Dampak Pembangunan Infrastruktur di Perd

UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PERDESAAN TERHADAP PENINGKATAN RASIO GINI DI INDONESIA TESIS MUHAMMAD ABDUH NPM: 1206333452 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA JANUARI 2016

UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PERDESAAN TERHADAP PENINGKATAN RASIO GINI DI INDONESIA TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi (M.E.) MUHAMMAD ABDUH NPM: 1206333452 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK MANAJEMEN INFRASTRUKTUR PUBLIK JAKARTA JANUARI 2016

Peningkatan Rasio Gini di Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama

: Muhammad Abduh

NPM

Program Studi

: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Departemen

: Ilmu Ekonomi

Fakultas

: Ekonomi

Jenis Karya

: Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas

ilmiah saya yang berjudul :

Dampak Pembangunan Infrastruktur di Perdesaan Terhadap Peningkatan Rasio Gini di Indonesia

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Jakarta Pada tanggal: 16 Januari 2016 Yang menyatakan,

Muhammad Abduh

vi

ABSTRAK

Nama

: Muhammad Abduh

Program Studi

: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Judul : Dampak Pembangunan Infrastruktur di Perdesaan Terhadap Peningkatan

Pembangunan Desa di Indonesia mengalami penguatan dengan disahkannya UU 6/ 2014 tentang Pembangunan Desa, Dalam UU ini sedikitnya ada 3 (tiga) isu besar yang dibicarakan meliputi, Kesejahteraan, Pembangunan Infrastruktur, dan Pembangunan Ekonomi. Dan penelitian ini berusaha melihat pola keterkaitan ketiga isu tersebut. Penelitian ini dibangun menggunakan teori Cobb-Douglass pada level Kabupaten/ Kota, dengan menjadikan variabel kesejahteraan sebagai indikasi keberhasilan pembangunan infrastruktur perdesaan, dan pembangunan perekonomian, dengan rentang waktu analisis tahun

yang di sesuaikan menjadi 6 serial waktu untuk kepentingan analisis lanjutan. Dalam tataran teknis, kesejahteraan direpresentasikan sebagai rasio gini pengeluaran konsumsi masyarakat, yang bersumber dari data SUSENAS, BPS. Sementara pembangunan ekonomi direpresentasikan melalui variabel deflator ekonomi, sebagi proxy dari data inflasi. Definisi pembangunan infrastruktur yang sangat kompleks, disimplifikasi dengan menerapkan Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis

pada PODES yang diklasifikasi menjadi tiga dimensi utama yang meliputi: Dimensi Sosial, Fisik, dan Finansial. Keterbatasan data terkait rentang waktu –dalam konteks data panel, dan juga minimnya landasan teori untuk keperluan analisis lanjutan, serta potensi endogenitas dalam masing isu diatas, menyebabkan model yang diterapkan memerlukan perlakuan khusus. Yakni dengan menerapkan analisis regresi instrumental dengan versi Generalized Method Moment

Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan kesesuaian dengan hipotesis yang dibangun atas dasar literatur dengan kasus penelitian sejenis, yakni Infrastruktur memiliki dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan, sementara peningkatan harga berpotensi menurunkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Deflator, Principal Component Analysis

Generalized Method Moment

vii

Nama

: Muhammad Abduh

Program Studi

: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Judul

: Impact on inequalities Areas in Indonesia

Rural Development in been strengthened with the enactment of Law 6/2014 on Rural Development, In this Act there are at least three (3) major issues discussed include, Welfare, Infrastructure and Economic Development. This study tries to see the pattern of the third link issues. This research was built using the

theory at the level of Kabupaten/ Kota, by making variable welfare as goal indicator of rural infrastructure and economic development policies, during

– which simplified into 6 serial time due to further analysis. In a technical scope, the welfare was represented as gini ratio of private consumption, taken from SUSENAS, BPS. While economic development is represented through the variable economic deflator, as a proxy of inflation data. Due to complexity of infrastructure development definition simplification was required using Principal

Analysis through some of PODES data, that classified into three main dimensions which include: Social, Physical, and Financial. Limitations of data

panel data context, and also the lack of a theoretical basis for the purposes of further analysis, as well as the potential endogeneity in each of the above issues, causing the model is applied requiring special treatment. Namely by applying a regression analysis with the instrumental version of the

Moment Method Results of the analysis showed conformity with the hypothesis that is built on the basis of the literature with a case similar research, the infrastructure has a positive impact on improving the welfare, while an increase in the price of potentially reduce the welfare of rural communities.

Kata Kunci: Rural Development, UU 6/2014, Ratio, Rural Infrastructure, Deflator, Principal Component Analysis

Generalized Method Moment

viii

4. GAMBARAN UMUM ……………………………………………………………... 42

4.4 Hubungan Sederhana

5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………………………… 52

6. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………….. 62

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………… 65

DAFTAR GAMBAR

Data Persentase Jumlah Penduduk Desa

1 Data Perbandingan PDB Terhadap PDB per Kapita Menurut Lapangan

2 Data Besar Selisih Pendapatan Kota terhadap Desa

ha Tahun

3 Framework Analisis Sederhana Hubungan Infrastruktur dan Pemberantasan Kemiskinan

11

Perumusan Hipotesis Dampak an Kesejahteraan

25

45

46 Scatterplot Hasil Skoring Data Hasil

Skoring Komponen 1 Setelah di Standarid Deviasi Perkembangan Deflator

Hasil Estimasi Parsial

51

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Dimensi Pembentuk Tabel 2.2: Analisis Komponen utama Pembentuk

20 Tabel 2.3: Dampak Infrastruktur pada Pengentasan Kemiskinan di

22 Tabel 3.1:

31 Tabel 4.1: Perbandingan Ketimpangan Pengeluaran

42 Tabel 4.2:

43 Tabel 4.3: Distribusi Data

Tabel 4.4: Sebaran data Deflator

50 Tabel 5.1: Ringkasan Regresi

53 Tabel 5.2: Ringkasan Regresi

55 Tabel 5.3:

56 Tabel 5.4: Distribusi Jumlah Kabupaten/ Kota Untuk Kepentingan Intervensi Kebijakan Infrastruktur dan Harga Menurut

61

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Trend Pekerja Sektor Pertanian pada Masyarakat Desa dan Pola Konsumsi Lampiran 2.

