Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

(1)

PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA

SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2014

TESIS

Oleh

CHINTA BANGUN MANIK 107032075/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF MEDICAL COMPLIANCE AND FAMILY COPING ON THE PREVENTION FROM RELAPSE IN SCHIZOPHRENIA

PARANOID PATIENTS IN THE MENTAL HOSPITAL OF NORTH SUMATERA, IN 2014

THESIS

By

CHINTA BANGUN MANIK 107032075/IKM

MAGISTRATE IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA

SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2014

T E S I S

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

CHINTA BANGUN MANIK 107032075/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA

UTARA TAHUN 2014 NamaMahasiswa : Chinta Bangun Manik Nomor Induk Mahasiswa : 107032075

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H) (Dra. Tukiman, M.K.M

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S )


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 09 Oktober 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Dra. Tukiman, M.K.M

2. Prof. Dr.dr. HM. Joesof Simbolon, Sp.KJ(K) 3. drh. Hiswani. M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KEPATUHAN PENGOBATAN DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN PENDERITA

SKOZOFRENIA PARANOID DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, 09 Oktober 2014

CHINTA BANGUN MANIK 107032075/IKM


(7)

ABSTRAK

Skizofrenia Paranoid merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 menunjukkan 65,8% pasien skizofrenia paranoid yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia paranoid. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Jenis penelitian adalah explanatory research desain kasus kontrol. Populasi kasus adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia paranoid yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 1.862 orang. Sampel kasus adalah keluarga penderita skizofrenia yang kambuh sebanyak 80 orang dan sampel kontrol adalah keluarga penderita skizofrenia yang tidak kambuh sebanyak 80 orang, data diambil dengan teknik nonprobability sampling secara consecutive yang dilakukan matching terhadap umur dan jenis kelamin penderita skizofrenia paranoid, data primer diambil dengan mengunakan kuesioner melalui wawancara dan dianalisis dengan regresi logistic ganda pada α = 0,05%.

Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga berpengaruh dengan pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda bahwa Kepatuhan pengobatan (OR = 14,06, 95% CI 2,27- 86,88) koping keluarga internal (OR = 7,12, 95% CI 1,58 -31,99) dan koping keluarga eksternal (OR = 3,48, 95% CI 1,20- 10,09) berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Kepatuhan pengobatan merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.

Disarankan kepada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi pentingnya kepatuhan pengobatan dan peningkatan koping keluarga dalam merawat dan menangani penderita skizofrenia setelah pulang dari rumah sakit agar menjadi lebih baik sehingga mencegah kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.

Kata Kunci : Kepatuhan Pengobatan, Koping Keluarga, Kekambuhan, Skizofrenia Paranoid


(8)

ABSTRACT

Schizophrenia paranoid is a chronic psychotic disorder which has a relapse. The data from the Medical Research of the Mental Hospital of North Sumatera stated that 65.8% of schizophrenia paranoid patients who were treated in 2013 had a relapse so that they had to be sent again to the hospital. The high rate of relapse is probably related to the medical compliance and family coping. The objective of the research was to analyze the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients in the Mental Hospital of North Sumatera.

The research was an explanatory research with case control design. The population was 1, 862 schizophrenia paranoid patients treated in the Mental Hospital of North Sumatera. The case samples were 80 patients who had a relapse, and the control samples were 80 family members of the patients who did have a relapse, taken by using non-probability consecutive sampling technique which was done by using matching on the patients’ ages and sexes. The primary data were gathered by using questionnaires through interviews and analyzed by using multiple logistic

regression tests at α = 0.05%.

The result of the analysis, using bivatriate analysis with chi square test, showed that there was the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The result of multivatriate analysis, using multiple logistic regression tests, showed that there was the influence of medical compliance (OR = 14.06, 95% CI 2.27-86.88), internal family coping (OR = 7.12, 95% CI = 1.58-31.99), and external family coping (OR= 3.48, 95% CI = 1.20-10.09) on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The variable of medical compliance had the most dominant influence on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients.

It is recommended that the management of the hospital increase the counseling program about the importance of medical treatment and family coping in taking care of and handling schizophrenia patients after they come back from the hospital so that they become better and there will be no relapse.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala yang telah memberi rahmat dan hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H dan Dra. Tukiman, M.K.M selaku dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktu dan sabar untuk membimbing dan memotivasi penulis sehingga penulisan tesis ini selesai.

5. Prof. Dr. dr. HM. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K) dan drh. Hiswani. M.Kes selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Dr. Chandra Safei, Sp.OG selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang telah berperan dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan tesis ini.

8. Kedua orang tua tercinta ayahanda H. Usman Manik dan Ibunda Hj. Rosminah Angkat, serta saudara saudaraku yang senantiasa memberi perhatian, dukungan baik moril maupun materil serta doa selama penulis menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana IKM – FKM USU.

9. Terkhusus untuk suamiku tercinta Rahmansyah Ginting, SEI dan tersayang Maryam Maritza Ginting yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan, dan doa serta rasa cinta yang dalam, memotivasi dan memberikan dukungan moril maupun materil selama penulis menyelesaikan pendidikan program Pasca Sarjana IKM – FKM USU.


(11)

10. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khusunya Minat Studi Epidemiologi.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, penulis ucapkan terima kasih semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Chinta Bangun Manik 107032075/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Chinta Bangun Manik, dilahirkan di Sidikalang Sumatera Utara pada tanggal 29 Desember 1985, anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Usman Manik dan Ibunda Hj. Rosminah Angkat.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SDN 060934 Medan pada tahun 1992-1998, sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 21 Medan pada tahun 1998-2001, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Medan pada tahun 2001-2004, dan melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara tahun 2004-2009. Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi sejak tahun 2010-2014.

