Direct Democration Dalam Program Simakra

Direct Democration Dalam Program Simakrama Pemerintah Provinsi Bali : Studi
Deskriptif Tentang Metode Penyerapan Aspirasi Masyarakat Secara Langsung Untuk
Mewujudkan Kebijakan Publik Deliberatif
I Wayan Agus Wiranata, I Gusti Agung Bagus Angga P, I Made Rahma Dwipa Putra 1

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses implementasi dari Program
Simakrama Pemerintah Provinsi Bali serta apa saja peluang dan kendala dari implementasi
program ini. Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dari
hasil penelitian di lapangan diketahui jika program Simakrama ini telah berlangsung semenjak
tahun 2008, tepatnya pada masa awal kepemimpinan Gubernur I Made Mangku Pastika di Bali.
Tujuan dari program ini adalah untuk menyerap aspirasi masyarakat sekaligus sebagai tindakan
follow up terhadap pelbagai kebijakan dan program yang gubernur luncurkan. Implementasi dari
Program Simakrama ini didukung oleh Tim Simakrama Provinsi yang terdiri dari Inspektorat
Wilayah Bali, Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali, Biro Umum dan Protokoler Pemerintah
Provinsi Bali, Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Bali, Dinas Perhubungan
Provinsi Bali dan Badan Kesatuan Bangsa dan Lingkungan Masyarakat. Program ini memiliki
sejumlah kendala dan peluang salah satunya seperti masih terkonsentrasinya sebagian besar
frekuensi pelaksanaan Program Simakrama di Kota Denpasar sehingga terkesan belum begitu
menyebar. Dari peluang, program ini berpeluang menjadikan kebijakan publik dari gubernur Bali
menjadi kebijakan yang deliberatif sehingga hal ini bisa menjadi modal bagi gubernur untuk

memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat.
Keywords: Implementasi Kebijakan , Program Simakrama, Kebijakan Deliberatif, Partisipasi
Masyarakat.
1.1

Pendahuluan
Semenjak memasuki era reformasi
pada tahun 1998, Bangsa Indonesia mulai
memasuki babak baru dalam aspek tata
kelola pemerintahan. Di Indonesia gerakan
reformasi telah memilih demokrasi sebagai
asas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih dari 15 (lima belas) tahun lalu
mahasiswa, ibu rumah tangga, kaum buruh,
serta berbagai lapisan masyarakat lainnya,
termasuk juga aparatur negara, bersepakat

untuk mengganti pemerintahan yang represif
dengan sistem yang mendengarkan aspirasi
rakyat. Pilihan ini kemudian dikonfirmasikan

dengan beberapa kali amandemen konstitusi,
pemilihan umum dan perubahan sistem
politik yang dilaksanakan dengan lancar,
tertib dan damai.
Akan tetapi setelah lebih dari 15 tahun
reformasi bergulir tetap saja tidak ada
kemajuan berarti yang mampu diciptakan
oleh sistem pemerintahan yang baru ini.

1

Peneliti adalah mahasiswa Universitas Airlangga. Berdomisili di Jalan Gubeng Kertajaya 10 No. 6 Gubeng,
Surabaya. Email: [email protected].

1

Harus diakui bahwa demokrasi yang
dijalankan saat ini belum mampu sepenuhnya
mewujudkan kesejahteraan rakyat lewat
penyelenggaraan welfare state . Rupanya

demokrasi Indonesia masih sakit. Banyaknya
pejabat di pusat maupun di daerah yang
terlibat korupsi uang milyaran rupiah
sementara masih terdapat 181 daerah
tertinggal dan sekitar 84% masyarakat
Indonesia hanya mampu berbelanja di bawah
Rp 1 juta per bulan (BPS, 2013). Hal tersebut
dikarenakan hingga saat ini praktik-praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjadi
patologi birokrasi yang sangat sulit untuk
disembuhkan. Banyak kebijakan-kebijakan
dari para elit di negeri ini yang masih belum
berpihak pada masyarakat kecil. Kebanyakan
kebijakan yang ada saat ini dibuat oleh
eksekutif dan legislatif yang tidak
mencerminkan aspirasi dari konstituen
mereka, akan tetapi kebijakan-kebijakan
yang mereka ciptakan lebih condong untuk
kepentingan kelompok dan golongan mereka
sendiri. Rakyat kecil masih termarginalkan

dan kedudukan mereka di depan birokrat
sangatlah lemah.
Oleh karena itu kedudukan masyarakat
sipil perlu diperkuat dengan kembali
memaknai ulang hakikat demokrasi yang
sesungguhnya.
Selama
ini
hak-hak
masyarakat untuk berbicara ataupun
mengeluarkan pendapat di depan umum
belum sepenuhnya terjamin. Demokrasi pada
hakekatnya merupakan pemerintahan oleh
rakyat dan karenanya masyarakat harus
diberikan ruang yang selebar-lebarnya untuk
menyampaikan pendapat, usulan dan aspirasi
mereka sehingga nantinya kebijakan
pemerintah tidak lagi merupakan kebijakan
yang mengandung kepentingan dari


golongan elit di negeri ini, akan tetapi
kebijakan yang murni didesain untuk
kesejahteraan masyarakat.
Pada level pemerintahan daerah,
demokrasi
secara
langsung
perlu
dipertimbangkan untuk diterapkan di seluruh
daerah di Indonesia agar ada mekanisme
kontrol dan saling berimbang antara
pemerintah daerah dengan masyarakat di
daerah. Hal ini menjadi penting karena
desentralisasi yang sesungguhnya adalah
dijalankan oleh pemerintahan di daerah. Oleh
sebab itu masyarakat di daerah yang paham
betul akan potensi daerah berikut kekurangan
daerahnya harus berani mengemukakan
aspirasi mereka secara langsung dan
pemerintah daerah wajib memiliki inisiatif

untuk mewujudkan hal ini.
Demokrasi secara langsung (direct
democration) sudah berusaha diterapkan oleh
beberapa kepala daerah di Indonesia. Bupati
Bojonegoro, Bupati Kebumen dan Gubernur
Bali merupakan beberapa contoh kepala
daerah yang telah menerapkan proses
demokrasi langsung. Masyarakat di daerah
mereka diberikan hak untuk berbicara dan
menyampaikan aspirasi tanpa melalui
perantara wakil rakyat. Meski dilakukan
dengan metode yang sedikit berbeda-beda
antara satu daerah dengan daerah lainnya
akan tetapi substansi dari langkah-langkah
yang mereka tempuh adalah sama: menjamin
hak-hak masyarakat untuk berpendapat dan
membangun daerahnya. Dengan demokrasi
secara langsung, informasi atau aspirasi yang
diperoleh pemerintah daerah merupakan
informasi langsung dari masyarakatnya atau

