FENOMENA ALAY BUDAYA POPULER DAN PENGHAN

FENOMENA ALAY, BUDAYA POPULER, DAN PENGHANCURAN BUDAYA
Oleh: Luthfi Fazar Ridho

I.

Pendahuluan
Budaya Populer, atau seringkali kita menyebutnya Pop Culture, seringkali
dipahami sebagai budaya kebanyakan orang atau masyarakat yang terdiri dari perluasan
elemen budaya yang mengakar dalam masyarakat, seperti halnya bahasa percakapan,
gaya berpakaian dan berpenampilan, gaya hidup, dan perilaku keseharian masyarakat
(everyday lives). Budaya ini banyak dipengaruhi oleh media massa (setidaknya sejak
awal abad ke-20) dan dihidupkan terus-menerus oleh berbagai budaya setempat,
kumpulan ide tersebut menembus dalam keseharian masyarakat. Budaya populer sering
dipandang kampungan ataupun uneducated

jika dibandingkan dengan apa yang

disetujui oleh masyarakat sebagai budaya mainstream. Budaya pop mendapat banyak
kritikan dari berbagai sumber ilmiah dan budaya mainstream (biasanya dari kelompokkelompok religi dan countercultural) yang menganggap budaya pop artificial (palsu),
konsumeris, sensasionalis, dan tak bermoral. Sikap ini tercermin dalam preferensi dan
penerimaan atau penolakan terhadap berbagai fitur dalam berbagai subjek, misalnya

masakan, pakaian, konsumsi, dan banyak aspek entertainment seperti olahraga, musik,
film, dan buku-buku.
Di Indonesia, dewasa ini, ada fenomena budaya yang menjadi bahan
pergunjingan masyarakat. Fenomena Alay namanya. Kosakata Alay sendiri baru
dikenal luas oleh masyarakat medio 2008, ketika seorang anak SMP berhasil membuat
trending topic di twitter tentang Anak Alay. Alay yang dimaksud adalah Anak Lebay
(perilakunya berlebihan). Ada beberapa elemen dari budaya alay yang penulis jadikan
contoh untuk makalah ini. Berikut adalah penjelasannya.
Budaya alay muncul pertama kalinya berbentuk format pesan singkat yang
menyingkat kata-kata. sejak ada fitur SMS (Short Message Service) atau pesan singkat
dari layanan operator yang mengenakan tarif per karakter ataupun per SMS yang
berfungsi untuk menghemat biaya. Namun dalam perkembangannya kata-kata yang
disingkat tersebut semakin melenceng, apalagi sekarang sudah ada situs jejaring sosial.
Dan sekarang penerapan bahasa Alay sudah diterapkan di situs jejaring sosial tersebut,
yang lebih parahnya lagi sudah bukan menyingkat kata lagi, namun sudah merubah
kosa katanya bahkan cara penulisannya pun bisa membuat sakit mata orang yang
membaca karena menggunakan huruf besar kecil yang diacak ditambah dengan angka

dan karakter tanda baca. Bahkan arti kosa katanya pun melenceng jauh dari yang
dimaksud. (sumber: http://pendek.in/058wi)

Selain format Pesan singkat atau SMS, Budaya alay terlihat dari
berpenampilan. Para penganut budaya alay gemar menggunakan gaya rambut Polem,
atau Poni Lempar, yaitu rambut poni yang diatur sedemikian rupa hingga menutupi
salah satu sisi wajah, namun bagian belakangnya tetap pendek. Selain itu, penampilan
mereka meniru anak band Emo khas Amerika. Emo adalah jenis musik rock emossional
yang memiliki karakter khas dalam berpakaian, yaitu warna nya serba hitam, adanya
tindikan (piercing) di beberapa bagian tubuh, dan kaos yang ketat di badan. Para anak
alay atau alayers juga gemar menggunakan kacamata yang ukurannya besar, dan
menggunakan eyeshadow.
Di dunia jejaring sosial, para alayers ini memiliki stereotype sebagai orang
yang narsistik, sok kenal, pamer, dan kurang simpatik. Masyarakat biasanya membuat
karakteristik anak alay di social media sebagai berikut:
a. Berfoto dengan gaya yang khas, yaitu menghadap keatas dengan bibir ditarik
kedepan (manyun atau monyong).
b. Nama

yang

digunakan


menggunakan

ejaan

khas

alay.

