Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006

(1)

PENGARUH KOPING KELUARGA TERHADAP KEJADIAN RELAPS PADA SKIZOFRENIA REMISI SEMPURNA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH

PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2006

TESIS

OLEH

ASIMA SIRAIT 047023001/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

Judul Tesis : PENGARUH KOPING KELUARGA TERHADAP KEJADIAN RELAPS PADA SKIZOFRENIA REMISI SEMPURNA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH

PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2006 Nama Mahasiswa : Asima Sirait

Nomor Pokok : 047023001

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Dr.Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) Ketua

(Raras Sutatminingsih, S.Psi. MSi) (dr. Donad Sitompul, Sp.KJ) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur SPs USU,

(Dr.Drs. Surya Utama, MS) (Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(3)

Telah diuji

Pada tanggal: 27 Pebruari 2008

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Dr.Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM Anggota : 1. Raras Sutatminingsih, S.Psi. MSi

2. dr. Donad Sitompul, Sp.KJ

3. Prof.Dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K) 4. dr. Harun Tahir Parinduri, Sp.J


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH KOPING KELUARGA TERHADAP KEJADIAN RELAPS PADA SKIZOFRENIA REMISI SEMPURNA DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2006

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2008


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan anugrah yang diberikanNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sampai dengan selesai. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.

2. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS sebagai Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU Medan.

3. Bapak Drs. W. Purba selaku Ketua Yayasan Sari Mutiara Medan dan Ibu Dra. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes selaku Ketua STIKes Mutiara Indonesia Medan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan moril serta materil kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.


(6)

4. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, arahan serta dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Ibu Raras Sutatminingsih, S.Psi, M.Si sebagai anggota pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, arahan serta dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak dr. Donald Sitompul, Sp.KJ sebagai anggota pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, arahan serta dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K) dan dr. Tahir Parinduri, Sp.J sebagai anggota penguji yang telah banyak memberikan masukan, kritik maupun saran kepada penulis untuk kesempurnaan tesis ini.

8. Seluruh staf dosen dan staf pegawai di Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU Medan yang telah memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

9. Seluruh teman-teman mahasiswa di Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, seluruh teman-teman dosen dan pegawai di STIKes Mutiara Indonesia Medan yang telah memberikan dukungan serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

10.Teristimewa, rasa hormat dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada suami tercinta Pdt. Sarwedi Tambun dan Putriku tersayang Evi Florentina Tambun yang telah memberikan dukungan serta doa yang tidak henti-hentinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.


(7)

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu bila ada saran maupun kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Pebruari 2008


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Asima Sirait

Tempat/Tanggal Lahir : Tapanuli Utara, 7 Januari 1965

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Perkutut III No: 37 Perumnas Mandala Medan

RIWAYAT PENDIDIKAN:

1. Tamat SD Negeri Lumban Julu 1980 2. Tamat SMP Negeri 185 Jakarta 1983 3. Tamat SMA Negeri 47 Jakarta 1986

4. Tamat Akademi Perawatan RS PGI Cikini 1989 5. Tamat AKTA III Universitas Negeri Medan 1996

6. Tamat Sarjana Pendidikan Universitas Negeri Medan 2001 7. Tamat AKTA IV Universitas Negeri Medan 2001

8. Tamat Magister Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU Medan 2008 RIWAYAT PEKERJAAN:

1. RS PGI Cikini mulai tahun 1990-1995 2. AKPER Sari Mutiara 1995-2005


(9)

ABSTRAK

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan relaps ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Kekacauan dan dinamika keluarga seperti keluarga dengan suasana penuh permusuhan, terlalu cemas/emosional, dan terlalu protektif dengan penderita memegang peranan penting dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi, untuk itu keluarga perlu melakukan strategi koping baik internal maupun eksternal untuk menghadapi dan menangani penderita sehingga relaps tidak terjadi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh koping keluarga baik internal maupun eksternal terhadap kejadian relaps pada skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik observasional dengan rancangan penelitian studi Kasus Kontrol bersifat Retrospektif. Populasi penelitian adalah seluruh keluarga penderita skiozfrenia remisi sempurna yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 876 orang. Sampel kasus adalah keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna yang relaps sebanyak 20 orang dan sample control adalah keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna yang tidak relaps berjumlah 20 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping eksternal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian relaps untuk itu disarankan kepada pihak rumah sakit jiwa agar membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan relaps pada penderita seperti pelatihan kepada keluarga untuk menangani penderita yang remisi dan melibatkan keluarga dalam perawatan penderita selama di rumah sakit sehingga penanganan terhadap penderita oleh keluarga setelah remisi dapat lebih baik.


(10)

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic psychotic disorder and relapse indicated be serious personality confusion, disortion of reality, and disability to function in daily life. The chaos and dynamics in a family such as full of condition of hostility, too worried/emotional and too protective toward the victim, paly and important role in bringing about relapse and maintaining remission, for this purpose, a family needs to internally or externally implement the coping strategy to face and take care of the victim that there is no incident of relapse. The purpose of this observational analytical study with retrospective case control design is to examine the influence of an internal or external family coping on the incident of relapse in the patients with complete remission schizophrenia in the mental hospital of Sumatera Utara Province in 2006. The population for this study is the families of all of the patiens with complete remission schizophrenia being treated in the mental hospital of Sumatera Utara Province. Through purposive sampling technique, the families of 20 patients with complete remission schizophrenia who relapsed were selected for the samples of case group and the families of 20 patients with complete remission schizophrenia who did not relapse were selected for samples of control group. The result of this study shows that the external coping has significant influence on the incident of relapse, therefore, it is suggestedthat the hospital managemnet make of policy related to the prevention of the incident of relapse in the patients by providing the families of patients with complete remission schizophrenia with training and involving them during the patients treatment process in the hospital hat families can treat the patients with complete remission schizophrenia better.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL………... xiv

DAFTARGAMBAR………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN………... xviii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Hipotesis... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Skizofrenia ... 9

2.1.1. Pengertian Skizofrenia ... 9

2.1.2. Kriteria Dignostik Skizofrenia ... 9

2.1.3. Pola Perjalanan Penyakit... 12

2.1.4. Etiologi Skizofrenia ... 15

2.1.5. Prognosis ... 19

2.1.6. Pencegahan dan Pengobatan Skizofrenia... 20

2.1.7. Relaps... 26

2.1.8. Komplikasi ... 27

2.2. Koping Keluarga ... 27

2.2.1. Pengertian Koping Keluarga ... 27

2.2.2. Tipe Koping Keluarga... 28

2.3. Landasan Teori... 36

2.4. Kerangka Konsep Penelitian ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 38

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

3.3. Populasi dan Sampel ... 38


(12)

3.5. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 41

3.6. Aspek Pengukuran ... 43

3.8. Analisis Data ... 43

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian... 45

4.2. Hasil Penelitian ... 48

4.2.1. Analisis Univariat ... 48

4.2.2. Analisis Bivariat... 51

4.2.3. Analisis Multivariat... 62

BAB 5. PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden ... 65

5.2. Koping Internal terhadap Kejadian Relaps ... 69

5.3. Koping Eksternal terhadap Kejadian Relaps... 77

5.4. Pengaruh Koping Internal terhadap Kejadian Relaps ... 82

5.5. Pengaruh Koping Eksternal terhadap Kejadian Relaps ... 83

5.6. Pengaruh Koping Keluarga terhadap Kejadian Relaps... 83

5.7. Keterbatasan Penelitian... 84

BAB 6. KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan ... 85

6.2. Saran... 87 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 42

Tabel 4.1. Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Jiwa Berdasarkan Jenis Pendidikan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2006... 46

Tabel 4.2. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Umur Keluarga Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006... 48 Tabel 4.3. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Agama

Keluarga Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumate ra Utara Tahun 2006... 49 Tabel 4.4. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Jenis

Kelamin Keluarga Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 49 Tabel 4.5. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Tingkat

Pendidikan Keluarga Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 50 Tabel 4.6. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Pekerjaan

Keluarga Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006... 50 Tabel 4.7. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan

Penghasilan Keluarga Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 51 Tabel 4.8. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Jumlah

Anggota Keluarga Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara


(14)

Tabel 4.9. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan

Koping Mengandalkan Kelompok Keluarga Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera UtaraTahun 2006... 52 Tabel 4.10. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping

Berdasarkan Penggunaan Humor Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2006... 52 Tabel 4.11. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping

Memelihara Ikatan Keluarga Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2006... 53 Tabel 4.12. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping

Mengontrol Kembali Makna Dari Masalah Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2006... 54

Tabel 4.13. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping Pemecahan Masalah Bersama Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di RumahSakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2006... 54 Tabel 4.14. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping

Fleksibilitas Peran Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 54 Tabel 4.15. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping

Normalisasi Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 ... 55 Tabel 4.16. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping

Mencari Informasi Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 56 Tabel 4.17. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping

Memelihara Hubungan Aktif Dengan Komunitas Pada Skizofrenia RemisiSempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah


(15)

Tabel 4.18. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Koping Mencari Dukungan Sosial Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 ... 57 Tabel 4.19. Distribusi Relaps dan Tidak Relaps Berdasarkan Mencari

Dukungan Spiritual Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 58 Tabel 4.20. Hasil Test Koping Keluarga Internal Terhadap Kejadian Relaps

Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006... 59 Tabel 4.21. Hasil Uji Statistik Mann Whitney Koping Keluarga Internal

Terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 60 Tabel 4.22. Hasil Test Koping Keluarga Eksternal Terhadap Kejadian Relaps

Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006... 61 Tabel 4.23. Hasil Uji Statistik Mann Whitney Koping Keluarga Eksternal

Terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 61 Tabel 4.24. Hasil Uji Regresi Logistik Koping Keluarga Internal Terhadap

Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 62 Tabel 4.25. Hasil Uji Regresi Logistik Koping Keluarga Eksternal Terhadap

Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2006... 63 Tabel 4.26. Hasil Uji Regresi Logistik Koping Keluarga Internal dan

Eksternal Terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman GAMBAR 2.1. Keangka Teori Penelitian ... 38 GAMBAR 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 39


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian

2. Surat Balasan Pelaksanaan Penelitian 3. Kuesioner Penelitian

4. Master Data Penelitian 5. Out Put SPSS


(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis/ kambuh ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dapat kehilangan pekerjaan, teman dan minat, karena mereka tidak mampu berbuat sesuatu, bahkan ada pasien yang hidup menggelandang dijalan atau dipasung dirumah

(Atkinson ,dkk, 1996).