dengan kata lain disebut dengan informasi
primer.
Secara langsung pula penyerapan
aspirasi masyarakat dengan melakukan
dialog atau komunikasi dua arah merupakan
bentuk derivasi dari prinsip-prinsip good
2

governance di Indonesia. Paradigma good
governance muncul untuk menandingi
praktik-praktik pemerintahan yang buruk
dengan ditandai maraknya kasus korupsi,
penyalahgunaan
wewenang,
birokrasi
gemuk, pelayanan publik yang tidak berpihak
kepada rakyat dan lain sebagainya (bad
governance). Mengingat masih banyaknya
kepala daerah yang belum melaksanakan
praktik-praktik tata kelola pemerintahan

yang baik yang salah satunya adalah
kebebasan beraspirasi kepada pemerintah
daerah secara langsung dan terbuka, untuk
tujuan tersebut penelitian ini direncanakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
meneliti dan mengetahui lebih jauh best
practice dari Pemerintah Provinsi Bali
(Pemprov Bali), yakni Program Simakrama,
termasuk sejauh mana efektivitas dari
program tersebut dan bagaimana peranan
Program Simakrama dalam mewujudkan
akuntabilitas Pemprov Bali terhadap
masyarakat. Dengan demikian setelah
penelitian ini selesai dilaksanakan dan
hasilnya telah dipublikasikan, harapannya
adalah pemerintah daerah lain bisa
mereplikasi program-program sejenis ini
untuk diterapkan di daerah lain dengan
tentunya disesuaikan dengan kearifan lokal di
masing-masing daerah di Indonesia. Sehinga

dengan demikian masyarakat di seluruh
daerah dapat berperan serta secara langsung
dalam mewujudkan pembangunan di
daerahnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
diuraikan, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
proses
implementasi
Program Simakrama oleh Pemprov Bali?
2. Apa saja kendala dan peluang dari
diimplementasikannya
Program
Simakrama ini?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini yaitu:

1. Mengetahui implementasi Program
Simakrama
dalam
mewujudkan
kebijakan publik deliberatif.
2. Mengetahui apa saja kendala dan
peluang dari diimplementasikannya
Program Simakrama.
1.4 Luaran Yang Diharapkan
Luaran yang kami harapkan dalam
penelitian ini yaitu berupa artikel dan jurnal
ilmiah yang dipublikasikan baik dalam
bentuk cetakan maupun elektronik, sehingga
masyarakat umum termasuk birokrat di
daerah lain di Indonesia dapat mengakses
dengan mudah dan dengan biaya yang murah.
Tujuannya agar masyarakat dan pemerintah
daerah di seluruh Indonesia dapat membaca
dan mengetahui penemuan kami tentang
mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat

dengan Program Simakrama ini, sehingga
pemerintah daerah lain dapat mencontoh dan
mengambil pelajaran dari berjalannya
Program Simakrama Pemerintah Provinsi
Bali, harapannya agar pemerintah daerah lain
di seluruh Indonesia dapat terinspirasi untuk
menyusun program serupa yang disesuaikan
dengan kearifan lokal masing-masing daerah.
1.5 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh
dalam penelitian ini yaitu:
1. Setelah mengetahui bagaimana langkah
Pemprov
Bali
dalam
mengimplementasikan
Program
Simakrama, pemerintah daerah lain yang
masih membatasi hak-hak warga
negaranya
dalam
menyampaikan
aspirasi akan terdorong untuk mendesain
program sejenis untuk menjamin hakhak
masyarakatnya
dalam
menyampaikan aspirasi.
3

2.

Penelitian tentang Program Simakrama
ini
setelah
dipublikasikan
akan
memberikan gambaran bagaimana
pemerintah daerah berupaya untuk
menyerap aspirasi seluas-luasnya dan
secara langsung ke masyarakat

II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Implementasi Kebijakan
Dari serangkaian proses munculnya
kebijakan publik, dari proses formulasi
hingga proses evaluasi, proses implementasi
kebijakan merupakan salah satu proses yang
penting. Seringkali ada kebijakan di mana
dalam tahap formulasi dan teorinya sangat
bagus
dan
matang,
namun
saat
implementasinya terjadi kesenjangan antara
perencanaan dan pelaksanaannya. Hal
tersebut tentu akan sangat merugikan apabila
sebuah konsep kebijakan tidak diikuti oleh
implementasi
yang
matang
pula.
Implementasi kebijakan harus konsisten
dengan konsepnya sehingga peluang
munculnya kesenjangan antara konsep dan
implementasi dapat diminimalisir (Nugroho,
2002: 618). Implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel dan
masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain.
Dalam pandangan Edward III (1980),
implementasi kebijakan mempunyai 4
(empat) variabel yaitu:
a.

Komunikasi
Implementasi kebijakan mensyaratkan
implementor mengetahui apa yang
harus dilakukan. Apa yang menjadi
tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan kepada kelompok
sasaran sehingga akan mengurangi
distorsi implementasi.

b. Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah
dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan
sumberdaya
untuk
melaksanakan, implementasi tidak
akan berjalan efektif. Sumberdaya
tersebut dapat berwujud sumberdaya
manusia maupun sumberdaya finansial
(Subarsono, 2005).
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karateristik
yang dimiliki oleh implementor seperti
komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
Apabila
implementor
memiliki
disposisi yang baik maka dia akan
dapat menjalankan kebijakan dengan
baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan.
d. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan
kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap implementasi kebijakan.
Struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan redtape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks.
1.2 Kebijakan Deliberatif
Dalam judul penelitian ini terdapat
dua konsep utama yang perlu kita bahas lebih
lanjut yaitu “Democratic Governance ” dan
“kebijakan
deliberatif”.
Democratic
governance menurut Cheema (2005)
merupakan area proses yang diciptakan oleh
pemerintahan
suatu
negara
dimana
pemerintah negara tersebut memberikan
ruang yang seluas-luasnya kepada warga
4

