HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL KEPALA KELUARGA DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK AEDES SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK AEDES SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Nadhira Puspita Ayuningtyas G0009145

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga

Nadhira Puspita Ayuningtyas, NIM: G0009145, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari Rabu, Tanggal 26 Desember 2012

Pembimbing Utama

Nama : Rustam Siregar, dr., Sp. A ……………………….. NIP : 19490116 198012 1 001

Pembimbing Pendamping Nama : Arif Suryawan, dr.

……………………….. NIP : 19580327 198601 1 001

Penguji Utama

Nama : Ismiranti Andarini, dr., Sp. A., M.Kes ……………………….. NIP : 19510421 198011 1 002

Anggota Penguji

Nama : Prasetyadi M, dr., Sp. KK ……………………….. NIP : 19611210 199003 1 005

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Mutmainah, dr., M.Kes

Prof. Dr. Zainal Arifin Adna n, dr., Sp. PD-KR-FINASIM NIP 19660702 199802 2 001

NIP 19510601 197903 1 002

iii

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 12 Desember 2012

Nadhira Puspita Ayuningtyas

NIM G0009145

iv

ABSTRAK

Nadhira Puspita Ayuningtyas, G0009145, 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes.

Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang : Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia dan merupakan penyakit endemis yang ada hampir di seluruh propinsi. Jumlah kasus DBD semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh karenanya pemerintah menggalakkan upaya pencegahan DBD melalui pengendalian vektornya yaitu nyamuk Aedes dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk. Namun, tampaknya hingga saat ini upaya tersebut belum memberikan hasil yang diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan September - Desember 2012 di Surakarta. Subyek penelitian adalah kepala keluarga yang bertempat tinggal di Surakarta. Perilaku subyek diukur dengan menggunakan kuesioner yang meliputi kuesioner perilaku masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes yang terdiri atas 20 item pertanyaan. Diperoleh data sebanyak 50 dan analisis data menggunakan uji Annova satu jalan melalui program SPSS 17.00 for Windows.

Hasil Penelitian : Hasil penelitian dari total 50 sampel didapatkan skor rata-rata perilaku 25 dari skor 40. Penelitian ini menunjukkan nilai F hitung sebesar 11,64 sedangkan nilai F

1) = 3 dan (df2) = 46 didapatkan nilai sebesar 2,81. Hal ini berarti bahwa nilai F hitung > nilai F tabel. Sementara itu

= 0,000 yang berarti bahwa p < 0,05. Kedua hasil analisis tersebut memiliki simpulan yang sama, yaitu menolak H o .

Simpulan Penelitian : Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes . Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, semakin baik pula perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

Kata Kunci : Tingkat pendidikan formal kepala keluarga, perilaku pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

ABSTRACT

Nadhira Puspita Ayuningtyas, G0009145, 2012. Correlation between Patriarch Formal Education Degree and Behaviour in Eradication of Aedes Mosquitoes Nest. Mini Thesis, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta

Background: Dengue Hemoragic Fever (DHF) is a serious health problem in Indonesia and it is an endemic diesase in almost every province in Indonesia. The number of DHF cases increased each year. That’s why, the government promote a way to prevent DHF through controlling the vector, Aedes mosquitoes, with the eradication of mosquitoes nest. However, it seems that until today it hasn’t give the desired result. This study aims to determine the relationship between patriarch formal education degree with the behaviour in eradication of aedes mosquitoes nest.

Methods: This was an observational analytic study with cross-sectional approach that was conducted on September-December 2012 in Surakarta. The subject were partiarch residing in Surakarta. Subject’s behaviour was measured through a questionnaire which included questionnaires of behaviour towards eradication of Aedes mosquitoes nest which consist 20 items of questions. The obtained data were 50 and the data analysis used One Way Anova test with SPSS 17.00 for Windows program.

Results: The results of a total of 50 samples abtained an average score of their behaviour 25 out of 40. This study demonstrates the value of F count equal to 11.64, while the value of F table with = 0.05 and degrees of freedom (df1) = 3 and (df2) = 46 obtained a value of 2.81. It means that the value of F count > value of F table. Meanwhile, with = 0.05 shows p = 0.000, which means that p < 0.05. Thus, the two analyzes are the same conclusions that reject H o .