Menurut data American Psychiatric Association (APA) (1995), menyebutkan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat, penderita skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah (Izzudin, 2005; Tomb, 2004).

Menurut data hasil penelitian, di Indonesia terdapat sekitar 1-2% penduduk yang menderita skizofrenia, itu berarti sekitar 2-4 juta jiwa, dari jumlah tersebut diperkirakan penderita yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Demikian juga dengan pendapat Irmansyah (2006), bahwa penderita yang dirawat di bagian psikiatri di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia(Chandra, 2006).

Menurut Syamsulhadi, selaku Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dan sekaligus Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)


(19)

Solo, mengatakan bahwa berdasarkan hasil survey tim kesehatan jiwa UNS Solo pada tahun 2000 sedikitnya 16% penduduk di Kota Solo mengalami gangguan kejiwaan dalam berbagai tingkatan, dari yang paling ringan sampai yang berat seperti skizofrenia. Demikian juga dengan pernyataan Dadang Sukandar, Kepala Rumah Sakit Jiwa Cimahi bahwa 70% keluarga miskin di Kota Cimahi (Jawa Barat) mengalami gangguan jiwa, sayangnya dalam pernyataannya tidak disebutkan jenis gangguan jiwa yang dialami oleh warganya. Menurut Sukandar bahwa rata-rata setiap harinya, warga yang memeriksakan diri ke bagian gangguan jiwa mencapai angka 30-40 orang, angka ini bertambah terus

setiap tahunnya sekitar 3-5%, dengan mayoritas adalah kalangan usia produktif ( http/www.kompas.com, 13 Oktober 2002; http/www.hidayatullah.com, 6 Maret 2005).

Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1.387 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.183 orang (88,15%). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1.694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.543 orang (91,09%). Dari 1543 orang penderita skizofrenia yang dirawat pada tahun 2005 sebanyak 1493 orang penderita remisi sempurna ( 96,76%), dan dari jumlah tersebut penderita yang mengalami relaps sebanyak 876 orang penderita (58,67%). Data diatas menunjukkan adanya peningkatan penderita skizofrenia dari tahun ke tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara dan juga menunjukkan tingginya angka relaps pada penderita remisi sempurna (Medical Record RSJD Provsu, 2005). Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehinga penderita memerlukan terapi/ perawatan lama. Disamping itu semua etiologi, patofisiologi dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/ heterogen


(20)

bagi setiap penderita, sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga sering kali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh penderita dan juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut. Kondisi inilah yang akan melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan berdampak negatif pada penderita. Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh penderita(Irmansyah, 2005).

Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi. Penderita yang dipulangkan ke rumah lebih cenderung kambuh pada tahun berikutnya dibandingkan dengan penderita yang ditempatkan pada lingkungan residensial. Penderita yang paling beresiko untuk kambuh adalah penderita yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu protektif terhadap penderita (Tomb, 2004)

Demikian juga menurut ahli psikiatri Sasanto, mengatakan bahwa banyak hal yang dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia, salah satu faktor yang paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat. Menurut Sasanto, kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian antara intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain itu koping keluarga juga sangat dibutuhkan untuk resosialisasi dan pencegahan relaps(Vijay, 2005).

Koping merupakan cara keluarga untuk menghadapi/menangani penderita skizofrenia remisi sempurna sehingga tidak terjadi relaps. Selain itu koping keluarga juga merupakan respons positif, afektif, persepsi dan respons perilaku yang digunakan


(21)

oleh keluarga untuk memecahkan masalah dan mengurangi stress yang diakibatkan oleh penderita skizofrenia remisi sempurna. Relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna yang berada ditengah keluarga merupakan suatu tanda bahwa keluarga gagal untuk melakukan koping dengan baik.

Menurut Chandra, ketua Himpunan Jiwa Sehat Indonesia (HJSI) dan sekaligus sebagai Direktur Sanatorium Dharmawagsa mengatakan bahwa penderita skizofrenia remisi sempurna akan dikembalikan kepada keluarga, maka keluarga harus waspada akan gejala-gejala skizofrenia. Selain itu penderita skizofrenia sangat memerlukan perhatian dan empati dari keluarga. Itu sebabnya menurut Chandra keluarga harus menumbuhkan sikap mandiri dalam diri penderita, mereka harus sabar serta menghindari sikap Expressed Emotion (EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan dan menimbulkan relaps (Chandra, 2005).

Di banyak negara, pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia bisa didapat dengan mengikuti program-program intervensi keluarga yang menjadi satu dengan pengobatan skizofrenia seperti family psycho education program, cognitive behavior therapy for family, multifamily group therapy dan lain-lain. Sementara di Indonesia program penanganan keluarga ini belum mendapat perhatian yang lebih. Hal ini sebenarnya perlu dilakukan mengingat bahwa: pertama, karena hampir semua penderita tidak dalam perawatan, tetapi berada ditengah keluarga; kedua, minimnya fasilitas kesehatan mental membuat penanganan pengobatan penderita tidak optimal dan ketiga penanganan oleh keluarga jauh lebih murah. Program umumnya bisa meliputi pengetahuan dasar tentang skizofrenia,


(22)

penanganan emosi dalam keluarga, keterampilan menghadapi gejala skizofrenia, serta keterampilan menjadi perawat yang baik bagi penderita(Irmansyah, 2005).

Demikian halnya dengan penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, mereka membutuhkan koping / penanganan yang baik dari keluarga setelah remisi dari rumah sakit, sehingga relaps bisa dikendalikan atau dicegah. Kenyataan yang ada dilapangan tidak seperti yang diharapkan, pasien justru banyak yang mengalami relaps dan keluarga seolah pasrah dengan kondisi yang terjadi. Hal ini didukung hasil penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa Nangroe Aceh Darussalam, dimana penerimaan yang tidak baik dari keluarga dapat meningkatkan resiko relaps sebesar 4,28 kali dibandingkan dengan penerimaan yang baik dari keluarga. Hal inilah yang membuat penulis merasa tertarik dan ingin melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pada Penderita Skizofrenia Remisi Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.”

1.2.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh koping keluarga terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(23)

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh koping keluarga terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh koping keluarga internal terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui pengaruh koping keluarga eksternal terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi relaps dan tidak relaps berdasarkan karakteristik keluarga penderita skizorenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.4. Hipotesis

1.4.1. Terdapat pengaruh koping keluarga terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.4.2. Terdapat pengaruh koping keluarga internal terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(24)

1.4.3. Terdapat pengaruh koping keluarga eksternal terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Peneliti.

Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang koping yang harus dilakukan oleh keluarga untuk mencegah relaps pada pasien skizofrenia remisi sempurna.

1.5.2. Bagi Keluarga.

Menambah pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dan strategi koping yang harus dilakukan untuk mencegah relaps pada anggota keluarganya setelah remisi sempurna dari rumah sakit jiwa.

1.5.3. Bagi Masyarakat.

Masyarakat mengerti tentang skizofrenia dan membantu keluarga melakukan strategi koping untuk mencegah relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna dari rumah sakit jiwa.

1.5.4. Bagi Rumah Sakit Jiwa.

Dapat melakukan program pelatihan bagi keluarga tentang strategi koping yang harus dilakukan untuk mencegah relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna sehingga kasus-kasus relaps dapat di cegah atau berkurang.


(25)

1.5.5. Bagi Pemerintah.

Sebagai masukan agar meningkatkan taraf kehidupan sosial masyarakat dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai, khususnya untuk keluarga dan penderita skizofrenia remisi sempurna, sehingga tekanan hidup dan stres sebagai penyebab penyakit /relaps dapat dicegah atau dikurangi.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Skizofrenia

2.1.1. Pengertian Sikizofrenia

Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial(Isaacs, 2005).

Skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karaktrisitik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Keasadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Maslim, 1997).

