BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Social Phobia 2.1.1. Definisi Social Phobia - Efektivitas Program Coping Cat pada Anak dengan Social Phobia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Social Phobia

  2.1.1. Definisi Social Phobia

  Istilah social phobia pertama kali diciptakan oleh Janet pada tahun 1903 (dalam Heimberg dkk, 1995) untuk menggambarkan pasiennya yang cemas ketika diamati oleh orang lain saat sedang berbicara, atau melakukan aktivitas seperti bermain piano dan menulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahui sejak masa Hippocrates (dalam Heimberg dkk, 1995). Berdasarkan Diagnostic and

  

Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR;

  APA, 2004) social phobia atau juga sering diistilahkan dengan social anxiety disorder adalah ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Karakteristik utama dari social phobia adalah ketakutan yang berlebihan bahwa dirinya akan dilihat dan diamati oleh orang lain. Individu dengan social phobia merasa sangat terganggu dengan adanya kemungkinan bahwa ia akan melakukan kesalahan atau menunjukkan tanda- tanda kecemasan yang akhirnya membuat ia dipermalukan di depan orang lain.

  2.1.2. Kriteria diagnostik social phobia

  Berikut adalah kriteria diagnostik social phobia berdasarkan DSM-IV TR (APA, 2004): A.

  Ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau situasi saat harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Individu merasa takut dirinya akan melakukan sesuatu yang memalukan atau menunjukkan gejala-gejala kecemasannya di hadapan orang lain. Diagnosis social phobia dapat ditegakkan pada anak jika anak tersebut terbukti memiliki kapasitas yang sesuai dengan usianya untuk membina hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dengan baik, kecemasan juga harus muncul pada saat interaksi dengan teman sebaya, bukan hanya saat berinteraksi dengan orang dewasa.

  B.

  Saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakuti, kecemasan akan muncul dalam bentuk serangan panik. Pada anak-anak, kecemasan muncul dalam bentuk perilaku seperti menangis, tantrum, diam membisu, atau bersembunyi dari situasi sosial yang terdiri dari orang-orang yang belum dikenalnya.

  C.

  Individu menyadari bahwa ketakutan yang ia rasakan adalah berlebihan dan tidak masuk akal. Pada anak-anak, kriteria ini tidak termasuk.

  D.

  Individu menghindar dari situasi sosial yang ditakuti atau apabila tetap berada pada situasi tersebut, ia akan mengalami kecemasan yang hebat.

  E.

  Perilaku menghindar, antisipasi kecemasan atau kesulitan yang dialami dalam situasi sosial yang ditakuti menimbulkan gangguan secara signifikan dalam rutinitas normal individu, fungsi pekerjaan atau akademis, hubungan sosial atau individu terlihat tertekan dengan fobia yang dialaminya.

  F.

  Jika individu berusia di bawah 18 tahun, maka gejala-gejala tersebut berlangsung selama sekurang-kurangnya 6 bulan.

  G.

  Ketakutan atau perilaku menghindar bukan disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat tertentu (misalnya narkotika atau obat-obatan) atau kondisi medis dan kondisi ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lainnya. H.

  Apabila disertai oleh kondisi medis atau gangguan mental lainnya maka ketakutan yang tertera pada kriteria A tidak berhubungan dengan kondisi tersebut.

  Spesifikasi:

  

Generalized : apabila kecemasan muncul hampir pada setiap situasi sosial

(dipertimbangkan juga Avoidant Personality Disorder sebagai diagnosis tambahan).

2.1.3. Situasi yang ditakuti pada social phobia

  Secara umum, terdapat dua situasi yang ditakuti oleh individu dengan social

  phobia (Liebowitz, dalam Heimberg dkk, 1995) yaitu: a.

  Situasi interaksi sosial Yang termasuk dalam situasi interaksi sosial adalah pesta, bertemu dengan orang asing, percakapan sehari-hari, berbicara dengan figur otoritas, mempertahankan kontak mata, bersikap asertif.

  b.

  Situasi performance Berbicara di hadapan sekelompok orang, makan atau minum di depan orang lain, menggunakan toilet umum, tampil di depan orang lain.

  Sebuah skala kemudian dikembangkan oleh Liebowitz untuk mengetahui tingkat kecemasan individu terhadap masing-masing tipe situasi sosial tersebut. Banyaknya situasi yang dicemaskan oleh individu dengan social phobia dapat bervariasi. DSM-IV- TR sendiri mengkhususkan dua jenis social phobia yaitu

  “generalized” apabila

  individu merasa cemas hampir pada setiap situasi sosial, dan

  “specific” jika kecemasan

  muncul hanya pada situasi tertentu, misalnya saat berbicara formal atau tampil di depan umum (APA, 2004).

2.1.4. Karakteristik simptom social phobia

  Karakteristik simptom social phobia dapat dilihat melalui 3 aspek sebagai berikut (Clarks dan Wells, dalam Crozier & Alden, 2001): a.