Conclusion: There is a statistically significant relationship between patriarch formal education degree and behaviour in eradication of Aedes mosquitoes nest. The higher the education degree, the better the behaviour in eradiction of Aedes mosquitoes nest.

Keywords: Patriarch formal education degree, behaviour in eradication of Aedes

mosquitoes nest.

Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puji kehadirat Allah SWT, atas segala karunia, rahmat, izin, dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu rasa hormat dan ucapan terima kasih yang dalam penulis berikan kepada :

1. Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. H. Rustam Siregar, dr. Sp. A selaku Pembimbing Utama atas semua bimbingan, saran, nasihat, dan masukannya selama penyusunan hingga selesainya skripsi ini.

3. Arif Suryawan, dr. selaku Pembimbing Pendamping atas semua bimbingan,

saran, dan masukannya selama penyusunan hingga selesainya skripsi ini.

4. Ismiranti Andarini, dr. Sp. A, M.Kes selaku Penguji Utama yang telah

memberikan banyak kritik, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Prasetyadi Mawardi, dr. Sp. KK selaku Penguji Pendamping yang telah

memberikan banyak kritik, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Annang Giri Moelyo, dr. Sp. A, M.Kes, Mutmainah, dr.,M.Kes, Bu Enny, SH., MH dan Mas Sunardi selaku TIM Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini

7. Yang tercinta dan amat saya sayangi kedua orang tua saya, Dra. Fathia, Apt. dan Hery Indyanto, drh. yang senantiasa mendoakan dengan tiada henti serta memberikan dukungan, semangat, dan motivasi sehingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Kakak saya yang tercinta Imania Mustika Purwitaningtyas, S.T. yang senantiasa

mendoakan dan memberi semangat sehingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Novia Damara, Namira Octaviyati, Pratiwi Prasetya Primisawitri, dan teman-

teman lainnya atas segala bantuan dan waktu yang selalu tersedia.

10. Mbak Daryanti yang sangat membantu saya dalam terselesaikannya skripsi ini.

11. Seluruh warga dan pihak kelurahan atas segala waktu dan bantuan selama proses pengambilan data sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 21 Desember 2012 Nadhira Puspita Ayuningtyas

Tabel 2.1. Expanded Dengue Syndrome (Manifestasi Klinis yang Tidak Umum pada Infeksi Dengue) ................................................................................. 30

Tabel 2.2. Klasifikasi Infeksi Dengue dan Derajat Keparahan DBD ........................ 34 Tabel 4.1. Umur, Pekerjaan, dan Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga

...................................................................................................................... 56 Tabel 4.2. Distribusi Penyuluhan PSN ......................................................................... 58 Tabel 4.3. Hasil Analisis Anova Satu Jalan tentang Hubungan Pendidikan Formal

Kepala Keluarga Dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Aedes ............................................................................................................ 58

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran .................................................................. 48 Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian ................................................................ 54

Gambar 4.1. Perbedaan Rata-Rata Skor Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk

Menurut Tingkat Pendidikan ................................................................ 60

Lampiran A. Kuesioner Penelitian Lampiran B. Data Penelitian

Lampiran C. Hasil Uji Anova Satu Jalan

Lampiran D.

Lampiran E. Surat Izin Penelitian Lampiran F. Surat Telah Melakukan Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demam Berdarah Dengue menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan merupakan penyakit endemis hampir di seluruh propinsi serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa/KLB (Depkes RI, 2008). Indonesia sendiri menurut WHO termasuk ke dalam negara endemik DBD bersama dengan Thailand, Sri Langka, dan Timor Leste dalam peta ASEAN (WHO, 2007). Selain itu, berdasarkan jumlah kasus yang terdata di WHO, Indonesia memiliki jumlah kasus terbanyak di Asia Tenggara sejak tahun 2003 hingga tahun 2009 dengan jumlah kasus yaitu, 51934 kasus pada tahun 2003, 79462 kasus pada tahun 2004, 95279 kasus pada tahun 2005, 106425 kasus pada tahun 2006, 157442 kasus pada tahun 2007, 155607 kasus pada tahun 2008, dan 156052 kasus pada tahun 2009 (WHO, 2010).