2.1.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Kriteria diagnostik skizofrenia di Indonesia menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III) yang menuliskan bahwa walaupun tidak ada gejala patognomonik khusus, dalam praktek ada manfaatnya membagi gejala-gejala tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapat secara bersama-sama, misalnya:

a. “Thought echo” yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitas berbeda atau “thought insertion or withdrawal” yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam


(27)

pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu diluar dirinya (withdrawal) dan “thought broadcasting” yaitu isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain mengetahuinya.

b. Waham/Delusi.

b.1. Delusion of control yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau

b.2. Delusion of influence yaitu waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau

b.3. Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh, pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar dan

b.4. Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. Halusinasi Auditorik:

c.1. Suara halusinasi yang berkomentar terus- menerus terhadap perilaku pasien atau mengomentari perilaku pasien atau.

c.2. Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (di antara berbagai suara yang berbicara) atau

c.3. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham –waham menetap jenis lain yang menurut budaya dianggap tidak wajar dan mustahil seperti waham bisa mengendalikan cuaca, dan lain-lain.

Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

e. Halusinasi yang menetap dari setiap panca indra baik disertai waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas atau


(28)

ide-ide berlebihan yang menetap atau terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan secara terus- menrus.

f. Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.

g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan stupor.

h. Gejala-gejala negatif seperti apatis, bicara jarang serta respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial

Selain itu para ahli membagi gejala skizofrenia menjadi dua bagian yaitu gejala positif dan gejala negatif.

a. Termasuk gejala positif adalah:

a.1. Disorganisasi pikiran dan bicara: penderita bisa menceritakan keadaan sedih dengan mimik muka yang gembira atau sebaliknya.

a.2. Waham: penderita merasa dirinya seorang pahlawan atau orang besar dan bertindak seperti pahlawan atau orang besar .


(29)

a.3. Halusinasi: melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada.

a.4. Agitasi atau mengamuk: hal ini sering membuat penderita dikurung atau dipasung.

b. Termasuk gejala negatif adalah:

b.1. Tidak ada dorongan kehendak atau inisiatif atau apatis.

b.2. Menarik diri dari pergaulan sosial: penderita merasa senang jika tidak menjalani kehidupan sosial.

b.3. Tidak menunjukkan reaksi emosional (Isaacs, 2005; Hawari, 2001; Maslim, 1997, Depkes RI, 1993)

Teori ini digunakan untuk memudahkan keluarga mengenal gejala-gejala yang dialami oleh penderita skizofrenia, sehingga dapat melakukan penanganan.

2.1.3. Pola Perjalanan Penyakit 2.1.3.1.Skizofrenia paranoid Pedoman diagnostik:

Kriteria umum diagnosis skizofrenai harus dipenuhi. Sebagai tambahan, halusinasi dan atau waham harus menonjol, sedangkan gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata. Halusinasi yang mengancam atau memberi perintah dan halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau yang bersifat seksual. Waham dapat berupa hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan (control), dipengaruhi (influence) atau passivity dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.


(30)

2.1.3.2. Skizofrenai Hebefrenik Pedoman diagnostik:

Kriteria umum diagnostic skizofrenia harus dipenuhi. Biasanya diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda. Kepribadian premorbid secara khas, tetapi tidak selalu, pemalu, menyendiri (solitary). Untuk diagosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa perilaku yang khas seperti perilaku tidak bertanggung jawab, mannerisme, senyum sendiri memang benar bertahan.

2.1.3.3. Skizofrenia katatonik Pedoman diagnostik:

Kriteria untuk suatu diagnosis skizofrenia harus dipenuhi. Gejala katatonik terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada setiap subtipe skizofrenia, tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya: stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan gerakan), kegelisahan, sikap tubuh yang tidak wajar (bizarre), negativisme (perlawanan terhadap instruksi), rigiditas (sikap tubuh yang kaku), waxy flexibility (mempertahankan posisi tubuh yang dilakukan dari luar) dan gejala otomatisme terhadap perintah dan preservasi kata atau kalimat.

2.1.3.4. Skizofrenia tak terinci Pedoman diagnostik:

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia, tidak memenuhi untuk kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik dan katatonik, tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-skizofrenia


(31)

2.1.3.5. Depresi pasca-skizofrenia Pedoaman diagnostik:

Diagnosis ditegakkan hanya kalau pasien telah menderita skizofrenai (memenuhi criteria umum skizofrenia (selama 12 bulan terakhir), beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada dan gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi sedikitnya episode depresif dan telah ada untuk waktu sedikitnya 2 minggu.

2.1.3.6. Skizofrenia residual Pedoman diagnostik:

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi: (1) gejala negatif skizofrenai yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor, aktivitas menurun, afek tumpul, sikap pasif, miskin dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal buruk seperti kontak amta, ekspresi muka, sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial buruk. (2) sedikitnya ada riwayat episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia (3) sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang dan telah timbul sindrom negatif skizofrenia (4) tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organic lain, depresi kronis, atau institusionalisasi yang dapat menjelskan hendaya negatif tersebut. 2.1.3.7. Skizofrenia simpleks

Pedoman diagnostik:

Skizofrenia simpleks adalah suatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinkan, karena tergantung pada pemestian perkembangan yang berjalan perlahan, progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa riwayat halusinasi, waham atau


(32)

manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya dan disertai perubahan perilaku yang bermakna yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara sosial (Depkes RI, 1993; Maslim, 1997).

2.1.4. Etiologi Skizofrenia

Penyebab skizofrenia sampai kini belum diketahui secara pasti dan merupakan tantangan riset terbesar bagi pengobatan kontemporer.Telah banyak riset dilakukan dan banyak faktor predisposisi maupun pencetus yang diketahui anatara lain:

2.1.4.1. Faktor genetika

Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 15%-20% apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 30-40%. Pada kembar monozigot 40%-50%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 5%-10 %. Dari penelitian epidemiologi keluarga terlihat bahwa resiko untuk keponakan adalah 3%, masih lebih tinggi dari populasi umum yang hanya 1%. Demikian juga dari penelitian anak adopsi dikatakan, anak penderita skizofrenia yang diadopsi orang tua normal, tetap mempunyai resiko 16,6%, sebaliknya anak sehat yang diadopsi penderita skizofrenia resiko 1,6%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan keluarga biologis semakin tinggi resiko terkena skizofrenia

(Kaplan,1997; Teddy, 2002; Tomb, 2004). 2.1.4.2. Faktor biologis dan biokimia


(33)

Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamine yang menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamate dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian menggunakan CT Scan otak ternyata ditemukan perubahan anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama pada penderita kronis skizofrenia (Kaplan,1997; Hawari, 2001; Isaacs, 2005).

2.1.4.3. Faktor psikososial a. Teori perkembangan

Ahli teori seperti Freud, Sullivan, dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan sosial pada penderita skizorenia (Kaplan,1997; Isaacs, 2005).

b. Teori belajar

Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang kemudian menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang tua yang mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan interpersonal yang buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang karena mempelajari model yang buruk selama anak-anak(Kaplan,1997).


(34)

Teori-teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia belum divalidasi dengan penelitian. Bagian fungsi keluarga yang diimplikasikan dalam peningkatan kekambuhan penderita skizofrenia antara lain:

c.1. Faktor keluarga

Faktor keluarga yang dimaksudkan disini adalah faktor stress yang dialami anak dan remaja yang disebabkan kondisi keluarga yang tidak baik antara lain:

c.1.1. Hubungan kedua orang tua yang dingin atau penuh ketegangan

c.1.2. Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan anak-anak

c.1.3. Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik c.1.4. Kedua orang tua berpisah atau bercerai

c.1.5. Kematian salah satu atau kedua orang tua

c.2. Emosi yang diekspresikan atau disingkat EE (Expressed Emotion).

Dimana keluarga sering mengekspresikan emosi secara berlebihan dengan sikap kurang sabar, bermusuhan, pemarah, keras, kasar, kritis dan otoriter. Menurut penelitian (Leff dan Wing), angka relaps dirumah dengan EE rendah dan penderita minum obat teratur sebesar 12%, dengan EE rendah dan tanpa obat 42% sedangkan EE tinggi dan tanpa obat sebesar 92%. Penelitian lain juga mengatakan pemisahan penderita dari EE tinggi memperbaiki angka relaps (Kaplan, 1997; Hawari, 2001; Chandra, 2005).

2.1.4.4. Status sosial ekonomi

Beberapa ahli teori telah menyatakan bahwa industrialisasi, urbanisasi dan status sosial ekonomi yang rendah sangat kuat hubungannya dengan skizofrenia. Itu


(35)

sebabnya banyak penderita yang dijumpai pada masyarakat golongan menengah ke bawah. Hal ini juga didukung oleh penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa Nangroe Aceh Darussalam, bahwa 95,1% penderita relaps berasal dari golongan ekonomi tidak mampu (Kaplan, 1997; UCLA, 1997; Tomb, 2004).

2.1.4.5. Stres

Karena bervariasinya presentasi simtom dan prognosis skizofrenia, maka tidak ada faktor etiologik tunggal yang menyebabkan timbulnya skizofrenia. Ada model yang mengintegrasikan faktor biologis, faktor psikososial dan faktor lingkungan adalah model stress diatesis. Model ini menyatakan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) terhadap stres yang memungkinkan berkembang menjadi simtom skizofrenia (Kaplan, 1997).

