Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Calon Perseorangan dalam Pilkada Serentak I Tanggal 9 Desember 2015 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

  2016 sebagai Pasal 41 ayat 1 dan 2, setiap calon persorangan yang hendak mendaftarakan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota harus membuktikan dukungan masyarakat didaerahnya dengan mengumpulkan KTP Elektronik yang jumlahnya 6,5% sampai dengan 10% sesuai dengan jumlah penduduk yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap pemilu sebelumnya di masing-masing daerah dan tersebar di 50% kabupaten/kota bagi pilgub dan 50% kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Aturan ini tentunya sangat menyulitkan bagi individual masyarakat yang hendak maju melalui jalur perseorangan dibandingkan dengan mencalonkan diri melalui jalur partai politik. Hal pertama, dikarenakan calon perseorangan tidak memiliki struktur dukungan politik yang terlembagakan layaknya partai politik di level kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan desa. Kedua, partai politik dalam pencalonan dimungkinkan membangun koalisi, sedangkan calon perseorangan tidak punya pola koalisi. Ketiga, parpol bergerak dengan struktur calon yang banyak (mereka bisa mengusung 3-12 calon per dapil) pada masa pemilu legislatif, dan mendapatkan bantuan keuangan dari negara pasca mereka terpilih, sedangkan calon perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan.

  Berdasarkan rezim pemilihan Kepala Daerah serentak periode I tanggal 9 Desember 2015 diperoleh gambaran mengenai pencalonan perseorangan sebagai berikut:

  Tabel 3.1 Pasangan Calon Perseorangan dalam Pilkada 2015

  Jumlah Paslon Jenis Jumlah Total Pemilihan Wilayah Perseorangan Parpol

  Pemilihan Gubernur

  9

  2

  18

  20 Pemilihan Bupati 224 126 550 676 Pemilihan Walikota

  36

  28 86 114 TOTAL 269 156 654 810

  Sumber: KPU RI, 2016 Pada periode I Pilkada serentak yang berlangsung tanggal 9 Desember 2015, terdapat 156 calon perseorangan yang ikut dalam pelaksanaan Pilkada yang tersebar di 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 36 Kota. Sebagai contoh misalnya di Jawa Tengah, terdapat 3 Kabupaten dan 1 Kota yang diikuti oleh calon perseorangan, yaitu Kabupaten Rembang, Wonosobo dan Klaten serta Kota Magelang. Dari keempat daerah tersebut, calon perseorangan yang menang dalam Pilkada hanya di Kabupaten Rembang.

  Hasil wawancara dengan Ketua KPU Kota Magelang, yang pada 2015 melaksanakan Pilkada menyatakan bahwa Pencalonan perseorangan yang didahului dengan penyerahan berkas persyaratan pencalonan perseorangan merupakan bagian yang memberikan batasan kepada calon perseorangan. Mengingat sekarang sudah menggunakan Sistem Aplikasi Pencalonan, dimana setiap bakal calon perseorangan harus menyerahkan syarat dukungan dalam bentuk softcopy selain hardcopy seharusnya memudahkan calon perseorangan untuk dapat bersama-sama dengan calon yang diusung oleh partai politik dalam tahapan pendaftaran yang sama. Dari persentase persyaratan dukungan yang harus disampaikan, dengan ketentuan fotocopy KTP yang harus diserahkan sebagai bukti dukungan adalah KTP Elektronik atau Surat Keterangan dari Disdukcapil saja sudah sangat memberatkan calon perseorangan. Hal tersebut terjadi karena pada tahun 2015, jumlah penduduk yang rekam KTP Elektronik baru mencapai 70% saja. Meskipun dapat memenuhi persyaratan dan menjadi calon, namun dalam pemenuhan persyaratan saja sudah menghabiskan energi

sehingga tidak dapat fokus dalam membangun konstituen. Hal tersebut juga disebabkan karena cara pemerolehan syarat dukungan berupa KTP juga didapat tidak melalui mekanisme yang memungkinkan yang tercantum tersebut

  54 tahu KTP mereka dijadikan syarat dukungan.

  Berbeda lagi dengan yang terjadi di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang misalnya, dengan jumlah penduduk yang lebih besar dari Kota Magelang, berdasarkan wawancara dengan Anggota KPU Boyolali, Wahyu Prihatmoko bahwa bakal calon pasangan perseorangan yang menyampaikan syarat dukungan memang tidak dapat memenuhi batas minimal syarat yang ada karena terjadinya peningkatan jumlah syarat dukungan yang harus disampaikan. Apalagi untuk bakal calon perseorangan yang belum pernah terjun dalam dunia politik atau awam masalah pencalonan, akan sangat kesulitan

54 Wawancara dengan Ketua KPU Kota Magelang, Basmar Perianto

  Amron, 26 Agustus 2016 sekali dalam memenuhi persyaratan berupa salinan

  55 fotocopy KTP.

  Berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Rembang, calon perseorangan yang maju merupakan incumbent, yang dahulunya diusung partai politik. Posisi incumbent baik melalui partai politik maupun jalur perseorangan memang lebih diuntungkan. Hal tersebut lebih dipengaruhi faktor bagaimana mekanisme mendapatkan syarat dukungan itu. Dalam kasus di Kabupaten Rembang, secara pengalaman calon incumbent mengetahui bagaimana proses mendapatkan berkas persyaratan sehingga data dukung dalam penyerahan dokumen persyaratan lebih valid dibandingkan dengan bakal calon yang belum pernah

  56 berkecimpung dalam Pilkada.

  55 Wawancara dengan Anggota KPU Kabupaten Boyolali, Wahyu Prihatmoko, 29 Agustus 2016 56 Wawancara dengan Ketua KPU Kabupaten Rembang, Minatus Salam,

  26 Agustus 2016

2. Calon Perseorangan dalam Pilkada Serentak II Tanggal 15 Februari 2017

  Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak Tahap II, tanggal 15 Pebruari 2017 yang dilaksanakan di 101 wilayah yang terdiri dari 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota diikuti oleh 90 calon perseorangan sebagaimana dalam tabel di bawah ini:

  Tabel 3.2 Pasangan Calon Perseorangan dalam Pilkada 2017

  Jumlah Paslon Jenis Jumlah Total Pemilihan Wilayah Perseorangan Parpol

  Pemilihan Gubernur

  7

  4

  21

  25 Pemilihan Bupati

  76 70 183 253 Pemilihan Walikota

  18

  16

  43

  59 TOTAL 101 90 247 337 Sumber: KPU RI, 2017

  Apabila dilihat berdasarkan tabel 3.1. dan tabel 3.2, terjadi penurunan jumlah calon perseorangan yang maju dalam Pilkada dalam rentang waktu 2015 dan 2017 dengan persentase persyaratan yang sama, meskipun terjadi perbedaan dalam hal syarat jumlah penduduk dan pemilih dalam DPT. Sebagai contoh misalnya, di Jawa Tengah dalam Pilkada Serentak 2015, dari 21 Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada, jumlah calon perseorangan yang mendaftar masih terdapat 12 bakal calon perseorangan, dan yang dapat mengikuti pemilihan terdapat 3 pasangan calon, dan 1 pasangan calon yang memenangi Pilkada 2015. Sedangkan pada tahun 2017 meskipun syaratnya berdasarkan jumlah DPT, di Jawa Tengah pada Pilkada 2017, tidak satupun calon perseorangan yang mendaftar dan lolos menjadi pasangan calon yang ditetapkan untuk mengikuti Pilkada.

  Berdasarkan beberapa kejadian dalam Pilkada di Jawa Tengah tersebut, menurut Retno Saraswati dalam ringkasan Disertasinya Rekonseptualisasi hak konstitusional calon perseorangan menuju pemerintahan daerah yang efektif mengatakan bahwa terdapat beberapa bentuk diskriminasi dan ketidakadilan dalam regulasi calon perseorangan terdapat dalam sanksi bagi calon perseorangan

  57

  yang mengundurkan diri dan syarat dukungan. Sanksi bagi partai politik atau gabungan partai politik yang menarik calonnya setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD, maka partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan calon pengganti. Sedangkan bagi pasangan calon perseorangan atau salah seorang di antaranya mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD, maka pasangan calon perseorangan dinyatakan gugur dan tidak dapat diganti pasangan calon perseorangan yang lain, serta dikenai sanksi tidak dapat mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik/gabungan partai politik sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah untuk selamanya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Jika dengan pengunduran diri dari calon perseorangan tersebut menyebabkan tinggal 1 (satu) pasang calon, maka pasangan calon tersebut dikenai sanksi selain tersebut di atas, juga 57 diberikan sanksi denda sebesar Rp.20.000.000.000,00 (dua

  Retno Saraswati, Calon Perseorangan: Pergeseran Paradigma BP Undip, Semarang, 2015, h. 64 Kekuasaan dalam Pemilukada, puluh miliar rupiah). Jelas hal tersebut menimbulkan adanya diskriminasi dan ketidakadilan, diskriminasi karena sanksi bagi calon perseorangan lebih berat dibandingkan dengan sanksi bagi calon yang diusulkan oleh partai politik/gabungan partai politik.Ketidak adilan yang terjadi karena tingkat kesalahan yang dilakukan calon perseorangan tidak sebanding dengan sanksi yang diterima, hingga menutup akses calon perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah.Dengan tertutupnya akses bagi calon perseorangan dengan sendirinya telah menghilangkan hak politik warga negara yang telah dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Di samping itu mengenai syarat dukungan bagi calon perseorangan antara yang berlaku di NAD dengan di luar NAD tidak sama, syarat dukungan untuk daerah di luar NAD cenderung lebih berat jika dibandingkan yang berlaku di NAD. Jelas ketentuan ini cenderung diskriminasi, jangan hanya karena perbedaan daerah menyebabkan adanya perbedaan dalam syarat