Penulis bekerja sebagai staf perawat di UPT Puskesmas Parongil Kabupaten Dairi tahun 2010- 2012. Kemudian pindah tugas ke Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 sampai dengan sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesa ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Skizofrenia ... 12

2.1.1. Definisi Skizofrenia ... 12

2.1.2. Tipe Skizofrenia ... 13

2.1.3. Epidemiologi ... 17

2.1.4. Etiologi ... 18

2.1.5. Penatalaksaan ... 23

2.2. Kepatuhan Pasien ... 31

2.2.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidakpatuhan ... 32

2.2.2. Jenis Ketidakpatuhan ... 41

2.2.3. Ketidakpatuhan terhadap Pengobatan ... 42

2.2.4. Akibat Ketidakpatuhan ... 44

2.2.5. Peningkatan Ketidapatuhan ... 45

2.3. Konsep Koping ... 46

2.3.1. Pengertian Koping ... 46

2.3.2. Macam-macam Koping ... 46

2.3.3. Metode Koping ... 47

2.3.4. Respons Koping ... 47

2.3.5. Koping Keluarga ... 48

2.3.6. Faktor yang Memengaruhi Strategi Koping ... 49

2.3.7. Tipe Strategi Koping Keluarga ... 51

2.4. Keluarga ... 56


(14)

2.4.2. Struktur Keluarga ... 56

2.4.3. Ciri-Ciri Struktur Keluarga ... 56

2.4.4. Tipe/bentuk Keluarga ... 57

2.4.5. Peranan keluarga ... 58

2.4.6. Tugas-tugas Keluarga... 59

2.5. Konsep Kekambuhan ... 59

2.5.1. Definisi Kekambuhan ... 59

2.5.2. Faktor-faktor Penyebab Kekambuhan... 61

2.6. Landasan Teori ... 62

2.7. Kerangka Konsep Penelitian ... 63

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 64

3.1. Jenis Penelitian ... 64

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65

3.3. Populasi ... 65

3.3.1. Populasi ... 65

3.4. Sampel ... 65

3.4.1. Kriteria Sampel ... 66

3.4.2. Besar Sampel ... 67

3.4.3. Teknik Sampling ... 68

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 69

3.5.1. Sumber Data ... 69

3.5.2. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 69

3.6. Variabel dan Definisi Operasional ... 71

3.6.1. Definisi Variabel Bebas ... 71

3.6.2. Definsi Variabel Terikat ... 73

3.7. Metode Pengukuran ... 74

3.8. Metode Analisis Data ... 76

3.8.1. Analisis Univariat ... 76

3.8.2. Analisis Bivariat ... 76

3.8.3. Analisis Multivariat ... 77

3.8.4. Analisis Populasi Attributable Risk ... 78

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 80

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 80

4.2. Struktur Organisas ... 82

4.3. Analisis Univariat ... 83

4.3.1. Karakteristik Responden ... 83

4.3.2. Karakteristik penderita ... 86

4.4. Analisis Bivariat ... 91

4.4.1. Kepatuhan pengobatan ... 91


(15)

4.5. Analisis Multivariat ... 103

4.6. Population Attribute Risk (PAR) ... 106

BAB 5. PEMBAHASAN ... 108

5.1. Karakteristik Responden ... 108

5.2. Karakteristik Penderita ... 110

5.3. Analisis bivariat ... 113

5.3.1. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid ... 113

5.3.2. Pengaruh Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid ... 117

5.4. Analisis Multivariat ... 126

5.5. Keterbatasan Penelitian ... 129

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 130

6.1. Kesimpulan ... 130

6.2. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 132


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1.1. Jumlah Pasien Gangguan Jiwa yang Dirawat dan Jumlah Penderita

Skizofrenia di RSJ Provinsi Sumatera Utara ... 7

3.1. Nilai OR Beberapa Penelian Sebelumnya ... 67

3.2. Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 75

3.3. Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 76

4.1 Tenaga Staf Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... 81

4.2. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Kelompok Umur Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 83

4.3. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Jenis Kelamin Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 84

4.4. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Hubungan Kekeluargaan Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 84

4.5. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Pekerjaan Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 85

4.6. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Pendidikan Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 85

4.7. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Tempat Tinggal Keluarga Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 86

4.8. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 87


(17)

4.9. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Kelompok Umur Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 87

4.10. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Agama Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 88

4.11. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Status Perkawinan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 88

4.12. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Suku Bangsa Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 89

4.13. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Pendidikan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 89

4.14. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Lama Menderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 90

4.15. Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Usia Pertama Kali Menderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi

Sumatera Utara ... 90

4.16 Distribusi Kambuh dan tidak Kambuh Berdasarkan Jenis Obat yang Dikonsumsi Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 91

4.17. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan (Faktor Penyakit, Faktor Regimen Terapi, dan Faktor Interaksi Pasien dengan Professional Kesehatan) terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 92

4.18. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 94

4.19. Pengaruh Koping Keluarga Internal (Mengandalkan Kelompok Keluarga, Penggunaan Humor, Memelihara Ikatan Keluarga,


(18)

Mengontrol Kembali Makna dari Masalah, Pemecahan Masalah Bersama, Fleksibilitas Peran dan Normalisasi) terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 95

4.20. Pengaruh Koping Keluarga Internal terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 99

4.21. Pengaruh Koping Keluarga Eksternal (Mencari Informasi, Memelihara Hubungan Aktif dengan Komunitas, Mencari Dukungan Sosial dan Mencari Dukungan Spiritual) terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 100

4.22. Pengaruh Koping Keluarga Eksternal terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 102

4.23. Pengaruh Kepatuhan Pengobatan, Koping Keluarga Internal dan Koping Keluarga Eksternal terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 104


(19)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Landasan Teori ... 62 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 63 3.2. Skema Rancangan Case Control ... 65


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 137 2. Kuesioner Penelitian ... 138 3. Data dan Hasil Uji Validitas dan Realibilitas... .

145

3. Master Data ... 154 4. Hasil Statistik ... 180 5. Surat Penelitian ... 243


(21)

ABSTRAK

Skizofrenia Paranoid merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 menunjukkan 65,8% pasien skizofrenia paranoid yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia paranoid. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Jenis penelitian adalah explanatory research desain kasus kontrol. Populasi kasus adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia paranoid yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 1.862 orang. Sampel kasus adalah keluarga penderita skizofrenia yang kambuh sebanyak 80 orang dan sampel kontrol adalah keluarga penderita skizofrenia yang tidak kambuh sebanyak 80 orang, data diambil dengan teknik nonprobability sampling secara consecutive yang dilakukan matching terhadap umur dan jenis kelamin penderita skizofrenia paranoid, data primer diambil dengan mengunakan kuesioner melalui wawancara dan dianalisis dengan regresi logistic ganda pada α = 0,05%.

Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan kepatuhan pengobatan dan koping keluarga berpengaruh dengan pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda bahwa Kepatuhan pengobatan (OR = 14,06, 95% CI 2,27- 86,88) koping keluarga internal (OR = 7,12, 95% CI 1,58 -31,99) dan koping keluarga eksternal (OR = 3,48, 95% CI 1,20- 10,09) berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid. Kepatuhan pengobatan merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.