  Aspek kognitif Individu dengan social phobia sangat mengkhawatirkan tentang bagaimana orang lain akan mempersepsikan dan menilai dirinya. Kecemasan pada individu dengan social phobia disebabkan oleh adanya distorsi kognitif berupa pikiran- pikiran negatif, persepsi akan kekurangan diri, standar yang tinggi saat tampil di hadapan orang lain, dan keyakinan irasional mengenai standar yang digunakan orang lain untuk menilai dirinya. Pada saat akan memasuki situasi sosial tertentu, individu dengan social phobia memikirkan secara detil tentang apa yang akan terjadi dan bagaimana dia akan menghadapi kesulitannya. Pikiran- pikiran negatif tersebut tetap ada saat ia telah masuk dalam situasi sosial tersebut. Bahkan setelah keluar dari situasi tersebut, individu masih membayangkan secara detil apa yang telah terjadi pada dirinya.

  b.

  Aspek perilaku Pada saat menghadapi situasi sosial yang ditakutinya, individu dengan social

  phobia kerap memunculkan avoidance behavior yang memiliki 3 bentuk sebagai

  berikut: Avoidance

  • Hal ini dilakukan dengan cara menghindar sepenuhnya dari situasi sosial yang ditakuti.
  • Respon ini dilakukan apabila individu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari situasi sosial tertentu. Individu pun akhirnya memasuki

  Escape situasi tersebut namun kemudian berusaha untuk keluar dari situasi tersebut lebih awal.

  • Apabila avoidance dan escape behavior tidak mungkin dilakukan, maka individu dengan social phobia biasanya melakukan safety behavior/partial

  Safety behavior/partial avoidance

  avoidance yang digunakan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan

  seperti misalnya menghindari kontak mata, berbicara dengan cepat, berbicara dengan suara pelan, atau duduk di kursi bagian belakang.

  c.

  Aspek fisiologis Individu dengan social phobia mengalami sejumlah reaksi somatis saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakutinya. Reaksi ini muncul akibat meningkatnya aktifitas sistem saraf otonom, adapun diantaranya adalah jantung berdebar kencang, wajah memerah, keringat, gemetaran, otot tegang, serta perut terasa tidak enak.

2.1.5. Faktor Etiologi

  Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya social phobia yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis, peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan (Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001).

a. Kerentanan Genetik

  Beberapa hasil penelitian membuktikan peran faktor genetik terhadap social

  

phobia . Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap saudara kembar, berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar 24.4% untuk kembar monozigot perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki (Kendler dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Penelitian lainnya dilakukan untuk mengetahui faktor resiko social phobia dalam sebuah keluarga dengan cara membandingkan antara individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dengan individu yang tidak memiliki kerabat pasien social phobia. Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan rata-rata social phobia pada individu yang memiliki kerabat pasien social

  

phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan

  Herbert, 2001). Meskipun demikian, ternyata banyak juga individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dan saudara kembar dari pasien social phobia tidak mengalami gangguan ini. Dengan demikian faktor lain mungkin turut berperan dalam terjadinya social phobia. Dilaporkan juga dari hasil pencitraan otak dan teknik

  

genotyping bahwa serotonin pengangkut protein dan kepadatan reseptor dopamine

  berpengaruh pada patogenesis social phobia dan generalized anxiety disorder (Schmidt dkk; Tiihonen dalam Kashdan dan Herbert, 2001).

b. Temperamen Behavioral Inhibition

  Beberapa studi menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristik pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian hari (Stemberger dkk, Turner dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun usia munculnya social phobia rata-rata 15 tahun, namun karakteristik pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan (Kagan dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Kagan menggunakan istilah behavioral inhibition (BI) untuk menggambarkan kecenderungan bada bayi dan anak-anak untuk menarik diri dari situasi, orang maupun objek yang baru baginya. Anak dengan temperamen ini semasa bayinya digambarkan sebagai bayi yang mudah terganggu dan kurang tidur, mudah cemas di masa balita, dan menarik diri sejak masa anak-anak hingga dewasa (Kagan dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta menyebutkan adanya hubungan antara BI dengan berkembangnya gangguan kecemasan (Biederman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti 2.242 mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya untuk mengalami social phobia.

  BI juga dikatakan berhubungan dengan tingginya negative affect (NA) dan rendahnya positive affect (PA) yang merupakan ciri dari individu dengan social phobia (Brown dkk; Watson dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen ini memiliki ambang batas reaksi fisiologis yang rendah, NA yang tinggi dikarakteristikkan menunjukkan reaksi fisiologis yang berlebihan, mudah takut terhadap situasi maupun orang yang baru baginya. PA yang rendah bersumber dari kecenderungan menghindari situasi maupun orang baru. Sesuatu hal yang baru dikatakan tidak hanya menimbulkan kecemasan dan penolakan, akan tetapi juga dapat memunculkan emosi positif seperti minat, ketertarikan dan kesenangan (Izard dan Hyson; Spielberger dan Starr dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen BI cenderung mudah curiga dan sangat berhati-hati sehingga saat menghadapi situasi yang baru mereka kurang bereksplorasi dengan lingkungan. Namun demikian tidak semua anak dengan temperamen BI akan mengalami social phobia.

