BAB II LANDASAN TEORI A. Social Support 1. Pengertian Social Support - Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

BAB II LANDASAN TEORI A. Social Support

1. Pengertian Social Support

  Social support adalah salah satu istilah untuk menerangkan bagaimana

  hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik pada individu. Baron dan Byrne (2000) mendefinisikan social support sebagai kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan keluarga individu tersebut. Sama halnya Menurut Taylor (2009) mendefinisikan social

  support sebagai informasi yang diterima dari orang lain bahwa individu tersebut

  dicintai, diperthatikan, memiliki harga diri dan bernilai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama yang berarti saling dibutuhkan yang didapat dari orang tua, suami, atau orang yang dicintai, keluarga, teman, hubungan sosial dan komunikasi.

  Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 2006), social support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Sedangkan Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1997) mendefinisikan social support sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat meningkatkan perasaan positif serta meningkatkan harga diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum.

  Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa social

  support adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari hubungannya dengan orang lain.

  Bedasarkan pengertian dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu dapat merasakan kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang maksud mencangkup pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis, dan anggota kelompok masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Social Support

  House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat bentuk, yaitu : a.

  Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan b.

  Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu.

  c.

  Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.

  d.

  Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran ataupun umpan balik.

  Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk

  social support , yaitu:

  a) Emotional or esteem supporrt

  Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif, dan memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009) berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam perasaan dan sehingga seseorang yang menerima dukungan ini akan merasa dicintai dan dihargai.

  b) Tangible or instrumental Support

  Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan. Dimatteo (1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.

  c) Informational Support

  Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Adanya informasi akan membantu individu memahami situasi yang stressful lebih baik dan dapat menetapkan sumber dan strategi coping yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa dukungan informsi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna untuk mendapatkan pemecahan masah dan yang kedua adalah berupa dukungan penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri.

  d) Companionship Support

  Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen dan Wills dalam Orford, 1992)

  Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible or instrumental support , informational support dan companionship support.

3. Dampak Social Support

  Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya adalah kejadian dan efek dari stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.

  Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000). Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan.

  Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:

  1. Buffering Hypotesis Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai

  pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor 2.

   Direct effect hypotesis

  Individu dengan tingkat social support yang tinggi memiliki perasaan yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan dukungan sosial tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan membutuhkan individu tersebut, sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kepada gaya hidup yang sehat.

  Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:

  1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu.

  Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak meperhatikan dukungan yang diberikan.

  2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

  3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

  4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya.

  Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006). bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan, tetapi

  Social support

  yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan (adequency) dari dukungan (Cohen dan Wills, dalam Namora, 2009).

B. Psychological Well-Being

1. Pengertian Psychological well-being Teori Psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989.

  Ryff (1989) merumuskan konsepsi psychological well-being yang merupakan integrasi dari teori-teori kesehatan mental, teori psikologis klinis dan llife-span

  development. Psychological well-being merupakan suatu dorongan untuk

  menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu. Dorongan ini dapat menyebabkan seseorang individu pasrah terhadap keadaan sehingga memiliki

  psychological well-being menjadi rendah atau berupaya untuk memperbaiki

  kehidupannya sehingga akan membuat psychological well being menjadi meningkat (Ryff & Keyes, 1995).

  Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang mampu menerima dirinya sendiri baik kondisi emosional yang positif maupun pengalaman-pengalaman yang buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mampu mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup dan selalu mengalami pertumbuhan sebagai seorang individu (Ryff, 1989).

  Banyak sekali literatur-literatur dari para ahli yang merujuk pada pendefenisian positive psychological functioning. Misalnya teori dari Malow (1968) tentang konsep aktulaisasi diri, pandangan Roger (1961) tentang fully

  functioning person, formulasi teori jung (1933), Vonzfranz (1964) tentang individuasi dan kosep kedewasaan oleh Allport (1961).

  Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological

  functioning dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being

  yang multidimensional yang memiliki enam dimensi psikologis. Setiap dimensi

  

psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda-beda dimana setiap

  individu harus berusaha untuk mengatasinya sehingga individu dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002).

