REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA MODERNISASI DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU Rini Efri Leni

  Kajian Linguistik, Februari 2015, 138-160 Tahun ke-12, No 1 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

  

REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

MODERNISASI DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU

Rini Efri Leni

  

  

Asmyta Surbakti, Siti Norma Nasution

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

  

Abstrak

  Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengarang merepresentasikan masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi. Karya sastra sebagai objek penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data berupa prilaku yang diamati dari tokoh dalam novel. Penganalisisan merupakan penerapan dari teori sosiologi sastra dan teori perubahan sosial terhadap karya sastra.Objek penelitian adalah novel Pincalang karya Idris Pasaribu, bercerita tentang perjalanan hidup orang-orang Pincalang (orang perahu) di pesisir pantai barat Pulau Sumatera. Mereka adalah penjaga habitat laut, termasuk kayu bakau dan terumbu karang, serta diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Sumber data berupa data primer dari teks novel, didukung oleh data sekunder berupa sumber-sumber lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku, dokumentasi, hasil kajian sastra, serta wawancara dengan pengarang dan beberapa informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengarang merepresentasikan masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam upaya menjaga kearifan lokal di tengah benturan tradisional dan modernisasi. Pelestarian alam yang dilakukan oleh Amat dan keluarganya turun temurun, tidak lagi dapat terjaga, karena banyak nelayan kapitalis hanya mengeksploitasi hasil laut, sehingga masyarakat Pincalang perlahan punah. Penelitian ini diharap dapat merevitalisasi kearifan lokal yang pernah ada.

  

Kata kunci: representasi, pincalang, modernisasi, hegemoni, kapitalisme

REPRESENTATION OF PINCALANG COMMUNITY IN FACING

MODERNIZATION ERA IN THE NOVEL PINCALANG BY IDRIS PASARIBU

  

Abstract

The matter in this research is how the authors represent the Pincalang

people in the age of modernization in Pincalang novel by Idris Pasaribu.

  

This research aims to describe the attempts of Pincalang people to keep

their local wisdom trough modernization. Literature as the object of this

research using qualitative methods that produce data in the form of the

  

observed behaviour of the characters in the novel. Analyzing an application

of sociological theory and social-changing theory to the literatures. The

object of this research is Pincalang novel by Idris Pasaribu, tells the journey

of life of Pincalang people (the boat-man) on the west coast of Sumatera

Island. They are the keepers of marine habitats, including coral reefs and

mangrove wood, and are taught by local wisdom to keep the sea in order to

get the best from nature. Sources of data in the form of primary data is taken

from novel texts, supported by secondary data sources such as oral and

written acquired from books, documentations, results of the study of

literature, as well as interviews with the author and several informants. The

results showed that the author represents Pincalang people facing the

modernization and efforts to keep the local wisdom in the midst of the clash

of traditional and modernization. Natural preserving by Amat and his family

for generations, no longer can be maintained, because many capitalist

fishermen simply exploiting the sea, so that Pincalang people slowly become

extinct. This research is expected to revitalize the local wisdom that ever

existed.

  

Keywords: representation, pincalang, modernization, hegemony,capitalism

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Karya sastra merupakan representasi realitas sosial dalam kajian sosiologi sastra.

  Realitas itu hadir dalam karya sastra dengan objeknya adalah realitas faktual masyarakat melalui kreativitas pengarang yang mempelajari sastra sebagai dokumen sosial dan sebagai potret kenyataan sosial. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual, melainkan juga dapat mengidentifikasi dan mengenali perilaku kelompok masyarakat serta merekam terjadinya perubahan sosial suatu kelompok masyarakat.

  Faruk (2013: 51) menjelaskan bahwa karya sastra dapat menggambarkan objek- objek dan gerak-gerik yang berbeda dari objek-objek dan gerak-gerik yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi cara strukturasinya atas objek dan gerak-gerik itu, karya sastra dapat memperlihatkan persamaan dengan cara strukturasi dalam dunia sosial. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai fotografi, melainkan sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas secara jujur, objektif, tetapi juga dapat mencerminkan kesan realitas subjektif. Oleh karena itu, sebuah karya sastra merupakan cerminan realitas yang lebih lengkap dan kompleks daripada cermin realitas itu sendiri.

  Sastra sebagai dokumen sosial menjadi perhatian Ratna (2007: 389) yang menyatakan bahwa sastra warna lokal memerlukan data khusus dalam bentuk fakta-fakta sosial sesuai dengan semesta yang diacu. Ini menunjukkan bahwa data yang akurat mengenai fakta-fakta sosial dibutuhkan oleh seorang pengarang untuk diangkat dalam karyanya. Hal itu terjadi karena setiap fenomena sosial yang ada di masyarakat merupakan indikator dan menjadi objek penciptaan karya sastra. Realitas sosial dalam hal ini merupakan bahan dasar yang kemudian diolah sedemikian rupa dengan kombinasi imajinasi dan intelektualitas pengarang sehingga menjadi sebuah karya. Karya yang dihasilkan tidak hanya bersifat menghibur, tetapi sekaligus juga bermanfaat. Dengan cara ini dapat dibuktikan ungkapan yang menyatakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat.

