BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Penggunaan Poliester Amida Pada Bioplastik Protein Kedelai Dari Limbah Padat Industri Tahu dengan Gliserol sebagai Bahan Pemlastis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedelai

  Kedelai adalah tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak dan termasuk Famili Leguminosa (kacang-kacangan). Berdasarkan jenisnya tanaman kedelai terdiri atas kedelai putih/kuning, hitam, cokelat, dan hijau. Hubeis (1984) dalam Sutanto (1998), menyatakan bahwa berdasarkan umurnya kedelai terbagi atas kedelai berumur pendek (60-80 hari), berumur sedang (90-100 hari), dan berumur dalam (110-120 hari). Pada tanaman kedelai biasanya yang diambil adalah bijinya.

  Struktur biji kedelai terdiri atas tiga bagian utama, yaitu keping biji/kotiledon (90%), kulit biji (8%), dan embrio/hipokotil (2%).

  Biji kedelai berkeping dan terbungkus kulit biji, dan tidak mengandung jaringan endosperma. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, atau cokelat. Pusat biji adalah jaringan bekas biji yang melekat pada dinding buah.

  Nilai gizi kedelai cukup tinggi terutama kandungan proteinnya. Selain protein, kedelai juga mempunyai kandungan lemak yang cukup tinggi, yang terdiri atas 86% asam lemak tidak jenuh dan 40% asam lemak jenuh. Komposisi zat gizi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Gizi Tiap 100 g Berat Kedelai

  Komponen Kadar (%) Protein 35-45 Lemak 18-32 Karbohidrat 12-30 Air

  7 (Sumber: Muchtadi, 1989)

2.2 Protein Kedelai

  Protein adalah struktur makromolekul yang terdiri atas asam-asam amino yang saling berhubungan melalui ikatan peptida. Protein kedelai terdapat dalam jaringan kotiledon biji kedelai. Pada tingkat subseluler, protein kedelai terdistribusi di dalam bagian-bagian sel yang disebut protein tubuh dan di sekitar sitoplasma. Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein cadangan, sisanya merupakan enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, amilase) hemaglutinin, protein inhibitor dan lipoprotein membran (Kinsella dalam Sutanto, 1998).

Gambar 2.1 Sruktur Kimia Asam Amino Protein Kedelai (Sutanto, 1998) +

  H 3 N C H C O O R (rantai samping) Hidrogen

  α Gugus karboksil Karbon α

  Gugus Amin α Sifat fungsional protein adalah sifat fisik dan kimia yang memungkinkan protein menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan. Sifat-sifat fungsional protein yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu (1) sifat hidrasi (berhubungan dengan interaksi protein-air) seperti daya ikat air, kebasahan, swelling, daya lekat, kekentalan, kelarutan; (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein seperti pembentukan gel, dan (3) sifat-sifat permukaan seperti emulsifikasi (Cheftel et al., 1985 dalam Sutanto, 1998). Sifat fungsional protein ini dipengaruhi oleh faktor intrinstik, faktor lingkungan, dan perlakuan selama proses.

  Protein kedelai menjadi pilihan yang baik sebagai bahan baku film plastik karena polimer asam amino ini berisi 20 asam amino yang pada rantai samping, rantai akhir, atau rantai utamanya dapat menampung gugus fungsi. Gugus fungsi seperti amida, hidroksil, dan karboksil dapat berinteraksi dengan berbagai bahan pemlastis.

2.3 Limbah Industri Tahu

  Industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat ini berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu.

  Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu. Limbah padat industri tahu meliputi ampas tahu yang diperoleh dari hasil pemisahan bubur kedelai. Ampas tahu masih mengandung protein yang cukup tinggi sehingga masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan ikan. Akan tetapi kandungan air ampas tahu yang masih tinggi merupakan penghambat sebagai pakan ternak. Salah satu sifat dari ampas tahu ini adalah mudah tengik (basi dan tidak tahan lama) dan menimbulkan bau busuk kalau tidak cepat dikelola. Pengeringan merupakan salah satu jalan untuk mengatasinya. Pengeringan juga mengakibatkan berkurangnya asam lemak bebas dan ketengikan sehingga memperpanjang umur simpan (Kaswinarni, 2007).

  Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara 25-35% dari produk tahu yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk menghasilkan ampas tahu tidak terlepas dari proses pembuatan tahu (Subowo, 2001).

  Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu. Salah satu cara pembuatan tahu ialah dengan menyaring bubur kedelai sebelum dimasak, sehingga cairan tahu sudah terpisah dari ampasnya (Kastyanto, 1994).

