BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia 2.1.1. Defenisi Skizofrenia - Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

2.1.1. Defenisi Skizofrenia

  Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal serta memecahkan masalah (Stuart, 2002), sedangkan menurut Hawari (2001) skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.

  Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan biasanya dalam jangka panjang . Skizofrenia merupakan sebuah sindroma kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun anggota – anggota keluarganya. Gangguan ini dapat mengganggu persepsi, pikiran, pembicaraan, dan gerakan seseorang. Nyaris hampir semua aspek fungsinya sehari – hari terganggu (Durand, 2007).

  Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, harus memenuhi kriteria DSM-IV. Berdasarkan DSM-IV yaitu: a.

  Berlangsung paling sedikit enam bulan

  12 b.

  Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi c.

  Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut d.

  Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayaor, autism, atau gangguan organik. (DSM –IV-TR, 2000) Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang baik. Sekitar 25% klien dapat sembuh total dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat, 50-80% klien skizofrenia yang pernah dirawat di RS akan sembuh sosial dan akan kambuh kembali.(Carson & Ross, 2000)

2.1.2. Tipe Skizofrenia

  Berikut ini adalah tipe-tipe dari skizofrenia dari DSM-IV-TR. Diantaranya yaitu sebagai berikut:

a. Tipe Paranoid Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara manapun.

  Gambaran klinis di dominasi oleh waham-waham yang secara relatif stabil, sering kali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. Gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.

  Beberapa contoh dari gejala-gejala paranoid yang paling umum: a). waham kejaran, rujukan (reference), “exalted birth” (merasa dirinya tinggi, istimewa), misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan. b). Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

  c). Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan-keadaan yang akut, tetapi sekalipun demikian kelainan itu tidak menghambat diberikannya deskripsi secara jelas mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif biasanya kurang mengumpul di bandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu derajat yang ringan mengenai ketidakserasian dan gangguan suasana perasaan (mood) seperti iritabilitas, “negatif” serta dorongan kehendak (volition) sering dijumpai tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya (DSM-IV- TR, 2000)

  Perjalanan penyakit skizofrenia paranoid dapat terjadi secara episodik, dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus-kasus yang kronis, gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk membedakan episode-episode yang terpisah. Onset cenderung terjadi pada usia yang lebih tua dari pada bentuk-bentuk hebefrenik dan katatonik (DSM-IV-TR ,2000).

  b. Tipe Disorganized (Kacau)

  Kontras dengan skizofrenia tipe paranoid, para penderita skizofrenia tipe terdisorganisasi memperlihatkan disrupsi yang tampak nyata dalam pembicaraan dan perilakunya. Mereka juga memperlihatkan afek datar atau afek tidak pas, seperti tertawa dungu pada saat yang tidak tepat (American Psychiatric Association dalam Durand, 2007). Tipe ini sebelumnya disebut tipe hebefrenik.

  Individu-individu dengan diagnosis ini menunjukkan tanda-tanda kesulitan sejak usia dini, dan masalah mereka sering kali bersifat kronis, jarang menunjukkan Bayle, Sarfati, dan Passerieu dalam Durand, 2007).

  c. Tipe Katatonik

  Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang essensial dan dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti hiperkinesis dan stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat di pertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan mungkin merupakan gambaran keadaan yang mencolok. Gejala katatonik terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada saat setiap subtipe skizofrenia, tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu adalah lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya, yakni : a).

  Stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau autism. b). Kegelisahan (aktivitas motor yang tampak tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal). c). Berpose (secara sukarela mengambil dan mempertahankan sikap tubuh tertentu tang tidak wajar atau

  

“bizarre” ). d). Negativisme (perlawanan yang jelas tidak bermotif terhadap semua

intruksi atau upaya untuk digerakkan, atau bergerak kearah yang berlawanan ). e).