2. Dimensi Psychological Well-Being

  Ryff (dalam Ryff & Singer, 2008) mengemukakan enam dimensi

  psychological well-being , yakni : a.

  Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Kemampuan untuk mengenali diri sendiri dan berupaya untuk menerima setiap tindakan, motivasi, dan perasaannya merupakan ciri utama dari kesehatan mental sebagaimana yang diungkapkan oleh Jahoda. Penerimaan diri merupakan karakteristik dari seorang yang mencapai self-ectualization (Maslow), optimal

  functioning (Rogers), dan maturity (Allport). Menurut Erikson dan Neugarten,

  seseorang harus bisa menerima dirinya, termasuk masa lalu dirinya. Penerimaan diri bersifat jangka panjang, melibatkan kesadaran, dan berupa penerimaan akan kelebihan dan kekurangan seseorang (Ryff dan Singer, 2006).

  Dimensi penerimaan diri menjelaskan tentang kemampuan individu untuk menilai dirinya secara positif (Ryff, 1989). Penerimaan diri dibangun dengan menilai jujur diri sendiri. Individu mampu mengakui dan menyadari kegagalan dan keterbatasan dirinya dan mampu menerima diri apa adanya. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi penerimaan diri akan memiliki sikap positif terhadap dirinya, mengetahui dan menerima seluruh aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif, menanggapi masa lalu secara positif.

  Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi penerimaan diri akan menunjukkan bahwa individu merasa tidak puas akan dirinya, kecewa akan masa lalu, meragukan kemampuannya, dan mengharapkan keadaan yang berbeda dengan keadaan dirinya pada kenyataan (Ryff dan Keyes, 1995).

  b.

  Hubungan Positif dengan Orang lain (Positive Relations with Others).

  Dimensi hubungan positif dengan orang lain menjelaskan mengenai kemampuan untuk membangun hubungan yang menyenangkan, dekat, intim, dan penuh kasih sayang dengan orang lain (Ryff 1989). Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang hangat, memiliki kepuasan, memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang lain, peduli atas kesejahteraan orang lain, berempati yang kuat, peka dalam perasaan, keintiman, memahami dan memelihara hubungan dengan orang lain.

  Sebaliknya, Individu yang memiliki skor rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain merupakan sosok yang kurang akrab, cenderung tidak memiliki kepercayaan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain. Individu merasa terisolasi dan frustasi Selain itu, individu juga cenderung tidak memiliki keinginan untuk membuat suatu komitmen dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Ryff dan Keyes, 1995). c.

  Otonomi (Autonomy) Dimensi otonomi menekankan pada kemampuan individu untuk menentukan diri sendiri, mandiri, serta melakukan evaluasi atas dirinya berdasarkan standar pribadinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi otonomi akan mampu untuk menentukan arah hidupnya sendiri, bersikap mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengelola setiap perilakunya, dan mengevaluasi dirinya berdasarkan standar pribadi

  Sebaliknya, skor rendah pada dimensi otonomi menunjukkan individu cenderung berfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain. Individu juga bergantung kepada penilaian orang lain ketika membuat suatu keputusan sehingga membuat individu mudah dipengaruhi oleh tekanan sosial ketika bertindak dan berpikir (Ryff dan Keyes, 1995).

  d.

  Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi penguasaan lingkungan menekankan pada kemampuan untuk menguasai lingkungan di sekitarnya serta mampu menciptakan dan memperoleh lingkungan yang menguntungkan dirinya (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan menunjukkan bahwa individu memiliki keyakinan untuk menguasai dan mampu mengelola lingkungannya, menggunakan kesempatan dengan efektif, dan mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan dirinya.

  Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan menunjukkan bahwa individu akan mengalami kesulitan dalam mengelola kegiatan sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki lingkungannya, tidak menyadari adanya kesempatan, dan kurang mampu mengendalikan lingkungan luar (Ryff dan Keyes, 1995).

  e.

  Tujuan Hidup (Purpose in life).