negaranya untuk berperan aktif dalam
merumuskan regulasi, kebijakan, struktur
sosial, implementasi dan konsensus.
Pemerintahan yang demokratis yang
dulunya belum begitu banyak dibicarakan
oleh banyak oarng namun sekarang mulai
ramai diperbincangkan oleh kalangan
ilmuwan dan birokrat. Hal itu dikarenakan
dinamika politik, ekonomi, dan budaya yang
sangat tinggi dalam dekade terakhir ini
membuat kemampuan pemerintah untuk
menjawab kebutuhan masyarakat menjadi
semakin kedodoran. Semakin lama semakin
banyak kebutuhan masyarakat yang tidak
bisa diselenggarakan oleh pemerintah.
Di lain pihak, kapasitas masyarakat sipil
(civil society) dan pasar untuk menjawab
kebutuhan masyarakat menjadi semakin
tinggi (Mardiyanta, 2011: 261). Oleh sebab
itu saat ini ada kecenderungan di awal abad21 ini secara dramatis mulai muncul lagi
kesadaran orang akan pentingnya demokrasi
di tingkat lokal (Sisk, 2001: 1). Maraknya
kembali minat pada prinsip dan prosedur
pemerintahan demokratis yang menyentuh
akar kehidupan masyarakat bisa dipandang
sebagai suatu langkah kembali ke dasar
hakiki dari teori dan praktik demokrasi itu
sendiri. Peran serta langsung warga
masyarakat sesungguhnya adalah dasar bagi
terpeliharanya kehidupan bermasyarakat
yang sehat. Masyarakat mutlak berhak
menyuarakan pendapat dan keluhan mereka,
dan di lain pihak para pemuka politik pada
setiap pemilu reguler harus menunjukkan
akuntabilitas mereka serta memberikan
respons positif pada setiap musyawarah dan
dialog dengan publik.
Di pentas perpolitikan lokal itulah makna
sejati demokrasi – yakni kekuasaan di tangan

rakyat – memperoleh roh dan wujud yang
nyata. Menilik kembali ke belakang, ada dua
mazhab filsafat yang menerangkan dua
konsep demokrasi lokal yang agak saling
bertolak belakang. Mazhab pertama, yang
sejarahnya dapat dikaitkan dengan filsuf
Perancis Jean Jacques Rousseau, memandang
demokrasi sebagai keterlibatan langsung
warga masyarakat dalam hampir semua
urusan yang menyangkut kehidupan umum.
Rousseau berkeyakinan bahwa peran serta
seluruh warga masyarakat akan bisa
mengungkapkan aspirasi umum mereka
semua, dan bahwa cara terbaik untuk
menentukan kehendak umum warga adalah
melalui kekuasaan di tangan mayoritas (Sisk,
2001: 16).
Akan tetapi, banyak pendapat yang
mengatakan bahwa sistem dan bentuk
pemerintahan lokal di masa sekarang sudah
terlalu “besar” untuk mengakomodasi
keterlibatan langsung warga masyarakat.
Wujud demokrasi terbaik dan paling praktis
yang bisa kita harapkan adalah demokrasi
perwakilan, yang di dalamnya warga
memilih calon wakil mereka atau partai
politik yang membuat keputusan otoritatif
bagi seluruh masyarakat. Banyak pihak yang
berpendapat bahwa demokrasi perwakilan
paling cocok diterapkan untuk demokrasi
lokal.
Seiring waktu berjalan, demokrasi
perwakilan juga ternyata belum mampu
mengatasi segala permasalahan pemerintah
yang muncul di tingkat lokal maupun
nasional. DPRD sebagai lembaga legislatif
yang seharusnya mengontrol jalannya
pemerintahan agar selalu sesuai dengan
aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya
merusak dan mengkondisikan eksekutif
5

untuk
melakukan
penyimpanganpenyimpangan terhadap aturan – aturan yang
berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan
anggaran agar menguntungkan dirinya, serta
setiap kegiatan yang seharusnya digunakan
untuk
mengontrol
eksekutif,
justru
sebaliknya digunakan sebagai kesempatan
untuk “memeras” eksekutif sehingga
eksekutif perhatiannya menjadi lebih
terfokus untuk memanjakan anggota DPRD
dibandingkan
dengan
masyarakat
keseluruhan (Kartiwa, Tanpa Tahun: 1).
Untuk
menghindari
terjadinya
penyimpangan oleh pemerintah dalam
melaksanakan segala fungsinya, maka
masyarakat perlu untuk dilibatkan lebih
dalam segala proses atau kegiatan
pemerintahan. Pemerintah harus bergerak
beriringan dengan masyarakat sehingga ada
mekanisme check and balance. Hanya saja
saat ini masyarakat di beberapa daerah dalam
menyuarakan aspirasinya masih diwakilkan
oleh wakil rakyat. Kecenderunganyya selama
ini adalah para wakil rakyat di parlemen tidak
betul-betul mewakili kepentingan konstituen
mereka, tetapi lebih kepada kepentingan
partai yang membawa mereka ke kursi
parlemen. Dengan langkah demikian, maka
akan tercipta proses demokrasi secara
langsung yang kemudian akan bermuara pada
terciptanya kebijakan publik deliberatif yang
merupakan bentuk derivasi dari demokrasi
deliberatif.
Demokrasi
deliberatif
mengutamakan penggunaan tata cara
pengambilan keputusan yang menekankan
musyawarah dan penggalian masalah melalui
dialog dan tukar pengalaman di antara para
pihak dan warga negara (Mardiyanta, 2011:
268). Dengan demikian akuntabilitas
pemerintahan daerah bisa diwujudkan.

III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Tipe Penelitian
Dalam proses penelitian ini peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif,
yaitu sebuah metode penelitian yang
menghasilkan data deskriptif mengenai katakata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku
yang dapat diamati dari orang-orang yang
diteliti (Taylor dan Bogdan, 1984:5). Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk memahami
secara rinci berbagai hal yang berkaitan
dengan
dinamika
kehidupan
sosial
seseorang/masyarakat
serta
berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek
sesuai dengan apa adanya (dalam hal ini yaitu
penyerapan aspirasi masyarakat secara
langsung oleh Gubernur Bali).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi yang akan kami teliti yaitu di
Kantor Pemerintah Provinsi Bali dan di
kediaman masyarakat, serta beberapa tempat
lain yang sering mereka gunakan dalam
beraktivitas.
3.3 Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan dalam
penelitian ini yaitu menggunakan teknik
purposive. Penentuan informan dengan
pertimbangan merupakan teknik penentuan
informan dengan mengambil informan hanya
yang sesuai dengan tujuan penelitian.
informan ini digunakan jika dalam upaya
memperoleh data tentang fenomena atau
masalah yang diteliti memerlukan sumber
data yang memilki kualifikasi spesifik atau
kriteria khusus berdasarkan penilaian
tertentu, dan tingkat signifikansi tertentu,
dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu
Biro Humas Pemprov Bali, ketua desa
pakraman dan stakeholder terkait.
Teknik ini biasanya dilakukan karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan dana
sehingga tidak dapat mengambil sampel yang
6

