BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sakit 2.1.1. Definisi dan Fungsi Rumah Sakit - Analisis Persepsi Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) terhadap Kualitas Pelayanan dan Harga di Ruang Rawat Inap Terpadu (Rindu) A RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit

2.1.1. Definisi dan Fungsi Rumah Sakit

  Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang dimaksud dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

  Rumah Sakit Umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan. Menurut UU No. 44 tahun 2009, fungsi rumah sakit adalah: (a) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. (b) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. (c) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. (d) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.2. Indikator Pelayanan Rumah Sakit

  Indikator adalah suatu perangkat yang dapat digunakan dalam pemantauan suatu proses tertentu. Indikator pelayanan rumah sakit yang dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit antara lain (Depkes RI, 2005):

  1. Bed Occupancy Rate (BOR) adalah persentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu yang digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (lebih dari 85 %) menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur.

  Nilai parameter yang ideal antara 60-85%.

2. Average Length Of Stay (ALOS) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien.

  ALOS selain digunakan untuk mengukur efisiensi pelayanan rumah sakit juga dapat menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan lebih lanjut. Nilai AVLOS yang ideal antara 6-9 hari.

3. Bed Turn Over (BTO): adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu.

  Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali..

  4. Turn Over Interval (TOI) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Semakin besar TOI maka efisiensi penggunaan tempat tidur semakin jelek. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.

  5. Net Death Rate (NDR): angka kematian netto yaitu angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar, digunakan untuk mengetahui mutu pelayanan/perawatan rumah sakit. Semakin rendah NDR suatu rumah sakit berarti bahwa mutu pelayanan rumah sakit tersebut semakin baik.

  Nilai NDR yang masih dapat ditolerir adalah kurang dari 25 per 1000 pasien keluar.

  6. Gross Death Rate (GDR): angka kematian brutto yaitu angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar, digunakan untuk mengetahui mutu pelayanan /perawatan rumah sakit. Semakin rendah GDR berarti mutu pelayanan rumah sakit semakin baik. Nilai GDR seyogyanya tidak lebih dari 45 per 1000 pasien keluar.

2.1.3 Instalasi Rawat Inap

  Instalasi rawat inap merupakan unit pelayanan non struktural yang menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan dan rehabilitasi medik. Rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana penderita tinggal mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari pelaksanaan pelayanan kesehatan atau rumah sakit pelaksanaan pelayanan kesehatan lain (Patria Jati, 2009). Rawat inap menurut Crosby dalam Nasution (2005) adalah kegiatan penderita yang berkelanjutan ke rumah sakit untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Secara khusus pelayanan rawat inap ditujukan untuk penderita atau pasien yang memerlukan asuhan keperawatan secara terus menerus (Continous Nursing Care) hingga terjadi penyembuhan.

  Pasien mulai masuk ruangan perawatan hingga pasien dinyatakan boleh pulang maka pasien mendapat pelayanan sebagai berikut, pelayanan tenaga medis, tenaga perawat, pelayanan penunjang medik, lingkungan langsung pasien serta pelayanan administrasi/keuangan. Loho dalam Ayunda (2009) mengidentifikasikan kegiatan rawat inap meliputi pelayanan dokter, pelayanan keperawatan, pelayanan makanan, fasilitas perawatan dan lingkungan perawatan. Pelayanan rawat inap harus menerapkan prosedur yang jelas, mudah dan terorganisir. Arus masuk pasien rawat inap digambarkan oleh Loho sebagai berikut:

  Ruang Perawatan : Pasien Pelayanan Dokter

   Pelayanan Perawat  Pelayanan Makanan  Penerimaan pasien Masuk Fasilitas Perawatan

   Lingkungan Perawatan  Keluar Pasien dipulangkan

  administrasi/Keuangan

Gambar 2.1. Alur Pasien Masuk Rawat Inap

2.1.4. Standar Pelayanan Minimal Instalasi Rawat Inap

  Standar adalah nilai ketentuan yang telah ditetapkan berkaitan dengan sesuatu yang harus dicapai sedangkan pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagi usaha melayani kebutuhan orang lain. Berdasarkan Keputusan menteri kesehatan nomor 129 Tahun 2008 Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM juga merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pelayanan minimum yang diberikan oleh Badan Layanan Umum. SPM untuk jenis layanan rawat inap berdasarkan ketentuan Depkes adalah sebagai berikut:

  Dalam, Kebidanan, Bedah 4. 08.00 s/d 14.00 wib setiap hari kerja

  Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang SPM RS

  ≥ 90 %

  ≤ 0.24 % 9. ≤ 5 % 10.

