FENOMENA CUACA DAN IKLIM docx

FENOMENA CUACA DAN IKLIM

PROFIL FENOMENA CUACA DAN IKLIM DI INDONESIA

Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah
tropis, diantara Benua Asia dan Australia, diantara Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa, terdiri dari
pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat
banyak selat dan teluk, menyebabkan wilayah Indonesia rentan terhadap
perubahan iklim/cuaca.
Keberadaan wilayah Indonesia sebagaimana tersebut, kondisi iklimnya
akan dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino, La Nina, Dipole
Mode, dan Madden Julian Oscillation (MJO), disamping pengaruh
fenomena regional, seperti sirkulasi monsun Asia-Australia, Daerah
Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone
(ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu
permukaan laut di sekitar wilayah Indonesia.
Sementara kondisi topografi wilayah Indonesia yang bergunung,
berlembah,

serta


banyak

pantai,

merupakan

fenomena

lokal

yang

menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut

ruang (wilayah) maupun waktu. Berdasarkan hasil analisis data periode 30
tahun (1971-2000).
Secara klimatologis wilayah Indonesia terdapat 293 pola iklim,
dimana 220 pola merupakan Zona Musim (ZOM) yaitu mempunyai
perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

kemarau (pola Monsun), sedangkan 73 pola lainnya adalah Non Zona
Musim (Non ZOM). Daerah Non ZOM pada umumnya memiliki ciri
mempunyai 2 kali puncak hujan dalam setahun (pola Ekuatorial), sepanjang
tahun curah hujannya tinggi atau rendah, dan waktu terjadinya musim hujan
dan musim kemarau kebalikan dengan daerah ZOM (pola Lokal).
Setiap

Fenomena

Meteorologi

dilihat

berdasarkan

skala

meteorologinya,sehingga skala meteorologi dibagi dalam 4 skala katagori
yaitu:
a)


Skala Mikro (Contoh proses didalam awan, termasuk proses pembentukan

awan)
b) Skala Meso (Tornado atau Angin Putting Beliung,Angin Darat/Laut)
c) Skala Synoptik (Siklon Tropis, ITCZ)
d) Skala Global ( MJO, Dipole Mode,El Nino/La Nina)

A. Fenomena Global yang Mempengaruhi Iklim / Musim di
Indonesia
1. El Nino dan La Nina
El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan
atmosfer yang ditandai memanasnya suhu muka laut di Ekuator Pasifik
Tengah (Nino 3,4) atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif
(lebih panas dari rata-ratanya). Sementara, sejauhmana pengaruhnya El
Nino di Indonesia, sangat tergantung dengan kondisi perairan wilayah
Indonesia. Fenomena El Nino yang berpengaruh di wilayah Indonesia dengan
diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis, baru akan terjadi bila
kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu
perairan Indonesia cukup hangat tidak berpengaruh terhadap kurangnya

curah hujan secara signifikan di Indonesia. Disamping itu, mengingat luasnya
wilayah Indonesia, tidak seluruh wilayah Indonesia

dipengaruhi

oleh

fenomena El Nino.

SedangkaLa Nina merupakan kebalikan
dari El Nino ditandai dengan anomali suhu
muka

laut

negatif

(lebih

dingin


dari

rataratanya) di Ekuator Pasifik Tengah (Nino
3,4).

Fenomena

menyebabkan

La

curah

Nina
hujan

secara
di


umum

Indonesia

meningkat
bila
dibarengi
dengan

menghangatnya suhu muka laut di perairan
Indonesia. Demikian halnya El Nino, dampak La
Nina tidak berpengaruh ke seluruh wilayah
Indonesia

2. Dipole Mode
Dipole

Mode

merupakan


fenomena

interaksi

laut–atmosfer

di

Samudera Hindia yang dihitung berdasarkan perbedaan nilai (selisih) antara
anomali suhu muka laut perairan pantai timur Afrika dengan perairan di
sebelah barat Sumatera. Perbedaan nilai anomali suhu muka laut dimaksud
disebut sebagai Dipole Mode Indeks (DMI). Untuk DMI positif, umumnya
berdampak kurangnya curah hujan di Indonesia bagian barat, sedangkan
nilai DMI negatif, berdampak meningkatnya curah hujan di Indonesia bagian
barat.