Disarankan kepada Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi pentingnya kepatuhan pengobatan dan peningkatan koping keluarga dalam merawat dan menangani penderita skizofrenia setelah pulang dari rumah sakit agar menjadi lebih baik sehingga mencegah kekambuhan penderita skizofrenia paranoid.

Kata Kunci : Kepatuhan Pengobatan, Koping Keluarga, Kekambuhan, Skizofrenia Paranoid


(22)

ABSTRACT

Schizophrenia paranoid is a chronic psychotic disorder which has a relapse. The data from the Medical Research of the Mental Hospital of North Sumatera stated that 65.8% of schizophrenia paranoid patients who were treated in 2013 had a relapse so that they had to be sent again to the hospital. The high rate of relapse is probably related to the medical compliance and family coping. The objective of the research was to analyze the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients in the Mental Hospital of North Sumatera.

The research was an explanatory research with case control design. The population was 1, 862 schizophrenia paranoid patients treated in the Mental Hospital of North Sumatera. The case samples were 80 patients who had a relapse, and the control samples were 80 family members of the patients who did have a relapse, taken by using non-probability consecutive sampling technique which was done by using matching on the patients’ ages and sexes. The primary data were gathered by using questionnaires through interviews and analyzed by using multiple logistic

regression tests at α = 0.05%.

The result of the analysis, using bivatriate analysis with chi square test, showed that there was the influence of medical compliance and family coping on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The result of multivatriate analysis, using multiple logistic regression tests, showed that there was the influence of medical compliance (OR = 14.06, 95% CI 2.27-86.88), internal family coping (OR = 7.12, 95% CI = 1.58-31.99), and external family coping (OR= 3.48, 95% CI = 1.20-10.09) on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients. The variable of medical compliance had the most dominant influence on the prevention from relapse in schizophrenia paranoid patients.

It is recommended that the management of the hospital increase the counseling program about the importance of medical treatment and family coping in taking care of and handling schizophrenia patients after they come back from the hospital so that they become better and there will be no relapse.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi, gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, menunjukkan afek yang datar serta terganggunya relasi personal. Skizofrenia merupakan suatu penyakit di bagian otak yang persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2006).

Laporan American Psychiatric Association (1995) menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia adalah 1% dari populasi penduduk dunia menderita gangguan jiwa, sedangkan menurut hasil penelitian di Indonesia, terdapat sekitar 1-2% penduduk yang menderita skizofrenia yang berarti 2-4 juta jiwa dan dari jumlah tersebut diperkirakan penderita skizofrenia yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Oleh karena itu, siapa saja bisa terkena skizofrenia tanpa melihat jenis kelamin, status sosial maupun tingkat pendidikan.(Siswanto, 2009).

beberapa faktor kausatif terimplikasi untuk skizofrenia, termasuk pengaruh genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau kecelakaan dalam proses persalinan dan


(24)

stressor psikologis. Penting untuk memelajari seberapa banyak stress macam apa yang membuat seseorang memiliki predisposisi skizofrenia. Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan. (Kaplan & Sadock, 2010)

Berdasarkan statistik usia terbanyak penderita Skizofrenia adalah 15-30 tahun, namun pada imunologi dikenal juga penyakit skizofrenia yang dialami oleh anak-anak sekitar usia 8 tahun dan pada usia lanjut lebih dari 45 tahun. Kondisi yang ada lebih dari 80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak diobati dan tidak tertangani dengan optimal baik oleh keluarga maupun tim medis yang ada. Pasien – pasien yang menderita skizofrenia dibiarkan berada di jalan – jalan, bahkan ada pula yang dipasung oleh keluarga. Dengan kondisi seperti ini memungkinkan terjadi peningkatan jumlah penderita skizofrenia yang memerlukan rawat inap di rumah sakit dari waktu ke waktu. Perawatan kembali pasien dengan skizofrenia lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien gangguan mental berat lainnya.(Linden, 2005)

Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% klien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat, 50-80% klien skizofrenia yang pernah dirawat di RS akan kambuh.(Carson & Ross, 2000)


(25)

Proses penyembuhan pada pasien gangguan jiwa harus dilakukan secara holistik dan melibatkan anggota keluarga. Tanpa itu, sama halnya dengan penyakit umum, gangguan jiwa pun bisa kambuh. Koping keluarga sangat penting untuk ikut berpartisipasi dalam proses penyembuhan karena keluarga merupakan pendukung utama dalam merawat pasien. Oleh karena itu, asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan pasien tetapi bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dalam keluarga. (Syaifullah, 2005)

Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan “perawat utama” bagi penderita. Keluarga harus memiliki koping yang adaftif dalam mengatasi/menghadapi penderita skizofrenia untuk menentukan cara atau perawatan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga kemungkinan kambuh dapat dicegah. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita dirumah. Keluarga jarang mengikuti proses keperawatan penderita karena jarang mengunjungi penderita di rumah sakit, dan tim kesehatan di rumah sakit juga jarang melibatkan keluarga (Keliat, 1996).


(26)

Koping keluarga merupakan cara keluarga menghadapi/menangani penderita skizoprenia remisi sempurna sehingga tidak terjadi relaps. Keluarga pasien perlu mempunyai sikap yang positif untuk mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia. Keluarga perlu memberikan dukungan (support) kepada pasien untuk meningkatkan motivasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan perawatan secara mandiri. Keluarga perlu mempunyai sikap menerima pasien, memberikan respons positif kepada pasien, menghargai pasien sebagai anggota keluarga dan menumbuhkan sikap tanggung jawab pada pasien. Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga terhadap pasien akan berpengaruh terhadap kekambuhan pasien. (Keliat, 1996)

Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi terlalu memanjakan juga tidak baik. Koping keluarga sangat penting untuk membantu pasien bersosialisasi kembali, menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien secara pribadi dan membantu pemecahan masalah pasien. (Rubbyana, 2012)

Dinamika keluarga yang penuh konflik akan sangat mengganggu ruang hidup yang ada pada keluarga dan akibatnya lebih beresiko pada kekambuhan pasien skizofrenia. Pencegahan kekambuhan pasien di lingkungan keluarga dapat terlaksana dengan persiapan pulang yang baik dan mobilisasi fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat khususnya koping keluarga yang adaptif terhadap pasien (Arif, 2006)


(27)

Menurut Torrey sebagaimana yang dikutip oleh Gunarsa (2004), keluarga perlu memiliki sikap yang tepat tentang skizofrenia, disingkatnya dengan SAFE (Sense of humor, Accepting the illness, Familliy balance, and Expectations are realistic). Sedangkan menurut Freidmen(2005), strategi koping keluarga yang baik merupakan kunci pertama proses penyembuhan atau pencegahan kekambuhan skizofrenia. Keluarga harus tetap bersikap menerima, tetap berkomunikasi, tidak mengasingkan penderita dan memuji tindakan yang dilakukan pasien.