Contohnya:

KriZtiNCenEnghMaq4nCukhlaDh Ch4iiankDheNyCellaMaNYyya@ah.
c. Gemar nge-junk. Istilah para netizen untuk orang yang sering membuat status di
berbagai social media yang tidak perlu. Biasanya melaporkan apa yang mereka
lakukan, ataupun apa perasaan mereka saat itu. Contohnya: LAg9Y MaK4n dI
W@rTeG. S4mBelny@ PeDeZzZzZzZ Bgddddhh. Hufffffffftttt...

II.

Perumusan Masalah
Saat ini, budaya alay sudah menjadi identitas sebagian masyarakat

khususnya anak muda yang mengkonstruksi dirinya sebagai anak gaul.Budayaini
banyak dipergunjingkan oleh masyarakat karena terkesan kampungan dan uneducated.
Makalah ini ditulis untuk menjawab pertanyaan berikut:
1. Bahasa / Budaya Alay itu termasuk Pop Culture atau High Culture?
2. Bagaimana terbentuknya Bahasa / Budaya Alay tersebut?

III. Kerangka Teori

Budaya populer, adalah sisa dari kategori-kategori yang gagal memenuhi
standar yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat sebagai budaya tinggi. Dengan kata
lain, pernyataan ini ini adalah definisi budaya populer sebagai budaya rendah. Pop
Culture juga termasuk di dalamnya sejumlah praktik perilaku masyarakat yang
diupayakan untuk memenuhi keinginan menghibur seperti berbagai hal yang berkaitan
dengan olahraga, media massa, perilaku konsumsi masyarakat, fashion,mode dan lain
sebagainya
Dalam pemikiran awam, syarat kebudayaan tinggi adalah tingkat
kompleksitas yang juga tinggi. Tujuannya untuk memastikan statusnya eksklusif
sebagai budaya tinggi. Kesulitan yang sangat yang secara harfiah tidak termasuk,
kecuali yang menjamin eksklusivitas audiens dari budaya tinggi tersebut. Sosiolog
Prancis Pierre Bourdieu berpendapat bahwa perbedaan budaya semacam ini sering

digunakan untuk mendukung perbedaan kelas. "Rasa" adalah kategori sangat ideologis:
berfungsi sebagai penanda 'kelas' (menggunakan istilah ini dalam arti ganda berarti
kedua kategori sosial ekonomi dan saran dari tingkat tertentu kualitas). Bagi Bourdieu
(1984), konsumsi budaya itu cenderung untuk memenuhi fungsi sosial dari perbedaan
legitimasi sosial.
Definisi budaya populer sering didukung oleh klaim bahwa budaya populer
ini budaya penciptaan seorang individu. Yang terakhir, budaya ini hanya respon moral
dan estetika terhadap budaya tinggi. Apapun metode yang digunakan, mereka yang
ingin membuat kasus untuk pembagian antara budaya tinggi dan populer bahwa
pembagian antara keduanya terlihat benar-benar jelas. Selain itu, cara ini dilakukan
untuk mencapai transhistoris - tetap digunakan sampai kapanpun.
Kajian media sangat memahami bahwa manusia sangat bergantung pada
konsumsi media. Jika kita membahas tentang teori konsumsi, maka kita pasti akan
berhubungan dengan konsumerisme. Herbert Marcuse (1968) berpendapat bahwa
ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan kebutuhan ini bekerja sebagai
suatu kontrol sosial. Media memberikan pengaruh yang sangat besar pada kebutuhan
manusia yang menginginkan adanya konformitas sosial dimana mereka ingin selalu
sama dengan lingkungannya.
Joli Jenson (1992) menyebutkan bahwa ada dua tipe khas patologi
penggemar, dalam konteks ini bisa kaitkan dengan para alayers. Yang pertama adalah

“individu yang terobsesi” yang biasanya laki-laki.dan “kerumunan histeris” yang
biasanya adalah perempuan. Para penggemar ini ditampilakn sebagai salah satu liyan

yang berbahaya dalam kehidupan modern. “Kita” ini waras dan terhormat. “Mereka”
itu terobsesi dan histeris.

