Penggunaan Poliester Amida Pada Bioplastik Protein Kedelai Dari Limbah Padat Industri Tahu dengan Gliserol sebagai Bahan Pemlastis

(1)

PENGGUNAAN POLIESTER AMIDA PADA BIOPLASTIK

PROTEIN KEDELAI DARI LIMBAH PADAT

INDUSTRI TAHU DENGAN GLISEROL

SEBAGAI BAHAN PEMLASTIS

TESIS

OLEH

RENA NOVAYANTY

097022004/TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGGUNAAN POLIESTER AMIDA PADA BIOPLASTIK

PROTEIN KEDELAI DARI LIMBAH PADAT INDUSTRI TAHU DENGAN GLISEROL

SEBAGAI BAHAN PEMLASTIS

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Magister Teknik Kimia Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

RENA NOVAYANTY 097022004/TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015


(3)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Hamidah Harahap, M.Sc Anggota : Prof. Dr. Ir. Muhammad Turmuzi, MS

Dr. Ir. Taslim, M.Si

Dr. Halimatuddahliana, ST., M. Sc Dr. Ir. Iriany, M.Si


(5)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rena Novayanty

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 29 Nopember 1982

Alamat : Jln. Nusa Indah VI LK. XX No. 75 Blok 13 Helvetia – Medan

Pendidikan

1. Tamatan SD Swasta ST. Thomas 1 Medan Tahun 1989-1995 2. Tamatan SMP Swasta ST. Thomas 1 Medan Tahun 1995-1998 3. Tamatan SMU Negeri 1 Surabaya Tahun 1998-2001

4. Tamat Sarjana pada Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan Tahun 2002-2007

Penulis menikah pada tahun 2012 dengan Junius Frans Kennedy Tampubolon, ST dan dikarunia seorang putri bernama Gadita Isabel Hilda Tampubolon.


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter film bioplastik protein kedelai – gliserol dan film bioplastik protein kedelai - gliserol - poliester amida, serta perbandingan yang optimum antara protein kedelai - gliserol - poliester amida yang digunakan pada film bioplastik dari limbah padat industri tahu. Penelitian meliputi proses ekstraksi protein kedelai dari ampas tahu, pembentukan film bioplastik menggunakan metode solution casting dengan variasi gliserol dan poliester amida sebesar 10%, 15%, 30% dan 10%, 30%, 50% dari protein kedelai, kemudian dilakukan analisis dan karakterisasi. Konsentrasi gliserol optimum yang digunakan pada pembuatan film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida adalah pada presentase gliserol 15% dari protein kedelai. Hasil pengujian sifat mekanik seperti uji kekuatan tarik dan % kemuluran film bioplastik optimum pada film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida 30%, sebesar 8,886 MPa dan 170,588%. Hal ini disebabkan karena molekul komponen penyusun film bioplastik berada pada titik kesetimbangan. Perbandingan komposisi ester dan amida pada polister amida mempengaruhi kadar protein film bioplastik. Hasil uji kadar protein film bioplastik menunjukkan bahwa kadar protein film bioplastik nilainya semakin kecil dengan penambahan konsentrasi poliester amida. Hasil pengujian daya tahan panas film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA) menunjukkan bahwa masih tersisa residu film bioplastik sebesar 24,31%. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida memiliki sifat termal dan ketahanan panas yang baik. Derajat kristalisasi poliester amida yang lebih kecil dibanding dengan derajat kristalisasi protein kedelai menyebabkan hasil uji biodegradasi film bioplastik dengan laju biodegradai tercepat terdapat pada film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida 50%. Hasil analisis permukaan dengan mikroskop pemindai elektron (SEM) menunjukkan bahwa morfologi permukaan protein kedelai memiliki struktur globular. Hasil analisis spektroskopi infra merah (FTIR) menunjukkan bahwa terdapat interaksi fisik (blending) yang dipengaruhi oleh adanya ikatan hidrogen (O-H) dari komponen protein kedelai – gliserol – poliester amida sehingga tidak ada ditemukan gugus fungsi yang baru pada film bioplastik.


(7)

ABSTRACT

The objective of the research was to find out the characteristics bio-plastic film of soy protein – glycerol and bio-plastic film of soy protein– glycerol - polyester amide, and optimum comparison of soy protein – glycerol and polyester amide which are used in bio-plastic film from solid waste of tofu industry. The research includes the process of extraction of soy protein from tofu waste, the formation of bio-plastic film by using solution casting method with the variation of glycerol and polyester amide of 10%, 15%, 30% and 10%, 30%, 50% from soy protein and they were analyzed and characterized. Optimum of glycerol concentration used in making bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide is in the glycerol percentage of 15% from soy protein. The optimum result of its mechanical characteristic testing such as tensile strength and the percentage of elongation of soy protein – glycerol – polyester amide of 30% is 8.886 MPa and 170.588%. This is because the molecule component of bio-plastic film composer is on the balance point. The comparison of ester composition and amide in polyester amide influences bio-plastic film of protein content. The testing result of bio-plastic film of protein content indicates that the value of bio-plastic of protein content is decreasing by the addition of polyester amide concentration. The testing result of thermal property of bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide, using Thermogravimetric Analysis (TGA) indicates that there is still the residue of bio-plastic film of 24.31%. This value indicates that bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide has good thermal property and heat resistance. The crystallization degree of the smaller polyester amide than the crystallization degree of soy protein has caused the biodegradation testing result of bio-plastic film with the fastest rate of biodegradation to be found in bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide of 50%. The surface result with Scan Electronic Microscope (SEM) indicates that the morphology of soy protein surface has globular structure. The Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) analysis indicates that there is physical interaction (blending) which is influenced hydrogen bond (O-H) from component soy protein – glycerol – polyester amide so that the new functional cluster is not found in bio-plastic film.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “ Penggunaan Poliester Amida Pada Bioplastik Protein Kedelai Dari Limbah Padat Industri Tahu dengan Gliserol sebagai Bahan Pemlastis “.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Hamidah Harahap, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Turmuzi, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Magister Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Taslim, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Kimia, seluruh staff pengajar dan pegawai administrasi Magister Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Begitu pula ucapan terima kasih kepada kedua Orang tua, Mertua, Suami, anakku Gadita, seluruh keluarga dan teman-teman di Magister Teknik Kimia, serta semua pihak yang telah berjasa dalam kehidupan saya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat dan kasih-Nya sehingga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.


(9)

Akhirnya penulis mengharapkan saran dari berbagai pihak yang membaca tesis ini sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan maksimal dalam perbaikan isi tesis pada masa yang akan datang.

Medan, Januari 2015 Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK/ABSTRACT ………. i

KATA PENGANTAR ..……….. ii

DAFTAR ISI ...……….. iv

DAFTAR GAMBAR …...……… viii

DAFTAR TABEL ………... x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 6

1.3. Tujuan Penelitian ……….... 6

1.4. Manfaat Penelitian ……….... 6

1.5. Lingkup Penelitian ……….... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kedelai ...……….. 9

2.2. Protein Kedelai ...………. 10

2.3. Limbah Industri Tahu ……….………… 11

2.4.Bioplastik ………...………... 14

2.5. Metode Pembuatan Bioplastik ……….………... 18


(11)

2.7. Gliserol ………... 21

2.8. Poliester amida ……….... 23

2.9. Analisis dan Karakterisasi Bahan Polimer ……….. 25

2.9.1. Spektroskopi Infra merah Fourier-Transform (FTIR) ………….. 25

2.9.2. Pengujian Sifat Mekanis ………... 26

2.9.3. Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) ……….. 27

2.10 Penelitian Pendahuluan Yang Pernah Dicapai ………... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu ………. 30

3.2. Alat dan Bahan ………... 30

3.3. Prosedur Penelitian ………. 31

3.3.1. Penyiapan Ampas Tahu ……… 31

3.3.2. Proses Isolasi Protein Kedelai dari Ampas Tahu .……….... 31

3.3.3. Pembentukan Film Bioplastik ……….. 32

3.3.3.1. Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol ………... 32

3.3.3.2. Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol - Poliester Amida ……….………. 34

3.4. Diagram Alir Prosedur Penelitian ...……….. 35

3.4.1. Diagram Alir Proses Isolasi Protein Kedelai dari Ampas Tahu ... 35


(12)

3.4.2.1. Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol ………... 36 3.4.2.2. Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol

- Poliester Amida ………. 37 3.5. Analisis dan Karakterisasi Film Bioplastik ……….... 38

3.5.1. Pengujian Sifat Mekanik dengan Uji Kekuatan Tarik …………. 38 3.5.2. Pengujian Kadar Protein ……….. 39 3.5.3. Pengujian Daya Tahan Panas (TGA) ………... 41 3.5.4. Pengujian Biodegradasi (Masa Urai) ………... 41 3.5.5. Analisis Permukaan dengan Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)

……….... 42 3.5.6. Analisis Spektroskopi Infra Merah (FTIR) ……….. 44 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembuatan Protein Kedelai dari Limbah Padat Industri Tahu ………… 47 4.2. Karakterisasi Serbuk Protein Kedelai ………... 47 4.2.1. Analisis FTIR ………... 47 4.2.2 Analisis Permukaan dengan Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)

………. 49 4.3. Pembuatan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol dan Film

Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida ……….. 50 4.3.1 Pembuatan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol ………. 50


(13)

4.3.2 Pembuatan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester

Amida ………... 53

4.4 Karakterisasi Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida ………. 54

4.4.1 Pengujian Sifat Mekanik (Uji Kekuatan Tarik) ……….. 54

4.4.2 Pengujian Kadar Protein ………. 58

4.4.3 Pengujian Daya Tahan Panas (TGA) ..………... 59

4.4.4 Pengujian Biodegradasi (Masa Urai) ……….. 62

4.4.5 Analisis Permukaan dengan Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) ………. 65

4.4.6 Analisis Spektroskopi Infra Merah (FTIR) ……… 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………. 72

5.2. Saran ………... 74

DAFTAR PUSTAKA ………. 75

LAMPIRAN 1: Penentuan dan Perhitungan Kadar Protein Film Bioplastik ……… 78

LAMPIRAN 2: Perhitungan Hasil Uji Biodegradasi Film Bioplastik ……….. 81

LAMPIRAN 3: Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Film Bioplastik ... 84


