MASALAH DAN KONFLIK BAGAI DUA SISI YANG
MASALAH DAN KONFLIK BAGAI DUA SISI YANG MELEKAT DALAM
AGRARIA
Oleh : Nurul Mahmudah dan Uhriza Rahmawan
Sejak dulu kala, Indonesia sudah dikenal dengan negara agraris, hamparan tanah yang
subur, serta wilayah yang strategis. Tanahnya yang subur menjadi daya magnet tersendiri bagi
penjajah yang pernah singgah bahkan menjajah di negara yang mendapat julukan negeara agraris
ini. Bagi mereka tanah memberikan keuntungan karena tanah merupakan faktor produksi yang
dapat diolah dan menghasilkan profit. Meminjam bahasa dalam buku Dasar Ekonomi Politik,
para penjajah menguasai tanah di Indonesia karena adanya profit motive.
Profite motive merupakan sikap yang dimiliki para pemilik modal untuk menyuburkan
aset-aset yang dimilikinya. Tanah bak lahan investasi yang banyak dilirik oleh para pemilik
modal. Bagaimana awal historisnya permasalahan pembagian tanah? Apakah semua lahan adalah
milik negara? Ataukah tanah hanya dimiliki oleh pemilik modal? Pola kepemilikian tanah pada
awalnya dibagi menjadi 2 yaitu secara turun temurun dan kepemilikan bersama.
Pola kepemilikan tanah turun temurun artinya tanah warisan milik pribadi yang dapat
dialihkan bebas oleh pemiliknya, sedangkan pola kepemilikan artinya penggarap tanah memiliki
hak atas menggarap tanah tersebut serta tanah tersebut tidak dapat dialihkan tanpa persetujuan
pemerintah. Dari pembagian pola-pola tersebut memunculkan terjadinya suatu peralihan fungsi
dan kepemilikan tanah.
Apakah peralihan fungsi tanah dan kepemilikan tanah merupakan pokok permasalahan
agraria? Sebenarnya ketika alih fungsi tanah masih dalam koridornya seperti untuk pertanian,
tidak masalah. Permasalahan alih fungsi tanah merupakan permasalahan agraria, karena menurut
Budi Harsono (tahun berapa uh?) dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia
menyatakan, bahwa pengertian agraria dalam UUPA menganut arti luas yaitu, bumi,air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Permasalahan agraria yang terjadi akhir-akhir ini
dimasa rezim Jokowi seperti alih fungsi lahan tidak sesuai dengan koridornya. Mulai dari
permasalahan alih fungsi hutan yang dijadikan PLTPB Baturaden, alih fungsi laut untuk PLTU
Batang, alih fungsi tanah untuk bandara di Kulon Progo, alih fungsi lahan untuk pembangunan
pabrik semen di Kendeng, konflik di Teluk Jambe serta banyak alih fungsi tanah lain. Bukankah
alih fungsi lahan seperti PLTB, PLTU, bandara, pabrik semen dan sebagainya bukankah baik, itu
juga sebagai kemajuan infrastruktur negara ini? Tentu saja, infrastruktur akan maju, namun apa
saja yang menjadi akar permasalahan agraria hingga bisa menimbulkan konflik?
Pertama, dilihat dari sisi ekonomi politik, permasalahan berakar dari para pelaku agraria.
Tanah sebagai faktor produksi akan dikuasai oleh pemilik modal, sehingga permasalahan agraria
tak terlepas dengan subyek agraria. Menurut M.T Felix Sitorus (tahun berapa uh) dalam buku
Menuju Keadilan Agraria, Subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu masyarakat, pemerintah,
swasta. Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki
ikatan dengan sumber-sumber agraria tersebut melalui institusi penguasaan. Dalam hal ini, ketika
ketiga subyek agraria bisa mengalihfungsikan lahan untuk pertanian dengan pola kemitraan yang
sesuai maka akan timbul hubungan mutualisme, akan tetapi dalam persoalan-persoalan yang
sekarang terjadi seperti alih fungsi hutan oleh PT. Sae untuk PLTB, alih fungsi tanah oleh PT.