3. Madden Julian Oscillation
Madden Julian Oscillation adalah fluktuasi musiman atau gelombang
atmosfer yang terjadi di kawasan tropik, MJO berkaitan dengan variabel

cuaca penting di permukaan maupun lautan pada lapisan atas dan bawah.
Seperti variabel arah dan kecepatan angin, perawanan, curah hujan, suhu
muka laut, penguapan di permukaan laut, Madden Julian Oscillation (MJO)
mengindikasikan osilasi aktivitas pertumbuhan awan-awan sepanjang jalur
dimulai dari atas perairan Afrika Timur hingga perairan Pasisfik bagian barat
(utara Papua). Periode osilasinya relatif pendek, sekitar 30-60 hari (intra
seasonal). Dengan demikian analisis MJO terhadap penyusunan Prakiraan
Musim Kemarau 2010, lebih digunakan sebagai bahan pertimbangan
khususnya untuk memprakirakan Awal Musim Kemarau 2010.

Cakupan MJO:
1.
2.
3.
4.

Nothern Tropics (2.5N-17.5N);
Near Equatorial (7.5S-7.5N);
Southern Tropics (17.5S-2.5S);
Wide Tropics (15.S-15.N)


MJO mempunyai cakupan skala ruang yang
luas, MJO berkaitan dengan OLR, jika OLR (-)
maka daerah yang dilintasi banyak awan hujan,
jika (+) cenderung kurang banyak pertumbuhan
awan hujannya.

B. Fenomena Regional yang Mempengaruhi Iklim / Musim
di Indonesia
1. Sirkulasi Monsun Asia – Australia
Monsun adalah sirkulasi angin yang berhembus secara periodik pada
suatu periode (minimal 3 bulan) dan pada periode yang lain polanya akan
berlawanan. Sirkulasi angin di Indonesia ditentukan oleh pola perbedaan
tekanan udara di Australia dan Asia. Pola tekanan udara ini mengikuti pola
peredaran matahari dalam setahun yang mengakibatkan sirkulasi angin di
Indonesia umumnya adalah pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang
mengalami perubahan arah setiap setengah tahun sekali. Pola angin baratan
terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang berkaitan dengan
berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin timuran/tenggara
terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan dengan

berlangsungnya musim kemarau di Indonesia.
BMG Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya
wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan, yaitu :
1. Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara
periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan
dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu
puncak musim hujan,DJF musim hujan,JJA musim kemarau).
2. Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan
bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang
tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe
curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya
terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks.
3. Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan
dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial
(satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan
monsun.

Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan monsun akan mendapatkan
jumlah curah hujan yang berlebih pada saat monsun barat (DJF) dibanding
saat monsun timur (JJA).P Pengaruh monsun di daerah yang memiliki pola

curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi pada saat terjadi
ekinoks, demikian juga pada daerah yang memiliki pola curah hujan lokal
yang lebih dipengaruhi oleh efek orografi .

PENGGOLONGAN IKLIM MENURUT SCHMIDT FERGUSON
A. Kriteria Bulan Basah Dan Bulan Kering
a. Bulan basah jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan > 100mm.
b. Bulan kering jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan < 60mm.
c. Bulan lembab jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan antara 60 - 100mm.
B. Data
Data yang diambil minimal 10 tahun, kemudian tentukan banyaknya bulan
basah dan bulan kering pertahun lalu rata-ratakan selama 10 tahun tersebut.
Tentukan nilai Q, dengan rumus :

C. Pembagian Zone

Type
Type
Type
Type
Type
Type
Type
Type

TYPE HUJAN
A ( Sangat basah )
B ( Basah )
C ( Agak basah )
D ( Sedang )
E ( Agak Kering )
F ( Kering )
G ( Sangat kering )
H ( Luar biasa kering )

KRITERIA
0 < Q < 0,143
0,143 < Q < 0,333
0,333 < Q < 0,600
0,600 < Q < 1,000
1,000 < Q < 1,670
1,670 < Q < 3,000
3,000 < Q < 7,000
Q > 7,000

PENGGOLONGAN IKLIM MENURUT OLDEMAN
A. Kriteria Bulan Basah Dan Bulan Kering
a. Bulan basah jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan > 200mm.
b. Bulan kering jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan < 100mm.
B. Data
Data yang diambil minimal 10 tahun, kemudian tentukan banyaknya bulan
basah dan bulan kering pertahun lalu rata-ratakan selama 10 tahun tersebut.
C. Pembagian Zone
a. Zone A, jika bulan basah > 9 kali berturut – turut.
b. Zone B, jika bulan basah antara 7 sampai 9 kali berturut – turut.
c. Zone C, jika bulan basah antara 5 sampai 6 kali berturut – turut.
d. Zone D, jika bulan basah antara 3 sampai 4 kali berturut – turut.
e. Zone E, jika bulan basah antara 3 kali berturut – turut.
KLASIFIKASI IKLIM MENURUT MOHR
Mohr mengemukakan batasan - batasan untuk menunjukkan adanya
kekuatan periode terhadap tanah dari gambaran curah hujan.
Tiga derajat kebasahan menurut Mohr:
a. Bulan Basah
Merupakan suatu bulan yang curah hujannya lebih besar dari 100 mm (RR >
100 mm). Curah hujan lebih besar dari penguapan.