Demam Berdaah Dengue pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968 di Surabaya. Namun, konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak saat itu hingga kini DBD telah tersebar ke seluruh propinsi di Indonesia dan terus terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun (Zulkoni, 2011).

tahun 2002 jumlah kasus sebanyak 40.377 ( IR : 19,24/100.000 penduduk dengan 533 kematian (CFR : 1,3 %), tahun 2003 jumlah kasus sebanyak 52.566 (IR : 24,34/100.000 penduduk) dengan 814 kematian (CFR : 1,5 %), tahun 2004 jumlah kasus sebanyak 79.462 (IR : 37,01/100.000 penduduk) dengan 957 kematian (IR : 1,20 %), tahun 2005 jumlah kasus sebanyak 95.279 (IR : 43,31/100.000 penduduk) dengan 1.298 kematian (CFR : 1,36 %) tahun 2006 jumlah kasus sebanyak 114.656 (IR : 52,48/100.000 penduduk) dengan 1.196 kematian (CFR : 1,04 %), tahun 2007 jumlah kasus 124.811 (IR: 57,52/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%), tahun 2008 jumlah kasus 137.469 (IR = 59,02 per 100.000 penduduk) dengan 1.187 kematian (CFR = 0.86%), dan jumlah kasus pada tahun 2009 sebanyak 154.855 dengan 1.384 kematian (CFR = 0.89%).

Berdasarkan Grafik Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Per Propinsi di Indonesia Tahun 2011, Propinsi Jawa Tengah menduduki peringkat kedua terbanyak jumlah kasus Demam Berdarah Dengue dengan jumlah kasus sebanyak 2.345 setelah Propinsi Jawa Timur dengan jumlah kasus sebanyak 3.152.

Upaya pengendalian penyakit DBD yang telah dilakukan sampai saat ini adalah memberantas nyamuk penularnya, yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus baik nyamuk dewasa ataupun jentiknya karena obat dan vaksinnya untuk membasmi virusnya belum ada hingga saat ini. Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam Upaya pengendalian penyakit DBD yang telah dilakukan sampai saat ini adalah memberantas nyamuk penularnya, yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus baik nyamuk dewasa ataupun jentiknya karena obat dan vaksinnya untuk membasmi virusnya belum ada hingga saat ini. Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam

Salah satu upaya pencegahan yang paling utama adalah pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Kampanye PSN sudah digalakkan Departemen Kesehatan dengan semboyan 3M, yaitu menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup tempat-tempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk. Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M Plus yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan lotion anti nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi setempat.

Pemberantasan Sarang Nyamuk berperan sangat penting dalam mencegah terjadinya penularan penyakit demam berdarah dengue, karena dengan dilakukannya PSN dapat memutus siklus hidup vektor penyakit DBD yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Research, Kuala Lumpur, Malaysia dan Department of Health, Cebu City, Philippines ditemukan bahwa salah satu virus penyebab penyakit demam berdarah dengue, dengue virus type 2 (DEN-2), dapat ditransmisikan secara transovarial pada nyamuk Aedes aegypti sampai generasi kelima. Penelitian tersebut dilakukan dengan cara memberi makan 200 nyamuk Aedes aegypti betina berumur 4-5 hari dengan darah yang terinfeksi oleh dengue virus type

2 , kemudian nyamuk tersebut dibiakkan hingga sampai terdapat 7 generasi; setiap generasi diuji dengan menggunakan metode immunological staining untuk mengetahui keberadaan virus. Virus ternyata terdeteksi sampai pada generasi kelima tetapi pada generasi keenam dan ketujuh sudah tidak terdeteksi (Rohani et al., 2008)

Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan nyamuk Aedes aegypti masih dapat menularkan virus demam berdarah dengue tipe 2 walaupun keturunan dari nyamuk tersebut, sampai dengan generasi kelima, tanpa perlu menghisap terlebih dahulu darah dari penderita DBD. Oleh karena itu, sangat penting untuk memutus siklus hidup nyamuk dalam usaha pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah dengue.