Demikian juga menurut para ahli psikiatri, mengatakan banyak hal yang dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia, salah satu yang paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat. Menurut Sasanto, kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain itu peran keluarga juga dibutuhkan untuk resosialisasi dan pencegahan relaps (Vijay 2005).

Penyebab kekambuhan pada penderita gangguan skizofrenia pasca dari RSJ adalah keluarga yang kurang harmonis atau kurang kondusif. Hubungan dengan saudara yang kurang akrab, penderita yang memang malas serta merasa bosan kontrol secara rutin sehingga minum obat menjadi tidak teratur. Kurang adanya dukungan dalam pengontrolan minum obat penderita dari keluarga sehingga rawat jalan menjadi tidak stabil kemudian faktor di luar keluarga yaitu stressor lingkungan yang berlebihan salah satunya pekerjaan yang menumpuk.(Abidin, 2007)

Ketidakpatuhan minum obat menunjukkan bahwa sebagian besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sejumlah faktor tampaknya


(28)

berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan, termasuk hubungan dokter atau tim medis lainnya dengan pasien yang negatif, ongkos pengobatan, efek samping obat yang dirasakan oleh pasien, lamanya pengobatan, dan dukungan sosial yang buruk dari keluarga terdekat pasien skizofrenia. (Rubbyana, 2012)

Menurut Umbricht dan Kane (1996), tidak mengejutkan bila efek-efek samping negatif obat juga merupakan faktor penting bagi penolakan pasien. Antipsikotik dapat menghasilkan sejumlah gejala fisik yang tidak dikehendaki, seperti grogginess (pusing), pandangan kabur, dan mulut kering (Durand, 2007). Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya (Tambayong, 2002).

Ketidakpatuhan pemakaian obat akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk (Siregar, 2006).

Penelitian yang dilakukan Ayuso Guitereez (1997) menjelaskan bahwa 73% penderita skizofrenia memerlukan perawatan kembali karena ketidakpatuhan terhadap


(29)

pengobatan. Keluarga dapat membantu kepatuhan pasien minum obat dengan memperhatikan jadwal pasien minum obat dan mengamati efek samping yang terjadi pada pasien. Tingkat perawatan kembali biasanya digunakan sebagai indikator dalam bidang pelayanan kesehatan dan digunakan untuk menentukan efektifitas penatalaksanaan selama rawat inap (Tattan, 2001).

Menurut data yang ditemukan berdasarkan penelitian Slamet, dibeberapa rumah sakit lain menunjukkan bahwa di RSJ Jakarta, Prevalensi rawat ulang penderita gangguan jiwa adalah 46% di RSJ Semarang, rawat ulang sebesar 56,4% dan pada Instalasi Rawat Inap IV Perawatan Jiwa RSU dr Sardjito adalah 61% (Indrati, 1990). Penelitian terakhir pada tahun 2003 oleh Slamet, di RS yang sama menunjukkan peningkatan perawatan kembali pasien skizofrenia menjadi 69,9% (Andriza, 2007).

Tabel 1.1. Jumlah Pasien Gangguan Jiwa yang Dirawat dan Jumlah Penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2012 No Tahun

Jumlah Pasien Gangguan Jiwa yang Dirawat Jumlah Pasien Skizofrenia Paranoid Jumlah Pasien Skizofrenia Paranoid yang Dirawat Berulang

1 2010 1.949 1.728 (88,6%) 884 (51,1%)

2 2011 2.216 1.814 (81,8%) 925 (50,9%)

3 2012 2.138 1.671 (78,1%) 1.174 (70,2%) 4 2013 2.234 1.862 (83,3%) 1.226 (65,8%) Sumber : Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun

2010- 2013

Berdasarkan tabel 1.1 dapat dilihat bahwa adanya peningkatan jumlah pasien gangguan jiwa dari tahun 2010 s.d 2013 di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Dan dari angka tersebut sebanyak 80% gangguan jiwa tersebut


(30)

didiagnosa skizofrenia paranoid. Dari jumlah penderita skizofrenia paranoid tersebut yang mengalami kekambuhan atau dirawat ulang kembali dari tahun 2010 s.d 2013 menurnjukkan peningkatan. Dari data pada tahun 2013 sebanyak 1.862 orang pasien skizofrenia paranoid yang dirawat terdapat 1.226 orang ( 65,8%) adalah pasien yang dirawat ulang kembali. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien skizofrenia paranoid yang mengalami kekambuhan angkanya meningkat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga Terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014”. Hal ini juga didukung bahwa belum ada data tentang pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga Terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014?


(31)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh kepatuhan pengobatan (penyakit, regimen terapi dan interaksi pasien dengan professional kesehatan) terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

b. Untuk mengetahui pengaruh koping keluarga internal terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

c. Untuk mengetahui pengaruh koping keluarga eksternal terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

d. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi kekambuhan dan ketidakkambuhan berdasarkan karakteristik keluarga dan karakteristik penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(32)

e. Untuk mengetahui probabilitas pencegahan kekambuhan skizofrenia yang diperankan oleh kepatuhan pengobatan dan koping keluarga

f. Untuk mengetahui berapa besar proporsi kasus relaps skizofrenia paranoid dalam populasi total dapat dicegah bila faktor resiko dihilangkan.

1.4. Hipotesa

Hipotesis penelitian adalah adanya pengaruh antara kepatuhan pengobatan dan koping keluarga terhadap pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis

a. Pengembangan ilmu kedokteran jiwa terhadap penatalaksanaan pasien skizofrenia paranoid.

b. Verifikasi tentang teori ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan koping keluarga dengan perawatan kembali (Rehospitalisasi) pasien skizofrenia paranoid.