  Hasil karya sastra berupa novel diciptakan pengarang tidak terlepas dari tiga hal, seperti yang digambarkan Wellek (1989: 23). Pertama, melalui pengarang. Pada sudut

  Rini Efri Leni

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  pandang ini novel adalah cerminan dari pengalaman pengarang yang bercampur dengan imajinasinya namun bisa juga tidak. Kedua, merupakan representasi fenomena di masyarakat. Sudut pandang ini memperlihatkan bagaimana novel mampu menjadi alat penyampai informasi atau fenomena di masyarakat. Ketiga, dampak karya sastra terhadap pembaca. Pada sudut pandang ini, suatu karya sastra akan berdampak pada masyarakat dan sejauh mana dampak tersebut mempengaruhi masyarakat atau pembaca.

  Representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial melalui pengarang sebagai kreator. Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2007: 61). Sedangkan menurut Sumardjo (2006: 76), representasi mengandung pengertian penghadiran karya seni oleh seniman. Istilah representasi dalam seni muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa seni sebetulnya hanyalah merupakan cerminan gambaran, bayangan, atau tiruan (imitasi) kenyataan. Dalam konteks ini representasi seni diartikan sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan.

  Sesuai pengertiannya, model representasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini mengacu pada representasi pendapat Sumardjo, bahwa representasi adalah penggambaran atau pencerminan dalam novel yang melambangkan kenyataan. Objek penelitian ini adalah karya sastra Indonesia berupa novel yang sarat dengan aspek-aspek kemanusiaan dan gambaran realitas, yakni novel Pincalang karya Idris Pasaribu, cetakan pertama yang diterbitkan oleh Salsabila Pustaka Alkautsar, April 2012.

  Pengarang menulis novel ini dengan mengambil latar daerah Sibolga, di pesisir Pantai Barat Sumatera. Tokoh utama dalam novel ini adalah Amat sebagai orang Pincalang yang hidup mengelilingi lautan dari pulau ke pulau, membuat arang dari kayu bakau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan dan membuat ikan asin. Di atas Pincalang Amat dilahirkan, belajar shalat dan belajar mengaji dari ibunya. Ayahnya juga mengajarkannya menaik-turunkan layar, mengemudikan perahu, melihat bintang, merasakan angin, belajar mencium bau karang, dan belajar membaca tanda-tanda alam di lautan. Amat merupakan sosok seorang Pincalang yang diajarkan oleh kearifan lokal dalam menjalani hidupnya di atas perahu. Ia selalu menjaga dan melindungi alam sekitarnya dengan menanami pohon bakau, pohon kelapa, dan menjaga biota laut, terumbu karang lainnya, seperti yang tergambar dari kutipan novel berikut:

  “Isi laut tidak akan pernah habis, asal kita mau menjaganya dengan baik,”, Amat memberikan nasihat. “Itu sebabnya orangtua selalu mengajarkan kita untuk menanami bakau dan terumbu karang di habitatnya”. Melihat karang-karang yang rusak, mereka tanami dengan yang baru. Melihat bakau yang tertebang dan mulai bertunas, mereka jaga dengan baik. Kapal-kapal kayu dan Pincalang yang tidak mereka kenal bahasanya dan berbeda kulit dengan mereka, diusir dari pulau-pulau kecil yang berserakan di dekat mereka. (Pincalang: 123). Sibarani (2012: 112) menyatakan bahwa, kearifan lokal atau kearifan setempat

  (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan, karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun temurun diwarisi atau dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.

  Rini Efri Leni

  Kearifan lokal seperti yang dimiliki orang Picalang nyaris punah tergerus keberadaan teknologi yang semakin canggih. Jika kondisi tersebut dibiarkan saja, kearifan lokal itu sendiri mungkin tidak hanya akan menjadi kabur tetapi juga menghilang, seiring dengan hilangnya masyarakat Pincalang di pesisir pantai Barat Sumatera. Lewat novel Pincalang, pengarang mencoba mengembalikan tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang hampir punah.

  Oleh karena itu pelenyapan atas sumber tradisi lisan yang diawali dengan krisis sosial sangat merugikan, karena tradisi lisan mengandung nilai budaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Sibarani (2012: sampul belakang) menyimpulkan bahwa kearifan lokal menjadi modal sosiokultural yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan kehidupan masyarakat dalam penciptaan kedamaian dan peningkatan kesejahteraannya.

  Penelitian ini dipusatkan pada teks dan konteks novel dengan rumusan masalah berikut ini.  Bagaimanakah upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi yang direperesentasikan pengarang dalam novel

  Pincalang ? KAJIAN PUSTAKA 1. Kepustakaan Konseptual

  Kepustakaan konseptual merupakan penyajian konsep dasar atau pengertian dasar secara singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas. Konsep dasar tersebut adalah rangkuman dari pendapat atau teori-teori para ahli yang akan memberikan gambaran mengenai permasalahan yang akan dibahas. Fungsi utama kerangka konseptual adalah untuk menyederhanakan pemikiran terhadap ide-ide maupun gejala-gejala yang dibicarakan. Sesuai dengan kerangka teori yang disajikan, maka penulis membuat konsep dasar tentang penelitian ini sebagai berikut.

a. Representasi

  Representasi merupakan istilah yang berkembang dalam sastra, muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (Teeuw, 1984: 220).