  Schwartz (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) dalam penelitiannya menemukan hanya 34% remaja yang semasa anak-anaknya tergolong dalam temperamen BI yang menunjukkan simptom social phobia pada usia 13 tahun. Hal ini berarti terdapat faktor lainnya yang dapat mempengaruhi berkembangnya social phobia termasuk diantaranya pengalaman hidup (Stein dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

c. Pengalaman dari lingkungan

  Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Setiap pengalaman tersebut berpotensi untuk menciptakan umpan balik negatif terkait dengan kecemasan, perilaku menghindar dan hambatan dalam kemampuan sosial.

  Orang tua berpengaruh terhadap resiko berkembangnya simptom-simptom

  

social phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkan

  kecenderungan negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampau melindungi dan posesif. Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinan negatif mengenai ancaman yang ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkan penilaian dari orang lain kepada anak (Chorpita dkk; Ginsburg dkk; dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengan

  

social phobia cenderung mempersepsikan orang tuanya sebagai sosok dengan

  pergaulan yang terbatas dan kerap menghindar dari situasi sosial serta jarang berkumpul bersama teman ataupun keluarga (Bruch & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengasuhan yang menekankan pentingnya penilaian dari orang lain atau kurangnya komunikasi dan ekspresi emosional dapat mengembangkan sifat pemalu dan rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak (Melfsen dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

  Pada penelitian lainnya, Vernberg dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa saat anak dengan social phobia masuk ke sekolah baru ia lebih mengalami kesulitan untuk berteman dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami social phobia. Kecemasan sosial yang tinggi secara signifikan menyebabkan kurangnya interaksi dan kedekatan yang merupakan faktor penting untuk mengembangkan hubungan pertemanan. Sebuah fakta yang menarik ditemukan yaitu bahwa kecemasan pada anak dengan social phobia juga muncul terhadap teman- teman yang sudah dikenalnya dengan baik bukan semata-mata terhadap situasi atau orang yang baru dikenalnya (Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

  Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remaja seperti presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh teman sebaya juga dapat memicu simptom-simptom social phobia (Albano & Barlow dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai masalah ini namun fakta yang ada menunjukkan bahwa cemoohan dari teman sebaya berhubungan positif dengan kecemasan sosial dan perilaku menghindar pada anak laki-laki maupun perempuan (Asher & Coie; Slee dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Pada sebuah penelitian terhadap orang dewasa dengan karakter pemalu, dilaporkan bahwa pengalaman dicemooh dan dipermalukan oleh teman sebaya dianggap sebagai peristiwa di masa kanak-kanak yang memunculkan ketakutan dan perilaku menghindar (Ishiyama dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

2.1.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom social

  phobia

  Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom

  

social phobia yaitu bias kognitif, hambatan kemampuan sosial dan operant conditioning

  (Beck dkk; Clark & Wells; Musa & Lepine dalam Kashdan & Heirbert, 2001). Menurut pendekatan kognitif, inti dari social phobia adalah adanya keinginan yang kuat untuk tampil dan disukai oleh orang lain namun disertai oleh persepsi ketidakmampuan diri untuk melakukan hal tersebut. Individu dengan social phobia merasa yakin bahwa dirinya akan melakukan sesuatu yang akan menimbulkan penolakan dan penilaian negatif dari orang lain. Keyakinan ini ditambah dengan persepsi tentang adanya penilaian dari orang lain menimbulkan pernyataan diri negatif dan membuat individu menjadi terobsesi dengan penampilan sosial orang lain (Hartman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hal inilah yang kemudian terwujud menjadi simptom kecemasan dalam bentuk reaksi fisiologis dan perilaku. Reaksi fisiologis seperti wajah yang memerah, berkeringat dingin, gangguan pencernaan lalu diinterpretasikan oleh individu sebagai bukti bahwa ia tidak berhasil yang pada akhirnya semakin meningkatkan kecemasan.

  Individu pun menjadi fokus pada pikiran negatifnya, reaksi somatis serta sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa orang lain menilai buruk dirinya. Hal ini kemudian akan menghambat fungsi sosial individu tersebut (Hope, Gansler & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

  Hambatan dalam kemampuan sosial juga dikatakan berpengaruh terhadap bertahannya simptom-simptom social phobia. Spence dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa remaja dengan social phobia lebih cemas dan menunjukkan kemampuan sosial yang buruk dibandingkan dengan kelompok individu yang tidak mengalami social phobia. Penelitian lainnya menemukan bahwa anak dengan social phobia cenderung kurang bergaul dan juga kurang mendapatkan dukungan dan penerimaan dari teman sebaya (La Greca dan Lopez dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta-fakta ini sering disalah artikan oleh individu dengan social

phobia , ia menganggap dirinya memiliki hambatan dalam kemampuan sosial.

  Sesungguhnya permasalahan yang berkaitan dengan perilaku sosial bisa jadi mencerminkan adanya hambatan dalam keterampilan sosial, atau kemungkinan permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari kecemasan yang berlebihan.