Lampiran 3. Uji Korelasi Spearman Indeks Infrastruktur Lampiran 4. Hasil Estimasi Principal Lampiran 5. Hasil Rotasi Matrix Lampiran 6. Hasil Skor per Komponen Menurut

Kasier Meyer Olkin Sample Adequacy Test Hasil Estimasi Parsial struktur dan Hasil Regresi dengan OLS mixed model

Lampiran 10. Hasil Regresi dengan OLS Random Effect dengan Maximum Likelihood Lampiran 11. Hasil Regresi dengan OLS Fixed Effect Lampiran 12. Lampiran 13. Matrik lokasi Prioritas berdasarkan intervensi Infrastruktur dan Penanganan

Harga (Inflasi)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

UU 6/2014 tentang desa yang ini disahkan, diharapkan bisa membawa angin segar dalam penguatan kebijakan pembangunaan desa. Desa sebagai sebagai salah satu satuan wilayah terkecil di Indonesia (secara administratif) diharapkan bisa diorganisir sedemikian rupa sehingga bisa mencapai tujuan pembangunannya yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kuaitas hidup manusia penghuninya serta berperan dalam menanggulangi kemiskinan. Hal ini diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Tujuan pembangunan diatas setidaknya menyinggung tiga isu penting dalam pembangunan desa, yakni:

dan Pertumbuhan ekonomi. Terkait masalah kesejahteraan, desa tidak bisa kita pisahkan dengan pola ekonomi dari

di Indonesia terutama kedekatannya dengan sektor pertanian.

Trans, Gud, Kom:

0.70 Industri

Pdgg, RM, Ako: 7,896.07

0.30 Pdgg, RM, Ako

Industri:

0.20 5,278.81 Trans, Gud,

Gambar 1.1: Data Persentase Jumlah Penduduk Desa yang Bekerja Menurut Lapangan Kerja Tahun 2005-2012 1

Sumber:BPS, dan CEIC (diolah)

1 Data persentase per tahun tahun 2005 sampai 2012. Dan Jumlah penduduk dalam (ribu jiwa) yang bekerja di masing-masing sektor tahun 2012.

Hubungan yang erat antara desa dengan pertanian ini, setidaknya bisa dilihat dari dua cara pandang: (1) Struktur

dan (2) Struktur ketenagakerjaan. Secara data Podes 2014 menunjukkan bahwa ada sekitar

desa di Indonesia dengan kategori penduduk sebagai petani. Hal ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2008 dimana desa dengan jenis ini mencapai

Hal serupa ditunjukkan bila dilihat dari struktur ketenaga kerjaannya. Hampir dalam satu dekade kebelakang

penduduk desa yang bekerja di sektor ini mencapai 61,48

kemudian diikuti jauh dibawahnya oleh sektor Perdagangan, Rumah Makan, dan Hotel sebanyak

Sehingga dengan demikian sektor ini dianggap bisa merepresentasi perdesaan secara sektoral. Besarnya interaksi warga desa dengan sektor pertanian ini, kemudian membuat produktivitas marginalnya relatif lebih rendah dibandingkan

dan sektor Jasa sebesar

lain (Rustiadi, 201). Bila kita melihat data Produk Domestik Bruto tahun 2014 lalu, sektor pertanian masuk dalam kategori 3 besar. Namun ketika dilihat dari besaran PDB perkapita, justru menjadi sektor paling bawah, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1.2.

PDB per Kap (Rp/jt)

w a /Ji 100.00 R p

Keuangan

it a p 80.00 K

LGA

r e 60.00

Trans, Gud, Kom

D B P 40.00

Industri

20.00 Konstruksi Jasa

Pdgg, RM, Ako

300.00 PDB (Rp Triliun) 400.00

Gambar 1.2: Data Perbandingan PDB Terhadap PDB per Kapita Menurut Lapangan Usaha Tahun 2014

Sumber: BPS (diolah)

Sebenarnya ketika dibandingkan, rendahnya produktivitas di perdesaan ini tidak hanya terjadi pada sektor pertanian saja (sebagai sektor utama perdesaan), tapi kepada non pertanian. Berdasarkan data BPS melalui

(2012), ketimpangan ini bisa dilihat dari gap (2012), ketimpangan ini bisa dilihat dari gap

Padahal bila kita melihat sisi konsumsi dari masyarakat desa, rasio (porsi) antara data pengeluaran masyarakat desa untuk tujuan Makanan terhadap Non Makanan terus mengalami penurunan. Hingga tahun 2012 rasionya bahkan kembali turun sekitar mencapai 1,44 dari 1,83 pada 2003, dan terus turun hingga 2012. Hal ini memiliki arti masyarakat desa harus bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang sudah mulai berkembang (dari sekedar kebutuhan primer, menjadi kebtuhan sekunder) ditengah keterbatasan produktivitas mereka.

Gap Upah per Bulan

Rasio Pengeluaran

Kota thd Desa 3.00

Makanan thd Non

2.50 Makanan di Desa

Gambar 1.3: Data Besar Selisih Pendapatan Kota terhadap Desa Tahun 2000-2014 (Rp/bln); & Data Rasio Makanan terhadap Non-Makanan di Desa Tahun 2000- 2012

Sumber: CEIC, dan BPS (diolah)

Lemahnya produktivitas penduduk desa ini menjadi relevan bial kita melihat perkembangan data infrastruktur jalan –sebagai komponen pendukung

di desa. Dari total keseluruhan desa yang memiliki moda trasnportasi darat pada tahun 2014, masih ada sekitar desa yang jalannya masih terbuat dari tanah (sementara ada sekitar

desa yang memiliki jalan diaspal, ditambah ada

jalan yang diperkeras). Hal ini berkebalikan dari jalan yang diperkeras). Hal ini berkebalikan dari

Sementara itu berdasarkan aksesibilitas terhadap listrik PLN di desa relatif lebih rendah terhadap kelurahan. Dengan persentase

juta KK) berbanding juta KK). Sementara Keluarga di desa yang tidak bisa mengakses listrik cukup tinggi dengan

KK).

