ANALISA PELANGGARAN CINA TERHADAP UNITED

ANALISA PELANGGARAN CINA TERHADAP UNITED NATIONS CONVENTION ON
THE LAW OF SEA (UNCLOS) DALAM KASUS SENGKETA DI KEPULAUAN SPRATLY
(1996-2014)
Analysis of China’s Violation on United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) in
Spratly Island Dispute Case (1996-2014)
P.M. Erza Killian1, Aswin Ariyanto Azis1, Valentino Tiandhika Putra Yovia2
1Staf Pengajar Program Studi Hubungan Internasional – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2Alumni Program Studi Hubungan Internasional – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang 65145
Penulis Korespondensi: email
val.valent.valentino@gmail.com
ABSTRACT

This research aims for analyzing China’s violation on UNCLOS in Spratly Islands Dispute Case. Spratly
Island is claimed by six nations, those nations are PRC (China), Vietnam, ROC (Taiwan), the
Philippines, Malaysia, and Brunei Darussalam. On this case, China violates UNCLOS, even though
China has already ratified UNCLOS on 7th July 1996. For analyzing why China violates UNCLOS, this
research uses Compliance-based Theory which is written by Andrew T. Guzman. The theory explains
about state behaviour, and one part of them explains about why state violates international law. There are

two factors that affect state behaviour, and those are reputational sanction and direct sanction.
Reputational sanction divided into some parts, which are severity of the violation, reasons for the
violation, knowledge of the violations, clarity of the international obligation and its violation, implicit
obligations, and regime changes. Meanwhile, direct sanction consist of severity of direct sanction,
applicating direct sanction on multilateral treaties, direct sanction on short terms vs long terms, and
acceptance of sanction. Through many factor which is mentioned above, the result concludes that China
violates UNCLOS because the effect of reputational sanction is insignificant to change China’s
behaviour, beside that, there’s no direct sanction from a authorized institution which could punish China,
so China violates UNCLOS. The methodology which is used by this research is a qualitative research
methods that has explanative characteristic which is based on two variables. The independent variable is
level of China’s violation, meanwhile the dependent variable is level of sanction which is taken by China.
In the content part, author found that not all of the indicator on Compliance-based theory by Andrew T.
Guzman can be proved because there is no direct sanction from authorized institution for China, beside
that, some of the indicators doesn’t work properly with the fact that happened on reality.

Keyword: China, Compliance-based Theory, Spratly Islands Dispute, UNCLOS

PENDAHULUAN
United Nations Convention on the Law of
Sea (UNCLOS) yang sering juga disebut

sebagai
hukum
laut
internasional
merupakan sebuah acuan yang digunakan
di berbagai negara di dunia untuk
menentukan batas-batas wilayah laut suatu
negara. Menurut data yang penulis
dapatkan dari PBB, tercatat ada 166 negara
yang telah meratifikasi UNCLOS. Namun,
dalam penerapannya UNCLOS memiliki
beberapa celah yang mengakibatkan
terjadinya saling klaim wilayah di beberapa
negara, salah satunya terjadi di kepulauan
Spratly.
Kepulauan Spratly diperebutkan oleh
6 negara diantaranya adalah Cina, Filipina,
Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei
Darussalam. Keenam negara tersebut,
termasuk Cina telah menandatangani dan

meratifikasi UNCLOS. Cina meratifikasi
UNCLOS pada tanggal 7 Juni 1996.
Dalam kasus sengketa kepulauan
Spratly, ada dua macam dasar yang
digunakan oleh keenam negara tersebut,
yang
pertama
adalah
pengakuan
kepulauan Spratly didasarkan pada prinsip
res nullius yang terdapat pada konferensi
Berlin 1885, yang kedua didasarkan pada
hukum laut internasional UNCLOS 1982
yang berlaku hingga saat ini. Cina
melakukan klaim berdasarkan prinsip res
nullius dari konferensi Berlin 1885. Konsep
res nullius telah diperbaharui di dalam
UNCLOS, dimana dalam konsep res nullius
yang berlaku di UNCLOS, negara hanya
bisa melakukan effective occupation terhadap

pulau-pulau yang masuk dalam jangkauan
ZEE masing-masing negara.
Cina menyatakan bahwa kepulauan
Spratly adalah bagian dari Cina sejak masa
dinasti Xia (abad ke-21 sampai ke-16
sebelum masehi) hingga masa dinasti Qing
(tahun 1644 hingga 1911). Terdapat

bermacam-macam
artifak
yang
membuktikan bahwa kepulauan Spratly
adalah bagian dari Cina, mulai dari buku
sejarah, sajak, tulisan. Bukti terkuat yang
dijadikan oleh dasar adalah peta kepulauan
Spratly dari masa dinasti Han tahun 206
sebelum masehi. Jika kita melihat posisi
Cina
didasarkan
pada