Sampai saat ini, upaya PSN dengan 3M plus yang dilakukan baik masyarakat maupun pemerintah belum memberikan hasil yang diinginkan karena setiap tahun masih terjadi peningkatan jumlah kasus DBD. Berbagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam PSN sudah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum optimal dapat merubah perilaku masyarakat untuk Sampai saat ini, upaya PSN dengan 3M plus yang dilakukan baik masyarakat maupun pemerintah belum memberikan hasil yang diinginkan karena setiap tahun masih terjadi peningkatan jumlah kasus DBD. Berbagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam PSN sudah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum optimal dapat merubah perilaku masyarakat untuk

Dalam setiap persoalan kesehatan, termasuk dalam upaya penanggulangan DBD, faktor perilaku senantiasa berperan penting. Perhatian terhadap faktor perilaku sama pentingnya dengan perhatian terhadap faktor lingkungan, khususnya dalam hal upaya pencegahan penyakit. Perilaku kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah latar belakang seseorang. Latar belakang di sini mencakup pendidikan seseorang (Liana, 1996).

Seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan rendah atau buta huruf, pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat seseorang tersebut bersifat konservatif, karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik (Kasnodiharjo, 1998).

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, tiap tahunnya masih terjadi peningkatan kasus demam berdarah dan hal ini merupakan masalah

yang cukup serius dan perlu diwaspadai. Walaupun pemerintah telah mengajak masyarakat berperan dalam pencegahan demam berdarah melalui program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), namun hal tersebut belum

memberikan hasil yang diinginkan hingga saat ini. Beberapa faktor dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap PSN yang merupakan perilaku kesehatan dan salah satunya adalah tingkat pendidikan, maka peneliti ingin memberikan hasil yang diinginkan hingga saat ini. Beberapa faktor dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap PSN yang merupakan perilaku kesehatan dan salah satunya adalah tingkat pendidikan, maka peneliti ingin

B. Perumusan Masalah

Bagaimana hubungan tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan formal kepala keluarga dengan perilaku terhadap pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Dinas Kesehatan Surakarta untuk merumuskan langkah strategis yang dapat dilakukan dalam menurunkan angka kejadian DBD.

2. Masyarakat, sebagai informasi untuk lebih menggalakkan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk Aedes.

3. Orang lain, untuk menambah wawasan dan sumber pustaka.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pendidikan

Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) pendidikan adalah: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Pengertian kata “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan dalam pengertian yang agak luas dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Karena di dalam pendidikan tercakup proses perkembangan seseorang menuju kedewasaan maka pendidikan mempunyai tujuan untuk mengubah dan membentuk sikap, watak serta perilaku manusia ke arah yang lebih baik (Syah, 2011).

Berdasarkan

lingkungan

terselenggaranya, pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi: pendidikan informal, pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sehari-hari secara sadar atau tidak sepanjang hayat seseorang. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, pergaulan sehari-hari, pekerjaan, masyarakat, keluarga dan organisasi. Pendidikan non formal adalah pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu, dengan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat. Pendidikan formal adalah pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal karena diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan tinggi berdasarkan aturan resmi yang sudah ditetapkan (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991).

Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan formal terbagi atas tiga jenjang pendidikan yaitu:

a. Pendidikan dasar

Pada prinsipnya, pendidikan dasar memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Pada prinsipnya, pendidikan dasar memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah

b. Pendidikan menengah

Pendidikan menengah merupakan kelanjutan dari pendidikan dasar, yang dipersiapkan menjadi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan hubungan timbal balik dalam lingkungan dan dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Jenjang waktu yang ditempuh untuk pendidikan menengah adalah tiga tahun.

c. Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Pendidikan tinggi mencakup Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Pendidikan tinggi mencakup

3. Nyamuk Aedes

a. Taksonomi

Secara taksonomi, nyamuk Aedes dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Subfamili : Culicinae

Spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sucipto, 2011).