besar seperti “seluruh masyarakat dan
birokrat yang terliabt dalam kegiatan
Simakrama” sehingga kami perlu membatasi
informan penelitian dengan syarat/kriteria
tertentu. Keuntungan dari pada teknik ini
adalah terletak pada ketepatan peneliti
memilih sumber data (informan) sesuai
dengan variabel yang diteliti (Arikunto,
2002). Selain itu menurut pernyataan Strauss
(2009) bahwa penelitian kualitatif tidak dapat
dipaksakan, tergesa-gesa, dan buru-buru
(Denzin, 2009:295).
Oleh karena keterbatasan waktu,
tenaga, dan dana dalam penelitian ini, maka
teknik purposive adalah teknik yang kami
rasa paling tepat. Adapun kriteria informan
yang akan kami jadikan sebagai informan
subjek dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengerti asal mula dicetuskannya
Program Simakrama;
2. Stakeholder perumus kebijakan;
3. Pernah
mengikuti
Program
Simakrama; dan
4. Masyarakat
yang
pernah
menyampaikan aspirasi di Program
Simakrama.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Agar pengumpulan data dan informasi
berjalan efektif dan efisien dilakukan dengan
tiga tahapan yaitu wawancara mendalam,
observasi dan dokumentasi.
3.5 Teknik Pemeriksaan Keabsahan
Data
Pemeriksaaan keabsahan data pada
penelitian ini digunakan teknik triangulasi
sumber data, dilakukan dengan: (a)
membandingkan data hasil pengamatan dan
hasil wawancara, (b) membandingkan apa
yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi, (c)
membandingkan keadaan dalam perspektif
seseorang dengan pendapat dan pandangan

orang lain, (d) membandingkan hasil
wawancara dengan isi dokumen.
3.6 Teknik Pengolahan Data
Teknik
pengolahan
data
yang
digunakan adalah teknik pengolahan data
kualitatif. Seluruh hasil pengamatan dan
wawancara mendalam dibuatkan transkrip.
Transkrip adalah uraian dalam bentuk tulisan
yang rinci dan lengkap mengenai apa yang
dilihat dan didengar baik secara langsung
maupun dari hasil rekaman. Untuk
wawancara mendalam, transkrip harus dibuat
denga enggunakan bahasa sesuai hasil
wawancara (bahasa daerah, bahasa asing,
bahasa khusus, dan lain-lain).
3.7 Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik
analisis data kualitatif mengikuti Miles dan
Huberman (1992:15-21). Analisis ini terdiri
dari tiga alur yaitu: (a) reduksi data, yang
diartikan
sebagai
proses
pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan, (b) Penyajian data dilakukan
dengan menggunakan bentuk teks naratif, (c)
penarikan kesimpulan. Data yang diperoleh
dilakukan pemaparan serta interpretasi secara
mendalam.
IV. Hasil Yang Dicapai
4.1 Implementasi Program Simakrama
Program Simakrama Pemerintah
Provinsi Bali merupakan suatu acara yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi
Bali pada masa kepemimpinan gubernur I
Made Mangku Pastika secara rutin tiap
bulannya dengan tujuan utama adalah
menyerap aspirasi masyarakat di Provinsi
Bali sekaligus memastikan kebijakan atau
program yang dicanangkan oleh gubernur
Bali telah terlaksana sesuai dengan rencana
7

dan tepat sasaran. Program ini ditilik dari
awal mula berjalannya bermula pada tahun
2008 (Wawancara tanggal 22 April 2015).
Menurut keterangan dari salah
seorang informan, yakni Bapak I Ketut
Dempet,
seorang
staf
kepegawaian
Inspektorat Wilayah Bali yang terlibat
langsung selama awal implementasi program
Simakrama, program ini bermula dari debat
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada)
Provinsi Bali pada tahun 2008 silam yang
diselenggarakan oleh Universits Udayana.
Pada saat sesi tanya-jawab dengan panelis
debat, seorang panelis dari kalangan
akademisi Universitas Udayana Denpasar
mengajukan pertanyaan tentang bagaimana
cara atau kiat para calon kepala daerah
memastikan bahwa kebijakan yang mereka
buat akan dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan dan tepat sasaran. Dengan kata
lain, para calon kepala daerah Provinsi Bali
yang terdiri dari 3 (tiga) pasang calon kala itu
ditantang menjabarkan langkah-langkah
mereka ke depannya guna memastikan
program yang mereka rancang tidak
menyimpang atau mengalami kegagalan.
Kala itu, calon kepala daerah Bali, I
Made Mangku Pastika yang berpasangan
bersama Anak Agung Ngurah Puspayoga,
yang pada akhirnya kemudian keluar sebagai
pemenang Pemilukada Provinsi Bali 2008
memaparkan kepada panelis bahwa untuk
memastikan program dan kebijakan yang
mereka rancang akan tepat menemui sasaran
mereka akan melaksanakan program
semacam open house yang mereka beri nama
Simakrama (Wawancara tanggal 22 April
2015). Menurut Made Mangku Pastika,
program Simakrama diadakan tidak hanya
untuk memastikan kebijakan akan tepat
menemui sasaran, tetapi juga untuk
menyerap aspirasi dari seluruh elemen
masyarakat demi menyukseskan program

yang ia buat sekaligus tidak tertutup
kemungkinan dari aspirasi masyarakat
tersebut akan lahir program-program lainnya
yang mendukung pembangunan di Bali (Bali
Post, 22 Agustus 2009).
Secara etimologi, simakrama berasal
dari urat kata sima yang berarti adat atau
kebiasaan setempat, sedangkan karma
mempunyai arti anggota/orang dan resmi.
Jadi simakrama berarti pertemuan adat yang
bersifat resmi atau dalam Bahasa Indonesia
juga berarti bersilahturahmi (Wawancara
tanggal 22 April 2015). Dengan demikian,
simakrama sejatinya hanya merupakan istilah
dan bukanlah suatu konsep baku. Simakrama
jika dilihat esensinya adalah sama dengan
kegiatan silahturahmi dalam masyarakat
muslim di Indonesia atau open house dalam
kebudayaan Barat. Yang menjadikannya
berbeda dengan kegiatan pertemuan lainnya
adalah dalam program Simakrama ini
masyarakat diajak, bahkan dipersilahkan
untuk menyampikan aspirasi, saran, keluhan
dan masukan kepada pemerintah guna
ditindaklanjuti oleh jajaran terkait.
Dari proses penggalian data dan
interpretasi didapat informasi bahwa
Program Simakrama mulai efektif berjalan
pada bulan September tahun 2008. Ini berarti
program Simakrama telah rutin dilaksanakan
semenjak Gubernur Bali Made Mangku
Pastika resmi terpilih pertama kali sebagai
gubernur hingga kini periode kedua ia
menjabat gubernur. Lebih jauh dikemukakan
jika program ini sebenarnya bukanlah
merupakan program utama dari serangkaian
program kerja yang dicanangkan oleh Made
Mangku Pastika. Akan tetapi, program
Simakrama
ini
diadakan
sebagai
“penyeimbang” sekaligus “pengontrol” dari
beberapa kebijakan yang ia buat. Dengan
kata lain, program Simakrama ini adalah
sarana bagi gubernur guna memastikan
8