dukungan, seharusnya antara calon perseorangan yang berada di NAD dengan yang berada di luar NAD mendapatkan perlakuan yang sama dalam syarat dukungan. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya diskriminasi dan ketidakadilan dalam regulasi calon perseorangan yang pertama, adanya penyimpangan pada waktu proses pembentukan peraturan tentang calon perseorangan, bahwa dalam pembentukan peraturan tersebut faktor kepentingan lebih mendominasi dalam pembentukannya. Kedua, pembentuk undang-undang tidak konsisten menerapkan makna calon perseorangan, calon perseorangan harusnya dimaknai sebagai hak warga negara dalam ikut berpartisipasi dalam pengisian jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah (tetapi calon perseorangan dimaknai sebagai alternatif) dan ini harus mewujud dalam regulasi tentang calon perseorangan.

B. Analisis 1. Analisis Munculnya Calon Perseorangan dalam Pilkada

  Pemilihan umum adalah instrumen untuk mewujudkan negara yang menganut nilai-nilai demokrasi yang mampu mengartikulasikan aspirasi dan kehendak rakyat. Memahami pengertian pemilihan umum secara mendalam dapat diketahui dari tujuannya. Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum atau pemilu pada

  58

  pokoknya dapat dikemukakan ada empat hal, yaitu:

  a. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.

  c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat.

  d. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga 58 negara.

  Tjahjo Kumolo, Op.Cit, h. 82

  Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Indikator penting yang menunjukkan adanya kedaulatan rakyat adalah adanya Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan pada Pasal 1 butir 4 Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Partai politik sebagai infrastruktur politik memiliki peran yang sentral dalam demokrasi. Hal tersebut tercermin dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana partisipasi politik Warga Negara Indonesia.

  Sayangnya peran sentral tersebut sedikit demi sedikit mengalami degradasi, proses melemahnya peran partai ini sering disebut sebagai deparpolisasi. Deparpolisasi dapat terjadi sebagai akibat dari Peraturan Perundang-Undangan, putusan hakim, persepsi publik bahkan sikap amoral dari anggota partai politik. Secara historis dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa

  “Pasangan calon sebagaimana

  

dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh Partai Politik atau

gabungan Partai Politik

  ”, artinya calon kepala daerah untuk menjadi peserta Pilkada harus diajukan oleh partai politik atau koalisi partai politik, sehingga terlihat bahwa partai politik memiliki peran yang begitu dominan dalam Pilkada.

  Keadaan berubah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, yang menyatakan bahwa calon kepala daerah dari jalur perseorangan dapat menjadi peserta Pilkada. MK menafsirkan bahwa pemilihan kepala daerah yang demokratis yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berarti memberikan peluang kepada calon perseorangan untuk mengajukan diri dalam Pilkada.

  Sehingga dalam Pilkada calon kepala daerah dari jalur perseorangan dan calon kepala daerah yang diusulkan partai dapat bersaing untuk menjadi kepala daerah.Implikasi dari putusan MK tersebut adalah partai politik bukan merupakan satu-satunya sarana politik bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam Pilkada.

  Secara empiris jumlah calon perseorangan pada Pilkada serentak 2015 terdapat 156 calon perseorangan atau sekitar 57,9% dari 269 daerah. Jumlah calon perseorangan tentu saja dapat meningkat dari tahun ke tahun ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Berbagai jajak pendapat publik sejak tahun 2004 selalu menunjukkan angka party identification di kisaran 15- 20 persen saja, artinya hanya sekitar 15-20 persen masyarakat Indonesia yang merasa dekat dengan partai politik. Selain itu riset yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia yang dilakukan pada 2015 menghasilkan beberapa

  59

  beberapa temuan diantaranya adalah sebagai berikut: a.

  Secara umum warga mendukung prinsip bahwa setiap warga punya hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum Presiden, dalam Pilkada Gubernur, Bupati, maupun Walikota.

  b.

  Warga menghendaki agar pencalonan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota tidak hanya boleh partai politik tapi juga boleh oleh kelompok

  • –kelompok di luar partai maupun perorangan.

  c.

  Pencalonan hanya oleh partai politik, apakah itu dalam 59 Pemilu Presiden maupun dalam Pilkada, dipandang

  Perludem, Op.Cit, h. 63 publik sebagai pengekangan terhadap hak-hak politik warga.

  d.

  Rendahnya kepercayaan publik pada parpol meningkatkan dukungan pada gagasan calon perseorangan.

  Sehingga setelah melakukan riset tersebut Lembaga Survey Indonesia menyimpulkan beberapa hal sebagai

  60

  berikut: a.