b. Bulan Kering
Merupakan suatu bulan yang curah hujannya lebih kecil dari 60 mm
(RR < 60 mm). Curah hujan lebih kecil dari penguapan.
c. Bulan Lembab
Merupakan suatu bulan yang curah hujannya lebih besar dari 60 mm akan
tetapi lebih kecil dari 100 mm (60 mm < RR < 100 mm). Curah hujan
sama dengan penguapan.
Untuk mencari serta mengetahui bulan basah dan bulan kering, Mohr
menggunakan rata - rata curah hujan masing - masing bulan selama
beberapa tahun. Pembagian iklim menurut Mohr didasarkan pada banyaknya
bulan basah dan bulan kering suatu tempat, walaupun dalam kenyataanya
sifat fisis tanah sendiri sangat berpengaruh.
Mohr mengemukakan lima golongan iklim yaitu:
Golongan I : Daerah Basah
Tidak ada satupun bulan kering.
Golongan II : Daerah Agak Basah
Periode kering lemah dan terdapat satu bulan kering.
Golongan III : Daerah Agak Kering
Bulan kering agak banyak (mencapai 3 – 4 bulan).
Golongan IV : Daerah Kering
Bulan kering lebih banyak (mencapai 6 bulan).
Golongan V : Daerah Sangat Kering
Daerah ini mempunyai kekeringan yang kuat dan lama.
Golongan Jumlah Bulan Basah Jumlah Bulan Kering

2. Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence
Zone / ITCZ)
ITCZ merupakan daerah tekanan rendah yang memanjang dari barat
ke timur dengan posisi selalu berubah mengikuti pergerakan posisi matahari
ke arah utara dan selatan khatulistiwa, biasanya berada antara 10 derajat LU
dan LS dekat equator. ITCZ merupakan area dengan tekanan rendah dimana
gaya Corioli dan Gradien tekanan lapisan bawah lemah. Wilayah Indonesia
yang berada di sekitar khatulistiwa, maka pada daerah daerah yang dilewati
ITCZ pada umumnya berpotensi terjadinya pertumbuhan awan-awan hujan.
3. Suhu Permukaan Laut di Wilayah Perairan Indonesia (SST)
Kondisi suhu permukaan laut di wilayah perairan Indonesia dapat
digunakan sebagai salah satu indikator banyak-sedikitnya kandungan uap air
di atmosfer, dan erat kaitannya dengan proses pembentukan awan di atas
wilayah Indonesia. Jika suhu muka laut dingin berpotensi sedikitnya
kandungan uap air di atmosfer, sebaliknya panasnya suhu permukaan laut
berpotensi cukup banyaknya uap air di atmosfer.
Pengertian Singkat Fenomena lain:
Downburst adalah Sentakan udara dingin ke permukaan bumi dari
kejadian TS atau SH. Berkaitan dengan Mikroburst yaitu meliputi area
dengan diameter 24 Knot
Curah hujan dalam 1 hari >49 mm
Gusty

adalah

Fluktuasi

kecepatan

angin

yang

terjadi

berubah

significant tiba-tiba dan sangat cepat. Puncak angin sekurang2nya 16 KT dan
variasi antaranya 10 KT. Durasi biasanya 20 menit
Turbulensi adalah Gerakan udara yang tdak teratur dan seketika yang
dihasilkan dari sejumlah eddy kecil yang menjalar di udara. Hal ini di
sebabkan fluktuasi aliran angin yang acak, konvektif, zona front, variasi
temperature, dan tekanan.
Konveksi adalah proses pemanasan vertical yg membawa uap air pada
siang hari shhga dapat membantu proses pembentukan awan tebal
menjulang tinggi, biasanya terjadi hujan tiba2 petir dan angin kencang.
TC

adalah

pusaran

angin

pada

system

tekanan

rendah

mempunyai kecepatan angin lebih dari 34kt atau lebih di lautan luas.