  Faktor-faktor lainnya seperti penguat negatif terhadap perilaku menghindar yang sering muncul dari interaksi orang tua dan anak, hubungan dengan teman sebaya, serta ingatan akan peristiwa traumatis juga mempengaruhi bertahannya simptom-simptom

  

social phobia . Penguat negatif dapat muncul sewaktu individu berusaha untuk

  menghindari suatu situasi dan merasa lega saat ia berhasil menghindar dari situasi tersebut. Demikian juga halnya dengan peristiwa traumatis, misalnya dengan menyaksikan seseorang yang terjatuh di muka umum juga dapat menjadi penguat negatif serta menimbulkan perasaan lega pada individu dengan social phobia. Orang tua sering kali tanpa disadari memberikan penguat negatif kepada anak dengan cara membantu anak untuk menghindari situasi yang ditakutinya, misalnya dengan menuliskan surat izin kepada guru agar anaknya tidak masuk sekolah. Faktor-faktor

  

operant yang menguatkan pola perilaku menghindar ini dapat mempengaruhi tugas-

  tugas perkembangan anak. Sebagai contoh kesempatan anak untuk menguasai keterampilan penting dalam interaksi sosial seperti membina hubungan persahabatan dan mencapai kemandirian dari keluarga menjadi terbatas. Perilaku menghindar berlebihan pada masa-masa penting perkembangan seorang anak berpengaruh negatif terhadap perkembangan keterampilan sosial anak dan menjadi penguat bagi bias kognitif yang maladaptif.

2.2. Coping Cat 2.2.1.

   Definisi Coping Cat

  Program Coping Cat dikembangkan oleh Philip C. Kendall, seorang ahli psikologi klinis yang memfokuskan terapinya pada anak-anak dan remaja. Program ini sendiri dikhususkan untuk penanganan gangguan kecemasan terutama untuk anak-anak berusia 7 hingga 13 tahun yang memenuhi kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk

  

separation anxiety disorder , social phobia, dan generalized anxiety disorder. Coping

Cat mengkombinasikan antara efektivitas pendekatan perilaku dan juga menekankan

  faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan kecemasan. Program ini juga melibatkan sumber dukungan sosial yang ada, seperti orang tua dan teman sebaya (Kendal & Hedtke, 2006).

  Secara keseluruhan, program Coping Cat bertujuan untuk mengajarkan kepada anak dalam mengenali tanda-tanda kecemasan dan menjadikannya isyarat untuk melakukan strategi pengendalian kecemasan. Program ini berdasarkan pada manual yang terstruktur untuk membangun keterampilan anak secara bertahap mulai dari mengidentifikasi proses kognitif yang terkait dengan kecemasan, menerapkan strategi kognitif untuk mengendalikan kecemasan dan mempraktikkannya secara langsung pada situasi yang menimbulkan kecemasan.

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Coping Cat adalah suatu terapi yang bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan dengan melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif yang terkait dengan kecemasan.

2.2.2. Konsep Teori dalam Program Coping Cat

  Teori Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan dasar dalam memahami

  

Coping Cat Kendall. Hanya saja Kendall lebih memfokuskan penerapan CBT pada

  anak-anak dan remaja. Kendall mengemukakan definisi tersediri mengenai CBT yaitu sebuah amalgam; kombinasi yang rasional, suatu upaya yang bertujuan untuk mempertahankan efek positif yang terlihat dari prosedur perilaku dalam konteks yang fleksibel dengan melibatkan aktivitas kognitif dan pengalaman emosional klien dalam proses terapi untuk menuju pada perubahan (Kendall dan Hollon, dalam Kendall, 2006). Sesuai dengan definisi tersebut, maka dalam terapinya Kendall menggunakan prosedur latihan aktif dan sesi yang terstruktur (melalui penggunaan manual dan buku kerja) serta strategi-strategi yang ditujukan untuk membawa perubahan pada pola pikir, emosi dan perilaku klien.

  Kendall (2006) memfokuskan terapinya dalam menangangi gangguan pada anak-anak dan remaja dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan fisiologis serta aspek-aspek perkembangan lainnya yang terjadi pada fase tersebut. Selain itu terapinya tetap mengutamakan upaya untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan melibatkan kekuatan-kekuatan kognitif yang mempengaruhi proses pengolahan informasi, mengkaitkannya dengan aspek sosial dan emosional, mempertimbangkan peran orang tua atau keluarga terhadap permasalahan yang dialami individu serta penekanan pada performa klien. Penerapan teori tersebut dilakukan melalui prosedur yang terstruktur dan berdasarkan pada manual.

  Menurut Kendall (2006), strategi kognitif untuk pemecahan masalah (problem

  

solving ) dapat dimaksimalkan melalui aktivitas-aktivitas dalam terapi yang bertujuan

  dan terencana. Berbagai cara dan model pengolahan informasi sangat mempengaruhi bagaimana individu memandang dunia dan menjalaninya. Proses pengolahan informasi yang disfungsional harus dapat disadari dan dimodifikasi. Caranya dengan mengajarkan strategi kognitif baru untuk memperbaiki pola pikir yang salah pada anak-anak maupun remaja.