  Dimensi tujuan hidup menjelaskan tentang seseorang yang berfungsi secara positif akan memiliki tujuan dan arahan dimana semuanya itu akan memunculkan perasaan akan makna hidup (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi tujuan hidup menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan yang jelas dan hidup lebih terarah, memegang pada keyakinan bahwa individu tersebut mampu mencapai tujuan hidupnya dan memiliki target yang hendak dicapai dalam kehidupannya.

  Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi tujuan hidup memiliki makna hidup yang tidak baik, kurang target, kurang memiliki arahan hidup, tidak memiliki tujuan di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan bahwa hidup ini berarti (Ryff dan Keyes, 1995).

  f.

  Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Dimensi pertumbuhan personal menjelaskan tentang keberlanjutan dari pertumbuhan dan perkembangan, serta individu menyadari potensi dirinya untuk dikembangkan menjadi suatu hal yang baru (Ryff, 1989). Individu dengan skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan bahwa individu memiliki perasaan akan berkembang, melihat dirinya sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh, berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, merealisasikan potensi diri, melihat perubahan yang positif dalam diri dan perilakunya sepanjang waktu, serta berubah dalam cara merefleksikan diri menjadi lebih mengenali diri dan efektif.

  Sebaliknya, skor yang rendah pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan stagnasi pada individu, kurang mampu untuk melihat perkembangan sepanjang waktu, merasa bosan, kurang tertarik atas hidupnya, dan merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

  Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri individu yaitu : A.

  Faktor Demografis Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut : 1.

  Usia Beberapa dimensi psychological well-being berubah signifikan seiring bertambahnya usia dan beberapa dimensi lainnya akan tetap stabil. Ryff & Singer

  (1996) membedakan usia partisipan menjadi tiga kelompok yaitu dewasa muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan pola peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa muda hingga dewasa tengah.

  Sebaliknya, pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan pola penurunan seiring bertambahnya usia, terutama pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dimensi lainnya seperti hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri ditemukan tidak ada perbedaan signifikan selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

  2. Jenis Kelamin Ryff & Singer (1996) menemukan bahwa dibandingkan dengan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Sedangkan pada dimensi yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan antara wanita dan pria. Wanita lebih sering berhubungan dengan peristiwa atau kegiatan kemasyarakatan sedangkan pria cenderung lebih berfokus pada lingkungan profesi.

  3. Status Sosial Ekonomi Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mencakup pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Ryff (2001) menyatakan terdapat hubungan antara sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-being

  seperti dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan

  pertumbuhan pribadi. Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) juga menambahkan individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cendeurng membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik dari dirinya.

  Hubungan sosial ekonomi terhadap psychological well-being juga dibuktikan oleh hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer 1996) yang menunjukkan psychological well-being lebih tinggi pada individu yang memiliki pendidikan yang tinggi, terutama pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Selain itu, individu yang memiliki penghasilan dan jabatan yang tinggi menunjukkan psychological well-being yang lebih baik. Individu yang berada pada kelas sosial bawah bukan hanya menunjukkan rendahnya

  psychological well-being tetapi juga mengalami kesehatan yang buruk (Marmots dkk dalam Ryff & Singer 1996).

4. Budaya

  Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat baik itu individualisme maupun kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being. Budaya barat yang menganut budaya individualisme lebih berorientasi kepada self seperti dimensi penerimaan diri atau otonomi. Sedangkan, budaya timur yang menganut budaya kolektivisme lebih berorientasi pada hubungan dengan orang lain seperti dimensi hubungan positif dengan orang lain.

  Untuk membuktikan adanya hubungan antara budaya dengan

  psychological well-being, Ryff dkk dalam (Ryff & Singer,1996) melakukan

  sebuah penelitian dengan partisipan orang Amerika dan Korea Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan orang Amerika cenderung mampu melihat kualitas positif dalam diri mereka dibandingkan dengan orang korea. Partisipan korea selatan menilai diri tinggi pada hubungan positif dengan orang lain dan rendah pada penerimaan diri dan pertumbuhan pribadi. Partisipan Amerika cenderung menilai diri tinggi pada pertumbuhan pribadi terutama pada wanita, dan berbeda dari dugaan semula bahwa ternyata wanita Amerika menilai diri rendah otonomi.