beberapa kebijakan yang ia jalankan telah
sesuai dengan tujuan dan tidak melenceng
ketika diimplementasikan.
Dalam
perjalanannya,
program
Simakrama ini konsekutif dilaksanakan
setiap bulan dan dengan lokasi yang berbedabeda di setiap bulannya, sesuai dengan
rencana awal ketika program disusun. Setiap
bulan panitia yang kemudian disebut “Tim
Simakrama Provinsi” yang melaksanakan
program ini mengusahakan Simakrama
digelar di lokasi yang berbeda-beda dengan
tujuan mencakup seluruh lapisan atau elemen
masyarakat dan tidak terpusat di satu lokasi
saja (Wawancara tanggal 22 April 2015).
Menurut I Ketut Dempet, Tim
Simakrama Provinsi ini terdiri dari 6 instansi
yang tergabung di dalamnya, yakni, dari
Inspektorat Wilayah Bali, Biro Umum dan
Protokol, Biro Humas, Badan Kesatuan
Bangsa Politik dan Lingkungan Masyarakat
(Bakesbangpol dan Linmas), Satpol PP,
DAN Dinas Perhubungan Provinsi. Apabila
program Simakrama diadakan di provinsi
(ibu kota) atau kabupaten maka Tim
Simakrama mendapatkan bantuan 2 (dua)
instansi lagi yang bergabung, yakni,
Sekretariat DPRD Provinsi Bali dan Biro
Kesejahteraan Rakyat (Kesra).
Adapun tugas-tugas dari tiap instansi
yang tergabung dalam Tim Simakrama
tersebut adalah sebagai berikut (Data
wawancara 22 April 2015, diolah):
1. Inspektorat Wilayah pada saat
pelaksanaan program Simakrama
bertugas untuk menerima peserta
Simakrama (registrasi peserta) dan
mengumpulkan serta meneruskan
keluhan, pertanyaan dan masukan
dari masyarakat yang mengikuti
program Simakrama ke kepala

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) terkait.
Biro Umum dan Protokol pada saat
pelaksanaan program Simakrama
bertugas menyediakan konsumsi
berupa nasi jinggo. Untuk dibagikan
kepada peserta yang hadir pada saat
Simakrama.
Mengumpulkan
pertanyaan, masukan, saran dan
kritik dari masyarakat untuk
kemudian diteruskan ke Inspektorat
Wilayah Bali.
Biro Humas pada saat pelaksanaan
program
Simakrama
bertugas
menyebarluaskan
dan
mempublikasikan
kegiatan
Simakrama melalui media massa
baik cetak maupun media elektronik.
Selain itu Biro Humas juga bertugas
untuk merancang acara hiburan atau
acara
selingan
agar
peserta
Simakrama tidak merasa bosan.
Bakesbanglinmas
pada
saat
pelaksanaan program Simakrama
bertugas
mengkoordinasikan
keamanan.
Baik
berkoordinasi
dengan kepolisian atau petugas
kemanan lainnya seperti Satpol PP.
Dinas Perhubungan Informasi dan
Komunikasi pada saat pelaksanaan
program
Simakrama
bertugas
menyediakan sound system.
Biro Kesra menyiapkan petugas
pemandu pelaksanaan Puja Tri
Sandhya pada akhir pelaksanaan
Simakrama.
Sekretariat DPRD Provinsi pada saat
pelaksanaan program Simakrama di
Ibu Kota Denpasar bertugas
menyiapkan tempat pelaksanaan
9

Simakrama yang biasanya digelar di
wantilan DPRD Provinsi.
Kemudian,
untuk
mekanisme
implementasi program Simakrama menurut I
Ketut Dempet, selalu diawali dengan
penyerahan nota dinas dari Inspektorat
Wilayah Provinsi Bali kepada gubernur.
Dalam nota dinas tersebut, inspektorat
memilih lokasi yang akan dituju pada saat
pelaksanaan Simakrama, kemudian beberapa
hari setelahnya akan ada jawaban dari
gubernur terkait nota dinas tersebut. Apabila
gubernur tidak bisa atau berhalangan untuk
menggelar Simakrama, maka Simakrama
akan ditunda untuk bulan tersebut dan akan
dicarikan
penggantinya
pada
bulan
berikutnya.
Sedangkan apabila dari nota dinas
tersebut ternyata gubernur tidak berhalangan
dan siap untuk menggelar Simakrama maka
kemudian Inspektorat Wilayah akan
menindaklanjutinya dengan bersurat kepada
kepala daerah yang dituju untuk pelaksanaan
Simakrama. Di sini, kepala daerah turut
menentukan apakah Simakrama akan bisa
dilaksanakan atau tidak, hal ini bergantung
pada kesibukan dan ketersediaan waktu dari
kepala daerah yang dituju untuk pelaksanaan
Simakrama. Apabila ternyata kepala daerah
tertuju berhalangan untuk menghadiri
Simakrama
maka
praktis
program
Simakrama di daerah yang ia pimpin akan
urung dilaksanakan. Secara garis besar
berikut ini disajikan bagan mengenai alur
mekanisme pelaksanaan program Simakrama
Pemerintah Provinsi Bali:
Bagan 1.1 Alur Mekanisme
Pelaksanaan Program Simakrama

Inspektorat Wilayah
Bali

Gubernur Bali

Diundur

Bupati/Walikota
yang Dituju

Selama ini Terlaksana
saat pelaksanaan program
Batal
Simakrama memang sengaja mengundang
seluruh kepala daerah beserta jajarannya agar
mereka bisa secara langsung mendengarkan
aspirasi masyarakat bersama dengan
gubernur. Sementara itu jika kepala daerah
tidak berhalangan maka hampir dipastikan
kegiatan Simakrama akan berjalan sesuai
dengan rencana. Selama pelaksanaan
program Simakrama sejak tahun 2008 hingga
2014, tercatat dari dokumen tertulis milik
Inspektorat Wilayah Bali bahwa program
Simakrama sejak tahun 2008 telah
menjangkau
seluruh
daerah
di
kabupaten/kota di Bali.
Akan tetapi dari hasil wawancara
mendalam dan studi dokumen, peneliti
sejauh ini menemukan bahwa program
Simakrama dilaksanakan lebih banyak
mengambil porsi di Kota Denpasar. Untuk
daerah
atau
kabupaten
lain
tetap
dilaksanakan, namun frekuensinya tidak
sesering di Denpasar. Dengan kata lain,
program Simakrama belum mampu begitu
menyebar di beberapa daerah di Bali
diakibatkan beberapa kendala sehingga
persentase pelaksanaan program ini secara
lokasi lebih sering diadakan di Kota
Denpasar sebagai basis pemerintahan dan
ekonomi di Bali.
Hal ini tentunya sangat disayangkan
mengingat pemerintah seharusnya tidak
hanya menyerap aspirasi masyarakat yang
berada di daerah perkotaan, tetapi juga harus
10

