JURNAL POTRET MADRASAH ERA OTONOMI PENDIDIKAN

Abstrak
POTRET MADRASAH DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Syamsul Arifin
Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia
E-mail: syaif18@gmail.com
Madrasah merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang merupakan
salah satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan
secara
timbal balik dan saling tergantug dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan
Islam
member kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik
dalam bentuk
gagasan konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan. Adanya
kemitraan
antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai kedudukan sejajar
dan
saling menghormati. Wawasan demikian dapat menimbulkan pandangan dan
sikap
egaliter serta terbuka dalam masyarakat. Pendidikan Islam peduli terhadap
pemeliharaan dan pengembangan masyarakat daerah, yang dapat
diwujudkan

dengan menyebarluaskan dan memanfaatkan beberapa keunggulan yang
dimiliki.
Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi yang
telah ada
dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada. Pengkajian
tentang
hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama dilakukan,
namun
pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka perkembangan potensi
masyarakat di
era otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah sedikit banyak akan
berpengaruh terhadap perkembangan madrasah.
Kata kunci: madrasah, otonomi daerah
Pendahuluan
Islam bukanlah sekedar sistem teologi semata, tetapi juga sebagai
peradaban
yang lengkap, salah satunya adalah mengandung aspek pendidikan.
Pengalaman
pembangunan di negara-negara maju, khususnya negara-negara di dunia
barat,

membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan.
Secara
umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan penggerak utama (prima
mover)
bagi pembangunan.

1

Lahirnya pendidikan karena adanya masyarakat, jadi pendidikan
pada mulanya berfungsi sebagai sarana mensosialisasikan nilai dan tradisi
yang dianut
oleh masyarakat, sehingga wajar ketika keduanya saling mempunyai
keterkaitan.
Pendidikan dalam pembahasan ini adalah pendidikan Islam yang merupakan
salah
satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara
timbal
balik dan saling tergantung dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan Islam
memberi
1


Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Global Pustaka
Utama, 2004), 1.

Syamsul Ari fin
kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk
gagasan
konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan.
129 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendi di kan Isl am
2

Adanya kemitraan antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai
kedudukan sejajar dan saling menghormati. Wawasan demikian dapat
menumbuhkan
pandangan dan sikap egaliter serta terbuka dalam masyarakat. Pendidikan
Islam
peduli terhadap pemeliharaan dan pengembangan masyarakat daerah, yang
dapat
diwujudkan dengan menyebarluaskan dan memanfaatkan beberapa
keunggulan yang

dimiliki. Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi
yang
telah ada dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada.
Pengkajian
tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama
dilakukan,
namun pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka perkembangan potensi
masyarakat di era otonomi daerah. Pertanyaan ini penting oleh karena
dewasa ini
muncul gagasan tentang keterkaitan dan kesepadanan pendidikan dengan
masyarakat daerah, tercermin pemilihan kurikulum menjadi dua macam yaitu
kurikulum inti berlaku secara nasional dan kurikulum lokal dengan
pertimbangan
daerah, keseluruhan kedua kurikulum itu disebut kurikulum utuh. Kurikulum
lokal
dirumuskan oleh pengelola pendidikan dengan mempertimbangkan
keterkaitan dan

kesepadanan dengan potensi yang tersedia, dan tuntutan ekosistem (alam
dan sosial)

dalam masyarakat di daerah.
3

Sejak disahkannya Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, prinsip
pembangunan nasional mengalami pergeseran orientasi. Daerah sebagai
bagian
integral dari pembangunan nasional pada masa otonomi diberi kewenangan
dan
tanggungjawab penyelenggaraan kepentingan daerahnya sendiri. Dalam
undangundang
no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan
kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan
suatu
wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih
demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan
dan
pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut
2

Mahfud Djunaedi, Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,
2006), 133.
3

Ibid., 134-135.

Potret Madrasah dal am Kebi j akan Otonomi Daerah
menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat
sentralistik
kepada yang lebih bersifat desentralistik.
4

Dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional, namun pelaksanaan pendidikan agama di daerah masih
saja
mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah daerah.
Pendidikan dan
agama pada Undang-Undang tersebut banyak memunculkan penafsiran
secara
parsial bahwa yang menjadi kewewenangan pemeritah daerah adalah

pendidikan
yang berada di bawah naungan Kementerian Agama yang berbentuk
Madrasah dan
sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari
pendidikan.
Maka dari itu pendidikan pada UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah
secara ekplisit pelaksaannnya tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat

tetapi sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan kata lain
implementasi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah baik
dalam
konteks bimbingan dalam konteks subsidi pendanaan biaya pendidikan.
Hal ini
tentunya memerlukan pembahasan, diskusi, dan sumbangan pemikiran dari
berbagai
pakar pendidikan secara serius agar perpindahan tidak memiliki dampak
negatif bagi
kelangsungan madrasah dan umat Islam sebagai pilar utamanya.