  ≤ 1,5 % 6. ≤ 1,5 % 7. 100 % 8.

  5.

  100% 3. Anak, Penyakit

Tabel 2.1. Standar Pelayanan Minimal Menurut Departemen Kesehatan Pelayanan Indikator Standar Rawat Inap 1.

  2.

  b. Perawat minimal pendidikan D3

  a. Dr Spesialis

  Kepuasan pelanggan 1.

  Kejadian infeksi pasca operasi 6. Kejadian infeksi nosokomial 7. Tidak adanya kejadian pasien jatuh yang berakibat kecacatan / kematian 8. Kematian pasien > 48 jam 9. Kejadian pulang paksa 10.

  Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) rawat inap 3. Ketersediaan pelayanan rawat inap

  Pemberian pelayanan di Rawat Inap 2.

4. Jam visite Dokter Spesialis 5.

2.1.5. Pasien

  Menurut Iskandar (1998), pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter atau perawat), sesorang yang mengalami penderitaan (sakit). Pasien dalam praktek sehari- hari sering dikelompokkan menjadi: (a) Pasien jalan/luar, yaitu pasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan yang biasa juga disebut dengan pasien rawat jalan, (b) Pasien opname, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara menginap dan dirawat dirumah sakit atau disebut juga pasien rawat inap.

  Pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan memiliki dua hak yaitu: (1) Hak atas pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan atas dasar kemampuan dan kecakapannya menerapkan ilmu dan teknologi kesehatan.

  (2) Hak mandiri sebagai manusia atau hak untuk menentukan nasib sendiri (the right

  

to self-determination). Hak atas pelayanan kesehatan merupakan aspek sosial,

sedangkan hak menentukan nasib sendiri merupakan aspek pribadi.

  Hak pasien berasal dari hak atas dirinya sendiri, dengan kata lain pasien menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepentingan dirinya walaupun seorang pasien dalam keadaan kurang sehat, namun hal ini dikecualikan bila keadaan mental pasien tidak memungkinkan untuk mengambil keputusan sendiri. Hal pokok yang merupakan hak pasien menurut Iskandar (1998), yaitu: 1) Hak memperoleh pelayanan kesehatan yang manusiawi sesuai standar profesi. 2) Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosa dan terapi dari dokter yang bertanggung jawab terhadap perawatannya. 3) Menolak keikutsertaan dalam penelitian kedokteran. 4) Kerahasiaan dan catatan mediknya. 5) Hak dirujuk atau diperlukan. 6) Hak memperoleh perawatan lanjutan dengan informasi tentang nama/alamat dokter selanjutnya. 7) Hak berhubungan dengan keluarga, rohaniawan dan sebagainya. 8) Hak penjelasan tentang perincian biaya rawatan. 9) Hak memperoleh penjelasan tentang peraturan- peraturan rumah sakit. 10) Hak menarik diri dari kontrak terapeutik, termasuk mengakhiri pengobatan rawat inap dan tanggung jawab sendiri atau PAPS.

  Selain itu pasien juga mempunyai kewajiban seperti yang disebutkan Iskandar (1998), bahwa kewajiban pasien yang mendasar adalah berupa kewajiban moral dari pasien untuk memelihara kesehatannya, selain itu pasien juga berkewajiban untuk: 1) Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan, sehingga tenaga kesehatan dan ahli mempunyai bahan yang cukup untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat penting agar tenaga kesehatan tidak melakukan kesalahan. 2) Melaksanakan nasehat-nasehat yang diberikan tenaga kesehatan dalam rangka perawatan. 3) Menghormati kerahasiaan diri dan kewajiban tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia kedokteran serta privacy-nya. 4) Memberikan imbalan terhadap jasa-jasa profesional yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan.

2.2 Persepsi Salah satu faktor psikologis yang mempengaruhi pembeli adalah persepsi.

  Persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya stimulus (rangsangan) yang diterima melalui lima indera sehingga seseorang dapat menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan dan hal ini dipengaruhi pula oleh pengalaman-pengalaman yang ada pada diri yang bersangkutan. Menurut Setiadi (2003), persepsi dapat dinyatakan sebagai proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi stimuli yang diterima pancaindera, kedalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh. Persepsi tergantung pada sifat-sifat rangsangan fisik, juga pada hubungan rangsangan dengan medan sekelilingnya dan kondisi dalam diri individu.