memerhatikan aspirasi dari daerah yang
termasuk kategori daerah tertinggal dan perlu
tersentuh kebijakan pemerintah. Hal ini
terkait dengan program Simakrama untuk
menyerap aspirasi, keluhan dan masukan dari
masyarakat untuk menyukseskan kegiatan
pembangunan
di
daerah
mereka.
Sepantasnya, program Simakrama harus
lebih sering diadakan di luar Kota Denpasar
dan perlu lebih menjangkau masyarakat yang
ada di daerah perbatasan dan terpencil di
Bali.
Ditinjau dari teori implementasi
kebijakan Edward III (1980), implementasi
program Simakrama dapat ditinjau dari 4
(empat) hal, yakni komunikasi, struktur
birokrasi, disposisi dan sumber daya. Dari
komunikasi,
implementor
program
Simakrama mengetahui apa saja tugas-tugas
yang harus mereka lakukan dan ada
komunikasi yang jelas terhadap tugas
masing-masing. Implementor dari program
Simakrama ini adalah diantarnya Inspektorat
Wilayah Bali, Biro Umum dan Protokol, Biro
Humas, Biro Kesra, Dinas Perhubungan dan
Bakesbanglinmas. Kemudian, kelompok
sasaran (masyarakat) pun mengetahui apa
maksud dan tujuan dari program ini.
Sehingga dari segi komunikasi program
Simakrama ini telah berjalan dengan baik.
Hal yang perlu dibenahi dari komunikasi
adalah komunikasi dengan kepala daerah
yang latar belakang partai politiknya berbeda
dengan gubernur, penyampaian maksud dan
tujuan program Simakrama harus lebih
diintensifkan lagi.
Dari aspek sumber daya, baik sumber
daya manusia maupun sumber daya finansial,
seluruhnya sudah mendukung pelaksanaan
program Simakrama ini. seperti yang
dijelaskan oleh Bapak I Ketut Dempet yang
dikutip dari wawancara peneliti dengan
beliau sebagai berikut:

“Nggih.. ya jadi dukungan sumber daya
manusia dan keuangan itu sudah bagus.
Dari tenaga di lapangan kita ndak
pernah kekurangan tenaga, semua
saling back up kenten. Kalo dari
dukungan dana tyang rasa sih sangat
mencukupi
karena
pelaksanaan
Simakrama niki nggak memerlukan
biaya yang sangat besar, paling untuk
konsumsi dan perjalanan saja kalau ke
luar daerah. Yah dananya bisa dicover
gitu lah..” (Wawancara tanggal 22
April 2015).
Menurut keterangan dari Bapak I Ketut
Dempet, program Simakrama tidak memiliki
kendala yang berarti dari segi sumber daya.
Karena dana dan tenaga yang diperlukan
untuk pelaksanaan program Simakrama
sudah disiapkan secara matang.
Untuk aspek disposisi atau watak dan
karakteristik pelaksana, seperti komitmen,
kejujuran, sifat demokratis sudah dimiliki
oleh implementeor program Simakrama ini.
Terlebih program ini muncul dari niat
gubernur Bali sendiri untuk mau terbuka dan
mempertanggungjawabkan
kinerjanya
kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Dengan
demikian,
disposisi
seperti
komitmen dan sifat demokratis sudah
melekat pada implementor program
Simakrama, yaitu Bapak Gubernur Bali I
Made Mangku Pastika beserta jajarannya.
Sedangkan dari segi struktur
birokrasi, program Simakrama ini didukung
birokrasi yang fleksibel dan sangat luwes.
Program ini bahkan bertujuan untuk
memangkas birokrasi yang kerap menjadi
penghalang
bagi
masyarakat
untuk
menyuarakan aspirasi dan pendapat mereka.
Dalam implementasinya, struktur birokrasi
yang ada di pemerintahan Provinsi Bali
saling terkoordinasi dan tidak mempersulit

11

pelaksanaan atau implementasi dari Program
Simakrama.
4.2
Program Simakrama: Tantangan
dan Peluang
Seperti yang sudah diutarakan pada
sub
bahasan
sebelumnya,
program
Simakrama ini sebagaimana laiknya program
atau kebijakan yang lainnya mempunyai
kendala disamping peluang untuk terus bisa
ajeg. Kendala atau tantangan terbesar dari
implementasi program ini adalah kesesuaian
waktu antara gubernur/wakil gubernur
dengan kepala daerah tertuju. Menurut
keterangan dari Bapak I Ketut Dempet, faktor
yang acap kali menyebabkan Simakrama
urung dilaksanakan adalah tidak sinkronnya
antara jadwal yang dimiliki oleh gubernur
atau wakil gubernur dengan kepala daerah.
Hal ini pula dari hasil interpretasi data
wawancara merupakan salah satu penyebab
kegiatan
Simakrama
lebih
sering
dilaksanakan di ibu kota provinsi (Denpasar).
Simakrama di Kota Denpasar lebih mudah
dilaksanakan karena jaraknya yang relatif
dekat dengan pusat kegiatan pemerintahan
pada level provinsi (Wawancara 22 April
2015). Selain itu apabila Walikota Denpasar
atau salah satu perwakilannya tidak bisa
hadir saat Simakrama maka tidak menjadi
masalah jika Simakrama diadakan tanpa
Walikota Denpasar dan hanya melibatkan
gubernur atau wakil gubernur saja. Hal ini
karena Kota Denpasar juga merupakan
termasuk dalam wilayah kerja Gubernur Bali
sekaligus tempat kantor gubernur berlokasi.
Selain itu, tantangan lainnya terkait
implementasi program Simakrama adalah
berbedanya pandangan politik atau latar
belakang politik antara gubernur dengan
kepala daerah tujuan Simakrama. Dari hasil