  Karya sastra sebagai bagian dari seni mengambil bahan dari masyarakat, bahan yang dimaksud adalah fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial yang ada dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat, eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara sosial (Ratna, 2003: 36).

  Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2007: 61). Jika dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator.

  Sumardjo (2006: 128), mengungkapkan bahwa representasi adalah: (1) penggambaran yang melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia,

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  (3) penggambaran karakteristik general dari alam manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya,

  (4) penghadiran bentuk-bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewat pandangan mistis-filosofis seniman.

  Keempat klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa selain bersifat objektif, representasi juga bersifat subyektif. Klasifikasi 1 dan 2 menunjukkan bahwa representasi memiliki sifat yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat, dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi 3 dan 4 menunjukkan bahwa representasi bersifat subjektif karena realitas digambarkan secara subjektif melalui struktur mental, dan struktur nalar senimannya.

  Istilah representasi itu sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal, pertama apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya, apa adanya atau ada penambahan citra buruk atau baik. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto seperti apa seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.

  Representasi dalam dunia sastra tidak hanya sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu, akan tetapi lebih mengarah kepada penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif pengarang. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomena sosial dalam karyanya sangat dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang melatarbelakanginya. Konsep inilah yang akan mengupas gambaran sosial budaya, pengaruh modernisasi terhadap sosial budaya, serta upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi.

b. Pincalang

  Judul novel Pincalang ini jelas, lugas, dan singkat. Sesuai judulnya „Pincalang‟ dalam sastra lama ditulis „pencalang‟ adalah semacam perahu kayu ukuran besar untuk memuat barang-barang dagangan. Sering dipakai untuk memata-matai musuh dengan memakai sifat dagangnya itu. Jadi, „Pincalang‟ sama dengan „Pencalang‟, yaitu perahu layar tradisional yang mempunyai 2 tiang layar utama dan mempunyai 7 buah layar yaitu 3 di ujung depan, 2 di depan, dan 2 di belakang yang digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau.

  „Pencalang‟ berasal dari Melayu, sekitar perairan Selat Malaka. „Pencalang‟ memiliki sebuah tiang layar empat persegi dan lantai perahu terbuat dari bahan papan. Penutup lubang geladak menggunakan keset terbuat dari sabut kelapa, berfungsi melindungi barang pecah belah dari benturan atau gerakan goncangan gelombang ombak lautan. „Pencalang‟ memiliki panjang sekitar 40-60 kaki atau 13-20 meter dengan panjang tiang layar 3 meter dan satu kemudi yang diletakkan di bagian samping sisi kapal. (Sumber: Pramono gambaran-kehidupan- masyarakat pesisir.html).

  Jad i pengertian „Pincalang‟ atau „Pencalang‟, adalah perahu besar tradisional, memakai tiang layar yang digunakan untuk pengangkutan barang dagangan antar pulau, sekaligus dapat dipergunakan untuk mengintai musuh seperti perompak atau bajak laut yang mengancam harta, jiwa, dan raga. Sementara Pincalang dalam novel ini berfungsi lebih dari itu. Pincalang berfungsi sebagai rumah, alat transportasi dan media bisnis suatu

  Rini Efri Leni

  suku (sekelompok orang) yang hidup matinya di laut, memiliki agama, budaya, dan tradisi. Berlayar dari pulau ke pulau untuk mencari makan, berniaga, bertahan hidup dari musuh dan bersahabat dengan alam.

  Di samping pengertian dan fungsi Pincalang yang telah disebutkan terdahulu, dalam novel juga terdapat pemakaian kata „Pincalang‟, „manusia Pincalang‟, dan „orang- orang Pincalang‟ yang berarti awak Pincalang dan keluarganya, seperti dalam kutipan berikut:

  Ada dua Pincalang membawa istri dan dua Pincalang tidak membawa istri. (Pincalang: 14). Para manusia Pincalang yang ini tak gampang dikalahkan seperti yang lalu-lalu. (Pincalang: 60) Sudah menjadi kebiasaan bagi para istri orang-orang Pincalang untuk membeli emas jika mereka memiliki uang. (Pincalang: 69).

  Dengan demikian, pemakaian kata „Pincalang” bukan hanya berarti perahu, tetapi juga dipakai untuk menyatakan orang dan masyarakatnya. Perahu, dengan berbagai nama lokal: sampan, biduak, pencalang, pincalang, pelang, kolek, adalah lambang yang sering digunakan dalam sastra Melayu Klasik untuk jiwa, pikiran, atau hal lainnya, baik yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.

c. Modernisasi

  Secara etimologis modernisasi berasal dari bahasa latin yaitu „modo‟ yang berarti akhir- akhir ini, dan “ernus” yang berarti periode waktu masa kini, serta mendapatkan tambahan „isasi‟ yang mengandung arti proses. Jadi, modernisasi berarti proses menuju masa kini atau akhir-akhir ini. Secara sederhana, modernisasi berarti perubahan dari masyarakat tradisional menuju kemasyarakat modern. Sedangkan untuk pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Soekanto (1990: 36), bahwa modernisasi merupakan suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam artian teknologis serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil.

