Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
BAB II LANDASAN TEORI A. Irasionalitas Irasionalitas didefinisikan sebagai perihal tidak masuk
akal. Irasionalitas juga diartikan sebagai tindakan diluar nalar.
13 Irasionalitas dalam peraturan perundang-undangan
menurut Max Weber terdiri dari 2 hal, yaitu:
14 1.
Hukum irrasional dan materiil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun
2. hukum irrasioanal dan formil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah- kaidah diluar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan.
13 Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya, Bandung,
2010, h. 347 14 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, h. 150
Irasionalitas dalam penyusunan peraturan perundang-
15
undangan juga mencakup dua hal, yaitu: 1.
Unreasonableness, yaitu peraturan yang dibentuk tidak rasional.
2. Propotionally, yaitu peraturan yang dibentuk justru misalnya membatasi hak-hak fundamental.
B. Prinsip Kesetaraan dalam Pemilihan
Hal yang sangat mendasar dari hak asasi manusia kontemporer adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Apabila perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi 15 Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2016, h. 81 terus-menerus walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan. Oleh karena itulah penting untuk mengambil
16 langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan.
Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili. Sebagai contoh, apabila seorang laki-laki dan perempuan dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar untuk perkerjaan yang sama, tindakan afirmatif dapat dilakukan dengan mengizinkan perempuan untuk diterima hanya dengan alasan karena lebih banyak laki-laki yang melamar di lowongan pekerjaan tersebut daripada perempuan. Contoh lain, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan berbagai kebijakan yang membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang non adat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Tindakan afirmatif hanya dapat digunakan dalam 16 suatu ukuran tertentu hingga kesetaraan itu dicapai, namun
Moch. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, h. 127-135 ketika kesetaraan telah tercapai maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan lagi.
Pelarangan terhadap diskriminasi adalah salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Apabila semua orang setara, seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif. Diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara. Diskriminasi langsung adalah ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan dengan berbeda (less
favourable) dari pada lainnya. Diskriminasi tidak langsung
muncul ketika dampak dari hukum atau dalam praktek hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas akan berpengaruh lebih besar
17 kepada perempuan daripada kepada laki-laki.
Diskriminasi menurut Theodorson & Theodorson adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, 17 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media,
Bandung, 2006, h. 109-117 atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan, kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwasanya diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
18 18 kehidupan lainnya.
Shaheen Muzaffar and Andreas Shedler, “The Comparative Study of
Electoral Governance, Introduction”, International Political Science Review, Vol.23 No.1, Electoral Governance and Democratization, Jan 2002, h.5Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang- undangandan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apapun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil- wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (fredoom of expressions, assembly and
19 association ).
Prinsip dasar deklarasi hak asasi manusia adalah keinginan rakyat yang diharapkan menjadi basis pembentukan pemerintahan. Oleh karena itu, setiap orang mempunyai hak 19 dasar untuk membentuk negara. Hak ini ditegaskan dalam the
Alan Wall et all, Electoral Management Design, The International
IDEA Handbook, 2006, h.65
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
khususnya pada pasal 25 yang menyatakan bahwa setiap penduduk seharusnya mempunyai hak dan kesempatan untuk memilih maupun untuk dipilih pada suatu pemilihan yang periodik tanpa ada pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, kepemilikan harta, maupun pembedaan- pembedaan lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa pelaksanaan hak tersebut dilakukan dalam suatu pemilu yang periodik yang menjamin adanya kesetaraan hak untuk dipilih maupun memberikan suara secara rahasia yang menjamin kerahasiaan dan kebebasan berekspresi politik
20 warga Negara.
Tata kelola pemilu diselenggarakan sebagai ekspresi komitmen penjaminan hak dipilih maupun memilih. Hanya saja, manifestasinya dalam penataan yang diperlukan, bisa membelok ke arah yang tidak dikehendaki. Yang jelas, upaya 20 perlindungan hak untuk dipilih dan memilih bagi warga
Thomas Zittel and Dieter Fuchs, Participatory Democracy and Political Participation, Can Participatory engineering bring citizens back in ?, Routlege, Taylor and Francis group, London and New York: 2007, h.12 negara ini tentu saja mengacu pada konsep kewarganegaraan. Lebih dari itu, pemikiran tentang electoral governance maupun electoral regime, adalah derivat dari gagasan
21 kewarganegaraan tersebut.