UNCLOS,
sebenarnya klaim Cina tidak berdasar,
karena menurut garis batas bagian selatan
terluar yang dimiliki Cina berjarak kurang
lebih 900 mil dari kepulauan Spratly,
sementara itu Cina juga telah meratifikasi
UNCLOS.
Penelitian
ini
menggunakan
Compliance-based Theory yang ditulis oleh
Andrew T. Guzman dimana terdapat dua
aspek, yang salah satu diantaranya adalah
mengapa negara melanggar hukum
internasional. Negara akan cenderung
patuh apabila ada cost besar yang harus
dibayar ketika negara melakukan suatu
pelanggaran. Cost tersebut terdiri dari dua
macam yaitu Reputational Sanction dan
Direct Sanction.

Reputational Sanction
Pada bagian ini, pertama-tama kita
akan membahas besarnya pelanggaran
yang
dilakukan.
Semakin
besar
pelanggaran yang dilakukan oleh negara,
akan berdampak pada besarnya reputasi
buruk yang diterima oleh negara tersebut.
Alasan suatu negara untuk melanggar
hukum internasional yang telah disepakati,
juga merupakan salah satu faktor yang
menentukan seberapa besar reputasi buruk
yang akan diterima oleh negara tersebut.
Selama alasan yang digunakan oleh negara
itu masih dapat dimaklumi oleh negara
lain, maka negara tersebut tidak akan
menerima dampak reputasi buruk. Ketika
pelanggaran yang dilakukan oleh suatu

negara terhadap hukum internasional tidak
diketahui oleh aktor-aktor lain yang ikut
meratifikasi hukum internasional tersebut,

maka negara tersebut tidak akan mendapat
reputasi buruk dari aktor lain, melainkan
hanya mendapat reputasi buruk dari
negara yang ia rugikan. Bagaimana
kejelasan tentang hukum internasional dan
pelanggaran apa yang dilakukan sangat
berpengaruh
terhadap
tingkatan
reputational loss yang didapat oleh negara.
Semakin tidak jelasnya aturan dalam
hukum internasional tersebut, semakin
kecil reputational loss yang didapat oleh
negara tersebut. Pelanggaran implisit
terhadap hukum internasional adalah
pelanggaran

terhadap
norma-norma
internasional yang berlaku dalam sistem
internasional, meskipun hal tersebut tidak
tertulis di dalam hukum internasional yang
telah diratifikasi oleh negara tersebut. Jika
mereka melanggar aturan-aturan implisit
tersebut,
maka
mereka
juga
bisa
mendapatkan reputational loss sebagai
akibat dari pelanggaran implisit tersebut.
Ketika sebuah negara sudah terkena
dampak reputational loss sebagai akibat dari
pelanggaran yang dilakukannya, bukan
berarti reputational loss yang diterima oleh
negara tersebut tidak akan hilang.
Reputational loss dapat hilang seketika di

saat negara melakukan perubahan rezim
(Andrew, 2002: 40-44).
Direct Sanction
Direct Sanction sebagian besar terjadi
sebagai dampak lanjutan dari Reputational
Sanction
yang
bisa
terjadi
ketika
pelanggaran yang terjadi merupakan
Jenis Sanksi

Faktor

sebuah pelanggaran yang berdampak besar
bagi negara yang menjadi korban. Direct
Sanction juga bisa menjadi senjata ampuh
agar negara tidak melanggar hukum
internasional yang telah disepakati. Ada

beberapa hal yang dapat mempengaruhi
keberhasilan
Direct
Sanction
dalam
membuat negara tunduk terhadap hukum
internasional yang berlaku. Salah satu
faktor
yang
mempengaruhi
adalah
kerasnya Direct Sanction yang diberikan.
Semakin keras Direct Sanction yang
diberikan, maka cendara akan cenderung
menghindari pelanggaran dan lebih patuh.
Untuk penerapan Direct Sanction pada
perjanjian
bilateral
vs
multilateral,

penerapannya akan lebih efektif bila
dilakukan dalam perjanjian bilateral. Selain
itu, Direct Sanction akan berjalan efektif
ketika negara memikirkan hubungan
jangka panjang dengan para aktor lain.
Ketika
negara
hanya
memikirkan
hubungan simpel jangka pendek, maka
Direct Sanction tidak akan berjalan optimal.
Acceptance of Sanction juga merupakan salah
satu faktor dari keberhasilan sebuah Direct
Sanction. Ketika negara yang melanggar
memiliki kemauan untuk menerima sanksi
tersebut, maka Direct Sanction dapat
diaplikasikan secara optimal (Andrew,
2002: 44-51).
Untuk mengoperasionalisasikan teori
ini, penulis telah merumuskan tabel
operasionalisasi
dari
Compliance-based
Theory:
Indikator
Pelanggaran besar:

Besarnya pelanggaran

1. Kontak senjata (clash)

yang dilakukan

2. Penempatan pasukan militer
Pelanggaran kecil:
1. Illegal Fishing

Diterima atau tidaknya argumen
Alasan Pelanggaran

Cina mengenai pelanggaran
yang dilakukannya oleh victim
country
Keberadaan saksi dari negara

Aktor lain yang
lain dalam kasus pelanggaran
mengetahui pelanggaran
Reputational Sanction

tersebut
Kejelasan hukum internasional

Tingkat ambiguitas UNCLOS

dan pelanggaran yang dilakukan

dan tingkat ambiguitas pelanggaran

Implicit Obligation

Mundur tidaknya Cina dari UNCLOS
Pergantian menteri pertahanan:
1.Chi Haotian (1993-2003)

Perubahan Rezim

2. Cao Gangchuan (2003-2008)
3. Liang Guanglie (2008-2013)
4. Chang Wanquan (2013-sekarang)

Kerasnya direct sanction

Ada tidaknya direct sanction keras

yang diberikan

dari institusi berwenang yang mampu
membuat Cina jera ketika melanggar
Dampak direct sanction yang

Penerapan direct sanction dalam

diberikan oleh victim country

perjanjian multilateral

terhadap Cina dan dampak direct
sanction yang diberikan oleh

Direct Sanction

institusi atau multiple countries
Direct sanction untuk hubungan

Motivasi Cina bergabung dengan

jangka pendek atau panjang

PBB sebagai institusi yang
menaungi UNCLOS

Kemauan negara untuk

Tindakan Cina terhadap sanksi

menerima sanksi

yang diberikan oleh victim country
maupun institusi yang berwenang

Tabel 1. Tabel Operasionalisasi Compliance-based Theory

Penulis menduga bahwa negara akan
patuh terhadap hukum Internasional jika
sanksi dari hukum Internasional tersebut
dapat berjalan optimal. Dalam kasus di
kepulauan Spratly, pelanggaran yang
dilakukan oleh Cina tidak sebanding
dengan sanksi yang Cina peroleh atas
pelanggaran yang dilakukannya. Cina
melanggar UNCLOS karena tidak ada
sanksi yang diterima oleh Cina baik itu
reputational sanction maupun direct sanction.

yang kedua terjadi pada tahun 2011 dimana
Cina secara sengaja menghentikan kegiatan
kapal eksplorasi minyak milik Vietnam
yang sedang melakukan eksplorasi di dekat
kepulauan Spratly yang masih masuk
dalam cakupan ZEE Vietnam. Kedua
pelanggaran ini menyebabkan peningkatan
tensi regional yang terbutki dengan adanya
peningkatan tajam anggaran militer di
negara-negara
yang
bersengketa
di
kepulauan Spratly.

Metode penelitian dalam jurnal ini
bersifat eksplanatif dimana penulis akan
menjelaskan mengapa Cina melanggar
UNCLOS dalam kasus sengketa di
kepulauan Spratly. Penelitian ini terdiri
dari dua variabel. Variabel yang pertama
adalah variabel independen, yaitu tingkat
pelanggaran yang dilakukan, sedangkan
variabel dependen yang mengikutinya
adalah tingkat sanksi yang diterima.
Indikator dari kedua variable tersebut
adalah Compliance-based Theory yang
digunakan penulis sebagai landasan
teoritis. Topik pada skripsi ini yaitu tentang
alasan Cina melanggar UNCLOS dalam
kasus sengketa di kepulauan Spratly.
Batasan waktu yang digunakan adalah
tahun 1996 hingga 2014. Penulis memilih
tahun
1996
hingga
2014,
karena
pelanggaran dilakukan oleh Cina meskipun
Cina telah meratifikasi UNCLOS pada
tahun 1996. Teknik analisa data yang
digunakan dalam skripsi ini adalah teknik
analisa data kualitatif.