1.5.2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia paranoid di dalam perencanaan kebijakan pelayanan khususnya sebagai pertimbangan dalam perencanaan farmakoterapi.


(33)

b. Bagi keluarga

Menambah pengetahuan keluarga tentang skizofrenia paranoid koping keluarga untuk mencegah kekambuhan pasien skizofrenia paranoid.

c. Bagi Masyarakat

Masyarakat mengerti tentang skizoprenia paranoid dan dapat memberi dukungan sosial mencegah kekambuhan sehingga dapat mengurangi frekwensi perawatan kembali pasien skizofrenia paranoid.

d. Bagi Rumah Sakit Jiwa

Dapat melakukan program pelatihan dan edukasi bagi keluarga serta melakukan program integrasi puskesmas agar kasus kasus gangguan jiwa dapat terdeteksi secara dini dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dijangkau oleh masyarakat luas.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

2.1.1. Defenisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal serta memecahkan masalah (Stuart, 2002), sedangkan menurut Hawari (2001) skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.

Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan biasanya dalam jangka panjang . Skizofrenia merupakan sebuah sindroma kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun anggota – anggota keluarganya. Gangguan ini dapat mengganggu persepsi, pikiran, pembicaraan, dan gerakan seseorang. Nyaris hampir semua aspek fungsinya sehari – hari terganggu (Durand, 2007).

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, harus memenuhi kriteria DSM-IV. Berdasarkan DSM-IV yaitu:


(35)

b. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi

c. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut

d. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayaor, autism, atau gangguan organik. (DSM –IV-TR, 2000)

Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang baik. Sekitar 25% klien dapat sembuh total dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat, 50-80% klien skizofrenia yang pernah dirawat di RS akan sembuh sosial dan akan kambuh kembali.(Carson & Ross, 2000)

2.1.2. Tipe Skizofrenia

Berikut ini adalah tipe-tipe dari skizofrenia dari DSM-IV-TR. Diantaranya yaitu sebagai berikut:

a. Tipe Paranoid

Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran klinis di dominasi oleh waham-waham yang secara relatif stabil, sering kali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. Gangguan afektif,


(36)

dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.

Beberapa contoh dari gejala-gejala paranoid yang paling umum: a). waham kejaran, rujukan (reference), “exalted birth” (merasa dirinya tinggi, istimewa), misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan. b). Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing). c). Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan-keadaan yang akut, tetapi sekalipun demikian kelainan itu tidak menghambat diberikannya deskripsi secara jelas mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif biasanya kurang mengumpul di bandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu derajat yang ringan mengenai ketidakserasian dan gangguan suasana perasaan (mood) seperti iritabilitas, “negatif” serta dorongan kehendak (volition) sering dijumpai tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya (DSM-IV- TR, 2000)

Perjalanan penyakit skizofrenia paranoid dapat terjadi secara episodik, dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus-kasus yang kronis, gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk membedakan episode-episode yang terpisah. Onset cenderung terjadi pada usia yang lebih tua dari pada bentuk-bentuk hebefrenik dan katatonik (DSM-IV-TR ,2000).


(37)

b. Tipe Disorganized (Kacau)

Kontras dengan skizofrenia tipe paranoid, para penderita skizofrenia tipe terdisorganisasi memperlihatkan disrupsi yang tampak nyata dalam pembicaraan dan perilakunya. Mereka juga memperlihatkan afek datar atau afek tidak pas, seperti tertawa dungu pada saat yang tidak tepat (American Psychiatric Association dalam Durand, 2007). Tipe ini sebelumnya disebut tipe hebefrenik.

Individu-individu dengan diagnosis ini menunjukkan tanda-tanda kesulitan sejak usia dini, dan masalah mereka sering kali bersifat kronis, jarang menunjukkan remisi (perbaikan gejala) yang menjadi ciri bentuk-bentuk lain gangguan ini (Harley-Bayle, Sarfati, dan Passerieu dalam Durand, 2007).

c. Tipe Katatonik

Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang essensial dan dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti hiperkinesis dan stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat di pertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan mungkin merupakan gambaran keadaan yang mencolok. Gejala katatonik terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada saat setiap subtipe skizofrenia, tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu adalah lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya, yakni : a). Stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau autism. b). Kegelisahan (aktivitas motor yang tampak tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal). c). Berpose (secara sukarela


(38)

mengambil dan mempertahankan sikap tubuh tertentu tang tidak wajar atau “bizarre”). d). Negativisme (perlawanan yang jelas tidak bermotif terhadap semua intruksi atau upaya untuk digerakkan, atau bergerak kearah yang berlawanan ). e). Rigiditas (rigidity : mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan upaya untuk menggerakkannya). f). “waxy flexibility” (mempertahankan posisi anggota gerak dan tubuh yang dilakukan dari luar). g). Gejala-gejala lain seperti otomatisme terhadap perintah (command automatism : ketaatan secara otomatis terhadap perintah), dan perseverasi kata-kata serta kalimat-kalimat.

Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan bersifat suatu petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala-gejala katatonik dapat juga diprovokasikan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alhokol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana perasaan (mood) (DSM-IV-TR, 2000)

d. Tipe Undifferentiated (Tidak Tergolongkan)

Orang-orang yang tidak tepat dengan tipe-tipe di atas diklasifikasikan mengalami skizofrenia tipe tak terbedakan. Mereka meliputi orang-orang yang memiliki gejala-gejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, terdisorganisasi/hebefrenik, atau katatonik (Durand, 2007).

e. Tipe Residual

Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut


(39)

yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala “negatif” jangka panjang, walaupun belum tentu irreversible.

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi : a). Gejala “negatif” skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. b). Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia. c). Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun di mana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” skizofrenia. d). Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan hendaya negatif tersebut (DSM-IV-TR, 2000).

2.1.3. Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi


(40)

pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

Di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

2.1.4. Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain :

a. Model Diatesis-stres

Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.

Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stress psikososial , dan trauma.


(41)

Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun stressornya. b. Faktor Neurobiologi

Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita skizofrenia di temukan perubahan-perubahan atau gangguan pada sistem tranmisi sinyal penghantar syaraf (neuro-transmitter) dan reseptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neuro-kimia seperti dopamine dan serotonin yang ternyata memengaruhi fungsi-fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif maupun negatif Skizofrenia. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya simptom skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial. Yang disebut Hipotesa Dopamin.


(42)

Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa : 1) Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan

kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.

2) Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.

c. Faktor Genetik

Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an, menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan seseorang menderita skizofrenia adalah berhubungan dekatnya persaudaraa tersebut. Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada kembar monozigotik yang di adopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orangtua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh saudara kandungnya (Kaplan & Sadock, 2010).

Faktor genetik skizofrenia adalah sejumlah faktor kausatif terimplikasi untuk skizofrenia, termasuk pengaruh genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter, kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh infeksi virus prenatal atau


(43)

kecelakaan dalam proses persalinan dan stressor psikologis. Penting untuk memelajari seberapa banyak stress macam apa yang membuat seseorang memiliki predisposisi skizofrenia. Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand, 2007).

Kallman menunjukkan bahwa tingkat keparahan gangguan pada orangtua memengaruhi kemungkinan anaknya untuk mengalami skizofrenia. Semakin parah skizofrenia orangtuanya, semakin besar kemungkinan anak-anaknya untuk mengembangkan gangguan yang sama. Memiliki keluarga yang mengalami skizofrenia juga membuat sesorang memiliki kemungkinan lebih besar untuk memiliki gangguan yang sama di banding seseorang dalam populasi secara umum yang tidak memiliki keluarga semacam itu (hanya sekitar 1%) (Durand, 2007). d. Faktor Psikososial

Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa adalah adanya stressor psikososial. Stressor Psikososial adalah setiap keadaan


(44)

atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja atau dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan – keluhan di bidang kejiwaan berupa gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat (Hawari, 2001).

Pada sebahagian orang perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dapat merupakan stressor psikososial, yaitu antara lain : a). Pola kehidupan masyarakat dari semula sosial-religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat individual, materialistis dan sekuler. b). Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif. c). Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family) cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family) bahkan sampai pada pola orang tua tunggal (single parent family). d). Hubungan kekeluargaan (silaturahmi) yang semula erat dan kuat cenderung menjadi longgar dan rapuh. Masing-masing anggota keluarga seolah-olah berjalan sendiri-sendiri (nafsi-nafsi); sehingga seakan-akan hidup dalam keterasingan (alienation). e). Nilai-nilai moral-etika agama dan tradisional masyarakat, cenderung berubah menjadi masyarakat sekuler dan moder serta serba boleh (permissive society). f). Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah. g). Ambisi karier dan materi yang tak terkendali dapat menggangu hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun masyarakat (Hawari, 2001)


(45)

2.1.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi psikososial.

a. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif dan pembedahan bagian otak. 1. Terapi Psikofarmaka

Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. (Tomb, 2003) Antipsikotik (juga disebut neuroleptics) adalah kelompok obat-obatan psikoaktif umum tetapi tidak secara khusus digunakan untuk mengobati psikosis, yang ditandai oleh skizofrenia. Obat antipsikotik memiliki beberapa sinonim antara lain neuroleptik dan transquilizer mayor. Seiring waktu berbagai antipsikotik telah dikembangkan. Antipsikotik generasi pertama, yang dikenal sebagai antipsikotik tipikal, ditemukan pada 1950-an.Sebagian besar obat-obatan pada generasi kedua, yang dikenal sebagai antipsikotik atipikal, baru-baru ini telah dikembangkan, meskipun anti-psikotik atipikal pertama, clozapine, ditemukan pada 1950-an, dan diperkenalkan secara klinis pada 1970-an. Kedua kelas obat-obatan cenderung untuk memblokir reseptor di otak jalur dopamin, tetapi obat-obatan antipsikotik mencakup berbagai target reseptor. (DSM IV-TR, 2000)

Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter pada manusia yang sangat berperan pada mekanisme terjadinya gangguan psikotik. Dopamin sendiri diproduksi pada beberapa area di otak, termasuk subtantia nigra dan area ventral tegmental.


(46)

Dopamin juga merupakan neurohormon yang dihasilkan oleh hipotalamus. Fungsi utama hormon ini adalah menghambat pembentukan prolaktin dan lobus anterior kelenjer pituitary.

Dopamin memiliki banyak fungsi di otak, termasuk peran pentingnya pada perilaku dan kognisi, pergerakan volunter, motivasi, penghambat produksi prolaktin (berperan dalam masa menyusui), tidur mood, perhatian, dan proses belajar.

Dopaminergik neuron (neuron yang menggunakan dopamin sebagai neurotransmiter utamanya. terdapat pada area ventral tegmental (AVT) pada midbrain, substantia nigra pars compacta dan nucleus arcuata pada hipotalamus, jalur dopaminergik merupakan jalur neural pada otak yang mengirimkan dopamin dari satu regio di otak ke regio lainnya.

Ada 4 jalur dopaminergik:

a) Jalur mesolimbic : jalur mesolimbic mengirimkan dopamin dari area ventral tegmental (AVT) , ke nucleus accumbens. AVT terletak pada daerah midbrain dan nucleus accumbens pada sistem l

b) Jalur mesocortical : jalur mesocortical mengirimkan dopamine dari AVT ke frontal korteks. Gangguan pada jalur ini berhubungan dengan skizofrenia

c) Jalur Nigrostriatal: jalur nigrostrialtal mengirimkan dopamin dari subtantia nigra ke striatum. Jalur ini berhubungan dengan control motorik dan degenerasi pada jalur ini berhubungan dengan penyaikit parkinson.


(47)

d) Jalur tuberoinfundibular: jalur tuberoinfundibular mengirimkan dopamin dari hipotalamus ke kalenjer pituitary. Jalur ini mempengaruhi hormon tertentu termasuk prolaktin. Skizofrenia berhubungan dengan peningkatan aktifitas pada jalur mesolimbik dan jalur mesocortical dopaminergik. (DSM-IV-TR, 2000)

Dopamin memiliki reseptor yang berguna untuk menerima sinyal yang dikirmkan dari satu bagian otak ke bagian yang lainnya. Reseptor dopamin sebenarnya dibagi menjadi 2 tipe ( D1 dan D2 ). Saat ini terdapat 5 reseptor dopamin yang digolongkan ke alam 2 tipe ini. Reseptor yang menyerupai D1 termasuk D1 dan D5. Sementara yang menyerupai D2 adalah D2,D3,D4 . penelitian terbaru menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT) menunjukkan bahwa pada skizofrenia terdapat lebih banyak reseptor D2 yang di tempati. Hal ini menunjukkan stimulasi dopaminergik yang lebih hebat. Hal ini menyebabkan semua obat-obatan antipsikotik ditujukan untuk memblokade reseptor ini

Obat ini dibagi dalam dua kelompok , berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi 2 yaitu yang pertama dopamine receptor anatagonist (DRA) atau antispikotika generasi I (APG-I) atau disebut juga tipikal. Dan kedua serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II atau disebut juga atipikal. (DSM-IV-TR,2000)

Obat tipikal berguna terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat, obat atipikal bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif. Jenis-jenis obat tipikal yaitu phenothiazine


(48)

(chlorpromazine, thioridazine, perphenazine), butyrophenones (haloperidol). Obat atipikal yaitu clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, dan ziprasidone. (Amir, N. 2010)

1) Beberapa Prinsip-Prinsip Terapetik

1) Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati 2) Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien

harus digunakan lagi.

3) Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada dosis yang adekuat.

4) Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang diindikasikan.

5) Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.(Tomb,2003)

2) Pemeriksaan Awal pada pemberian obat

Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap dengan indeks sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun.


(49)

3) Kontraindikasi Utama Antipsikotik:

Beberapa kontraindikasi antipsikotik yaitu riwayat respon alergi yang serius, kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat, resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organik atau audiopatik, dan adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antipsikotik dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.

4) Kegagalan Pengobatan

Kegagalan pengobatan dikarenakan oleh ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alasan utama untuk terjadinya relaps dan kegagalan percobaan obat. Dan waktu percobaan yang tidak mencukupi dalam menentukan pengobatan yang sesuai untuk penderita.

Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi antipsikotik, dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang berbeda dari obat yang pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal. Dan pengunaan obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai


(50)

dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Pambarian anti psikosis long acting (perenteral) hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus skizpfrenia. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.(Tomb,2003

Beberapa kebiasaan konsumsi makanan dan minuman yang menghambat kerja obat psikotik dalam tubuh. Sehingga penderita harus menghindarinya yaitu :

1. Kebiasaan merokok dan pengguna narkoba dan zat aditif lainnya 2. Makanan protein yang dikultur atau diawetkan : keju, dan krim keju 3. Minuman beralkohol : bir, tuak, tape, durian, dll

4. Minuman yang mengandung kafein : kopi, teh, dll 5. Minuman berkarbonasi : cola (Tomb,2003)

2. Terapi Elektrokonvulsif

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.


(51)

Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).

3. Pembedahan Bagian Otak

Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

b. Terapi Psikososial

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada


(52)

pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.

Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. (Tomb, 2003)

Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat


(53)

membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

2.2. Kepatuhan Pasien

Kepatuhan (Compliance), juga dikenal sebagai ketaatan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi perjanjian, mematuhi dan menyelesaikan program pengobatan , menggunakan medikasi secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan perilaku atau diet. Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan (Kaplan & Sadock, 2010).

Kepatuhan dalam pengobatan (medication compliance) adalah mengkonsumsi obat-obatan yang di resepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat dan pengobatan hanya akan efektif apabila anda mematuhi peraturan dalam penggunaan obat (Siregar, 2006).

Sackett dalam Niven (2002) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai “Sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”.

Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab


(54)

atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya.

2.2.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidakpatuhan

Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun berbagai faktor yang berkaitan dengan ketidakpatuhan, antara lain (Niven, 2002):

a. Penyakit

Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk bekerja sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya kesakitan dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada pasien lain. Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia telah menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan kesembuhan kondisi.

Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi dihentikan sebelum waktunya, ia akan lebih memerhatikan menggunakan obatnya dengan benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara keparahan penyakit dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini akan patuh


(55)

dengan regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi kepatuhan pada kebanyakan pasien. (Fleischacker. 2003)

Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan.

Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif. (Fleischacker. 2003)

b. Regimen Terapi

Menurut (Fleischacker. 2003) ada beberapa factor yang mempengaruhi regimen terapi pada penderita skizofrenia tidakadekuat. yaitu :


(56)

1. Terapi Multi Obat

Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien, semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk obat telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya, ukuran, warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan yang dapat terjadi dalam penggunaan multi obat

2. Frekuensi Pemberian

Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan terganggu untuk pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah atau malu berbuat demikian.

Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan.

3. Durasi dan Terapi

Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar, apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai penyakit kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan dengan terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang


(57)

berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok.

4 Efek Merugikan

Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat yang diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko.

Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.

5 Pasien Asimtomatik (tidak ada gejala) atau gejala sudah reda

Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana manfaat terapi obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis profilaksis.


(58)

Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik. b.6 Harga obat

Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh beberapa pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang dalam kasus lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau penghentian penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.

7. Pemberian/konsumsi obat

Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang tidak tepat. Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL sampai 9mL. Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat cair dipersulit oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur dengan sendok teh. Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi pasien, sempril oral atau alat


(59)

penetes yang telah dikalibrasi untuk penggunaan cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah obat yang dimaksudkan.

8. Rasa obat

Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar rasa, dan zat warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi untuk daya tarik serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah pemberian obat kepada pasien.

c. Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker, serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang merka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka. (Ayuso, 2003)

Menurut Ayuso (2003) ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada lingkup dan mutu interaksi dengan pasien.


(60)

1. Menunggu Dokter atau Apoteker

Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya, kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit, 67% dari pasien tersebut benar-benar patuh. (Ayuso, 2003)

2. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan

Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku pelayan kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah sakit mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter. Walaupun uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan.

Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan.

Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat


(1)

Kepatuhan Pengobatan Pasien Skizofrenia Keterangan

- Selalu : Dilakukan 5 – 6 kali / minggu - Sering : Dilakukan 3 – 4 kali / minggu - Kadang – kadang : Dilakukan 1 – 2 kali / minggu - Tidak pernah : Tidak pernah dilakukan

Beri tanda conteng ( √ ) pada kolom yang dianggap sesuai

No Pernyataan Selalu Sering

Kadang-kadang

Tidak pernah A. Faktor Penyakit

1. Pasien mengatakan kepada keluarga bahwa sudah minum obat, pada kenyataanya pasien tidak berbohong

2. Pasien menghentikan pengobatannya diketahui oleh keluarga

3. Pasien mengatakan kepada keluarga bahwa penyakitnya perlu diobati 4. Pasien mengatakan malu dengan

penyakitnya sehingga mau melakukan pengobatan

5. Pasien mengatakan yakin penyakitnya sembuh dengan pengobatan

B. Faktor Regimen Terapi

6. Keluarga tidak menemukan obat disembunyikan pasien dan semuanya dimakan

7. Pasien mengatakan tampilan obat tidak membuat pasien mau untuk minum obat

8. Pasien mengatakan Jadwal minum obat membuat pasien menjadi tidak bosan

9. Pasien mengatakan lamanya

pengobatan yang dijalani pasien tidak membuat pasien menghentikan pengobatannya


(2)