Oleh karena itulah perlu dikaji lebih lanjut adalah bagaimana warga Negara didudukkan dalam kerangka pengembangan tatakelola pemilih (voters governance) ataupun tatakelola pemilu (electoral governance). Hal ini penting karena kerangka fikir yang biasa dipakai dalam
literature menggunakan urutan yang terbalik. Atas dasar
pemahaman tentang regime yang ingin dibuat seperti apa atau
governance yang ingin dilaksanakan seperti apa , barulah
kewarganegaraan (citizenship) dirumuskan apa kontribusinya dan bagaimana cara berkontribusinya. Oleh karena itu, perlu kiranya dipahami bagaimana konseptualisasi kewarganegaraan dalam pemikiran electoral governance and
22 21 electoral regime .
Cornelis Lay, Involusi Politik: Esei-esei Transisi Indonesia, PLOD dan JIP Fisipol UGM Yogyakarta, , 2006, h .65 22 EE Schattschneider, The Semi Sovereign People, a realistic View of , Holt, Rinehart and Winston, USA, 1960, h. 19 Democracy in America
Dalam memahami konseptualisasi kewarganegaraan ini, banyak dikemukakan mengenai konseptualisasi kewarganegaraan menurut Civic Republican dan Liberal. Menurut Civic Republican, kewarganegaraan diartikan sebagai keanggotaan masyarakat yang bisa mengatur dirinya sendiri, tergabung dalam institusi-institusi klasik dan praktek politik klasik atau yang turut serta dalam pemerintahan.
Konsepsi klasik ini kemudian memerlukan kontrak sosial agar undang-undang yang dibuatnya bisa menjamin kebebasan
23
warga negara dan menjadi legitimasi hukum. Oleh karena itu, dalam pandangan Civic Republican ini, warga negara harus menjadi agen politik. Untuk menjadi agen politik, warga negara dianggap sudah mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam praktik- praktik politik. Sayangnya, pandangan Civic Republican ini mendapatkan kritik manakala akses kepada pengetahuan dan praktek politik yang terbatas atau tidak ada sama sekali 23 sehingga menjadi ‘agen politik’ hanyalah sebagai satu hal
Ibid, h. 21 yang menarik sesaat disamping hal-hal lain seperti misalnya fokusnnya pada kehidupan ekonomi maupun sosial. Kritik lain yang disampaikan terhadap Civic Republican adalah dalam upaya untuk melihat bagaimana fungsi kelembagaan dan praktek politik dapat berjalan dengan baik atau tidak. Untuk melihat berfungsinya kelembagaan negara itu, Elmer Eric Schattschenider pernah menyebutkan bahwa pada dasarnya banyak warga negara yang tidak menyadari apa yang terjadi dengan berbagai masalah politik, sehingga Schattscheider menyebutnya sebagai unrealistic expectation
Rakyat dianggap secara about the power of the people. realistis sebagai “ a semi sovereign people” karena hanya sanggup mengasah kewenangannya pada beberapa hal.
Sementara itu, pemerintah negara dianggap sebagai kekuatan yang lebih realistik, ternyata juga mengandung unsur-unsur yang tidak demokratis. Oleh sebab itu, meskipun banyak persoalan yang harus ditangani, keberadaan pemerintah dianggap bisa menjadi sarana agar demokrasi dapat
24 dilaksanakan .
Sementara itu dalam pandangan liberal, setiap warga negara mempunyai status hukum yang menjamin kebebasan politiknya. Dalam pandangan liberal, kebebasan politik adalah sesuatu yang secara konstan harus diperjuangkan. Hal ini tidak hanya soal kebebasan politik tetapi termasuk upaya- upaya untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan berpolitik. Dalam hal ini, merujuk pada pendapat Michael Walzer, hak politik dan perlindungan terhadap hak politik harus dipertahankan, harus diamankan meskipun terkadang bertentangan dengan penguasa. Meskipun warga negara bisa jadi hanya pasif, tetapi mereka tetap harus diberi pengetahuan mengenai hak-hak politik. Dengan demikian, kebebasan politik sebagai hal utama yang harus dilakukan terus
25 24 menerus.
Goul J. Andersen dan Jens Hoff. Democracy and Citizenship in . Palgrave, New York, 2001, h. 2-3 Scandinavia 25 Michael Walzer, What Rights for Illiberal Communities dalam Daniel
A Bell and Avner de-Shalit (Ed), For ms of Justice. Critical Perspective’s on David Miller’s Political Philosophy, Rowman and Littlefield Publishers.Inc,
United Kingdom, 2003, h.126- 131
Kontestasi antara pandangan kaum liberal dan Civic Republican ini yang menimbulkan friksi didalam prakteknya.