Dari beberapa faktor tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
Kebijakan tentang madrasah setelah keluarnya Undang-Undang tentang
otonomi
daerah.
Pengertian Kebijakan Tentang Madrasah Dalam Otonomi Daerah
Kata madrasah dalam bahasa Arab adalah bentuk kata keterangan tempat
(zharaf makan) dari akar kata darasa. Secara harfiah madrasah diartikan
sebagai
tempat belajar para pelajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran. Dari
akar kata
darasa juga bisa diturunkan kata midras yang mempunyai arti buku yang
dipelajari
atau tempat belajar. Kata al-midras juga diartikan sebagai rumah untuk
mempelajari
kitab Taurat. Kata madrasah juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau
Aramy, dari
akar kata yang sama yaitu darasa, yang berarti membaca dan belajar atau
tempat
4


Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (Jakarta: PT
Raja
Grafindo Persada, Cet. III, 2007), 1-2.
5

Suwito dkk, Sejarah Sosial Pedidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 298.
5

Vol ume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 130
Syamsul Ari fin
duduk untuk belajar. Dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah mempunyai
arti
yang sama yaitu tempat belajar. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, kata
madrasah memiliki arti sekolah kendati pada mulanya kata sekolah itu
sendiri bukan
berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school
atau scola.
131 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendi di kan Isl am


Dengan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut
adalah penekanannya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman.
Perkataan madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara
umum,
akan tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah yang mempelajari
ajaranajaran
Islam.
Pada saat sekarang ini sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan di
madrasah memadukan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem
pendidikan yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Hal ini dikarenakan
pengaruh
dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan
nasional
bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam
kurikulum
madrasah, bahkan kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti
sistem
perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern seperti Madarash Ibtidaiyah
sama

dengan SD, Madrasah Tsanawiyah sama dengan SMP, dan Madrasah Aliyah
sama
dengan SMA. Perkembangan selanjutnya, pengadaptasian tersebut demikian
terpadunya sehingga boleh dikatakan hampir kabur perbedaannya, kecuali
pada
kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam.
7

Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
setidaknya mempunyai latar belakang, di antaranya:
1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah sistem
pendidikan
yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama
dengan sekolah umum. Misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan
memperoleh ijazah.
6

Abd. Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Penerbit Trigenda
Karya, 1993),
305.
7

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta:
Bulan
Bintang, 1986), 170-171.
6

Potret Madrasah dal am Kebi j akan Otonomi Daerah

3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya
santri
yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka.
4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional
yang
dilakuakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil
akulturasi.
Otonomi Daerah
Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri, sedangkan
dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah
dengan
demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika
daerah sudah
mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah
berdaya
untuk melakukan apa saja secara mandiri.
9

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004
Salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah
terjadinya pergeseran paradigma politik pemerintahan dari sentralistis
kepada
desentralistik, yang diwujudkan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang
Otonomi Daerah dan kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 32 tahun
2004
tentang Pemerintah Daerah. Lahirnya produk hukum tentang otonomi daerah
tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian daerah di dalam
kerangka
negara kesatuan RI, karena otonomi tersebut tidak dapat diartikan sebagai
suatu
kebebasan absolut tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara
keseluruhan.
10

Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi daerah
adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang ini diuraikan juga
beberapa
hal yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi
8
9

Ibid., 305 .
A. Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE
UIN Syarif
Hidayatullah), 170.
10

Ibid., 290.