  Modernisasi juga adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. Modernisasi yang terjadi bersamaan dengan revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke-17 dimaknai berbeda-beda oleh pakar sosiologi, seperti pendapat para ahli (dalam Soekanto, 1990: 30) berikut ini; a.

  Max Webber melihat modernisasi sebagai gejala perubahan dari cara berpikir tradisional menjadi rasional. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, kebenaran adalah sesuatu yang selalu atau terus-menerus dihadapi, sedangkan dalam kehidupan masyarakat modern, kebenaran adalah sesuatu yang dirumuskan berdasarkan kalkulasi efisiensi, karena itu bersifat rasional.

  b.

  Karl Marx melihat masyarakat modern bersinonim dengan kapitalisme.

  Menurutnya, modernisasi telah melemahkan tradisi. Selain itu, kapitalisme juga telah meningkatkan the division of labour dan mengembangkan rasionalitas.

  c.

  Kapitalisme menghendaki rasionalitas yang membutuhkan sistem pembagian kerja yang spesifik supaya lebih efisien. Dengan kata lain supaya kaum borjuis (penguasa modal) mendapatkan keuntungan yang berlipat. Oleh karena itu, modernisasi sebenarnya merupakan sebuah perjalanan yang menyengsarakan masyarakat, terutama karena telah menghancurkan kebebasan, membelenggu kreativitas, dan memicu konflik sosial.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 2.

   Kepustakaan Penelitian

  Penelitian terhadap representasi novel-novel sastra Indonesia yang menggunakan metodologi kualitatif dalam kajian sosiologi sastra dan teori perubahan sosial telah digunakan oleh beberapa peneliti sastra, terutama dalam penulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Hasil penelitian yang menjadi rujukan ini mempunyai kontribusi dan relevansi terhadap penelitian representasi nilai-nilai tradisional untuk menyelamatkan budaya lokal. Penelitian ini merujuk pada hasil penelitian sebagai berikut: 1.

  Representasi Budaya Lokal dalam Kegiatan Festival di Kota Denpasar, oleh Ni Putu Eka Juliawati, diterbitkan dalam E-Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana Volume 1, Nomor 1, Desember 2012 ISSN: 2302-7304. Fokus penelitian ini mengenai kegiatan festival di kota Denpasar yang merupakan representasi budaya lokal yang dimiliki oleh masyarkat kota Denpasar untuk menghadirkan kembali budaya lokal ke dalam sebuah kegiatan. Terkait dengan penelitian masyarakat Pincalang yang tradisional dan mulai punah, representasi budaya lokal dan tradisi masyarakat Denpasar memberikan kontribusi terhadap penelitian ini, dimana kegiatan tradisional direpresentasikan dengan komitmen berbagai pihak untuk melakukan revitalisasi budaya, mengacu kepada peraturan pemerintah akan tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang budaya, beberapa budaya lokal Kota Denpasar yang hampir punah bisa diselamatkan dan dihadirkan kembali di tengah-tengah masyarakat, dan dari segi ekonomi, kegiatan ini mampu meningkatkan penghasilan warga yang ikut berpartisipai langsung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sebagai metode ilmu-ilmu sosial, khususnya kajian budaya dengan cara penafsiran bersifat kualitatif interpretatif.

2. Perubahan Huyula dalam Kehidupan Masyarakat Desa Buhu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo , oleh Rauf Hatu. Tesis S-2 (Magister) Unair, Surabaya.

  Penelitian ini memaparkan masalah perubahan sosial budaya yang menjadi topik pembicaraan, bukan saja oleh ahli Ilmu Kemasyarakatan, bahkan di kalangan masyarakat luas. Perubahan sosial budaya dalam masyarakat tidak hanya berfokus dalam kehidupan masyarakat kota, akan tetapi masyarakat desa juga telah banyak mengalami perubahan maupun perkembangan sebagai akibat dari teknologi dan transportasi dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Hasil penelitian ini mempunyai relevansi dengan penelitian terhadap perubahan sosial budaya masyarakat Pincalang, dimana perubahan sosial disebabkan oleh perkembangan teknologi, yaitu mesinisasi kapal tadisional yang ternyata tidak dapat menuntaskan permasalahan kesejahteraan masyarakat Pincalang, bahkan menimbulkan perpecahan.