1) Aedes aegypti

Bagian tubuh nyamuk dewasa terdiri atas kepala, dada (toraks) dan perut (abdomen). Tanda khas Aedes aegypti berupa gambaran lyre pada bagian dorsal toraks (mesonotum) yaitu sepasang garis putih yang sejajar di tengah dan garis lengkung putih yang lebih tebal pada tiap sisinya. Probosis berwarna hitam, skutelum trilobi, bersisik lebar berwarna putih. Pada betina palpus lebih pendek dari probocis. dan abdomen berpita putih pada bagian basal. Ruas tarsus kaki belakang berpita putih. Sisik sayap sempit panjang dengan ujung runcing.

Telur Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, dan memiliki garis-garis yang menyerupai sarang lebah dengan panjang 0,5 mm. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan dalam suhu 2-24°C, namun akan menetas dalam waktu 1-2 hari pada kelembaban rendah. Setelah telur menetas kemudian akan menjadi larva. Larva Aedes aegypti memiliki sifon yang pendek dan mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri dari gigi-gigi bergerigi. Umur larva sekitar 7-9 hari kemudian menjadi pupa. Bentuk pada stadium pupa seperti bentuk terompet panjang dan ramping. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Setelah Telur Aedes aegypti berwarna putih saat pertama kali dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, dan memiliki garis-garis yang menyerupai sarang lebah dengan panjang 0,5 mm. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan dalam suhu 2-24°C, namun akan menetas dalam waktu 1-2 hari pada kelembaban rendah. Setelah telur menetas kemudian akan menjadi larva. Larva Aedes aegypti memiliki sifon yang pendek dan mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri dari gigi-gigi bergerigi. Umur larva sekitar 7-9 hari kemudian menjadi pupa. Bentuk pada stadium pupa seperti bentuk terompet panjang dan ramping. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Setelah

2) Aedes albopictus

Nyamuk Aedes albopictus mempunyai ciri morfologi yang mirip dengan nyamuk Aedes aegypti, namun memiliki beberapa perbedaan. Aedes albopictus dewasa mempunyai ciri-ciri fisik mempunyai gambaran sebuah pita putih longitudinal pada bagian mesotonum . Selain itu, larva Aedes albopictus mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen dan mempunyai gigi-gigi sederhana tanpa duri lateral. Stadium telur dan pupa pada nyamuk Aedes albopictus memiliki ciri morfologis yang sama dengan nyamuk Aedes aegypti (Sucipto, 2011).

c. Siklus Hidup

Telur nyamuk Aedes akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari, kemudian larva akan berubah menjadi pupa dalam waktu 5-15 hari. Stadium pupa biasanya berlangsung selama 2 hari. Dalam suasana optimum, perkembanga dari telur sampai dewasa memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari.

Setelah nyamuk berkembang dan keluar dari pupa, nyamuk akan beristirahat terlebih dahulu di kulit pupa untuk sementara waktu hingga sayap menjadi kaku dan kuat untuk terbang. Pupa jantan menetas lebih Setelah nyamuk berkembang dan keluar dari pupa, nyamuk akan beristirahat terlebih dahulu di kulit pupa untuk sementara waktu hingga sayap menjadi kaku dan kuat untuk terbang. Pupa jantan menetas lebih

Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat perindukan karena menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Sesudah kopulasi, nyamuk betina akan menghisap darah manusia yang diperlukannya untuk pembentukan telur. Waktu dari mulai nyamuk menghisap darah hingga telur dikeluarkan berlangsung sekitar 3-4 hari. Kemudian nyamuk betina akan meletakkan telurnya pada dinding tempat air di mana telur akan berkembang dan menetas. Jumlah telur yang dikeluarkan nyamuk betina rata-rata berjumlah 150 butir telur (Sungkar, 2005).

d. Kebiasaan Hidup Nyamuk

Aedes aegypti berkembangbiak di dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas

bunga, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Aedes albopticus juga demikian tetapi lebih banyak terdapat di luar

rumah, seperti dahan pohon atau daun yang menampung air.