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Struktur Kimia Asam Amino Protein Kedelai ………... 10

2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tahu ………... 13

2.3 Rumus Struktur Gliserol ……...………. 23

2.4 Rumus Struktur Poliester amida ……… 24

3.1 Diagram Alir Proses Isolasi Protein Kedelai dari Ampas Tahu …… 35

3.2 Diagram Alir Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol ………. 36

3.3 Diagram Alir Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida ………... 37

3.4 Spesimen Film untuk Uji Tarik ……….. 38

3.5 Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) Model JSM 6260 LE JOEL .. 44

3.6 Spektra FTIR Model Perkin Elmer ………... 46

4.1 Serbuk Protein Kedelai Hasil Limbah Padat Industri Tahu ………... 47

4.2 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Serbuk Protein Kedelai dari Limbah Padat Industri Tahu dengan FTIR ……..………... 48

4.3 Foto SEM Protein Kedelai dari Limbah Padat Industri Tahu …….... 49

4.4 Foto Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol ………... 51


(15)

4.6 Grafik Nilai Kekuatan Tarik Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida ………. 55 4.7 Grafik Nilai % Kemuluran Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida ………... 55 4.8 Hasil Analisis TGA Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol –

Poliester Amida ……….. 60 4.9 Grafik Persentase Berat Sisa Film Bioplastik selama Penguburan di

dalam Tanah ………... 64 4.10 Foto SEM Film Bioplastik dengan (a) Protein Kedelai – Gliserol 15%

(kontrol), (b) Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida 30% …………... 65 4.11 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol 15% (kontrol) ... 67 4.12 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Film Bioplastik dengan (a)

Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida 10%, (b) Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida 30%, (c) Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida 50% ……… 68


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Komposisi Gizi Tiap 100 gram Berat Kedelai ………... 10 2.2 Kandungan Nilai GIzi Ampas Tahu ……….. 14 2.3 Sifat-sifat Poliester Amida ………. 24 4.1 Data Hasil Analisis FTIR Serbuk Protein Kedelai dari Ampas Tahu..48 4.2 Hasil Pengujian Sifat Mekanik Film Bioplastik Protein Kedelai –

Gliserol – Poliester Amida ………. 54 4.3 Hasil Uji Kadar Protein Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida ……….. 58 4.4 Persentase Berat Sisa Film Bioplastik Selama Penguburan di dalam

Tanah ……….. 63 4.5 Data Hasil Analisis Gugus Fungsi Film Bioplastik Protein Kedelai –


(17)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter film bioplastik protein kedelai – gliserol dan film bioplastik protein kedelai - gliserol - poliester amida, serta perbandingan yang optimum antara protein kedelai - gliserol - poliester amida yang digunakan pada film bioplastik dari limbah padat industri tahu. Penelitian meliputi proses ekstraksi protein kedelai dari ampas tahu, pembentukan film bioplastik menggunakan metode solution casting dengan variasi gliserol dan poliester amida sebesar 10%, 15%, 30% dan 10%, 30%, 50% dari protein kedelai, kemudian dilakukan analisis dan karakterisasi. Konsentrasi gliserol optimum yang digunakan pada pembuatan film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida adalah pada presentase gliserol 15% dari protein kedelai. Hasil pengujian sifat mekanik seperti uji kekuatan tarik dan % kemuluran film bioplastik optimum pada film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida 30%, sebesar 8,886 MPa dan 170,588%. Hal ini disebabkan karena molekul komponen penyusun film bioplastik berada pada titik kesetimbangan. Perbandingan komposisi ester dan amida pada polister amida mempengaruhi kadar protein film bioplastik. Hasil uji kadar protein film bioplastik menunjukkan bahwa kadar protein film bioplastik nilainya semakin kecil dengan penambahan konsentrasi poliester amida. Hasil pengujian daya tahan panas film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA) menunjukkan bahwa masih tersisa residu film bioplastik sebesar 24,31%. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida memiliki sifat termal dan ketahanan panas yang baik. Derajat kristalisasi poliester amida yang lebih kecil dibanding dengan derajat kristalisasi protein kedelai menyebabkan hasil uji biodegradasi film bioplastik dengan laju biodegradai tercepat terdapat pada film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida 50%. Hasil analisis permukaan dengan mikroskop pemindai elektron (SEM) menunjukkan bahwa morfologi permukaan protein kedelai memiliki struktur globular. Hasil analisis spektroskopi infra merah (FTIR) menunjukkan bahwa terdapat interaksi fisik (blending) yang dipengaruhi oleh adanya ikatan hidrogen (O-H) dari komponen protein kedelai – gliserol – poliester amida sehingga tidak ada ditemukan gugus fungsi yang baru pada film bioplastik.


(18)

ABSTRACT

The objective of the research was to find out the characteristics bio-plastic film of soy protein – glycerol and bio-plastic film of soy protein– glycerol - polyester amide, and optimum comparison of soy protein – glycerol and polyester amide which are used in bio-plastic film from solid waste of tofu industry. The research includes the process of extraction of soy protein from tofu waste, the formation of bio-plastic film by using solution casting method with the variation of glycerol and polyester amide of 10%, 15%, 30% and 10%, 30%, 50% from soy protein and they were analyzed and characterized. Optimum of glycerol concentration used in making bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide is in the glycerol percentage of 15% from soy protein. The optimum result of its mechanical characteristic testing such as tensile strength and the percentage of elongation of soy protein – glycerol – polyester amide of 30% is 8.886 MPa and 170.588%. This is because the molecule component of bio-plastic film composer is on the balance point. The comparison of ester composition and amide in polyester amide influences bio-plastic film of protein content. The testing result of bio-plastic film of protein content indicates that the value of bio-plastic of protein content is decreasing by the addition of polyester amide concentration. The testing result of thermal property of bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide, using Thermogravimetric Analysis (TGA) indicates that there is still the residue of bio-plastic film of 24.31%. This value indicates that bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide has good thermal property and heat resistance. The crystallization degree of the smaller polyester amide than the crystallization degree of soy protein has caused the biodegradation testing result of bio-plastic film with the fastest rate of biodegradation to be found in bio-plastic film of soy protein – glycerol – polyester amide of 50%. The surface result with Scan Electronic Microscope (SEM) indicates that the morphology of soy protein surface has globular structure. The Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) analysis indicates that there is physical interaction (blending) which is influenced hydrogen bond (O-H) from component soy protein – glycerol – polyester amide so that the new functional cluster is not found in bio-plastic film.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu masalah lingkungan yang menjadi ancaman serius bagi masa depan namun sering terabaikan adalah masalah sampah plastik. Plastik yang biasa digunakan merupakan polimer sintetis dengan minyak bumi sebagai bahan baku ditambah bahan-bahan tambahan yang umumnya merupakan logam-logam berat (kadnium, timbal, nikel) atau bahan beracun lainnya seperti klor. Racun dari plastik ini dapat terlepas pada saat terurai atau terbakar (Sutasurya, 2006). Minyak bumi sebagai bahan baku plastik sintetis merupakan sumber daya tak terbaharukan. Plastik sintetis juga tidak ramah lingkungan karena tidak mudah diuraikan oleh alam baik oleh curah hujan, panas matahari, maupun mikroba tanah. Selain itu, karena keterbatasan bahan bakar, cadangan produk-produk hasil minyak bumi (seperti plastik dan bahan bakar) juga menjadi terancam (Ullsten et al., 2010).

Saat ini, industri-industri material di dunia sedang mengarah pada pergantian penggunaan material-material berbahan petrokimia menuju material-material yang ramah lingkungan. Penggunaan plastik berbahan baku sumber daya terbaharukan dan bersifat dapat diuraikan diperlukan untuk mengatasi masalah lingkungan yang timbul dari penggunaan plastik sintetis (Bai et al., 2010). Bioplastik adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai


(20)

oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir berupa air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan tanpa meninggalkan sisa yang beracun. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, bioplastik merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan (Pranamuda, 2009). Salah satu bahan bioplastik dapat bersumber dari bahan yang mengandung protein kedelai, seperti limbah industri tahu.

Limbah industri tahu dapat menimbulkan pencemaran yang cukup berat karena mengandung polutan organik yang cukup tinggi. Dari beberapa hasil penelitian, konsentrasi COD (Chemical Oxygen Demand) di dalam air limbah industri tahu cukup tinggi yakni berkisar antara 7.000 – 10.000 ppm, serta mempunyai keasaman yang rendah yakni pH 4 - 5 (Said, 2006). Jika limbah tahu cair tidak ditangani dengan baik, dapat mengganggu ekosistem air seperti sungai, danau, dan laut. Selain limbah cair, industri tahu juga menghasilkan limbah padat berupa ampas tahu. Ampas tahu merupakan limbah padat dari pengolahan kedelai menjadi tahu yang telah dipisahkan dari bubur kedelai. Selama ini limbah padat industri tahu ini dimanfaatkan masyarakat untuk pakan ternak, bahan baku kerupuk, dan sebagai nata de soya. Bila ditinjau dari segi gizinya, sesungguhnya limbah padat ini merupakan bahan yang kaya akan nutrisi, seperti protein (23,55%), lemak (5,54%), karbohidrat (26,92%), abu (17,03%), serat kasar (16,53%), dan air (10,43%) (Kaswinarni, 2007).

Ampas tahu merupakan produk dari kedelai yang sifat proteinnya hampir sama dengan protein kedelai walaupun telah mengalami banyak perubahan karena


(21)

perlakuan-perlakuan tertentu selama pembuatan tahu

Protein kedelai terdiri suatu campuran dari albumin dan globulin, dimana 90% protein yang tersimpan adalah dalam bentuk globular (Sebastian, 2012). Protein kedelai dari ampas tahu diperoleh dengan cara melakukan suatu isolasi protein. Menurut Sebastian (2012),

seperti pemanasan (Mahmud et al, 1990).

isolasi protein pada prinsipnya terdiri dari tahap-tahap seperti ekstraksi protein dalam medium pengekstrak, penghilangan bahan tidak larut dengan sentrifuse, filtrasi, atau kombinasinya, pengendapan, pencucian, dan pengeringan isolat.