Vol ume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 132
8

Syamsul Ari fin
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan
pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat
dan
daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu dilaksanakan
dengan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan,
serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Disini sangat dituntut
adanya
upaya untuk memperdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan
kreatifitas
peran masyarakat.
Selama ini perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan
pendidikan agama banyak disebabkan oleh pemahaman, interpretasi, dan
implementasi yang tidak komprehensif mengenai keberadaan UU No. 32
tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah sebagaimana pasal 10 ayat 3 poin (f) yang
didalamnya
memuat tentang sentralisasi masalah agama oleh Pemerintah (pusat). Dalam
pasal
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya
menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,
memberikan
pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam
penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian
tertentu urusan
pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah.
Khusus
di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh
pemerintah
kepada daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan dalam
menumbuh
kembangkan kehidupan keagamaan.
Atas dasar pasal tersebut, banyak pemerintah daerah yang memahami
bahwa
penyelenggaraan pendidikan agama dianggap menjadi tanggung jawab
pemerintah
pusat cq. Kementerian Agama Republik Indonesia. Padahal jika merujuk pada
pasal 14

ayat (1) yang dikaitkan poin (f) dalam pasal tersebut adalah
penyelenggaraan
pendidikan. Karena keterbatasan kemampuan Pemerintah Pusat dan adanya
anggapan bahwa pendidikan agama bukan wewenang Pemerintah Daerah,
menyebabkan pendidikan agama menjadi terabaikan, dan cenderung tidak
diperhatikan, baik dalam konteks pembinaan tenaga guru, tenaga
kependidikan,
desain kurikulum dan juga pendanaan penyelenggaraan pendidikan agama di
daerah.
133 | Tarbi yatuna: Jurnal Pendi di kan Isl am

Potret Madrasah dal am Kebi j akan Otonomi Daerah
Dengan demikian masalah pendidikan agama dan keagamaan yang dikelola
Kementerian Agama menjadi posisi yang remang-remang sehingga dapat
merugikan
berbagai pihak, terutama para penyelenggara dan peserta didik di
lingkungan
Kementerian Agama.
Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan adanya diskrimansi pemerintah
pusat terhadap satuan pendidikan madrasah, atau kebijakan diskriminasi
pemerintah
daerah terhadap madrasah yang didiamkan oleh pemerintah pusat, memang
tidak
direspon secara demonstratif-negatif oleh pengelola madrasah, karena lebih
95%
penyelenggaraan madrasah adalah swasta, dan mayoritas madrasah swasta
adalah
dirintis dan didirikan oleh para ulama’/kiai pengasuh pondok pesantren.
Tidak
mungkin seorang kiai meskipun didzalimi akan menuntut hak dengan cara
melakukakan demonstrasi memperjuangkan keadilan bagi anak bangsa yang
sedang
belajar di madrasah. Saya sangat khawatir, diamnya para kiai memang
pertanda
sebuah perlawanan dengan cara diam membisu, karena sudah dilemahkan,
sudah
kehabisan kata-kata karena secara terus menerus menyaksikan para
pemimpin yang
dipilihnya melakukan diskriminasi terhadap pendidikan madrasah. Akhirnya
mereka
hanya mengadu dan berdoa’a kepada Allah SWT. Asal dan akhir segala
sesuatu, agar
pengabdian yang penuh dengan keterbatasan terhadap anak-anak bangsa
yang studi
di madrasah, agar selalu diberi kekuatan lahir batin.
Hubungan Madrasah Dengan Otonomi Daerah
Pendidikan adalah salah satu bidang yang diotonomkan dari sekian banyak

bidang lainnya. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menuntut
adanya
desentralisasi pengelolaan pendidikan, beberapa dampak dari sentralisasi
pendidikan
telah muncul di Indonesia uniformitas. Uniformitas ini mematikan inisiatif dan
kreativisme serta inovasi perorangan maupun masyarakat. Di tengah-tengah
masyarakat yang majemuk seperti Indonesia sangat perlu dihargai adanya
sisi
perbedaan yang tidak mesti seragam, karena keberadaan masyarakat
mejemuk itu
11

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari ordonansi guru sampai UU
Sisdiknas,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 126.

Vol ume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 134
11

Syamsul Ari fin
menuntut untuk adanya berbagai perbedaan yang merangsang untuk
tumbuhnya
kreativitas dan inovasi.
Dengan dilaksanakannya otonomi daerah di bidang pendidikan ini, bisa
dicapai tiga tujuan, seperti yang dikutip oleh Imam Prihadiyoko ketika
menjelaskan
tentang sekolah dan masyarakat, yaitu:
1. Untuk mendorong melakukan pemberdayaan masyarakat.
2. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas.
3. Peningkatan peran serta masyarakat serta mengembangkan peran dan
fungsi
135 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendi di kan Isl am
DPRD.
12