Model interaksional yang mengatakan bahwa penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetik dan biologik terhadap stress dan dianggap penyebab utama dalam menentukan onset dan keparahan penyakit (Isaacs, 2005).

2.1.4.6. Kepribadian premorbid

Indikator premorbid (sebelum sakit) pada anak preskizofrenia menurut Nurmiati Amir (2003) antara lain ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh dan penyimpangan komunikasi seperti anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Sedangkan pada remaja perlu diperhatikan kepribadian premorbid seperti kepribadian paranoid atau curiga berlebihan, menganggap semua orang musuh, juga kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri (Ingram, 1995; Amir, 2003; Chandra, 2005).


(36)

2.1.4.7.Rokok dan penyalahgunaan napza

Gangguan skizoid dapat dicetuskan atau disebabkan oleh penggunaan kanabis (ganja, gelek, marijuana). Hasil penelitian terhadap 152 subjek episode pertama skizofrenia di West London didapatkan bahwa 60% subjek adalah perokok, 27% ada riwayat penggunaan alkohol, 35% sedang terlibat napza ( tidak termasuk alkohol ), dan 68% adalah pengguna napza selama hidupnya (Kaplan, 1997; Chandra, 2006).

Teori ini digunakan dalam penelitian agar keluarga mengetahui penyebab terjadinya skizofrenia yang dialami oleh anggota keluarganya, sehingga keluarga mampu menangani masalah yang terjadi.

2.1.5. Prognosis

Gejala premorbid merupakan gejala awal dari penyakit dan mulai pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa bulan. Onset gejala yang mengganggu terlihat setelah tercetus oleh perubahan sosial atau lingkungan. Sindrom prodromal dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset gejala psikotik yang jelas. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien memiliki periode pemulihan yang bertahap diikuti periode fungsi yang relatif normal. Tetapi relaps biasanya terjadi dalam lima tahun pertama setelah diagnosis, diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah suatu eksaserbasi dan remisi. Gejala positif dari skizofrenia cenderung lebih baik dibanding dengan gejala negatif yang dapat menimbulkan ketidakmampuan secara sosial (Kaplan, 1997).


(37)

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis, pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak berfungsi selama bertahun-tahun. Beberapa penelitian telah menemukan lebih dari periode waktu 5 samapi 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit jiwa, hanya 10 sampai 20% memiliki hasil yang baik. Lebih dari 50% memiliki hasil buruk dengan perawatan berulang di rumah sakit, eksaserbasi gejala, gangguan mood berat dan ada usaha bunuh diri. Rentang angka pemulihan berkisar 10 sampai 60%, kira-kira 20 sampai 30% dari penderita terus mengalami gejala yang sedang dan 40 sampai 60% dari penderita terus mengalami gangguan secara bermakna seumur hidup (Kaplan, 1997; Tomb, 2004).

2.1.6. Pencegahan dan Pengobatan Skizofrenia 2.1.6.1. Pencegahan

Menurut Kusumanto Setyonegoro (1967) pendekatan yang dilakukan dalam pencegahan skizofrenia dapat bersifat “eklektik holistik” yang mencakup tiga pilar yaitu organobiologis, psikoedukatif, dan sosial budaya, dan dari ketiga pilar tersebut dapat diketahui kepribadian seseorang. Dalam melengkapi pendekatan holistik tersebut, Hawari (1993) menambah satu pilar sehingga menjadi empat pilar yaitu organobiologis, psikoedukatif, sosial budaya, dan psikoreligius.

Upaya pencegahan yang dilakukan pada masing-masing pilar dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin munculnya skizofrenia dan kekambuhannya.

a. Organobiologis.

a.1. Bila ada silsilah keluarga menderita skizofrenia sebaiknya menikah dengan keluarga yang tidak ada silsilah skizofrenia


(38)

a.2. Walaupun dalam keluarga tidak ada silsilah menderita skizofrenia sebaiknya bila menikah dengan keluarga yang tidak ada silsilah menderita skizofrenia dan merupakan keluarga jauh.

a.3. Sebaiknya penderita atau bekas penderita skizofrenia tidak saling menikah. b. Psikoedukatif.

Beberapa sikap yang harus diperhatikan orang tua dalam membina mental-emosional dan mental-intelektual anak yaitu:

b.1. Sikap pertama adalah kemampuan untuk percaya pada kebaikan orang lain, Erikson (1972) memberikan istilah kepercayaan dasar (basic trust).

b.2. Sikap kedua adalah sikap terbuka. Kalau sikap ini di gabungkan dengan sikap kepercayaan, maka anak akan menjadi terbuka dan terus terang pada orang di sekitarnya. Sikap ini juga akan menciptakan sikap ingin tau dan sikap mau belajar (otonomi dan inisiatif).

b.3. Sikap ketiga adalah anak mampu menerima kata tidak atau kemampuan pengendalian diri terhadap hal-hal yang mengecewakan, kalau tidak anak akan sulit bergaul dan belajar di sekolah.

Keterpaduan ketiga sikap tersebut diatas akan menghasilkan anggota masyarakat baru dan sehat, mempunyai potensi untuk bisa sekolah dan bergaul dengan baik didalam maupun diluar keluarganya tanpa pengawasan serta mampu menyelesaikan konflik baik internal maupun eksternal dalam dirinya.

c. Psikoreligius.

D.B Larson, dkk (1992) dalam penelitiannya yang termuat dalam “Religious Commitment and Health” (APA, 1992), menyatakan bahwa agama amat penting dalam


(39)

pencegahan agar seseorang tidak mudah jatuh sakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan dan mempercepat penyembuhan. Sementara Snyderman (1996) menyatakan bahwa terapi medis tanpa agama tidak lengkap atau sebaliknya.

d. Psikososial.

Agar tumbuh kembang anak sehat baik fisik, psikologik, sosial dan spiritual, hendaknya diciptakan rumah tangga yang sehat dan bahagia agar supaya kepribadian anak menjadi matang dan kuat sehingga tidak mudah jatuh sakit. Sehubungan dengan hal tersebut N.Stinnet dan J.De Frain (1987) dalam studinya yang berjudul” The National Study on Family Strength” mengemukakan 6 kriteria membina keluarga yang sehat dan bahagia yaitu:

d.1. Ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga. d.2. Adakan waktu bersama dalam keluarga.

d.3. Ciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga.

d.4. Keluarga sebagai unit sosial yang terkecil ikatannya harus erat dan kuat, jangan longgar dan rapuh.

d.5. Harus saling harga-menghargai (appresiasi) sesama anggota keluarga.

d.6. Bila keluarga mengalami krisis, maka prioritas utama adalah keutuhan keluarga dan bila diperlukan berkonsultasi dengan ahlinya (marriage counselor) (Hawari, 2001; Vijay, 2005).

2.1.6.2. Pengobatan

Skizofrenia merupakan penyakit yang cenderung berlanjut (kronis atau menahun) maka terapi yang diberikan memerlukan waktu relatif lama berbulan bahkan sampai bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan


(40)

(relaps). Terapi yang komprehensif dan holistik telah dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi dan lebih manusiawi dibandingkan dengan pengobatan sebelumnya. Adapan terapi yang dimaksud adalah:

a. Psikofarmaka

Obat anti psikotik yang sering disebut dengan neuroleptik ditujukan untuk menghilangkan gejala skizofrenia. Golongan obat psikofarmaka yang sering digunakan di Indonesia (2001) terbagi dua: golongan typical (Largactil, Stelazine, Haldol) dan golongan atypical (Risperdal. Clozaril, Seroquel, Zyprexa). Menutrut Nemeroff (2001) dan Sharma (2001) kelebihan obat atypical antara lain: (1). Dapat menghilangkan gejala positif dan negatif, (2). Efek samping Extra Pyramidal Symptoms (EPS) sangat minimal atau boleh dikatakan tidak ada, (3). memulihkan fungsi kognitif.

Sementara Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemakaian obat golongan typical sebanyak 30% penderita tidak memperlihatkan perbaikan klinis bermakna, diakui bahwa golongan obat typical hanya mampu mengatasi gejala positif tetapi kurang efektif untuk mengatasi gejala negatif (Kaplan, 1997; Hawari, 2001; Isaacs, 2005).

b. Electro Convulsive Terapy ( ECT )

Electro Convulsive Terapy (ECT) diberikan pada penderita skizofrenia kronik. Tujuannya adalah memperpendek serangan skizofrenia, mempermudah kontak dengan penderita, namun tidak dapat mencegah serangan ulang (Kaplan, 1997; Maramis, 2004; Amir, 2006).

c. Terapi psikososial


(41)

Terapi yang berorientasi keluarga sangat berguna dalam pengobatan skizofrenia, karena seringkali pasien dipulangkan dalam keadaan remisi parsial. Ahli terapi harus membantu keluarga dan penderita mengerti skizofrenia, episode psikotik dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan episode tersebut. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga sangat efektif dalam menurunkan relaps. Demikian juga dengan pendapat Chandra yang mengatakan bahwa penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati dari keluarga, itu sebabnya keluarga perlu menghindari sikap Expressed Emotion (EE) atau reaksi berlebihan terhadap penderita.

c.2. Terapi kelompok

Terapi kelompok bagi penderita skizofrenia dipusatkan pada rencana, masalah dan hubungannya dengan kehidupan nyata dan sangat efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi penderita skizofrenia.