  3. Nilai-nilai Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan

  Implementasi di Sekolah, oleh Era Indriati, H. Martono, Sesilia Seli. E-Jurnal

  Pendidikan dan Pembelajaran Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra, FKIP Untan.Vol. 2, No. 9 Tahun 2013. Penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini, berkontribusi terhadap penelitian dalam mengungkap gambaran nilai-nilai budaya masyarakat Pincalang, seperti hubungan manusia dengan Tuhan, yakni; berdoa, bersyukur, berzikir dan tawakal. Juga nilai-nilai kearifan tentang hubungan manusia dengan manusia yang tergambar dari cara menolong orang lain dan menyebar kasih sayang sesama manusia. Kemudian nilai-nilai kearifan yang mengungkap hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu: sabar, menuntut ilmu, dan menjunjung tinggi kejujuran. Selanjutnya diungkap juga nilai-nilai kearifan tentang hubungan manusia dengan alam, dimana alam menyediakan berbagai kebutuhan manusia dan manusia bersahabat dengan alam yang berkaitan dengan kearifan lokal.

4. Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan oleh Abdul

  Idris Pasaribu perlu mendapat perhatian. Penulis juga mengapresiasi kedalaman isi novel untuk melihat sampai sejauhmana penguatan struktur cerita yang terdiri dari tema dan bentuk novel serta se jarah keberadaan “orang laut” dilihat dari nilai-nilai budaya dan agama. Penelitian terhadap representasi masyarakat Pincalang relevan dengan hasil penelitian ini, karena pertama, objek penelitian terhadap novel yang sama, yaitu Pincalang karya Idris Pasaribu. Kedua, penulis juga mengupas nilai budaya dan agama serta sejarah keberadaan „orang laut‟.

  Rahim Harahap E-Jurnal Keguruan Volume 1 No. 1 ISSN: 2337-6198 Januari

  Rini Efri Leni

  • – Juni 2013, membahas tentang perkembangan sastra Indonesia di Sumatera Utara, terutama dalam penerbitan novel yang secara kuantitas dinilai masih relatif rendah. Oleh k arena itu menurut penulis, penerbitan novel “Pincalang” karya

1. Teori Sosiologi Sastra

  Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.

  b.

  Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.

  Ratna (2003: 2) menjelaskan bahwa ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain: a.

  Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.

  d.

  Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.

  e.

  Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam sastra oleh beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Pada dasarnya sebutan ini pun tidak berbeda dengan sebutan-sebutan lain, masing-masing tetap didasarkan dan berlandaskan pandangan teoretis. Meskipun pandangan kritikus satu sama lain berlandaskan pengertian tertentu akan tetapi pada dasarnya semua pendekatan mengacu pada sebuah kesamaan.

  Zeraffa (dalam Elizabeth, 1973: 38) menyebutkan bahwa sebuah karya sastra adalah ekpresi dari realitas sosial yang telah ada dalam pikiran pengarang, bentuk dan maknanya diungkapkan dengan memakai teknik yang diperolehnya dari para pendahulunya dan caranya sendiri setelah melakukan observasi. Pengarang selalu memberi perhatian pada suatu gejala yang khusus pada periode tertentu dan ke arah mana situasi itu akan bergerak. Karya sastra juga berusaha mengungkapkan kenyataan seperti apa adanya, tidak mengidealkan realita serta menunjukkan aspek-aspek kehidupan yang tersembunyi yang tidak diterima dari sudut sosial ekonomi atau psikologi, mencari dan mengekpresikan makna dan esensi kehidupan.

  Sosiologi sastra merupakan salah satu alat kritis sastra dan sastra sendiri merupakan bagian dari masyarakat. Jadi, tidak aneh jika dikatakan bahwa sastra adalah produk kebudayaan sehingga sastra tidak bisa terlepas dari keberadaban manusia dikarenakan sastra menceritakan tentang kehidupan dari masyarakat itu sendiri. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang sebagai aspek terkecil dari masyarakat yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

  c.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  Sastra adalah sebuah lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang tidak lain adalah anggota dari masyarakat. (Damono, 2003: 3).

  Perbedaan antara sosiologi dan sastra hanya terbatas pada cara penelaahan: sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sastra lebih mengarah kepada perasaan seorang pengarang dalam memandang masyarakat. Meskipun demikian, sosiologi dan sastra dipertemukan dalam beberapa hubungan dan persamaannya, maka muncul suatu disiplin ilmu yang baru, yaitu sosiologi sastra atau sosiologi dalam sastra (Damono, 2002: 10).

  Sebuah karya sastra adalah ekpresi dari realitas sosial yang telah ada dalam pikiran pengarang, bentuk dan maknanya diungkapkan dengan memakai teknik yang diperolehnya dari para pendahulunya dan caranya sendiri setelah melakukan observasi. Endraswara (2012: 89) menyatakan bahwa karya sastra mengalami perjalanan yang panjang sebelum mencapai pembaca. Naskah yang ditulis oleh pengarang umumnya tidak bisa langsung diserahkan kepada pembaca tetapi melalui proses reproduksi yang berliku- liku.

  Dalam sosiologi sastra, dikenal strategi yang berhubungan dengan pemahaman aksi sosial dengan mempertimbangkan kehidupan masyarakat sebagai suatu jaringan yang kompleks, saling berhubungan, ketergantungan dan bermakna, konstruksi realitas sosial yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok, komunitas atau masyarakat.