Disamping pelanggaran besar yang
dilakukan oleh Cina diatas, terdapat pula
beberapa pelanggaran Cina dalam skala
yang lebih kecil. Pelanggaran kecil yang
dilakukan oleh Cina adalah masuknya
kapal nelayan Cina ke ZEE Filipina tanpa
izin di Scarborough Shoal pada tahun 1997.
Di tahun yang sama, Cina mengirim tiga
kapal perang Cina untuk melakukan
okupasi di Panata dan Kota Island yang
sebelumnya telah diokupasi oleh Filipina
terlebih dahulu. Selain itu, Cina masuk ke
area perairan Scarborough Shoal yang
menjadi area ZEE Filipina pada tahun 1998
tanpa izin. Pelanggaran kecil yang ke-4
terjadi di tahun 2011 ketika Cina
membangun instalasi perluasan jaringan
telepon selular di area kepulauan Spratly.
Pelanggaran kecil yang dilakukan Cina
terkini adalah masuknya nelayan Cina ke
daerah Half Moon Shoal yang masih
merupakan area ZEE Filipina.

ANALISA
PELANGGARAN
TERHADAP UNCLOS

CINA

Reputational Sanction
Pelanggaran Cina terhadap UNCLOS
yang masuk kedalam kategori pelanggaran
besar adalah ketika Cina melakukan
okupasi dan membangun pangkalan militer
di Mischief Reef yang berlangsung pada
tahun 1996 dan 1998. Pelanggaran besar

Berdasarkan perbandingan antara
besarnya pelanggaran dan dampak yang
ditimbulkan dari pelanggaran-pelanggaran
Cina diatas, dapat disimpulkan bahwa hal
ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Andrew T. Guzman, bahwa semakin besar
pelanggaran yang dilakukan oleh suatu
negara, akan menghasilkan reputational
sanction yang berbanding lurus dengan apa
yang mereka lakukan (Andrew, 2002: 4041). Dari berbagai kasus diatas, nampak
bahwa ketika Cina melakukan pelanggaran

yang besar, maka reputational sanction yang
Cina terima cukup besar. Hal ini terbukti
ketika Cina dianggap sebagai threat oleh
victim country dan negara di sekitarnya.
Namun,
ketika
pelanggaran
yang
dilakukan oleh Cina relatif kecil, maka
reputational sanction yang diterima oleh
Cina juga kecil, dan tidak ada pengaruh
terhadap kebijakan negara di sekitar victim
country.
Diterima atau tidaknya alasan Cina
ketika melanggar, akan mempengaruhi
besaran reputational sanction yang diterima.
(Andrew, 2002: 41). Pada tahun 2011, Cina
memperluas jaringan telepon selularnya
hingga mencakup daerah di kepulauan
Spratly. Cina berargumen bahwa perluasan
jaringan tersebut dilakukan untuk tujuan
kemanusiaan, yakni untuk mempermudah
penyelamatan ketika terjadi kecelakaan
laut. Argumen Cina yang didasarkan pada
tujuan kemanusiaan tersebut membuat
reputational sanction yang diterima oleh
Cina kecil, meskipun sebelumnya Cina
mendapat protes dari lebih dari satu
negara. Hal ini terbukti, meskipun Cina
diprotes oleh negara claimant lainnya,
namun tidak ada satupun dari negara
claimant tersebut yang mengubah kebijakan
mereka.
Berbeda
halnya
ketika
terjadi
pemutusan kabel eksplorasi minyak kapal
Vietnam oleh Cina yang terjadi pula pada
tahun yang sama. Cina berargumen bahwa
hal tersebut ia lakukan karena Vietnam
telah masuk ke dalam area yuridiksi Cina,
dan
Vietnam
tidak
berhak
untuk
melakukan eksplorasi disana. Sementara
itu, area tersebut masih masuk dalam area
ZEE
Vietnam
yang
diakui
secara
internasional menurut UNCLOS. Argumen
tersebut tentu tidak dapat diterima, baik
oleh Vietnam sebagai victim country,
maupun negara lain yang mengakui
wilayah tersebut sebagai wilayah Vietnam