Terapi psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu beradaptasi kembali dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mandiri dan tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga. Sebaiknya penderita selama menjalani terapi psikososial masih tetap mengkonsumsi psikofarmaka dan diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun dan harus melakukan kesibukan (Kaplan, 1997; Hawari, 2001; Chandra, 2005).

d. Psikoterapi

Merupakan terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai


(42)

realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain: Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa. Psikoterapi re-edukatif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu. Psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit. Psikoterapi kognitif dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk,mana yang boleh dan tidak dan sebagainya. Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri. Psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan keluarganya (Kaplan, 1997; Hawari, 2001).

e. Terapi psikoreligius

Terapi keagamaan ternyata masih bermanfaat bagi penderita gangguan jiwa. Dari penelitian ternyata didapatkan kenyataan secara umum komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinik. Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan lain-lain (Vijay, 2005; Hawari, 2001).

f. Edukasi kepada publik untuk menurunkan stigma dan diskriminasi

Penting adanya pengetahuan masyarakat untuk tidak mengecap penderita dengan kata-kata seperti “gila” atau “kurang waras” bahkan mengejek atau menghujatnya (Vijay, 2005).


(43)

g. Rehabilitasi

Program rehabilitasi penting dilakukan sebagai persiapan penempatan kembali penderita kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain: terapi kelompok, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik seperti olah raga, keterampilan khusus/kursus, bercocok tanam, rekreasi dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu sebelum dan sesudah program rehabilitasi atau sebelum penderita dikembalikan ke keluarga dan masyarakat (Hawari, 2001; Isaacs, 2005).

Teori ini digunakan dalam penelitian untuk mengetahui tindakan apa yang dilakukan untuk mencegah terjadinya skizofrenia dan pengobatan apa yang harus dilakukan terhadap penderita skizofrenia.

2.1.7. Relaps

Relaps atau kambuh merupakan kondisi dimana pasien kembali menunjukkan gejala-gejala skizofrenia setelah remisi dari rumah sakit. Penderita yang mengalami relaps diikuti oleh pemburukan sosial lebih lanjut pada fungsi dasar pasien. Peningkatan angka relaps/kekambuhan berhubungan secara bermakna dengan emosi yang berlebihan dilingkungan rumah, terutama di dalam keluarga yang tidak harmonis, ketidaktahuan keluarga dalam menghadapi penderita dan juga pengobatan yang tidak adekuat yang dilakukan oleh keluarga terhadap penderita (Kaplan, 1997; UCLA, 1997; Tomb, 2004).


(44)

2.1.8. Komplikasi

Bunuh diri pada penderita skizofrenia merupakan urutan terbesar ketiga setelah gangguan afektif (30-90%) dan gangguan penyalahgunaan narkoba (20-60%). Selain itu yang tadinya penderita tidak merokok menjadi perokok berat. Pemakaian antipsikotik, menimbulkan tekanan terhadap hormon estrogen dan testosteron yang berguna untuk memproteksi tulang, sehingga mudah terjadi osteoporosis (Jurnal Farmasi dan Kedokteran, 2006; Chandra, 2006).

2.2. Koping Keluarga

2.2.1. Pengertian Koping Keluarga

Menurut Mc Cubbin (1981), koping keluarga didefinisikan sebagai respons yang positif sesuai dengan masalah, afektif, persepsi dan respons perilaku yang digunakan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau peristiwa.

Strategi-strategi koping keluarga berkembang dan berubah dari waktu ke waktu, sebagai respons terhadap tuntutan-tuntutan atau stressor yang dialami. Respons-respons keluarga meliputi tipe strategi koping internal dan eksternal. Sumber-sumber koping internal terdiri dari kemampuan keluarga yang menyatu sehingga menjadi kohesif dan terintegrasi. Keluarga yang paling sukses menghadapi masalah-masalah mereka adalah keluarga yang paling sering terintegrasi dengan baik, di mana anggota keluarga memiliki tanggung jawab yang kuat terhadap kelompok dan tujuan-tujuan kolektifnya.

Koping keluarga lainnya adalah fleksibitas peran yaitu mampu memodifikasi peran-peran keluarga ketika dibutuhkan (Hall dan Weaver, 1974). Hall dan Weaver juga menekankan pola-pola komunikasi merupakan hal penting dalam koping. Proses


(45)

komunikasi dalam keluarga sangat mempengaruhi kualitas hidup keluarga. Sumber-sumber koping eksternal berhubungan dengan penggunaan sistem pendukung sosial oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan terhadap informasi dan pelayanan. Tanpa kemampuan yang memadai dari keluarga untuk beradaptasi dengan lingkungan akan membawa keluarga kepada keadaan penuh resiko (Friedman, 1998).

2.2.2. Tipe Koping Keluarga 2.2.2.1. Koping keluarga internal

Dalam koping keluarga internal terdapat tujuh strategi koping intrafamilial yaitu:

a. Mengandalkan Kelompok Keluarga

Bagi keluarga tertentu ketika menghadapi masalah menjadi lebih mengandalkan sumber-sumber mereka sendiri. Keluarga melakukan hal ini dengan membuat struktur yang lebih besar dan organisasi dalam keluarga. Membentuk struktur yang lebih besar merupakan sebuah upaya kontrol yang lebih besar terhadap subsistem keluarga. Tipe koping keluarga ini berasal dari pengaruh etika protestan tradisional, yang menilai dan melihat kontrol diri dan kemandirian sangat penting selama masa-masa sulit. Seiring dengan strukturisasi, anggota keluarga perlu menjadi kuat dan belajar menyembunyikan perasaan dan menguasai ketegangan dalam diri mereka sendiri. Burgess (1979) menyatakan bahwa strategi koping seperti ini termasuk disiplin diri dikalangan anggota keluarga sangat penting dalam situasi yang penuh dengan stress. Mereka harus memelihara ketenangan dan kapasitas memecahkan masalah, karena merekalah yang bertanggung jawab bagi keluarga. Pearlin dan Schooler (1978) mengatakan bahwa


(46)

percaya diri merupakan respon koping dalam melaksanakan peran-peran keluarga (Friedman,1998).

b. Penggunaan Humor

Hot (1979) menunjukkan bahwa perasaan humor merupakan aset keluarga yang penting, yang dapat memberikan sumbangan perbaikan bagi sikap-sikap keluarga terhadap masalahnya dan perawatan kesehatan bagi anggota keluarganya. Grojahn mengulangi lagi pernyataan ini dengan menyatakan disamping kematangan, humor juga menyatakan kekuatan, superioritas dalam menghadapi bahaya dan ketegangan. Selain itu humor juga diakui sebagai suatu cara bagi individu dan kelompok untuk menghilangkan rasa cemas dan tegang (Friedman, 1998).

c. Pengungkapan Bersama Anggota Keluarga/ Memelihara Ikatan Keluarga

Pengungkapan bersama anggota keluarga merupakan suatu cara untuk membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan memelihara serta mengatasi tingkat stress, ikut serta dalam pengalaman bersama keluarga dan aktivitas-aktivitas keluarga. Keluarga yang lebih banyak melakukan pengungkapan bersama akan menghasilkan ikatan keluarga yang kuat. Lobsenz (1988), menerbitkan sebuah artikel tentang “Tips for Closer Family Ties”. Tips tersebut diberikan untuk membantu koping keluarga terhadap masalah-masalah keluarga anatara lain (1) tentukan waktu untuk bersama-sama (2) saling mengenal (3) membahas masalah secara bersama-sama (4) menentukan makan malam bersama (5) merancang sebuah proyek keluarga yang menantang (6) mengembangkan ritual-ritual (7) bermain bersama (8) jangan lupa bercerita ketika hendak tidur (9) melakukan pengungkapan tentang pekerjaan dan kehidupan disekolah (10) jangan biarkan ada jarak di antara anggota keluarga. Menurut Figley (1989),


(47)

pengungkapan perasaan dan persoalan sangat menguntungkan dalam mengurangi ketegangan keluarga. Ikatan keluarga yang kuat teristimewa sangat membantu ketika keluarga mengalami masalah, karena anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan. Demikian juga menurut Hartman dan Laird (1983) mengatakan bahwa keterlibatan keluarga dalam ritual-ritual sangat bermakna dan bernilai bagi keluarga, hal ini merupakan proses sosial yang terjadi berulang-ulang dan memberi definisi bersama tentang dunia. Kegiatan-kegiatan waktu luang keluarga juga merupakan sumber koping keluarga untuk memelihara ikatan moral dan kepuasan sebuah keluarga, seperti dikemukakan oleh Orthner (1976); Rapport (1974) dan West (1970). Strategi koping ini pada akhirnya bertujuan untuk membangun integrasi, ikatan dan resistensi yang lebih besar dalam keluarga (Friedman, 1998).