  Rigiditas (rigidity : mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan upaya untuk menggerakkannya). f). “waxy flexibility” (mempertahankan posisi anggota gerak dan tubuh yang dilakukan dari luar). g). Gejala-gejala lain seperti otomatisme terhadap perintah (command automatism : ketaatan secara otomatis terhadap perintah), dan perseverasi kata-kata serta kalimat-kalimat. petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala-gejala katatonik dapat juga diprovokasikan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alhokol dan obat- obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana perasaan (mood) (DSM-IV- TR, 2000)

  d. Tipe Undifferentiated (Tidak Tergolongkan)

  Orang-orang yang tidak tepat dengan tipe-tipe di atas diklasifikasikan mengalami skizofrenia tipe tak terbedakan. Mereka meliputi orang-orang yang memiliki gejala-gejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, terdisorganisasi/hebefrenik, atau katatonik (Durand, 2007).

  e. Tipe Residual

  Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala “negatif” jangka panjang, walaupun belum tentu irreversible.

  Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi : a). Gejala “negatif” skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. b). Sedikitnya ada riwayat satu skizofrenia. c). Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun di mana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” skizofrenia. d). Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan hendaya negatif tersebut (DSM-IV-TR, 2000).

2.1.3. Epidemiologi

  Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

  Di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak dengan laki-laki (Durand, 2007).

2.1.4. Etiologi

  Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain : a.

  Model Diatesis-stres Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.

  Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.

  Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stress psikososial , dan trauma.

  Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun stressornya.

  b.

  Faktor Neurobiologi Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita skizofrenia di temukan syaraf (neuro-transmitter) dan reseptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neuro-kimia seperti dopamine dan serotonin yang ternyata memengaruhi fungsi-fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif maupun negatif Skizofrenia. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya simptom skizofrenia.

  Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain.

  Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial. Yang disebut Hipotesa Dopamin.

  Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa : 1)

  Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.

  2) Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat c.

  Faktor Genetik Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun

  1930-an, menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan seseorang menderita skizofrenia adalah berhubungan dekatnya persaudaraa tersebut. Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada kembar monozigotik yang di adopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orangtua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh saudara kandungnya (Kaplan & Sadock, 2010).

  Faktor genetik skizofrenia adalah sejumlah faktor kausatif terimplikasi untuk skizofrenia, termasuk pengaruh genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau kecelakaan dalam proses persalinan dan stressor psikologis. Penting untuk memelajari seberapa banyak stress macam apa yang membuat seseorang memiliki predisposisi skizofrenia. Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari orang- orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan.

  Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut

  quantitative trait loci . Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin

  disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand, 2007).

  Kallman menunjukkan bahwa tingkat keparahan gangguan pada orangtua memengaruhi kemungkinan anaknya untuk mengalami skizofrenia. Semakin parah skizofrenia orangtuanya, semakin besar kemungkinan anak-anaknya untuk mengembangkan gangguan yang sama. Memiliki keluarga yang mengalami skizofrenia juga membuat sesorang memiliki kemungkinan lebih besar untuk memiliki gangguan yang sama di banding seseorang dalam populasi secara umum yang tidak memiliki keluarga semacam itu (hanya sekitar 1%) (Durand, 2007).

  d.

  Faktor Psikososial Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa adalah adanya stressor psikososial. Stressor Psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja atau dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan – keluhan di bidang kejiwaan berupa gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat (Hawari, 2001).

  Pada sebahagian orang perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dapat merupakan stressor psikososial, yaitu antara lain : a). Pola kehidupan masyarakat dari semula sosial-religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif. c). Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family) cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family) bahkan sampai pada pola orang tua tunggal (single parent family). d).

  Hubungan kekeluargaan (silaturahmi) yang semula erat dan kuat cenderung menjadi longgar dan rapuh. Masing-masing anggota keluarga seolah-olah berjalan sendiri-sendiri (nafsi-nafsi); sehingga seakan-akan hidup dalam keterasingan (alienation).

  e). Nilai-nilai moral-etika agama dan tradisional masyarakat, cenderung berubah menjadi masyarakat sekuler dan moder serta serba boleh

  (permissive society).

  f). Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah. g). Ambisi karier dan materi yang tak terkendali dapat menggangu hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun masyarakat (Hawari, 2001)

2.1.5. Penatalaksanaan

  Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi psikososial.

  a.