  Kendall (2006) berpendapat bahwa terapinya juga berkaitan erat dengan aspek emosi baik positif maupun negatif. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku individu karena ia menganggap bahwa kognisi, emosi dan perilaku saling berhubungan satu dengan yang lain. Kemampuan individu untuk memecahkan masalah juga membutuhkan pemahaman serta modifikasi terhadap kondisi emosi. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall sangat memperhatikan dan memfokuskan pada kondisi emosi klien.

  Aspek sosial dan interpersonal juga memberikan kontribusi yang tidak kalah pentingnya terhadap gangguan yang dialami klien. Kendall (2006) mempertimbangkan pentingnya hubungan sosial baik dengan keluarga maupun teman sebaya terhadap penyesuaian psikologis yang sehat. Klien harus memiliki kemampuan adaptasi serta

  

coping yang efektif terhadap situasi sosial. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall

  melibatkan orang tua namun tentunya hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk gangguan yang dialami anak serta tahap perkembangannya. Pada anak dengan

  

separation anxiety disorder , keterlibatan orang tua akan sangat berpengaruh dan

  memberi dampak positif. Sedangkan untuk kasus remaja yang mengalami depresi, akan lebih baik apabila orang tua tidak dilibatkan dalam sesi terapi karena mereka pada umumnya lebih nyaman menjalani terapi secara terpisah.

  Kendall (2006) melakukan prosedur dalam terapinya dengan berdasarkan pada manual yang terstruktur. Sama halnya dengan teori, struktur juga dapat memandu jalannya terapi, fokus pada tujuan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan pengalaman anak berkaitan dengan aspek kognitif, emosi, perilaku, sosial dan keluarga. Manual dapat memudahkan terapis mengarahkan anak-anak dalam mengikuti jalannya terapi serta menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Penting untuk diingat bahwa terapi berdasarkan manual bukanlah bersifat kaku melainkan ditujukan untuk diaplikasikan secara fleksibel (Kendall dan Beidas, 2007).

  Terapis dapat melakukan adaptasi dalam proses terapi berdasarkan manual sesuai dengan kebutuhan klien selama tetap konsisten dengan strategi-strategi CBT. Kendall menggunakan buku kerja (workbook) (Kendall dan Hedtke, 2006) untuk anak agar mereka dapat belajar dan melatih kemampuan yang baru diperolehnya secara terstruktur. Selain itu pemberian buku kerja juga konsisten dengan metode pembelajaran yang diperoleh anak-anak di sekolah.

  Terapi yang dirancang oleh Kendall (2006) menekankan pentingnya performa klien yang dalam hal ini adalah anak-anak dan remaja. Beberapa intervensi yang dilakukan pada orang dewasa pada umumnya bertujuan untuk membantu klien memperoleh insight atau pemahaman akan masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, program intervensi yang difokuskan pada klien anak-anak dan remaja bertujuan untuk memperbaiki distorsi pada pola pikir, emosi, dan perilaku melalui praktek atau latihan secara langsung yang disertai oleh dorongan dan feedback dari terapis. Dengan demikian anak diharapkan mampu menggunakan kemampuan sosial dan kognitifnya dengan lebih baik. Selain itu latihan juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi intrinsik klien khususnya bagi klien yang terlihat kurang bersemangat dalam menjalani terapi. Bagi klien usia anak dan remaja, perubahan tidak dapat diperoleh hanya melalui percakapan atau dialog karena tingkat perkembangan kognitif mereka yang belum memadai. Oleh karena itu mereka harus diberikan kesempatan untuk melatih strategi- strategi yang baru diperolehnya secara langsung.

2.2.3. Komponen dalam Program Coping Cat Kendall

  Program Coping Cat terdiri dari komponen afektif, kognitif dan perilaku yang kemudian dikombinasikan untuk mengatasi kecemasan pada anak (Kendall, 2006).

  Adapun komponen-komponen tersebut antara lain: a.

  Komponen afektif Affective education

  • Anak diajarkan untuk mengenal berbagai macam emosi dan ekspresi wajah serta bahasa tubuh yang sesuai.
  • Anak diajarkan untuk mengenal reaksi-reaksi tubuh terhadap berbagai emosi dan mengidentifikasi reaksi tubuhnya bagaimanakah yang muncul saat ia cemas. Hal ini penting untuk membuat anak terlebih dahulu menyadari kondisi dirinya yang sedang cemas sebelum mulai melakukan rencana untuk mengatasi kecemasan.

  Awareness of bodily reactions when anxious

  • Prosedur ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak akan kondisi tubuhnya saat cemas dan mengajarkan cara untuk mengurangi ketegangan yang dirasakannya tersebut. Terdapat dua prosedur somatic management yang umum digunakan yaitu: 1.

  Somatic management

   Diaphragmatic breathing

  Dilakukan dengan cara menarik nafas dalam-dalam dan difokuskan pada perut. Peneliti menginstruksikan anak untuk melakukan prosedur ini selama beberapa kali. Prosedur ini juga tergolong ringan dan tidak kentara jika dilakukan pada situasi yang menimbulkan kecemasan.