d. Mengontrol Kembali Makna dari Masalah dan Penyusunan Kembali Kognitif Salah satu cara utama untuk menemukan koping menurut Pearlin dan Schooler (1978) adalah dengan menggunakan mekanisme mental yaitu mengontrol makna dari masalah, hal ini dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif rangsang berbahaya yang dialami dalam keluarga. Perumusan kembali kognitif dalam keluarga merupakan cara yang paling baik untuk mengontrol makna sebuah masalah, yang menurut Folkman (1986) disebut dengan istilah “keyakinan optimistis” dan “penilaian positif”, di mana keluarga yang menggunakan strategi koping ini cenderung melihat masalah dari segi positif dibandingkan aspek negatif. Olson (1983) menerangkan bahwa dalam perumusan kembali keluarga dan anggotanya mendefinisikan kejadian stressor sebagai sebuah tantangan yang dapat diatasi. Keluarga cenderung menggunakan respons ini tidak hanya


(48)

untuk mengurangi keadaan yang penuh dengan masalah tapi juga untuk mencegah timbulnya masalah-masalah potensial agar tidak terjadi (Friedman, 1998).

e. Pemecahan Masalah Bersama

Pemecahan masalah secara bersama dikalangan anggota keluarga merupakan sebuah srategi koping keluarga yang telah dipelajari secara ekstensif dan metode-metode riset laboratorium yang dilakukan oleh peneliti keluarga. Pemecahan masalah secara bersama-sama dapat digambarkan sebagai suatu situasi di mana keluarga dapat mendiskusikan masalah yang ada secara bersama-sama, mengupayakan solusi atau jalan keluar dan mencapai konsensus tentang apa yang perlu dilakukan secara bersama oleh anggota keluarga. Reis (1981), menamakan keluarga yang menggunakan koping ini sebagai keluarga yang peka terhadap lingkungan dan tidak menjadikan masalah sebagai masalah internal. Figley (1989), mengidentifikasi solusi yang berorientasi pada pemecahan masalah sebagai sebuah tipe koping fungsional (Friedman, 1998).

f. Fleksibilitas Peran

Karena cepatnya perubahan yang terjadi dalam kehidupan keluarga, maka fleksibilitas peran merupakan strategi koping yang kokoh. Olson (1979), telah mengidentifikasi kapasitas koping ini sebagai salah satu cara utama adaptasi keluarga, dengan mengubah peran-peran ketika diperlukan merupakan hal yang paling penting. Davis (1986) memperkuat pentingnya fleksibilitas peran sebagai sebuah strategi koping fungsional, dengan menemukan bahwa peran keluarga bisa fleksibel atau kaku dapat membedakan tingkat berfungsinya keluarga (Friedman, 1998).


(49)

g. Normalisasi

Adalah salah satu strategi koping keluarga, di mana keluarga menormalkan segala sesuatu ketika mereka melakukan koping terhadap stressor jangka panjang yang cenderung merusak kehidupan keluarga. Davis (1963) seorang peneliti pertama yang menggunakan istilah “normalisasi” untuk menggambarkan respon keluarga terhadap sakit dan kecacatan pada anak yang menderita sakit polio. Keluarga meminimalkan situasi abnormalitas dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan biasa dan terus memelihara ikatan sosial. Menurut Friedman (1985); Schulman (1986), mengatakan bahwa strategi koping seperti ini sering digunakan dalam keluarga yang mengalami sakit kronis (Friedman, 1998).

2.2.2.2. Koping keluarga eksternal

Meskipun sumber koping dari dalam (internal) sangat penting, saat ini penulis di bidang ini menekankan perlunya keluarga yang mengalami stress menghasilkan dan menerima informasi eksternal yang lebih besar. Strategi koping ini termasuk mencari informasi, memelihara hubungan aktif dengan komunitas, mengupayakan dukungan sosial dan mencari dukungan spiritual.

a. Mencari Informasi

Keluarga-keluarga yang mengalami stress memberikan respons secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan stressor. Hal ini berfungsi utuk menambah rasa memiliki kontrol terhadap situasi dan mengurangi perasaan takut serta membantu keluarga menilai stressor secara lebih akurat. Sebuah riset yang mendokumentasikan penggunaan upaya mencari informasi sebagai suatu strategi koping keluarga dilakukan oleh Chesler dan Barbarin (1987). Dalam penelitian


(50)

mereka terhadap koping keluarga dengan anak yang mengalami kanker ditemukan bahwa upaya orang tua mencari informasi adalah sebagai suatu cara koping. Cara ini membantu sejumlah orang tua menempatkan respons-respons emosional dalam persfektif dan mengurangi ketidakpastian dan rasa takut akan prognosis anak-anak mereka (Friedman, 1998).

b. Memelihara Hubungan Aktif dengan Komunitas

Kategori ini berbeda dengan koping yang menggunakan sistem dukungan sosial, di mana kategori ini merupakan suatu koping keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum. Alasan pentingnya hubungan ini sebagai suatu teknik koping terletak pada teori sistem yang mengatakan bahwa sistem sosial memiliki suatu gerakan informasi dan menunjukkan fungsi-fungsinya. Dalam hal ini anggota keluarga adalah partisipan-partisipan aktif dalam kelompok komunitas, karena keluarga tidak mampu melayani semua kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga tanpa bantuan sumber-sumber lain, maka tindakan untuk meningkatkan hubungan dengan komunitas yang lebih luas sangat penting (Friedman, 1998).

c. Mencari Sistem Pendukung Sosial.

Mencari sistem pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga merupakan strategi koping keluarga eksternal yang utama. Menurut Mac Elveen (1978), setiap keluarga memiliki jaringan kerja sosial yang unik dan sangat penting bagi peningkatan citra diri, perasaan memiliki dan perasaan puas terhadap kelompok atau keluarga. Adapun tujuan dari sistem dukungan sosial ini yang pertama adalah memberikan dukungan pemeliharaan, memenuhi kebutuhan psikososial / emosional bagi anggota keluarga termasuk moral dan kesejahteraan. Oleh karena itu sistem ini akan


(51)

bekerja untuk menjaga dan memberi motivasi positif serta mendorong anggota keluarga untuk mengkomunikasikan kesulitan-kesulitan pribadi secara bebas. Tujuan kedua adalah bantuan yang berorientasi pada tugas yang lazim diberikan oleh keluarga. Menurut Caplan (1974), bantuan dari keluarga besar juga dalam bentuk bantuan langsung, bantuan finansial yang berkesinambungan dan perawatan fisik. Friedman (1985), menemukan bahwa tidak adanya dukungan keluarga besar dikalangan keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sakit, sangat bersifat merusak keluarga. Ada masalah dan bukti bahwa banyak keluarga yang tidak mencari bantuan eksternal saat mereka membutuhkan, hal ini terjadi karena ada keyakinan bahwa mereka mampu mandiri dan menganggap bahwa meminta bantuan adalah tanda kelemahan. Dengan demikian ketika mereka gagal menangani masalahnya, maka keluarga akan beralih pada profesional untuk memecahkan masalahnya (Friedman, 1998).

d. Mencari Dukungan Spiritual.

Menurut Chesler dan Barbarin (1987), Friedman (1985), meskipun banyak orang memikirkan upaya mencari dan mengandalkan dukungan spiritual sebagai suatu respon koping individual, beberapa studi mengatakan bahwa anggota keluarga menemukan dukungan spiritual ini sebagai cara keluarga untuk mengatasi masalahnya. Sesungguhnya kepercayaan terhadap Tuhan dan berdoa diidentifikasi oleh anggota keluarga sebagai cara yang paling penting bagi keluarga untuk mengatasi stressor yang berkaitan dengan kesehatan. Olson (1983) dalam survei kulit putih Luhteran dari kelas menengah keatas juga menemukan bahwa untuk mengatasi masalah sehari-hari, penggunaan agama merupakan hal yang penting. Dukungan spiritual membantu


(52)

keluarga mentoleransi ketegangan-ketegangan kronis dan lama serta membantu keutuhan keluarga (Friedman,1998).

Teori koping keluarga tersebut di atas digunakan dalam penelitian ini sebagai variabel yang akan diteliti untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006.


(53)

Genetik/ Herediter Biologis: • Neurotransmiter • Kerusakan struktur otak • Abnormalitas perkembangan saraf Psikososial/ lingkungan: • Perkembangan kepribadian • Faktor keluarga • Status social

ekonomi • Tempat tinggal • Rokok & napza • Stigma

Skizofrenia

Skizofrenia Remisi Sempurna

Koping Keluarga Internal:

- Mengandalkan kelompok keluarga

- Penggunaan humor

- Memelihara ikatan keluarga - Pemecahan masalah bersama - Fleksibikitas peran

- Normalisasi

Koping Keluarga Eksternal: - Mencari informasi

- Memelihara hubungan dengan komunitas

- Mencari dukungan sosial - Mencari dukungan spiritual Terapi somatik:

•Psikofarmaka

•ECT

•Rehabilitasi

Terapi psikososial: •Terapi keluarga •Terapi kelompok •Psikoterapi •Psikoreligius •Edukasi publik

Kejadian Relaps 2.3. Landasan Teori


(54)

2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Skizofrenia Remisi sempurna - Relaps - Tidak Relaps

Variabel Independen Variabel Dependen

Koping Keluarga •Internal

- Mengandalkan kelompok keluarga

- Penggunaan humor

- Memelihara ikatan keluarga - Mengontrol makna dari masalah - Pemecahan masalah secara

bersama

- Fleksibilitas peran - Normalisasi •Eksternal

- Mencari informasi

- Memelihara hubungan aktif dengan komunitas

- Mencari dukungan sosial - Mencari dukungan spiritual

Karakteristik Keluarga: - Umur

- Jenis Kelamin - Pendidikan terakhir - Pekerjaan

- Penghasilan


(55)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan rancangan studi Kasus-Kontrol yang bersifat Retrospektif, karena tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh koping keluarga terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia remisi sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober sampai dengan 10 Nopember 2006.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006.