yang

Fenomena cuaca & iklim akibat aktivitas manusia






Kesan rumah hijau
Hujan asid
Banjir
Pulau haba

Kesan Rumah Hijau
Kesan rumah hijau merupakan satu fenomena yang berlaku kerana pencemaran
udara berlaku kerana pemerangkapan haba oleh gas-gas rumah hijau. Antara
beberapa jenis gas rumah hijau yang biasa didapati ialah karbon dioksida,
sulfurdioksidadanoksidanitrogen.
Sejarah kesan rumah hijau bermula pada zaman Revolusi Perindustrian. Pada zaman
inilah manusia mula menggunakan bahan api fosil secara meluas menyebabkan
kandungan karbon dioksida bertambah. Gas-gas ini akan bertindak seperti selimut
yang membenarkan haba masuk kemudian akan memerangkap haba ini dan haba
yang terperangkap inilah yang akan meningkatkan suhu pada permukaan bumi.
Menurut fakta, beberapa kejadian akibat daripada peningkatan kesan rumah hijau
telah dicatatkan seperti berikut:
a. Kenaikan Paras Laut
Misalnya kenaikan paras laut di Artik dan Antartika yang disebabkan oleh pencairan
ketulan-ketulan ais menyebabkan kejadian banjir di kawasan pesisiran pantai
seperti yang berlaku di bandar-bandar persisiran Bangladesh. Pelimpahan masuk air
laut ke kawasan pertanian dan meninggikan saliniti (kemasinan) tanah. Ini
menjadikannya kurang sesuai untuk pertanian.
b. Perubahan Iklim
Perubahan arah angin dan arus menyebabkan bencana alam seperti ribut dan
taufan. Kejadian iklim ekstrem telah mengakibatkan kemarau dan banjir berlaku
dengan tidak diduga seperti di Afrika. Ini mengurangkan penghasilan hutan dan
pertanian selain itu, perubahan taburan hujan dan sumber air yang menyukarkan

kebolehdapatan air tawar telah membawa masalah kepada pertanian dan
penghutanan.
c. Kesihatan Manusia Terganggu
Perubahan suhu boleh menyebabkan ´heatwave´ di beberapa tempat dan
penduduk kawasan terutamanya penduduk tua boleh mengalami ´heatstroke´.
Kekurangan air tawar dan kejadian banjir boleh menyebabkan air yang digunakan
tercemar dan seterusnya mengakibatkan penyakit seperti cirit-birit.
d. Kegiatan Harian Manusia dan Penempatan Manusia Terganggu
Pemindahan zon-zon iklim dan gerakan air laut serta kejadian banjir boleh
menjejaskan kegiatan menangkap ikan dan haiwan akuatik lain. Bencana alam
seperti ribut dan kemarau juga mengakibatkan gangguan bekalan elektrik.
Penduduk yang tinggal di kawasan tanah di pinggir laut kadangkala perlu
ditempatkan di kawasan lain kerana banjir.
Begitu tenatnya dunia kita sekarang yang tak pernah henti-henti di terokai oleh
manusia kini.
Walaupun begitu, perkara penerokaan ini sememangnya amat penting buat kita
dalam memajukan kehidupan tetapi pendekatan manusia dalam meneroka isi bumi
ini amat bersalahan hingga memudaratkan bumi yang seolah-olah makin tidak
selamat untuk manusia.
Fakta di atas tadi adalah kesan yang benar-benar telah terjadi akibat kesan rumah
hijau dan telah menimbulkan banyak masalah kepada manusia di seluruh dunia
setakat ini.
Mungkin pada masa hadapan kesan yang lebih hebat akan diterima oleh manusia
dan jangan hairan jika suatu hari nanti kedahsyatan yang dipaparkan oleh TDAT
akan menjadi realiti terus berada di hadapan anda. Pada masa itu, di manakah anda
berada?

Hujan Asid

Air hujan secara semulajadi adalah berasid. Ini disebabkan air
hujan yang turun akan bergabung dengan karbon dioksida dan
gas-gas berasid yang terdapat di atmosfera. Bagaimanapun,

disebabkan pada masa kini, penggunaan tenaga elektrik dan
kereta telah menyebabkan bahan api fossil di bakar dalam jumlah
yang banyak. Pembakaran bahan api fossil seperti minyak dan
arang batu oleh logi tenaga dan dari ekzos kenderaan
membebaskan berjuta-juta ton sulfur dioksida dan nitrogen oksida
ke udara. Bahan pencemar ini disebarkan oleh angina dan akan
bergabung dengan titisan air yang turun sebagai air hujan lalu
membentuk asid sulfurik dan asid nitrik.