2. Progressive muscle relaxation

  Prosedur ini dilakukan dengan cara melemaskan bagian-bagian otot tertentu sehingga anak dapat membedakan sensasi tubuh di saat tegang dan di saat tenang. Pada anak-anak, dapat digunakan cerita sebagai instruksinya agar lebih memudahkan anak untuk memahami dan melaksanakannya.

  b.

  Komponen kognitif Identification and modification of anxious self talk

  • Prosedur ini dilakukan untuk mengubah distorsi kognitif (anxious self talk) pada anak. Terdapat berbagai cara untuk melakukannya, salah satunya dengan memperlihatkan gambar kartun dan gelembung pikiran. Anak kemudian diminta untuk mengisi gelembung pikiran yang masih kosong pada gambar tersebut. Terapis kemudian mengajak anak untuk menganalisa isi pikirannya tersebut dan memberikan sejumlah pertanyaan untuk menantang atau membuktikannya. Cara lain yang dapat dilakukan adalah terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara mengidentifikasi dan mengubah distorsi kognitif pada situasi yang menimbulkan kecemasan.
  • Prosedur ini dilakukan untuk mengajarkan anak membuat dan menetapkan langkah-langkah alternatif yang dapat dilakukan ketika menghadapi situasi yang menimbulkan kecemasan sehingga anak tidak lagi melakukan penghindaran terhadap situasi tersebut. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1.

  Problem solving

  Menentukan masalah: “situasi apa yang menimbulkan kecemasan?” 2. Mengumpulkan berbagai solusi: “apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan?”

  3. Mengevaluasi solusi yang tersedia: “solusi manakah yang memungkinkan?” “apakah solusi tersebut masuk akal untuk dilakukan?”

  4. Memilih solusi yang lebih dirasakan sesuai: “solusi mana yang paling tepat?” c.

  Komponen perilaku Self reward

  • Prosedur ini dilakukan setelah anak melakukan evaluasi terlebih dahulu atas usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi kecemasan. Terapis selanjutnya mendorong anak untuk memberi reward terhadap dirinya sendiri berdasarkan usaha dan performance yang telah dilakukannya.
  • Prosedur ini dapat dilakukan secara imaginal maupun in vivo exposure Terapis menghadirkan situasi yang menimbulkan kecemasan pada anak secara bertahap mulai dari situasi dengan tingkat kecemasan yang paling rendah hingga tingkat kecemasan yang paling tinggi.

  Exposure

2.2.4. Teknik-teknik dalam program Coping Cat Kendall

  Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa teknik yang digunakan dalam program Coping Cat Kendall (Kendall, 2010) antara lain:

  a.

   Graduated sequence of training tasks and assignments

  Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan rangkaian tugas latihan secara bertahap kepada anak yang dilengkapi dengan materi dalam workbook atau buku kerja.

  b.

   Coping modeling

  Selama program intervensi berlangsung, terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara melakukan strategi FEAR yang telah dipelajari satu persatu.

  Terapis juga memberikan contoh apa yang harus dilakukan saat mengalami kesulitan dalam melaksanakan strategi FEAR.

  c.

   Role play

  Terapis terlebih dahulu memperlihatkan kepada anak bagaimana cara menghadapi situasi yang ditakutinya lalu kemudian anak diajak untuk berpartisipasi dalam situasi yang dicontohkan terapis. Selanjutnya anak diminta melakukan role play seorang diri pada situasi yang ditakutinya secara bertahap.

  d.

   Homework assignment/Show-That-I-Can (STIC) tasks Homework assignment diberikan kepada anak untuk dikerjakan di luar sesi

  terapi untuk membantu anak menerapkan apa yang telah dipelajarinya selama sesi terapi.

  e.

  Contingent rewards

  Rewards atau reinforcement diberikan kepada anak setiap kali ia

  mengerjakan homework assignment yang diberikan. Melalui latihan yang berulang dan reinforcement yang diberikan akan membantu meningkatkan keyakinan diri anak dan menumbuhkan kompetensi diri.

2.2.5. Distorsi kognitif yang diperbaiki dalam Coping Cat Kendall

  Distorsi kognitif merupakan pikiran tidak rasional yang dapat memperkuat emosi atau pikiran negatif dalam diri seseorang. Pada program Coping Cat, distorsi kognitif ini berusaha untuk diperbaiki guna menurunkan tingkat kecemasan dan perilaku menghindar yang dimunculkan oleh subjek. Terdapat beberapa bentuk distorsi kognitif yang berkaitan dengan kecemasan pada anak dan remaja (Kendall, Podell, Gosch, 2010): a.

   Walking with blinders: tidak memikirkan segala hal positif yang mungkin terjadi, hanya memikirkan hal buruk saja.

  b.

   The repetitor: jika sudah pernah terjadi sekali maka pasti akan terulang lagi kejadian yang sama.

  c.

   The catastrophe: selalu memikirkan hal yang paling buruk akan terjadi pada dirinya.

  d.

   The pessimist: berharap segala sesuatunya pasti akan berakhir dengan kegagalan.

  e.

   Pick, pick, pick: hanya mendapati hal-hal negatif dalam sebuah situasi.

  f.

  

The avoider: menghindar atau menjauh dari semua hal yang membuat cemas.

  g.