Semen Indonesia untuk pembangunan pabrik semen di Kendeng, dan perusahaan swasta lain
yang mengalihfungsikan lahan yang kurang tepat, hal tersebut telah menunjukkan bahwa
masuknya perusahaan swasta tersebut dalam persoalan agraria hanyalah untuk mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bung Karno dalam
buku Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno (2014) mengatakan bahwa para
pemilik modal atau borjuis menguasai pemerintah dengan tujuan menyuburkan aset-asetnya yang
didapatkan dari akumulasi nilai lebih. Permasalahan-permasalahan menimbulkan dampak dan
konflik bagi masyarakat pemilik tanah maupun masyarakat sekitarnya. Apa yang didapatkan dari
masyarakat? Uang alih fungsi lahan? Lapangan pekerjaan? Ataukah kesejahteraan? Ketiga hal
tersebut hanya fiktif belaka, khayalan tinggi, yang didapatkan masyarakat adalah kekerasan.
Kekerasan terjadi akibat masyarakat menolak terhadap pembangunan alih fungsi lahan yang
secara umum sudah menjadi visi bagi pembangunan di negeri yang katanya tanahnya bagai tanah
surga. Kekerasan dianggap sebagai alat pemenang dalam persoalan agaria.
Dari permasalahan-permasalahan yang sekarang terjadi, apakah kekerasan atau tindakan
represitas selalu ada dalam persoalan agraria? Jelas, ketika masyarakat menolak terhadap
pembangunan dengan jalan unjuk rasa, maka disitu selalu ada aparat keamanan yang katanya
sebagai pengyom dan pelindung masyarakat. Namun, yang didapatkan masyarakat adalah
tindakan kekerasan dari sang pelindung masyarakat. Disni peran negara, peran perusahaan
swasta hanyalah menindas masyarakat lemah, mereka tidak pernah memikirkan kesejahteraan
masyarakat, yang ada dalam pikiran mereka hanyalah profit. Disnilah pembuktian perkataan
Bung Karno dalam Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme (2014) berkaitan dengan sistem
pemerintah telah dikuasai oleh sang kapitalis. Disini peran negara dan swasta dalam alih fungsi
lahan adalah permasalahan sedangkan penolakan yang berujung kekerasan adalah konflik.
Konflik terjadi karena adanya permasalahan, sehingga konflik dan masalah bagai dua mata sisi
yang saling melekat bahkan berhubungan.
Kedua, ditinjau dari segi hukum, undang-undang yang mengatur agraria sebagai pintu
gerbang masuknya pemilik modal untuk mengikis habis lahan dengan tujuan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hukum sebenarnya merupakan aturan dengan tujuan peraturan tersebut dapat
ditaati untuk kepentingan dan kesejahteraan. Mengapa peraturan agraria itu dibuat bukankah agar
tidak terjadi penyimpangan? Kenapa peraturan tersebut menjadi senjata makan tuan yaitu
mengakibatkan masuknya para pemilik modal untuk menyuburkan asetnya? Negara sang
regulator yang mengeluarkan peraturan tentunya membawa permasalahan ini kearah yang lebih
konkrit.
Negara memberikan aturan misalnya, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak
pengelolaan. Negara juga menarik pajak. Negara juga menguasai tanah yang dianggap sebagai
tanah negara. Namun kadang terjadi kasus, tanah yang dikuasai rakyat lama, kemudian diminta
oleh pemerintah karena dianggap tanah negara. Masyarakat yang merasa menggarap dan
meilikinya bertahun-tahun tidak dapat menerima dan mempertahankannya. Ada juga
pengambilan tanah yang dianggap sebagai milik negara atau tidak boleh untuk digunakan,
namun ternyata kemudian diberikan pengelolaannya kepada pemilik modal. Dari hal tersebut
dapat dilihat bahwa negara belum bersifat netral dan melindungi kepentingan warga.
Undang-undang pokok agraria diatur dalam UUPA No. 5 tahun 1960, undang-undang
tersebut lahir sebagai turunan dari pasal 33 UUD 1945 yang intinya berisi pengembangan
sumber daya alam berbasis ekonomi kerakyatan. Namun pada praktiknya, UUPA tidak relevan
dengan fakta permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan UUPA dinilai sebagai upaya
menggantikan UU Agraria 1870 yang merupakan warisan kolonial zaman penajajahan. UUPA
bagaikan reinkarnasi dari UU Agraria 1870 yang menyebabkan akar pertumbuhan perusahaan
swasta untuk menanamkan benih-benih modal. Peraturan tersebut menjamin tanah penduduk,
dan tanah tidak bertuan diserahkan pada negara. Namun pada kenyataannya, kita menilik pada
kasus agraria yang sekarang terjadi, tanah negara maupun tanah rakyat kini telah menjadi lahan
bebas bagi para investor. Seolah-olah peraturan tersebut tidak berlaku, hukum dapat dibeli atau
dapat dikatakan bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Dalam hal ini
yang menjadi masalah karena lemahnya hukum agraria dana menjadi konflik adalah tumbuh
suburnya pemilik modal dalam mengalihfungsikan lahan. Keduanya menunjukan dua mata sisi
yang saling berhubungan erat.