Kinsella (1979) menambahkan kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan, serta suhu, pH, dan kekuatan ion medium pengekstrak. Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein total adalah pengendapan seluruh protein kacang pada titik isoelektriknya yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Pada titik isoelektriknya, muatan total masing-masing asam amino dalam protein sama dengan not, artinya jumlah antara gugus bermuatan positif sama dengan gugus bermuatan negatif. Interaksi elektrostatik antar asam amino akan maksimum karena muatan yang tidak sejenis cenderung untuk tarik-menarik, fenomena ini diamati dengan terjadinya penggumpalan protein.

Saat ini, protein kedelai telah dipertimbangkan sebagai suatu alternatif daripada polimer sintetis turunan minyak bumi dalam pembuatan plastik. Hal ini disebabkan plastik yang terbuat dari protein kedelai memiliki sejumlah sifat yang


(22)

diinginkan, seperti ketersediaannya dari sumber pertanian yang dapat diperbaharui dan memiliki sifat biodegradasi yang baik. Namun, plastik berbasis protein kedelai murni juga memiliki beberapa sifat yang tidak diinginkan sebagai bahan baku bioplastik, seperti sifat mekanik yang rendah, rapuh, dan sensitivitas plastik terhadap air (Kurose, 2007).

Pembuatan bioplastik memerlukan campuran bahan aditif untuk mendapatkan sifat mekanik yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu perlu ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini dikenal sebagai plastisasi, sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis. Selain dapat meningkatkan elastisitas bahan, zat pemlastis juga membuat plastik menjadi

Adapun bahan pemlastis yang digunakan adalah gliserol, karena gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat diperbaharui dan juga ramah lingkungan karena mudah terdegradasi di alam.

tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang-kadang disebut juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa pemlastis akan mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanik film seperti kekuatan tarik, elastisitas, kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.

Juliyarsi et al, (2011) melalui penelitiannya tentang pengaruh penambahan gliserol sebagai pemlastis terhadap kualitas film berbahan whey milk. Hasilnya ada kecenderungan penurunan aktivitas air dari film whey milk yang sebanding dengan penambahan gliserol sebagai pemlastis yang diakibatkan oleh karakteristik hidrofilik dari gliserol sehingga gliserol mampu terikat dengan air (Juliyarsi et al, 2011).


(23)

kopolikondensasi poliamida dan asam adipik. Poliester yang menunjukkan komponen polar tertinggi ini memiliki kekompakan yang baik dengan produk polar lainnya, seperti senyawa karbohidrat dan protein. Selain itu, poliester golongan ini juga menunjukkan permeabilitas air yang paling tinggi. Ikatan rantai ester pada rantai poliester amida menampilkan sifat biodegradasi dan ikatan rantai amida menampilkan sifat termal dan sifat mekanik yang baik pada rantai poliester amida (Zuo, 2011). Poliester amida banyak digunakan sebagai bahan dalam dunia biomedis, seperti sebagai bahan pembungkus obat-obatan dan alat-alat bedah.

Pembuatan bioplastik berbasis protein kedelai dengan poliester amida sebagai bahan pengisi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk memanfaatkan limbah padat industri tahu menjadi sumber matriks bioplastik berbasis protein, poliester amida sebagai bahan pengisi, dan gliserol sebagai bahan pemlastis untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan nilai tambah bagi limbah padat industri tahu tersebut.

Penggunaan poliester amida sebagai pengisi bioplastik memiliki keuntungan tersendiri karena selain sifatnya yang ramah lingkungan, poliester amida juga memiliki sifat proses yang baik, dan aman dimetabolisme oleh tubuh manusia, serta berpotensi memiliki tampilan yang baik.


(24)

1.2 Perumusan Masalah

Poliester amida adalah biodegradable polyester yang sesuai untuk digunakan dalam pembuatan bioplastik dari protein kedelai. Selain karena sifatnya yang ramah lingkungan, biodegradable polyester ini juga memiliki kompatibilitas yang baik antara gugus amida dan plastik protein kedelai. Hal demikian perlu diketahui perbedaan karakter film bioplastik protein kedelai – gliserol dan film bioplastik protein kedelai - gliserol - poliester amida serta perbandingan yang optimum antara protein kedelai - gliserol - poliester amida yang digunakan pada film bioplastik dari limbah padat industri tahu.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter film bioplastik protein kedelai – gliserol dan film bioplastik protein kedelai - gliserol - poliester amida, serta perbandingan yang optimum antara protein kedelai - gliserol - poliester amida yang digunakan pada film bioplastik dari limbah padat industri tahu.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini bagi industri dan masyarakat adalah:

1. Memberikan informasi untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah industri tahu di bidang pengemasan makanan.


(25)

2. Mendorong terciptanya usaha-usaha pengendalian pencemaran dengan cara memanfaatkan produk yang ramah lingkungan.

3. Menjadi suatu acuan dan perbandingan terhadap penelitian yang sejenis.

1.5 Lingkup Penelitian Lingkup dari penelitian ini, iputi:

1. Bahan-bahan yang digunakan adalah:

a. Isolat protein kedelai dari limbah industri tahu sebagai bahan bioplastik b. Larutan NaOH sebagai pengekstrak protein

c. Larutan HCl untuk mengasamkan filtrat limbah tahu d. Gliserol sebagai bahan pemlastis

e. Poliester amida sebagai pengisi bioplastik

2. Penelitian ini dilakukan terlebih dahulu dengan proses ekstraksi protein ampas tahu (limbah padat dari industri tahu), kemudian proses pembentukan bioplastik dengan cara solution casting.

3. Temperatur yang digunakan pada proses isolasi protein kedelai dari ampas tahu adalah 10 0C dan 50 0C dengan sentrifusi 4000 rpm sedangkan temperatur untuk proses pembentukan dan pengeringn film bioplastik adalah 80 0C dan 50 0

4. Variabel penelitian adalah:

C.

a. Variabel tetap adalah protein kedelai (10 gram atau 100%) b. Variabel tidak tetap, antara lain:


(26)

 Poliester amida (10%, 30%, dan 50% dari protein kedelai) 5. Analisis dan karakterisasi film bioplastik yang dilakukan adalah:

a. b.

Pengujian sifat mekanik dengan uji kekuatan tarik

c.

Pengujian kadar protein

Pengujian daya tahan panas dengan Thermogravimetric analysis d.

(TGA)

e.

Pengujian biodegradasi (masa urai)

f.

Analisis permukaan dengan mikroskop pemindai elektron (SEM) Analisis spektroskopi infra merah (FTIR)


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedelai

Kedelai adalah tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak dan termasuk Famili Leguminosa (kacang-kacangan). Berdasarkan jenisnya tanaman kedelai terdiri atas kedelai putih/kuning, hitam, cokelat, dan hijau. Hubeis (1984) dalam Sutanto (1998), menyatakan bahwa berdasarkan umurnya kedelai terbagi atas kedelai berumur pendek (60-80 hari), berumur sedang (90-100 hari), dan berumur dalam (110-120 hari). Pada tanaman kedelai biasanya yang diambil adalah bijinya. Struktur biji kedelai terdiri atas tiga bagian utama, yaitu keping biji/kotiledon (90%), kulit biji (8%), dan embrio/hipokotil (2%).

Nilai gizi kedelai cukup tinggi terutama kandungan proteinnya. Selain protein, kedelai juga mempunyai kandungan lemak yang cukup tinggi, yang terdiri atas 86% asam lemak tidak jenuh dan 40% asam lemak jenuh. Komposisi zat gizi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Biji kedelai berkeping dan terbungkus kulit biji, dan tidak mengandung jaringan endosperma. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, atau cokelat. Pusat biji adalah jaringan bekas biji yang melekat pada dinding buah.


(28)

Tabel 2.1 Komposisi Gizi Tiap 100 g Berat Kedelai

Komponen Kadar (%)

Protein 35-45

Lemak 18-32

Karbohidrat 12-30

Air 7

(Sumber: Muchtadi, 1989)

2.2 Protein Kedelai

Protein adalah struktur makromolekul yang terdiri atas asam-asam amino yang saling berhubungan melalui ikatan peptida. Protein kedelai terdapat dalam jaringan kotiledon biji kedelai. Pada tingkat subseluler, protein kedelai terdistribusi di dalam bagian-bagian sel yang disebut protein tubuh dan di sekitar sitoplasma. Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein cadangan, sisanya merupakan enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, amilase) hemaglutinin, protein inhibitor dan lipoprotein membran (Kinsella dalam Sutanto, 1998).

Gambar 2.1 Sruktur Kimia Asam Amino Protein Kedelai (Sutanto, 1998)

+

H3N

C H

C

O

O

R

(rantai samping)

Hidrogen α

Gugus karboksil Karbon α

Gugus Amin α


(29)

Sifat fungsional protein adalah sifat fisik dan kimia yang memungkinkan protein menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan. Sifat-sifat fungsional protein yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu (1) sifat hidrasi (berhubungan dengan interaksi protein-air) seperti daya ikat air, kebasahan, swelling, daya lekat, kekentalan, kelarutan; (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein seperti pembentukan gel, dan (3) sifat-sifat permukaan seperti emulsifikasi (Cheftel et al., 1985 dalam Sutanto, 1998). Sifat fungsional protein ini dipengaruhi oleh faktor intrinstik, faktor lingkungan, dan perlakuan selama proses.

Protein kedelai menjadi pilihan yang baik sebagai bahan baku film plastik karena polimer asam amino ini berisi 20 asam amino yang pada rantai samping, rantai akhir, atau rantai utamanya dapat menampung gugus fungsi. Gugus fungsi seperti amida, hidroksil, dan karboksil dapat berinteraksi dengan berbagai bahan pemlastis.

2.3 Limbah Industri Tahu

Industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat ini berupa kotoran hasil pembersihan kedelai (batu, tanah, kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu.

Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu. Limbah padat industri tahu meliputi ampas tahu yang diperoleh dari hasil pemisahan bubur kedelai. Ampas tahu masih mengandung protein yang cukup tinggi sehingga masih


(30)

bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan ikan. Akan tetapi kandungan air ampas tahu yang masih tinggi merupakan penghambat sebagai pakan ternak. Salah satu sifat dari ampas tahu ini adalah mudah tengik (basi dan tidak tahan lama) dan menimbulkan bau busuk kalau tidak cepat dikelola. Pengeringan merupakan salah satu jalan untuk mengatasinya. Pengeringan juga mengakibatkan berkurangnya asam lemak bebas dan ketengikan sehingga memperpanjang umur simpan (Kaswinarni, 2007).

Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara 25-35% dari produk tahu yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk menghasilkan ampas tahu tidak terlepas dari proses pembuatan tahu (Subowo, 2001).

Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu. Salah satu cara pembuatan tahu ialah dengan menyaring bubur kedelai sebelum dimasak, sehingga cairan tahu sudah terpisah dari ampasnya (Kastyanto, 1994).

Diagram alir proses pembuatan tahu secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.


(31)

Komposisi limbah kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varietas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40-43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim kering (Radiaty, 1992).


(32)

Kandungan nilai gizi yang masih terdapat dalam 100 gram ampas tahu secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2 Kandungan Nilai Gizi Ampas Tahu

Unsur Satuan Nilai

Kalori kal 414

Protein g 26,6

Lemak g 18,3

Karbohidrat g 41,3

Kalsium mg 19

Fosfor mg 29

Besi mg 4,0

Vit. B mg 0,20

Air ml 9,0

(Sumber: Kaswinarni, 2007 )

2.4 Bioplastik

Bioplastik adalah suatu bentuk plastik yang berasal atau bersumber dari tumbuhan, misalnya berasal dari minyak rami, minyak kacang kedelai, atau pati. Plastik ini mempunyai sifat biodegradable (Wikipedia, 2006). Menurut Pranamuda (2009), bioplastik adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir berupa air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke


(33)

lingkungan tanpa meninggalkan sisa yang beracun.

Menurut Adam dan Clark (2009), bioplastik adalah polimer yang dapat berubah menjadi biomassa, H2O, CO2 dan atau CH4 melalui tahapan depolimerisasi dan mineralisasi.

Depolimerisasi terjadi karena kerja enzim ekstraseluler (terdiri dari endoenzim dan eksoenzim). Endoenzim memutuskan ikatan internal pada rantai utama polimer secara acak, dan eksoenzim memutuskan unit monomer pada rantai utama secara berurutan. Bagian-bagian polimer yang terbentuk ini dipindahkan ke dalam sel dan mengalami mineralisasi. Proses mineralisasi membentuk CO2, CH4, N2

Berdasarkan bahan baku yang dipakai, bioplastik dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia (non-renewableresources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat biodegradabel, dan kelompok kedua adalah dengan keseluruhan bahan baku dari sumber daya alam terbarukan (renewable resources) seperti dari bahan tanaman pati dan selulosa serta hewan seperti cangkang atau dari mikroorganisme yang dimanfaatkan untuk mengakumulasi plastik yang berasal dari sumber tertentu seperti lumpur aktif atau limbah cair yang kaya akan bahan- bahan organik sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme tersebut (Adam dan Clark, 2009).

, air, garam-garam, mineral, dan biomassa. Definisi polimer bioplastik dan hasil akhir yang terbentuk dapat beragam tergantung pada polimer, organisme, dan lingkungan.

Polimer bioplastikdapat dikategorikan ke dalam tiga jenis (Evans, 2010) a.

, yaitu: Chemically synthesised polymers, misalnya polyglycolic acid, polylactic acid, poly (caprolactone), polyvinyl alcohol, polyethylene oxide. Jenis ini sangat rentan terhadap serangan enzim atau mikroba sehingga tidak dapat digunakan secara komersial untuk menggantikan plastik konvensional.


(34)

b.

c.

Starch-based bioplastic polymers. Pada jenis ini, pati (tepung halus dari singkong/kentang/ubi) ditambahkan sebagai bahan untuk produksi campuran plastik, misalnya starch-polyethylene. Tujuannya agar mikroba dalam tanah dapat mendegradasi pati dengan mudah sehingga dapat menguraikan plastik ini secara signifikan dalam waktu yang relatif cepat. Akan tetapi, beberapa jenis plastik lainnya dapat terdegradasi sebagian (tergantung kondisi tanah). Beberapa fragmen yang tertinggal setelah penghilangan pati tertinggal di lingkungan dalam waktu yang lama.

Polyhydroxyalkanoates (PHAs), yaitu polimer terdiri atas 2 sampai 6 hydroxy acids, yang diproduksi sebagai granula intraselular oleh banyak jenis bakteri. Ini sangat berpotensi sebagai plastik terbaharukan dan seratus persen bioplastik. Polimer ini dapat digunakan secara komersial untuk menggantikan penggunaan plastik konvensional.

Averous (2008) dalam Fibhumika (2009), mengelompokkan polimer bioplastik ke dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok utama adalah: (1) agro-polimer yang terdiri dari polisakarida, protein dan sebagainya; dan (2) biopoliester (bioplastik poliester) seperti poli asam laktat (PLA), polyhydroxyalkanoate (PHA), aromatik and alifatik kopoliester. Biopolimer yang tergolong agro-polimer adalah produk-produk biomassa yang diperoleh dari bahan-bahan pertanian.


(35)

Contoh polilaktida adalah poli asam laktat (PLA). Kelompok terakhir biopoliester yang lain juga ada yang diperoleh dengan sintesis secara konvensional dari monomer-monomernya. Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL), polyesteramides (PEA), aliphatic co-polyesters dan aromatic co-polyesters.

Menurut laporan Pranamuda (2009) dalam penelitiannya, menyatakan bahwa saat ini polimer bioplastik yang telah diproduksi adalah kebanyakan dari polimer jenis poliester alifatik. Bioplastik yang sudah diproduksi skala industri, antara lain:

a. Poli (ε-kaprolakton) (PCL) : PCL adalah polimer hasil sintesa kimia menggunakan bahan baku minyak bumi. PCL mempunyai sifat biodegradabilitas yang tinggi, dapat dihidrolisa oleh enzim lipase dan esterase yang tersebar luas pada tanaman, hewan dan mikroorganisme. Namun titik lelehnya yang rendah, Tm = 60 0

b. Poli (ß-hidroksi butirat) (PHB) : PHB adalah poliester yang diproduksi sebagai cadangan makanan oleh mikroorganisme seperti Alcaligenes (Ralstonia) eutrophus,

Bacillus megaterium dsb. PHB mempunyai titik leleh yang tinggi (Tm = 180 C, menyebabkan bidang aplikasi PCL menjadi terbatas (Awaliyyah RF, 2008; Pranamuda, 2009).

0

c. Poli (butilena suksinat) (PBS): PBS mempunyai titik leleh yang setara dengan plastik konvensional polietilen, yaitu Tm = 113

C), tetapi karena kristalinitasnya yang tinggi menyebabkan sifat mekanik dari PHB kurang baik (Ping, 2006).

0

d. Poli asam laktat (PLA) : PLA merupakan poliester yang dapat diproduksi menggunakan bahan baku sumber daya alam terbarui seperti pati dan selulosa melalui fermentasi asam laktat. PLA mempunyai titik leleh yang tinggi sekitar 175


(36)

0C, dan dapat dibuat menjadi lembaran film yang transparan (Kurniawan RA, 2010;

Pranamuda, 2009).

2.5 Metode Pembuatan Bioplastik

Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembuatan film plastik dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu di antar fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.

Istilah plastik meliputi produk hasil proses polimerisasi baik yang sintesis maupun semisintesis. Plastik dapat dibentuk menjadi suatu objek, film, ataupun serat (Anonim, 2006). Menurut Allcock dan Lampe (1981), film plastik dapat dibuat melalui dua teknik dasar yang berbeda, yaitu solution casting atau molten polymer. Pada pembuatan film plastik dengan teknik solution casting, bahan polimer dilarutkan ke dalam pelarut yang cocok untuk menghasilkan larutan yang viskos. Larutan yang dihasilkan dituang pada suatu permukaan yang rata (cetakan) yang bersifat non-adesif dan pelarut dibiarkan menguap sampai habit. Film plastik yang sudah kering kemudian diangkat dari cetakannya. Teknik molten polymer dilakukan dengan cara pemanasan polimer sampai di atas titik lelehnya (Allcock dan Lampe, 1981).


(37)

pilihan yang cepat dan mudah untuk dilakukan pada skala laboratorium. Pemilihan jenis pelarut yang cocok dengan bahan polimer menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan.

Teknik solution casting dilakukan dengan membuat larutan polimer 20% (b/v) untuk menghasilkan larutan dengan viskositas yang sesuai. Pengadukan diperlukan untuk mempercepat kelarutan, misalnya pengadukan dengan strirrer (Allcock dan Lampe, 1981). Allcock dan Lampe (1981) menambahkan bahwa apabila larutan polimer perlu disaring sebelum proses casting, maka dapat dilakukan penyaringan vakum karena larutan terlalu viskos. Pada skala laboratorium, proses solution casting dapat dilakukan pada plat kaca atau cawan gelas.

2.6

Menurut Wu dan Bates (1972) dalam Sutanto (1998), mekanisme pembentukan film protein terjadi karena polimerisasi endotermik dan denaturasi protein akibat pemanasan yang diikuti dehidrasi permukaan. Mekanisme polimerisasi melibatkan molekul disulfida dan ikatan hidrofobik. Pemanasan menyebabkan struktur tiga dimensi protein antara sulfhidril dan rantai sisi hidrofobik sehingga rantai protein yang tidak melipat akan saling mendekat satu dengan yang lainnya dan saling berhubungan lewat ikatan disulfida dan hidrofobik (Fukushima dan Van Burren, 1970 dalam Sutanto, 1998).

Mekanisme Pembentukan Film

Menurut (Cheflet et al, 1985 dalam Sutanto, 1998) denaturasi protein adalah bentuk modifikasi konformasi protein yang tidak diikuti oleh pemutusan ikatan


(38)

peptida yang ada pada struktur primernya. Selama denaturasi rantai protein akan terbuka sehingga memungkinkan pembentukan jaringan matriks baru yang lebih kompak dan dapat berinteraksi dengan komponen lain. Pada saat larutan dipastikan telah homogen, poliester amida ditambahkan yang berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh film. Dengan adanya penambahan poliester amida, maka gugus hidrogen dari poliester amida akan berikatan dengan gugus amida dari protein sehingga kekuatan intermolekuler antar rantai protein akan berkurang dan mobilitas polimer akan meningkat sehingga fleksibilitas akan meningkat pula (Sutanto, 1998).