Satu sisi, karena pandangan kaum Civic Republican cenderung mempercayai efektifitas bekerjanya institusi dan praktek politik klasik, maka hal ini membawa konsekuensi yang dilakukan pemerintah cenderung mengeksploitasi pendekatan konservatis dimana pemerintah dipercaya mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Karena hal itulah, pemerintah tidak membuka kritik karena menganggap ketika undang-undang dirumuskan dengan kemauan dan kesepakatan bersama untuk menjamin kebebasan warga negara, maka dengan demikian undang-undang tersebut dianggap legitimate dan bisa menjadi sumber legitimasi setiap tindakan pemerintah. Sementara itu, disisi lain, pandangan kaum Liberal yang selalu menekankan arti pentingnya menjaga kebebasan politik dan upaya-upaya untuk menghormati hak-hak individu, mempercayai bahwa undang- undang meskipun dihasilkan dari general will, undang- undang perlu disesuaikan sedemikian rupa sehingga bisa merespon kebutuhan kontemporer. Inilah yang menjadi sumber perdebatan, karena disatu sisi kalangan civic republican tidak memberi akses yang leluasa bagi aktifitas politik khususnya dalam formulasi undang-undang, di satu sisi yang lain, kalangan kaum liberal percaya bahwa politik itu netral dan menghendaki agar undang-undang bisa fleksibel menyesuaikan kebutuhan kontemporer sehingga kebebasan
26 politik warga negara selalu dapat dijamin.
Literatur electoral regime dan electoral governance menyikapi persoalan kewarganegaraan dalam kerangka penjaminan peluang untuk menduduki jabatan publik melalui proses kontestasi. Yang menjadi fokus utamanya bukan pada hal yang paling mendasar, yakni pola relasi antara negara dan warga-negara. Dengan kata lain, pemilu diperlakukan sebagai peluang untuk melakukan transformasi diri warga negara untuk menjadi pejabat publik, bukan memperlakukan pemilu sebagai upaya untuk menghargai kedaulatan warga negara. Oleh karena orientasi ini, pemilu lebih diatur sebagai suatu 26 Ibid, h. 132 mekanisme prosedural agar transformasi warga Negara menjadi pejabat publik dapat berjalan dengan baik. Karena orientasi inilah, fokus penataan hubungan antara warga Negara dengan Negara tidak pernah menjadi bahasan. Seolah- oleh hubungan antara warga Negara dengan Negara sudah ‘given’ dan sempurna sehingga tidak perlu dilakukan penataan ulang. Kalaupun ada penataan ulang, jangkauannya sangat terbatas pada mekanisme internal, dan tidak tersentuh
27 oleh pihak eksternal.
Dalam pemikiran mengenai kewarganegaraan terdapat dua pemikiran mainstream yaitu pemikiran model Civic
Republicanism dan model Liberalism. Pada awal pembahasan
mengenai pemikiran kewarganegaraan berkutat pada dua model ini, meskipun dalam perkembangannya ada yang menyebut Communitarian maupun Neo Civic Republicanism
28 sebagai pengembangan dari Civic Republicanism.
Model civic republicanism diusung oleh Aristotles, 27 Nicolo Machiavelli dan Rousseau, sedangkan model 28 Ibid, h. 133 Ibid, h. 134
democratic liberalism digagas oleh John Lock, John Stuart
Mill, Thomas Hobbes, Amy Gutmann dan John Rawls.Penganut model civics republicanism mengajarkan bahwa kepentingan masyarakat, kebaikan bersama dan kepentingan publik adalah di atas kepentingan individu. Hak dan kewajiban individu diturunkan dari pemahaman tentang publik. Hal ini seperti diterangkan oleh Vontz sebagai berikut:
29 For civic republicans, participation in political life on
behalf of common good is superior to the individual and private pursuits of family and profession, and freedom for community outweighs individual rights to liberty. Civic republicans do not rest their theory on autonomous individual, but the shared autonomy of the community. Acting alone, individuals have little or no power to effectively address social problems pertaining to peace, economic prosperity, the quality of the natural environment and so forth. Such problems require
individuals acting together for the common good
Model civic republicanism menekankan pentingnya “public life of the interests of community”. Dalam imajinasi penganut model ini, individu tidak bisa berbuat apa-apa kecuali bertindak bersama-sama atau memperjuangkan 29 Thomas Vontz. We Project Citizens. USAID, Washington, 2000, h. 38 kepentingan umum. Model ini menekankan pentingnya kehidupan bermasyarakat atau “general will”, tetapi juga memperhatikan kepentingan individu. Dalam kenyataannya kepentingan bersama dan kepentingan individu tidak bisa dipisahkan.