analisis dokumen, program Simakrama lebih
sering diadakan atau lebih tepatnya
terlaksana tanpa hambatan jika dilaksanakan
di kabupaten atau kota yang kepala
daerahnya berasal dari partai politik yang
sama dengan gubernur. Sebagai contoh dari
hasil rekapan lokasi Simakrama yang peneliti
dapatkan dari Inspektorat Wilayah Provinsi
Bali, Program Simakrama terlihat jarang
dilaksanakan di Kabupaten Tabanan yang
merupakan basis dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), sementara I
Made Mangku Pastika pada saat terpilih
kedua kalinya sebagai gubernur Bali diusung
oleh koalisi antara partai Demokrat dan
Partai Golkar serta beberapa partai kecil
lainnya. Temuan ini hanya berlaku untuk
beberapa daerah dan tidak bisa digeneralisir,
karena di beberapa daerah yang menjadi
basis partai politik oposisi dari gubernur
ternyata kegiatan Simakrama tetap lancar
dilaksanakan, contoh untuk kasus ini adalah
di Denpasar yang juga merupakan salah satu
basis pendukung PDIP di Bali.
Tantangan berikutnya dan sekaligus
yang paling penting adalah mengenai
keberlanjutan (sustainability) dari program
Simakrama ini. Seperti yang telah dijelaskan
di awal, program ini merupakan murni
diinisiasi oleh gubernur Bali petahana I Made
Mangku Pastika. Pertanyaan terbesar dari
program ini adalah apakah setelah masa
baktinya habis pada tahun 2019 nanti
program Simakrama akan tetap eksis ataukah
program ini akan menghilang seiring dengan
berakhirnya tugas I Made Mangku Pastika
sebagai gubernur Bali.
Dari hasil interpretasi kutipan
wawancara, diperoleh informasi jika
kemungkinan besar setelah lengsernya
12

Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali tahun
2019
nanti
keberlanjutan
program
Simakrama bergantung pada siapa sosok
yang akan meneruskan kiprah Made Mangku
Pastika sebagai gubernur Bali. Apabila pada
tahun 2019 nanti yang terpilih adalah tokoh
baru atau nama baru dalam peta perpolitikan
di Bali yang selama ini berseberangan
dengan Made Mangku Pastika, maka
kemungkinan besar program Simakrama ini
tidak akan dilanjutkan. Hal ini dapat
dipahami karena program Simakrama
merupakan ide yang datangnya bersifat
sangat personal dari Made Mangku Pastika,
sehingga konsep serta idenya adalah sangat
cocok
jika
dibawakan
atau
diimplementasikan oleh Made Mangku
Pastika sendiri dan mungkin sangat tidak
cocok atau bahkan kontradiksi jika
diimplementasikan oleh orang lain, terlebih
orang tersebut memiliki ideologi yang
berbeda sama sekali dengan Made Mangku
Pastika yang dikenal sebagai pemimpin yang
deliberatif
melalui
program
dan
kebijakannya seperti program Simakrama
dan Podium Bali Bebas Bicara.
Namun,
apabila
sosok
yang
melanjutkan kiprah Made Mangku Pastika
sebagai gubernur nanti adalah orang dekat
dari dirinya, atau bahkan jika wakil gubernur
saat ini, yaitu Ketut Sudikerta mampu
menjadi suksesor dari Made Mangku Pastika,
maka sangat besar peluang program
Simakrama untuk tetap dilanjutkan pada era
kepemimpinannya (Wawancara 22 April
2015) atau yang dalam ilmu kebijakan
(policy sciences) lebih popular disebut
sebagai kebijakan inkrementalis (Jones
dalam Wahab, 2005: 29). Terlepas dari
ketidakpastian dari apakah program iin akan

tetap ada meski Made Mangku Pastika tidak
menjabat lagi sebagai orang nomor satu di
Bali, program ini hendaknya tetap ada atau
dilanjutkan siapapun pemimpin Bali ke
depannya. Karena dengan mekanisme
demokrasi langsung tanpa melalui wakil
rakyat inilah seluruh keluh kesah, pendapat,
ide-ide dan aspirasi dari warga masyarakat
bisa didengar oleh pemimpin mereka tanpa
melalui proses politik nan panjang dan
berliku di parlemen.
Terkait peluang dari pelaksanaan atau
implementasi program Simakrama ini, dari
perjalanan program ini sedari awal telah
terbuka peluang untuk direplikasi di daerahdaerah lain. Hanya saja selama ini beberapa
pemerintah
daerah
yang
berupaya
mereplikasi atau pun meniru pelaksanaan
program Simakrama hanya berasal dari
kabupaten di Bali. Contoh daerah yang telah
ikut
melaksanakan
konsep
program
Simakrama dengan beberapa modifikasi
sesuai ciri khas daerah masing-masing adalah
seperti Bupati Jembrana (Antara, 2 Agustus
2011) dan Bupati Buleleng (Antara, 26
Agustus 2011). Sementara itu, upaya
replikasi konsep program Simakrama dari
daerah di luar Bali sejauh ini belum ada
(Wawancara tanggal 22 April 2015). Hal ini
disebabkan program Simakrama selama ini
masih minim publikasi di luar daerah
utamanya di luar Pulau Bali sehingga banyak
daerah lainnya di Indonesia yang belum
mengetahui program Simakrama ini.
Pemberitaan program Simakrama masih
terkonsentrasi pada beberapa media lokal di
Pulau Bali saja.
Sementara itu, tidak dapat dimungkiri
sejatinya program Simakrama ini tidak
berbeda jauh dengan program penyampaian
13

aspirasi secara terbuka seperti di daerah lain
semisal acara Dialog Publik Bupati
Bojonegoro, Suyoto, di pendopo Kabupaten
Bojonegoro tiap hari Jumat pada siang hari
setelah ibadah shalat Jumat (Kompas, 8 Mei
2014). Dalam program Simakrama ini
sepanjang observasi yang dilakukan peneliti
memiliki pola yang hampir serupa dengan
kegiatan Dialog Publik Bupati Suyoto.
Perbedaannya adalah program Simakrama
dilaksanakan
secara
marathon
atau
berkeliling di hampir seluruh kabupaten/kota
di Bali sementara Dialog Publik Bupati
Suyoto masih terpusat di pendopo kabupaten.
Dari peluang dan tantangan tersebut,
program Simakrama sejatinya masih bisa
terus ada karena masyarakat sangat
membutuhkan program seperti ini. Programprogram seperti Simakrama di Bali dan
Dialog Publik di Bojonegoro berpeluang
menumbuhkan tradisi demokrasi tanpa sekat
yang selama ini masih jarang ditemui dalam
pemerintahan pusat maupun pemerintahan
daerah di Indonesia yang menganut sistem
demokrasi perwakilan. Selama ini memang
kemunculan program-program demokrasi
langsung seperti Dialog Publik ataupun
Simakrama selalu diawali dengan political
will kepala daerah untuk mau terbuka dan
accountable terhadap masyarakat serta
program kerja mereka.
V. Penutup
5.1 Kesimpulan
Penelitian
ini
sampai
pada
kesimpulan bahwa implementasi program
Simakrama selama ini telah sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi deliberatif. Di
mana masyarakat mempunyai peran yang
besar untuk turut ambil bagian dalam proses
formulasi kebijakan. Dengan emtode tatap