Ketiga, bila dari prespektif sosial, bukankah dengan adanya alihfungsi lahan menjadi
bandara, PLTB, PLTU, pabrik semen dan lain sebagainya dapat menjadi lahan pekerjaan bagi
masayarakat? Tentu tidak menimbulkan masalah bahkan konflik , bukan? Tentu saja, dengan
adanya pembangunan, akan menjadi dampak terciptanya lapangan pekerjaan untuk masyarakat
sekitar. Namun, apa yang menjadi masalah dan konflik? Yang menjadi masalah yaitu kurangnya
pendidikan dan pengetahuan masyarakat sekitar akan memperkecil kesempatan diterimanya
kerja. Kalaupun dengan pendidikan yang rendah, masyarakat akan kerja ditempat tersebut
dengan posisi kerja seperti penjaga keamanan. Lalu bukankah masyarakat sekitar yang memiliki
tanah, tentunya ketika akan terjadi alihfungsi maka akan mendapat upah ganti? Tentu, upah ganti
lahan akan diberikan sebanding dengan luas lahannya. Ketika masyarakat yang hanya memiliki
lahan yang kecil, dan menggantungkan hidupnya dengan lahan tersebut, apakah uang ganti akan
cukup menghidupi kebutuhannya? Tentu tidak, permasalahan-permasalahan tersebut yang
menjadikan terjadinya konflik agraria.
Keempat, ditinjau dari segi lingkungan, apakah persoalan agraria menjadi permasalahan
dan konflik? Jelas, dengan adanya alihfungsi lahan yang kurang tepat, mengakibatkan dampak
terhadap lingkungan. Kenyamanan lingkungan sekitar warga terganggu akibat yang ditimbulkan
dari alihfungsi lahan tersebut? Misalnya turunnya babi hutan akibat alihfungsi hutan untuk
pembangunan PLTB Baturaden, rusaknya anemon laut akibat pembangunan PLTU di Batang,
dan kerusakan lainnya akibat alihfungsi lahan yang tidak tepat. Pemerintah tidak pernah
mengevaluasi dampak-dampak yang ditimbulkan ketika akan membangun infrastruktur yang
mengalihfungsikan lahan yang kurang tepat. Sejatinya masyarakat ingin mendapatkan
lingkungan yang nyaman, sehat, dan sejahtera.
Suatu permasalahan selalu menimbulkan konflik, sehingga keduanya bagaikan kertas
dengan lem yang saling melekat satu sama lain. Dari berbagai permasalahan agraria dari
berbagai prespektif menimbulkan konflik karena permaslahan tersebut memberikan dampak
negatif baik rakyat lemah maupun terhadap kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya. Terus,
dengan dampak yang ditimbulkan, langkah apa yang harus dilakukan? Langkah yang harus
dulakukan yaitu dengan merevolusi permasalahan agraria. Bagaimana caranya untuk merevolusi
agraria? Kita sebagai mahasiswa melihat permasalahan agraria yang sekarang masih hangathangatnya terjadi hingga menimbulkan konflik, tentunya kita harus memiliki kepekaan hati
terhadap masalah tersebut. Apa yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa, bukankah
tugasnya mahasiswa hanyalah belajar dengan rajin agar dapat IPK tinggi dan lulus? Benar,
tugasnya mahasiswa adalah belajar, namun menilik tridarma perguruan tinggi yang ketiga yaitu
mengabdi masyarakat,tentunya kita harus memiliki kepekaan terhadap permasalahan agraria
yang berdampak pada masyarakat sekitar daerah yang dialihfungsikan demi kepentingan
korporat. Bagaimana caranya? Caranya dengan mencerdaskan masyarakat dengan ilmu yang kita
miliki mengenai permasalahan agaria dan dampaknya, bersama masyarakat ikut andil dalam
menyampaikan aspirasinya ke pemerintah dengan cara yang baik, tidak anarkis.