Kombinasi atas rendahnya produktivitas dan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat desa inilah, meskipun rasionya masih ada diatas daerah perkotaan, memberikan rasionalitas warga desa untuk mendapatkan akses pekerjaan dan fasilitas penyedia kebutuhan hidup yang lebih baik. Maka dari itu mobilisasi, baik secara geografis maupun sektoral, merupakan sebuah keniscayaan bagi penduduk desa.

Fenomena urbanisasi ini disebut Rustiadi et al (2011, halaman 314) sebagai indikasi tidak baiknya hubungan antara kota (beserta sistemnya). Ditambahkannya fenomena ini tidak lain adalah bentuk respon dari masyarakat karena adanya ekspektasi peningkatan kesejahteraan bagi penduduk desa yang melakukan aktivitas urbanisasi ini. Makin besar kesenjangan berpengaruh pada makin tingginya arus mobilisasi ini. Akibatnya terjadi pemusatan jumlah penduduk pada

metropolitan, yang tidak diiringi dengan peningkatan daya tampung dari

tersebut. Hal ini berkonsekuensi pada timbulnya penyakit urbanisasi (kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, menurunnya kualitas kesehatan, dan kriminalitas) sehingga berdampak pada menurunnya produktivitas masyarakat perdesaan. (Rustiadi et al 2011, halaman 314)

Disisi lain, fenomena urbanisasi yang begitu cepat di Indonesia, mengakibatkan orientasi pembangunan nasional pada dua dekade terakhir lebih berpihak pada perkotaan dengan maksud mendorong pertumbuhan (growth). Harapan trickle down effect justru berubah menjadi backwash effect. Akibatnya dikotomi

tersebut menyebabkan kesenjangan antar keduanya. Maka dari itulah perlu dicari cara untuk bisa menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota tadi. Dan atas dasar latar belakang tersebut penelitian ini menjadi penting.

Melihat realita ketimpangan ini upaya pembangunan ini tentunya menghadapi berbagai tantangan dalam prakteknya. Perlu diketahui bahwa menurut definisinya 6/2014, desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain diartikan sebagai kesatuan Melihat realita ketimpangan ini upaya pembangunan ini tentunya menghadapi berbagai tantangan dalam prakteknya. Perlu diketahui bahwa menurut definisinya 6/2014, desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain diartikan sebagai kesatuan

unit desa (menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri

Tantangan ini sebenarnya dikembalikan kepada iktikad baik pemerintahan yang menaungi desa (Kabupaten/

Provinsi maupun Pusat) dalam meregulasi desa sesuai kewenangannya

sehingga tidak terjadi tumpang tindih baik yang sifatnya vertikal

1.2 Definisi & Perumusan Masalah

Hal yang menggembirakan bagi kebijakan pembangunan desa di Indonesia dengan disahkannya UU 6/2014 tentang desa adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dijadikan sebagai tujuan pembangunan desa, yang disejajarkan dengan peningkatan kualitas hidup dan penanggulangan kemiskinan yang diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (lihat

Merujuk pada tujuan pembangunan desa seperti disebutkan diatas, bahwa sedikitnya ada tiga indikator utama dalam mengukur pembangunan desa, yakni: dan proses penciptaan harga. Maka dari itulah perlu dilakukan studi lebih lanjut dalam rangka menjawab pertanyaan “Bagaimana Pengaruh Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi

dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa?”

Hal ini tentu menjadi tantangan bagi para peneliti yang menikmati pembangunan Indonesia khususnya bidang pembangunan perdesaan, baik dalam maupun luar negeri. Maka dari itulah melihat pola interaksi ketiga komponen ini memiliki peranan penting sebagai acuan dalam mengelola berbagai kebijakan yang akan dibangun diatasnya secara lebih efektif dan efisien. Dan tantangan itulah yang coba dijawab oleh penulis dalam penelitian kali ini.

1.3 Ruang Lingkup

Penelitian ini mebahas pengaruh infrastruktur perdesaan dan tingkat ekonomi di Indonesia terhadap tingkat kesejahteraan penduduk di perdesaan. Pemilihan jenis infrastruktur yang dijadikan indikator analisis juga dipilih dengan ketersediaan data yang sanggup merepresentasikan desa di Indonesia, dan juga mengacu pada

tentang analasis sejenis yang pernah dilakukan baik di dalam, maupun luar negeri. Dengan pertimbangan teknis analisis kuantitatif yang akan digunakan, maka data akan coba diagregasi hingga level kabupaten.

1.4 Tujuan Penelitan

Tujuan dari penelitian kali ini adalah:

1. Mengetahui perkembangan ketimpangan pengeluaran penduduk desa, dan perkembangan pembangunan infrastruktur desa di Indonesia

2. Melihat pola interaksi antara kesejahteraan masyarakat desa, pembangunan infrastruktur

di desa, dan pembangunan Faktor Harga (sebagai representasi dinamika ekonomi)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapka akan bermanfaat baik secara teoritis, maupun praktis. Hal tersebut antara lain:

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Sebagai sumbangan penting dalam memperluas wawasan bagi kajian ilmu perencanaan dan pengambilan kebijakan publik khususnya dibidang Keterkaitan

2. Menjadi landasan yang sifatnya metodologis dan akademis bagi acuan pengembangan indeks infrastruktur desa dimasa mendatang.

3. Menjadi landasan metodologis dalam menganalisis keterkaitan antara tingkat kesejahteraan di desa, terhadap pembangunan infrastruktur dan kondisi perekonomiannya.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai alat bantu mengkoordinasikan intervensi, program/ bantuan di

masing Kementerian/ Lembaga secara tepat sasaran, dengan kedetilan lokasi hingga masing Kementerian/ Lembaga secara tepat sasaran, dengan kedetilan lokasi hingga

2. Pemanfaatan Indeks Pembangunan Desa yang merupakan salah satu produk dari penelitian ini juga bisa digunakan sebagai bahan evaluasi perkembangan pembangunan desa secara nasional.