  

Quick and dirty: langsung menyimpulkan sebelum memperoleh semua bukti.

  h.

   The mind reader: seolah-olah dapat membaca pikiran orang lain dan merasa yakin bahwa orang lain pasti memikirkan hal yang buruk tentang dirinya. i.

   The shoulds: pola berpikir “harus”, misalnya harus selalu mengerjakan tugas dengan benar, atau harus tenang dan tidak boleh merasa cemas. j.

  

The fortune teller: membuat perkiraan sendiri tentang apa yang akan terjadi.

k.

   The perfectionist: berpikir “harus mengerjakan segalanya dengan sempurna” atau “tidak boleh melakukan kesalahan apapun”.

2.2.6. Tahapan pelaksanaan program Coping Cat Kendall

  Program Coping Cat Kendall dilakukan dalam beberapa tahap yang didalamnya melibatkan komponen yang berbeda-beda. Berikut ini adalah uraian tahapan pelaksanaan program Coping Cat (Kendall, 2006):

a. Psikoedukasi

  Pada tahap ini terapis bertugas untuk memberikan informasi selengkap- lengkapnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kecemasan.

  Mulai dari aspek biologis, perilaku dan psikologis dari kecemasan, sifat natural kecemasan, faktor-faktor penyebabnya, serta teknik terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Terapis juga dapat memperbaiki apabila orang tua memiliki pemahaman yang keliru mengenai kecemasan dan konsep terapi.

  b.

   Skills training/coping skills

  Pada tahap ini terapis mengajarkan konsep-konsep penting dalam mengendalikan kecemasan yang disingkat dengan FEAR sebagai berikut:

  • Terapis menyampaikan bahwa langkah pertama untuk mengendalikan kecemasan adalah mengenali perasaan cemas dan membedakannya dari emosi lainnya. Anak diajarkan untuk mengenali ekspresi wajah, postur dan sinyal- sinyal fisiologis yang berhubungan dengan emosi yang berbeda-beda. Konsep kecemasan ini diperkenalkan pada anak secara abstrak dan tidak langsung mengacu pada pengalaman anak .Terdapat banyak aktivitas yang dapat dilakukan, misalnya bersama-sama menggunting gambar orang di majalah yang memperlihatkan emosi yang berbeda-beda. Pada gilirannya, anak akan belajar untuk mengidentifikasi ekspresi fisiologisnya sendiri dengan cara membayangkan saat dalam kondisi cemas dan membuat gambar dirinya saat mengalami kecemasan. Pada saat anak mulai dapat mengenali reaksi fisiknya saat mengalami kecemasan, anak mulai dapat diajarkan untuk menjadikan reaksi tersebut sebagai

F: Feeling frightened?

  isyarat untuk melakukan relaksasi. Pada umumnya, anak dapat diajarkan untuk menarik nafas dalam-dalam segera setelah menyadari bahwa dirinya sedang merasa cemas. Anak kemudian belajar prosedur relaksasi secara bertahap yang pertama-tama difokuskan pada otot-otot utama yang berhubungan dengan perasaan cemas. Terapis mencontohkan pada anak bagaimana caranya menggunakan prosedur relaksasi secara tepat. Cara lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan cerita khususnya untuk anak yang usianya lebih muda. Terapis juga dapat memberikan rekaman prosedur relaksasi yang bisa dibawa oleh anak untuk dilatih di rumah. Terapis menekankan pada anak bahwa prosedur relaksasi tersebut dapat dilakukan dengan tepat jika anak sering berlatih menggunakannya.

E: Expecting bad things to happen?

  • Terapis mengajarkan anak untuk mengenali pikiran-pikiran cemas. Konsep penting yang diajarkan pada tahap ini adalah mengenai “self talk” yaitu hal-hal yang terlintas dalam benak atau pikiran anak saat merasakan cemas. Self talk dapat berupa harapan anak akan dirinya sendiri, atau pemikirannya mengenai orang lain atau situasi tertentu. Pada anak-anak yang cemas, self talk sering kali berupa penilaian yang negatif terhadap diri sendiri, menetapkan standar yang terlalu tinggi, khawatir akan penilaian orang lain, takut akan gagal dan tidak mampu mengatasi masalah. Tahap ini kelihatannya agak sedikit sulit untuk dilakukan, namun terdapat berbagai cara yang akan memudahkan terapis untuk mengajarkan anak mengenai konsep self talk. Terapis dapat menggunakan gambar-gambar kartun dengan gelembung yang akan diisi dengan hal-hal yang ada dalam pikiran tokoh
dalam kartun tersebut. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, terapis dapat mulai mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Segera setelah anak dapat mengenali pikiran cemasnya sendiri, maka terapis membantu anak untuk membentuk pikiran-pikiran yang dapat menanggulangi kecemasan anak.

  Terapis menantang pikiran-pikiran negatif yang terdapat dalam diri anak melalui proses uji hipotesis. Tujuan proses ini adalah agar anak dapat menciptakan proses informasi alternatif untuk menanggulangi kecemasannya. Pemberian tugas, permainan peran, dan tugas exposure dapat diberikan untuk membantu anak membentuk pikiran-pikiran alternatif tersebut.