  Terapi Biologis Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif dan pembedahan bagian otak.

  1. Terapi Psikofarmaka Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala obat-obatan psikoaktif umum tetapi tidak secara khusus digunakan untuk mengobati psikosis, yang ditandai oleh skizofrenia. Obat antipsikotik memiliki beberapa sinonim antara lain neuroleptik dan transquilizer mayor. Seiring waktu berbagai antipsikotik telah dikembangkan. Antipsikotik generasi pertama, yang dikenal sebagai antipsikotik tipikal, ditemukan pada 1950-an.Sebagian besar obat-obatan pada generasi kedua, yang dikenal sebagai antipsikotik atipikal, baru-baru ini telah dikembangkan, meskipun anti-psikotik atipikal pertama, clozapine, ditemukan pada 1950-an, dan diperkenalkan secara klinis pada 1970-an. Kedua kelas obat-obatan cenderung untuk memblokir reseptor di otak jalur dopamin, tetapi obat-obatan antipsikotik mencakup berbagai target reseptor. (DSM IV-TR, 2000)

  Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter pada manusia yang sangat berperan pada mekanisme terjadinya gangguan psikotik. Dopamin sendiri diproduksi pada beberapa area di otak, termasuk subtantia nigra dan area ventral tegmental. Dopamin juga merupakan neurohormon yang dihasilkan oleh hipotalamus. Fungsi utama hormon ini adalah menghambat pembentukan prolaktin dan lobus anterior kelenjer pituitary.

  Dopamin memiliki banyak fungsi di otak, termasuk peran pentingnya pada perilaku dan kognisi, pergerakan volunter, motivasi, penghambat produksi prolaktin (berperan dalam masa menyusui), tidur mood, perhatian, dan proses belajar.

  Dopaminergik neuron (neuron yang menggunakan dopamin sebagai neurotransmiter utamanya. terdapat pada area ventral tegmental (AVT) pada dopaminergik merupakan jalur neural pada otak yang mengirimkan dopamin dari satu regio di otak ke regio lainnya.

  Ada 4 jalur dopaminergik:

  a) Jalur mesolimbic : jalur mesolimbic mengirimkan dopamin dari area ventral tegmental (AVT) , ke nucleus accumbens. AVT terletak pada daerah midbrain dan nucleus accumbens pada sistem l

  b) Jalur mesocortical : jalur mesocortical mengirimkan dopamine dari AVT ke frontal korteks. Gangguan pada jalur ini berhubungan dengan skizofrenia

  c) Jalur Nigrostriatal: jalur nigrostrialtal mengirimkan dopamin dari subtantia nigra ke striatum. Jalur ini berhubungan dengan control motorik dan degenerasi pada jalur ini berhubungan dengan penyaikit parkinson. d) Jalur tuberoinfundibular: jalur tuberoinfundibular mengirimkan dopamin dari hipotalamus ke kalenjer pituitary. Jalur ini mempengaruhi hormon tertentu termasuk prolaktin. Skizofrenia berhubungan dengan peningkatan aktifitas pada jalur mesolimbik dan jalur mesocortical dopaminergik.

  (DSM-IV-TR, 2000) Dopamin memiliki reseptor yang berguna untuk menerima sinyal yang dikirmkan dari satu bagian otak ke bagian yang lainnya. Reseptor dopamin sebenarnya dibagi menjadi 2 tipe ( D1 dan D2 ). Saat ini terdapat 5 reseptor dopamin D5. Sementara yang menyerupai D2 adalah D2,D3,D4 . penelitian terbaru menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT) menunjukkan bahwa pada skizofrenia terdapat lebih banyak reseptor D2 yang di tempati. Hal ini menunjukkan stimulasi dopaminergik yang lebih hebat. Hal ini menyebabkan semua obat-obatan antipsikotik ditujukan untuk memblokade reseptor ini

  Obat ini dibagi dalam dua kelompok , berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi 2 yaitu yang pertama dopamine receptor anatagonist (DRA) atau antispikotika generasi I (APG-I) atau disebut juga tipikal. Dan kedua serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II atau disebut juga atipikal. (DSM-IV- TR,2000)

  Obat tipikal berguna terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat, obat atipikal bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif. Jenis-jenis obat tipikal yaitu phenothiazine

  (chlorpromazine, thioridazine, perphenazine), butyrophenones (haloperidol). Obat atipikal yaitu clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, dan ziprasidone. (Amir, N. 2010)

  1) Beberapa Prinsip-Prinsip Terapetik

  1) Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati

  2) Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus digunakan lagi.