  Persepsi dibentuk oleh tiga pengaruh yakni: a) Karakteristik dari stimulus (rangsangan) dimana stimulus merupakan hal diluar individu yang dapat berbentuk fisik, visual atau komunikasi verbal yang dapat memengaruhi tanggapan individu. b) Hubungan stimuli dengan sekelilingnya. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan sekitarnya, oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif. Hal tersebut berarti bahwa setiap orang dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap satu objek yang sama. c) Kondisi yang ada dalam diri individu yang bersangkutan.

  Dengan melihat satu objek yang sama, orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda, karena persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Prasetijo (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang adalah: a) Faktor internal yang meliputi pengalaman, kebutuhan saat itu, nilai-nilai yang dianut, dan ekspektasi / pengharapan. b) Faktor eksternal yang meliputi penampilan produk, sifat- sifat stimulus, dan situasi lingkungan. Proses seseorang untuk sampai pada perilaku pembelian / pemanfaatan suatu produk atau jasa melalui tahapan yaitu dimulai dari identifikasi masalah (adanya kebutuhan), pencarian informasi, evaluasi alternatif, dan pembelian / pemanfaatan serta evaluasi paska pembelian.

  

Persepsi Konsumen

Proses Pengambilan Keputusan

Adanya Kebutuhan

Identifikasi Alternatif

  

Evaluasi Alternatif

Keputusan Membeli

Gambar 2.2 : Hubungan Persepsi Konsumen dengan Keputusan Membeli.

2.3. Pelayanan Kesehatan

  Pelayanan kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau pun masyarakat seperti dikutip Azwar (1996) dari levey and loomba. Pelayanan kesehatan agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan ada beberapa hal yang harus dipenuhi yakni: (a) Ketersediaan pelayanan kesehatan di masyarakat (available), (b) Kewajaran pelayanan kesehatan dalam mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi (appropriate), (c) Kesinambungan pelayanan kesehatan (continue) yaitu tersedia setiap saat baik menurut waktu ataupun kebutuhan pelayanan kesehatan, (d) Dapat diterima (acceptable) pelayanan kesehatan (e) Ketercapainya pelayanan kesehatan (accesible) oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan tersebut, (f) Dapat dijangkau (affordable) yaitu biaya yang sesuai dengan kemampuan pemakai jasa pelayanan kesehatan, (g)Terselenggaranya pelayanan kesehatan secara efisien (efficienct), (h) Bermutunya pelayanan kesehatan (quality).

2.3.1. Kualitas Pelayanan Kesehatan

  Definisi kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen (Tjiptono, 2007). Menurut Wyckof, kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk keinginan pelanggan (Tjiptono, 2004). Kualitas pelayanan (service quality) dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi para konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata mereka terima/peroleh dengan pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan/inginkan terhadap atribut-atribut pelayanan suatu perusahaan. Jika jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, makadipersepsikan baik dan memuaskan, jika jasa yang diterima melampaui harapan konsumen, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sangat baik dan berkualitas. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk.

  Kualitas atau mutu memegang peranan penting dalam hal memberikan pelayanan kesehatan. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI (1998), mengemukakan mutu pelayanan adalah yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan penduduk, serta di pihak lain , tata cara penyelenggaranya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan professional yang telah ditetapkan.

  Batasan tentang mutu pelayanan yang dipandang cukup penting menurut Azwar (1996) adalah: (a) Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati. (b) Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program. (c) Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri suatu barang atau dihasilkan, yang didalamnya terkandung sekaligus pengertian akan adanya rasa aman atau terpenuhinya kebutuhan para pengguna barang atau jasa yang dihasilkan tersebut. (d) Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Mutu pelayanan dapat diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian, baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, totalitas dari wujud serta ciri dan kepatuhan para penyelenggara pelayanan terhadap standar yang telah ditetapkan. Namun penilaian ini tidaklah mudah mengingat mutu pelayanan bersifat multi dimensional. Setiap mereka yang terlibat dalam layanan kesehatan, pasti mempunyai pandangan yang berbeda tentang unsur yang penting dalam mutu layanan kesehatan. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh terdapatnya perbedaan dalam latar belakang, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, pengalaman, lingkungan dan kepentingan. Dimensi mutu dari pemakai jasa pelayanan berbeda dengan dimensi mutu yang dianut penyelenggara pelayanan kesehatan dan berbeda pula dengan dimensi mutu dari penyandang dana pelayanan kesehatan.