  Setiap desain institusi politik demokratis harus diupayakan sedemikian rupa agar dekat dengan aspirasi publik sehingga punya basis dukungan dan legitimasi massa yang kuat. Bila desain institusional mempunyai basis massa yang kuat maka desain instusi tersebut akan semakin kokoh, dan demokrasi akan semakin kuat.

  b.

  Aspirasi publik nasional sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal-pasal 60 berkaitan dengan pencalonan kepala daerah hanya oleh

  h. 66 Ibid, partai politik. Putusan itu dengan demikian punya basis legitimasi populer yang kuat.

  c.

  Warga pada umumnya mendukung gagasan calon perseorangan, bahkan bukan hanya untuk posisi Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tetapi juga Presiden.

  d.

  Munculnya dukungan yang luas dari publik atas calon perseorangan tumbuh dari rendahnya kepercayaan publik pada partai politik, sementara partai adalah lembaga yang memonopoli kontestasi politik di tingkat daerah dan nasional.

  e.

  Dukungan yang luas terhadap calon perseorangan ini tidak akan muncul bila partai politik selama ini dirasakan cukup mampu memperjuangkan kepentingan konstituen mereka. Karena itu, dukungan terhadap calon perseorangan ini merupakan tantangan bagi partai agar semakin dekat dengan aspirasi publik.

  Berangkat dari temuan tersebut kami berpendapat bahwa fenomena deparpolisasi yang terjadi pada Pilkada disebabkan oleh partai politik sendiri. Praktek mahar politik, penentuan calon kepala daerah yang tidak partisipatif, sampai dengan tindakan dari kader partai yang bertentangan dengan common sense menjadi penyebab kurang dekatnya partai politik dengan masyarakat yang berujung pada deparpolisasi. Penyebab-penyebab deparpolisasi yang melanda tentu saja harus dihilangkan oleh partai politik untuk menciptakan budaya politik yang baik. Menghapuskan kebiasaan-kebiasaan buruk yang menyebabkan deparpolisasi tentu saja membutuhkan waktu yang tidak singkat, terdapat cara yang dapat ditempuh oleh partai politik untuk memperkuat perannya dan mendekatkan dengan masyarakat.

  Fungsi dari partai politik adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, sebagai sarana penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara, dan sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Terkait dengan fenomena deparpolisasi, partai politik harus melakukan perbaikan jangka panjang pada rekrutmen calon kepala daerah. Penentuan calon kepala daerah dalam sebuah partai politik harus memiliki proses dan prosedurnya harus jelas, harus bersifat partisipatif dan transparan, sehingga nantinya calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik ini berkualitas dan berkompeten.

  61 Sedangkan perbaikan jangka pendek yang dapat

  dilakukan adalah partai politik dapat bergabung dengan komunitas masyarakat untuk mengusung calon perseorangan, sehingga partai politik tidak terlalu

strict dengan mekanisme pencalonan yang dibuatnya.

61 Namun dengan syarat calon perseorangan yang diusung

  Tjahjo Kumolo,Op.Cit, h. 74 adalah calon yang berkualitas dan tidak hanya mengandalkan popularitas semata. Keputusan partai politik untuk mengusung calon perseorangan sebaiknya diawali dengan proses deliberasi antara pengurus dan anggota, sehingga langkah yang ditempuh partai politik tidak didasarkan atas konsensus elitis semata. Apabila partai politik bergabung dengan komunitas masyarakat tersebut akan terdapat manfaat-manfaat yang akan didapat oleh

  62

  partai politik, diantaranya: a.

  Partai politik dipandang masyarakat dapat mengubah citra menjadi lebih mengakomodasi aspirasi publik dalam mengusung calon kepala daerah; b. Memudahkan partai politik dalam melakukan komunikasi politik maupun sosialisasi politik kepada masyarakat, khususnya kepada relawan-relawan yang terdapat di dalam komunitas masyarakat pengusung calon perseorangan;

62 Ibid, h. 78

  Apabila kedua manfaat tersebut dapat terwujud maka peran partai politik dalam demokrasi akan kembali menguat. Bukan tidak mungkin orang-orang yang ingin mencalonkan diri melalui jalur perseorangan atau perseorangan akan berubah pikiran untuk mencalonkan diri melalui partai politik yang sangat dekat dengan masyarakat.

  Banyak orang menilai bahwa Pilkada hanyalah menghamburkan uang negara yang tidak sedikit jumlahnya, belum lagi dugaan money politic yang digunakan oleh para calon kepala daerah untuk memenuhi ambisinya menjadi kepala daerah khusunya calon yang di usung dari partai politik. Hal itu tak bisa dielakkan, mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa politik uang dalam berbagai manifestasinya, masih menjadi faktor krusial penentu kemenangan dalam pemilu. Parpol pun tak sungkan menyediakan diri sebagai kendaraan politik bagi calon gubernur dan bupati/walikota yang memiliki modal finansial besar, untuk didorong menjadi kepala daerah.