  3) Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu

  4) Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang diindikasikan.

  5) Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.(Tomb,2003)

  2) Pemeriksaan Awal pada pemberian obat

  Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap dengan indeks sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun.

  3) Kontraindikasi Utama Antipsikotik:

  Beberapa kontraindikasi antipsikotik yaitu riwayat respon alergi yang serius, kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat, resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organik atau audiopatik, dan adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antipsikotik dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.

  4) Kegagalan Pengobatan antipsikotik merupakan alasan utama untuk terjadinya relaps dan kegagalan percobaan obat. Dan waktu percobaan yang tidak mencukupi dalam menentukan pengobatan yang sesuai untuk penderita.

  Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi antipsikotik, dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang berbeda dari obat yang pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal. Dan pengunaan obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Pambarian anti psikosis long acting (perenteral) hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus skizpfrenia. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.(Tomb,2003

  Beberapa kebiasaan konsumsi makanan dan minuman yang menghambat kerja obat psikotik dalam tubuh. Sehingga penderita harus menghindarinya yaitu :

  Kebiasaan merokok dan pengguna narkoba dan zat aditif lainnya 2. Makanan protein yang dikultur atau diawetkan : keju, dan krim keju 3. Minuman beralkohol : bir, tuak, tape, durian, dll 4. Minuman yang mengandung kafein : kopi, teh, dll 5. Minuman berkarbonasi : cola (Tomb,2003)

  2. Terapi Elektrokonvulsif Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.

  Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan

  3. Pembedahan Bagian Otak Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

  b.

  Terapi Psikososial Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).

  Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.

  Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan- ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. (Tomb, 2003)

  Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

2.2. Kepatuhan Pasien

  Kepatuhan (Compliance), juga dikenal sebagai ketaatan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi dan menyelesaikan program pengobatan , menggunakan medikasi secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan perilaku atau diet. Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan (Kaplan & Sadock, 2010).

  Kepatuhan dalam pengobatan (medication compliance) adalah mengkonsumsi obat-obatan yang di resepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat dan pengobatan hanya akan efektif apabila anda mematuhi peraturan dalam penggunaan obat (Siregar, 2006).

  Sackett dalam Niven (2002) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai “Sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”.

  Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya.

2.2.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidakpatuhan

  Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun berbagai faktor yang berkaitan a.

  Penyakit Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya kesakitan dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada pasien lain.

  Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan kesembuhan kondisi.

  Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi dihentikan sebelum waktunya, ia akan lebih memerhatikan menggunakan obatnya dengan benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini akan patuh dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi kepatuhan pada kebanyakan pasien. (Fleischacker. 2003)

  Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit penyakit lain penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan.

  Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif. (Fleischacker. 2003) b.

  Regimen Terapi Menurut (Fleischacker. 2003) ada beberapa factor yang mempengaruhi regimen terapi pada penderita skizofrenia tidakadekuat. yaitu :

  1. Terapi Multi Obat Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat

  2. Frekuensi Pemberian Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian.

  Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan.

  3. Durasi dan Terapi Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok.

  4 Efek Merugikan Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko.

  Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.

  5 Pasien Asimtomatik (tidak ada gejala) atau gejala sudah reda Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis profilaksis.

  Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik. b.6 Harga obat

  Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang dalam kasus lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.

  7. Pemberian/konsumsi obat Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL sampai 9mL. Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur dengan sendok teh.

  Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi pasien, sempril oral atau alat penetes yang telah dikalibrasi untuk penggunaan cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah obat yang dimaksudkan.

  8. Rasa obat Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi untuk daya kepada pasien.

  c.

  Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker, serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang merka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka. (Ayuso, 2003)

  Menurut Ayuso (2003) ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada lingkup dan mutu interaksi dengan pasien.

  1. Menunggu Dokter atau Apoteker Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya, kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit, 67% dari pasien tersebut benar-benar patuh. (Ayuso, 2003)

  Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku pelayan kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah sakit mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter. Walaupun uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan.

  Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan.

  Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat mempengaruhi bagaimana itu diterima, dimengerti, dan diingat. Pasien mengingat dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan; instruksi yang perlu penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi diberikan, semakin besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi secara sempurna.

  3. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan mengesankan pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat.

  Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi pengharapan, mereka lebih cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian yang lebih besar diperlukan untuk memberi edukasi pada pasien tentang kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari terapi obat, akan berkontribusi pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan. (Linden, 2005)

  4. Pengertian yang Buruk pada Instruksi Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari pengertian yang buruk pada instruksi ini. Dari suatu studi pada sekitar 6000 resep,terdapat instruksi pasien ditulis “Sesuai Petunjuk”. Akibat yang mungkin dari salah pengertian ini dapat serius dan membahayakan, perlu membuat instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin. Bahkan, apabila petunjuk kepada pasien sudah lebih spesifik dari “ sesuai petunjuk” kebingungan masih dapat terjadi. (Ayuso, 2003)

  Dokter harus memperbaiki pola komunikasi dengan pasien yaitu dengan gaya dan bahasa yang dimengerti pasien sehingga dapat tercipta pola hubungan terapeutik yang baik yang nantinya dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pengiobatan. Klinisi juga harus mengikuti pedoman terapi yang telah direkomendasikan. Dengan mengikuti pedoman terapi yang telah ditentukan maka pengobatan akan menjadi bingung bila mereka mencoba mencari pendapat dokter lain. (Simanjuntak, 2008) d.

  Pasien Takut Bertanya Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk menjelaskan kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan. Keragu- raguan ini dapat dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status sosial, dan bahasa atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut.

  Interaksi pasien dengan pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat didorong dengan meningkatkan kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan. (Linden, 2005) Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi dengan pasien karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit, waktu atau praktik sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi sautu masalah. Jika seorang pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu konsultasi, dapat terjadi hal yang lebih buruk. Biaya yang dikeluarkan pasien tinggi, berkenaan dengan waktu, transport dan pengeluaran untuk obat. Hal ini dapat meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap instruksi karena mereka merasa bahwa profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian pada penyembuhan penyakit mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar mempertimbangkan untuk memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien. Profesional pelayan kesehatan harus didorong untuk mengerti bahwa komunikasi yang efektif dengan pasien bukanlah suatu ideal yang tidak realistik, tetapi merupakan suatu aspek inti dari keberhasilan praktik klinik. (Fenton, 2005) beberapa negara maju, semua IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi untuk pasien, tersedia untuk setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang paling banyak digunakan dan obat yang paling banyak disalahgunakan dapat dicetak pada kertas murah.(Feton, 2005)

2.2.2. Jenis Ketidakpatuhan

  Pengobatan akan efektif apabila mematuhi aturan dalam pengobatan, Menurut Siregar (2006) adapun beberapa jenis ketidakpatuhan yang terjadi adalah disebabkan oleh sebagai berikut : a.

  Ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan menebus resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu pemberian / konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum waktunya. b.

  Tidak menebus resep obatnya , yaitu karena pasien/keluarga pasien tidak merasa memerlukan obat atau tidak menghendaki mengambilnya. Ada juga pasien tidak menebus resepnya karena tidak mampu membelinya.

  c.

  Kesalahan pada waktu konsumsi obat, yaitu dapat mencakup situasi yang obatnya di konsumsi tidak tepat dikaitkan dengan waktu makan. contohnya : 1 jam sebelum makan dan 2 jam setelah makan d. Penghentian pemberian obat sebelum waktunya,pasien harus di beritahu pentingnya penggunaan obat antibiotik yang di konsumsi sampai habis selama sebelum waktunya, faktor lain yaitu ketidakpatuhan mencakup pengetiketan yang tidak benar dan penggunaan “sendok teh” yang mempunyai berbagai volume yang berbeda.

  e.