  B.

  Dukungan Sosial Menurut Baron & Bryne (2000) dukungan sosial diyakini mampu memberikan dampak positif pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Hal tersebut dibuktikan oleh penemuan Robinson dalam (Rubbyk,2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Dukungan sosial diartikan sebagai informasi dari orang lain bahwa individu dicintai dan diperhatikan, berharga dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kebersamaan, baik itu dari orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat lainnya, teman, maupun kontak komunitas seperti keagamaan dan klub (Taylor, 1999).

  C.

  Evaluasi terhadap pengalaman hidup.

  Pengalaman hidup tertentu mampu mempengaruhi kondisi psychological

  well-being individu (Ryff, 1989). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian

  yang dilakukan oleh Ryff & Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi inidvidu terhadap pengalaman hidup terutama pada kesehatan mental.

  Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa evaluasi terhadap diri berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama pada dimensi penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain.

C. Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

  1. Pengertian Penyintas

  Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak harus menggunakan tiga patah kata, yak ni: “korban yang selamat” (Juneman, 2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), disebutkan bahwa penyintas berasal dari kata

  “sintas” yang mempunyai makna “terus bertahan hidup” atau “mampu mempertahankan keberadaannya”. Kemudian dalam pemakaiannya diberikan awalan “pe-“, sehingga menjadi penyintas.

  Istilah penyintas sama artinya dengan istilah survivor, berarti orang yang selamat dari peristiwa yang mengancam nyawanya (Yayasan Pulih, 2005).

  Penyintas diartikan sebagai terus bertahan hidup artinya orang yang selamat dari suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat berbahaya. Padanan kata survivor dalam Bahasa Indonesia (KBBI, 2007).

  2. Pengertian Bencana Alam

  Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 pasal 1 Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (BNPB, 2007)

  Dalam buku Methods for Disaster Mental Health Research, bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan kejadian-kejadian traumatik yang dialami secara kolektif, terjadi secara akut, dan tidak terbatas waktu; bencana mungkin dapat disebabkan faktor alam, teknologi, atau yang disebabkan oleh manusia (Norris, Galea, Friedman, & Watson, 2006).

  Carter (1992) membagi penyebab bencana menjadi dua, yaitu ’ancaman tradisional’ seperti gejala‐gejala alami termasuk gempa bumi, angin topan, letusan gunung api, tsunami, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

  Sementara itu timbul pula ’ancaman baru’ seperti kekerasan sosial, serangan terror, kerusuhan sosial dan sebagainya. Dalam kategori ini juga didapati ancaman dari penyimpanan, transportasi, pemrosesan dan pembuangan limbah bahan

  ‐bahan berbahaya (hazardous materials), ancaman nuklir baik dalam konteks penggunaan untuk tujuan damai maupun peperangan.

  Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, gempa, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror (BNPB, 2007).

3. Bencana Alam Gunung Sinabung

  Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang mempunyai ketinggian 2.640 meter diatas permukaan laut yang berada pada koordinat 3 10 menit LU dan 98 23 menit BT. Letaknya cukup dekat dengan kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya. Satu- satunya Gunung di Sumatera Utara yang berkakikan danau (Widiastuti,R, 2008)

  Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada tanggal 28 Agustus 2010. Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus 2010, sekitar pukul 00.08 WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian 1.500 meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan. 12.000 warga yang tinggal di sekitar gunung diungsikan. Berikut hasil pantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yaitu aktivitas tanggal 28 Agustus 2010 pada pukul 08.00-16.00 WIB, secara visual terpantau asap putih tipis, ketinggian sekitar 20 meter dengan tekanan lemah hingga sedang. Pada pukul 16.00 - 19.00 WIB, Gunung Sinabung tertutup kabut dan pada pukul Pukul 19.00 - 24.00 WIB, tidak terpantau adanya asap dari kawah aktif. Dengan demikian Gunung Sinabung tidak menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan kegiatan.