“By helping to produce the general will through participation in society, citizens guarantee protection of their 30 rights”.
Sebaliknya, pemikiran politik yang menjadi acuan penataan dan pengkondisian dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia mengacu pada model model democratic
. Model ini menekankan pada otonomi individu,
liberalism
kemerdekaan dan kebebasan individu sebelum kepentingan bersama atau kemauan bersama. Sejak dari awal, individu dibayangkan sebagai aktor yang otonom, dan oleh karena itu, mereka dengan serta-merta siap diperankan sebagai pemilik
31
dan pengguna hak. Rawls mengatakan bahwa:
As free persons, citizens recognize one another as 30 having the moral power to have a conception of the 31 Ibid, h. 40
John Rawls, Kantian Constructivism in Moral Theory, Journal of
, h.544Philosophy (September 1980)
good. This means that they do not view themselves as inevitably tied to the pursuit of the particular conception of the good and its final ends which they espouse at any given time. Instead, as citizens, they are regarded as, in general, capable of revising and changing this conception on reasonable and rational grounds. Thus it is held to be permissible for citizens to stand apart from conceptions of the good and to survey and assess their various final ends
Lebih dari itu, selama ini diasumsikan bahwa setiap individu adalah merdeka dan memiliki hak-hak tertentu yang memerlukan perlindungan. Untuk itu setiap individu harus memasuki ‘kontrak’ demi terbentuknya pemerintahan yang dapat melindungi hak-hak individu, kemerdekaan dan kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu. Tentang hal hal
32
ini, Vontz juga menjelaskan sebagai berikut:
Thus, they make a social contract that creates civil
society and government by consent of the governed to
guarantee their rights. Participation in public life is not
primarily for common good, but for protection of personal
liberty and pursuit of one’s self-interest. Therefore, liberalstend to emphasize the rights of citizenship against the power
of government and society which citizens create and maintain
to serve them. Individuals are free to choose, within
reasonable limits that prelude interference with other
people’s rights, their own particular conception of the good
life. From the liberal perspective, a good society is one in
32 Thomas Vontz, Op.Cit, h. 42which individuals are free to choose their own values and ends
Secara normatif dapat dipahami bahwa, untuk melindungi hak-hak, kebebasan dan kemerdekaan individu, pemerintah dalam memerintah kehidupan publik harus memiliki kekuasaan terbatas. Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh implementasi dari prinsip konstitusionalisme, rule of law dan prinsip-prinsip masyarakat sipil. Dengan demikian muncul serangkaian undang-undang yang mengatur kehidupan berbangsa bernegara. Hak sipil adalah hak seseorang warga (civil/civis) untuk menikmati kebebasan dalam berbagai hal, sebagai contoh mobilitas sosial dan menjaminan keselamatan dirinya (dari penangkapan dan penahanan yang sewenang- wenang dan dari penyiksaan-penyiksaan oleh aparat negara), atau pun untuk tidak dihukum tanpa proses peradilan yang jujur dan tak memihak. Hak untuk berkumpul dan berserikat serta hak untuk mengeluarkan pendapat adalah hak politik yang dijamin oleh pemerintah yang baik. Oleh karena itu, negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada hak warga negara ini. Dalam konteks studi ini, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi pelaksanaan hak
33 politik setiap warga negara tanpa kecuali.
Dalam telaah lain dikatakan bahwa hak warga negara adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh warga negara guna melakukan sesuatu sesuai peraturan perundang- undangan. Dengan kata lain hak warga negara merupakan suatu keistimewaan yan menghendaki agar warga negara diperlakukan sesuai keistimewaan tersebut. Sedangkan kewajiban warga negara adalah suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan oleh warga negara dalam kehidupan bermasyarkat berbangsa dan bernegara. Kewajiban warga negara dapat pula diartikan sebagai suatu sikap atau tindakan yang harus diperbuat oleh seseorang warga negara sesuai
34 keistimewaan yang ada pada warga lainnya.