Lalu, kenapa ketika mahasiswa dan masyarakat menyampaikan aksi keresahan terhadap
permasalahan agraria selalu kekerasan, kriminalisasi, represitas yang didapatkan? Konflik sealu
muncul dalam permasalahan agraria? Munculnya beberapa konflik agraria akhir-akhir ini telah
menyebabkan terjadinya konsentrasi penguasaan terhadap sumber-sumber agraria yang tentunya
menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur agraria. Sementara UndangUndang Pokok Agraria 1960 yang diharapkan sebagai payung hukum untuk membongkar
ketidakadilan tersebut menjadi dead letter , justru makna filosofis dan kesejatiannya di bolakbalik oleh penguasa yang berpihak kepada modal. Hal inilah yang memicu rakyat untuk
mengambil langkah sendiri dalam merebut kembali haknya, yang dalam prosesnya dapat
dipastikan selalu terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan selalu menjadi alat pemenang
dalam konflik agraria.
Mari sama-sama mereformasi agraria, reformasi agraria butuh kekuatan diluar
petani/rakyat, kita sebagai mahasiswa ketika suatu saat nanti memimpin di negeri ini, mohon
sangat untuk bisa memimpin dengan baik, memperhatikan aspirasi rakyat, jangan jadikan
langkah sekarang yang mendukung reformasi agraria nantinya ketika masuk dunia politik hanya
sebagai batu loncatan, tapi diterapkan dalam langkah konkrit, jangan terpengaruh oleh rezim
politik World Bank, WTO, IMF, dan negara maju lainnya. Dengan demikian reformasi agraria
harus berdasarkan falsafah kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan pemodal. Tolak
pengghisapan manusia dan alam yang dilakukan oleh manusia lain yang menganggap dunia ini
didirikan karena kekuatan modal.
Soekarno.2014. Pokok-Pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno. Yogyakarta : Media
Pressindo
Ya’kub, Ahmad. 2004. Agenda Neoliberal Menyusup Melal Ui Kebijakan Agraria Di Indonesia.
Jurnal Analisis Sosial.9 (1): 47-63
AGRARIA
Oleh : Nurul Mahmudah dan Uhriza Rahmawan
Sejak dulu kala, Indonesia sudah dikenal dengan negara agraris, hamparan tanah yang
subur, serta wilayah yang strategis. Tanahnya yang subur menjadi daya magnet tersendiri bagi
penjajah yang pernah singgah bahkan menjajah di negara yang mendapat julukan negeara agraris
ini. Bagi mereka tanah memberikan keuntungan karena tanah merupakan faktor produksi yang
dapat diolah dan menghasilkan profit. Meminjam bahasa dalam buku Dasar Ekonomi Politik,
para penjajah menguasai tanah di Indonesia karena adanya profit motive.
Profite motive merupakan sikap yang dimiliki para pemilik modal untuk menyuburkan
aset-aset yang dimilikinya. Tanah bak lahan investasi yang banyak dilirik oleh para pemilik
modal. Bagaimana awal historisnya permasalahan pembagian tanah? Apakah semua lahan adalah
milik negara? Ataukah tanah hanya dimiliki oleh pemilik modal? Pola kepemilikian tanah pada
awalnya dibagi menjadi 2 yaitu secara turun temurun dan kepemilikan bersama.
Pola kepemilikan tanah turun temurun artinya tanah warisan milik pribadi yang dapat
dialihkan bebas oleh pemiliknya, sedangkan pola kepemilikan artinya penggarap tanah memiliki
hak atas menggarap tanah tersebut serta tanah tersebut tidak dapat dialihkan tanpa persetujuan
pemerintah. Dari pembagian pola-pola tersebut memunculkan terjadinya suatu peralihan fungsi
dan kepemilikan tanah.