  Aktivitas yang terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010 adalah pukul 00.08 WIB, terdengar suara gemuruh. Dengan aktivitas tersebut maka Gunung Sinabung diubah tipenya dari tipe B menjadi tipe A dan statusnya dinyatakan AWAS terhitung pukul 00.10 WIB tanggal 29 Agustus 2010, pada Pukul 00.10 WIB berkoordinasi dengan tim di lapangan, diputuskan dilakukan pengungsian masyarakat yang bermukim dan beraktivitas pada radius 6 km dari kawah aktif dan pada Pukul 00.12 WIB, tampak asap letusan dengan ketinggian 1500 meter dari bibir kawah. Pada saat ini sejumlah warga yang masih bertahan karena menjaga rumahnya di zona bahaya pun akhirnya ikut mengungsi. karena hutan di sekeliling desa mereka sudah rata dihujani debu vulkannik. Kumpulan debu vulkanik keluar lagi dari kawah Gunung Sinabung, pukul 06.27 WIB, pada hari Senin, 30 Agustus 2010, Gunung yang semula tenang tiba-tiba saja kembali memuntahkan letusannya. Walaupun tidak disertai lava namun terlihat munculnya debu vulkanik disertai gemuruh dan getaran hebat (Wikipedia B, 2010).

4. Dampak Bencana Alam Gunung Sinabung

  Dampak umum bencana baik nature dan manmade dari bencana meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi (Carter, 1991).

  Adapun dampak bencana terhadap kesehatan yaitu terjadinya krisis kesehatan, yang menimbulkan : (1) Korban massal; bencana yang terjadi dapat mengakibatkan korban meninggal dunia, patah tulang, luka-luka, trauma dan kecacatan dalam jumlah besar. (2) Pengungsian; pengungsian ini dapat terjadi sebagai akibat dari rusaknya rumah-rumah mereka atau adanya bahaya yang dapat terjadi jika tetap berada dilokasi kejadian. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat resiko dari suatu wilayah atau daerah dimana terjadinya bencana (Depkes RI, 2008)

  Menurut American Psychological Association (2006), setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana. Faktor- faktornya adalah: (1) Tingkat intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, (2) Kemampuan individu secara umum untuk menghadapi situasi emosional, (3) Peristiwa lain yang menimbulkan stress mengikuti peristiwa traumatic yang baru dialaminya.

  Young, Ford & Watson (2005), hal yang dialami orang dewasa yang bertahan dalam bencana, akan mengalami reaksi stress yaitu: (1) Reaksi emosi ( shock, ketakutan, kemarahan, grief, penolakan, rasa bersalah, tidak berdaya, merasa tidak punya harapan dan mati rasa), (2) Kognitif (binggung,disorientasi, tidak bisa memutuskan, kawatir, kurangnya perhatian, sulit berkonsentrasi, hilangnya ingatan, gangguan memori dan menyalahkan diri sendiri), (3) Reaksi fisik (tegang, capai, kesulian tidur, rasa sakit pada tubuh, mudah terganggu, detak jantung lebih cepat, mual) (4) Reaksi interpersonal (ketidak percayaan, merasa terganggu, menarik diri, diabaikan).

  Bencana dapat menyebabkan dampak psikologis, yang meliputi shock, stress, cemas, takut, khawatir dan ganguan-ganguan yang berkaitan dengan gejala- gejala psikologis lainnya. Dari kumpulan gejala-gejala tersebut dapat dikategorikan dalam posttraumatic stress disorder (Salzer & Bickman, 2005).

  Bencana alam yang terjadi akan memunculkan dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak positifnya adalah tanah di sekitar daerah tersebut subur setelah berapa tahun meletus gunung tersebut. Dengan tanah yang menjadi subur maka sekitar daerah Gunung Sinabung terdapat banyak pohon tinggi yang dapat menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya tidak kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung. Sementara dampak negatifnya adalah berjatuhan korban yang terkena lava panas, dan dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit karena terhirup butiran abu vulkanik.