3. Sebagai acuan dalam mengarahkan kebijakan terkait pengentasan kemiskinan di

infrastruktur perdesaan.

4. Dalam jangka panjang, mempermudah kegiatan evaluasi atas intervensi yang telah dilakukan atas daerah yang bersangkutan.

1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini ditulis dalam 5 bab yang meliputi: Bab 1 Pendahuluan: Sebagai pembuka, bab ini menjelaskan Latar

Definisi & Perumusan

dan Manffat Penelitian. Penjelasan

Ruang

Tujuan

tersebut diharapkan bisa memberikan bagi para pembaca mengetahui urgensi penelitian, serta mengetahui

yang akan dibahas, sehingga bisa meminimalisir bias pemahaman dalam membahas, dan penggunaan penelitian ini untuk kebutuhan studi lanjutan, maupun pemanfaatannya dalam kebijakan. Bab 2 Kerangka Pemikiran Analisis: Didalamnya akan dibahas mengenai ilmiah yang menjadi dasar/ koridor berpikir ideal penelitian terkait pembangunan desa dengan berbagai dimensinya, terutama terkait isu

dan ekonomi secara umum. Serlanjutnya dibahas mengenai

mutakhir mengenai pembangunan desa yang ada di Indonesia. Seperti UU 6/2014 tentang Desa, serta UU

tentang Penataan Ruang, dan Peraturan Pemerintah yang mengikutinya. Selanjutnya pada poin Studi Pustaka penulis coba meringkaskan beberapa penelitian dan model yang ada di Indonesia maupun duni yang dirasa relevan dengan penelitian kali ini, sehingga bisa diambil beberapa konsepnya untuk diterapkan dalam penelitian kali ini. Hasil kesimpulan dari berbagai penelitian dan model tersebut coba dicari benang merahnya sebagai acuan untuk memprediksi kemungkinan hasil dari penelitian ini.

Bab 3 Metode Penelitian: Penelitian kali ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Maka dalam Bab III ini peneliti menjelaskan alasan penggunaan pendekatan ini dalam rangka menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur desa dan ekonomi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya dijelaskan metode analisis dan model yang digunakan dalam penelitian kali ini. Metodologi yang dibangun dalam penelitian kali ini merupakan penyesuaian terhadap konsep dan metode yang telah dibahas dalam Bab II. Selanjutnya dijelaskan Jenis dan Sumber Data yang digunakan dalam penelitian, serta bentuk/ definisi operasional

yang dimasukan dalam model dalam bentuk

Sehingga pada akhirnya digambarkan bentuk model dalam penelitian kali ini. Bab 4 Gambaran Umum: Dalam Bab III dijelaskan definisi operasional dari variabel dalam model. Definisi operasional ini terdiri dari

dalam model yang akan dianalisis dalam model penelitian. Sehingga dalam bagian ini peneliti coba mendeskripsikan

tersebut, sebagai gambaran bagi para pembaca mengenai kondisi perkembangan Kesejahteraan masyarakat

Pembangunan serta Ekonomi yang diwakili oleh indeks deflator dari sesuai rentang waktu data yang digunakan dalam penelitian.

infrastruktur dalam penelitian kali ini didapatkan dengan melakukan Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis

terhadap berbagai data infrastruktur yang terpilih. Maka dalam bab ini pula coba dipaparkan ringkasan hasil perhitungannya, sebelum dimasukkan dalam model penelitian yang akan dibahas lebih lanjut dalam Bab Bab 5 Hasil penelitian dan Pembahasan: Berbagai variabel tersebut akan dianalisis dalam model penelitian yang dibangun, dan dijelaskan pada Bab III. Hasil dari analisis variabel tersebut akan diuji dan disimpulkan secara statistik sehingga bisa diketahui Bagaimana Pengaruh Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa.

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN ANALISIS

2.1 Landasan Teori

Rustiadi (2010) menjelaskan bahwa secara filosofis pembangunan dapat diartikan sebagai yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapian aspirasi setiap warga yang paling Masalah pembangunan, dalam hubungannya dengan kesejahteraan pada negara berkembang, merupakan salah satu isu yang kerapkali dibahas dalam berbagai ruang ilmiah, maupun dalam ruang politik pengambilan kebijakan, terutama setelah berakhirnya perang dunia kedua, hingga saat ini (Dharmawan, 2006).

Salah satu teori pembangunan yang akrab dengan kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia khususnya era Presiden Soeharto (lihat Robinson, 2012) adalah Jenjang Pembangunan yang dirumuskan oleh Walt Whitman Rostow. Dalam Rostow

pembangunan sebuah bangsa dibagi menjadi lima tahap meliputi: (1) Masyarakat tradisional (the traditional society (2) Prasyarat lepas landas (the precondition for

(3) Lepas landas (the (4) ke arah kedewasaan (the

(5) Masa konsumsi tinggi (the age of high mass

to

). Dari proses penawaran konsep inilah kemudian lahir produk perencanaan pembangunan seperti Rencanan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) pada saat itu. Isu pembangunan, khususnya di negara berkembang (

Countries) kerap dikaitkan dengan isu kemiskinan. Dalam merespon isu kemisikinan ini, para pakar telah berjuang keras dalam rangka mengenali karakteristiknya sehingga dapat memberikan alternatif solusi untuk keluar daripadanya

Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan kekuatan pertumbuhan ekonominya, dikatakan telah berhasil dalam mereduksi angka kemiskinan selama satu decade terakhir. Hal ini terlihat dari lonjakan yang signifikan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita dari sekitar US$

pada 2002, menjadi US$ pada 2012.

sebagai bencana peningkatan ini tidak bisa dilepaskan cerita awal krisi finasial asia pada

yang meningkatankan nilai jual komoditas mentah, dan kemudian menjadi andalan ekspor Indonesia hingga saat ini (Soemarto & Da Silva, 2015).