2. Teori Perubahan Sosial

  Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai pembatasan pengertian perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Hooguelt (1995: 56) membuat definisi dan pengertian tentang perubahan sosial menurut para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalistis, menyebabkan perubahan- perubahan dalam hubungan antara buruh dan majikan yang kemudian menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi politik.

  b. Gillin mengartikan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

  c. Emile Durkheim menyatakan, bahwa perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.

  d. Wiliam F. Ogburn menyatakan, ruang lingkup perubahan sosial mencakup, unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat material maupun yang tidak bersifat material (immateriil) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang material terhadap unsur-unsur immaterial.

  e. Mac Iver mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial (social relation) atau perubahan terhadap keseimbangan (ekuilibrium) hubungan sosial.

  Perubahan sosial tidak hanya berarti kemajuan, tetapi dapat pula kemunduran, meskipun dinamika sosial selalu diarahkan kepada gejala transformasi (pergeseran) yang bersifat linear.

  Rini Efri Leni

  Kamanto (2004: 203-205), membagi dua pola perubahan sosial sebagai berikut: a.

   Pola Linear

  Pemikiran mengenai pola perkembangan linear dapat ditemukan dalam karya Comte. Menurut Comte kemajuan progresif peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tidak terelakan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama „Hukum Tiga Tahap‟, Comte mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. dapat disebut juga hukum urutan perkembangan masyarakat yang dimaksud: hukum fundamental perkembangan pemikiran manusia, yakni tingkat teologis (khayalan), tingkat metafisik (abstrak), dan tingkat ilmiah (positivis).

b. Pola Siklus

  Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda; kadang kala naik, kadang kala turun. Pandangannnya bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang, yang muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan seseorang manusia melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah.

  METODE PENELITIAN 1. Metode

  Metode adalah cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam memecahkan masalah yang ditemui dalam melaksanakan prosedur (Semi 1988: 30). Metode dan teknik penelitian merupakan penerapan dari suatu teori sastra terhadap karya sastra dengan menggunakan sistematika atau langkah-langkah analisis yang sesuai dengan objek penelitian.

  Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang digunakan untuk memahami sebuah karya sastra secara mendasar dan mendalam dengan prinsip interpretasi atau penafsiran. Pesan dan tujuan pengarang dapat diinterpretasikan dengan melihat aspek dalam dan luar dari suatu karya sastra untuk mengungkap makna yang ada didalamnya. Menurut Bungin (2007: 68), karya sastra sebagai objek penelitian dengan metode deskriptif kualitatif bertujuan menggambarkan dan menjelaskan makna dibalik makna berbagai fenomena realitas sosial yang ada dengan mengungkapkan ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

  Rakhmat (2004: 25), menyatakan bahwa metode deskriptif bertujuan untuk: (1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

  Alasan utama metode kualitatif digunakan, karena data yang diperoleh biasanya tidak terstuktur dan relatif banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklasifikasikan data. Pengamatan kualitatif cenderung mengandalkan kekuatan indra peneliti untuk merefleksikan fenomena budaya, dimana pengamatan indra ini dipertimbangkan lebih akurat untuk melihat kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring dengan pergeseran zaman.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 2.

   Data dan Sumber Data

  Data adalah fakta empirik yang dikumpulkan untuk memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan penelitian. Data penelitian dapat berasal dari berbagai sumber yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik selama kegiatan penelitian berlangsung. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah sikap dan tindakan-tindakan masyarakat, sedangkan dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah teks-teks dan wacana yang terdapat dalam naskah karya sastra.

  Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa novel Pincalang karya Idris Pasaribu, cetakan pertama yang diterbitkan oleh Salsabila Pustaka Alkautsar, April 2012. Sampul (kulit) depan novel bergambar Pincalang yang tengah berlabuh di tengah lautan didesain oleh Gobagsodor. Novel yang berukuran 13,5 x 20,5 cm terdiri atas 255 halaman dan 12 episode, dirangkai dalam peristiwa demi peristiwa.

  Data sekunder berupa sumber-sumber lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku, dokumentasi, hasil kajian sastra, serta wawancara dengan Idris Pasaribu sebagai pengarang novel dan informan yang berkaitan dengan penelitian ini. Moleong (2007: 186) menyebutkan, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Selanjutnya diungkapkan bahwa wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

3. Paparan Data

  Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data utama yang dideskripsikan dan dianalisis sesuai dengan rumusan masalah pada penelitian ini. Dari gambaran realitas sosial budaya masyarakat Pincalang terlihat upaya masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam menjaga kearifan lokal. Pola hidup masyarakat yang sebahagian besar berada di laut, berlayar dari pulau ke pulau, terlihat dari tokoh utama novel, yaitu Amat. Selama hidupnya, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Di atas perahu itu dia dilahirkan ibunya, dan sejak berusia lima tahun, di atas perahu pula dia belajar shalat dan mengaji dari ibunya. Ayah Amat mengajarinya menarik turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Ia manusia Pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu.