Apakah peralihan fungsi tanah dan kepemilikan tanah merupakan pokok permasalahan
agraria? Sebenarnya ketika alih fungsi tanah masih dalam koridornya seperti untuk pertanian,
tidak masalah. Permasalahan alih fungsi tanah merupakan permasalahan agraria, karena menurut
Budi Harsono (tahun berapa uh?) dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia
menyatakan, bahwa pengertian agraria dalam UUPA menganut arti luas yaitu, bumi,air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Permasalahan agraria yang terjadi akhir-akhir ini
dimasa rezim Jokowi seperti alih fungsi lahan tidak sesuai dengan koridornya. Mulai dari
permasalahan alih fungsi hutan yang dijadikan PLTPB Baturaden, alih fungsi laut untuk PLTU
Batang, alih fungsi tanah untuk bandara di Kulon Progo, alih fungsi lahan untuk pembangunan
pabrik semen di Kendeng, konflik di Teluk Jambe serta banyak alih fungsi tanah lain. Bukankah
alih fungsi lahan seperti PLTB, PLTU, bandara, pabrik semen dan sebagainya bukankah baik, itu
juga sebagai kemajuan infrastruktur negara ini? Tentu saja, infrastruktur akan maju, namun apa
saja yang menjadi akar permasalahan agraria hingga bisa menimbulkan konflik?
Pertama, dilihat dari sisi ekonomi politik, permasalahan berakar dari para pelaku agraria.
Tanah sebagai faktor produksi akan dikuasai oleh pemilik modal, sehingga permasalahan agraria
tak terlepas dengan subyek agraria. Menurut M.T Felix Sitorus (tahun berapa uh) dalam buku
Menuju Keadilan Agraria, Subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu masyarakat, pemerintah,
swasta. Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki
ikatan dengan sumber-sumber agraria tersebut melalui institusi penguasaan. Dalam hal ini, ketika
ketiga subyek agraria bisa mengalihfungsikan lahan untuk pertanian dengan pola kemitraan yang
sesuai maka akan timbul hubungan mutualisme, akan tetapi dalam persoalan-persoalan yang
sekarang terjadi seperti alih fungsi hutan oleh PT. Sae untuk PLTB, alih fungsi tanah oleh PT.
Semen Indonesia untuk pembangunan pabrik semen di Kendeng, dan perusahaan swasta lain
yang mengalihfungsikan lahan yang kurang tepat, hal tersebut telah menunjukkan bahwa
masuknya perusahaan swasta tersebut dalam persoalan agraria hanyalah untuk mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bung Karno dalam
buku Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno (2014) mengatakan bahwa para
pemilik modal atau borjuis menguasai pemerintah dengan tujuan menyuburkan aset-asetnya yang
didapatkan dari akumulasi nilai lebih. Permasalahan-permasalahan menimbulkan dampak dan
konflik bagi masyarakat pemilik tanah maupun masyarakat sekitarnya. Apa yang didapatkan dari
masyarakat? Uang alih fungsi lahan? Lapangan pekerjaan? Ataukah kesejahteraan? Ketiga hal
tersebut hanya fiktif belaka, khayalan tinggi, yang didapatkan masyarakat adalah kekerasan.
Kekerasan terjadi akibat masyarakat menolak terhadap pembangunan alih fungsi lahan yang
secara umum sudah menjadi visi bagi pembangunan di negeri yang katanya tanahnya bagai tanah
surga. Kekerasan dianggap sebagai alat pemenang dalam persoalan agaria.
Dari permasalahan-permasalahan yang sekarang terjadi, apakah kekerasan atau tindakan
represitas selalu ada dalam persoalan agraria? Jelas, ketika masyarakat menolak terhadap
pembangunan dengan jalan unjuk rasa, maka disitu selalu ada aparat keamanan yang katanya
sebagai pengyom dan pelindung masyarakat. Namun, yang didapatkan masyarakat adalah
tindakan kekerasan dari sang pelindung masyarakat. Disni peran negara, peran perusahaan
swasta hanyalah menindas masyarakat lemah, mereka tidak pernah memikirkan kesejahteraan
masyarakat, yang ada dalam pikiran mereka hanyalah profit. Disnilah pembuktian perkataan
Bung Karno dalam Pokok-pokok Ajaran Marhaenisme (2014) berkaitan dengan sistem
pemerintah telah dikuasai oleh sang kapitalis. Disini peran negara dan swasta dalam alih fungsi
lahan adalah permasalahan sedangkan penolakan yang berujung kekerasan adalah konflik.
Konflik terjadi karena adanya permasalahan, sehingga konflik dan masalah bagai dua mata sisi
yang saling melekat bahkan berhubungan.