Berkebalikan dari angka PDB perkapita tersebut, menurut perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) angka indeks gini Indonesia justru meningkat dari

pada 2002, menjadi 0,41 pada 2012 lalu. Hal ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan distribusi kesejahteraan antar penduduk di Indonesia. Dalam konteks

pada Bab I dijelaskan bagaimana terjadinya peningkatan gap upah antara penduduk

pada satu dekade terakhir. Hal ini kemudian berimplikasi pada

ketidak harmonisan hubungan antara maupun dalam desa itu sendiri. Tawaran atas kajian para pakar yang kerap diajukan untuk masalah kemiskinan ini adalah pembangunan infrastruktur. Dalam laporan Ash Center for

and (2013) dibawah

School dijelaskan bahwa penguatan infrastruktur keras (hard) maupun lunak (soft) di Indonesia bisa membantu dalam meringankan biaya transaksi dan logistik, serta meningkatkan produktivitas dalam jangka panjang. Belajar dari

infrastrutktur yang murah dan upah tenaga kerja yang murah menjadi kunci dari peningkatan FDI dan akhirnya pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dengan berbasis Strategi Ekspor (

) (Sahoo et al, 2010). Terkait peningkatan produktivitas ini Ali & Pernia (2003) membuat sebuah framework mengenai jasa infrastruktur dalam mengentaskan kemiskinan suatu negara sebagai berikut:

Gambar 2.1: Framework Analisis Sederhana Hubungan Infrastruktur dan Pemberantasan Kemiskinan

Sumber: Ali & Pernia, Asian Development Bank (2003)

Indonesia pasca reformasi, sebagai salah satu negara berkembang, selalu memiliki perhatian khusus terhadap isu kemiskinan dalam setiap kebijakannya. Hal ini ditunjukkan pada kebijakan dan berbagai lembaga penanggulangan kemiskinan yang terus menyesuaikan dengan fokus janji kampanye presiden yang dipilih tiap lima tahunan. Dalam Rencana Jangka Menengah Nasional

kebijakan pengentasan kemiskinan difokuskan pada 6 poin sasaran yang meliputi: (1) Meningkatnya investasi padat pekerja sehingga memperluas kesempatan pekerjaan yang layak bagi masyarakat yang kurang mampu (decent

(2) Meningkatnya akses usaha mikro dan kecil untuk

keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan pengembangan

(3) Terbentuknya kemitraan pemerintah, pemerintah daerah dan swasta/BUMN/BUMD dalam pengembangan kapasitas dan keterampilan masyarakat dalam rangka peningkatan penghidupan

(4) Tersedianya sarana dan prasarana pendukung (4) Tersedianya sarana dan prasarana pendukung

(6) Meningkatnya perlindungan sosial, produktivitas dan pemenuhan hak dasar bagi penduduk kurang mampu (RPJMN

I).

2.2 Kebijakan Terkait Pembangunan Desa di Indonesia

Upaya pembangunan desa semakin dikuatkan dengan adanya UU 6/ 2014 tentang Desa. Hal ini ditempuh agar terbentuk peningkatan kualitas hidup dari masyarakat desa itu sendiri (pasal 6 (1) UU 6/2014).Tentunya pasca pengesahan UU ini, pemerintah sebagai eksekutor kebijakan bisa memformulasikan kebijakan yang tepat agar

UU tersebut bisa terwujud. Desa merupakan sebuah entitas unik di negeri ini, karena melibatkan unsur budaya lokal ditengah sistem negara yang sifatnya positif. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mendefinisikan desa sebagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan

dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jumlah desa di Indonesia juga sangat banyak . Berdasarkan data Potensi Desa (PODES) 2014, jumlah desa terbanyak ada di Jawa Tengah

unit desa, sementara terendah ada di Kepulauan Riau sebanyak

nya merupakan desa dengan kegiatan mayoritas ada di sektor pertanian. Indonesia sebenarnya sudah merespon hal ini dengan diterbitkannya UU Nomor 26 Tahun

unit desa. Sementara itu dari keseluruhan desa tersebut, sekitar

tentang Penataan Ruang. Dalam latar belakangnya penerbitan UU ini merupakan jawaban terjadinya ketimpangan antar daerah, termasuk antara Kota dan Desa. Salah satu hal yang diatur dalam UU ini adalah pembentukan kawasan Agropolitan sebagai kawasan budi daya yang proses pembuatannya bisa diintegrasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang juga disinkronisasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) masing Kabupaten/Kota.

Dalam penjelasan UU tersebut pengembangan kawasan agropolitan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan pertanian dalam arti Dalam penjelasan UU tersebut pengembangan kawasan agropolitan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan pertanian dalam arti

Perlu juga diketahui bahwa konteks kawasan budi daya dalam UU tersebut juga meliputi peruntukan pertambangan, industri, pariwisata, hingga, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan dan keamanan. Tentu saja Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam hal ini memegang peranan penting dalam melakukan intervensi pengembangan wilayah ini.

Terkait dengan pembangunan desa, UU 6/2014 setidaknya membedakan desa dalam dua dimensi kewilayahan yakni: (1) Desa sebagai entitas wilayah individu sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 1. Selain itu (2) Desa dalam konteks Kawasan Perdesaan, sebagaimana terutang dalam pasal 1 ayat yang tidak lain merupakan kesatuan dari

desa tadi. Dua konteks ini penting juga dipahami karena terkait dengan pembagian kewenangan pusat dan daerah, serta strategi kolaborasi intervensi pemerintah secara vertikal secara harmonis.

2.3 Kondisi Kesejahteraan di Indonesia dan Pengukurannya

Kemiskinan dan Pertumbuhan ekonomi bisa dilihat sebagai hubungan yang sifatnya Tantangan & Tanggung Jawab. Dimana tantangan terkait bagaimana memberikan makan kepada yang miskin, sementara tanggung jawab pertumbuhan ekonomi lah untuk proses tersebut atas keuntungan yang dihasilkan dalam prosesnya

2005). Upaya memberikan makan kepada penduduk suatu negara sebagaimana disebutkan diatas, terjadi melalui proses ditribusi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dari masing penduduknya. Tentunya konsep pertumbuhan pendapatan memiliki hingga suatu batas aman tertentu memiliki pendekatan yang sangat beragam.

itu bisa dilihat dari sudut pandang subsiten (subsistence kebutuhan dasar (basic

serta deprivasi relatif (relative deprivation). Indonesia memiliki angka garis kemiskinan, sebagai salah satu instrumen yang dikelurakan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam mengukur ambang batas apakah sesorang sudah masuk kategori sejahtera ataupun sebaliknya (website BPS, 2015).