Selain itu otonomi daerah juga memberikan peluang kepada pengelola
pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Setidaknya dalam
hal-hal
sebagai berikut:
1. Pengelola pendidikan memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusi
masing-masing mengacu pada tujuan nasional.
2. Pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk merumuskan dan
mengembangkan
kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu daerah.
3. Pengelola pendidikan memiliki peluang untuk menciptakan situasi belajar
dan
mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang
telah ditetapkan.
4. Pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem
evaluasi

yang dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar siswa
maupun
terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan.
Adapun strategi pengembangan otonomi daerah dalam dunia pendidikan
hendaknya pembuat kebijakan pengembangan kurikulum mengacu pada
filosofi
daerah setempat dan memperhatikan asas masyarakat, ilmu pengetahuan
dan
psikologis.
13

Keberadaan madrasah pasca Undang-Undang Otonomi Daerah
12
13

Imam Priyahadiyoko, Kompas, 2000, 10-17.
Ibid., 151.

Potret Madrasah dal am Kebi j akan Otonomi Daerah
Sejalan dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam juga terus berkembang namun perkembangan itu cukup
eksklusif,
di mana aksentuasi (penekanan) pada pengetahuan keagamaan (Islam) lebih
diutamakan. Hal ini juga yang menyebabkan perkembangan madrasah hanya
pada
kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya
berkisar di
daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang. Dan hal ini
juga yang
memicu lambannya perkembangan madrasah, madrasah seakan jauh dari
atmosfer
pembaruan sistem pendidikan, baik secara kelembagaan maupun sistem dari
proses
pembelajaran itu sendiri.
14

Kebijakan pengelolaan pendidikan Islam, sejatinya tidak bisa dipisahkan
dengan kebijakan pelaksanaan pendidikan secara umum, karena sesuai
dengan UU
No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 20 tahun 2003
tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan Islam
di derah
masih saja mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah
daerah. Hal ini
banyak disebabkan masih belum komprehensifnya pemahaman pemerintah
daerah
pada terminologi pendidikan dan agama yang termuat dalam kedua UndangUndang

tersebut, sehingga banyak memunculkan penafsiran secara parsial bahwa
yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pendidikan yang berada di
bawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara, pendidikan
yang
berada di bawah naungan Kementerian Agama yang berbentuk madrasah
dan
sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari
pendidikan.
Dengan diberlakukannya UU otonomi daerah, maka secara eksplisit
pelaksanaan
pendidikan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi
juga
sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, baik dalam konteks
bimbingan
maupun dalam konteks subsidi pendanaan pendidikan.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pendidikan memerlukan pola
pembiayaan yang tidak diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal
ini dapat
ditempuh dengan cara melakukan subsidi silang, imbal swadaya, block grant,
dan
menerapkan formula subsidi kontekstual. Subsidi silang harus dilakukan
pemerintah
14

Ibid., 292.

Vol ume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 136
Syamsul Ari fin
pusat untuk menghindari timbulnya kesenjangan antara sekolah (madrasah)
daerah
miskin dan daerah kaya. Imbal swadaya dapat dilakukan baik oleh
pemerintah pusat
maupun oleh pemerintah daerah untuk mendorong berkembang dan
meningkatnya
program-program yang menjadi unggulan pussat dan daerah. Block grant
dapat
diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas
program
yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut dengan cara
berkompetisi.
Pelaksanaan otonomi pendidikan ini sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah
berdasarkan pada UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
terutama
terkait dengan pendanaan dan pembiyaan pendidikan. Berdasar UU tersebut,
maka
kebijakan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung
jawab

pemerintah daerah, yang sebelumnya hanya pendidikan dasar (SD/MI,
SMP/MTs)
yang berada di bawah naungan pemerintah daerah dalam hal ini
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Bertolak dari arah baru paradigma pendidikan, maka perlu pemberdayaan
madrasah yang dapat dilaksanakan lewat:
137 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendi di kan Isl am
15

1. Pemberdayan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia
pengelola
pendidikan, Kepala Sekolah, Guru, Tenaga Administrasi dan lain sebagainya
sehingga siap memasuki era management berbasis sekolah.
2. Pemberdayaan sistemnya dari sistem top down ke sistem bottom up atau
sentralisasi ke desentralisasi.
3. Pemberdayaan kebijakan, dari kebijakan yang memarjinalkan madrasah
kepada
kebijakan yang membawa madrasah ke center.
4. Pemberdayaan masyarakat, di mana melibatkan unsur-unsur masyarakat
untuk
ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah, yaitu dengan cara
meningkatkan
peran serta stakeholder dan akuntabilitas.
Ada beberapa pendapat tentang kedudukan madrasah di era otonomi daerah
ini, di antaranya:
1. Madrasah tetap di bawah naungan Kementerian Agama. Semangat ini
didasari
atas idealisasi yang tinggi. Selain dari itu bahwa Kementerian Agama adalah
15

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2009), 62.