yang sah secara hukum internasional
UNCLOS.
Maka
dari
itu,
Cina
mendapatkan reputational sanction yang
cukup besar, tidak hanya dari victim
country, melainkan dari negara-negara di
sekitar victim country.
Menurut Andrew, ada tidaknya saksi
dari negara lain ketika terjadi pelanggaran
akan mempengaruhi besaran sanksi yang
diterima oleh negara tersebut (Andrew,
2002: 41-42). Pada tahun 1998, Cina
memperluas pembangunan instalasi di area
Mischief Reef. Pembangunan instalasi
tersebut berlangsung tanpa izin dari
Filipina selaku pemilik ZEE disana.
Pembangunan pangkalan militer berupa
landasan pesawat tempur di area
kepulauan Spratly ini juga diketahui oleh
negara-negara lain seperti Malaysia dan
Vietnam ketika melintas di daerah tersebut.
Pada tahun 2011, Cina mengumumkan
perluasan jaringan telepon selulernya
hingga ke kepulauan Spratly. Meskipun
banyak negara claimant yang mengetahui
dan menjadi saksi atas pelanggaran ini,
tetapi reputational sanction yang diterima
oleh Cina tidak terpengaruh oleh hal
tersebut.
Masih di tahun 2011, Tiga kapal patroli
Cina menghentikan proyek eksplorasi
minyak yang sedang dikerjakan oleh
Vietnam Dalam peristiwa tersebut tidak
ada saksi dari negara lain yang mengetahui
pelanggaran tersebut. Namun, reputational
sanction yang diterima Cina besar meskipun
tidak ada negara lain yang mengetahui
langsung kejadian tersebut. Pada tahun
2014, nelayan Cina masuk ke dalam area
ZEE Filipina di Half Moon Shoal, dan
melakukan penangkapan kura-kura secara
ilegal.
Ketika
penangkapan
itu
berlangsung, tidak ada saksi dari negara
lain yang turut serta menyaksikan
penangkapan tersebut, sehingga Cina

hanya mendapatkan reputational sanction
dari Filipina melalui pelanggaran tersebut.
Melalui berbagai contoh kasus diatas,
dapat disimpulkan bahwa ada tidaknya
saksi yang mengetahui pelanggaran Cina
tidak mempengaruhi besaran reputational
sanction yang diterima oleh Cina. Menurut
penulis, ada tidaknya saksi dari negara lain
tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap besaran reputational sanction yang
diterima oleh Cina, karena ada tidaknya
saksi tidak mengurangi atau menambah
dampak kerugian yang ditimbulkan oleh
pelanggaran tersebut. Faktor-faktor lain
seperti argumen Cina, dan besar kecilnya
pelanggaran yang dilakukan tersebut yang
berpengaruh terhadap besaran reputational
sanction yang diterima oleh Cina baik dari
victim country maupun negara lain.
Kejelasan suatu hukum internasional
dan kejelasan pelanggaran yang dilakukan
oleh negara akan mempengaruhi besaran
reputational sanction yang nantinya diterima
oleh negara tersebut (Andrew, 2002: 42).
Namun dalam hal ini, semua aturan yang
ada di dalam UNCLOS sudah jelas
tercantum dalam tiap pasal-pasalnya.
Pelanggaran yang dilakukan oleh Cina
mulai dari tahun 1996 hingga 2014,
semuanya jelas melanggar beberapa pasal
yang ada di dalam UNCLOS. Bila
disimpulkan,
tidak
ada
pasal-pasal
UNCLOS yang ambigu ketika dilanggar
oleh Cina. Semua pelanggaran Cina jelas
menyalahi berbagai pasal yang ada di
UNCLOS. Oleh karena itu, reputational
sanction yang didapatkan oleh Cina, sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukannya.
Ketika negara melakukan pelanggaran
terhadap norma-norma internasional yang
tidak tercantum dalam konvensi, meskipun
hal itu tidak secara jelas ditulis di dalam
konvensi, maka negara yang melanggar
tersebut akan mendapatkan reputational
sanction dari negara lain. Salah satu bentuk