Kemiskinan Kemiskinan

dan Kemiskinan Non Makanan Kemiskinan Makanan

Kemiskinan Makanan

merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi

ikan, daging, telur dan susu, sayuran,

minyak dan lemak, dll). Sementara Kemiskinan Non Makanan

adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan

jenis komoditi di pedesaan. Sumber data yang digunakan dalam proses perhitungan ini menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.

Kemiskinan Makanan adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga

kalori dari komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung

Dimana : j :

Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori). P jk

: Harga komoditi k di daerah j.

jk

daerah j.

: Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j. J

jk

: Daerah (perkotaan atau pedesaan) Selanjutnya

j tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 j dari penduduk referensi, sehingga :

Dimana : K jk

: Kalori dari komoditi k di daerah j HK j : Harga

F j : HK j x 2100

Dimana :

F j Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori/kapita/hari.

Kemiskinan Non Makanan merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari

terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dsan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun

terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan

sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok

12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun

terdiri dari

jenis komoditi) di pedesaan. Nilai kebutuhan minimum perkomoditi

dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran

tersebut terhadap total pengeluaran

yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKP 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per komoditi

yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul Konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut :

Dimana: NF p : Pengeluaran minimun

atau garis kemiskinan non makanan daerah

p ).

: Nilai pengeluaran per daerah p (dari Susenas modul konsumsi). R i

: Rasio pengeluaran menurut daerah (hasil SPPKD 2004).

di daerah p.

P : Daerah (perkotaan atau pedesaan).

Sementara itu ukuran yang juga populer digunakan untuk mengetahui fonemena distribusi kesejahteraan pada suatu masyarakat adalah koefisien gini. Koefisien

didasarkan pada kurva yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk (TNP2K, 2015).

∑ n fp i x (Fc i + Fc t-1 )

Dimana: GR: Koefisien

fp i :

Frekuensi penduduk dalam Fc i : Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran Fc t-1 : Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke

Hasil dari perhitungan rasio tersebut akan berkisar pada 0 sampai 1. Dimana 1 merupakan kondisi dimana terjadi ketimpangan yanga sangat sempurna (tinggi) anatar satu penduduk terhadap penduduk dengan tingkat pendapatan diatasnya.

2.4 Komponen Penyusunan Indeks Infrastruktur

Lemahnya produktivitas penduduk desa ini menjadi relevan bila kita melihat perkembangan data infrastruktur jalan –sebagai komponen pendukung

di desa. Dari di desa. Dari

jalan yang diperkeras, dan sisnya ada sekitar

desa yang jalannya masih terbuat dari tanah. Hal ini berkebalikan dari kelurahan (sebagai representasi kota pada level desa) yang

Sementara itu berdasarkan aksesibilitas terhadap listrik PLN di desa relatif lebih rendah terhadap kelurahan. Dengan persentase

juta KK) berbanding juta KK). Sementara Keluarga di desa yang tidak bisa mengakses listrik cukup tinggi dengan

KK).

Kombinasi atas rendahnya produktivitas dan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat desa inilah, meskipun rasionya masih ada diatas daerah perkotaan, yang memberikan rasionalitas warga desa untuk mendapatkan akses pekerjaan dan fasilitas penyedia kebutuhan hidup yang lebih baik. Maka dari itu mobilisasi, baik secara geografis maupun sektoral, merupakan sebuah keniscayaan bagi penduduk desa.

Gambar 2.2: Contoh Kurva Produksi Suatu Komoditas dalam Tahun ke N

Sumber:

Infrastruktur sebagai faktor input dalam peningkatan produktivitas dalam menghasilkan barang dan jasa, memiliki terminologi yang kompleks untuk diterjemahkan. Kompleksitas ini sudah memasukkan faktor sosial (seperti sekolah dan rumah

dan juga faktor ekonomi (seperti transportasi) sebagaimana diungkapkan oleh

dan juga dalam UN . Juga termasuk infrastruktur terkait

et al

Manajemen Banjir, Air, dan

Komunikasi

serta Modal Intelektual (Stewart, 2010). Namun secara konsep paling tidak infrastruktur bisa mempengaruhi dalam dua cara: (1) Secara langsung, berkontribusi pada sektor yang dilihat melalui pembentukan PDB sebagai input dalam proses produksi dari beragam

(2) Secara tidak langsung, melalui peningkatan (TFP) dengan meringankan biaya transaksi, dan biaya lain sehingga produksi menjadi lebih efisien (Bottini et al, 2013). Secara ringkas laporan dari UN (tanpa tahun) mencoba gambarkan dampak dari investasi sebuah proyek infrastruktur dalam meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penurunan Marginal

dan meningkatkan keuntungan penjualan (yang dalam hal ini dicontohkan pada kasus produksi Jagung) Dalam mengatasi kompleksitas terminologi tersebut, para peneliti kuantitatif biasanya mensimplifikasi dengan menggunakan berbagai metode ekonometrik, yang salah satunya adalah metode Analisis Komponen Utama atau

Metode ini akan digunakan untuk mendeskripsikan variabel infrastruktur dalam penelitian kali ini yang akan dijelaskan pada Bab III.

Pertama adalah penelitian yang dilakukan Moser & Felton dalam melakukan simplifikasi terhadap asset yang akan dijadikan ukuran dalam analisis kesejahteraan di Ekuador. Moser & Felton

yang mampu mengakomodasi variabel diskret

menggunakan metode

Yakni

secara panel dengan tahun data dan 2004. Dimensi dalam indeks ini terdiri dari empat buah yang terdiri dari:

Tabel 2.1: Dimensi Pembentuk Indeks Asset Versi Moser & Felton (2007) Dimensi

Kategori Aset

Komponen Index

Material Atap Material Dinding

Fisik

Perumahan

Material Lantai Sumber Penerangan

Dimensi

Kategori Aset

Komponen Index

Tipe Toilet

Radio Sepeda

Aset Konsumtif

Sepeda Motor

Tape Rekaman Komputer Tipe Pekerja:

 PNS

Keamanan Pekerja

 Pekerja Swasta  Wirausaha

 Pekerja Kontrak Kulkas

Finansial/ Produksi

Aset Produktif

Mobil Mesin Jahit Remittance

Transfer/ Rental Pemasukan Sewa

Level Pendidikan:  Tdk Sekolah

 SD  SMP  SMU/K  Perguruan Tinggi

SDM

Pendidikan

Jointly headed household

Household

Other households on solar

households Modal Sosial

Kegiatan Komunitas:

Komunitas Mengikuti Klp Olahraga

Mengikuti Keg. Komunitas

Sumber: Moser & Felton (2007) Sementara itu

(tanpa tahun) memilih 3 dimensi yang diwakili dalam 11 indikator utnuk menggambarkan infrastruktur di Odhisa, India. Infrastruktur dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk

Tabel 2.2: Analisis Komponen utama Pembentuk Indeks Infrastruktur Versi Chittarajan Dimensi

Indikator

diirigasi dari total lahan

Elektrifikasi: KK desa yang dialiri listrik Fisik

KK desa yang memiliki akses pesawat telepon Transportasi: Densitas Jalan desa per 1000 Ha lahan.

Pendidikan: Angka Melek Huruf Sosial Kesehatan: Jml tempat tidur rumah sakit per total penduduk

of rumah dengan kondisi baik dari total rumah di perdesaan

(proxy of housing amenities) akses layanan bank

Finansial

pada anggota KUD

dagang dalam koperasi

Sumber: Nayak Chittaranjan. "Rural Infrastructure in Odisha: An Inter-District Analysis", PRAGATI: Journal of Indian Economy. JOURNAL PRESS INDIA: www.journalpressindia.com

Dalam & Serven (2014) infrastruktur dibagi menjadi dua terminologi, yakni menurut ketersediaannya, dan kualitasnya. Menurut ketersediaannya, diindikasikan melalui

jumlah line telepon per 1000 pekerja 1 jumlah daya listrik

per 1000 pekerja

2 dan total panjang jalan dengan kualitas baik (km) per luas daerah (km 2 ) 3 Sebagaimana digambarkan dengan persamaan berikut:

Pl[z] u = 0.6159*ln[Z 1 /L] u + 0.6075*ln[Z 1 /L] u + 0.5015*ln[Z 3 /A] u

Sementara itu menurut kualitasnya, diindikasikan melalui lama pemasangan line telepon

1 Besarnya distribusi output dan besar listrik yang hilang dari total daya tersalur 2 dan Total jalan

3 ). Hal ini digambarkan dengan:

Pl[qz] u = 0.5923* [Q 1 ] u + 0.5814* [Q 1 ] u + 0.5578*[Q 3 ] u

Hal yang perlu diketahui, kedua koefisien indeks tersebut diambil dari komponen pertama dari proses analisis

telah mewakili lebih dari

yang dilakukan, karena alasan

keragaman dari total iterasi komponen.

indeks tersebut indeks tersebut

(2013) juga melakukan penyususnan indeks infrastruktur dengan melibatkan tiga indikator utama yang meliputi Aksesibilitas rumah tangga terhadap Sanitasi, Aksesibilitas rumah tangga terhadap listrik, dan juga aksesibilitas rumah tangga terhadap air bersih pada level tertentu dengan hasil persamaan sebagai berikut:

INFSTOCK = 0.571*ln(SAN/HH) + 0.594*ln(WATER/HH) + 0.571*ln(ELEK/HH)

2.5 Dampak Infrastruktur Terhadap Pengentasan Kemiskinan

Hubungan antara penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur ini sendiri sebenarnya telah lama dipercaya memiliki hubungan yang positif. Dalam Wealth of Nation yang ditulis Adam Smith pada tahun

dijelaskan bahwa infrastruktur publik, membantu masyarakat pada sebuah kerajaan meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan kelancaran kegiatan arus barang dagang

Sebuah paper yang ditulis oleh Andersen & Shimokawa (2006) berusaha mengkompilasi berbagai analisis yang dilakukan di beberapa negara mengenai dampak infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan. Kesimpulan dari kompilasi tersebut menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur pertanian, maupun

berdampak positif terhadap pengentasan kemiskinan di berbagai negara. Upaya analisis dampak ini umumnya menggunakan metode Simultaneous Equation Model (SEM), untuk mengontrol endogenitas tanpa kehilangan efek infrastruktur dalam jangka panjang melalui diferensiasi

& Shimokawa, 2006). yang paling dominan dalam analisis dampaknya terhadap kemiskinan adalah aksesibilitas terhadap jalan. Sebagai contoh pada kasus

sepanjang dimana dampaknya mencapai 132,34 (Fan, Huong, & Long, 2004). Sementara Listrik di

pada juga cukup tinggi mencapai

(Fan, Nyange, & Rao, 2005). Hal ini sebagaimana digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.3: Dampak Infrastruktur pada Pengentasan Kemiskinan di Negara-Negara Berkembang

Pengukur

Negara Tahun Metode

Sumber

Infrastruktur Efek

Inv. Irigasi

penguranga Inv. Jalan

SEM

and

kemiskinan Inv. Listrik

Inv. Telepon

Jml

Jalan kualitas baik:

kemiskinan kota direduksi

Inv. Jalan kualitas baik 8

kemiskinan kota

RRT

direduksi per juta

Inv. Jalan kualitas rendah SEM

Jalan kualitas baik:

kemiskinan desa direduksi per km

Jml

Inv. Jalan kualitas baik 13

kemiskinan desa direduksi per juta

yuan

Inv. Jalan kualitas rendah 161

Jml

Inv. Jalan

kemiskinan Inv. Irigasi

India SEM

per juta

ruppe

Inv. Listrik

Jalan (per juta Shilling) 26.53 SEM

Fan, Nyange,

dikurangi jaringan)

Fan,

Jml

Inv. Irigasi

Jitsuchon, & kemiskinan

Thailand SEM

Inv. Jalan

per juta bath Inv. Listrik

Jml

Jalan feeder

Uganda SEM

& Rao

kemiskinan Jalan Murram

Negara Tahun Metode

Sumber

Pengukur

Infrastruktur Efek

per juta Shelling

Jalan Tarmac

Jml

Inv. Irigasi

Fan, Huong, kemiskinan

per juta

dong

Inv. Jalan

Mortalitas Pipa air

bayi per

Tdk ada kemajuan sanitasi

Simultaneous Equation Model. (2)

(1) Inv. Investment

Quintile Regression

adalah koefisien yang signifikan pada Sementara itu Sumarto & De Silva (2015) dalam analisisnya di Indonesia terhadap

tingkat anak dalam kaitannya terhadap infrastruktur mendeterminasi secara signifikan. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi secara positif tingkat nutrisi anak. Sementara itu anak yang lebih tua, anak

keluarga yang memiliki banyak anak, dan yang memiliki rentang kandungan lebih singkat memiliki kecenderungan mengalami malnutrisi. Sementara terkait dengan postur tubuh

di desa juga cenderung lebih kecil (stunt

& De Silva, 2015). Adapun Fitrani (2005) mencoba melihat fonemena konvergensi pertumbuhan pada level kabupaten kota di Indonesia selama tahun

dengan menggunakan model Solow. Dalam penelitiannya kondisi perlakuan dibedakan menjadi absolute, dan kondisional. Dalam model ini, faktor infrastruktur, pendidikan, dan jumlah penduduk memiliki pengaruh dalam mempercepat konvergensi tersebut.

2.6 Dasar Pembentukan Model

Untuk membentuk model penelitian mengenai dampak infrastruktur atas peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, penulis mempelajari 3 penelitian terdahulu sebagai rujukan utama dalam penelitian ini. Pemilihan penelitian ini dalam kaitannya dengan pembentukan indeks infrastruktur, khususnya melalui metode principal Component Analysis

Penelitian tesebut adalah sebagai berikut:

2.6.1 Penelitian Sahoo et al (2010) Desa sebagai penyangga utama kekuatan ekonomi

menjadi perhatian utama dalam kegiatan pembangunan disana. Hal ini termasuk dalam pembangunan infrastrukturnya. Sahoo et al mencoba mengkur seberapa besar dampak dari pembangunan infrastruktur tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan model dasar

dan di modifikasi menjadi model berikut:

Ln GDP t = α t + δ i t+ β 1 ln Kpvt t + β 2 ln Kpub t + β 3 ln LF t + β 4 ln Index t + β 5 ln HEexp t +e t

Dimana GDP t adalah PDB

Kpub investasi domestik

Kpvt t adalah investasi domestik

sementara HEexp adalah pengeluaran (expenditure) per kapita untuk urusan kesehatan dan sekolah. Hal ini dengan asumsi dasar ( β 1 , β 2 , β 3 , dan β 4 ) >0. Perlu diketahui bahwa penelitian ini menggunakan

LF adalah total dari tenaga

Index adalah indeks

cukup panjang dari

Sahoo et al (2010) mengatakan bahwa, keberadaan variabel infrastruktur dalam analisa dampak terhadap pertumbuhan ekonomi kerap mengundang perdebatan. Oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan terhadap

endogern dalam model. Hal ini diatasi dengan menggunakan pendekatan Auto Regressive-Distributed Lag Model (ARDL) bersama dengan General Method of Moment

untuk membatasi endogenitas tersebut. Sehingga bisa diketahui apakah ada pengaruh jangka panjang (long-run effect) dalam model yang menyebabkan terjadinya bias intepretasi. Atau dibahasakan ketika kondisi jangka panjang

menunjukkan β 1 =β 2 =β 3 =β 4 =0. Namun terlebih dahulu perlu diketahui arah keterkaitan antara infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dengan melakukan uji Kausalitas

2.6.2 Penelitian Calderon & Severen (2014) Penelitian ini memberikan evaluasi empiris dampak pembangunan infrastruktur terhadap

pertumbuhan ekonomi (growth) dan peningkatan distribusi pendapatan (income) dengan menggunakan data panel yang dikumpulkan dari 121 negara dalam rentang waktu Dalam model pertumbuhan merupakan pertumbuhan dari PDB, sementara variabel kesejahteraan adalah gini coefficient dari

negara. Sementara sebagai variabel penentu negara. Sementara sebagai variabel penentu

Hal ini disebabkan tingginya keragaman indikator infrastruktur yang dijadikan fokus dalam penelitian ini. Adapun faktor prediksi yang digunakan sebagai wakil variabel regresi adalah Faktor Komponen ke 1 (cp1).

Hasil dari pengukuran penelitian ini menunjukkan pembangunan infrastruktur memiliki peran yang sangat positif dalam rangka mereduksi kemiskinan. Lebih jauh simulasi pada negara Amerika Latin, peningkatan ketersediaan dan kualitas infrastruktur secara sangat signifikan berdampak positif pada akselerasi pertumbuhan dan penurunan ketimpangan.

2.7 Perumusan Hipotesis

Berdasarkan tinjauan beberapa penelitian diatas, maka diketahui bahwa Infrastruktur desa memiliki peran positif terhadap peningkatan kesejahteraan, yang diwujudkan melalui pengurangan ketimpangan pengeluaran antar penduduk desa. Dengan memodifikasi model yang dibuat oleh Ali & Pernia, Asian Development Bank (2003) maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

DIMENSI INFRASTRUKTUR

Inflasi Level Kabup/Kota

Pemerataan Distribusi Pengeluaran Masyarakat Desa

Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa

Gambar 2.3: Perumusan Hipotesis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa

Sumber: Ali & Pernia, dimodifikasi

2.8 Kerangka Berpikir Pemecahan Masalah

Kerangka berpikir pemecahan masalah dalam penelitian ini bisa digambarkan sebagai berikut:

ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DESA TERHADAP PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI DESA

Latar Belakang

Fakta:

Harapan:

Tingkat kesejahteraan masyarakat desa

Bisa diketahui Infrastruktur desa memiliki