  Partai politik hanya lah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu

  ‘at the expense of the general will’. Kondisi yang

  semacam ini lah yang membuat sikap pesimisme masyarakat terhadap partai politik terlebih terhadap Pilkada itu sendiri, banyak yang beranggapan tidak memilih adalah jalan terbaik, yang sampai dengan saat ini angka partisipasi

  63 pemilih masih berkisar dibawah 70%.

  Pilkada akan menjadi sumber masalah bagi daerah

  64

  apabila:

  a. Mengutamakan Figur Public (Public Figure) atau aspek akseptabilitas saja, tanpa memperhatikan kapabilitasnya untuk menerapkan urgensi Pemerintah Daerah maupun masyarakat.

  b. Kemungkinan akan terjadi konflik horizontal antar pendukung apabila kematangan politik rakyat di satu

  63 Ibid, h. 79

  64 Ibid, h. 86 daerah belum cukup matang dan adanya kecurigaan terhadap sistem yang ada.

  c. Kemungkinan kelompok minoritas baik dilihat dari segi suku, agama, ras, maupun golongan akan tersisih dalam percaturan politik, apabila dalam kampanye faktor- faktor primordial lebih ditonjolkan.

  d. Sebagian masyarakat masih bersifat paternalistik dan primordial. Masyarakat dengan karakter seperti ini cenderung menginduk pemberian pimpinan. Artinya dominasi patron sangat kuat terhadap clientnya sehingga menyebabkan kesulitan bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya secara mandiri. Banyak kasus yang muncul akhir-akhir ini menunjukkan betapa mudah elit-elit menghasut kelompok-kelompok masyarakat.

  e. Partai-partai politik belum berfungsi baik dalam pendidikan politik (belum berorientasi pada program).

  Partai-partai politik yang eksis sekarang ini hampir semuanya tidak berorientasi pada program pendidikan politik kepada rakyat, bahkan tidak jarang aspirasi masyarakat sering dimanipulasi.

  f. Daerah tidak seluruhnya mudah dijangkau.

  g. Biaya yang dibutuhkan cukup besar, sehingga hanya calon yang memiliki dana yang cukup atau didukung oleh sponsor saja yang akan maju ke pemilihan Kepala Daerah.

  h. Parpol mengusung calon Kepala Daerah yang tidak berkualitas. i. Penegakan hukum belum berlangsung baik, sehingga sangat sulit untuk menerapkan sanksi bagi palanggarnya.

  Hal tersebut akhirnya melandasi pemikiran tentang munculnya calon perseorangan di dalam Pilkada.

  Pengalaman Pemilu 1955 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang juga memberi kesempatan kepada calon perseorangan untuk duduk menjadi anggota kontituante dan anggota DPR, ternyata telah membuktikan calon perseorangan juga menjadi pilihan rakyat dengan melihat kualitas, integritas maupun komitmennya membangun bangsa dan negara. Diantara calon perseorangan yang berhasil meraih kursi adalah R. Soedjono Prawiriseodarso untuk DPR dan L.M.

  65 Idris Efendi sebagai anggota konstituante.

  Maka idealnya, balajar dari kritik demokrasi elektoral, olak ukur kualitas Pilkada seharusnya tidak hanya pada ukuran formal-prosedural, tetapi lebih pada ukuran kualitatif dan substantif. Berikut beberapa perbedaan mendasar dari dua hal tersebut.

65 Ibid, h. 82

Tabel 3.3 Ukuran Ideal Pemilihan Umum Kepala Daerah

  Variabel Ukuran keberhasilan formal- prosedural Ukuran keberhasilan demokrasi yang kualitatif-substantif Partisipasi Kuantitas dan

  • Pemilih yang kritis. Tidak ada diskriminasi bagi pemilih.
  • Tidak ada partisipasi semu karena mobilisasi dan vote buying .
  • Kualitas kompetisi (jurdil)
  • Peluang yang sama bagi semua warga untuk dipilih (political equality)

  kualitas pemilih

  Kompetisi

  Jumlah kompetitor dan syarat formal kandidat terpenuhi

  Civil Liberties

  Secara formal diakui Tidak ada pembajakan hak- hak politik warga oleh elite

  Hasil Pilkada

  Terpilihnya kepala dan wakil kepala daerah

  • Peningkatan kualitas
  • Mendekatkan pemerintah daerah dengan masyarakat.
  • Meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat.

  responsiveness dan

  pertanggungjawaban (accountability) kepala daerah pada warga.

2. Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan

  dalam Undang-Undang Pilkada

  Pengaturan mengenai Pilkada dijalankan berdasarkan pengaturan yang terdapat dalam Undang-

  Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 59 ayat (1) disebutkan bahwa “Peserta pemilihan kepala

  

daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon

yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik

atau gabungan partai politik”. Hal ini menujukkan

  bahwa sejatinya dalam UU No. 32 Tahun 2004 mekanisme pengusulan pasangan calon Pilkada hanya dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa mekanisme demokrasi yang dibangun di Indonesia adalah berdasarkan basis parpol dan bukan perseorangan.

  Lahirnya pengaturan mengenai calon perseorangan calam Pilkada adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 dimana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pencalonan secara perseorangan sebagaimana telah lebih dahulu diatur dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh) tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Sehingga UU No.

  32 Tahun 2004 perlu menyesuaikan dengan perkembangan terbaru yaitu memberikan hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri dalam Pilkada tanpa harus melalui parpol atau gabungan parpol sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh. Lebih lanjut lagi, dalam poin [3.15.19] Putusan MK No. 55/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa “terhadap

  

perseorangan yang bersangkutan harus dibebani

kewajiban yang berkaitan dengan persyaratan jumlah

dukungan minimal terhadap calon yang bersangkutan.

Hal demikian diperlukan agar terjadi keseimbangan

dengan parpol yang disyaratkan mempunyai jumlah

wakil minimal tertentu di DPRD atau jumlah perolehan

suara minimal tertentu untuk dapat mengajukan

  

pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah.” Terkait kewajiban legilasi ini pun Mahkamah

  Konstitusi dalam poin [3.15.22} berpendapat “penentuan syarat dukungan minimal bagi calon

  

perseorangan sepenuhnya menjadi kewenangan

pembentuk undang-undang, apakah akan menggunakan

ketentuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal

  

68 Undang-Undang Pemerintahan Aceh ataukah

dengan syarat berbeda

  ”. Hal tersebut yang kemudian menjadi dasar pengaturan bagi calon perseorangan yang untuk pertama kalinya diberlakukan dalam pelaksanaan Pilkada yakni dalam perubahan Pasal 59 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004.

  Berdasarkan ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59 ayat (2a) pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :

  1. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); 2. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari

  2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 5% (lima persen);

  3. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 4% (empat persen); dan

4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari

  12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

5. Jumlah dukungan tersebut tersebar di lebih dari

  50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud Pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :

  1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);

  2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); 3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan

  1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 4% (empat persen); dan

  4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

5. Jumlah dukungan tersebut tersebar di lebih dari

  50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.

  Dukungan terhadap pasangan calon perseorangan sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Hal tersebut kemudian berubah pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang menyebabkan syarat dukungan bagi pasangan calon perseorangan dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) dinaikkan sebesar 3,5% (tiga setengah persen) dari ketentuan sebagaimana Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59 ayat (2a) dan ayat (2b).

  Kenaikan persyaratan pencalonan perseorangan tersebut kemudian ditambah juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015 diajukan oleh M. Fadjroel Rachman, Saut Mangatas Sinaga, dan Victor Santoso Tandjasa (Para Pemohon) dalam Perkara Nomor 60/PUU- XIII/2015 yang menguji Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015 karena dianggap telah merugikan hak konstitusional yang dimiliki oleh Para Pemohon. Mahkamah Konstitusi pun pada akhirnya dalam putusannya mengubah norma terkait syarat dukungan calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d yang semula menggunakan acuan “jumlah penduduk” menjadi berdasark an “daftar pemilih tetap”. Adapun dalam Pertimbangan Hukum alinea terakhir dari Putusan ini, Mahkamah menyatakan sebagai berikut:

  

“Bahwa mengingat tahapan-tahapan pemilihan kepala

daerah telah berjalan, sementara putusan Mahkamah

tidak berlaku surut (non-retroactive), agar tidak

menimbulkan kerancuan penafsiran maka Mahkamah

penting menegaskan bahwa putusan ini berlaku untuk

pemilihan kepala daerah serentak setelah pemilihan

kepala daerah serentak Tahun 2015”. Sehingga

  walaupun putusan ini diucapkan tanggal 29 September 2015, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hal ini baru bisa berlaku untuk Pilkada serentak setelah 9 Desember 2015 yakni Pilkada serentak pada 15 Februari 2017.

  Kenaikan persyaratan berbasis Daftar Pemilih tersebut telah memunculkan permasalahan terhadap semangat pemberian kesempatan calon perseorangan dalam Pilkada. Pertama, maksud dari naiknya persyaratan 3,5% dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 telah memberatkan bagi calon perseorangan yang berasal dari daerah yang jumlah penduduknya besar seperti di Pulau Jawa. Sebagai contoh Jawa Barat, ketika mengacu pada jumlah penduduknya berarti seorang calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan sebesar 1,2 juta dalam bentuk salinan KTP. Kedua, apabila didasarkan pada Daftar Pemilih Tetap, DPT dan administrasi kependudukan sampai dengan saat ini masih mengalami masalah.

  Terlebih lagi jika bukti dukungan itu berupa salinan KTP Elektronik atau surat keterangan penduduk itu dinilai terlalu pelik karena pada saat itu administrasi pendudukan masih dinilai kurang baik. Masih banyaknya pemilik KTP ganda dan KTP palsu dikalangan masyarakat menjadi hal yang cukup dikhawatirkan akan merusak esensi dari pada pemilihan kepala daerah itu sendiri yang jauh dari asas pemilihan yang sesungguhnya.

  Dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana amanat Putusan MK .

  55/PUU-V/2007, kekuasaan itu tidak habis dibagi oleh partai politik, akan tetapi perseorangan juga diberikan hak untuk ikut dalam pencalonan. Dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah partai politik bukan satu-satunya wujud partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi, akan tetapi dibuka partisipasi dengan mekanisme di luar partai politik yakni melalui jalur perseorangan. Pergeseran paradigma yang terjadi menyebabkan partai politik bukan satu-satunya akses dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, tetapi ada akses lain yakni melalui jalur perseorangan. Pergeseran paradigma tersebut tidak terlepas dari realitas baru dalam dinamika ketatanegaraan yang telah menimbulkan dampak kesadaran konstitusi secara nasional, yakni realitas pengaturan pilkada sebagaimana dipraktekkan di Aceh.

  Makna filosofi yang dapat dipelajari dari adanya calon perseorangan adalah berkaitan dengan hadirnya individu yang memiliki hakekat sebagai kekuatan yang benar-benar otonom, kehadiran calon perseorangan benar-benar menjadi stake holder utama dari proses politik dalam Pilkada. Dalam UUD 1945 dengan tegas telah dinyatakan kedaulatan sepenuhnya terletak di tangan rakyat, yang artinya kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat, yang kemudian dikenal dengan falsafah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

  Dalam falsafah yang demikian inilah, maka hadirnya calon perseorangan sebenarnya mengandung makna, bahwa bangsa Indonesia berkeinginan untuk membangun iklim dan sistem perpolitikan yang berorientasi pada kepentingan dan partisipasi rakyat dengan tetap meletakkan pertanggungjawaban kepada rakyat. Putusan Mahkamah Konstitusi . 55/PUU-V/2007 lahir sebagai akibat adanya pergeseran paradigma kekuasaan dalam Pilkada. Pergeseran paradigma ini terjadi akibat perluasan penafsiran terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, dengan memaknai bahwa kepala daerah selain dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, juga dapat berasal dari perseorangan. Sehingga pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak hanya menjadi hak parpol akan tetapi juga membuka kesempatan kepada perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.

  Dengan argumen keadilan dan kesejahteraan masyarakat, maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tentang calon perseorangan.

  Berkaitan dengan calon perseorangan, dilihat dari sudut pandang nilai-nilai demokrasi adalah suatu keniscayaan, sebagaimana Seymour Martin Lipzig

  66

  menyebutkan:

  “Hak demokrasi itu tidak boleh dibatasi oleh apapun, termasuk untuk memilih pemimpin. Berbagai pembatasan terhadap akses demokrasi itu adalah penghianatan demokrasi, padahal demokrasi itu sendiri harus memberikan kompetisi yang bebas bagi seluruh warga negara untuk bersaing pada jabatan- jabatan politik dan pemerintahan.”

  Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa dengan adanya pemilihan calon perseorangan merupakan pengejawantahan demokrasi yang sesungguhnya. Dengan begitu, persaingan politik akan memberikan semangat baru bagi setiap pasangan calon baik itu dari partai maupun non partai untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakatnya. Tentunya partisipasi masyarakat dalam hal ini juga menjadi faktor yang akan mendukung terciptanya demokratisasi yang menyejahterakan rakyat. 66 Masyarakat akan dituntut untuk memilih calon kepala

  International IDEA Institute, Desain Penyelenggaraan Pemilu: Buku Pedoman Internasional IDEA¸ Terjemahan Djohan Radi, Perludem, Jakarta, 2016, h. 14 daerahnya sesuai dengan visi dan misi yang relevan dan logis untuk menjadikan daerahnya yang sejahtera. Arbi Sanit berpendapat tentang perlunya ada calon perseorangan di dalam pemilu Indonesia. Dengan

  67

  alasannya sebagai berikut:

  a. Untuk mengoperasikan paradigma kolektivitisme (Pembukaan UUD 1945) dan paradigma individualisme (ketentuan HAM dalam UUD 1945) melalui lembaga pemilu.

  b. Lembaga calon perseorangan memberikan peluang kepada upaya orang yang tidak menjadi anggota atau simpatisan partai, untuk menggunakan haknya ikut pemilu.

  c. Partai politik sejauh ini mengalami krisis calon pemimpin sebagaimana dibuktikan dengan kesulitan memajukan calon yang berkualitas tinggi dan berkapabilitas kepemimpinan dalam kadar 67 popularitasnya.

  Arbi Sanit, Penegakan Hukum Pemilu dalam Pemilukada, LP3ES, Jakarta, 2015, h. 14 d. Hadirnya calon perseorangan mampu memotivasi partai politik untuk mengembangkan sistem kaderisasi yang efektif.

  e. Urgensi menanggulangi masalah krisis kepemimpinan. Dengan begitu lembaga calon perseorangan Pilkada akan lebih memberi harapan bagi perbaikan demokrasi dan negara.