3.3.2. Sampel

Sampel kasus adalah keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna yang relaps, dan di rawat ulang di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Sampel kontrol adalah keluarga penderita skizofrenia remisi sempurna yang tidak relaps dan sedang berobat jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(56)

3.3.2.1. Kriteria sampel

Untuk mendapatkan sampel yang sifatnya homogen maka harus mengikuti kriteria inklusi maupun eksklusi yang sudah ditetapkan.

a. Kriteria inklusi meliputi keluarga dari penderita skizofrenia remisi sempurna yang relaps dan tidak relaps serta belum menikah, merupakan keluarga inti (significant other) dari penderita, usia ≥ 18 tahun, tinggal serumah dengan penderita dan domisili di Medan.

b. Kriteria eksklusi adalah keluarga yang tidak memenuhi kriteria inklusi sehingga tidak diikutkan dalam penelitian yaitu keluarga dari penderita yang sudah menikah, bukan merupakan keluarga inti (significant other) dari penderita, usia < dari 18 tahun, tidak tinggal serumah dengan penderita dan domisili di luar Medan.

3.3.2.2. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan atas pertimbangan dari peneliti, untuk sampel kasus maupun kontrol dilakukan dengan matching sesuai dengan kriteria inklusi maupun ekslusi. 3.3.2.3. Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sampel tidak berpasangan (Sastroasmoro, 2002):

n1 =n2 =Z 2

2 1 2 2 2 1 1 ) ( ) ( ) ( 2 P P Q P Q P PQ − + Ζ + β

n1 =n2 = 1,960 2

2 ) 20 , 0 52 , 0 ( ) 80 , 0 . 20 , 0 ( ) 48 , 0 . 52 , 0 ( 842 , 0 64 , 0 . 36 , 0 . 2 − + +


(57)

n1 =n2 = 1,960 102 , 0 168 , 0 ( 842 , 0 461 , 0 +

n1 =n2 =

102 , 0 41 , 0 . 842 , 0 679 , 0 . 960 , 1 +

n1 =n2 =

102 , 0 345 , 0 33 , 1 +

n1 =n2 = 16 Keterangan:

n = Besar sampel OR = 4,28 (Hasil penelitian sebelumnya) Z = Tingkat kemaknaan 95%(1,960) P2 ( Proporsi kontrol) = 0,20

Z = Power 80% (0,842) P= 0,36 2

2

1+P =

P

P1 ( Proporsi kasus ) =

2 2

2

1 P ORxP ORxP

+

− Q= 1-P, Q1= 1-P1, Q2= 1-P2 = 0,52

3.4. Sumber Data dan Pengumpulan Data 3.4.1. Sumber data.

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dan data sekunder data yang diperoleh dari catatan medis, catatan perawatan dan data dari medical record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

3.4.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan langsung kepada responden. Kuesioner di buat sendiri oleh peneliti dari teori-teori yang ada. Namun sebelum kuesioner dibagikan kepada responden, peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba kuesioner kepada keluarga penderita lain yang tidak termasuk


(58)

responden dalam penelitian ini, kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan korelasi product moment (r).

Dikatakan kuesioner penelitian ini valid apabila r hitung lebih besar dari r tabel = 0,3044, dan dari hasil uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner koping internal terdapat delapan butir pertanyaan yang tidak valid dan kuesioner koping eksternal terdapat dua butir pertanyaan yang tidak valid karena nilai r < 0,3044 dan sudah dikeluarkan dari kuesioner penelitian. Setelah dilakukan pengujian terhadap kuesioner maka dilanjutkan dengan pembagian kuesioner kepada responden.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional Variabel 3.5.1. Definisi Variabel

a. Koping Keluarga Internal adalah cara keluarga inti menangani penderita skizofrenia remisi sempurna dengan kemampuan keluarga itu sendiri.

b. Koping Keluarga Eksternal adalah cara keluarga inti menangani penderita skizofrenia remisi sempurna dengan mencari bantuan di luar dari keluarga itu sendiri.

c. Relaps adalah penderita skizofrenia remisi sempurna mengalami kambuh dengan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia.

d. Tidak Relaps adalah penderita skizofrenia remisi sempurna tidak mengalami kambuh dan tidak menunjukkan gejala-gejala positif skizofrenia.


(59)

3.5.2. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1. Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Definisi Operasional Cara/

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur Variabel Independen Koping Keluarga Internal a.Mengandalkan Kelompok Keluarga Kemampuan keluarga untuk menggunakan sumber-sumber mereka sendiri dalam menangani penderita Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal b.Penggunaan Humor

Penggunaan humor saat berinteraksi dengan penderita Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal c.Memelihara Ikatan Keluarga

Cara keluarga menjaga keutuhan/kebersamaan dengan penderita Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal d.Mengontrol Makna Masalah Cara keluarga memandang penyakit penderita sebagai masalah dapat diatasi

Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal e.Pemecahan Masalah secara Bersama

Cara keluarga membantu penderita mengatasi masalahnya Angket/ kuesioner Selalu Kadang-adang Tidak Pernah Ordinal

f. Fleksibilitas Peran Cara keluarga mengubah /menggantikan peran pasien sesuai kebutuhan keluarga Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal

g. Normalisasi Cara keluarga untuk mengurangi perilaku abnormal dari penderita.

Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal Koping Keluarga Eksternal

a.Mencari Informasi Cara keluarga untuk mendapatkan informasi tentang skizofrenia dan cara menanganinya Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal b.Memelihara Hubungan Aktif dengan Komunitas

Cara keluarga membina hubungan baik dengan lingkungan/masyarakat sehingga memberi dukungan dalam menangani penderita Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal


(60)

Tabel 3.1. (Lanjutan) c.Mencari

Dukungan Sosial

Cara keluarga untuk mendapatkan dukungan moril dan material dari keluarga besar, teman dalam rangka menangani penderita Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal d.Mencari Dukungan Spiritual

Cara keluarga mengatasi stress dan ketegangan yang dialami penderita maupun keluarga melalui kegiatan-kegiatan ibadah, sembahyang /berdoa. Angket/ kuesioner Selalu Kadang-kadang Tidak Pernah Ordinal Variabel Dependen

Kejadian Relaps Penderita skizofrenia yang sudah sembuh kambuh kembali atau tidak Angket/ kuesioner Relaps Tidak relaps Nominal

3.6. Aspek Pengukuran

Penentuan norma skor skala koping keluarga ditentukan berdasarkan distribusi frekuensi dari skor-skor tes (Anastasi dan Urbina,1997) yaitu dengan mengetahui nilai skor terendah dan tertinggi skala koping keluarga yang diperoleh responden. Norma skor skala koping keluarga terdiri dari tiga kategori yaitu baik, cukup baik dan kurang baik, sehingga harus dibuat tiga kelas interval yang dapat mencakup seluruh skor skala koping keluarga yang diperoleh responden.

3.7. Analisis Data

a. Analisis Univariat untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dari setiap variabel yang diteliti.

b. Analisis Bivariat untuk melihat hubungan sebab akibat setiap variabel independen dengan variabel dependen dengan memakai Mann-Whitney U-Test.


(61)

c. Analisis Multivariat untuk mengetahui setiap variabel independen yang mempunyai hubungan yang paling kuat dengan variabel dependen, dengan menggunakan uji Regresi Logistik dengan rumus:


(62)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Penelitian Pengaruh Koping Keluarga terhadap Kejadian Relaps pada Skizofrenia Remisi Sempurna di lakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (RSJD PROVSU). Rumah sakit jiwa ini merupakan satu-satunya pusat rujukan untuk Sumatera bagian Utara yang berdiri sejak tahun 1935 yang berlokasi di Jalan Timur Medan dan pada tahun 1981 di pidahkan ke Jalan Letjen Djamin Ginting KM 10/Tali Air no 21 Padang Bulan Medan. Rumah Sakit Jiwa ini ditetapkan sebagai Rumah Sakit Jiwa kelas A sesuai dengan SK Menteri Kesehatan No 135/1978 dengan luas areal 38.000 M2 (3,8 Ha) dan luas bangunan 5,709 M2.