  Sejak berusia lima tahun, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan buas dan ganas. Di atas Pincalang itu dilahirkan ibunya, begitu juga dua adiknya. Di atas Pincalang itu dia belajar mengaji. Belajar shalat dari ibunya, juga dari para uztadz yang datang diundang naik ke atas Pincalang bila mereka bersandar di pelabuhan kecil atau di kampung-kampung di pantai. Amat belajar menaik turunkan layar. Belajar mengemudi. Belajar melihat bintang, belajar merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. (Pincalang: 21)

  Ketika Amat dewasa, ia pun dinikahkan dengan seorang gadis pilihan ayah dan ibunya bernama Maryam, ia pun tak menolaknya. Di samping Maryam gadis yang cantik, ia juga seorang gadis sholehah dan pandai memasak serta pintar berjualan. Ujian terberat setelah mereka menikah adalah mengarungi lautan hanya dengan berdua saja, karena mereka telah diberi Pincalang oleh Ayah Amat. Filosofi hidup berkeluarga, mengarungi

  Rini Efri Leni

  samudera luas dengan berbagai rintangan dan cobaan, seperti hujan angin, petir, badai, dan ombak harus mereka lalui.

  Masyarakat Pincalang tergolong orang yang taat melaksanakan ajaran agama, dan mayoritas pemeluk agama Islam. Hal ini terlihat dari ketaatan keluarga Amat dalam mendirikan shalat, baik shalat di atas Pincalang, di mesjid atau di manapun berada. Begitu pun setelah dikaruniai tiga orang anak, yang sulung serorang laki-laki, diberi nama Buyung, dan dua orang anak perempuan, Amat dan istrinya selalu mengajarkan shalat dan mengaji Alquran kepada ketiga anak-anaknya itu.

  Amat yang berpikiran maju mengenai kehidupan, juga berharap anaknya jadi orang pintar, karena ia tidak ingin terus dibodohi oleh orang-orang darek sebutan untuk orang- orang di darat dan para tauke sebutan untuk orang-orang Tionghoa. Selesai mengikuti pendidikan dasar, Buyung disekolahkannya di sekolah Pelayaran, seperti yang dicita- citakannya. Dalam usaha niaga, Amat dibantu Rohim, Lokot, dan Sangkot membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan, membuat ikan asin, dan arang dari kayu bakau untuk dijual.

  Ia juga akhirnya memilih untuk tinggal di darat bersama Istri dan anak-anaknya untuk lebih memajukan usaha dagangnya dengan menjadi tauke. Hal tersebut sempat mendapat kecaman dan larangan dari kedua orang tua dan mertuanya. Selama ini mereka mengganggap orang-orang darat tidak ada yang baik, namun berkat kerja keras Amat meyakinkan, akhirnya mereka mau mengerti keinginan Amat dan dia pun cukup sukses dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Pincalang.

  Dari hasil kerja kerasnya, Amat memiliki kapal dengan tenaga mesin, yang disebut Kapal Keppres karena merupakan proyek pemerintah zaman Orde Baru. Kapal Amat diberi nama K.M. Pincalang, dan Buyung pun didaulat menjadi Nahkodanya setelah ia lulus di SMPP (Sekolah Menengah Pelayaran Pertama). Semua keluarga, teman-teman Buyung, dan orang-orang yang selama ini membantu dan mendukung Amat turut hadir dalam pelayaran perdana K.M. Pincalang, dengan rute Nias-Meulaboh.

  Pengaruh modernisasi terhadap sosial budaya masyarakat Pincalang yang tradisional, diawali sejak masuknya kapal Keppres. Para kapitalis berlomba mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan akibatnya. Hutan bakau digunduli, biota laut di sapu habis. Alam menangis, tak sanggup lagi memberikan yang terbaik untuk manusia. Hegemoni pemerintah sangat berpengaruh terhadap kesewenangan tersebut. Amat pun geram melihat kondisi laut yang semakin rusak oleh tangan-tangan jahil para penguasa, yang tidak menjaga ekosistem laut, seperti terlihat dari kutipan berikut ini.

  Amat sangat marah melihat pohon-pohon bakau ditebang sembarangan. Para penebang itu tidak sedikitpun menghiraukan Amat yang sedang menanami bibit- bibit bakau di sela hutan bakau yang menggundul.

  “Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak! Kalau mau ambil bakau dari ujung sana atau di tempat lain!” Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka yang rakus menebangi pohon bakau. “Lha.... Kowe siapa? Enak-enak membentak?” Amat didatangi dua orang. “Pokoknya tak boleh ambil bakau di sini. Baru ditanami.” “Apa hutan ini bapakmu punya?” Amat sangat tersinggung ayahnya dibawa-bawa dalam masalah. (Pincalang: 213)

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  Hidup manusia selalu mengalami perubahan, perubahan di satu bidang akan memengaruhi bidang-bidang lainnya. Meskipun tidak terjadi dalam kecepatan yang sama, perubahan terus terjadi dan melanda setiap masyarakat, termasuk masyarakat marjinal seperti masyarakat Pincalang. Perubahan sosial yang direpresentasikan pengarang dalam novel ini adalah bagaimana Amat berjuang meyekolahkan Buyung agar menjadi anak yang pintar serta ia dan Maryam juga bersemangat dalam mengikuti pemberantasan buta huruf serta perjuangan Amat dalam merubah pola pikir orang-orang Pincalang yang negatif terhadap orang-orang darek, di samping upaya pelestarian alam.