  Diagram alir proses pembuatan tahu secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.

Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tahu (Sumber : Said, 2006) Komposisi limbah kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varietas unggul

  

kadar proteinnya dapat mencapai 40-43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung

singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan

protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim kering (Radiaty, 1992).

  

Kandungan nilai gizi yang masih terdapat dalam 100 gram ampas tahu secara rinci dapat

dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2 Kandungan Nilai Gizi Ampas Tahu

  Unsur Satuan Nilai

  Kalori kal 414 Protein g 26,6 Lemak g 18,3 Karbohidrat g 41,3 Kalsium mg

  19 Fosfor mg

  29 Besi mg 4,0 Vit. B mg 0,20 Air ml 9,0

  (Sumber: Kaswinarni, 2007 )

2.4 Bioplastik

  Bioplastik adalah suatu bentuk plastik yang berasal atau bersumber dari tumbuhan, misalnya berasal dari minyak rami, minyak kacang kedelai, atau pati.

  Plastik ini mempunyai sifat biodegradable (Wikipedia, 2006). Menurut Pranamuda (2009), bioplastik adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir berupa air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan tanpa meninggalkan sisa yang beracun.

  Menurut Adam dan Clark (2009), bioplastik adalah polimer yang dapat berubah menjadi biomassa, H 2 O, CO 2 dan atau CH 4 melalui tahapan depolimerisasi dan mineralisasi.

Depolimerisasi terjadi karena kerja enzim ekstraseluler (terdiri dari endoenzim dan

eksoenzim). Endoenzim memutuskan ikatan internal pada rantai utama polimer secara acak, dan eksoenzim memutuskan unit monomer pada rantai utama secara berurutan. Bagian-

bagian polimer yang terbentuk ini dipindahkan ke dalam sel dan mengalami mineralisasi.

  

Proses mineralisasi membentuk CO , CH , N , air, garam-garam, mineral, dan biomassa.

2 4

2

Definisi polimer bioplastik dan hasil akhir yang terbentuk dapat beragam tergantung pada polimer, organisme, dan lingkungan.

  Berdasarkan bahan baku yang dipakai, bioplastik dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia (non-renewable resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat biodegradabel, dan kelompok kedua adalah dengan keseluruhan bahan baku dari sumber daya alam terbarukan (renewable resources)

seperti dari bahan tanaman pati dan selulosa serta hewan seperti cangkang atau dari

mikroorganisme yang dimanfaatkan untuk mengakumulasi plastik yang berasal dari sumber tertentu seperti lumpur aktif atau limbah cair yang kaya akan bahan- bahan organik sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme tersebut (Adam dan Clark, 2009).

  

Polimer bioplastik dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis (Evans, 2010) , yaitu:

  a. misalnya polyglycolic acid, polylactic acid,

  Chemically synthesised polymers,

poly (caprolactone), polyvinyl alcohol, polyethylene oxide. Jenis ini sangat rentan

  terhadap serangan enzim atau mikroba sehingga tidak dapat digunakan secara komersial untuk menggantikan plastik konvensional. b. Starch-based bioplastic polymers. Pada jenis ini, pati (tepung halus dari singkong/kentang/ubi) ditambahkan sebagai bahan untuk produksi campuran plastik, misalnya starch-polyethylene. Tujuannya agar mikroba dalam tanah dapat mendegradasi pati dengan mudah sehingga dapat menguraikan plastik ini secara signifikan dalam waktu yang relatif cepat. Akan tetapi, beberapa jenis plastik lainnya dapat terdegradasi sebagian (tergantung kondisi tanah). Beberapa fragmen yang tertinggal setelah penghilangan pati tertinggal di lingkungan dalam waktu yang lama.

  c. Polyhydroxyalkanoates (PHAs), yaitu polimer terdiri atas 2 sampai 6 hydroxy acids, yang diproduksi sebagai granula intraselular oleh banyak jenis bakteri. Ini sangat berpotensi sebagai plastik terbaharukan dan seratus persen bioplastik. Polimer ini dapat digunakan secara komersial untuk menggantikan penggunaan plastik konvensional.

  Averous (2008) dalam Fibhumika (2009), mengelompokkan polimer

bioplastik ke dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok utama

adalah: (1) agro-polimer yang terdiri dari polisakarida, protein dan sebagainya; dan

(2) biopoliester (bioplastik poliester) seperti poli asam laktat (PLA),

polyhydroxyalkanoate (PHA), aromatik and alifatik kopoliester. Biopolimer yang

tergolong agro-polimer adalah produk-produk biomassa yang diperoleh dari bahan- bahan pertanian.