  Dari banyaknya pengamatan akan bencana, maka dapat ditemukan karakteristik dari bencana itu sendiri sebagai berikut (Royan, 2004):

  1. Terdapat kerusakan pada pola kehidupan normal. Kerusakan tersebut biasanya terlihat cukup parah, sebagai akibat dari kejadian yang mendadak dan tidak terduga serta luasnya cakupan akan dampak dari bencana.

  2. Dampak dari bencana merugikan manusia, baik bersifat langsung maupun tidak. Biasanya dapat berupa kematian, kesengsaraan, maupun akibat negatif lainnya yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

  3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan pada sistem pemerintahan, bagunan, komunikasi, dan berbagai sarana dan prasarana pelayanan umum lainnya. Adanya pengungsian yang membutuhkan tempat tinggal atau penampungan, makanan, pakaian, bantuan kesehatan, dan pelayanan sosial, yang terkadang tidak mencukupi atau kurang terkoordinasi.

D. Social Support dan Psychological Well-Being Pada Penyintas Bencana Alam Gunung Sinabung

  Bencana alam dapat diakibatkan oleh serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, kekeringan, angin topan, tanah longsor, dan gunung meletus. Indonesia yang memiliki sejarah bencana dan potensi bencana dimasa mendatang dikarenakan berbagai faktor, seperti letak, kontur dan dinamika penduduknya. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dengan 130 buah di antaranya masih aktif. Salah satu gunung berapi yang aktif berada di Kabupaten Karo yaitu Gunung Sinabung

  Bencana alam gunung sinabung yang terjadi akan memunculkan dampak positif maupun dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Salah satu contoh dari dampak positif yaitu akan menyuburkan tanah yang terkena erupsi Gunung Sinabung pada jangka waktu panjang sehingga tanah yang menjadi subur di sekitar daerah Gunung Sinabung akan tumbuh pohon-pohon yang dapat menjadi tempat penampungan air, sehingga daerah sekitarnya juga tidak kekurangan air. Kondisi udara yang sejuk juga menjadi dampak positif dari keberadaan Gunung Sinabung.

  Sementara dampak negatif adalah adanya korban yang terkena lava panas saat erupsi terjadi, menimbulkan berbagai penyakit, kerusakan infrastruktur jalan dan irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, penurunan terjadi pada perkembangbiakan ternak, penurunan terjadi pada kunjungan wisata, penurunan ekonomi, dan berdampak psikologis setelah bencana terjadi.

  Keadaan ini dirasakan langsung oleh penyintas bencana alam Gunung Sinabung khususnya penyintas yang tinggal di pengungsian. Penyintas adalah orang yang selamat dari suatu peristiwa yang kemungkinan dapat mengancam nyawa melayang atau sangat berbahaya. Penyintas yang berada di pengungsian Gunung Sinabung adalah penyintas yang tinggal di desa yang dinyatakan zona merah atau tidak aman untuk ditempati, penyintas yang tinggal di pengungsian terdiri dari dua penyintas, pertama penyintas adalah orang-orang yang akan di relokasi ke desa yang baru yaitu siosar. Hal ini karena tempat tinggal mereka sudah tidak dapat ditempati kembali dan mengancam nyawanya, dan kedua penyintas adalah orang-orang yang tidak di relokasi artinya mereka dapat pulang ke rumah mereka kembali. Hal ini karena desa tempat mereka tinggal masih layak untuk ditempati.

  Selama tinggal di pengungsian, terbatasnya sumber-sumber personal material, dan sosial banyak dikaitkan dengan rendahnya fungsi dan penyesuaian psikologis individu pasca-bencana berupa kemampuan individu dalam melakukan penyesuian diri karena berkaitan dengan perubahan kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca-bencana. Oleh karena itu, pentingnya social support terhadap pemulihan pada penyintas bencana alam.

  Bentuk-bentuk social support yang tepat diberikan kepada penyintas bencana alam dengan berbagai permasalahan, baik fisik maupun psikologis, menjadi suatu pertanyaan yang perlu diketahui sehingga dapat menghasilkan kemampuan untuk dapat bertahan, bangkit dari keterpurukan tersebut. Tidak semua orang mendapatkan dukungan sosial yang dibutuhkan. Banyak faktor yang mempengaruhi apakah individu menerima atau tidak menerima dukungan seperti ketersediaan sarana pendukung di pengungsian.