Nyamuk Aedes aegypti aktif menghisap darah pada siang hari dengan 2 puncak aktivitas, yaitu pada pukul 08.00-12.00 dan 15.00-

17.00. nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik, nyamuk betina lebih suka menghisap darah manusia darpada darah binatang dan mempunyai kebiasaan menggigit berulang sampai lambung penuh berisi darah.

kopulasi. Setelah menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti hinggap untuk beristirahat dalam rumah yang berdekatan dengan tempat berkembangbiaknya. Tempat hinggap yang disenangi adalah tempat yang gelap dan lembab, dan nyamuk senang hinggap di benda yang menggantung seperti pakaian, kelambu, atau tumbuh-tumbuhan. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat berkembangbiaknya, sedikit di atas permukaan air. Jumlah telur yang dikeluarkan adalah sekitar 100- 400 butir.

Nyamuk Aedes aegypti biasa menempatkan telurnya di air jernih terutama bak air WC, bak mandi, dan gentong air minum, sedangkan nyamuk Aedes albopticus lebih senang bertelur di luar rumah, seperti pekarangan, atau di kaleng sampah yang dibuang (Sucipto, 2011).

Jarak terbang nyamuk Aedes sekitar 30-50 meter per hari, tetapi jarak terbang ini juga bergantung dari tempat bertelur. Apabila tempat bertelur terdapat di dalam rumah atau di sekitar rumah maka nyamuk tidak akan terbang jauh. Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata

40 meter, maksimal 100 meter. Namun, nyamuk dapat berpindah lebih jauh secara pasif karena terbawa angin atau kendaraan (Sungkar, 2005).

Infeksi virus dengue adalah penyakit yang sistemik dan dinamis. penyakit ini memiliki spektrum klinis yang luas yang meliputi baik manifestasi klinis berat dan ringan (WHO, 2009).

a. Etiologi

Virus dengue termasuk group B arthropod bone virus dan sekarang lebih dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain (Merdjani et al, .2008).

b. Patofisiologi

1) Volume Plasma

Patofisio logi utama yang membedakan antara Demam Dengue dengan Demam Berdarah Dengue adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemorrhagik. Penyelid ikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncak pada masa syok. Pada kasus berat,

bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningkatnya nilai hematokrit pada kasus syok mengarahkan kepada dugaan bahwa syok terjadi akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular melalui kap iler yang rusak. Bukti yang mendukung adalah ditemukannya cairan dalam rongga serosa seperti rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada autopsi yang ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema (Merdjani et al, .2008).

2) Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang sering ditemukan pada kasus DBD. Nilai trombosit menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Trombositopenia dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit akibat peningkatan destruksi trombosit. Fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun yang kemungkinan disebabkan oleh proses imunologis. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD (Merdjani et al, .2008).

Kelainan sistem koagulasi juga berperan sebagai penyebab perdarahan pada DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal atau memanjang, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, yaitu faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP).

Penelitian lebih lanjut membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Selain itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak fibrinogen dan faktor VIII. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan adanya penurunan aktivit

-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen (Merdjani, et al., .2008).

Selain itu, pada penderita DBD terjadi disfungsi endotel, hal ini dibuktikan dengan terdapatnya peningkatan kadar sVCAM-1, faktor von Willebrand (vWF) dan D dimer. Namun tidak ada hubungan antara sVCAM-1 dengan beratnya penyakit, hanya ada hubungan yang lemah antara vWF dengan D dimer maupun beratnya penyakit (Dharma, et al., 2006).

Terdapat penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok atau tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen bukan karena produksi yang menurun. Aktivasi sistem komplemen

menghasilkan anafilatoksin C 3a dan C 5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Selain itu, komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF), interfeon gamma , dan interleukin (IL-2 dan IL-1) (Merdjani et al, .2008).

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atipik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam presentase tinggi (20-50%). Hal tersebut khas untuk DBD karena pada infeksi virus lain hanya terdapat sekitar 0-10%. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Sutaryo pada tahun 1978, yang kemudian menyebutnya sebagai Limfosit Plasma Biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari keenam. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit T. LPB adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua, ukurannya lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval. Kromosom inti kasar dan terkadang dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru (Merdjani, et al., .2008)

Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopticus sebagai vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai diagnosis banding. Demam Berdarah Dengue dapat terjadi apabila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya (Hendrawanto, 2002).