Struktur film merupakan matriks protein yang dibentuk oleh interaksi-interaksi protein yang dikatalisis oleh panas dengan ikatan disulfida, hidrogen, dan hidrofobik sebagai kekuatan asosiasi dalam jaringan film (Famum et al, 1976 dalam Sutanto, 1998). Ikatan disulfida terbentuk melalui pertukaran ion disulfida dan reaksi oksidasi ion yang diindikasi oleh adanya panas. Ikatan ini akan membentuk struktur tiga dimensi. lkatan hidrogen berperan dalam peningkatan viskositas dan stabilisasi struktur gel, sedangkan ikatan hidrofobik berperan dalam pengerasan struktur gel dan stabilisasi.


(39)

2.7 Gliserol

Billmeyer (1994) dalam Sutanto (1998) menambahkan bahwa jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan

Menurut Hammer (1978) dalam Sutanto (1998), bahan pemlastis adalah bahan kimia yang dapat digunakan untuk mengurangi kekakuan resin termoplastik. Prinsip kerja bahan pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer. Hal ini akan meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer dan akibatnya dapat menurunkan substransisi kaca (Tg).

bahan pemlastis maka akan terjadi penurunan titik lebur (Tm) dan derajat bahan pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin. Efektivitas penambahan bahan pemlastis dapat dilihat melalui beberapa parameter semi empiris, seperti penurunan suhu transisi kaca dan titik leleh, karakteristik mekanik, serta kondisi molekuler.

Menurut Syarief (1989), untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai bahan pemlastis, penstabil pangan, pewama, penyerap UV, dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul rendah.

Bahan pemlastis merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu proses untuk meningkatkan beberapa sifat dari polimer, misalnya ketahanan terhadap panas atau minyak dan polimer yang dihasilkan lebih halus dan luwes. Bahan


(40)

pemlastis adalah bahan non-volatil dengan titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah sifat fisik dan atau sifat mekanik dari bahan tersebut (Krochta, et.a1, 1994). Bahan pemlastis ditambahkan untuk mengurangi gaya intermolekul antar partikel penyusun pati yang menyebabkan terbentuknya tekstur edible film yang mudah patah (getas). Bahan pemlastis juga meningkatkan gaya intermolekuler dan meningkatkan mobilitas ikatan polimer sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film.

Sedangkan bahan pemlastis yang umum digunakan dalam pembuatan plastik bioplastik adalah gliserol karena ketersediaan gliserol melimpah di alam dan sifatnya yang tidak merusak alam. Gliserol atau biasa disebut gliserin merupakan suatu larutan kental tidak berwama dan mempunyai rasa yang manis. Jika direaksikan dengan air dan alkohol menyebabkan rasa dingin pada kulit. Gliserol dapat dihasilkan dari minyak sawit (CPO, BPO, dan RPDPO), minyak inti sawit (PKO), dan minyak kelapa (CNO). Dalam pengolahan minyak (trigliserida) selain menghasilkan gliserol juga akan menghasilkan asam lemak yang juga dapat diolah menjadi beberapa macam produk seperti asam laurat, asam kaprat, dan asam stearat (Guerrero, dkk., 2010).

Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi, tiap atom karbon mempunyai gugus -OH. Gliserol merupakan suatu molekul bidrofilik yang relative kecil dan mudah di sisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus dan protein gluten. Hal ini berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antara rantai protein. Selain itu,


(41)

seiring dengan peningkatan kadar gliserol dalam film akibat dari penurunan kerapatan jenis protein (Gontard, 2009).

Gliserol efektif digunakan sebagai bahan pemlastis pada film hidrofilik, seperti pektin, pati, gel dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis protein (Juliyarsi et al, 2011).

Gambar 2.3 Rumus Struktur Gliserol

2.8 Poliester Amida

Sejumlah besar biodegradable polyester yang berasal dari minyak bumi diperoleh secara kimiawi dari monomer-monomer sintesisnya. Biodegradable polyester ini dapat dibedakan berdasarkan struktur kimianya, seperti policaprolactones, poliester amida, kopoliester alifatis maupun kopoliester aromatis. Semua poliester ini lembut pada temperatur kamar.

Poliester amida diperoleh secara industri dari monomer-monomer kopolikondensasi poliamida dan asam adipic. Poliester yang menunjukkan komponen polar tertinggi memiliki kekompakan yang baik dengan produk polar lainnya, seperti senyawa-senyawa karbohidrat. Selain itu, poliester golongan ini juga menunjukkan permeabilitas air yang paling tinggi.


(42)

kompatibilitasnya yang baik antara gugus amida dan plastik protein kedelai. Pencampuran protein kedelai dengan biodegradable polyester bertujuan untuk meningkatkan kekuatan plastik bioplastik dari kedelai.

R

C 1 C NH R2 NH C R1 C O R3

O

Dan, beberapa sifat fisika dan mekanik dari poliester amida dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah ini :

Sifat Poliester amida Satuan Nilai

Densitas g/cm3 1,07

Titik leleh 0C 112

Transisi gelas 0C -29

Kristalinitas % 15

Modulus MPa 262

Sifat Poliester amida Satuan Nilai O O

O O

Tabel 2.3. Sifat-Sifat Poliester Amida Gambar 2.4 Rumus Strutur Poliester Amida


(43)

Elongation at break % 420

Kekuatan tarik MPa 17

Biodegradasi/mineralisasi * % 100

Permeabilitas air pada 250C g/m2/hari 680

Tegangan permukaan mN/m 59

(*) Selama 60 hari dalam pengkontrolan berdasarkan ASTM 5336

2.9 Analisis dan Karakterisasi Bahan Polimer

2.9.1 Spektroskopi Infra merah Fourier-Transform (FTIR)

Serapan radiasi infra merah oleh suatu molekul terjadi karena interaksi vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polarisabilitas dengan medan listrik gelombang elektromagnetik. Ada dua jenis vibrasi ikatan kimia yang dapat menyerap radiasi infra merah, yakni vibrasi longitudinal dan vibrasi sudut.

Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari sejumlah satuan-ulangan (sampai 102 - 105 unit per rantai). Secara teori spektrum inframerah bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan ulangannya. Akan tetapi, berbeda dengan senyawa bobot molekul rendah yang murni, struktur satuan-ulangan dalam rantai polimer tidak selamanya identik. Ditambah lagi perubahan susunan geometris, perubahan orientasi ikatan dan bentuk kristal akan mempengaruhi serapan inframerah oleh kimia satuan-ulangan. Karena itu dapat


(44)

diduga bahwa polimer dengan bobot molekul tinggi yang terdiri dari 103-106 atom per molekul akan memberikan sejumlah besar pita serapan.

Pada dasarnya, teknik FTIR adalah sama dengan spektroskopi inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara penghitungan Fourier Transform dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi.

2.9.2 Pengujian Sifat Mekanis

Penggunaan bahan polimer sebagai bahan teknik misalnya dalam industri suku cadang mesin, konstruksi bangunan dan transportasi, tergantung sifat mekanisnya, yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanis yang khas ini disebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam bahan polimer, yakni ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai polimer yang lebih lemah.

Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σ) menggunakan alat pengukur tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan diberikan tegangan. Secara praktis, kekuatan-tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama di bawah pengaruh tegangan, spesimen mengaiami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang semula (A0 ). Kekuatan tarik suatu bahan dapat dilihat pada persamaan berikut(Wirjosentono, 1995):


(45)

0 /A Fmaks

t =

σ

SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM), dalam hal ini suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi.

2.9.3 Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)

Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 A. Aplikasi-aplikasi yang khas mencakup penelitian dispersidispersi pigmen dalam cat, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas fasa dalam polipaduan yang tak dapat campur, struktur sel busa-busa polimer, dan kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa berharga dalam mengevaluasi betapa penanaman (implant) bedah polimerik bereaksi baik dengan lingkungan bagian-bagiannya (Stevens, 2001).


(46)

2.10 Penelitian Pendahuluan Yang Pernah Dicapai

Penelitian yang menyangkut penggunaan protein kedelai sebagai bahan dasar bioplastik yang pernah dilakukan diantaranya, Sutanto (1998) melakukan pencampuran antara protein bungkil kedelai dengan karboksi metil selulosa (CMC), metil selulosa (MC), lilin lebah dan bahan pemlastis polietilen glikol (PEG). Penambahan lilin lebah adalah untuk meningkatkan barrier uap air dari film berbasis polisakarida dan protein, sedangkan penambahan bahan pemlastis adalah untuk mengatasi sifat rapuh film. Bungkil kedelai diambil ekstrak proteinnya dengan beberapa tahap, yaitu penggilingan dan perendaman pada suhu 65 0C selama satu jam, dilanjutkan dengan penirisan selama 20 menit, penghancuran dengan blender, pemasakan dengan suhu 90-95 0

Kristanoko (1996) juga melakukan penelitian terhadap pengaruh penambahan CMC dan sorbitol terhadap karakteristik fisik edible film dari ekstraksi bungkil kedelai. Konsentrasi CMC yang diteliti 0,75; 100; dan 1,25 g/ 45 ml ekstrak protein

C selama 10 menit, penyaringan, lalu sentrifusi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi PEG, maka kuat tarik akan menurun, sedangkan permeabilitas uap air, permeabilitas oksigen, persen pemanjangan, dan ketebalan akan meningkat. Dengan peningkatan konsentrasi lilin lebah, maka kuat tarik, permeabilitas uap air, dan oksigen akan menurun sedangkan ketebalan dan persen pemanjangan akan meningkat. Dari segi penampakan, semakin tinggi jumlah lilin lebah, maka film akan semakin kurang transparan.


(47)

protein bungkil kedelai. Konsentrasi ekstrak protein bungkil kedelai adalah 3%.

Film yang dihasilkan untuk beberapa karakteristik fisik tertentu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi CMC dan sorbitol yang ditambahkan. CMC meningkatkan kadar air, ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, laju transmisi uap air (WVTR). Sedangkan kadar protein film menjadi turun. Sorbitol memberikan pengaruh yang berbeda. Sorbitol meningkatkan kadar air, kadar protein, ketebalan, persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air, tetapi kuat tarik film semakin menurun.