Rumah Sakit Jiwa Medan mempunyai tenaga-tenaga dokter ahli jiwa dari FK USU, UISU, baik sebagai Lektor, Lektor Kepala sampai Guru Besar (profesor) yang profesional dibidangnya sehingga peluang untuk dikembangkan dengan pelayanan yang lebih luas sangat memungkinkan. Selain itu Rumah Sakit Jiwa Medan ini juga sebagai rumah sakit pendidikan bagi seluruh institusi Akademi Keperawatan, Program Studi Ilmu Keperawatan, Psikologi USU, UMA, FK USU, FK UISU, FK UMI dan program PPDS (Psikiatri) USU. Khusus menyangkut program PPDS Ilmu Kedokteran Jiwa, Rumah Sakit Jiwa Medan merupakan satu-satunya Rumah Sakit Jiwa yang ditunjuk secara nasional sebagai tempat sarana pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI).


(1)

Friedman, Marilyn M, 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek, ed 3, Alih Bahasa: Ina Debora dan Yoakin Asy, Jakarta: EGC.

Hawari, Dadang, 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa, Ed 2, Jakarta: FKUI. Hidayat, Teddy, 2002. Konsultasi Kesehatan Jiwa: Kewalahan Mengawasi Kakak yang

Selalu Ingin Bunuh Diri . http://www.pikiranrakyat.com.2002.

Hurlock, Elizabeth H, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan sepanjang Kehidupan, Ed 5, Alih Bahasa, Istidayanti dan Soejdarwo, Jakarta: Erlangga. Ingram, dkk, 1995. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi 6. Alih Bahasa: Petrus Adianto,

Jakarta: EGC

Irmansyah, 2005. Faktor Genetika pada Skizofrenia. http://www.schizophrenia.web.id. Isaacs, Ann, 2005. Mental Health and Psychiatric Nursing. Alih Bahasa: Dian Praty

Rahayuningsih,Jakarta: EGC.

Izzudin, dan Amino, Gondohutomo.2005. Konsultasi dan Integrasi Pelayanan Psikiatri:Membunuh Keluarga Sendiri, http://www.suaramerdeka.com. 5 September 2005.

Kaplan dan Sadock, 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Ed 7, Alih Bahasa: Dr Widjaja Kusuma, Jakarta: Binarupa Aksara.

________,1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Alih Bahasa: Dr. WM. Roan, Jakarta: Widya Medika.

Kartini Kartono, 1997. Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan, Jakarta: CV Rajawali.

Kusuma, Widjaja, 1997. Kedaruratan Psikiatrik Dalam Praktek, Editor: Dr. Lyndon Saputra, Jakarta: Professional Books.

Lemeshoww, dkk, 1997, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Alih Bahasa:Dibyo Pramono, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Maramis, WF, 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan 8, Jakarta: Airlangga. Maslim, Rusdi, 1997. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Jakarta: TP.

Murti, Bhisma, 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta: Gajahmada University Press.


(2)

Residen Bagian Psikiatri UCLA, 1997. Buku Saku Psikiatri, Alih Bahasa: dr.R.F. Maulany, Jakarta: EGC.

Ridwan, 2003. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Bandung: Alfabeta. Sabri,Luknis dan Sutanto, 2007. Statistik Kesehatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Saifullah, 2005. Penanganan Penderita Skizofrenia Secara Holistik di Badan Pelayanan

Kesehatan Jiwa Nangroe Aceh Darussalam. Tesis. PPs USU. Medan.

Sastroasmoro, Sudigdo, 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Binarupa Aksara.

Shea, Shawn C, 1996. Wawancara Psikiatri, Alih Bahasa: Novi Helena Catherina, Elfi Syahreni, Aniek Maryunani,Jakarta:EGC.

Semi Jurnal Farmasi dan Kedokteran, “Hati-Hati Skizofrenia,” Ethical Digest, Ed 24, Hal: 31-40, Februari 2006.

Sunaryo, 2004. Psikologi Untuk Keperawatan, Jakarta: EGC.

Sundart, Siti, 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, Jakarta: Rineka Cipta.

Tomb, David A, 2004. Buku Saku Psikiatri, Ed 6, Alih Bahasa: dr.Martina Wiwie N, Jakarta: EGC.

Vijay, Chandra, 2005. Cara Pencegahan dan Pengobatan Gangguan Jiwa. http://www.BaliPost.co.id. 3 Agustus 2005.

Warga Miskin Cimahi Alami Gangguan Jiwa, http://www.hidayatullah.com/content/vieu/2248/481, 06 Maret 2005.


(3)

PETUNJUK PENGISIAN ANGKET

Pada halaman berikut ini terdapat sejumlah pernyataan yang harus saudara tanggapi. Untuk menanggapi pernyataan-pernyataan tersebut, saudara cukup memberikan tanda silang (X) pada kolom lembar jawaban yang tersedia, yaitu dengan memilih salah satu pendapat sebagai berikut:

3 = Selalu

2 = Kadang-kadang 1 = Tidak Pernah.

Dengan jawaban demikian, artinya saudara setuju dengan pernyataan tersebut. Dalam menjawab pernyataan tidak ada jawaban yang salah. Oleh sebab itu usahakan agar tidak ada jawaban yang dikosongkan.


(4)

KUESIONER PENELITIAN

PENGARUH KOPING KELUARGA TERHADAP KEJADIAN RELAPS PADA SKIZOFRENIA REMISI SEMPURNA DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2006

Nama Inisial Responden :

Umur : Tahun

Agama :

Jenis Kelamin : Laki-Laki / Perempuan Pendidikan Terakhir :

Pekerjaan :

Penghasilan :

Jumlah Anggota Keluarga :

Alternatif Jawaban

No Pernyataan 3 2 1

A. Koping Keluarga Internal

a. Mengandalkan Kelompok Keluarga 1. Keluarga menjelaskan pentingnya penderita minum obat

secara teratur sesuai anjuran dokter

2. Keluarga membawa penderita kontrol ke rumah sakit jiwa sesuai anjuran dokter

b. Penggunaan Humor

3. Keluarga menciptakan rasa humor saat berinteraksi dengan penderita

4. Keluarga menciptakan suasana senang dan hangat bagi penderita di rumah

5 Keluarga bersikap ramah saat berkomunikasi dengan penderita

c. Memelihara Ikatan Keluarga

6. Keluarga menyediakan waktu luang bersama dengan penderita

7. Keluarga menyediakan waktu untuk makan bersama dengan penderita

8. Keluarga memberi perhatian dan kasih sayang kepada penderita

d. Mengontrol Kembali Makna dari Masalah 9. Keluarga mengenal sikap dan perilaku yang dapat memicu


(5)

10. Keluarga menerima penderita apa adanya (kelebihan dan kekurangannya)

11. Keluarga bersikap tenang dan memiliki kesabaran dalam merawat penderita

12. Keluarga menghindari tindakan kasar kepada penderita e. Pemecahan Masalah Bersama

13. Keluarga memotivasi penderita untuk terbuka terhadap masalah yang dihadapi

14. Keluarga mendiskusikan masalah secara bersama dengan penderita

15. Keluarga membantu memberi jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi penderita

f. Fleksibilitas Peran 16. Keluarga memahami kedaan yang dialami penderita

17. Keluarga menerima dan menggantikan peran penderita sebelumnya

g. Normalisasi

18. Keluarga melibatkan penderita dalam kegiatan sehari-hari ditengah keluarga

19. Keluarga melatih penderita untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa bantuan orang lain

20. Keluarga memberi penghargaan bila penderita berhasil melakukan tugasnya dengan baik

B. Koping Keluarga Eksternal.

a. Mencari Informasi

1. Keluarga mengetahui tentang skizofrenia, pengobatan dan pencegahannya dengan membaca buku atau majalah

2. Keluarga melakukan konsultasi ke dokter/ psikiater untuk mengetahui keadaan penderita

3. Keluarga melakukan tukar menukar informasi dengan keluarga penderita skizofrenia yang lain

b. Memelihara Hubungan Aktif dengan Komunitas 4. Keluarga menjalin hubungan baik dengan masyarakat

5. Keluarga terlibat secara aktif dalam kegiatan dimasyarakat 6. Keluarga mendapat dukungan moril dan materil dari

masyarakat untuk merawat penderita

7. Keluarga memberi kesempatan kepada penderita untuk bergaul dengan masyarakat

c. Mencari Dukungan Sosial

8. Keluarga aktif mengikuti jaringan kerja sosial keluarga besar, tetangga atau teman

9. Keluarga mendapat bantuan langsung maupun tidak langsung dari keluarga besar, tetangga atau teman dalam merawat penderita


(6)

10. Keluarga mendapat informasi dan layanan yang baik dari jaringan kerja sosial yang ada untuk merawat penderita

d. Mencari Dukungan Spiritual

11. Keluarga melakukan konsultasi dengan tokoh agama atau tokoh spiritual

12. Keluarga melakukan ibadah secara teratur bersama dengan penderita di rumah

13. Keluarga mengikuti kegiatan kerohanian yang diadakan di tempat-tempat ibadah bersama dengan penderita

14. Keluarga membaca buku-buku kerohanian yang dapat membantu memecahkan masalah


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

0 66 166

PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

3 55 9

Gambaran Peran Keluarga Dalam Pemulihan Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

11 71 87

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Gambaran Karakteristik Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

28 144 68

Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

2 69 108

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara - Medan

30 131 90

PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 66

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia 2.1.1. Defenisi Skizofrenia - Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

0 0 52

Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

0 0 20