  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert dan Prevos yang dikutip Azwar (2005) membuktikan adanya perbedaan dimensi mutu pelayanan kesehatan:

  1) Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keprihatinan dan keramahtamahan petugas dalam melayani pasien dan atau kesembuhan penyakit yang diderita pasien.

  2) Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi kesesuaian pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pasien.

  3) Bagi penyandang dana pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi efesien pemakaian sumber dana, kewajaran pembiayaan, dan atau kemampuan menekan beban biaya penyandang dana.

  Menurut Azwar dalam hal meningkatkan mutu pelayanan kesehatan perlu diperhatikan beberapa unsur yang bersifat pokok yakni: a.

  Unsur masukan, yang dimaksud dengan unsur masukan adalah semua hal yang diperlukan untuk terselenggaranya suatu pelayanan kesehatan. Unsur masukan yang terpenting adalah tenaga (man), dana (money), dan sarana (material). Secara umum disebutkan apabila tenaga dan sarana (kuantitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standart of personnels and facilities), serta dana yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan, maka sulitlah diharapkan bermutunya pelayanan kesehatan.

  b.

  Unsur proses, yang dimaksud dengan unsur proses adalah semua tindakan yang dilakukan pada waktu menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Tindakan tersebut dapat dibedakan atas dua macam yakni tindakan medis (medical procedure) dan non-medis (non-medical procedure). Secara umum disebutkan apabila kedua tindakan ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka sulitlah diharapkan baiknya mutu pelayanan kesehatan.

  c.

  Unsur lingkungan, yang dimaksud dengan unsur lingkungan adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi penyelenggara pelayanan kesehatan. Untuk suatu instansi kesehatan, keadaan sekitar yang terpenting adalah kebijakan (policy), organisasi (organization) dan manajemen (management) tersebut tidak sesuai dengan standar dan bersifat mendukung maka sulitlah diharapkan bermutunya pelayanan kesehatan.

  d.

  Unsur keluaran, yang dimaksud dengan unsur keluaran adalah yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan dari penampilan (performance) pelayanan kesehatan.

  Penampilan dapat dibedakan atas dua macam. Pertama penampilan aspek medis pelayanan kesehatan. Kedua penampilan aspek non-medis pelayanan kesehatan.

  Disebutkan apabila kedua ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka berarti pelayanan kesehatan yang diselenggarakan bukan pelayanan kesehatan yang bermutu.

  Beberapa dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuraman, Zeithaml (1998) yang dikutip oleh Tjiptono (2004) mengemukakan bahwa ada 5 (lima) dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan,yaitu sebagai berikut : 1.

  Bukti fisik (Tangible), berkenaan dengan bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.

  2. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.

  3. Daya tanggap (Responsiveness), yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan pesepsif yang negatif dalam kualitas pelayanan. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah dengan kecendrungan naik dari waktu ke waktu.

  4. Jaminan (Assurance), berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, keterampilan staf dalam menangani setiap pelayanan yang diberikan sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman pada pelanggan. Assurance adalah dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan perilaku

  front-line staf dan menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para pelanggannya.

  5. Empati (Emphaty), yaitu memberikan perhatian yang tulus yang bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Pelanggan kelompok menengah atas mempunyai harapan yang tinggi agar perusahaan penyedia jasa mengenal mereka secara pribadi.

2.3.2. Kualitas Pelayanan Rawat Inap

  Kualitas pelayanan kesehatan di ruang rawat inap rumah sakit dapat diuraikan dari beberapa aspek, diantaranya menurut Jacobalis (1990) adalah: a) Penampilan keprofesian menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku, b) Efisiensi dan efektifitas, menyangkut pemanfaatan sumber daya, c) Keselamatan Pasien, menyangkut keselamatan dan keamanan pasien dan d) Kepuasan Pasien, menyangkut kepuasan fisik, mental, dan sosial terhadap lingkungan rumah sakit, kebersihan, kenyamanan, kecepatan pelayanan, keramahan, perhatian, biaya yang diperlukan dan sebagainya.

  Menurut Adji Muslihuddin (1996), mutu asuhan pelayanan rawat inap dikatakan baik apabila menyediakan pelayanan yang professional dan dapat memberikan rasa tentram kepada pasiennya yang biasanya orang sakit. Dari kedua aspek ini dapat diartikan sebagai berikut: a) Petugas harus mampu melayani dengan cepat. b) Penanganan pertama dari perawat dan dokter profesional harus mampu membuat kepercayaan pada pasien. c) Ruangan yang bersih dan nyaman, d) Peralatan yang memadai dengan operator yang profesional memberikan nilai tambah.

  Bagi masyarakat yang dimaksud dengan pelayanan rawat inap yang baik yang pertama adalah: kecepatan pelayanan, keramahtamahan dan komunikasi yang baik, terhadap dokter juga perawat. Jadi masyarakat tidak mempersoalkan dokter lulusan dari mana, apakah laki-laki atau perempuan, suku atau agamanya, Karena sampai sekarang pelayanan yang cepat dan ramah tamah sangat dibutuhkan menurut Danakusuma (2002). Kualitas pelayanan rawat inap yang memuaskan akan mendorong pasien untuk tetap memilih rumah sakit tersebut apabila membutuhkan lagi fasilitas pelayanan kesehatan.

  Kualitas pelayanan rawat inap itu sendiri ditentukan oleh kualitas dari pada beberapa pelayanan yang dilaksanakan di ruang perawatan, antara lain :

1) Pelayanan Tenaga Medis/Dokter.

  Tenaga medis adalah tenaga ahli kedokteran yang fungsi utamanya memberikan pelayanan medis kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya dengan menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu kedokteran dan etik yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan (Soemarja Aniroen, 1991), tenaga medis ini dapat sebagai dokter umum maupun dokter spesialis dan diharapkan memiliki rasa pengabdian yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Pelayanan medis yang diberikan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas rumah sakit secara optimal. Tujuan pelayanan medis adalah mengupayakan kesembuhan pasien secara optimal melalui prosedur dan tindakan yang sesuai dengan standar masing-masing profesi.

2) Pelayanan Keperawatan.

  Pelayanan keperawatan, merupakan pelayanan yang dilakukan oleh tenaga para medis sesuai dengan asuhan keperawatan. Setiap tenaga para medis diharapkan mampu memberikan pelayanan kepada penderita dengan baik, yaitu memberikan pertolongan dengan dilandasi keahlian kepada pasien-pasien yang mengalami gangguan fisik dan gangguan kejiwaan dalam masa kesembuhan dan orang-orang yang kurang sehat dan kurang kuat. Dengan pertolongan tersebut mereka yang membutuhkan pertolongan mampu belajar sendiri untuk hidup dengan keterbatasan yang ada dalam lingkungan. Zaidin (2001) menyebutkan pelayanan keperawatan adalah suatu upaya untuk membantu individu baik yang sehat maupun sakit, dari lahir sampai meninggal dalam bentuk peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan optimal.

  Tenaga perawat merupakan orang yang paling sering berhubungan dengan pasien. Perawat dituntut untuk mempunyai tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan secara optimal bagi masyarakat (Soeroso, 2002). Hasil penelitian Antono (2008), membuktikan bahwa setiap pasien yang dirawat dirumah sakit membutuhkan komunikasi yang intens dengan para perawat agar pasien betah dan penyakit yang diderita bisa segera sembuh. Persoalan mendasar yang sering terjadi dirumah sakit yaitu kurangnya komunikasi antara perawat dengan pasien, pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang diterima dari tenaga kesehatan.

  3) Pelayanan Administrasi

  Pasien yang masuk ke rumah sakit dimulai dari pendaftaran kemudian mendapat pelayanan sampai pasien dipulangkan tidak terlepas dari proses yang disebut administrasi. Administrasi menurut Dwight waldo (1995) adalah kegiatan kerjasama secara rasional yang tercermin pada pengelompokan kegiatan menurut fungsi yang dilakukan. Tujuan pelayanan administrasi adalah menciptakan suasana administrasi yang lancar dan menyenangkan bagi pasien. Kesan pertama kali bagi pasien terbentuk sewaktu pasien berbicara pertama kali dengan bagian penerimaan pasien. Kesan ini sering menetap pada diri pasien dan mempengaruhi sikap mereka terhadap lembaga, staf dan pelayanan yang mereka terima (Wolper, 1987). 4)

  Lingkungan Fisik Ruang Perawatan Pengelolaan rumah sakit yang baik ibarat mengelola sebuah hotel, diperlukan suasana yang tenang, nyaman, bersih, asri, aman, tentram dan sebagainya. Untuk menuju kearah itu sebenarnya rumah sakit telah mempunyai dasar acuan Permenkes No 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit antara lain: a) Lokasi atau lingkungan rumah sakit: tenang, nyaman, aman, terhindar dan pencemaran, selalu dalam keadaan bersih. b) Rungannya: lantai dan dinding bersih, penerangan yang cukup, tersedia tempat sampah, bebas bau yang tidak sedap. Bebas dari gangguan serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya. Lubang ventilasi yang cukup menjamin pergantian udara dalam kamar dengan baik. c) Atap langit- langit , pintu sesuai syarat yang telah ditentukan.

  Untuk menjaga dan memelihara kondisi ini, bukan hanya tugas pimpinan tapi menjadi tanggung jawab semua karyawan rumah sakit termasuk pasien dan pengunjung. Dengan demikian akan diperoleh suasana yang nyaman, asri, aman, tenteram bebas dari segala gangguan sehingga dapat memberikan kepuasan pasien dalam membantu proses penyembuhan penyakitnya.

2.4. Harga

  Harga merupakan sesuatu yang diserahkan dalam pertukaran untuk mendapatkan suatu barang atau jasa (Lamb, dkk. 2001). Menurut Kotler & Amstrong (2001) harga adalah jumlah uang yang dibebankan atas produk/jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat–manfaat karena memiliki atau menggunakan produk/jasa tersebut. Harga sering dijadikan sebagai indikator kualitas bagi konsumen. Apabila harga lebih tinggi, orang cenderung beranggapan bahwa kualitasnya juga lebih baik. Konsumen sering pula menggunakan harga sebagai kriteria utama dalam menentukan nilainya. Barang dengan harga tinggi biasanya di anggap superior dan barang yang mempunyai harga rendah dianggap inferior (rendah tingkatannya) menurut Supriyanto (2012) yang mengutip pendapat Basu Swastha.

  Penetapan harga jasa penting karena terkait dengan revenue, citra, kualitas, distribusi dan lain-lain. Keputusan penetapan harga juga sedemikian penting dalam menentukan seberapa jauh sebuah layanan jasa dinilai oleh konsumen, dan juga dalam proses membangun citra. Penetapan harga juga memberikan persepsi tertentu dalam hal kualitas seperti dikutip Supriyanto (2012) dari Lupiyoadi.

  Berdasarkan pendapat Tjiptono (2005), dapat disimpulkan bahwa ada 4 hal yang menjadi tujuan penetapan harga, yaitu: 1)

  Tujuan berorientasi pada laba, yang menyatakan bahwa setiap perusahaan selalu memilih harga yang dapat menghasilkan laba yang maksimum.

  2) Tujuan berorientasi pada volume, yang mana harga ditetapkan sedemikian rupa agar dapat mencapai target volume penjualan, nilai penjualan, ataupun untuk menguasai pangsa pasar.

  3) Tujuan berorientasi pada citra. Perusahaan dapat menetapkan harga tinggi untuk membentuk atau mempertahankan citra perusahaan. Sebaliknya, harga rendah dapat dipergunakan untuk membentuk citra nilai tertentu.

  4) Tujuan stabilisasi harga, dilakukan dengan jalan menetapkan harga untuk mempertahankan hubungan yang stabil antara harga suatu perusahaan dan harga pemimpin industri.

  5) Tujuan lainnya misalnya untuk mencegah masuknya pesaing, mempertahankan loyalitas pelanggan, mendukung penjualan ulang, atau menghindari campur tangan pemerintah.

  Perusahaan dalam menetapkan harga suatu produk atau jasa, ada dua faktor yang harus dipertimbangkan. Menurut Kotler & Amstrong (2001) yang mempengaruhi keputusan penetapan harga antara lain: faktor internal perusahaan yaitu faktor yang berasal dari dalam perusahaan yang meliputi: sasaran pemasaran, strategi bauran pemasaran, biaya dan pertimbangan organisasi dan faktor eksternal perusahaan yaitu merupakan faktor yang berasal dari luar perusahaan yakni: sifat pasar dan permintaan, biaya harga dan tawaran pesaing serta faktor-faktor eksternal lainnya.

  Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting adalah kualitas pelayanan guna mencapai kepuasan pasien (Tjiptono, 2005). Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar.

  Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.

2.5. Kepuasan Pasien

  Kepuasan dapat diartikan sebagai perasaan puas, rasa senang dan kelegaan seseorang dikarenakan mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Menurut Kotler & Amstrong (2001) kepuasan adalah sebagai perasaan suka atau tidak suka seseorang terhadap suatu produk setelah ia membandingkan prestasi produk dengan harapannya.

  Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan sangat kecewa. Bila kinerja sesuai harapan, maka pelanggan akan puas, sedangkan jika kinerja melebihi harapan, maka pelanggan akan sangat puas. Westbrook & Reilly dalam Tjiptono (2005) mengemukakan bahwa kepuasan konsumen merupakan respon emosional terhadap pengalaman yang berkaitan dengan produk atau jasa yang dibeli.

  Nasution, (2005) yang mengutip pendapat Gaspers mengatakan bahwa kepuasan konsumen sangat bergantung kepada persepsi dan harapan konsumen. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi dan harapan konsumen antara lain: (a) Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan konsumen ketika sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen produk. (b) Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya. (c) Pengalaman dari teman-teman.

  Kepuasan pasien adalah hasil penilaian pasien berdasarkan perasaannya, terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang telah menjadi bagian dari pengalaman atau yang dirasakan pasien rumah sakit, atau dapat dinyatakan sebagai cara pasien mengevaluasi sampai seberapa besar tingkat kualitas pelayanan di rumah sakit, sehingga dapat menimbulkan tingkat rasa kepuasan (Utama, 2003). Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian jasa pelayanan kesehatan pilihannya. Akan tetapi jika pasien merasa tidak puas maka mereka akan memberitahukan pengalaman buruknya dua kali lebih hebat kepada orang lain. Untuk menciptakan kepuasan pasien, rumah sakit harus mengelola suatu sistem agar dapat memperoleh pasien yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya yaitu dengan meningkatkan kualitas pelayanannya.

  Tjiptono (2005) menyatakan ada beberapa aspek yang mempengaruhi

kepuasan pasien yaitu: (a) Aspek kenyamanan, meliputi lokasi rumah sakit,

kebersihan rumah sakit, kenyamanan ruangan yang akan digunakan pasien, makanan

yang dimakan pasien, dan peralatan yang tersedia dalam ruangan, (b) Aspek

hubungan pasien dengan petugas rumah sakit, meliputi keramahan petugas rumah

  

sakit, informasi yang diberikan oleh petugas rumah sakit, komunikatif, responatif,

suportif, dan cekatan dalam melayani pasien, (c) Aspek kompetensi teknik petugas,

meliputi keberanian bertindak, pengalaman, gelar, dan terkenal, dan (d) Aspek biaya,

meliputi mahalnya pelayanan, terjangkau tidaknya oleh pasien, dan ada tidaknya

keringanan yang diberikan kepada pasien.

  Menurut Irawan (2003) terdapat lima faktor yang mempengaruhi kepuasan

pasien yaitu: (a) Kualitas produk atau jasa, pasien akan merasa puas bila hasil

evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas,

(b) Kualitas pelayanan, pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan

yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan, (c) Faktor emosional, pasien akan

merasa puas, bangga dan kagum terhadap dokter yang dipandang “dokter mahal”, (d)

Harga, semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih

besar, sedangkan dokter yang berkualitas sama tetapi berharga murah memberi nilai

yang lebih tinggi pada pasien, dan (e) Biaya, terkait dengan mendapatkan produk atau

jasa pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang

waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan sehingga pasien akan cenderung puas

terhadap jasa pelayanan tersebut.

2.6. Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) ulang atas permintaan sendiri

  P (PAPS) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang menolak untuk dirawat dan diberikan pengobatan karena berbagai alasan seperti: tidak punya biaya, belum atau tidak setuju dilakukan tindakan medis setelah mendapat penjelasan yang cukup, tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan rumah sakit atau minta pulang atas kemauan sendiri karena ingin dirawat di tempat lain. Pulang atas permintaan sendiri merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, dimana pasien pulang tapi secara medis belum pulih kesehatannya sehingga dapat menyebabkan penyakitnya menjadi kronik yang apabila penyakitnya merupakan penyakit menular tentunya akan berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya sehingga berdampak pada peningkatan morbiditas bahkan mortalitas. Pasien yang pulang atas permintaan sendiri juga mencerminkan adanya ketidakpuasan pasien terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan.

2.7. Landasan Teori

  Kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai segala bentuk aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan guna memenuhi harapan konsumen. Menurut Adji Muslihuddin (1996), kualitas pelayanan rawat inap dikatakan baik apabila menyediakan pelayanan yang professional dan dapat memberikan rasa tentram kepada pasiennya.

  Penelitian ini menggunakan konsep kualitas pelayanan menurut Parasuraman, Zeithaml yang dikutip Tjiptono (2004) yang mengidentifikasi 5 (lima) dimensi pokok untuk mengukur kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien yaitu: a) Kehandalan (reliability) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya, (b) Ketanggapan (responsiveness) yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas, (c) Jaminan (assurance) yaitu berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, ketrampilan staf dalam menangani setiap pelayanan yang diberikan sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman pada pelanggan, (d) Empati (empathy) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen, (e) Bukti fisik (tangible), berkenaan dengan bukti fisik yaitu penampilan karyawan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik dan keadaan lingkungan sekitarnya.

  Harga merupakan sesuatu yang diserahkan dalam pertukaran untuk mendapatkan suatu barang atau jasa (Lamb, dkk. 2001). Menurut Kotler & Amstrong (2001) harga adalah jumlah uang yang dibebankan atas produk/jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat–manfaat karena memiliki atau menggunakan produk/jasa tersebut. Harga dalam penelitian ini meliputi keterjangkauan daya beli pasien dan kesesuaian harga dengan manfaat yang diterima pasien.

  Kepuasan pasien menurut Utama (2003) merupakan hasil penilaian pasien berdasarkan perasaannya, terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang menjadi bagian dari pengalaman atau yang dirasakan pasien. Kepuasan pasien dapat dipakai sebagai cara mengevaluasi sampai seberapa besar tingkat kualitas pelayanan di rumah sakit, sehingga dapat menimbulkan tingkat rasa kepuasan.

  Pulang atas permintaan sendiri (PAPS) merupakan suatu keinginan pasien atau keluarga pasien untuk mengakhiri perawatan/pengobatan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan walaupun secara medis belum memungkinkan untuk dilakukan perawatan di rumah. Pulang atas permintaan sendiri mencerminkan adanya ketidakpuasan pasien terhadap layanan yang diterimanya.

2.8. Kerangka Pemikiran

  Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan kasus pasien PAPS, maka kepuasan pasien menjadi prioritas utama dan harus benar-benar dipahami oleh pihak rumah sakit, sehingga kinerja rumah sakit yang dirasakan pasien sesuai dengan harapannya. Bila hal tersebut tidak didapat (tidak sesuai dengan harapan pasien) maka pasien akan merasa tidak puas, yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya PAPS. Dalam kerangka pikir ini, penulis berpendapat bahwa penyebab ketidakpuasan pasien yang akhirnya pasien PAPS adalah kualitas pelayanan menurut persepsi pasien dan harga yang ditawarkan oleh rumah sakit. Secara skematis, kerangka pikir pasien PAPS dapat digambarkan sebagai berikut:

  Persepsi Terhadap

  1. Kualitas:

  • Pelayanan Dokter Kepuasan Pasien PAPS
  • Pelayanan Perawat Pasien • Pelayanan Administrasi • Lingkungan Perawatan

  2. Harga

Dokumen yang terkait

Analisis Persepsi Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) terhadap Kualitas Pelayanan dan Harga di Ruang Rawat Inap Terpadu (Rindu) A RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

21 191 115

Pengaruh Kualitas Pelayanan Keperawatan Terhadap Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap Terpadu (Rindu) RSUP. H. Adam Malik Medan

25 264 129

Analisis Persepsi Keputusan Pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) terhadap Mutu Pelayanan dan Kepuasan di Ruang Rawat Inap Vip Rsud Tahun 2014

15 101 127

Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Rawat Inap Dan Pengaruhnya Terhadap Pulang Atas Permintaan Sendiri (Paps) Di Rsup H Adam Malik Medan

5 71 78

Pengaruh Persepsi Tentang Mutu Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Terpadu A di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2005

6 51 79

Gambaran Persepsi Pasien Tuberkulosis terhadap Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan

1 77 62

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Appendiks 2.1.1. Anatomi - Karakteristik Penderita Penyakit Appendicitis Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2007-2011

0 0 19

2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit - Analisis Determinan Pulang Atas Permintan Sendiri (Paps) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

0 0 22

2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit - Analisis Determinan Pulang Atas Permintan Sendiri (Paps) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terminologi Judul 2.1.1. Definisi Rumah Sakit - Rumah Sakit Ibu dan Anak

0 2 66