muka danj penyampaian aspirasi serta
pendapat secara langsung, masyarakat tidak
dibatasi sekat-sekat untuk menyuarakan
pandangan mereka sekaligus meminta
pertanggungjawaban kepada gubernur atas
kinerja gubernur selama bertugas.
Dari segi komunikasi, struktur
birokrasi, disposisi dan sumber daya,
program Simakrama telah didukung oleh
keempat aspek tersebut. Struktur birokrasi
yang fleksibel dan luwes, komunikasi dua
arah dan pemahaman dari masyarakat akan
tujuan serta maksud program ini, disposisi
yang kuat dari implementor, serta sumber
daya yang memadai telah mendukung
implementasi program Simakrama semenjak
tahun 2008 hingga saat ini.
Sementara itu, tantangan dan peluang
dari program ini di lapangan cukup memberi
dampak pada kesuksesan implementasi
Program Simakrama. tantangan seperti masih
sulitnya menyatukan pemahaman antara
gubernur dengan kepala daerah sasaran,
terlebih apabila mereka berebda latar
belakang politik dengan gubernur ditengarai
menjadi salah satu penyebab program
Simakrama kerap jarang digelar di beberapa
daerah tertentu. Selain itu, keberlanjutan
program Simakrama ini setelah insisiator
program ini, yakni Made Mangku Pastika
tidak lagi menjabat sebagai gubernur Bali
masih dipertanyakan. Program Simakrama
kemungkinan besar akan tetap eksis apabila
suksesor dari Made Mangku Pastika
memiliki
visi
yang
sama
untuk
mempertahankan
bentuk
demokrasi
deliberatif seperti yang ada dalam program
Simakrama.
Terkait peluang dari implementasi
Program Simakrama diantaranya adalah,
kebijakan yang dihasilkan oleh gubernur
akan menjadi kebijakan yang deliberatif. Hal
ini dikarnakan ada proses menimbang14

nimbang dan mendegarkan saran dari
pelbagai pihak sebelum formulasi kebijakan
dilakukan. Kebijakan yang deliberatif
berpeluang melanggengkan kekuasaan dari
pembuat kebijakan (kepala daerah) karena
kebijakan yang deliberatif legitimasinya
sangat kuat.
Kemudian, peluang replikasi untuk
program Simakrama selama ini hanya datang
dari beberapa daerah kabupaten di Bali saja
seperti Buleleng dan Jembrana. Di mana
pemimpin di kabupaten tersebut mengadopsi
konsep program Simakrama Pemerintah
Provinsi Bali dengan sedikit modifikasi
sesuai dengan adat istiadat kabupaten
masing-masing.
5.2 Saran
Dari
hasil
interpretasi
data
wawancara sementara ini diperoleh informasi
bahwa program Simakrama ini muncul
sebagai upaya gubernur Bali saat ini I Made
Mangku Pastika untuk menjamin kebijakan
atau program yang ia luncurkan dapat
termonitoring dan mampu mencapai
kelompok sasaran. Adapun tujuan lain dari
program ini adalah menyerap aspirasi
masyarakat di daerah yang mendapat
kunjungan dari program Simakrama.
Peneliti melihat ada kelemahan dari
program ini yakni, masih adanya
ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya.
Program Simakrama dari data sekunder yang
peneliti dapatkan masih terpusat dilakukan di
Kota Denpasar dan cenderung belum begitu
menyebar tiap bulannya. Hal ini dari
interpretasi makna yang dilakukan peneliti
dikarenakan
oleh
beberapa
sebab
diantaranya: perbedaan latar belakang politik
antara gubernur dan bupati, kesibukan bupati
dan gubernur sehingga Program Simakrama
kerap mendapat penundaan di kabupaten.
Kedepannya
disarankan
antara
gubernur dan kepala daerah yang dituju

hendakanya sama-sama memprioritaskan
kepentinga rakyat di atas segalanya daripada
mengutamakan ego sektoral masing-masing
daerah. Kegaitan Simakrama juga sebaiknya
dilaksanakan pada hari Minggu, di mana
masyarakat yang menghadiri program ini
bisa jauh lebih banyak tinimbang program
Simakrama dilaksanakan pada hari kerja.
Selain itu, publikasi hasil pertemuan
antara gubernur dengan masyarakat yang
hadir pada saat program Simarkama digelar
alangkah
lebih
baiknya
senantiasa
dipublikasikan lewat berbeagai media massa
baik cetak maupun elektronik. Dengan
demikian gaung dari Program Simakrama
akan lebih menggema dan peluang
diterapkannya program serupa di daerahdaerah lain utamanya di luar Pulau Bali akan
semakin besar.
Daftar Pustaka
Antara Bali, 2 Agustus 2011, “Bupati Dan
Wakil

Bupati

Jembrana

"Simakrama" Perbekel”.

Antara Bali, 26 Agustus 2011, “Wakil Bupati
Buleleng Gelar Simakrama ”.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Bali Post. 2009. “Simakrama Gubernur”.
Diakses
di
http://www.balipost.co.id/mediade
tail.php?module=detailberita&kid
=10&id=18556. Pada tanggal 22
Mei 2015.
Cheema. G.S 2005. Building Democratic
Institutions: Governance Reform
in
Developing
Countries.Westport:
Kumarian
Press.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln.
2009. Handbook of Qualitative
15

Research. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Diesing, P. 1971. Patterns of Discovery in
The Social Sciences. Chicago:
Aldine-Atherton, Inc.
Kartiwa. H.A. Tanpa Tahun. Implementasi
Peran dan Fungsi DPRD dalam
Rangka
Mewujudkan
“good
governance”. (Makalah).
Kompas, 8 Mei 2014, hal. 2. Demokrasi
Tanpa Sekat ala Kang Yoto.
Mardiyanta. A. 2011. Kebijakan Publik
Deliberatif:
Relevansi
dan
Tantangannya , Jurnal Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik. Vol.24,
Juli-September 2011. Hal. 261271.

Sisk.

T.

D. 2011. Buku Panduan
International IDEA Mengenai
Keterlibatan,
Keterwakilan,
Pengelolaan
Konflik
dan
Kepemerintahan.
Penerjemah:
Arif
Subiyanto.
Jakarta:
AMEEPRO.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2009.
Dasar-dasar Penelitian Kualitatif:
Tatalangkah dan Teknik-teknik
Teoritisasi Data . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Taylor. S.J; Robert Bogdan. 1984.
Introduction
to
Qualitative
Research Methods: The Search for
Meanings. New York: A Wiley
Interscience Publication.

16