  Menurut legal opinion dari penulis, secara normatif ketentuan dalam UUD 1945 melalui Pasal 18 (4) dan UU No. 12 Tahun 2008 Pasal 59 ayat (1) memberikan jalan bagi jalur perseorangan dan tidak memberi pembatasan jalur pencalonan hanya melalui partai politik, sehingga tidak menutup hak konstitusional warga negara dalam hal mengenai hak untuk dipilih. Namun demikian dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan atau Walikota dan Wakil Walikota, kenaikan syarat dukungan 3,5% dan berdasarkan DPT merupakan bentuk pembatasan tersendiri yang disebabkan salah satunya karena adanya putusan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki dampak langsung bagi calon kepala daerah yang berasal dari DPR, DPD, dan DPRD. Anggota DPR, DPD, dan DPRD harus berfikir ulang ketika ingin maju menjadi calon kepala daerah karena dengan adanya putusan tersebut para calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang berasal dari DPR, DPD, dan DPRD diharuskan untuk mengundurkan diri ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

  Pasal 28D (3)

  “Setiap warga negara berhak

memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan”.

  Dengan kata lain, hak untuk memilih dan dipilih tidak menentukan batasan apakah seseorang dapat dipilih dalam pemilihan melalui calon perseorangan maupun partai politik, karena esensinya adalah sama yaitu hak untuk dipilih.

  Salah satu cara untuk menilai apakah pemilu atau Pilkada yang demokratis adalah diakomodasinya oleh substansi peraturan perundangan

  • –undangan yang memberikan peluang kepada semua warga negara untuk dipilih dan memilih secara adil. Dengan diberikannya
  • – pengajuan secara perseorangan dalam Pilkada setidak tidaknya menjadi salah satu bukti terwujudnya demokrasi yang baik. Pencalonan perseorangan dalam Pilkada tidak bertentangan dengan nilai HAM dan demokrasi, namun justru mengakomodir HAM dan demokrasi itu sendiri. Pembatasan pengajuan calon hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik justru memasung HAM dan n
  • –nilai demokrasi yang terkandung filsafat bangsa.

  Dengan fakta demikian, maka pijakan pengaturan persentase jumlah dukungan bagi calon perseorangan adalah tidak boleh lebih berat dari calon jalur parpol, karena keduanya berbeda dan ia juga tidak boleh terlalu ringan supaya calonnya memang orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari basis dukungan sebagai wujud kedaulatan rakyat.

  Penentuan jumlah persentase akan mempengaruhi kemampuan seseorang yang berminat mendaftar melalui jalur perseorangan. Semakin sedikit jumlah persentase dukungan yang dipersyaratkan dalam aturan maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh calon perseorangan. Dan dengan semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka potensi mewujudkan harapan maksimalnya akan semakin terbuka lebar.

  Di negara-negara lain, jumlah dukungan untuk calon perseorangan justru sangat kecil. Alabama misalnya, calon Gubernur dari jalur perseorangan di salah satu negara bagian AS tersebut minimal harus mengumpulkan tanda tangan petisi sebanyak 3% dari total suara pemilu terakhir, bukan jumlah pemilih.

  Bahkan di South Dakota hanya 1%. Di negara-negara bagian yang tidak menggunakan formula persentase- pun, jumlah dukungannya juga relatif kecil. Maine minimal 4 ribu dan maksimal 6 ribu, Minnesota sebanyak 2 ribu petisi dukungan dan New York

  68 sebanyak 15 ribu.

  Keadilan yang eksklusif bagi individu yang terlibat dalam kontrak(UU) akan berimplikasi langsung dengan individu yang berada diluar kontrak. Hal ini berarti dalam hal menentukan formula persentase dukungan calon perseorangan tidak hanya mempertimbangkan asumsi keadilan versi pemerintah atau DPR. Akan tetapi juga pihak-pihak diluar kontrak, yakni publik. Karena baik calon perseorangan maupun jalur parpol pada akhirnya akan dipilih oleh masyarakat pemilih dalam proses pilkada. Dengan kata lain, dimensi sosiologis dengan segala keberagamannya harus dimaknai sebagai proses yang juga menentukan adil tidaknya jumlah persentase yang dipilih.

Dokumen yang terkait

BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 69

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

0 1 15

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2. Kajian Pustaka 2.1. Ruang Lingkup Wanprestasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

0 0 64

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Polisi Lalu Lintas dalam Melakukan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas untuk Mengurangi Kecelakaan: Studi Kasus di Satlantas Polres Temanggung

0 0 14

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Polisi Lalu Lintas dalam Melakukan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas untuk Mengurangi Kecelakaan: Studi Kasus di Satlantas Polre

0 0 79

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

0 0 55

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

0 0 46

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah

0 0 52