Hujan asid yang turun ke bumi akan terkumpul menjadi
pemendapan berasid. Ini berlaku apabila asid terkumpul dan
menjadi semakin pekat. Asid yang terlalu pekat boleh
menyebabkan tumbuh-tumbuhan dan hidupan di dalam tasik
mati, bangunan dan batu menjadi lemah dan rapuh, warna
bangunan, kereta dan lain-lain menjadi pudar, mudah rosak, dan
cepat berkarat. Selain itu, hujan asid juga merosakkan kesihatan
manusia terutama mereka yang masih muda, golongan tua, dan
mereka yang berpenyakit seperti mengidap ashma.

Banjir

Di Malaysia, risiko dan terdedahnya manusia kepada bahaya
banjir, terutamanya banjir kilat, khasnya di kawasan bandarbandar besar yang mempunyai taburan penduduk yang padat
serta kadar binaan yang tinggi, telah meningkat dengan
signifikannya dalam tahun-tahun kebelakangan ini. Hal ini terbukti
oleh kejadian-kejadian banjir kilat yang serius di sekitar bandar
utama negara seperti Kuala Lumpur, Georgetown, Ipoh, Kota
Bharu dan lain-lain (Chan, 1996a).
Biasanya, sebab utama banjir ialah aliran permukaan pesat akibat
perubahan guna tanah (dari permukaan telapair seperti hutan
kepada permukaan tidak telapair seperti konkrit, simen dan
asphalt), alur-alur sungai dan longkang yang tersekat,
berkurangnya keupayaan sungai melalui pemendapan kelodak
dan kejadian hujan ribut seperti hujan ribut perolakan yang lebat.
‘Bahaya banjir’ merupakan satu fenomena atau kejadian yang
mewujudkan ancaman atau bahaya kepada manusia. Banjir
bukannya ‘bahaya’ dalam semua konteks pada semua masa.
Misalnya, banjir yang berlaku di kawasan bakau dan paya yang
tidak didiami orang bukannya suatu bahaya. Sebaliknya, ia
mungkin dikelaskan sebagai suatu ‘sumber’ alam kerana banjir itu
dapat menjadikan tanah di sekitarnya lebih subur dengan
membawa masuk zat-zat dari tempat lain.
Banjir hanya menjadi bahaya apabila melibatkan masyarakat
manusia, khususnya kejadian banjir yang berlaku di kawasan
berpenduduk padat yang berpotensi mengakibatkan kehilangan
nyawa dan kemusnahan harta benda. Oleh itu bahaya banjir ialah
potensi ancamannya.
Bahaya banjir boleh berubah menjadi buruk sehingga dianggap
‘bencana banjir’, apabila kesannya mengakibatkan kemusnahan
besar dan/atau kehilangan nyawa manusia yang signifikan. Dalam
sesuatu bencana banjir, hampir seluruh masyarakat manusia
menjadi mangsa. Sistem-sistem sokongan dalam masyarakat

tersebut menjadi terjejas dan mekanisme penyesuaiannya juga
musnah. Lazimnya, kehilangan nyawa adalah tinggi.
Malaysia mengalami rejim iklim khatulistiwa yang panas dan
lembap sepanjang tahun. Ciri utama iklimnya ialah jumlah hujan
tahunan lebat di antara 1,500 mm hingga melebihi 3,500 mm.
Yang lebih penting ialah kejadian tempoh-tempoh hujan lebat
berterusan, biasanya selama beberapa hari dengan intensiti
hujannya adalah lebat. Misalnya, jumlah hujan sebanyak 610 mm
dalam masa 24 jam merupakan suatu kelaziman.
Pada umumnya, kejadian hujan ribut perolakan semasa musimmusim peralihan monsun pada bulan-bulan April dan Oktober
adalah serentak dengan kejadian banjir kilat. Namun begitu,
banjir kilat juga sering berlaku di pantai timur semasa musim
monsun timur laut. Di pantai barat semenanjung, kejadian banjir
kilat juga berlaku pada musim monsun barat daya di negerinegeri utara semenanjung seperti Kedah dan Perlis.
Semasa musim monsun barat daya, angin barat selatan yang
diikuti kejadian ‘badai selari’ (line squalls) yang dikenali sebagai
‘Angin Sumatra’ juga membawa hujan lebat di pantai barat
semenanjung, khasnya di Pulau Pinang dan sepanjang pantai
Kedah dan Perlis. Pada masa itu, banjir kilat sering berlaku.