Kedua, ditinjau dari segi hukum, undang-undang yang mengatur agraria sebagai pintu
gerbang masuknya pemilik modal untuk mengikis habis lahan dengan tujuan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hukum sebenarnya merupakan aturan dengan tujuan peraturan tersebut dapat
ditaati untuk kepentingan dan kesejahteraan. Mengapa peraturan agraria itu dibuat bukankah agar
tidak terjadi penyimpangan? Kenapa peraturan tersebut menjadi senjata makan tuan yaitu
mengakibatkan masuknya para pemilik modal untuk menyuburkan asetnya? Negara sang
regulator yang mengeluarkan peraturan tentunya membawa permasalahan ini kearah yang lebih
konkrit.
Negara memberikan aturan misalnya, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak
pengelolaan. Negara juga menarik pajak. Negara juga menguasai tanah yang dianggap sebagai
tanah negara. Namun kadang terjadi kasus, tanah yang dikuasai rakyat lama, kemudian diminta
oleh pemerintah karena dianggap tanah negara. Masyarakat yang merasa menggarap dan
meilikinya bertahun-tahun tidak dapat menerima dan mempertahankannya. Ada juga
pengambilan tanah yang dianggap sebagai milik negara atau tidak boleh untuk digunakan,
namun ternyata kemudian diberikan pengelolaannya kepada pemilik modal. Dari hal tersebut
dapat dilihat bahwa negara belum bersifat netral dan melindungi kepentingan warga.
Undang-undang pokok agraria diatur dalam UUPA No. 5 tahun 1960, undang-undang
tersebut lahir sebagai turunan dari pasal 33 UUD 1945 yang intinya berisi pengembangan
sumber daya alam berbasis ekonomi kerakyatan. Namun pada praktiknya, UUPA tidak relevan
dengan fakta permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan UUPA dinilai sebagai upaya
menggantikan UU Agraria 1870 yang merupakan warisan kolonial zaman penajajahan. UUPA
bagaikan reinkarnasi dari UU Agraria 1870 yang menyebabkan akar pertumbuhan perusahaan
swasta untuk menanamkan benih-benih modal. Peraturan tersebut menjamin tanah penduduk,
dan tanah tidak bertuan diserahkan pada negara. Namun pada kenyataannya, kita menilik pada
kasus agraria yang sekarang terjadi, tanah negara maupun tanah rakyat kini telah menjadi lahan
bebas bagi para investor. Seolah-olah peraturan tersebut tidak berlaku, hukum dapat dibeli atau
dapat dikatakan bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Dalam hal ini
yang menjadi masalah karena lemahnya hukum agraria dana menjadi konflik adalah tumbuh
suburnya pemilik modal dalam mengalihfungsikan lahan. Keduanya menunjukan dua mata sisi
yang saling berhubungan erat.
Ketiga, bila dari prespektif sosial, bukankah dengan adanya alihfungsi lahan menjadi
bandara, PLTB, PLTU, pabrik semen dan lain sebagainya dapat menjadi lahan pekerjaan bagi
masayarakat? Tentu tidak menimbulkan masalah bahkan konflik , bukan? Tentu saja, dengan
adanya pembangunan, akan menjadi dampak terciptanya lapangan pekerjaan untuk masyarakat
sekitar. Namun, apa yang menjadi masalah dan konflik? Yang menjadi masalah yaitu kurangnya
pendidikan dan pengetahuan masyarakat sekitar akan memperkecil kesempatan diterimanya
kerja. Kalaupun dengan pendidikan yang rendah, masyarakat akan kerja ditempat tersebut
dengan posisi kerja seperti penjaga keamanan. Lalu bukankah masyarakat sekitar yang memiliki
tanah, tentunya ketika akan terjadi alihfungsi maka akan mendapat upah ganti? Tentu, upah ganti
lahan akan diberikan sebanding dengan luas lahannya. Ketika masyarakat yang hanya memiliki
lahan yang kecil, dan menggantungkan hidupnya dengan lahan tersebut, apakah uang ganti akan
cukup menghidupi kebutuhannya? Tentu tidak, permasalahan-permasalahan tersebut yang
menjadikan terjadinya konflik agraria.