Bai et al. (2010) melakukan penelitian tentang efek dari salicylic acid

terhadap sifat mekanis dan ketahanan air dari film isolat protein kedelai. Film komposit protein kedelai (SF) disiapkan dengan menggunakan isolat protein kedelai (SPI), salicylic acid (SA), dan gliserol sebagai bahan pemlastisnya. Sedangkan untuk menyiapkan film komposit protein kedelai tahan air (SF-B), maka digunakan 2, 2-diphenyl-2-hydroxyethanoic acid (DPHEAc). Sejumlah SA yang berbeda (0,25; 0,5; 0,75 w/w) dicampur hingga merata dengan tepung SPI dan gliserol (30% dari berat SPI) menggunakan mixer selama 15 menit, kemudian dipress menggunakan hot press

pada suhu 140 0C dan tekanan 20 MPa selama 10 menit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa film SF-B dengan 0,5% (wt) SA memiliki kekuatan tarik dan yang lebih tinggi disbanding dengan film SF dengan jumlah SA yang sama.


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini secara keseluruhan dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer, Laboratorium Kimia Organik, Laboratorium Biokimia, dan Laboratorium Terpadu yang berlokasi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta di Laboratorium Polimer Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, adalah erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, batang pengaduk kaca, neraca analitik, oven, hot plate, kain saring, kertas saring, penyaring vakum, corong kaca, tabung sentrifusi, labu alas, desikator, magnetic styrer, seperangkat alat Kjeldahl, termometer, alumunium foil, ayakan 40 mesh, Universal Testing Machine (UTM) GOTECH Al-7000M Grid Tensile, dan spektra FTIR model Perkin Elmer.

Adapun bahan yang digunakan dalam pembuatan plastik bioplastik ini adalah limbah ampas tahu, aquades, NaOH 2N, HCl 2 N, gliserol, poliester amida (PEA), H2SO4 (pekat), selenium, H3BO3, HCl 0,1 N, cairan indikator Tashiro, dan kertas


(49)

3.3 Prosedur Penelitian

Ampas tahu diperoleh dari industri pembuatan tahu berupa butiran halus yang masih mengandung kadar air yang tinggi. Menurut Bian et al, (2003), ampas tahu basah sangat mudah rusak bila dibiarkan terlalu lama di udara terbuka. Oleh sebab itu ampas tahu yang digunakan pada penelitian ini adalah ampas tahu kering.

3.3.1 Penyiapan Ampas Tahu

Ampas tahu kemudian diperas, dikeringkan di dalam oven pada suhu 50 0

C selama 24 jam, dan dihaluskan menggunakan ayakan 40 mesh agar tahan lebih lama dan juga terpisah dari kotoran dan kontaminan lainnya (Bian et al, 2003).

Isolasi protein ini dilakukan dengan menggunakan metode Koswara (1992). Ampas tahu yang telah disaring dengan ayakan 40 mesh dimasukkan ke dalam beaker glass kemudian ditambahkan aquades dengan perbandingan ampas tahu dan aquades sebesar 1 : 2. Pada penelitian ini setiap percobaan isolasi protein sampel (ampas tahu) diambil sebanyak 500 gram. Setelah itu dilakukan ekstraksi protein dengan menggunakan larutan NaOH 2 N dan pH 10 selama satu jam. Kemudian hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan penyaringan vakum sebanyak dua kali proses penyaringan. Penyaringan I dilakukan dengan menggunakan kain saring yang pori-porinya lebih besar. Kemudian penyaringan II dilakukan dengan menggunakan kertas saring.


(50)

Dari hasil penyaringan, diperoleh residu dan protein terekstrak. Residu yang diperoleh berupa kotoran (abu) maupun senyawa-senyawa lain yang tidak diinginkan (seperti lemak dan karbohidrat). Selanjutnya, protein yang terekstrak tersebut diendapkan dengan menggunakan larutan HCl 2 N sampai diperoleh larutan pH protein terekstrak sebesar pH 4,5 dan disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 10 0C selama 15 jam. Selajutnya larutan protein terekstrak tersebut disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Dari proses entrifuse tersebut diperoleh endapan protein dan whey. Endapan protein tersebut kemudian dicuci dengan aquades. Setelah itu, endapan protein yang bercampur aquades disentrifuse lagi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Dari hasil sentrifusi yang kedua ini diperoleh endapan protein yang sudah tercuci dan selanjutnya endapan protein tersebut dikeringkan di dalam oven pada suhu 50 0C selama 24 jam. Hasil proses isolasi protein dari ampas tahu ini disebut dengan kosentrat protein.

3.3.3 Pembentukan Film Bioplastik

3.3.3.1. Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol (Sebastian, 2012)

Pada dasarnya, ada dua teknologi pembuatan film bioplastik berbasis protein (Cuq et al, 1998) yaitu: proses basah (wet process) dan proses kering (dry process). Suatu proses basah (wet process) yang lebih dikenal dengan solution casting merupakan suatu teknologi pembuatan film bioplastik berdasarkan penyebaran atau pelarutan protein di dalam suatu pelarut. Sedangkan proses kering (dry process)


(51)

merupakan teknologi pembuatan film bioplastik berdasarkan pada sifat-sifat termoplastik protein, yang sering lebih dikenal dengan teknik ekstrusi (hot pressing atau compression moulding). Pada penelitian ini, film bioplastik dibuat dengan proses basah (solutioncasting).

Film bioplastik protein kedelai – gliserol dibuat dengan menambahkan 10 gram protein kedelai ke dalam 100 mL aquades dimana pH diatur sampai 10 dengan penambahan NaOH 2,0 N. Lalu secara perlahan dimasukkan 1,0 gram gliserol (10 % dari bahan baku protein kedelai) ke dalam larutan protein kedelai tersebut. Kemudian campuran dipanaskan sambil diaduk hingga suhu 80 0

Film protein kedelai – gliserol yang telah terbentuk disimpan di dalam desikator pada suhu kamar. Selanjutnya film protein kedelai - gliserol yang telah kering dilepas dari permukaan cetakan secara perlahan-lahan untuk dilakukan pengujian sifat dan karakterisasinya. Langkah-langkah percobaan di atas diulang untuk variasi berat gliserol sebanyak 1,5 g dan 3 g.

C selama 30 menit hingga campuran merata dan mengental. Lalu hasilnya dicetak di atas plat kaca berukuran 30 x 30 cm yang telah dilapisi kertas aluminium foil, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 50 °C selama 24 jam.

Pada penelitian ini, film bioplastik protein kedelai – gliserol yang dipakai sebagai kontrol untuk pembentukan film bioplastik – gliserol – poliester amida adalah film bioplastik protein – kedelai dengan variasi gliserol yang optimum dari perbandingan konsentrasi gliserol 10%, 15%, dan 30% dari protein kedelai.


(52)

3.3.3.2. Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai - Gliserol - Poliester Amida (Sebastian, 2012)

Film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida (PEA) disiapkan dengan menambahkan 10 gram protein kedelai ke dalam 100 ml aquades dimana pH diatur sampai 10 dengan penambahan NaOH 2,0 N. Setelah itu, secara perlahan-lahan ditambahkan gliserol sebanyak 1 gram (10% dari bahan baku protein kedelai) dan poliester amida sebanyak 1 gram (10% dari SPI). Lalu, campuran dipanaskan pada suhu 80 °C selama 30 menit sambil diaduk dengan magnetic styrer sampai campuran merata dan mengental. Setelah mengental, campuran tersebut dituang di atas kaca berukuran 30 x 30 cm yang dilapisi aluminum foil untuk membentuk film yang seragam. Dan selanjutnya, film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida

(PEA) kemudian dikeringkan pada suhu 50 °C selama 24 jam di dalam oven. Film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida (PEA) yang telah

terbentuk disimpan di dalam desikator pada suhu kamar. Selanjutnya film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida (PEA) yang telah kering dilepas dari permukaan cetakan secara perlahan-lahan untuk dilakukan pengujian sifat dan karakterisasinya. Langkah-langkah percobaan di atas diulang untuk variasi berat poliester amida sebanyak 3 g dan 5 g atau sebanyak 10%, 30%, dan 50% dari protein kedelai. Sehingga dari hasil pengujian dan karakterisasi film bioplastik protein kedelai dengan menggunakan perbandingan gliserol sebagai bahan pemlastis dan pengisi poliester amida yang optimum, diperoleh film bioplastik protein kedelai – gliserol – asam amino dengan karakter yang terbaik.


(53)

3.4.1 Diagram Alir Proses Isolasi Protein Kedelai dari Ampas Tahu 3.4 Diagram Alir Prosedur Penelitian

Proses isolasi protein kedelai dari ampas tahu dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Pengendapan ; pH 4,5 15 jam ; 10 0C

Sentrifuse (4000 rpm ; 10 menit)

Pencucian (pH 7)

Ampas Tahu

Penyaringan I (dengan kain saring) Ekstraksi Protein (pH 10)

Penambahan Air (1:2)

NaOH 2 N

Penyaringan I (dengan kertas saring)

Protein terekstrak Residu

HCl 2 N

Endapan Protein Whey

Aquades

Sentrifuse (4000 rpm ; 10 menit)

Endapan Protein Tercuci Whey


(54)

3.4.2 Diagram Alir Pembentukan Film Bioplastik

3.4.2.1. Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol

Pada tahap berikutnya setelah proses isolasi protein kedelai dari ampas tahu adalah pembentukan film bioplastik. Gambar 3.2 di bawah ini menjelaskan bagaimana proses pembentukan film bioplastik protein kedelai – gliserol.

Gliserol

Pencampuran Protein Kedelai/Gliserol

Pencetakan Film Bioplastik

Pengeringan (50 0C, 24 jam)

Film Bioplastik Pemanasan (800C, 30 menit) Larutan protein

(pH 10) Protein Kedelai


(55)

3.4.2.2 Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida

Proses pembentukan film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida dijelaskan pada Gambar 3.3 di bawah ini.

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembentukan Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida

Pencampuran

Protein Kedelai/Gliserol/Poliester Amida

Pencetakan Film Bioplastik

Pengeringan (50 0C, 24 jam)

Film Bioplastik Larutan protein

(pH 10)

Protein Kedelai Gliserol

Poliester Amida

Pemanasan Campuran (800C, 30 menit, pH 10)


(56)

3.5 Analisis dan Karakterisasi Film Bioplastik

g.

Analisis dan karakterisasi film bioplastik dilakukan untuk mengetahui apakah plastik yang dihasilkan telah memenuhi syarat yang ditentukan untuk suatu penggunaan tertentu, jenis pengujian yang dilakukan adalah :

h.

Pengujian sifat mekanik dengan uji kekuatan tarik

i.

Pengujian kadar protein

j.

Pengujian daya tahan panas (TGA)

k.

Pengujian biodegradasi (masa urai)

l.

Analisis permukaan dengan mikroskop elektron payaran (SEM) Analisis spektroskopi infra merah (FTIR)

Pengujian sifat mekanis dalam penelitian ini menggunakan alat Universal Testing Machine Gotech Al-7000M Grid Tensile dengan beban 2000 kgf dan kecepatan 25 mm/menit. Spesimen film bioplastik dipotong dengan ketebalan di bawah 1 mm (0,1 – 0,2 mm) sesuai dengan standar ASTM D 882-91, yaitu standar untuk uji kemuluran dan kekuatan tarik plastik pelapis tipis dan film bioplastik. Gambar 3.4 menampilkan ukuran spesimen film untuk uji tarik pada penelitian ini. 3.5.1 Pengujian Sifat Mekanik dengan Uji Kekuatan Tarik


(57)

Kedua ujung spesimen dijepit pada alat kemuluran kemudian dicatat perubahan panjangnya (mm) (Yazdani G, 2000). Kemudian, dicatat harga tegangan maksimum (Fmaks

Harga kemuluran (%) bahan dihifung dengan menggunakan rumus di bawah ini:

) dan regangannya. Data pengukuran regangan diubah menjadi kuat tarik (80 dan kemuluran (c).

Kemuluran (ε) = x100%

lo lo l

………... (3.1) Dimana : llo = harga stroke ; lo = panjang awal

Nilai kekuatan tarik bahan dihitung dengan persamaan:

Kekuatan tarik (Kgf/mm2

) ( ) ( 2 mm A Kgf tarik beban nilai

) = ………... (3.2)

Dimana : A = luas permukaan yang mendapat beban.

3.5.2 Pengujian Kadar Protein

Pengujian kadar protein pada penelitian ini menggunakan standar SNI 01 – 2891 – 1992 dengan menggunakan metode Kjeldahl.

1.

Dalam analisis protein dengan metode Kjeldahl terdapat tiga tahap proses, yaitu :

Tahap Destruksi

Plastik bioplastik kering ditimbang seberat satu (1) gram kemudian dimasukkan dalam tabung destruksi. Kemudian tujuh (7) gram katalis dimasukkan dalam tabung tersebut dan ditambahkan dengan 25 ml


(58)

H2SO4

2.

pekat. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan dalam alat destruksi selama ± 1-1,5 jam. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening kehijau-hijauan kemudian didinginkan selama 30 menit. Tahap Destilasi

Secara perlahan ditambahkan sejumlah kecil air destilat ke dalam labu destruksi melalui dinding labu dan digoyangkan perlahan agar kristal yang terbentuk larut kembali. Isi labu kemudian dipindahkan dalam labu ukuran 100 ml destilasi dan diencerkan hingga tanda batas. Kemudian diambil sampel sebanyak 25 ml ke dalam labu destilasi alas bulat dan ditambahkan 50 ml larutan 30% NaOH dan 3 tetes indikator PP diencerkan sampai setengah volume labu. Erlenmeyer 250 ml yang berisi 100 ml larutan H3BO3; dan 2-3 tetes indikator metilen red dan metilen

blue diletakkan di bawah kondensor yang harus terendam di bawah permukaan larutan H3BO3

3 Tahap Titrasi

. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira setengah kali volume larutan contoh.

Tahap titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N, dititrasi sampai warna larutan berubah menjadi merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus :

% nitrogen =�������������������������×0,1����×14


(59)

% kadar protein = % nitrogen × faktor konversi protein ………... (3.4) dimana : faktor konversi protein = 5,75

3.5.3 Pengujian Daya Tahan Panas dengan Thermogravimetric Analysis (TGA) Analisis termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat - sifat fisik dan kimia material sebagai fungsi dari suhu. Misalnya entalpi, kapasitas panas, massa dan koefisien ekspansi termal.

Analisis termal pada penelitian ini mencakup pembahasan tentang perubahan-perubahan morfologis film bioplastik, yaitu degradasi termalnya. Degradasi termal ini ditetapkan oleh Thermogravimetric Analysis (TGA).

Thermogravimetric Analysis dipakai terutama untuk menetapkan stabilitas panas polimer-polimer. Thermogravimetric Analysis yang digunakan adalah Thermogravimetric Analysis nonisotermal dimana dilakukan pengukuran berat yang kontinyu terhadap suatu neraca sensitif (disebut neraca panas) ketika suhu sampel dinaikkan di dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert, kemudian data dicatat sebagai termogram berat versus temperatur (Stevens, 2001).

3.5.4 Pengujian Biodegradasi (Masa Urai)

Proses uji biodegradasi ini diperlukan untuk mempelajari tingkat ketahanan film bioplastik yang dihasilkan kaitannya dengan pengaruh mikroba pengurai dan kelembaban tanah. Secara fisik, film bioplastik pada penelitian ini memiliki sifat biodegradasi yang baik karena bahan penyusunnya merupakan bahan yang bersifat


(60)

organik sehingga dapat diuraikan oleh mikroba pengurai. Uji biodegradasi pada penelitian ini dilakukan dengan melihat lama penguburan terhadap persentase kehilangan berat sampel. Film bioplastik dikubur di dalam tanah dengan kedalaman 50 cm. Laju penguburan di dalam tanah diamati selama 15, 30, dan 45 hari. Kemudian pengukuran dilakukan berdasarkan berat yang hilang atau yang dianggap terurai di dalam tanah dengan menggunakan persamaan di bawah ini (Asiah, 2013):

Kehilangan berat =��

�� � 100% ……… (3.5) dimana Wi

W

= berat sampel awal

f = berat sampel setelah proses biodegradasi

3.5.5 Analisis Permukaan dengan Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)

Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan mikroskop pemindai elektron karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan itu secara langsung.

Pada dasarnya SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron yang dipantulkan atau seberkas elektron sekunder. SEM menggunakan prinsip scanning, prinsip utamanya adalah berkas elektron diarahkan pada titik-titik pada permukaan spesimen. Gerakan elektron tersebut disebut scanning (gerakan membaca).

Jika seberkas elektron ditembakkan pada permukaan spesimen, maka sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi diteruskan jika


(61)

permukaan spesimen tidak rata, banyak lekukan, lipatan, atau lubang-lubang maka tiap bagian permukaan itu memantulkan elektron dengan jumlah dan arah yang berbeda dan jika ditangkap detektor akan diteruskan ke sistem layar akan diperoleh gambaran yang jelas dari permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi. Sampel yang dianalisis dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi sedang bahan polimer konduktivitasnya rendah sehingga harus dilapisi dengan bahan konduktor tipis. Bahan yang biasa digunakan adalah perak tetapi untuk dianalisa pada jangka waktu yang lama. Penggunaan emas atau campuran emas dan palladium akan lebih baik.

Analisis morfologi permukaan spesimen komposit dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) type Inspect-S50. Spesimen untuk analisis SEM adalah dari patahan permukaan tank. Permukaan spesimen terlebih dahulu dilapisi tipis dengan palladium untuk menghindari pembebanan elektrostatik selama proses pengujian. Gambar 3.5 memperlihatkan alat Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) type Inspect-S50 yang digunakan untuk analisis morfologi permukaan bahan komposit.


(62)

3.5.6 Analisis Spektroskopi Infra Merah (FTIR)

Dua variasi instrumental dari spektroskopi IR yaitu metode dispersif yang lebih tua, dimana prisma atau kisi dipakai untuk mendispersikan radiasi IR, dan metode Fourier Transform (FT) yang lebih akhir, yang menggunakan prinsip interferometri. Kelebihan-kelebihan dari FTIR mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat dan karena instrumen ini memiliki komputer yang terdeteksi kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum.

Spektrum-spektrum dispersif dan sebagian besar polimer impor komersial telah dicatat, oleh karenanya identifikasi kualitatif zat-zat yang tidak diketahui sering kali bisa diselesaikan melalui perbandingan. Ini mencakup polimer-polimer yang memiliki stereokimia atau distribusi rangkaian monomer yang bervariasi, karena perbedaan demikian biasanya menghasilkan spektrum-spektrum yang berbeda. Spektrum-spektrum komparatif tidak tersedia, pengetahuan ke struktur polimer bisa diperoleh melalui pertimbangan yang wajar terhadap pita-pita absorpsi gugus fungsional, atau dengan membandingkan spektrum dengan spektrum senyawa-senyawa model berat molekul rendah yang siap terkarakterisasi dengan struktur yang mirip (Stevens, 2001).

Penggunaan spektrofotometer FTIR untuk analisa banyak diajukan untuk identifikasi suatu senyawa. Hal ini disebabkan spektrum FTIR suatu senyawa (misalnya, senyawa organik) bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan


(63)

menyebabkan pita serapan hampir seluruhnya di daerah spektrum IR yakni 4000-400 cm-1

Pada temperatur biasa molekul organik frekuensi vibrasinya dalam keadaan tetap. Masing-masing ikatan mempunyai vibrasi regangan (stretching) dan vibrasi tekuk (bending) yang dapat mengabsorpsi energi radiasi pada frekuensi itu. Vibrasi regangan adalah terjadinya terus-menerus perubahan jarak antara

.

dua atom di dalam suatu molekul. Vibrasi regang ini ada dua macam, yaitu regang simetris dan tak simetris. Vibrasi tekuk adalah terjadinya perubahan sudut antara dua ikatan kimia.

Ada empat macam vibrasi tekuk, yakni vibrasi tekuk dalam bidang (inplane bending) yang dapat berupa vibrasi "scissoring" (deformasi) atau vibrasi "rocking" dan vibrasi keluar bidang (out of plane bending) yang dapat berupa "wagning" atau berupa twisting.

Formulasi bahan polimer komersial dengan kandungan aditif bervariasi sebagai plasticizer, pemantap, dan anti oksidasi, memberikan kekhasan pada spektrum infra merahnya. Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai, dan struktur rantai polimer. Disamping itu, analisis IR dapat digunakan untuk karakterisasi bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap pada rantai polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus hidroksida dan karboksilat (Haryono, 1991). Gambar 3.6 memperlihatkan alat FTIR model Perkin Elmer yang digunakan untuk analisis adanya perubahan gugus fungsi dan interaksi kimia antara bahan matriks dan pengisi dalam komposit.


(64)

(65)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Protein Kedelai dari Limbah Padat Industri Tahu

Pada pembuatan protein kedelai, dari 500 gram sampel limbah padat industri tahu (ampas tahu) dihasilkan protein kedelai kurang lebih sebanyak 44 gram. Protein kedelai dari limbah padat industri tahu hasil penelitian ini berupa serbuk berwarna kuning yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini.

Gambar 4.1 Serbuk Protein Kedelai Hasil Limbah Padat Industri Tahu

4.2 Karakterisasi Serbuk Protein Kedelai 4.2.1 Analisis FTIR

Spektra hasil analisis FTIR dari serbuk protein kedelai memberikan puncak-puncak spectrum serapan dengan bilangan gelombang yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut :


(66)

Tabel 4.1 Data Analisis FTIR pada serbuk protein kedelai

Sampel Bilangan

Gelombang (cm-1

Gugus Fungsi )

Pustaka (Pavia, 1983) Protein

kedelai

3750,57 3276,53

2923,93 1631,05

Gugus O-H bebas

N-H tumpang tindih dengan OH

Uluran C-H Uluran C=O

3500-3750 ke atas 3000-3500

2850-3000 1640-1670

Adapun hasil spektrum analisis FTIR dari serbuk protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 4.2 di bawah ini :

Gambar 4. 2. Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Serbuk Protein Kedelai dari Limbah Padat Industri Tahu dengan FTIR


(67)

Dari analisis gugus fungsi dengan FTIR diperoleh hasil bahwa serbuk protein kedelai dari limbah padat industri tahu mengandung gugus fungsi O-H bebas pada spektrum 3750,57 cm-1, fungsi N-H yang tumpang tindih dengan O-H pada bilangan gelombang 3276,52 cm-1 kemudian terdapat juga spektrum yang menunjukkan adanya uluran C-H pada bilangan gelombang 2923,93 cm-1, serta terdapat gugus fungsi karbonil, yaitu uluran C=O pada bilangan gelombang 1631,05 cm-1.

4.2.2 Analisis Permukaan dengan Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)

Hasil analisis SEM dari Protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 4.3 di bawah ini :

Gambar 4.3 Foto SEM Protein kedelai dari Limbah Padat Industri Tahu struktur globular


(68)

Dan dari hasil foto SEM pada Gambar 4.3 di atas, dapat dilihat bahwa protein kedelai pada ampas tahu adalah protein dengan struktur globular. Protein globular memiliki bentuk bulat atau hampir bulat, mempunyai bentuk kristal, dan umumnya berat molekulnya mudah ditentukan, serta dapat larut di dalam basa, asam, garam, ataupun alkohol. Selain struktur globular, stuktur protein yang lain adalah protein dengan struktur fibrosa, yaitu protein yang berbentuk panjang, amorf, dan berat molekulnya sulit ditentukan dengan pasti, serta tidak larut di dalam garam, basa, asam, dan alkohol (Yang dan Tang, 2002). Contoh protein dengan stuktur globular adalah albumin, globulin, protein enzim, protein hormon. Sedangkan contoh protein fibrosa adalah kolagen, miosin, keratin.

Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Manso, (2012) bahwa protein kedelai tersusun dari suatu campuran dari albumin dan globulin, yang mana 90 % terdiri dari protein yang memiliki struktur globular.

4.3 Pembuatan Film Bioplastik Protein kedelai – Gliserol dan Film Bioplastik Protein kedelai – Gliserol – Poliester amida

4.3.1 Pembuatan Film bioplastik Protein kedelai – Gliserol

Penampilan film bioplastik Protein kedelai – Gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.4 di bawah ini :


(69)

(a) (b) (c)

Gambar 4.4 Foto Film Bioplastik Protein kedelai – Gliserol (a) Persentase Gliserol 10% dari 10 gram Protein kedelai (b) Persentase Gliserol 15% dari 10 gram Protein kedelai (c) Persentase Gliserol 30% dari 10 gram Protein kedelai

Pada film bioplastik protein kedelai dengan gliserol 10% yang tampak pada gambar (a) memperlihatkan film bioplastik yang dihasilkan berwarna kuning keemasan transparan, sangat tipis, terdapat void (gelembung udara), dan sangat rapuh sehingga tidak dapat dilakukan pengujian pada film tersebut. Sifat rapuh pada film bioplastik ini disebabkan oleh kurangnya bahan pemlastis pada film bioplastik tersebut. Seperti yang dikatakan Gontard et al (1993) dan Adi Krisna (2011), secara teoritis bahan pemlastis dapat menurunkan gaya internal di antara rantai polimer sehingga akan menurunkan tingkat kegetasan dan meningkatkan permeabilitas terhadap uap air.

Pada gambar (b) untuk film bioplastik protein kedelai dengan gliserol 15% terlihat bahwa film bioplastik yang dihasilkan lebih lentur, tidak mudah patah dan kuat, berwarna kuning keemasan, dan masih terdapat beberapa void seperti pada


(70)

gambar (a). Dengan adanya penambahan persentase gliserol dapat dilihat bahwa gliserol merupakan bahan pemlastis yang cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofilik, seperti protein. Molekul bahan pemlastis akan mengganggu kekompakan protein, menurunkan interaksi intermolekuler, dan meningkatkan mobilitas polimer (Rodriguez et al, 2006). Zhang J., et al (2000) mengatakan bahwa gliserol sebagai bahan pemlastis mengurangi interaksi antara molekul protein dan meningkatkan fleksibilitas, ekstensibilitas, dan kemampuan proses dari plastik protein kedelai. Cao et al (2009) juga menambahkan bahwa gliserol selain memiliki titik didih yang tinggi dan kestabilan yang baik, gliserol merupakan salah satu bahan pemlastis yang efisien untuk plastik protein kedelai.

Pada gambar (c) untuk film bioplastik protein kedelai dengan gliserol 30% terlihat bahwa pada film bioplastik yang dihasilkan berwarna kuning keemasan, terdapat void lebih banyak dari gambar (a) dan (b), serta film bioplastik lebih lembab dan sedikit lengket sehingga pada film bioplastik ini juga tidak dapat dilakukan pengujian. Rodriguez (2006) mengatakan bahwa seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol, gliserol dapat mengakibatkan peningkatan elongasi dan penurunan kekuatan tarik suatu film plastik. Hal ini disebabkan oleh penurunan interaksi intermolekuler dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi molekul uap air.

Selain karena faktor bahan pemlastis, munculnya void pada ketiga film bioplastik protein kedelai di atas juga disebabkan oleh faktor pencampuran dan


(71)

gliserol optimum yang digunakan sebagai kontrol untuk pembuatan film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida pada penelitian ini adalah persentase gliserol 15%.

4.3.2 Pembuatan Film Bioplastik Protein kedelai – Gliserol – Poliester amida Semua hasil film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida mempunyai penampilan yang hampir sama, yaitu homogen, transparan, dan fleksibel. Sedangkan warna kuning keemasan film bioplastik yang dihasilkan bertambah gelap seiring dengan pertambahan persentase poliester amida. Penambahan poliester amida dari 10%, 30%, dan 50% dari protein kedelai akan membentuk lapisan antar-muka yang kuat di sepanjang matriks protein (Yakubu et al, 2011). Penampilan film bioplastik protein kedelai – gliserol – poliester amida dapat dilihat pada Gambar 4.5 di bawah ini :

(a) (b) (c)

Gambar 4.5 Foto Film bioplastik Protein kedelai – Gliserol – Poliester amida (a) Persentase poliester amida 10% dari 10 gram Protein kedelai (b) Persentase poliester amida 30% dari 10 gram Protein kedelai (c) Persentase poliester amida 50% dari 10 gram Protein kedelai


(72)

4.4 Karakterisasi Film Bioplastik Protein kedelai – Gliserol – Poliester amida 4.4.1 Pengujian Sifat Mekanik (Uji Kekuatan Tarik)

Pengujian sifat mekanik dalam penelitian ini menggunakan alat Universal Testing Machine Gotech Al-7000M Grid Tensile dengan beban 2000 kgf dan kecepatan 25 mm/menit. Ketebalan film bioplastik di bawah 1 mm (0,1 – 0,2 mm) sesuai dengan standar ASTM D 882-91, yaitu standar untuk uji kemuluran dan kekuatan tarik plastik pelapis tipis dan film bioplasti

Hasil pengujian sifat mekanik film bioplastik protein kedelai – Gliserol – Poliester amida dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini :

Tabel 4.2 Hasil Pengujian Sifat Mekanik Film Bioplastik Protein kedelai – Gliserol – Poliester amida

Sampel Kekuatan Tarik

(MPa)

Kemuluran (%) Film Protein kedelai – Gliserol 15%

(kontrol)

Film Protein kedelai + Gliserol + Poliester amida 10%

Film Protein kedelai + Gliserol + Poliester amida 30%

Film Protein kedelai + Gliserol + Poliester amida 50% 2,869 3,786 8,886 4,031 167,647 169,103 170,588 171,642

Kekuatan tarik (tensile strength) menunjukkan gaya maksimum yang diperlukan untuk memutuskan film bioplastik. Film bioplastik dengan kekuatan tarik


(1)

(2)

(3)

(4)

LAMPIRAN – 4

HASIL UJI KEKUATAN TARIK FILM BIOPLASTIK

L.4.1 Grafik Hasil Uji Tarik (Tensile Strength) Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol


(5)

L.4.2 Grafik Hasil Uji Tarik (Tensile Strength) Film Bioplastik Protein Kedelai – Gliserol – Poliester Amida 30%


(6)

L.4.3 Grafik Hasil Uji Tarik (Tensile Strength) Film Bioplastik Protein Kedelai (SP) – Gliserol – Poliester Amida 50%