Dalam diskursus liberal, hak individu menjadi basis dari suatu pendefinisian mengenai kehidupan yang baik dalam 33 masyarakat. Diskursus ini berangkat dari pengakuan terhadap 34 Hans Kelsen, Op.Cit, h. 67
Moch Mahfud M.D. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001,
h. 24-25
hak-hak individu, dan perlindungan negara terhadap setiap
47
hak yang melekat pada individu yang ada. Oleh sebab itu, individu dibebaskan untuk melaksanakan hak politiknya.
Namun dalam konteks ini terkadang negara lupa, bahwa proses perubahan dari yang semula banyak tergantung pada feeding pemerintah atau dominasi kontrol oleh pemerintah, menjadi proses yang memberikan penghargaan pada kebebasan individual, pemerintah sebagai representasi negara menganggap bahwa warga negara secara otomatis sudah mengerti akan hak dan kewajibannya. Sebagai hasilnya, pembuatan kebijakan negara tidak memberi perhatian pada munculnya informed citizen karena sudah mempunyai pemahaman yang baik tentang demokrasi (enlightened
) yang menjadi unsur penting mengenai sukses
understanding
35 tidaknya prosesi politik di suatu negara.
Dalam rumusan liberal, partisipasi aktif di dalam ruang publik diganti oleh aktivitas politik yang bernalar sangat 35 individual dan instrumental. Seperti yang dijelaskan oleh
Ibid, h. 26 Sandel, penekanan liberal pada hak dan kebebasan individu telah melemahkan ikatan sosial warga yang menjadi basis penting untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Dalam kondisi tersebut, mekanisme politik pun dibingkai dalam partisipasi yang bersifat instrumental di dalam pemilu. Mekanisme pemilu yang hanya menekankan pada metode politik untuk memilih elit yang diyakini akan mewakili dan bekerja di dalam negara untuk memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara telah mereduksi politik hanya sebagai mekanisme yang bersifat instrumental yang secara potensial dapat melahirkan individu-individu yang pasif. Hal ini berbeda dengan yang dibayangkan penganut model republikan. Dalam diskursus civil republicanism, penekanan pada identifikasi dalam komunitas abstrak yang substantif cenderung
36 melahirkan politik otoritarian.
Perjalanan electoral governance yang berlangsung di Indonesia tidaklah statis. Dari waktu ke waktu, terjadi tranformasi. Pada waktu Orde Baru, kebebasan warga negara 36 Ibid, h. 29 dalam menggunakan hak pilihnya dibatasi hanya untuk memilih salah satu dari tiga partai politik yang mengikuti kontestasi. Kontestasi pun dikendalikan seutuhnya oleh pemerintah otoriter, yang mengarahkan prosesi pemilu untuk memenangkan dan memberikan justifikasi kepada elit. Pola ini seiring dengan bergulirnya reformasi, telah berubah ke pemberian kebebasan kepada pemilik hak yaitu warga negara yang ditandai dengan dibukanya kran-kran berpartisipasi dalam politik seluas-luasnya dengan pendirian banyak sekali partai baru yang menjadi kontestan pada pemilu era reformasi.
Yang menonjol adalah manifestasi model liberal. Ukuran- ukuran yang dipakai adalah yang diturunkan dari pemikiran yang mengedepankan individualitas, dan kewarganegaraan
37 telah dihadirkan sebagai ukuran-ukuran instrumental.