implicit obligation adalah ketika negara yang
sudah melakukan ratifikasi terhadap suatu
konvensi, tiba-tiba mengundurkan diri
(Andrew, 2002: 42-43).
Melalui data yang didapatkan oleh
penulis, Cina belum pernah sekalipun
mengundurkan
diri
dari
UNCLOS
terhitung sejak Cina meratifikasi UNCLOS
dari tahun 1996 hingga 2014. Dalam daftar
list anggota yang melakukan ratifikasi
terhadap UNCLOS, nama Cina masih
tertulis, dan tidak ditemukan catatan
apapun mengenai kemunduran Cina dari
UNCLOS. Oleh karena itu, pada poin ini
penulis tidak dapat melakukan pembuktian
terhadap ada tidaknya reputational loss yang
didapatkan oleh Cina sebagai akibat dari
pengunduran diri Cina dari UNCLOS.
Menurut Andrew, adanya perubahan
rezim dapat menghilangkan reputational
sanction yang pernah terjadi sebelumnya
(Andrew,
2002:
43-44).
Berdasarkan
berbagai pelanggaran yang terjadi di empat
rezim yang berbeda, dapat disimpulkan
bahwa
perubahan
rezim
dapat
menghapuskan reputational sanction yang
didapatkan
oleh
Cina
dari
masa
sebelumnya. Adanya perbedaan kebijakan
dari masing-masing menteri pertahanan
membuat hilangnya reputational sanction
yang diterima oleh Cina ketika terjadi
perubahan rezim. Pada rezim Chi Haotian,
kebijakan Cina cenderung lebih agresif di
dalam konflik Spratly, sehingga reputational
sanction yang diterima pada masa tersebut
cukup besar. Namun pada rezim Cao
Gangchuan, kebijakan Cina lebih pasif
dalam konflik Spratly, sehingga reputational
sanction yang diterima oleh Cina pada
sebelumnya hilang. Di masa tersebut, Cina
tidak mendapatkan reputational sanction,
karena tidak ada pelanggaran terkait
konflik Spratly yang terjadi di masa itu.
Namun, ketika memasuki rezim Liang
Guanglie, kebijakan Cina dalam konflik

Spratly kembali agresif, sehingga Cina
kembali mendapatkan reputational sanction
yang cukup besar pada tahun 2011.
Terakhir pada rezim Chang Wanquan,
reputational sanction yang diperoleh Cina
berkaitan
dengan
konflik
Spratly
berkurang, karena pelanggaran yang
dilakukan di masa ini juga bukan
merupakan pelanggaran serius.
Direct Sanction
Semakin keras direct sanction yang
diberikan oleh suatu institusi terhadap
suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
suatu negara, akan mempengaruhi perilaku
negara untuk lebih patuh terhadap hukum
internasional yang berlaku. Cina akan lebih
patuh terhadap UNCLOS bila Cina
mendapatkan direct sanction dari institusi
yang berwenang dan memiliki kredibilitas
tinggi untuk memberikan punishment
kepada Cina (Andrew, 2002: 44-47).
Berdasarkan pengamatan penulis dari
beberapa peristiwa pelanggaran yang
dilakukan
oleh
Cina,
penulis
menyimpulkan bahwa direct sanction dari
victim country sangatlah minim, dan hanya
sebatas direct sanction yang ringan. Direct
sanction yang diberikan oleh victim country
hanya sebatas penangkapan terhadap
individu yang melanggar, dan tidak ada
direct sanction keras dari victim country.
Hanya Filipina yang berani melapor
kepada ITLOS, dan itupun hanya sebatas
bertanya mengenai nine-dashed line, bukan
laporan terhadap pelanggaran yang
dilakukan Cina, sehingga Cina tidak jera
dan kembali melakukan pelanggaran.
Ketika negara hendak melakukan
pelanggaran, negara akan memikirkan
apakah pelanggaran tersebut akan memiliki
dampak jangka panjang atau pendek.
Untuk itu, negara memiliki kecenderungan
untuk patuh apabila negara memikirkan
hubungan jangka panjang dengan konvensi

tersebut
(Andrew,
2002:
48-50).
Berdasarkan sumber yang didapatkan oleh
penulis, motivasi Cina untuk bergabung di
PBB adalah untuk membentuk hubungan
jangka panjang. Hal ini tersirat dalam
tulisan Susan Tieh, bahwa keberadaan Cina
di PBB merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan national interest Cina yaitu
menciptakan image bahwa Cina adalah
bagian dari global power dan Cina berusaha
untuk menandingi kekuatan negara
hegemon yaitu AS (Tieh, 2004: 1-10).
Melalui tulisan tersebut, motivasi Cina
untuk bergabung di PBB adalah untuk
mengimbangi
hegemoni
AS
dan
membutuhkan jangka waktu yang lama
untuk mewujudkan hal tersebut.
Meskipun motivasi Cina bergabung di
PBB merupakan motivasi hubungan jangka
panjang, namun Cina tetap melakukan
pelanggaran pasca-ratifikasi UNCLOS.
Dapat disimpulkan bahwa motivasi Cina
bergabung dengan PBB untuk jangka
panjang tidak mempengaruhi perilaku Cina
terhadap UNCLOS, dan tidak membuat
Cina takut terhadap direct sanction yang
mungkin
dapat
diterima
akibat
pelanggaran
tersebut
yang
dapat
mempengaruhi hubungan jangka panjang
Cina dengan PBB. Cina tetap tidak patuh
terhadap UNCLOS meskipun Cina sendiri
tergabung dalam United Nations UNSC
yang berfungsi untuk menjaga perdamaian.
Pada peristiwa pelanggaran Cina di
tahun 1997, 1998, dan 2014, direct sanction
hanya dijatuhkan pada individu yang
menjadi pelaku illegal fishing, bukan pada
pemerintah Cina. Dapat disimpulkan
bahwa direct sanction yang diberikan oleh
victim
country
tidak
menghasilkan
retaliatory sanction karena direct sanction
yang diberikan oleh victim country hanya
sebatas pada individu, bukan merupakan
direct sanction dalam skala besar yang
mempengaruhi hubungan antar kedua