Keempat, ditinjau dari segi lingkungan, apakah persoalan agraria menjadi permasalahan
dan konflik? Jelas, dengan adanya alihfungsi lahan yang kurang tepat, mengakibatkan dampak
terhadap lingkungan. Kenyamanan lingkungan sekitar warga terganggu akibat yang ditimbulkan
dari alihfungsi lahan tersebut? Misalnya turunnya babi hutan akibat alihfungsi hutan untuk
pembangunan PLTB Baturaden, rusaknya anemon laut akibat pembangunan PLTU di Batang,
dan kerusakan lainnya akibat alihfungsi lahan yang tidak tepat. Pemerintah tidak pernah
mengevaluasi dampak-dampak yang ditimbulkan ketika akan membangun infrastruktur yang
mengalihfungsikan lahan yang kurang tepat. Sejatinya masyarakat ingin mendapatkan
lingkungan yang nyaman, sehat, dan sejahtera.
Suatu permasalahan selalu menimbulkan konflik, sehingga keduanya bagaikan kertas
dengan lem yang saling melekat satu sama lain. Dari berbagai permasalahan agraria dari
berbagai prespektif menimbulkan konflik karena permaslahan tersebut memberikan dampak
negatif baik rakyat lemah maupun terhadap kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya. Terus,
dengan dampak yang ditimbulkan, langkah apa yang harus dilakukan? Langkah yang harus
dulakukan yaitu dengan merevolusi permasalahan agraria. Bagaimana caranya untuk merevolusi
agraria? Kita sebagai mahasiswa melihat permasalahan agraria yang sekarang masih hangathangatnya terjadi hingga menimbulkan konflik, tentunya kita harus memiliki kepekaan hati
terhadap masalah tersebut. Apa yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa, bukankah
tugasnya mahasiswa hanyalah belajar dengan rajin agar dapat IPK tinggi dan lulus? Benar,
tugasnya mahasiswa adalah belajar, namun menilik tridarma perguruan tinggi yang ketiga yaitu
mengabdi masyarakat,tentunya kita harus memiliki kepekaan terhadap permasalahan agraria
yang berdampak pada masyarakat sekitar daerah yang dialihfungsikan demi kepentingan
korporat. Bagaimana caranya? Caranya dengan mencerdaskan masyarakat dengan ilmu yang kita
miliki mengenai permasalahan agaria dan dampaknya, bersama masyarakat ikut andil dalam
menyampaikan aspirasinya ke pemerintah dengan cara yang baik, tidak anarkis.
Lalu, kenapa ketika mahasiswa dan masyarakat menyampaikan aksi keresahan terhadap
permasalahan agraria selalu kekerasan, kriminalisasi, represitas yang didapatkan? Konflik sealu
muncul dalam permasalahan agraria? Munculnya beberapa konflik agraria akhir-akhir ini telah
menyebabkan terjadinya konsentrasi penguasaan terhadap sumber-sumber agraria yang tentunya
menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur agraria. Sementara UndangUndang Pokok Agraria 1960 yang diharapkan sebagai payung hukum untuk membongkar
ketidakadilan tersebut menjadi dead letter , justru makna filosofis dan kesejatiannya di bolakbalik oleh penguasa yang berpihak kepada modal. Hal inilah yang memicu rakyat untuk
mengambil langkah sendiri dalam merebut kembali haknya, yang dalam prosesnya dapat
dipastikan selalu terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan selalu menjadi alat pemenang
dalam konflik agraria.
Mari sama-sama mereformasi agraria, reformasi agraria butuh kekuatan diluar
petani/rakyat, kita sebagai mahasiswa ketika suatu saat nanti memimpin di negeri ini, mohon
sangat untuk bisa memimpin dengan baik, memperhatikan aspirasi rakyat, jangan jadikan
langkah sekarang yang mendukung reformasi agraria nantinya ketika masuk dunia politik hanya
sebagai batu loncatan, tapi diterapkan dalam langkah konkrit, jangan terpengaruh oleh rezim
politik World Bank, WTO, IMF, dan negara maju lainnya. Dengan demikian reformasi agraria
harus berdasarkan falsafah kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan pemodal. Tolak
pengghisapan manusia dan alam yang dilakukan oleh manusia lain yang menganggap dunia ini
didirikan karena kekuatan modal.
Soekarno.2014. Pokok-Pokok Ajaran Marhaenisme Menurut Bung Karno. Yogyakarta : Media
Pressindo
Ya’kub, Ahmad. 2004. Agenda Neoliberal Menyusup Melal Ui Kebijakan Agraria Di Indonesia.
Jurnal Analisis Sosial.9 (1): 47-63