Jelasnya, manifestasi dari model di atas adalah kuatnya pemahaman dasar, bahwa hak memilih maupun dipilih merupakan hak individual. Oleh karena itu, seseorang dibebaskan untuk menggunakan atau tidak 37 Cornelis Lay, Op.Cit, h. 27 menggunakan hak politik yang melekat pada setiap individu tersebut. Dalam pandangan liberal, bagi individu yang tidak mau atau sengaja tidak menggunakan hak politiknya, dapat merupakan refleksi atas sikap politik individu tersebut, yang memprotes kebijakan tertentu. Sebagai konsekuensi dihargainya hak politik sebagai hak individu, maka negara yang menganut faham ini akan cenderung menerapkan politik dimana memilih adalah bersifat sukarela (voluntarily). Dalam pandangan liberal, pendidikan politikpun diarahkan pada konten tentang hak politik warga negara, pengembangan kapasitas individu misalnya tentang berpikir kritis, bertoleransi, menghormati dan untuk memberikan perlindungan terhadap hak masing-masing warga negara. Dengan kerangka penalaran sebagaimana dipaparkan di atas, pemilu di Indonesia, dibayangkan sebagai ekspresi kesukarelaan. Meskipun di masa lalu pernah mengalami dinamika sebagai suatu hal yang di mobilisasi (mobilized
participation ) yaitu pada masa Orde Baru. Oleh karena itu,
angka kunjungan ke tempat pemungutan suara pada masa Orde
Baru sangat tinggi. Tingginya kunjungan ke bilik suara pada masa Orde Baru ini menunjukkan pola institusionalisasi politik yang dipaksakan, sehingga sebenarnya rakyat tidak menikmati kebebasan penggunaan hak politiknya. Kondisi partisipasi politik itu berubah seiring dengan proses transisi yang ditandai dengan bergulirnya reformasi tahun 1998. Setelah reformasi ini, kehidupan demokrasi lebih marak dengan dibolehkannya pendirian partai politik baru. Rakyat mempunyai keleluasaan untuk memilih afiliasi politiknya. Sayangnya, reformasi yang terjadi, hanya ada pada tataran yang mendukung proses transformasi warga Negara menjadi pejabat public, bukan dalam rangka memastikan terlindunginya warga Negara
38 sebagai pemilik kedaulatan.
Mengutip Dahl tentang 5 ciri-ciri demokrasi ideal sebagaimana tersebut diatas, negara mempunyai kewajiban untuk mengusahannya. Kompleksitas upaya untuk dapat mewujudkan demokrasi ideal biasanya menemui tantangan dari kondisi geografis, demografis, besarnya negara, dan 38 Ibid, h. 32 pluralitas yang ada dalam suatu negara. Hal ini yang kemudian mempengaruhi munculnya pemikiran rentang kontrol dan kewenangan, apakah terpusat atau terdesentralisasi. Secara lebih detail, Dahl mengungkapkan bahwa dalam suatu negara demokrasi seharusnya ada 7 hal seperti di bawah ini:
39
1) Adanya kontrol terhadap desain kebijakan pemerintahan yang melekat pada calon yang terpilih.
2) Calon yang terpilih dipilih dari suatu pemilu yang berkala dan pemilu yang bebas.
3) Pada dasarnya semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemilu
4) Pada dasarnya semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih dan duduk dalam pemerintahan. Dalam hal ini, dapat diberlakukan pengaturan mengenai syarat umur yang lebih tinggi ketimbang syarat umur pemilih.
5) Warga negara mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan hak politiknya tanpa takut adanya tekanan dalam segala bentuk.
39 Robert A. Dahl. Dilemmas of Pluralist Democracy, Autonomus vs
Control , Yale University Press , 2000, h. 5
6) Warga negara mempunyai hak untuk mencari sumber informasi dan dilindungi oleh hukum.
Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Oleh karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apapun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislative dan eksekutif. Hak-hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedom of expressions,
40
assembly and association ).Rawls dalam bukunya The Theory of Justice 40 menyatakan bahwa tatanan yang adil ini perlu dibakukan
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 127 dalam struktur tertentu. Pengaturan-pengaturan harus dilakukan sedemikian rupa agar individu dapat mempergunakan itu sebagai pedoman bertindak. Pengaturan, dalam pandangan normative political theory Rawls, menjadi hal yang harus ada agar tercipta keadilan.
Oleh karena itu munculnya praktek-praktek berdemokrasi didasari keinginan untuk menciptakan keadilan, membuat formulasi atas struktur lembaga dan pengaturan-pengaturan lain yang menjadi dasar bertindak bagi individu-individu dalam suatu Negara, termasuk didalamnya memberikan jaminan hak untuk dipilih dan memilih secara adil.
Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan itu perlu dibakukan demi mendapatkan berbagai kepastian, termasuk kepastian prosedur. Muara penataan itu adalah apa yang kita kenal sebagai agreement of procedure.
Dalam konteks inilah kita memahami pemilu sebagai manifestasi dari gagasan procedural justice. Oleh karena pertimbangan di atas, kajian ini perlu menelaah pengaturan-pengaturan tersebut, khususnya menelaah logika yang tersirat dibalik pengaturan-pengaturan itu. Hilangnya sense penjaminan hak untuk dipilih dan memilih, dalam hal ini, terjadi manakala ada loncatan logika dibalik pengaturan-pengaturan yang dilakukan.