negara, sehingga penulis tidak dapat
membuktikan apakah direct sanction dari
satu negara dapat menyebabkan retaliatory
sanction, karena tidak sesuai dengan direct
sanction yang dimaksud oleh Compliancebased Theory. Direct sanction yang dimaksud
dalam Compliance-based Theory adalah direct
sanction pada level negara, bukan individu.
Tidak adanya direct sanction dari institusi
menyebabkan
penulis
tidak
dapat
membuktikan apakah Cina mau menerima
direct sanction dari institusi atau tidak.
KESIMPULAN
Penelitian ini menjawab pertanyaan
mengapa Cina melakukan pelanggaran
terhadap UNCLOS dalam sengketa di
kepulauan Spratly. Pada hipotesa yang
dikatakan
sebelumnya,
penulis
mengatakan bahwa tidak ada sanksi yang
diterima oleh Cina baik itu reputational
sanction maupun direct sanction, sehingga
Cina melakukan pelanggaran. Namun,
setelah penulis melakukan penelitian lebih
lanjut, penulis menemukan bahwa Cina
mendapatkan reputational sanction dari
beberapa
negara,
namun
tidak
mendapatkan direct sanction, oleh karena itu
Cina melakukan pelanggaran terhadap
UNCLOS.
Ada
beberapa
faktor
yang
menyebabkan
Cina
melakukan
pelanggaran. Pertama, Cina kerap kali
menjadikan konsep res nullius yang
terdapat di konferensi Berlin 1885 untuk
melakukan klaim terhadap kepulauan
Spratly berdasarkan sejarah. Sementara itu,
konsep res nullius sendiri telah berubah
sejak adanya UNCLOS. Cina telah
meratifikasi UNCLOS, maka dari itu,
otomatis Cina juga harus mematuhi konsep
terbaru, yang berlaku di UNCLOS. Faktor
kedua, tidak adanya aturan jelas mengenai
sanksi, dan institusi
yang berhak
menghukum para pelanggar UNCLOS. Di
dalam UNCLOS hanya terdapat pasal

mengenai penyelesaian sengketa, dan tidak
ada sanksi tertulis mengenai apa yang
harus dibayar oleh pelanggar ketika
melakukan pelanggaran. Hal tersebut
kemudian yang menyebabkan Cina tidak
mendapatkan direct sanction apapun dari
institusi yang berwenang.
Setelah berbagai pelanggaran yang
dilakukan oleh Cina, Cina hanya sebatas
mendapatkan reputational sanction, baik itu
dari victim country maupun negara di
sekitarnya. Sementara itu, reputational
sanction yang diterima oleh Cina ini tidak
berpengaruh signifikan terhadap perilaku
Cina. Hal ini terbukti dengan adanya
pelanggaran-pelanggaran
yang
terus
dilakukan oleh Cina mulai dari tahun 1996
hingga 2014. Tidak menutup kemungkinan
bahwa Cina akan terus melanggar, selama
Cina tidak mendapatkan direct sanction
yang keras dari institusi yang berwenang,
karena
reputational
sanction
tidak
menimbulkan cost yang signifikan bagi
Cina.
Berdasarkan paparan diatas, dapat
disimpulkan bahwa reputational sanction
tidak memiliki pengaruh signifikan dalam
mempengaruhi perilaku Cina agar patuh
terhadap UNCLOS. Sementara itu, tidak
ada direct sanction dari institusi yang
berwenang kepada Cina. Cina melanggar
UNCLOS karena tidak ada direct sanction
dari institusi yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew T. Guzman, A Compliance-Based
Theory of International Law, 90 Cal. L.
Rev. 1823 (2002). Diunduh melalui
http://scholarship.law.berkeley.edu/f
acpubs/2076 diakses pada tanggal 1
Juli 2014.
Chariri, Anis. 2009. Landasan Filsafat dan
Metode Penelitian Kualitatif. Makalah
Lokakarya
Metodologi
Penelitian