Organ sasaran dari virus dengue ini adalah organ Reticulo Endotelial System (RES) yang meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Setelah masuk dalam aliran darah, virus akan difagosit oleh sel-sel monosit perifer. Namun, virus tersebut ternyata mampu bertahan hidup dan dapat melakukan multiplikasi di dalam sel monosit. Virus akan melakukan hal tersebut dengan cara memasukkan genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, kemudian genom akan virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN ini terjadi dalam sitoplasma sel.

Secara In Vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai empat fungsi biologis yaitu: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody

Enhancement (ADE).

Antibodi terhadap virus DEN secara In Vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda, yaitu : Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies yang memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah infeksi virus dan antibody non neutralising yang memiliki peran cross-reactive dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun, berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD dan DSS. Dua teori yang sering digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder (Secondary heterologous infection theory) dan hipotesis Antibody Dependent Enhancement (ADE).

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis serotipe virus, maka akan terjadi proses kekebalan terhadap virus jenis tersebut untuk jangka

waktu yang lama, tetapi apabila orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dari jenis serotipe virus yang berbeda, maka akan terjadi infeksi yang berat. Antibodi yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue dengan waktu yang lama, tetapi apabila orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dari jenis serotipe virus yang berbeda, maka akan terjadi infeksi yang berat. Antibodi yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue dengan

Karena adanya non neutralizing antibody, maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG akan membentuk suatu kompleks virus- antibodi. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor Fc gama pada sel, yang akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi juga akan meliputi sel makrofag yang beredar, antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi dan akan teraktivasi, yang selanjutnya akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF-

Platelet Activating Faktor (PAF). TNF- akan berperan dalam menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah, dimana hal-hal tersebut dapat mengakibatkan syok.

Pada teori yang lain, yaitu teori Antibody Dependent Enhancement (ADE), menyebutkan tiga hal, yaitu: antibodies enhance infection, T- cells enhance infection serta limfosit T dan monosit yang akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjad inya DBD dan DSS.

Teori ADE dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah timbulnya penyakit, akan tetapi apabila antibodi yang Teori ADE dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah timbulnya penyakit, akan tetapi apabila antibodi yang

Dalam teori ADE diperkirakan bahwa proses terjadinya peningkatan replikasi virus pada infeksi sekunder adalah akibat antibodi

yang berkadar rendah dan bersifat subnetral yang sudah terbentuk pada saat terjadi infeksi primer tidak mampu membunuh virus, sehingga

kompleks imun melekat pada reseptor Fc sel mononuklear fagosit, terutama makrofag, yang kemudian akan mempermudah virus masuk ke sel dan meningkatkan kemampuan multiplikasi virus tersebut (Sutaryo, 2004).

Imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam serum pasien DD, DBD dan DSS didominasi o leh IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA dijumpai paling banyak pada fase akut dari DSS. Sehingga banyak juga yang mengatakan bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan DSS.

Di samping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang patogenesis dari DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus, teori ini didasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.

bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4 dan C5. Selain itu, pada 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus Dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut juga akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Juga ada teori mediator, yang menjelaskan bahwa makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF, dan lain lain. Diperkirakan mediator dan endotoksin yang bertanggungjawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Pada infeksi virus dengue, virem ia terjadi sangat cepat, akan tetapi derajat kerusakan jaringan yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian dari infeksi virus tersebut, kematian lebih disebabkan oleh gangguan metabolik dan juga keadaan shock. Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel akan menimbulkan stres pada sel sampai dapat menyebabkan kematian sel (apoptotik). Mekanisme pertahanan tubuh melalu i apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal juga ketidakseimbangan homeostasis.