  Namun, perjuangan dan upaya yang dilakukan Amat terasa berat, karena banyak pihak yang tidak peduli untuk menjaga pelestarian alam. Hal ini menyalahi pesan tetua orang-orang Pincalang, yang secara turun temurun diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut, agar manusia mendapatkan yang terbaik dari alam. Lewat pesan inilah pengarang merepresentasikan bagaimana Amat ingin selalu dan selamanya melestarikan kehidupan laut. Perlawanan Amat terhadap penguasa tidak bisa terelakkan, ia pun dicari hendak ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dianggap membahayakan penguasa. Amat yang tidak takut dengan ancaman itu pun melakukan perlawanan, sehingga banyak menewaskan petugas yang ingin menangkapnya, namun akhirnya Amat berhasil ditangkap, diadili, dan dipenjarakan.

  Pada saat kebebasannya setelah tiga tahun lebih berada dalam Lembaga Pemasyarakatan, ia dinyatakan bebas bersyarat. Amat dijemput oleh istri dan anak- anaknya, serta orangtua dan mertuanya dengan perasaan haru, senang, bahagia yang bercampur aduk. Amat langsung sujud syukur begitu menghirup udara segar. Ia terkejut dan terharu saat digiring menuju ke mesjid, untuk menyaksikan anak sulungnya dinikahkan dengan anak Tuan haji, yaitu Salamah Binti Haji Ahmad Palindih yang banyak memberinya nasihat dan banyak membantunya selama ini.

  Air mata Amat langsung meleleh. Ditatapnya Buyung lekat-lekat. Dia sudah lama mengidamkan Buyung agar menikah. Dia sudah ingin menimang cucu. Saat dalam selnya di penjara, dia selalu membayangkan kematian. Amat tak dapat menahan tangisnya jika mengenang hidupnya harus mati sebelum menimang cucu. (Pincalang: 243)

  Tiga hari setelah perhelatan pernikahan Buyung, Amat kembali merindukan laut dan pulau-pulau kecil yang berada di sana. Rindu pada aroma laut dan lumpur pantainya. Setelah mengantarkan kedua pasang orang tuanya, Amat kembali berlayar bersama adik angkatnya Sangkot dan Lokot. Mereka bercerita kepada Amat, bahwa hampir semua teman-teman mereka orang Pincalang bekerja pada kapal penagkap ikan,hanya sedikit yang setia hidup di atas Pincalang mereka masing-masing, termasuk kedua pasang orangtua Amat dan anak-anaknya. Semakin hari jumlah orang Pincalang semakin menyusut.

Dokumen yang terkait

BAB II PRINSIP KEHATI – HATIAN DALAM PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum 1. Kedudukan PT Sebagai Badan Hukum Mandiri - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direk

0 0 66

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

0 0 33

IMPLEMENTASI ALGORITMA LEVENSHTEIN DISTANCE DAN ALGORITMA KNUTH-MORRIS-PRATT (KMP) DALAM FITUR WORD COMPLETION PADA SEARCH ENGINE SKRIPSI RYAN DHIKA PRIYATNA 131421064

0 1 13

PENGARUH KOMITMEN ORGANISASIONAL, PENJUALAN ADAPTIF , ORIENTASI SMART-WORKING DAN KEPUASAN HUBUNGAN KERJA TERHADAP KREATIVITAS STRATEGI PEMASARAN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA BISNIS IBO DALAM MULTI LEVEL

0 0 16

KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU (SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGIS) Rini Efri Leni

0 0 16

ANALISIS KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL EMPRESS ORCHID KARYA ANCHEE MIN BERDASARKAN PSIKOLOGI SASTRA Sheyla Silvia Siregar Fakultas Ilmu Budaya USU shelya.silviagmail.com Abstract - Analisis Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel Empress Orchid Karya An

0 1 12

BAB II KEWENANGAN KANTOR URUSAN AGAMA DALAM MEMASTIKAN KEABSAHAN IDENTITAS CALON MEMPELAI A. Tata Cara Kantor Urusan Agama Dalam Melakukan Pengesahan Pencatatan Perkawinan - Tinjauan Yuridis Pembatalan Pernikahan Akibat Menggunakan Dokumen/Keterangan Pals

0 1 22

ANALISIS AWAL KELAYAKAN EKONOMI DAN FINANSIAL DALAM PERENCANAAN MONOREL KOTA MEDAN

0 0 11

IMPLEMENTASIALGORITMAFLOYD WARSHALL DALAM MENENTUKAN JARAK TERPENDEK (MEDAN - BANDARA KUALA NAMU) SKRIPSI RINI CHAIRANI HARAHAP 121421090

0 0 12

IMPLEMENTASI ALGORITMA LEARNING VECTOR QUANTIZATION DAN WEIGHTED PRODUCT DALAM MEMILIH PERUSAHAAN TEMPAT BERINVESTASI

0 1 14