Kualitatif
dan
Kuantitatif.
Laboratorium
Pengembangan
Akuntansi,
Fakultas
Ekonomi,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Diunduh
melalui:
http://eprints.undip.ac.id/577/1/FIL
SAFAT_DAN_METODE_PENELITIA
N_KUALITATIF.pdf diakses pada
tanggal 21 Juli 2014.
China Vitae. 2015. Chi Haotian. Diunduh
melalui
http://www.chinavitae.com/biograp
hy/Chi_Haotian/full diakses pada
tanggal 14 Januari 2015.
Christopher C. Joyner. 2000. The Spratly
Islands Dispute in the South China
Sea:Problems, Policies, and Prospects for
Diplomatic Accommodation. Diunduh
melalui
http://www.stimson.org/images/upl
oads/researchpdfs/cbmapspratly.pdf. Diakses pada
tanggal 10 Januari 2015.
CIA. 2014. Spratly Island. Diunduh melalui
https://www.cia.gov/library/publica
tions/the-worldfactbook/geos/pg.html diakses pada
tanggal 1 Juli 2014.

3&uid=2482562917&uid=60&purchase
type=none&accessType=none&sid=21
104355893317&showMyJstorPss=false
&seq=1&showAccess=false
diakses
pada tanggal 1 Juli 2014.
Gopalakrishnan, Raju. 2014. Tension Surge
in S. China Sea as Philippines seizes
Chinese
Boat.
Diunduh
melalui
http://in.reuters.com/article/2014/05
/07/china-seas-fishermenidINKBN0DN0DM20140507 Diakses
pada tanggal 23 November 2014.
http://www.un.org/depts/los/refere
nce_files/chronological_lists_of_ratific
ations.htm diakses pada tanggal 1 Juli
2014.
Klare, Michael. 2002. Resource Wars: The
New Landscape of Global Conflict. New
York: Owl Books.
Mansfield, Ian. 2011. China Mobile Expands
Coverage to the Spratly Islands. Diunduh
melalui
http://www.cellularnews.com/story/49219.php Diakses
pada tanggal 23 November 2014.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan
Internasional:
Disiplin
dan
Metodologi. LP3ES. Jakarta.

Djalal, Hasjim. 2000. South China Sea Island
Disputes. The Raffles Bulletin of Zoology
2000 Suplement No. 8:9-21. Diunduh
melalui
http://lkcnhm.nus.edu.sg/rbz/biblio
/s8/s08rbz009-021.pdf. Diakses pada
tanggal 25 Januari 2015.

Pike, John. 2014. Spratly Skirmish – 1988.
Diunduh
melalui
http://www.globalsecurity.org/milita
ry/world/war/spratly-1988.htm
diakses pada tanggal 19 November
2014.

Furtado, Xafier. 1999. International Law and
the Disputes over Spratly Island: Whither
UNCLOS? Contemporary Southeast
Asia, Volume 21, Number 3. Diunduh
melalui
http://www.jstor.org/discover/10.23
07/25798466?uid=3738224&uid=2134&
uid=2482562927&uid=2&uid=70&uid=

Saleem, Omar. 2000. The Spratly Islands
Dispute: China Defines the New
Millennium.
American
University
International Law Review vol 15, no. 3
(2000):
527-582.
Diunduh
dari
http://digitalcommons.wcl.american.e
du/cgi/viewcontent.cgi?article=1269&
context=auilr diakses pada tanggal 2
Juli 2014.

Santolan, Joseph. 2011. Chinese patrol boats
confront Vietnamese oil exploration ship
in South China Sea. Diunduh melalui
http://www.wsws.org/en/articles/20
11/05/chin-m31.html Diakses pada
tanggal 23 November 2011.
Storey, Ian. 2013. Japan’s Growing Angst over
the South China Sea. Singapore: ISEAS
Perspective.
Tieh, Susan. 2004. China in the UN: United
with Other Nations? Stanford Journal of
East Asian Affairs Vol 4, No. 1 Diunduh
melalui
http://web.stanford.edu/group/sjeaa
/journal41/china1.pdf. Diakses pada
tanggal 18 Januari 2015.
UN. 2013. Chronological lists of ratifications of,
accessions and successions to the
Convention and the related Agreements as
at 29 Oktober 2013. Diunduh melalui
Yann-huei Song dan Keyuan Zou. 2014.
Major Law and Policy Issues in the South
China Sea: European and American
Perspectives.
Farnham:
Ashgate
Publishing Limited.