekatnya adalah:
1. Termasuk masyarakat dengan pluralitas rendah sehingga tidak cenderung
menciptkan diferensiasi
2. Cenderung termasuk tipe primer dengan karakteristik yang melekat padanya
3. Cenderung tipe kohesi sosial yang berdasarkan solidaritas mekanik
Dalam keseluruhannya, pengertian kelompok sosial lewat tiga elemen tersebut
telah mengantarkan kita pada karakterstik ikatan sosial masyarat desa.
Secara umum, memahami diferensiasi masyarakat desa di Indonesia,
hendaknya memahami pluralitas masyarakat desa dalam berbagai dimensi dan
aspeknya. Juga perlu dipahami aspek kesejarahan yang menjadi titik tolak untuk
memahami keaslian struktur sosial masyarakat desa kita secara umum. Aspek
keaslian perkembangan masyarakat bangsa kita dari berbagai daerah tidaklah
sama. Ada yang sudah sangat transparan dan maju sekali, atau sebaliknya masih
ada yang (sangat) terbelakang.
13 | P a g e
PENUTUP
Konsep struktur sosial dibagi menjadi dua yakni struktur sosial vertikal dan
horisontal. Semakin maju dan berkembang masyarakat maka akan semakin bervariasi dan
kompleks pula pengelompokannya, bukan saja secara kuantitatif tetapi juga kualitatif.
Struktur fisik suatu desa sangat erat kaitannya dengan lingkungan fisik desa itu dalam
berbagai aspeknya. Sedikit lebih khusus berkaitan dengan lingkungan geografis dengan
segala ciri-cirinya seperti: iklim, curah hujan, keadaan atau jenis tanah, ketinggian tanah,
tingkat kelembaban udara, topografi, dan lainnya. Perbedaaan dari ciri-ciri fisik ini juga
akan menciptakan perbedaaan dalam jenis tanaman yang ditanam, sistem pertanian yang
diterapkan dan lebih lanjut pada pola kehidupan dari masing-masing kelompok
masyarakat.
Stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertical merupakan
penggambaran kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hierarkis, berjenjang.
Struktur biososial seperti jenis kelamin, perkawinan, suku bangsa, umur. Desa satu kelas
dan dua kelas kepemilikan lahan pertanian yang sama luasnya itu dinamakan desa satu
kelas, sdangkan dua kelas lahan tanah luas dimiliki sedikit warga. Diferensiasi sosial atau
struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah berkaitan dengan banyaknya
pengelompokan-pengelompokan
sosial
yang
ada
dalam
masyarakat
itu
tanpa
menempatkannya dalam jenjang hirarkis. Sehingga dapat juga disebut dengan gambaran
dari heteroginitas sosial masyarakatnya. Suatu diferensiasi tidak selalu berkaitan dengan
sikap dengan pengelompokan, melainkan juga berkaitan dengan sikap atau tingkat
intelegensi, yakni kemampuan mental atau intelegensi seseorang untuk mendiferensikan
sesuatu.
14 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
15 | P a g e