Pada infeksi fase akut virus dengue terjadi penurunan dari populasi limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi Pada infeksi fase akut virus dengue terjadi penurunan dari populasi limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi

Sehingga, pada infeksi virus Dengue fase akut akan terjadi penurunan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin

proinflamasi TNF-a akan meningkat dan berperan penting dalam derajat keparahan dan patogenesis DBD/DSS. Juga terjadi peningkatan IL-10 yang akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit. Penyebab utama dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan DSS disebabkan oleh kerjasama aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik (Soegijanto, 2006).

d. Manifestasi Klinis

Infeksi virus dengue mungkin bersifat asimtomatik atau dapat menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (undifferentiated fever), Demam Dengue (Dengue Fever), atau Demam Berdarah Dengue

(Dengue Haemorrhagic Fever) termasuk Sindrom Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome) dan Expanded Dengue Syndrome. Infeksi salah satu serotipe dengue akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya ada proteksi-silang jangka (Dengue Haemorrhagic Fever) termasuk Sindrom Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome) dan Expanded Dengue Syndrome. Infeksi salah satu serotipe dengue akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya ada proteksi-silang jangka

1) Demam tidak terdiferensiasi

Pada bayi, anak dan orang dewasa yang terinfeksi virus dengue, terutama untuk pertama kalinya (infeksi dengue primer), dapat terjadi demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai normal. Gejala saluran pernapasan atas dan saluran pencernaan juga umum terjadi (WHO, 2011).

2) Demam Dengue

Pada masa awal penyakit b iasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri di berbagai bagian tubuh, anoreksia, menggigil, dan malaise. Akan dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan ruam. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, pada hari sakit ke 3-5 dan berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada penekanan. Ruam biasanya terdapat di dada, abdomen, anggota gerak dan wajah.

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, selain itu rasa tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek

Kelenjar limfa servikal d ilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama

periode pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak

penyakit dan masa kovalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi akan menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.

Komplikasi demam dengue jarang dilaporkan, antara lain orkhitis atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis juga dilaporkan, di antaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang sementara, meningismus, dan ensefalopati (Merdjani, et al., 2008).

3) Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).

memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di anggota gerak, wajah, aksila sering ditemukan pada masa dini demam. Perdarahan dapat juga terjadi di setiap organ tubuh. Pada masa kovalesens sering ditemukan eritema pada telapak tangan dan kaki.

Pada DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk. Hal

tersebut biasa terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu antara hari sakit ke 3-7. Pada sebagian kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit terasa lembab dan dingin, sianosis di sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak akan tampak lesu dan gelisah kemudian secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien sering mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

Selain kegagalan sirku lasi, saat syok tekanan nadi menurun menjadi 20 mm Hg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mm Hg atau lebih rendah. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000/µ l ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan sebuah bukti adanya kebocoran plasma. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan adalah hipoproteinemia, Selain kegagalan sirku lasi, saat syok tekanan nadi menurun menjadi 20 mm Hg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mm Hg atau lebih rendah. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000/µ l ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan sebuah bukti adanya kebocoran plasma. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan adalah hipoproteinemia,

4) Expanded Dengue Syndrome

Merupakan manifestasi klinis yang tidak biasa pada pasien dengan keterlibatan organ-organ penting seperti hati, otak ginjal, atau jantung yang terkait dengan infeksi dengue yang tidak terdapat kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak biasa ini, mungkin terkait dengan co-infeksi, komorbiditas atau komplikasi syok yang berkepanjangan. Investigasi lengkap harus dilakukan dalam kasus ini. Kebanyakan pasien DBD yang memiliki manifestasi yang tidak biasa adalah hasil dari syok berkepanjangan dengan kegagalan organ atau pasien dengan penyakit penyerta atau koinfeksi (WHO, 2011).

Manifestasi Klinis ini mungkin tidak dilaporkan, tidak terdeteksi, atau tidak terkait dengan infeksi dengue. Namun, penilaian klinis yang tepat sangat penting dilakukan agar selanjutnya

dapat diberikan manajemen dan penatalaksanaan yang sesuai.

Tidak Umum pada Infeksi Dengue)

Sistem

Manifestasi Klinis yang Tidak Umum

Neurologis

Kejang demam pada anak-anak Ensefalopati Ensefalitis/meningitis aseptik Perdarahan intrakranial Efusi subdural Mononeuropati/polineuropati Guillane-Barre Syndrome Transverse myelitis

Gastrointestinal