  Pasien rawat jalan yang tidak patuh karena tidak mengerti instruksi penggunaan dengan benar dan ada yang salah menginterpretasikan, Selain itu kemungkinan ketidakpatuhan pasien rawat jalan karena kurangnya pengawasan terapi.

2.2.3. Ketidakpatuhan terhadap Pengobatan

  Menurut penelitian Simanjuntak (2008) bahwa faktor yang paling penting sehubungan dengan relaps pada skizofernia adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Bahkan dalam penelitian terkontrol, persentase pasien-pasien yang tidak memakai obat (36,5 %) secara nyata lebih tinggi dariapada pasien-pasien yang menjalani pengobatan secara rutin. Menurut data Ayuso-Guiterrez et. al., banyak sekali penderita skizofrenia yang mengalami eksaserbasi klinis dan membutuhkan perawatan akibat tidak menuruti penatalaksanaan yang diberikan.

  Menurut Kinon et. al., kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini : a.

  Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan ≥ 2 episode dari : 1). Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif dan pasif. 2). Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang diberikan. 3). Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan

  Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.

  c.

  Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain dalam waktu sebulan.

  d.

  Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat-obatan walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut.

  Faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan ketidakpatuhan antara lain : a. Faktor-faktor sehubungan dengan pasien (keparahan penyakit, insight yang buruk, komorbid dengan penggunaan zat).

  b.

  Faktor-faktor sehubungan dengan pengobatan (efek samping obat yang mengganggu, dosis yang tidak efektif).

  c.

  Faktor lingkungan (kurangnya dukungan) d.

  Faktor-faktor sehubungan dengan dokter (ikatan terapetik yang buruk).

  (Simanjuntak, 2008)

2.2.4. Akibat Ketidakpatuhan Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang.

  Dengan cara demikian, pasien kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk.

  Seorang pasien menghentikan penggunaan antibiotik untuk pengobatan suatu infeksi apabila gejala telah mereda, dan karenanya tidak menggunakan semua obat karena diakibatkan oleh ketidakpatuhan dari pada disebabkan timbulnya resisten terhadap obat. Ketidakpatuhan juga dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis berlebih digunakan atau apabila obat diberikan lebih sering dari pada yang dimaksudkan, akan ada resiko reaksi merugikan yang meningkat.

  (Fleischacker, 2003) Masalah yang berkaitan dengan salah penggunaan dan penyalahgunaan obat, baik tidak disengaja maupun disengaja telah benar-benar diketahui. walaupun biasanya tidak di anggap berkaitan dengan ketidakpatuhan, masalah penyalahgunaan obat kadang-kadang adalah akibat penggunaan obat yang berlebihan yang ditulis untuk suatu penyakit tertentu. Implikasi lain berkenaan dengan penyimpanan obat yang tidak digunakan sepenuhnya selama periode pengobatan yang dimaksudkan.

  Menyimpan obat-obatan dapat mengakibatkan ketidaktepatan penggunaannya dikemudian hari. (Linden, 2005)

2.2.5. Peningkatan Kepatuhan

  Menurut Fleischacker (2003) dalam meningkatkan kepatuhan komunikasi merupakan cara antara tim medis dan pasien dalam berbicara mengenai obat yang di tulis. Keefektifan komunikasi akan menjadi penentu utama kepatuhan pasien.

  Dibawah ini merupakan peranan dalam menghadapi masalah ketidakpatuhan yaitu : a.

  Mengidentifikasi faktor resiko yaitu mengenal individu yang mungkin tidak patuh, sebagaimana di duga oleh suatu pertimbangan berbagai faktor resiko yang mungkin kompatibel dengan kegiatan normal pasien.

  b.

Dokumen yang terkait

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

5 79 83

Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

0 66 166

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Pasien Skizofrenia yang Berobat Jalan di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Medan

4 59 131

Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan

8 64 67

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara - Medan

30 131 90

Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006

2 58 112

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Peran - Peran Perawat Dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 13