Potret Madrasah dal am Kebi j akan Otonomi Daerah
kementerian yang tidak diotonomikan, maka termasuk jugalah di dalamnya
pendidikan agama.
2. Madrasah di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan/Pemerintah Daerah. Argumennya adalah karena masalah
pendidikan
sudah diotonomikan, maka dikhawatirkan pendidikan di lingkungan
madrasah
yang selama ini sudah tertinggal dibanding dengan sekolah umum akan
semakin
tertinggal. Oleh karena itu, madrasah sebaiknya berada dalam lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Pemerintah Daerah agar
memperoleh
fasilitas dan perhatian Pemerintah Daerah sama seperti yang diberlakukan

Pemerintah Daerah terhadap sekolah.
3. Adanya pembagian wewenang antara Kementerian Agama dan pemerintah
Daerah, yang teknis-teknisnya akan diatur tersendiri.

Pemberdayaan Madrasah

Madrasah biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari suatu
kelompok masyarakat, atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian yang
tinggi
terhadap penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pengembangan
selanjutnya
sangat ditentukan oleh sejauh mana pihak penyelenggara mampu secara
terus
menerus menggali potensi tersebut, serta melipat gandakan kekuatankekuatan yang
sudah ada di madrasah.
Sikap ketergantungan kepada bantuan, serta pemberian bantuan yang tidak
tepat sasaran selama ini, justru sangat merugikan perkembangan madrasah.
Oleh
karena itu pola bantuan yang mulai diterapkan sejak tahun 1997/1998, lebih
diarahkan
kepada tumbuhnya upaya strategis yang mendorong seluruh jajaran Pembina
dan
penyelenggara madrasah, agar meningkatkan kemampuannya menggali
potensi dan
kekurangan yang ada pada madarasah.
Arah baru paradigma pendidikan mengalami perubahan. Dari sentralistik ke
desentralisasi, kebijakan yang top down ke arah kebijakan bottom up.
Orientasi
pengembangan parsial pendidikan ke orientasi pengembangan holostik,
pendidikan
untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya.
Peranan pemerintah sangat dominan untuk meningkatkan peran masyarakat
secara
Vol ume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 138
Syamsul Ari fin
kualitatif dan kuantitatif. Lemahnya peran institusi nonsekolah ke
pemberdayaan
institusi masyarakat, keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.
Bertolak dari arah baru ini maka pemberdayaan madrasah dilaksanakan
lewat
pemberdayaan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola
pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain
sebagainya
dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah. Orientasi Pembinaan
kepada
Peningkatan Mutu Pendidikan.
Pemberdayaan melalui bantuan Pembinaan secara terpadu. Pemberdayaan
masyarakat, melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam

pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta
stakeholder dan
akuntabilitas.
Kebijakan Pembinaan Madrasah
Reposisi terhadap madrasah sebagaimana dijelaskan sekaligus merespon
dan
mengantisipasi adanya perubahan sistem pemerintah RI dari sentralisasi
kepada
otonomi, dekonsentrasi, desentralisasi. Rasionalisasi pemikiran tentang
madrasah ini
berkaitan lansung dengan sistem pemerintah kedepan sesuai dengan UU
No.22
Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 perlu ditetapkan kebijakan bahwa :
1. Penyelenggarahan madrasah tetap dilakukan masyarakat, beberapa hal
mengenai penyelengarahan menjadi tanggung jawab pemerinahan daerah,
terutama pada aspek pembiayaan, kelembagaan dan manajerial sesuai
dengan
kewenangan yang dimiliki. Sedangkan penyiapan dan pengembangan materi
pembelajaran yang bersifat substansi keagamaan dan ciri kekhususan
keislaman
tetap dikelola oleh Kementerian Agama.
2. Pengelolaan dan penyelengaraan madrasah dilakukan oleh pemerintah
Daerah
dalam satu atap pengelolaannya, yaitu dengan membentuk Kementerian
Pendidikan dan kebudayaan sedangkan Kementerian Agama kabupaten/kota
berfungsi sebagai tugas pengendalian dan tugas-tugas agama.
3. Melalui perubahan ini maka madrasah berada pada arena persaingan yang
berorientasi kepada kualitas produknya. Berdasarkan kalkulasi sosial budaya
masyarakat Indonesia, madrasah seperti di atas akan lebih mudah diterima
dan
139 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendi di kan Isl am