  Bentuk social support yang diperoleh dan dibutuhkan oleh individu tergantung pada keadaan tertekan yang dihadapi.. Bentuk social support seperti

  emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support dan companionship support memiliki peran yang berbeda untuk

  memenuhi kebutuhan yang tiap individu. Social support diperoleh dari teman- teman dan keluarga atau instansi lainnya. Social support tersebut bertujuan untuk memperkecil pengaruh tekanan-tekanan atau stress yang dialami individu yang merasakan dampak akibat erupsi Gunung Sinabung.

  Pemberian social support yang sesuai dengan kebutuhan setiap penyintas akan memberikan manfaat bagi mereka. Social Support yang diperoleh sesuai dengan yang dibutuhkan diharapkan dapat mengurangi tekanan secara psikologis yang dialami oleh penyintas. Social support yang diperoleh akan membantu penyintas dalam menghadapi setiap tantangan dalam hidupnya. Hal ini akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung. Psychological well-being merupakan perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.

  Seorang penyintas dituntut untuk mampu beradaptasi dengan situasi pasca- bencana alam Gunung Sinabung dan mampu menghadapi dampak negatif yang dirasakan pada kehidupan meraka saat ini. Seseorang yang mampu beradaptasi dan menghadapi situasi ini adalah mereka yang mengalami pertumbuhan dan mampu memenuhi kebutuhannya. Kemampuan beraptasi dan menghadapi kondisi ini merupakan kunci penting penentu psychological well-being, yakni perasaan yang mengarahkan seseorang bertindak dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensi seseorang dalam menghadapi tantangan hidup. Setelah mengalami bencana alam, banyak tantangan hidup yang harus dihadapi dan akan mempengaruhi psychological well-being pada penyintas bencana alam Gunung Sinabung seperti penerimaan diri, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, mempunyai tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Social support dan Psychological well-being ini akan menunjukkan gambaran yang kompleks mengenai penyintas bencana alam Gunung Sinabung.

E. Paradigma Berpikir Bencana Alam

  Gempa Longsor Gunung Banjir Kekeringan Bumi Meletus

G. Sinabung

  Dampak Positif:

  Dampak Negatif:

  Dalam waktu jangka Infastruktur Jalan dan Irigasi, Lahan pertanian dan perkebunan, panjang akan memberikan

  Perkembangbiakan ternak, Kunjungan kesuburan pada tanah yang wisata, Socio-ekonomi dan Psikologis terkena erupsi.

  

Penyintas Bencana Alam

Gunung Sinabung

PSYCPHOLOGICAL WELL- BEING

SOCIAL SUPPORT

  1.Penerimaan Diri

  a.Emotional or esteem supporrt

  2. Hubungan Positif dengan Orang b.Tangible or instrumental

  Lain

  Support

  3. Otonomi

  c.Informational Support

  4. Penguasaan Lingkungan

  d.Companionship Support

  5. Tujuan Hidup

  6. Pertumbuhan Pribadi \

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 8

Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank - Analisis Permintaan Kredit Multiguna Pegawai Negeri Sipil Pada Perbankan Di Kota Panyabungan

0 0 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PARADIGMA KAJIAN - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabu

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN 1.1 KONTEKS MASALAH - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keputusan dan Pengambilan Keputusan 2.1.1 Definisi - Implementasi Perbandingan Algoritma Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan Algoritma Simple Additive Weighting (SAW) dalam Pemilihan Website Hosting

0 0 11

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Shortest Path - Implementasi Metode Exhaustive Search untuk Menentukan Shortest Path Antar Pusat Perbelanjaan di Kota Medan

1 1 11

Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Perilaku Cyberloafing pada Karyawan

0 3 31

A. Cyberloafing 1. Definisi Cyberloafing - Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Perilaku Cyberloafing pada Karyawan

1 0 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Role Ambiguity dan Role Conflict Terhadap Perilaku Cyberloafing pada Karyawan

1 5 11