Memang, ada banyak kritik disampaikan kepada Rawls yang lebih menekankan pentingnya menyetujui munculnya agreement on procedures dari pada mempercayakan nasib publik kepada pemerintah. Pandangan Rawls ini berseberangan dengan pandangan Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan, yang secara terang-terangan menghargai perilaku pemerintahan maupun konstitusi dengan memungkinkan adanya tatanan politik yang baik. Hobbes memuji pemerintah yang adil dan berdasar hukum, yang diarahkan untuk kepentingan bersama. Dalam konteks inilah, menurut Hobbes, perlu adanya suatu institusi yang menjamin terlaksananya tatanan politik yang baik antara lain dengan pelembagaan pemilu sebagai bagian pokok untuk mewujudkan
41 kedaulatan rakyat.
Sebagaimana telah di sinyalir dalam pembahasan di atas wacana kepemiluan di Indonesia memberikan bobot pada prosedur tersebut untuk lebih memperhatikan hal substantif yang dianggap sebagai ‘moral” dari sekedar hal- hal yang sifatnya prosedural. Dalam konteks studi ini, dapat dirumuskan dugaan bahwa kecenderungan untuk menempatkan tertib prosedural sebagai hal yang lebih mengemuka, dan melupakan hal substantif yaitu perlindungan hak pilih maupun dipilih warga negara, telah menyebabkan penyelenggara pemilu terjebak pada perumitan dan formalisme dan melupakan esensi pemilu sebagai upaya untuk menjamin hak untuk dipilih dan memilih warga negara.
41 Ibid, h.129
C. Pemilihan Kepala Daerah
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis
”. Hal tersebut sangat sesuai dengan nafas demokrasi yang merupakan sistem politik yang menetapkan kekuasaan dari oleh dan untuk rakyat sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu
42
pencetus ajaran trias politica.Makna demokratis dari Pasal 18 ayat (4) UUD Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dinamika tersendiri. Undang-Undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menerjemahkan makna demokratis tersebut dalam mekanisme demokrasi perwakilan dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD. Pemahaman ini sejalan dengan pendapat Sri Soemantri yang mengatakan bahwa demokrasi 42 Tjahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, Expose, Bandung,
2015, h. 81 mempunyai dua macam pengertian yaitu formal dan material. Realisasi pelaksanaan demokrasi dalam arti formal terlihat dalam UUD 1945 yang menganut paham indirect
democracy, yaitu suatu demokrasi dimana pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga- lembaga perwakilan
43
rakyat. Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 menerjemahkan makna demokratis tersebut kedalam mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka keran
44
pencalonan pasangan kepala daerah melalui tiga jalur yaitu: 1.
Partai atau Gabungan Partai yang memperoleh kursi di DPRD;
2. Gabungan Partai yang tidak memperoleh kursi di
43 DPRD;
Tjahjo Kumolo, Stabilitas Keamanan dan Kepastian Tegaknya
Kemendagri, Hukum Menjamin Kesinambungan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2017, h. 11 44 Tjahjo Kumolo, Op.Cit, h. 823. Calon perseorangan yang mendapat sejumlah dukungan dari pemilih.
Sejak Indonesia merdeka, dalam sejarah sistem perekrutan ataupun pemilihan kepala daerah, sudah cukup banyak mengeluarkan peraturan tentang pemilihan kepala daerah. Dari semua aturan yang telah dibuat tersebut dapat dikelompokkan sesuai periode dan sistem penyelenggaraan pemilihannya. Periode dan sistem pemilihan tersebut dapat
45
digolongkan menjadi tiga yaitu: 1.
Periode penunjukan Gubernur oleh Presiden atas usulan beberapa calon oleh DPRD Provinsi, sedangkan Bupati/Walikota ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri melalui usulan beberapa calon oleh DPRD kabupaten/kota.
2. Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali kota melalui pemilihan di DPRD provinsi,kabupaten/kota.
3. Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali kota secara langsung. 45 Pemilihan kepala daerah selalu didahului terbitnya
Rambe Kamarul Zaman, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak.