IV. Pembahasan
Fenomena Alay di Indonesia sudah dikenal di seluruh dunia, setidaknya
bagi orang-orang yang aktif menggunakan jejering sosial, ataupun sekedar
mengkonsumsi informasi yang berkenaan dengan alay lewat media konvensional.
Budaya Alay di Indonesia sebenarnya mirip dengan beberapa fenomena budaya populer
dari beberapa negara. Fenomena Pop Culture hadir di Filipina. Budaya itu bernama
Jejemon. Karakteristik Jejemon kurang lebih mirip dengan Alay di Indonesia. Di
Jepang pun ada fenomena Harajuku, yaitu budaya fashion dan pergaulan yang dimulai
dari wilayah Stasiun Harajuku di daerah Shibuya. Budaya harajuku itu adalah buday
jalanan yang diadopsi oleh anak-anak muda jepang sehingga menjadi kebudayaan
populer sampai saat ini.
Ciri khas dari Kebudayaan Alay di Indonesia adalah dari Bahasa yang
digunakan. Bahasa Alay biasanya digunakan dalam SMS, ber-jejaring sosial, ataupun
mengkonstruksi diri dalam identitias. Bahasa alay merusak struktur tata bahasa

Indonesia yang sebenarnya sudah cukup rumit. Itu sebenarnya menjadi tambahan dari
adanya kata-kata dan dialek yang membiaskan kata-kata pada Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) sehingga jika kita membaca teks dengan bahasa Alay tersebut,
kita

akan

kesulitan. Teori

Relativitas

Linguistik dari

Sapir-Whorf

(1965)

mengemukakan bahwa setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas,
yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakainya. Dunia
simbolik yang ditampilkan oleh bahasa Alay ini menekankan pada karakteristik

manjanya remaja, pencarian jati diri, dan tuntutan zaman yang harus gaul. Berikut
adalah ciri-ciri bahasa alay:
a. Pemakaian
singkatan

yang

berlebihan,

atau

tidak

lazim.

Adanya tambahan huruf yang sebenernya nggak perlu sama sekali. Contohnya
penulisan kata "aku" dibuat menjadi "aquwh".
b. Penempatan huruf besar-kecil yang tidak

sesuai


pada

tempatnya

dan

pemakaian tanda baca yang tidak sesuai dengan konteks kalimat. Contohnya kata
"sakit" dibuat menjadi "atit" atau "cAkiDh", kata "bingung" dibuat menjadi
"BiNundH".
c. Mengubah huruf menjadi angka. Contohnya K3marEn 4kyu K4n Per9i k3 K4mPu5
saM4 anaK2

d. Membuat kalimat bahasa Inggris yang "diindonesiakan". Contohnya, "okeey,
gudlak vo u, i luph u, beib".
e. Berpura-pura cadel agar terlihat imut, lucu, dan menggemaskan. Contohnya seperti
"tyus,

cekarank


udh

cembuh

beyum

ckidhnyaa

??" (sumber:

http://pendek.in/058wm)
Bahasa Alay ini tidak memiliki karakter khas dari suatu bahasa pada
umumnya. Karena pada dasarnya bahasa Alay adalah proses distorsi gramatikal,
dialektika, dan linguistik, dan tentu saja distorsi dalam proses berkomunikasi. Dengan
kata lain, kelompok penggemar atau alayers ini merupakan suatu simptom (patologis)
yang tampak dari kemungkinan runtuhnya budaya, moral, dan sosial yang tak
terelakkan lagi. (Storey: 2006)
Tidak hanya bahasa, gaya hidup, penampilan, dan tutur bahasa pun menjadi
pergunjingan masyarakat. Para Alayers gemar meniru selebritis-selebritis favorit
mereka untuk dijadikan role model. Contoh yang digandrungi sekarang adalah Justin

Bieber. Para alayers meniru penyanyi remaja asal Kanada tersebut mulai dari tata
berpakaian, sampai gaya rambut.

Kebudayaan Rendah dan Kebudayaan Tinggi
Pop Culture adalah budaya yang banyak disukai atau disukai oleh banyak
orang. Dan, tak diragukan lagi, seperti indeks kuantitatif akan memenuhi persetujuan
dari banyak orang. setiap definisi budaya populer harus mencakup dimensi kuantitatif.
Alay saat ini telah menjadi fenomena baru setelah Jejemon di Filipina dan Harajuku di
Jepang. Didukung oleh sekitar 50 juta jumlah pengguna Twitter dan Facebook sebagai
jejaring sosial terpopuler saat ini, fenomena alay sudah dikenal di berbagai belahan
dunia karena sering menjadi trending topic di Twitter. Sampai saat makalah ini ditulis,
salah satu worldwide trending topic di twitter ada yang berasal dari Indonesia. Yaitu
#SMASH1stALBUM, mengenai Peluncuran album pertama Boyband asala Bandung
bernama SM*SH di jakarta yang disiarkan di salah satu stasiun televisi nasional.
Kekuatan

Social

media

memberikan

keleluasaan

bagi

para

alayers

untuk

memaksimalkan potensi narsistik mereka.
Ciri kebudayaan tinggi adalah tingkat kerumitan yang tinggi. Kebudayaan
alay ini sebenarnya memiliki kompleksitas pada kemampuan individu dalam menyerap
nilai dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang alayers akan
memiliki ciri-ciri anak alay secara keseluruhan. Setidaknya dari perilaku dan gaya
hidup. Terutama pada penguasaan bahasa alay sebagai ciri khas utama. Hal ini tidak
bisa diremehkan karena tidak semua orang mampu bertahan dengan budaya seperti itu.

Budaya Alay bisa dikategorikan sebagai budaya populer karena merupakan
salah satu contoh nyata dari 'budaya massa'. Poin pertama bahwa mereka yang mengacu
pada budaya populer sebagai budaya massa ingin membangun kesadaran bahwa budaya
populer ini budaya yang putus asa pada keinginan komersial. Hal ini diproduksi oleh
khalayak dan untuk konsumsi khalayak pula. Penonton adalah massa ataupun
konsumen yang non-diskriminatif. Para alayers membuat cara bertutur mereka menjadi
sebuah budaya baru yang mereka gunakan sendiri tanpa harus mengundang orang untuk
masuk ke dalamnya.
Perbedaan yang sangat jelas antara budaya tinggi dan populer tidak lagi
tampak begitu jelas jika dimasukkan unsur komersial karena mereka menjelaskan
pembagian antara 'orang kaya' dan 'orang biasa'. Hal ini dapat diilustrasikan dengan
kembali ke makna kontradiktif dari istilah 'populer'. Di satu sisi, sesuatu dikatakan baik
karena populer. contoh: itu adalah kinerja populer. Namun, di sisi lain, contoh tersebut
bisa dikatakan buruk secara konotatif karena alasan yang sama.
Fenomena alay, jika dilihat melalui pemahaman Joli Jenkins tentang 2 jenis
Patologi Penggemar, “individu yang terobsesi” biasanya laki-laki. Jika kita melhat
fenomena alay pada remaja laki-laki, biasanya mereka senang dianggap keren. Mereka
selalu memamerkan apa yang bisa membuat mereka terlihat gagah. Para alayers lakilaki ini senang kebut-kebutan di jalan raya, memodifikasi motor mereka hingga menjadi
ceper, Piercing di beberapa bagian tubuh, dan sebagainya. Karakter Patologis kedua
adalaah “kerumunan histeris” yang biasanya adalah perempuan. Justin Bieber adalah
idola banyak gadis-gadis muda saat ini. Sebagai bentuk kecintaan mereka kepadanya,
mereka mengoleksi lagu-lagu, artikel, poster, kaos, dan tidak lupa mem-follow dan
menjadi bagian dari fans Justin Bieber di social media.
Para penggemar ini ditampilkan sebagai salah satu liyan yang berbahaya
dalam kehidupan modern. “Kita” ini waras dan terhormat. “Mereka” itu terobsesi dan
histeris. Jika diperhatikan dari pernyataan tersebut, nyata bahwa yang mengikuti
budaya alay yang populer itu adalah “Mereka” yang menjadi liyan. Sedangkan “kita”
yang tidak mengikuti budaya alay adalah orang yang berbudaya tinggi. Karenanya kita
adalah orang yang “waras dan terhormat”.

Mengekspos Alay, berakibat alay.
Seperti yang dijelaskan oleh Herbert Marcuse (1968) bahwa ideologi
konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan kebutuhan ini bekerja sebagai suatu
kontrol sosial. Sejalan dengan teori tersebut, kebudayaan alay membuat sebagian
masyarakat, khususnya para remaja Indonesia, merasa membutuhkan berperilaku

seperti itu untuk menjaga eksistensi mereka di dunia pergaulan yang seolah-olah
menerima perilaku yang mereka yang dianggap bersifat destruktif terhadap budaya
yang sudah ada dan bisa dikategorikan cukup rumit untuk dipelajari dan
diimplementasikan.
Media massa yang gemar melakukan repetisi berperan penting dalam
berkembangnya budaya alay di Indonesia. Awalnya mereka menganggap bahwa
fenomena alay ini menarik untuk dibahas di media konvensional, namun sejalan dengan
itu, mereka mengulang-ulang, ataupun menambahkan unsur-unsur lain yang membuat
fenomena alay itu nampak menarik. Pada akhirnya, masyarakat pun menganggap media
setuju dan mendukung budaya ini agar diadopsi khususnya kepada remaja yang
notabene masih mencara jatidiri.
Joli Jenkins pun secara tajam mengkritik fenomena alay di Indonesia
dengan penjelasannya yang kontekstual dalam (Storey: 2006): Pembaca, dalam hal ini
alayers, tidak ditarik ke dalam dunia fiksi yang belum ditetapkan, tetapi sebaliknya
ditarik kedalam suatu dunia yang telah dia ciptakan dari materi-materi tekstual. Secara
langsung ataupun tidak langsung, hal ini menyebabkan para penggemar ini terkurung
oleh dunia yang ia buat sendiri, dan sulit untuk keluar. Pengalaman dari seorang teman
penulis, bahwa anggota forum dunia maya dianggap tidak gaul setelah meninggalkan
tatacara berbahasa alay yang biasa digunakan di social media.

V.

Kesimpulan
Kebudayaan alay bersumber dari keterasingan dan pelarian dari budaya
yang sudah ada saat ini. Budaya tersebut direpetisi oleh media yang menganggap hal
tersebut layak dan menarik untuk diangkat. Namun pada akhirnya, kebudayaan alay itu
akan berpotensi menghancurkan budaya yang sudah ada dan dianggap baik oleh
masyarakat.
Kebudayaan Alay ini dikategorikan sebagai kebudayaan populer karena
memiliki ciri-ciri yang khas. Yaitu disukai oleh banyak orang, setidaknya pengikut alay
remaja Indonesia kebanyakan. Selain itu kebudayaan alay ini juga merupakan budaya
massa yang tingkat kompleksitasnya relatif rendah.

VI. Kepustakaan
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Mulyana, Dedi. 2007. Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung:

PT.

Remaja

Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono, 1982, Sosiologi, suatu pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

Storey, John. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra
Storey, John. 2009. Cultural Theory and Popular Culture. Essex: Pearson Education
Press

***