Potret Madrasah dal am Kebi j akan Otonomi Daerah
mendapat dukungan dari masyarakatnya. Di sisi lain, segala dinamika yang
terjadi
dalam umat Islam akan dengan mudah diserap oleh madrasah terutama
dinamika
di bidang ilmu pengetahuan, sebab madrasah mendapat kontrol langsung
dari
masyarakat pendukungnya.
Sebagai institusi pendidikan agama, maka madrasah harus bergerak dalam
mekanisme organisasi yang profesional, dalam formulasi pengorganisasian
dan
penyelenggaraan sebagai berikut:
1. Pengorganisasian dan pengelolaan madrasah dalam arti penataan dan
pengaturan seluruh komponen pendidikan yang memungkinkan tercapainya

tujuan institusional, secara bertahap dilimpahkan kepada pihak madrasah
(school
based management) dan didukung oleh masyarakat (community based
education)
2. Organisasi pengorganisasian dan pengeloaan madrasah diarahkan kepada
terciptanya hubungan imbal balik antara madrasah dan masyarakat dalam
rangka memperkuat posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan.
3. Struktur pengoranisasian dan pengelolaan madrasah bersifat feksibel
sesuai
dengan tuntutan kebutuhan madrasah.
4. Pengelolaan madrasah dikembangkan melalui pendekatan profesional
yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya segenap potensi madrasah,
sehingga mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip school Based
management yang secara historis telah ada pada kultur madrasah.
5. Pengelolaan madrasah bersifat terbuka dan demokratis. Pengelola diberi
kesempatan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai demokratis dan hak
asasi
manusia (HAM) dalam membina tata hubungan kerja di madrasah.
6. Manajemen madrasah diberi peluang yang memungkinkan terciptanya
kerja
sama dengan unsur dan unit kerja lain dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan.
7. Pengeloaan madrasah perlu pengembangan konsep keterpaduan yang
mencakup keterpatuan lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat) dan ketebukaan.
Vol ume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 140
Syamsul Ari fin
8. Pengawasan atau kontrol pengorganisasian dan pengelolaan madrasah
dilakukan oleh suatu badan sekolah yang memiliki kompetensi sebagai
pendamping pengelola madrasah.
9. Perlu dipersiapkan perangkat atau tindakan hukum bagi mereka yang
melanggar
atau menyimpang dari prosedur dan etika pengelola dan pengorganisasian
madrasah.
10. Diperlukan adanya upaya bersama untuk mengembalikan image
madrasah
sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan khas Agama Islam.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa madrasah, sebagai
bagian
dari pendidikan keagamaan yang lahir dari bagian masyarakat menjadi
sebuah dilema
manakala keberadaannya tidak diperhatikan. Walaupun banyak persoalan
menyangkut keberadaan madrasah, baik menyangkut kesiapan SDM,
manajemen,
pembiayaan dan sebagainya, namun semua itu dapat diatasi ketika semua
pihak

bersatu padu memberikan kontribusi positif demi sebuah kemajuan bersama.
Ide
pengembangan tersebut tidak saja diperlukan dari masyarakat setempat,
namun dari
semua lapisan masyarakat di penjuru Indonesia, lembaga swadaya
masyarakat, orang
tua siswa, dan terlebih lagi sikap pemerintah dalam membuat kebijakan tidak
lagi
diskriminatif, karena bagaimanapun juga madrasah adalah bagian integratif
dari
pendidikan nasional.
Referensi
Djunaedi, Mahfud. Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 2006.
Muhaimin, Abd. Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit
Trigenda
Karya, 1993.
Mansur. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka
Utama,
2004.
Putra Daulay, Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan
Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.
Soebahar, Abd. Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari ordonansi guru
sampai UU
141 | Tarbi yatuna: Jurnal Pendi di kan Isl am
SISDIKNAS. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Potret Madrasah dal am Kebi j akan Otonomi Daerah
Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.
Sam M. Chan, Tuti T. Sam. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah.
Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007.
Suwito, dkk. Sejarah Sosial Pedidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.
Vol ume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 142

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

UJIAN AKHIR SEMESTER MENTRANSLATE JURNAL

2 76 20

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 34 50

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59