Expose, Jakarta, 2016, h. 18 peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum penyelenggaraan. Dalam tatanan implementasi terdapat beberapa kali perubahan peraturan yang mengatur hal tersebut. Setiap ditetapkannya peraturan tentang pemilihan kepala daerah tentu akan memberi warna tersendiri terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Hal tersebut terjadi karena undang-undang yang baru merupakan perbaikan ataupun perubahan dari undang- undang sebelumnya. Dari beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan yang terjadi, maka peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dapat dikelompokkan pada periodisasi waktu dan cara pemilihannya. Periodisasi sistem pemilihan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Periodisasi Pemilihan Kepala Daerah46 Periode Sistem Pemilihan Kepala
Daerah
DasarHukum
Periode Penunjukan
Periode penunjukkan Gubernur oleh Presiden atas usulan beberapa calon oleh DPRD Provinsi, sedangkan Bupati/ Walikota ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri melalui usulan beberapa calon oleh DPRD kabupaten/kota
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 22 Tahun1948 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Undang-Undang Nomor 5 Tahun1974
Periode Pemilihan
Perwakilan Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali kota melalui pemilihan di DPRD provinsi, kabupaten/kota
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Periode Pemilihan Langsung
Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali kota secara langsung
Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 1Tahun 2015 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 46 Perludem, Evaluasi Pilkada Serentak 2015, Perludem, Jakarta, 2015, h.
43
Tabel tersebut menggambarkan bahwa pemerintah mencoba untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas undang-undang yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk potret dari wajah eksekutif dan legislatif di Indonesia dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Hal ini didukung pula dengan semangat otonomi daerah yang telah digulirkan pada tahun 1999. Oleh karena itu, sejak 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara langsung, baik ditingkat provinsi, maupun kabupaten/kota. Penyelenggaraan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil ”.
Pasangan calon yang akan berkompetisi dalam Pilkada adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik
47 atau gabungan partai politik.
Pilkada masuk ke dalam rangkaian Pemilu setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pada tahun 2008, tepatnya setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasangan Calon yang dapat turut serta dalam pemilihan kepala daerah tidak hanya pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tetapi juga dari perseorangan.
D. Calon Perseorangan dalam Pilkada
Tindak lanjut atas Keputusan Mahkamah Konstitusi 47 tentang calon perseorangan adalah syarat pencalonan, baik
Ibid, h. 87 berupa syarat administratif/teknis maupun syarat-syarat subtantif. Selain itu penting juga dicermati mekanisme pendaftaran, verifikasi syarat dan berkas pendaftaran, pengaturan terkait dana kampanye bagi calon perseorangan, serta sanksi pelanggaran terkait calon perseorangan. Secara umum pengaturan syarat (pencalonan) calon perseorangan ini setidaknya harus mempertimbangkan pemikiran sebagai berikut:
48 1.
Calon perseorangan harus memberikan kontribusi positif dalam rangka perbaikan sistem politik (dan juga sistem kepartaian). Hadirnya calon perseorangan seharusnya tidak dipandang secara parsial apalagi dihadap- hadapkan dengan partai politik. Keduanya, baik partai politik maupun calon perseorangan, harus dilihat dalam perspektif yang integral sebagai faktor penting dari bangunan sistem politik di Indonesia. Sehingga regulasi terhadap calon 48 Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal. 61 perseorangan sama pentingnya dengan regulasi terhadap partai politik.
2. Calon perseorangan harus dapat mengonfirmasi fungsi-fungsi politik seperti fungsi agregasi kepentingan, fungsi komunikasi politik, dan lain-lain. Artinya calon perseorangan juga harus terlembaga secara baik agar memiliki kontribusi dalam penguatan sistem politik; 3. Calon perseorangan harus jelas akuntabilitasnya dalam sistem demokrasi yang sedang dibangun.
Kalau tidak, bisa saja calon perseorangan hanya akan mengulangi kesalahan yang sering dialamatkan kepada partai politik, yaitu kecenderungan mangabaikan kepentingan masyarakat untuk sekedar ambisi kekuasaan.
4. Terkait syarat dimaksud, harus ditegaskan bahwa calon perseorangan bukan sebagai anggota partai politik, dalam jangka waktu tertentu, sebelum pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Calon perseorangan bukan sebagai anggota partai politik sekurang-kurangnya 3 tahun sebelum pendaftaran calon.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon tersebut diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan tertentu yang telah disebutkan dalam Undang- Undang. Adapun syarat secara umum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 adalah
49
sebagai berikut: 1. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan 49 tingkat atas atau sederajat.
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang4. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; 5. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim; 6. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
7. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 8. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; 9. menyerahkan daftar kekayaan pribadi; 10. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
11. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 12. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;
13. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil