UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PEMANTAU

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PEMANTAUAN TERAPI OBAT PASIEN ESOPHAGITIS BILE REFLUX DISERTAI HEMORRHOID, POLIP KOLON, DAN PERITONITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI Jl. RS Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan

LAPORAN

MUHAMMAD HAIDAR ALI

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

APRIL 2015

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PEMANTAUAN TERAPI OBAT PASIEN ESOPHAGITIS BILE REFLUX DISERTAI HEMORRHOID, POLIP KOLON, DAN PERITONITIS TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI Jl. RS Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan

LAPORAN

Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir Praktik Kerja Lapangan

MUHAMMAD HAIDAR ALI 1111102000121 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA APRIL 2015

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Praktik Kerja Lapangan ini diajukan oleh: Nama : Muhammad Haidar Ali NIM : 1111102000121 Judul : Pemantauan Terapi Obat Pasien Esophagitis Bile Reflux disertai

Hemorrhoid, Polip Kolon dan Peritonitis Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati

Sebagai tugas akhir Praktik Kerja Lapangan Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati periode 16 Februari 2015 sampai 2 Maret 2015.

Telah disetujui oleh:

Pembimbing PKL Pembimbing Prodi Farmasi RSUP Fatmawati

UIN Syarif Hidayatullah

Wiwi Muswiroh, S.Si., Apt. Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.SI., Apt. NIP. 197501012005012001

NIP 194609111979022001

Kepala Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati

Dra. Etin Ratna Martiningsih, Apt. NIP. 19621129 199002 2 002

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur selalu terpanjatkan atas segala nikmat, karunia, dan ilmu yang bermanfaat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan pemantauan terapi obat ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir nanti semoga kita mendapat syafaat dari beliau. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.

Laporan Pemantauan Terapi Obat ini merupakan hasil interpretasi dari PraktikKerja Lapangan yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas akhir di Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan adanya praktik kerja lapangan, diharapkan mahasiswa dapat berkesempatan mempraktikkan ilmu yang telah didapat selama pembelajaran serta mendapat gambaran mengenai rumah sakit yang merupakan salah satu tempat bagi para sarjana farmasi untuk mengabdikan ilmunya, khususnya mengenai pemantauan terapi obat terhadap pasien. Pemantauan terapi obat dilakukan untuk memastikan pasien mendapat terapi obat yang rasional, efektif, dan efisien.

Selama proses penyusunan dan penulisan laporan ini, penulis menyadari begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya, mendidik dan membimbing, dan mendoakan yang terbaik kepada penulis. Maka pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

1. Dra. Etin Ratna Martiningsih, Apt., selaku Kepala Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati.

2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt., selaku Kepala Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

iv

4. Ibu Wiwi Muswiroh, S.Si., Apt., selaku Pembimbing Praktik Kerja Lapangan dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.

5. Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.Si., Apt., selaku Pembimbing Praktik Kerja Lapangan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Chrisna Fergiyandini, S.Farm., Apt., selaku Penyelia Depo Farmasi Instalasi Bedah Sentral RSUP Fatmawati.

7. Ibu Satriani Sinukaban, S.Si., Apt., selaku Penyelia Depo Farmasi Rawat Jalan Lantai I dan III RSUP Fatmawati.

8. Ibu Muldanoor Mey Elfira dan Ibu Erni Bachran, S.Si., Apt., selaku Penyelia Depo Farmasi Rawat Inap Gedung Teratai dan Gedung Soelarto RSUP Fatmawati.

9. Ibu Afni Rosyidin, AMD.Far., selaku Penyelia Gudang Farmasi RSUP Fatmawati.

10. Ibu Baiq Retnanti Tiastiti, S.Farm., Apt., selaku Penyelia Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati.

11. Kedua orang tua tercinta, atas doa, kesabaran, bimbingan, dukungan moral, materi, serta kasih sayang.

12. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/i S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2011.

13. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan Laporan Tugas Khusus Praktek Kerja Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.

Penulis menyadari bahwa laporan pemantauan terapi obat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan dari laporan ini.

Demikian laporan pemantauan terapi obat ini dibuat, semoga bermanfaat bagi semua pihak khususnya dalam dunia kefarmasian.

Jakarta, April 2015

Penyusun

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1. Spektrum Gejala Klinis Esofagitis Refluks ................................... 16 Tabel 3.1. Data Laboratorium Tanggal 11 Februari 2015 .............................. 38 Tabel 3.2. Data Laboratorium Tanggal 12 Februari 2015 .............................. 39 Tabel 3.3. Data Laboratorium Tanggal 27 Februari 2015 .............................. 40 Tabel 3.4. Data Laboratorium Tanggal 1 Maret 2015 .................................... 40 Tabel 3.5. Data Laboratorium Tanggal 2 Maret 2015 .................................... 41

viii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia kefarmasian saat ini menjadikan konsep asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) sebagai pedoman yang penting. Konsep ini merupakan landasan bagi para apoteker dalam menjalankan perannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat mengenai obat-obatan. Pharmaceutical care adalah paradigma baru pelayanan kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan (health care) dan bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, aman, dan efisien demi mencapai peningkatan kualitas hidup manusia. Dalam hal ini seorang apoteker/farmasis mempunyai kewajiban mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat dan kesehatan.

Konsep asuhan kefarmasian menjadi penting karena meningkatnya biaya kesehatan dan adverse drug reactions dari obat-obat yang diresepkan. Masalah terkait obat (Drug-Related Problem/ DRPs) oleh Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) didefinisikan sebagai setiap kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat.

Asuhan kefarmasian memiliki fungsi sangat penting dalam kaitannya dengan terapi obat diantaranya, mengidentifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat, menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat /Drug Related Problems (DRPs), mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dangan obat. Selain itu, dengan adanya asuhan kefarmasian dapat memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis dengan profesi kesehatan lainnya dimana akan membantu dalam meningkatkan mutu kesehatan masyrakat.

Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai resiko mengalami masalah terkait obat seperti efek samping obat, kontraindikasi hingga polifarmasi.

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respon pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan pemantauan terapi obat dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

Dalam pedoman pemantauan terapi obat, pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit, polifarmasi, dan pasien geriatri adalah salah satu kriteria pasien yang perlu mendapatkan pemantauan terapi obat. Apoteker memiliki posisi strategis untuk meminimalkan medication errors, baik dilihat dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses pengobatan. Kontribusi yang dimungkinkan dilakukan antara lain dengan meningkatkan pelaporan, pemberian informasi obat kepada pasien dan tenaga kesehatan lain, meningkatkan keberlangsungan rejimen pengobatan pasien, peningkatan kualitas dan keselamatan pengobatan pasien di rumah. Di tengah proses terapi, apoteker atau farmasis memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi terbaik bagi DRPs pasien. Diakhir proses terapi, mereka menilai hasil intervensi farmasis sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan.

Keberadaan farmasis memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya masalah terkait obat. Farmasis sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai. Oleh sebab itu, dibutuhkan kontribusi farmasis dalam memantau mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah yang timbul dari suatu pengobatan khususnya terkait penggunaan obat.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah terapi pengobatan yang didapatkan oleh Tn. SW dengan penyakit Esophagitis Bile Reflux disertai Hemorrhoid, Polip Kolon dan Peritonitis Tuberkulosis di Gedung Teratai Selatan Lt. 5 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati sudah rasional, aman, dan efektif.

1.3 Tujuan

1. Melakukan evaluasi ketepatan, keefektivan, keamanan, dan kerasionalan terapi pengobatan pada pasien rawat inap di Gedung Teratai Selatan Lt. 5 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.

2. Meningkatkan peran farmasis dalam melakukan kegiatan farmasi klinik ataupun asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) terutama dalam pemantauan terapi obat pada pasien rawat inap.

1.4 Manfaat

Manfaat dari dilaksanakannya PKL ini diantaranya adalah untuk menambah wawasan dan pengalaman mahasiswa serta gambaran tentang peran dan tanggung jawab seorang apoteker di rumah sakit atau instalasi farmasi, khususnya dalam melakukan pemantauan terapi obat terhadap pasien

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemantauan Terapi Obat (Depkes, 2009)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014, pemantauan terapi obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektifitas terapi dan meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD).

Kegiatan dalam PTO meliputi:

a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendakai (ROTD);

b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan

c. Pemantauan efektifitas dan efek samping terapi obat. Tahap PTO :

a. Pengumpulan data pasien

b. Identifikasi masalah terkait obat

c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat

d. Pemantauan

e. Tindak lanjut Faktor yang harus diperhatikan :

a. Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kriteria terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine).

b. Keberhasilan informasi, dan

c. Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).

2.2. Tatalaksana Pemantauan Terapi Obat

2.2.1. Seleksi Pasien

Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah

1. Kondisi Pasien

a. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima polifarmasi.

b. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.

c. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.

d. Pasien geriatri dan pediatri.

e. Pasien hamil dan menyusui.

f. Pasien dengan perawatan intensif.

2. Obat

a. Jenis Obat Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti:

1) Obat dengan indeks terapi sempit (contoh: digoksin,fenitoin),

2) Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik (contoh: OAT),

3) Sitostatika (contoh: metotreksat),

4) Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),

5) Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid,

AINS),

6) Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).

b. Kompleksitas Regimen

1) Polifarmasi

2) Variasi rute pemberian

3) Variasi aturan pakai

4) Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)

2.2.2. Pengumpulan Data Pasien

Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data tersebut dapat diperoleh dari:

a. Rekam medik

b. Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat b. Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat

Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan pemberian obat oleh perawat dan kartu/formulir penggunaan obat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh: insulin) (Anonim, 2009).

Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan, dan kemudian dikaji. Data yang berhubungan dengan PTO diringkas dan diorganisasikan ke dalam suatu format yang sesuai. Sering kali data yang diperoleh dari rekam medis dan profil pengobatan pasien belum cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara pasien, anggota keluara, dan tenaga kesehatan lain (Anonim, 2009).

2.2.3. Identifikasi Masalah Terkait Obat

Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya masalah terkait obat. Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Ada Indikasi Tetapi Tidak di Terapi Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat.

b. Peberian Obat Tanpa Indikasi Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.

c. Pemilihan Obat Yang Tidak Tepat Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra indikasi.

d. Dosis terlalu tinggi

e. Dosis terlalu rendah

f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)

g. Interaksi obat

h. Pasien tidak menggunakan obat dengan suatu sebab Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain: masalah ekonomi, obat tidak tersedia, ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas. Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensial akan terjadi. Masalah yang perlu penyelesaian segera harus diprioritaskan (Anonim, 2009).

2.2.4. Rekomendasi Terapi

Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)

b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)

c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)

d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi antara lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis). Pilihan terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi (Anonim, 2009).

2.2.5. Rencana Pemantauan

Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah: Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah:

1. Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol ataupun aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit yang harus diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin).

2. Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen

3. Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatri mencapai 40%)

4. Efisiensi pemeriksaan laboratorium

5. Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam darah untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)

6. Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia),

7. Biaya pemantauan.

b. Menetapkan Sasaran Terapi Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan diderita pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma).

2. Karakteristik obat Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian akan mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan (contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah pada pemberian insulin dan anti diabetes oral).

3. Efikasi dan toksisitas.

c. Menetapkan Frekuensi Pemantauan Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien yang menerima obat kanker harus dipantau lebih sering dan berkala dibanding pasien yang menerima aspirin. Pasien dengan kondisi relatif stabil tidak memerlukan pemantauan yang sering. Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara lain:

1. Kebutuhan khusus dari pasien. Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi ginjal.

2. Karakteristik obat pasien. Contoh: pasien yang menerima warfarin

3. Biaya dan kepraktisan pemantauan

4. Permintaan tenaga kesehatan lain Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO, tetapi pada

kenyataannya data penting terukur sering tidak ditemukan sehingga PTO tidak dapat dilakukan dengan baik. Hal tersebut menyebabkan penggunaan data subyektif sebagai dasar PTO. Jika parameter pemantauan tidak dapat digantikan dengan data subyektif maka harus diupayakan adanya data tambahan.

Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah Subjective Objective Assessment Planning (SOAP).

1. S (Subjective) Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.

2. O (Objective) Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan. Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.

3. A (Assessment) Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.

4. P (Plans) Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Rekomendasi yang dapat diberikan:

a) Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat, memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute pemberian.

b) Mengedukasi pasien.

c) Pemeriksaan laboratorium. Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai

sasaran terapi. Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis sesuai dengan sasaran terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan mencapai sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara lain: kegagalan menerima terapi, perubahan fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal terapi.

2.2.6. Tindak Lanjut

Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal. Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru.

Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dan kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat sebaiknya:

a. Tidak bertentangan atau berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain,

b. Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat,

c. Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

2.2.7. Dokumentasi

Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan harus didokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti otentik pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan akuntabilitas atau pertanggungjawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan dan penelitian. Sistimatika pendokumentasian harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk penelusuran kembali.

Pendokumentasian dapat dilakukan berdasarkan nomor rekam medik, nama, penyakit, ruangan dan usia. Data dapat didokumentasikan secara manual, elektronik atau keduanya. Data bersifat rahasia dan disimpan dengan rentang waktu sesuai kebutuhan. Sesuai dengan etik penelitian, untuk publikasi hasil penelitian identitas pasien harus disamarkan.

2.3. Esofagitis

2.3.1. Definisi Penyakit

Esofagitis refluks merupakan proses inflamasi epitel esofagus yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Pada anak, esofagitis dapat terjadi akibat refluks gastroesofagus (RGE), infeksi (bakteri, virus dan jamur), atau bahan korosif. Esofagitis akibat RGE dikenal sebagai esofagitis refluks, merupakan bentuk penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan penyebab esofagitis tersering pada anak (Hogan dan Dodds, 1989). Esofagitis refluks melibatkan berbagai proses yang mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme yang mencegah RGE dan mekanisme yang membersihkan esofagus dari bahan toksik. Toksisitas isi refluks (seperti asam, pepsin, empedu), frekuensi dan durasi episode refluks, serta resistensi esofagus terhadap isi refluks merupakan faktor yang berperan terhadap kejadian esofagitis (Hamilton, 1990).

Esofagitis refluks adalah proses inflamasi pada esofagus yang terjadi akibat RGE. Proses inflamasi tersebut dapat disertai perubahan pada mukosa esofagus seperti erosi atau hiperplasi epitel. Refluks gastroesofagus sendiri didefinisikan sebagai masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang berlangsung secara involunter (Hamilton, 1990).Isi lambung tersebut dapat berupa saliva, makanan, minuman, sekresi lambung atau sekresi pankreas dan empedu yang terlebih dahulu masuk ke dalam lambung (refluks duodenogaster). Istilah regurgitasi digunakan bila isi refluks dikeluarkan melalui mulut secara pasif (tanpa adanya upaya dari tubuh) (Hegar, 2004).

Refluks gastroesofagus terjadi akibat aliran balik isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara involunter. Keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada bayi yang bermanifestasi klinis sebagai regurgitasi. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk membuktikan adanya RGE dan kerusakan mukosa Refluks gastroesofagus terjadi akibat aliran balik isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara involunter. Keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada bayi yang bermanifestasi klinis sebagai regurgitasi. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk membuktikan adanya RGE dan kerusakan mukosa

2.3.2. Patofisiologi

Konsep PRGE pada awalnya berkaitan dengan aktivitas cairan lambung pada mukosa esofagus, selanjutnya dihubungkan dengan kejadian hiatus hernia, dan lemahnya (atoni) spingter esofagus bagian bawah. Konsep terakhir yang disepakati adalah esofagitis refluks tidak disebabkan oleh hanya 1 faktor, melainkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Esofagitis refluks terjadi bila terdapat ketidakseimbangan antara faktor yang menyebabkan RGE (faktor agresif ) dan faktor yang mencegah RGE (faktor pertahanan) (Hegar, 2004). Faktor- faktor tersebut, adalah:

1. Spingter Esofagus Bagian Bawah Spingter esofagus bagian bawah (SEB) merupakan salah satu barier anti refluks yang memiliki 2 komponen mekanisme pertahanan, yaitu (1) SEB intrinsik berupa otot polos esofagus dan (2) SEB ekstinsik berupa lengkung diafragma. Sebagian SEB berada intraabdomen dan sebagian lagi intratoraks. Keduanya membentuk hiatus esofagus dan bekerja sama menghasilkan tekanan SEB yang merupakan mekanisme pertahanan penting terhadap RGE (Davidson dan Omari, 2001). Selama proses menelan, SEB akan relaksasi selama 3-10 detik dengan tekanan terendah (minimal 2 mmHg di atas tekanan intragastrik) untuk membe- rikan jalan kepada bolus makanan masuk ke dalam lambung. Selanjutnya, SEB akan mencegah refluks dengan cara mempertahankan tekanan saat istirahat (resting pressure) sebesar 5-10 mmHg lebih tinggi dibanding tekanan lintragastrik (Spechler, 1996). Bila terdapat peningkatan tekanan intra-abdomen secara mendadak pada saat batuk, bersin atau distensi lambung, maka tekanan SEB akan lebih ditingkatkan agar mencegah refluks. Spingter esofagus bagian bawah yang kompeten mampu menjaga tekanannya agar selalu berada di atas tekanan intragastrik.Disfungsi SEB akan menyebabkan kemampuan sfingter mengatur tekanannya terganggu, 1. Spingter Esofagus Bagian Bawah Spingter esofagus bagian bawah (SEB) merupakan salah satu barier anti refluks yang memiliki 2 komponen mekanisme pertahanan, yaitu (1) SEB intrinsik berupa otot polos esofagus dan (2) SEB ekstinsik berupa lengkung diafragma. Sebagian SEB berada intraabdomen dan sebagian lagi intratoraks. Keduanya membentuk hiatus esofagus dan bekerja sama menghasilkan tekanan SEB yang merupakan mekanisme pertahanan penting terhadap RGE (Davidson dan Omari, 2001). Selama proses menelan, SEB akan relaksasi selama 3-10 detik dengan tekanan terendah (minimal 2 mmHg di atas tekanan intragastrik) untuk membe- rikan jalan kepada bolus makanan masuk ke dalam lambung. Selanjutnya, SEB akan mencegah refluks dengan cara mempertahankan tekanan saat istirahat (resting pressure) sebesar 5-10 mmHg lebih tinggi dibanding tekanan lintragastrik (Spechler, 1996). Bila terdapat peningkatan tekanan intra-abdomen secara mendadak pada saat batuk, bersin atau distensi lambung, maka tekanan SEB akan lebih ditingkatkan agar mencegah refluks. Spingter esofagus bagian bawah yang kompeten mampu menjaga tekanannya agar selalu berada di atas tekanan intragastrik.Disfungsi SEB akan menyebabkan kemampuan sfingter mengatur tekanannya terganggu,

2. Transient Lower Esophageal Relaxation Transient lower esophageal relaxation (TLESR) adalah relaksasi SEB yang tidak berhubungan dengan proses menelan dan berlangusung lebih lama dari biasanya (lebih dari 10 detik) (Spechler, 1996). TLESR dikontrol melalui refleks vago-vagal; sisi aferen diatur oleh mekanoreseptor pada dinding proksimal lambung, sedangkan sisi eferen diatur oleh batang otak (Mittal, 2002). TLESR terjadi bersamaan dengan inhibisi lengkung diafragma dan badan esofagus sehingga mempermudah aliran balik isi lambung ke dalam esofagus. Keadaan ini sering terjadi setelah makan dan dipicu oleh distensi lambung, sehingga adanya gangguan pengosongan lambung akan meningkatkan frekuensi TLESR. Saat terjadi TLESR, tekanan SEB turun menuju nol sehingga tidak berfungsi sebagai barier anti refluks. Dilaporkan bahwa 70%-90% episode RGE pada anak dengan PRGE berhubungan dengan TLESR. Pada laporan lain didapatkan 100% TLESR pada RGE fisiologi dan 66% TLESR pada esofagitis berat, sedangkan pada akalasia tidak ditemukan TLESR. Walaupun masih perlu pengkajian lebih lanjut, berdasarkan pengamatan tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa TLESR pada RGE patologi mungkin berperan sebagai mekanisme kontrol. Beberapa keadaan lain seperti pemakaian intubasi, anastesi, tidur, dan stres dilaporkan juga dapat meningkatkan frekuensi TLESR (Hegar, 2004).

3. Klirens Esofagus Klirens esofagus terjadi setelah episode refluks untuk mengurangi durasi kontak antara isi lambung dengan epitel esofagus. Pada keadaan normal, esofagus membersihkan asam dengan 4 mekanisme, yaitu gravitasi, peristaltik, saliva dan produksi bikarbonat instrinsik esofagus. Saat bolus asam masuk ke dalam esofagus, sebagian besar asam tersebut akan dibersih- kan oleh gravitasi dan pristaltik. Sisa asam akan dinetralkan oleh saliva (bersifat alkali) yang tertelan dan bikarbonat yang diproduksi oleh kelenjar esofagus. Refluks 3. Klirens Esofagus Klirens esofagus terjadi setelah episode refluks untuk mengurangi durasi kontak antara isi lambung dengan epitel esofagus. Pada keadaan normal, esofagus membersihkan asam dengan 4 mekanisme, yaitu gravitasi, peristaltik, saliva dan produksi bikarbonat instrinsik esofagus. Saat bolus asam masuk ke dalam esofagus, sebagian besar asam tersebut akan dibersih- kan oleh gravitasi dan pristaltik. Sisa asam akan dinetralkan oleh saliva (bersifat alkali) yang tertelan dan bikarbonat yang diproduksi oleh kelenjar esofagus. Refluks

4. Pertahanan Esofagus Esofagitis timbul akibat kontak antara zat toksik yang terdapat pada isi refluks dengan mukosa esofagus dalam kurun waktu yang cukup untuk mengalahkan pertahanan esofagus. Pertahanan esofagus ditentukan oleh ketahanan mukosa dalam mengurangi kerusakan selama terjadi kontak dengan isi lumen yang toksik. Mekanisme pertahanan esofagus dapat dikelompokan menjadi pertahanan pre-epitelial, epitelial, post epitelial, dan perbaikan jaringan (Yoshida dan Yoshikawa, 2003).

a. Pertahanan Pre-Epitelial Mekanisme ini mencegah kontak langsung ion H + dalam lumen esofagus

dengan sel epitel skuamosa. Komponen yang berperan dalam mekanisme ini adalah lapisan mukus, unstirred water layer, dan lapisan ion bikarbonat

yang terdapat pada permukaan mukosa. Asam dinetralisasi oleh HCO 3 di lapisan mukus dan lama kontak dengan asam dipersingkat oleh unstirred water (Yoshida dan Yoshikawa, 2003).

b. Pertahanan Epitelial Mekanisme ini mencegah masuknya ion H + ke dalam sel dan

mengeleminasi ion H + yang sudah masuk ke dalam sel. Agar dapat masuk ke dalam sel, ion H + harus melalui membran sel atau ruang interselular sehingga pergerakan ion H + dibatasi oleh tight junction dan materi

interselular (lipid dan musin). Membran sel dan kompleks junction

interseluler + merupakan barier utama terhadap ion H . Ion H yang melalui sel epitel akan dinetralisir oleh protein intraseluler, fosfat dan interseluler + merupakan barier utama terhadap ion H . Ion H yang melalui sel epitel akan dinetralisir oleh protein intraseluler, fosfat dan

pertukaran Na 3- /H dan Cl /HCO (Yoshida dan Yoshikawa, 2003).

c. Pertahanan Post-Epitelial Aliran darah ke esofagus akan meningkat pada saat esofagus berkontak dengan bahan toksik.Suplai darah ke esofagus dapat memberikan efek perlindungan dengan cara (1) memindahkan bahan toksik (CO2 dan ion

H + ) keluar dari sel epitel dan (2) mensuplai bikarbonat, oksigen dan nutrisi ke ruang interselular untuk menetralisir asam (Orel dan Marcovic, 2003).

d. Perbaikan Jaringan Sel epitel esofagus dapat memperbaiki kerusakan jaringan. Proses perbaikan jaringan esofagus lebih cepat dibanding mukosa lambung. Faktor yang berperan dalam proses perbaikan epitel antara lain epidermal growth factor (EGF), hepatocyte growth factor (HGF) dan nitrit oksida. Kelenjar saliva mensekresi EGF dengan kadar tinggi sehingga dapat menstimulasi sintesis DNA yang mempunyai efek ploriferatif yang besar. Hepatocyte growth factor menstimulasi per- tumbuhan beberapa tipe sel epitel dengan aktivitas perbaikan sel lebih besar dibanding EGF. Nitrit oksida berperan mempertahankan mikrosirkulasi esofagus. Pada esofagitis refuks terjadi replikasi epitel esofagus yang cepat sehingga akan ditemukan hiperplasia sel basal (Orlando, 1995).

5. Isi Lambung Refluks gastroesofagus akan menyebabkan kerusakan pada esofagus bila isi refluks bersifat kaustik terhadap mukosa esofagus. Isi lambung yang berpotensi sebagai kaustik adalah asam, pepsin, empedu dan enzim pankreas (tripsin, lipase) (Orlando, 1995). Pada pH rendah atau suasana asam, ion H+ merupakan penyebab kerusakan mukosa esofagus yang sangat bergantung kepada konsentrasi (pH) dan lama paparan. Kerusakan mukosa esofagus akan terlihat bila pH lumen esofagus < 2 atau terdapat pepsin atau empedu di dalam isi refluks. Kombinasi refluks asam dan empedu akan menyebabkan kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) yang berat, sedangkan refluks asam saja atau refluks empedu saja umumnya menyebabkan esofagitis ringan- sedang (Orel dan Marcovic, 2003).

6. Hiatus Hernia Sebagian besar pasien dengan PRGE berat memiliki hiatus hernia. Hiatus hernia merupakan protusi esofago- gastric junction dan sebagian fundus gaster melewati hiatus lengkung diafragma ke arah dada. Timbulnya RGE diinduksi oleh peningkatan tekanan intra- abdomen secara tiba-tiba dan berkorelasi dengan ukuran hiatus hernia (Orlando, 1995). Tekanan SEB pada hiatus hernia rendah sehingga merupakan predisposisi terjadinya RGE. Hiatus hernia yang besar akan mengganggu mekanisme antirefluks ekstrasfingter akibat adanya gangguan penjepitan lengkung diafragma saat inspirasi. Pada hiatus hernia terbentuk kantung lambung di sekitar lengkung diafragma yang ber fungsi sebagai reser voir isi refluks (Spechler, 1996).

2.3.3. Gejala Klinis

Penyakit RGE memiliki spektrum gejala klinis yang luas dan berbeda untuk setiap kelompok umurnya (Tabel 1). Regurgitasi, nausea dan muntah merupakan gejala spesifik yang paling sering terlihat pada bayi, sedangkan pada anak yang lebih besar didapatkan keluhan disfagia, heartburn, dan nyeri epigastrium. Pada esofagitis berat dapat terjadi hematemesis dan melena (Vanderplas dan Hegar, 2004).

Tabel 2.1. Spektrum Gejala Klinis Esofagitis Refluks

Gejala

Bayi

Anak Dewasa

Regurgitasi

++ ++ Heartburn/Pyrosis

++ +++ Nyeri epigastrium

+ ++ Nyeri dada

+ ++ Disfagia

+ ++ Excessive crying/Iritabel

+ – Anemia/Melena/Hematemesis

+ + Food refusal/Feeding disturbancies/Anorexia

+ + Gagal tumbuh/pertumbuhan kurang

+ – Abnormal posturing

+ – Persisting hiccups

+ + Dental erosions/ water brush

+ + Hoarseness/ globus pharyngeus

+ + Batuk persisten/aspirasi (pneumonia)

++ + Wheezing/laringitis/masalah telinga

++ + Laringomalasia/stridor

++ - Asma kronis/sinusitis

ALTE/SIDS/Apnu/desaturasi

- - Bradikardia

? ? Masalah tidur

+ + Kualitas hidup terganggu

++ ++ Stenosis

(+) + Barrett’s/adenocarcinoma

2.3.4. Diagnostik Klinis

Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk memastikan adanya RGE dan kerusakan mukosa esofagus akibat RGE. Berbagai pemeriksaan penunjang pernah dilaporkan sebagai alat bantu diagnosis esofagitis refluks, walaupun demikian beberapa pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan penunjang yang tepat sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis esofagitis refluks.

Barium meal dan ultrasonografi dapat mendeteksi RGE tetapi tidak dapat mendeteksi esofagitis refluks. Selain itu, nilai diagnostik kedua pemeriksaan tersebut rendah karena hanya dapat menilai RGE postprandial sedangkan refluks yang terjadi postprandial adalah fisiologis (Sunku dan Marino, 2002). Demikian pula dengan skintigrafi, meskipun pemeriksaan ini dapat melihat klirens esofagus dan aspirasi. Pemeriksaan manometri digunakan untuk mengetahui tekanan SEB pada keadaan istirahat dan peristaltik serta memprediksi klirens abnormal (Rudolph, Mazur, Liptak,Baker, Boyle, dan Colletti, 2001). Manometri cukup invasif terutama pada bayi dan anak kecil, sehingga pemeriksaan ini lebih sering digunakan untuk penelitian dibanding sebagai prosedur diagnostik standar. Pemeriksaan penunjang yang digunakan sebagai alat diagnostik esofagitis refluks, yaitu:

1. Pemantauan pH Esofagus Meskipun masih terdapat keterbatasan, pemantauan pH esofagus (pH-meter) saat ini dianggap sebagai baku emas untuk mendeteksi adanya paparan asam pada esofagus, frekuensi dan lama RGE, serta hubungan gejala klinis dengan kejadian RGE. Dalam keadaan normal, pH esofagus adalah antara 5-7. Penurunan pH di bawah 4 merupakan petanda adanya RGE asam. PH esofagus abnormal ditemukan pada 90% anak dengan esofagitis dan 42% anak 1. Pemantauan pH Esofagus Meskipun masih terdapat keterbatasan, pemantauan pH esofagus (pH-meter) saat ini dianggap sebagai baku emas untuk mendeteksi adanya paparan asam pada esofagus, frekuensi dan lama RGE, serta hubungan gejala klinis dengan kejadian RGE. Dalam keadaan normal, pH esofagus adalah antara 5-7. Penurunan pH di bawah 4 merupakan petanda adanya RGE asam. PH esofagus abnormal ditemukan pada 90% anak dengan esofagitis dan 42% anak

2. Endoskopi Endoskopi merupakan prosedur diagnostik yang perlu dilakukan untuk melihat esofagitis. Walaupun demikian, gambaran normal mukosa esofagus pada endoskopi tidak dapat menyingkirkan esofagitis. Oleh karena itu, biopsi jaringan esofagus untuk pe- meriksaan patologi anatomi diperlukan pada setiap tindakan endoskopi. Pemeriksaan patologi anatomi diperlukan untuk mendeteksi esofagitis refluks dan menyingkirkan penyebab esofagitis lainnya. Biopsi jaringan dilakukan dengan bantuan endoskopi pada lokasi 2 cm di atas SEB. Jaringan yang dibiopsi harus cukup sehingga dapat memperlihatkan ada tidaknya gambaran esofagitis (Vanderplas dan Hegar, 2002). Berdasarkan pemeriksaan endoskopi, Savary-Miller membagi esofagitis menjadi 4 klasifikasi sesuai dengan kerusakan mukosa. Klasifikasi ini telah digunakan secara luas baik pada pasien dewasa maupun anak. Klasifikasi ini mempunyai kelemahan bila diterapkan pada anak. Proses inflamasi ditegakkan hanya berdasarkan esofagitis erosif dan tidak memperhitungkan tanda inflamasi yang lebih ringan, seperti edema, hiperemis, atau kerapuhan mukosa yang sering ditemukan pada anak dan umumnya anak jarang mengalami esofagitis refluks berat. Oleh karena itu, beberapa peneliti mengajukan klasifikasi lain agar lebih sesuai dengan anak (Vanderplas, 1994).

2.3.5. Penatalaksanaan Terapi

1. Modifikasi Pola Hidup Modifikasi pola hidup dilaporkan dapat menurunkan paparan asam pada esofagus. Modifikasi pola hidup tersebut berupa meninggikan posisi kepala, punggung, dan pinggang saat tidur (membentuk sudut 45-60 derajat dengan alas tempat tidur), mengurangi asupan lemak, menghindarkan posisi berbaring 1. Modifikasi Pola Hidup Modifikasi pola hidup dilaporkan dapat menurunkan paparan asam pada esofagus. Modifikasi pola hidup tersebut berupa meninggikan posisi kepala, punggung, dan pinggang saat tidur (membentuk sudut 45-60 derajat dengan alas tempat tidur), mengurangi asupan lemak, menghindarkan posisi berbaring

2. Terapi Farmakologis

a. Prokinetik Prokinetik berperan pada peningkatan tekanan SEB, merangsang peristaltik esofagus, dan memperbaiki pengosongan lambung. Cisaprid merupakan prokinetik yang paling sering digunakan pada RGE karena mempunyai efikasi yang lebih baik diban- dingkan domperidon dan metoklopramid. Cisaprid lebih efektif mengurangi RGE (berdasarkan pHmetri), memiliki onset kerja yang lebih cepat, dan ditoleransi lebih baik dibanding dengan metoklopramid. Sedangkan, domperidon dilaporkan memiliki efektifitas yang sama dengan metoklopramid. Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa cisaprid tidak secara substansial menghilangkan gejala refluks, meskipun dapat mengurangi indeks refluks (lamanya pH esofagus berada di bawah 4 yang dipantau dengan pH meter) dan meningkatkan klirens esofagus melalui peningkatan sekresi saliva. Cisaprid juga dapat membantu menyembuhkan esofagitis. Tidak seperti metoklopramid, cisaprid memberikan efek samping serius yang sangat kecil. Beberapa keluhan pernah disampaikan oleh pasien yang mendapat cisaprid, antara lain kram perut ringan, diare atau konstipasi. Efek samping serius pada jantung tidak pernah dilaporkan pada bayi atau anak yang mendapat cisaprid dengan dosis yang direkomendsikan (0,8mg/kg/hari, maksimal 40mg/hari). Oleh karena adanya laporan efek samping serius pada orangtua yang menggunakan cisaprid, maka pengadaan obat tersebut saat ini dibatasi hanya pada rumah sakit. Walaupun demikian, penggunaan cisaprid pada bayi dan anak belum dihilangkan dari rekomendasi tata laksana RGE pada anak (Vanderplas dan Hegar, 2000).

b. Antagonis Reseptor H2 Antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidin, famotidin, dsb) dapat menurunkan sekresi asam lambung dengan menghambat reseptor histamin-2 pada sel parietal lambung. Antagonis reseptor H2 (ARH2) cukup efektif dalam menyembuhkan esofagitis pada bayi dan anak. Beberapa penelitian menunjukan penurunan indeks refluks pada pemberian ranitidin. Penggunaan famotidin pada anak masih sangat terbatas. Antagonis reseptor H2 dapat digunakan sebagai terapi pemeliharaan pada esofagitis refluks. Kombinasi dengan prokinetik akan memberikan efek yang lebih baik dibanding dengan pemberian hanya ARH2. Pemberian ranitidin saja memberikan remisi 49%, sedangkan pemberian ranitidin dengan cisaprid memberikan remisi 66%. Untuk pasien yang refrakter sebaiknya diberikan tambahan terapi lain atau digunakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih poten seperti PPI (DeVault dan Castello, 1999).

c. Proton Pump Inhibitor Inhibitor pompa proton (omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol) merupakan obat pilihan pada esofagitis refluks. Pada orang dewasa, efikasi terapi jangka pendek, jangka panjang, serta pencegahan relaps esofagitis dari PPI lebih baik dibanding ARH2. Omeprazol merupakan PPI yang sering diteliti penggunaannya pada anak. Pengamatan yang dilakukan oleh Zimmermann dkk. menunjukan dosis omeprazol 1 mg/kgBB/hari efektif untuk penyembuhan esofagitis dan menghilangkan gejala klinis. Omeprazol diberikan 1 kali per hari pada pagi hari, saat atau sebelum sarapan. Omeprazol efektif pada lebih dari 90% anak dengan esofagitis refluks kronis yang resisten terhadap terapi prokinetik dan ARH. Pengamatan yang dilakukan Karjoo dan Kane terhadap 129 anak dengan esofagitis refluks didapatkan 70% anak respon terhadap terapi ranitidin dosis tinggi (4mg/kg/dosis, 2-3 kali/hari) selama 8 minggu. Dari 30% anak yang tidak respon terhadap terapi ranitidin, 87% diantaranya respon terhadap omeprazol (20mg/ hari) selama 8 minggu.34 Sembilan puluh persen anak dengan esofagitis derajat 1 respon terhadap c. Proton Pump Inhibitor Inhibitor pompa proton (omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol) merupakan obat pilihan pada esofagitis refluks. Pada orang dewasa, efikasi terapi jangka pendek, jangka panjang, serta pencegahan relaps esofagitis dari PPI lebih baik dibanding ARH2. Omeprazol merupakan PPI yang sering diteliti penggunaannya pada anak. Pengamatan yang dilakukan oleh Zimmermann dkk. menunjukan dosis omeprazol 1 mg/kgBB/hari efektif untuk penyembuhan esofagitis dan menghilangkan gejala klinis. Omeprazol diberikan 1 kali per hari pada pagi hari, saat atau sebelum sarapan. Omeprazol efektif pada lebih dari 90% anak dengan esofagitis refluks kronis yang resisten terhadap terapi prokinetik dan ARH. Pengamatan yang dilakukan Karjoo dan Kane terhadap 129 anak dengan esofagitis refluks didapatkan 70% anak respon terhadap terapi ranitidin dosis tinggi (4mg/kg/dosis, 2-3 kali/hari) selama 8 minggu. Dari 30% anak yang tidak respon terhadap terapi ranitidin, 87% diantaranya respon terhadap omeprazol (20mg/ hari) selama 8 minggu.34 Sembilan puluh persen anak dengan esofagitis derajat 1 respon terhadap

d. Antasida Antasid berfungsi untuk menetralisir asam lambung sehingga dapat mengurangi paparan asam terhadap esofagus dan mengurangi gejala heartburn . Penggunaan antasid dosis tinggi (magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida; 700mmol/1,73m2/hari) sama efektifnya dengan terapi cimetidin untuk esofagitis pada anak usia 2-42 bulan. Pemberian antasid pada anak hanya dianjurkan untuk jangka pendek, tidak untuk terapi jangka panjang karena peningkatan kadar aluminium plasma dapat menyebabkan osteopeni, anemia mikrositik dan neurotoksik (Rudolph, Mazur, Liptak,Baker, Boyle, dan Colletti, 2001).

3. Operasi Antirefluks Tindakan operasi sering dipertimbangkan pada PRGE yang resisten terhadap terapi medis atau yang tidak bersedia menerima terapi medis untuk jangka panjang. Nissen fundoplication mer upakan prosedur operasi antirefluks yang umumnya dikerjakan pada anak. Operasi ini dapat dilakukan melalui laparoskopik atau operasi terbuka. Meskipun tidak ada perbedaan hasil maupun komplikasi dari keduanya, laparoskopi memerlukan biaya lebih murah dan rawat inap lebih singkat secara bermakna. Risiko, keuntungan, biaya dan kesuksesan terapi medis jangka panjang dibandingkan operasi belum diteliti secara rinci. Satu penelitian yang membandingkan terapi omeprazol dengan operasi menunjukan hasil yang sama bila omeprazol diberikan 40-60 mg/ hari (DeVault dan Castello, 1999).

2.4. Hemorrhoid

2.4.1. Definisi Penyakit

Dokumen yang terkait

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

0 16 13

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

0 11 13

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

Dukungan orang tua dan sikap terhadap membaca kaitannya dengan minat membaca pada siswa/siswi MTs Pembangunan UIN Jakarta

5 73 225

Sistem informasi pendaftaran wisuda online (studi kasus : UIN Syahid Jakarta)

21 118 143

Pengaruh pemahaman fiqh muamalat mahasiswa terhadap keputusan membeli produk fashion palsu (study pada mahasiswa angkatan 2011 & 2012 prodi muamalat fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

0 22 0

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Perilaku Kesehatan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakrta Angkatan 2012 pada tahun2015

8 93 81

ANALISIS MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBA- KARAN DI PUSKESMAS KECAMATAN CIPAYUNG JAKARTA TIMUR Analysis Of Management Prevention And Fight Fire At The Health Center Of Cipayung East Jakarta

0 1 9