  Kelompok lain biopoliester yang diperoleh dari aplikasi bioteknologi, yaitu dengan sintesis monomer-monomer secara biologi disebut kelompok polilaktida. Contoh polilaktida adalah poli asam laktat (PLA). Kelompok terakhir biopoliester yang lain juga ada yang diperoleh dengan sintesis secara konvensional dari monomer- monomernya. Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL), polyesteramides (PEA), aliphatic co-polyesters dan aromatic co-polyesters.

  Menurut laporan Pranamuda (2009) dalam penelitiannya, menyatakan bahwa saat ini

polimer bioplastik yang telah diproduksi adalah kebanyakan dari polimer jenis poliester

alifatik. Bioplastik yang sudah diproduksi skala industri, antara lain: a.

  Poli (ε-kaprolakton) (PCL) : PCL adalah polimer hasil sintesa kimia menggunakan bahan baku minyak bumi. PCL mempunyai sifat biodegradabilitas yang tinggi, dapat dihidrolisa oleh enzim lipase dan esterase yang tersebar luas pada tanaman, hewan dan mikroorganisme. Namun titik lelehnya yang rendah, Tm = 60

  C, menyebabkan

bidang aplikasi PCL menjadi terbatas (Awaliyyah RF, 2008; Pranamuda, 2009).

  b.

  Poli (ß-hidroksi butirat) (PHB) : PHB adalah poliester yang diproduksi sebagai cadangan makanan oleh mikroorganisme seperti Alcaligenes (Ralstonia) eutrophus,

Bacillus megaterium dsb. PHB mempunyai titik leleh yang tinggi (Tm = 180

  C), tetapi karena kristalinitasnya yang tinggi menyebabkan sifat mekanik dari PHB kurang baik (Ping, 2006).

  c.

  Poli (butilena suksinat) (PBS): PBS mempunyai titik leleh yang setara dengan plastik m konvensional polietilen, yaitu T = 113 C.

  d. Poli asam laktat (PLA) : PLA merupakan poliester yang dapat diproduksi

  menggunakan bahan baku sumber daya alam terbarui seperti pati dan selulosa melalui fermentasi asam laktat. PLA mempunyai titik leleh yang tinggi sekitar 175

  C, dan dapat dibuat menjadi lembaran film yang transparan (Kurniawan RA, 2010; Pranamuda, 2009).

2.5 Metode Pembuatan Bioplastik

  Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembuatan film plastik dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu di antar fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.

  Istilah plastik meliputi produk hasil proses polimerisasi baik yang sintesis maupun semisintesis. Plastik dapat dibentuk menjadi suatu objek, film, ataupun serat (Anonim, 2006). Menurut Allcock dan Lampe (1981), film plastik dapat dibuat melalui dua teknik dasar yang berbeda, yaitu solution casting atau molten polymer.

  Pada pembuatan film plastik dengan teknik solution casting, bahan polimer dilarutkan ke dalam pelarut yang cocok untuk menghasilkan larutan yang viskos. Larutan yang dihasilkan dituang pada suatu permukaan yang rata (cetakan) yang bersifat non-adesif dan pelarut dibiarkan menguap sampai habit. Film plastik yang sudah kering kemudian diangkat dari cetakannya. Teknik molten polymer dilakukan dengan cara pemanasan polimer sampai di atas titik lelehnya (Allcock dan Lampe, 1981).

  Masih menurut Allcock dan Lampe (1981), teknik solution casting menjadi pilihan yang cepat dan mudah untuk dilakukan pada skala laboratorium. Pemilihan jenis pelarut yang cocok dengan bahan polimer menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan.

  Teknik solution casting dilakukan dengan membuat larutan polimer 20% (b/v) untuk menghasilkan larutan dengan viskositas yang sesuai. Pengadukan diperlukan untuk mempercepat kelarutan, misalnya pengadukan dengan strirrer (Allcock dan Lampe, 1981). Allcock dan Lampe (1981) menambahkan bahwa apabila larutan polimer perlu disaring sebelum proses casting, maka dapat dilakukan penyaringan vakum karena larutan terlalu viskos. Pada skala laboratorium, proses solution casting dapat dilakukan pada plat kaca atau cawan gelas.