10. Pasien tidak melaporkan kepada keluarga tentang keluhan-keluhan yang timbul setelah minum obat

11. Apabila gejala sudah mulai reda pasien tidak pernah berhenti minum obat 12. Harga obat yang relatif mahal

membuat keluarga tetap menebus resep yang dianjurkan dokter

13. Obat yang dikonsumsi pasien sesuai dengan resep dokter

14. Pasien mengatakan rasa obat pada saat diminum membuat pasien merasa enggan untuk minum obat

C. Faktor Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

15. Keluarga tidak pernah merasa bosan apabila menunggu waktu yang lama untuk berkonsultasi dengan tim kesehatan

16. Keluarga paham dengan penyampaian manfaat obat dari tim kesehatan

17. Keluarga mengerti dengan penggunaan bahasa yang disampaikan oleh tim kesehatan

18. Keluarga mengerti dengan penulisan resep dokter yang berbeda-beda seperti penulisan waktu dan cara pemakaian obat

19. Perbedaan status sosial membuat keluarga tidak takut bertanya kepada tim kesehatan

20. Sikap tim kesehatan membuat keluarga berani menyampaikan keluhannya seperti terburu-buru dan sikap tertutup dalam pelayanan

21. Keluarga paham dengan terapi karena sudah di beri informasi melalui media cetak


(3)

KUESIONER KOPING KELUARGA

Keterangan

- Selalu : Dilakukan 5 – 6 kali / minggu - Sering : Dilakukan 3 – 4 kali / minggu - Kadang – kadang : Dilakukan 1 – 2 kali / minggu - Tidak pernah : Tidak pernah dilakukan

Beri tanda conteng ( √ ) pada kolom yang dianggap sesuai

No Pernyataan Selalu Sering

Kadang-kadang

Tidak pernah Koping Internal

a. Mengandalkan Kelompok Keluarga

1. Keluarga menjelaskan pentingnya penderita minum obat secara teratur sesuai anjuran dokter

2. Keluarga membawa penderita kontrol ke rumah sakit jiwa sesuai anjuran dokter

3. Keluarga mengawasi pasien minum obat sesuai anjuran dokter

4. Keluarga menyediakan dana yang diperlukan untuk pengobatan dan perawatan pasien di rumah sakit

b. Penggunaan humor

5. Keluarga menciptakan rasa humor saat berinteraksi dengan penderita 6. Keluarga menciptakan suasana

senang dan hangat bagi penderita dirumah

7. Keluarga bersikap ramah saat berkomunikasi dengan penderita

c. Memelihara ikatan keluarga

8. Keluarga menyediakan waktu luang bersama dengan penderita

9. Keluarga menyediakan waktu untuk


(4)

10. Keluarga sayang,perhatian dan kasih sayang kepada penderita

d. Mengontrol Kembali Makna dari Masalah

11. Keluarga mengenal sikap dan perilaku yang dapat memicu kekambuhan penderita

12. Keluarga menerima penderita apa adanya (kelebihan dan

kekurangannya)

13. Keluarga bersikap tenang dan memiliki kesabaran dalam merawat penderita

14. Keluarga menghindari tindakan kasar kepada penderita

e. Pemecahan Masalah Bersama

15. Keluarga memotivasi penderita untuk terbuka terhadap masalah yang dihadapi

16. Keluarga mendiskusikan masalah secara bersama dengan penderita 17. Keluarga membantu memberi jalan

keluar terhadap masalah yang dihadapi penderita

f. Fleksibilitas peran

18. Keluarga memahami keadaan yang dialami penderita

19. Keluarga menerima dan menggantikan peran penderita sebelumnya

g. Normalisasi

20. Keluarga melibatkan penderita dalam kegiatan sehari-hari ditengah keluarga

21. Keluarga melatih penderita untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa bantuan orang lain

22. Keluarga memberi penghargaan bila penderita berhasil melakukan tugasnya dengan baik

Koping Keluarga eksternal a. Mencari informasi


(5)

1. Keluarga mengetahui tentang skizofrenia, pengobatan dan pencegahannya dengan membaca buku atau majalah

2. Keluarga melakukan konsultasi ke dokter/ psikiater untuk mengetahui keadaan penderita

3. Keluarga melakukan tukar menukar informasi dengan keluarga

penderita skizofrenia yang lain

b. Memelihara Hubungan Aktif dengan Komunitas

4. Keluarga menjalin hubungan baik dengan masyarakat

5. Keluarga terlibat secara aktif dalam kegiatan dimasyarakat

6. Keluarga mendapat dukungan moril dan materil dari masyarakat untuk merawat penderita

7. Keluarga memberi kesempatan kepada penderita untuk bergaul dengan masyarakat

c. Mencari dukungan sosial

8. Keluarga aktif mengikuti jaringan kerja sosial keluarga besar, tetangga atau teman

9. Keluarga mendapat bantuan langsung maupun tidak langsung dari keluarga besar, tetanggaatau teman dalam merawat penderita 10. Keluarga mendapat informasi dan

layanan yang baik dari jaringan kerja sosial yang ada untuk merawat penderita

d. Mencari Dukungan Spiritual

11. Keluarga melakukan konsultasi dengan tokoh agama atautokoh spiritual

12. Keluarga melakukan ibadah secara teratur bersama dengan penderita di rumah

13. Keluarga mengikuti


(6)

ditempat-tempat ibadah bersama dengan penderita

14. Keluarga membaca buku-buku kerohanian yang dapat membantu memecahkan masalah


Dokumen yang terkait

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

5 79 83

PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

3 55 9

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Pencegahan Sekunder pada Pasien Diabetes Mellitus (DM) Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjung Pura Kabupaten Langkat

0 44 106

Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi Sempurna Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006

2 58 112

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia 2.1.1. Defenisi Skizofrenia - Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

0 0 52

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

0 0 11

Pengaruh Kepatuhan Pengobatan dan Koping Keluarga terhadap Pencegahan Kekambuhan Penderita Skozofrenia Paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014

0 0 20