2.6 Mekanisme Pembentukan Film

  Menurut Wu dan Bates (1972) dalam Sutanto (1998), mekanisme pembentukan film protein terjadi karena polimerisasi endotermik dan denaturasi protein akibat pemanasan yang diikuti dehidrasi permukaan. Mekanisme polimerisasi melibatkan molekul disulfida dan ikatan hidrofobik. Pemanasan menyebabkan struktur tiga dimensi protein antara sulfhidril dan rantai sisi hidrofobik sehingga rantai protein yang tidak melipat akan saling mendekat satu dengan yang lainnya dan saling berhubungan lewat ikatan disulfida dan hidrofobik (Fukushima dan Van Burren, 1970 dalam Sutanto, 1998).

  Menurut (Cheflet et al, 1985 dalam Sutanto, 1998) denaturasi protein adalah bentuk modifikasi konformasi protein yang tidak diikuti oleh pemutusan ikatan peptida yang ada pada struktur primernya. Selama denaturasi rantai protein akan terbuka sehingga memungkinkan pembentukan jaringan matriks baru yang lebih kompak dan dapat berinteraksi dengan komponen lain. Pada saat larutan dipastikan telah homogen, poliester amida ditambahkan yang berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh film. Dengan adanya penambahan poliester amida, maka gugus hidrogen dari poliester amida akan berikatan dengan gugus amida dari protein sehingga kekuatan intermolekuler antar rantai protein akan berkurang dan mobilitas polimer akan meningkat sehingga fleksibilitas akan meningkat pula (Sutanto, 1998).

  Struktur film merupakan matriks protein yang dibentuk oleh interaksi- interaksi protein yang dikatalisis oleh panas dengan ikatan disulfida, hidrogen, dan hidrofobik sebagai kekuatan asosiasi dalam jaringan film (Famum et al, 1976 dalam Sutanto, 1998). Ikatan disulfida terbentuk melalui pertukaran ion disulfida dan reaksi oksidasi ion yang diindikasi oleh adanya panas. Ikatan ini akan membentuk struktur tiga dimensi. lkatan hidrogen berperan dalam peningkatan viskositas dan stabilisasi struktur gel, sedangkan ikatan hidrofobik berperan dalam pengerasan struktur gel dan stabilisasi.

2.7 Gliserol

  Menurut Hammer (1978) dalam Sutanto (1998), bahan pemlastis adalah bahan kimia yang dapat digunakan untuk mengurangi kekakuan resin termoplastik. Prinsip kerja bahan pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer. Hal ini akan meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer dan akibatnya dapat menurunkan substransisi kaca (Tg).

  Billmeyer (1994) dalam Sutanto (1998) menambahkan bahwa jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan bahan pemlastis maka akan terjadi penurunan titik lebur (Tm) dan derajat bahan pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin.

  Efektivitas penambahan bahan pemlastis dapat dilihat melalui beberapa parameter semi empiris, seperti penurunan suhu transisi kaca dan titik leleh, karakteristik mekanik, serta kondisi molekuler.

  Menurut Syarief (1989), untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai bahan pemlastis, penstabil pangan, pewama, penyerap UV, dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul rendah.

  Bahan pemlastis merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu proses untuk meningkatkan beberapa sifat dari polimer, misalnya ketahanan terhadap panas atau minyak dan polimer yang dihasilkan lebih halus dan luwes. Bahan pemlastis adalah bahan non-volatil dengan titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah sifat fisik dan atau sifat mekanik dari bahan tersebut (Krochta, et.a1, 1994). Bahan pemlastis ditambahkan untuk mengurangi gaya intermolekul antar partikel penyusun pati yang menyebabkan terbentuknya tekstur edible film yang mudah patah (getas). Bahan pemlastis juga meningkatkan gaya intermolekuler dan meningkatkan mobilitas ikatan polimer sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film.

  Sedangkan bahan pemlastis yang umum digunakan dalam pembuatan plastik bioplastik adalah gliserol karena ketersediaan gliserol melimpah di alam dan sifatnya yang tidak merusak alam. Gliserol atau biasa disebut gliserin merupakan suatu larutan kental tidak berwama dan mempunyai rasa yang manis. Jika direaksikan dengan air dan alkohol menyebabkan rasa dingin pada kulit. Gliserol dapat dihasilkan dari minyak sawit (CPO, BPO, dan RPDPO), minyak inti sawit (PKO), dan minyak kelapa (CNO). Dalam pengolahan minyak (trigliserida) selain menghasilkan gliserol juga akan menghasilkan asam lemak yang juga dapat diolah menjadi beberapa macam produk seperti asam laurat, asam kaprat, dan asam stearat (Guerrero, dkk., 2010).

  Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi, tiap atom karbon mempunyai gugus -OH. Gliserol merupakan suatu molekul bidrofilik yang relative kecil dan mudah di sisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus dan protein gluten. Hal ini berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antara rantai protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati film gluten yang dilaporkan meningkatkan seiring dengan peningkatan kadar gliserol dalam film akibat dari penurunan kerapatan jenis protein (Gontard, 2009).

  Gliserol efektif digunakan sebagai bahan pemlastis pada film hidrofilik, seperti pektin, pati, gel dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis

  (Juliyarsi et al, 2011) protein .

Gambar 2.3 Rumus Struktur Gliserol

2.8 Poliester Amida

  Sejumlah besar biodegradable polyester yang berasal dari minyak bumi diperoleh secara kimiawi dari monomer-monomer sintesisnya. Biodegradable

  

polyester ini dapat dibedakan berdasarkan struktur kimianya, seperti

policaprolactones, poliester amida, kopoliester alifatis maupun kopoliester aromatis.

  Semua poliester ini lembut pada temperatur kamar.

  Poliester amida diperoleh secara industri dari monomer-monomer kopolikondensasi poliamida dan asam adipic. Poliester yang menunjukkan komponen polar tertinggi memiliki kekompakan yang baik dengan produk polar lainnya, seperti senyawa-senyawa karbohidrat. Selain itu, poliester golongan ini juga menunjukkan permeabilitas air yang paling tinggi.

  Pemilihan poliester amida sebagai biodegradable polyester disebabkan oleh kompatibilitasnya yang baik antara gugus amida dan plastik protein kedelai. Pencampuran protein kedelai dengan biodegradable polyester bertujuan untuk meningkatkan kekuatan plastik bioplastik dari kedelai.

  1

  2

  1

  3 C R C NH R NH C R C O R O O O O O

Gambar 2.4 Rumus Strutur Poliester Amida

  Dan, beberapa sifat fisika dan mekanik dari poliester amida dapat dilihat pada

Tabel 2.3 di bawah ini :Tabel 2.3. Sifat-Sifat Poliester Amida

  Sifat Poliester amida Satuan Nilai

  3 Densitas g/cm 1,07

  Titik leleh C 112 Transisi gelas C -29 Kristalinitas %

  15 Modulus MPa 262

  Sifat Poliester amida Satuan Nilai

  Elongation at break % 420

  Kekuatan tarik MPa

  17 Biodegradasi/mineralisasi * % 100

  2 Permeabilitas air pada 25 C g/m /hari 680

  Tegangan permukaan mN/m

  59 (*) Selama 60 hari dalam pengkontrolan berdasarkan ASTM 5336

  (Sumber: Galan et al, 2011)

2.9 Analisis dan Karakterisasi Bahan Polimer

2.9.1 Spektroskopi Infra merah Fourier-Transform (FTIR)

  Serapan radiasi infra merah oleh suatu molekul terjadi karena interaksi vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polarisabilitas dengan medan listrik gelombang elektromagnetik. Ada dua jenis vibrasi ikatan kimia yang dapat menyerap radiasi infra merah, yakni vibrasi longitudinal dan vibrasi sudut.

  Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari sejumlah satuan-ulangan (sampai 102 - 105 unit per rantai). Secara teori spektrum inframerah bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan ulangannya. Akan tetapi, berbeda dengan senyawa bobot molekul rendah yang murni, struktur satuan-ulangan dalam rantai polimer tidak selamanya identik. Ditambah lagi perubahan susunan geometris, perubahan orientasi ikatan dan bentuk kristal akan mempengaruhi serapan inframerah oleh kimia satuan-ulangan. Karena itu dapat diduga bahwa polimer dengan bobot molekul tinggi yang terdiri dari 103-106 atom per molekul akan memberikan sejumlah besar pita serapan.

  Pada dasarnya, teknik FTIR adalah sama dengan spektroskopi inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara penghitungan Fourier Transform dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi.

2.9.2 Pengujian Sifat Mekanis

  Penggunaan bahan polimer sebagai bahan teknik misalnya dalam industri suku cadang mesin, konstruksi bangunan dan transportasi, tergantung sifat mekanisnya, yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanis yang khas ini disebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam bahan polimer, yakni ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai polimer yang lebih lemah.

  Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik

  (σ)

  menggunakan alat pengukur tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan diberikan tegangan. Secara praktis, kekuatan-tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama di bawah pengaruh tegangan, spesimen mengaiami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang semula (A0 ). Kekuatan tarik suatu bahan dapat dilihat pada persamaan berikut (Wirjosentono, 1995):

  = F / A

  σ t maks

2.9.3 Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)

  SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM), dalam hal ini suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam

sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang

terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi.

  Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi

memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi

sekitar 100 A. Aplikasi-aplikasi yang khas mencakup penelitian dispersidispersi pigmen

dalam cat, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas fasa dalam polipaduan yang tak dapat campur, struktur sel busa-busa polimer, dan kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa

berharga dalam mengevaluasi betapa penanaman (implant) bedah polimerik bereaksi baik

dengan lingkungan bagian-bagiannya (Stevens, 2001).

2.10 Penelitian Pendahuluan Yang Pernah Dicapai

  Penelitian yang menyangkut penggunaan protein kedelai sebagai bahan dasar

bioplastik yang pernah dilakukan diantaranya, Sutanto (1998) melakukan

pencampuran antara protein bungkil kedelai dengan karboksi metil selulosa (CMC),

metil selulosa (MC), lilin lebah dan bahan pemlastis polietilen glikol (PEG).

  Penambahan lilin lebah adalah untuk meningkatkan barrier uap air dari film berbasis

polisakarida dan protein, sedangkan penambahan bahan pemlastis adalah untuk

mengatasi sifat rapuh film. Bungkil kedelai diambil ekstrak proteinnya dengan

beberapa tahap, yaitu penggilingan dan perendaman pada suhu 65 C selama satu

jam, dilanjutkan dengan penirisan selama 20 menit, penghancuran dengan blender,

pemasakan dengan suhu 90-95 C selama 10 menit, penyaringan, lalu sentrifusi. Dari

hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi PEG,

maka kuat tarik akan menurun, sedangkan permeabilitas uap air, permeabilitas

oksigen, persen pemanjangan, dan ketebalan akan meningkat. Dengan peningkatan

konsentrasi lilin lebah, maka kuat tarik, permeabilitas uap air, dan oksigen akan

menurun sedangkan ketebalan dan persen pemanjangan akan meningkat. Dari segi

penampakan, semakin tinggi jumlah lilin lebah, maka film akan semakin kurang

transparan.

  Kristanoko (1996) juga melakukan penelitian terhadap pengaruh penambahan

CMC dan sorbitol terhadap karakteristik fisik edible film dari ekstraksi bungkil

kedelai. Konsentrasi CMC yang diteliti 0,75; 100; dan 1,25 g/ 45 ml ekstrak protein

bungkil kedelai. Sedangkan sorbitol yang ditambahkan 2 dan 3 ml/ 45 ml ekstrak protein bungkil kedelai. Konsentrasi ekstrak protein bungkil kedelai adalah 3%.

  Film yang dihasilkan untuk beberapa karakteristik fisik tertentu sangat

dipengaruhi oleh konsentrasi CMC dan sorbitol yang ditambahkan. CMC

meningkatkan kadar air, ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, laju transmisi uap

air (WVTR). Sedangkan kadar protein film menjadi turun. Sorbitol memberikan

pengaruh yang berbeda. Sorbitol meningkatkan kadar air, kadar protein, ketebalan,

persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air, tetapi kuat tarik film semakin

menurun.

  Bai et al. (2010) melakukan penelitian tentang efek dari salicylic acid

terhadap sifat mekanis dan ketahanan air dari film isolat protein kedelai. Film

komposit protein kedelai (SF) disiapkan dengan menggunakan isolat protein kedelai

(SPI), salicylic acid (SA), dan gliserol sebagai bahan pemlastisnya. Sedangkan untuk menyiapkan film komposit protein kedelai tahan air (SF-B), maka digunakan 2, 2-

diphenyl-2-hydroxyethanoic acid (DPHEAc). Sejumlah SA yang berbeda (0,25; 0,5;

0,75 w/w) dicampur hingga merata dengan tepung SPI dan gliserol (30% dari berat

SPI) menggunakan mixer selama 15 menit, kemudian dipress menggunakan hot press

pada suhu 140 C dan tekanan 20 MPa selama 10 menit. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa film SF-B dengan 0,5% (wt) SA memiliki kekuatan tarik dan

yang lebih tinggi disbanding dengan film SF dengan jumlah SA yang sama.