  • Pada tahap ini fokusnya adalah problem solving atau penyelesaian masalah, terapis membantu anak membuat berbagai solusi alternatif dan kemudian memilih solusi yang paling tepat untuk dilakukan saat mengalami kecemasan. Konsep problem solving dapat dikenalkan dengan cara membahas situasi-situasi yang tidak terlalu mengancam bagi anak. Terapis dapat mencontohkan situasi- situasi tertentu dan membantu anak membuat beberapa solusi dan memilih solusi yang sesuai. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, barulah terapis dapat mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Berbagai solusi dapat dilakukan misalnya dengan membuat daftar teman dekat atau keluarga yang memberikan dukungan, mengamati cara orang lain mengatasi masalah, atau melatih kemampuan akademik, dan sosial. Anak yang usianya lebih muda sering kali memilih karakter kartun atau televisi yang menjadi pahlawannya dan dapat mengatasi kesulitannya. Terapis dapat mendorong anak untuk memikirkan apa yang akan dilakukan tokoh kesukaan

A: Attitude and actions that can help

  anak tersebut untuk menanggulangi kecemasan. Anak juga dapat bermain peran menjadi tokoh tersebut saat berada dalam situasi cemas.

  • Tahap pengendalian kecemasan selanjutnya terapis mengajarkan anak untuk menilai usaha yang telah mereka lakukan untuk mengatasi kecemasannya dan memberi hadiah kepada dirinya sendiri. Intinya, anak diajarkan untuk menilai diri mereka berdasarkan atas usaha yang telah mereka lakukan bukan pada hasil yang diperoleh. Anak belajar untuk mengenali hal-hal apa yang disukai dari usaha-usaha yang telah dilakukannya atau hal-hal apa yang ingin mereka ubah. Anak kemudian diminta untuk membuat hal-hal apa saja yang dapat dijadikan imbalan atas usahanya.

  R: Results and rewards

  c.

   Skills practice/exposure task

  Pertama-tama terapis bersama anak merencanakan sejumlah situasi yang akan dipraktikkan melalui prosedur imaginal maupun in vivo exposure. Situasi tersebut diawali dengan tingkat kecemasan yang paling rendah kemudian meningkat secara bertahap hingga tingkat kecemasan yang paling tinggi.

  Selanjutnya terapis menghadirkan situasi sosial yang ditakuti oleh anak, kemudian secara verbal menggambarkan aspek-aspek dari situasi tersebut yang memicu kecemasan kemudian mencontohkan langkah FEAR. Anak kemudian menyusun langkah FEARnya sendiri dan mulai dilatih terlebih dahulu melalui

  imaginal exposure . Setelah anak siap, barulah berlanjut kepada in vivo exposure.

2.3.Program Coping Cat Kendall pada Anak dengan Social Phobia

  Beberapa anak kerap menunjukkan permasalahan perilaku dalam interaksi sehari-hari dengan lingkungan sosialnya, salah satunya adalah perilaku menghindar dan menarik diri dari interaksi sosial yang merupakan gejala dari social phobia. Berdasarkan DSM-IV-TR (2000), social phobia merupakan ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Terdapat sejumlah situasi yang menjadi sumber kecemasan bagi anak dengan social phobia, dan salah satunya adalah sekolah. Sebuah hasil penelitian yang terdahulu menemukan bahwa 60% situasi yang mencemaskan ternyata dialami oleh anak di sekolah (Strauss dan Last, dalam Morris, 2004).

  Namun sayangnya, gangguan ini cenderung diabaikan dan kurang disadari baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Hal ini disebabkan karena anak dengan

  

social phobia pada umumnya tergolong anak yang pendiam, tenang dan penurut di

  sekolah. Padahal social phobia memiliki berbagai dampak negatif bagi anak. Anak dengan social phobia cenderung mengalami berbagai hambatan di sekolah seperti prestasi akademis yang rendah serta tidak memiliki banyak teman. Selain itu anak dengan social phobia juga cenderung memiliki harga diri yang rendah serta mengalami hambatan dalam kemampuan sosial (Chavira, Stein; Van Ameringen dkk; Fordham dan Stevenson dalam Hitchcock dkk, 2009). Social phobia pada anak juga menjadi faktor resiko berkembangnya gangguan psikologis lainnya di kemudian hari (Wittchen, Stein dan Kessler dalam Melfsen dkk, 2011).

  Melihat berbagai dampak buruk tersebut, dirasakan perlu adanya intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia. Agar suatu intervensi dapat efektif harus menggunakan metode yang sesuai dengan klien dan dapat diterima oleh mereka (Riley, Wallin dan Durr, 2002). Terdapat beberapa karakteristik simptom social phobia yang dapat dilihat berdasarkan aspek kognitif, fisiologis dan perilaku. Anak dengan social

  

phobia menunjukkan distorsi kognitif yang berupa adanya keyakinan bahwa dirinya

Dokumen yang terkait

Efektivitas Program Coping Cat pada Anak dengan Social Phobia

9 106 154

Perancangan Game Terapi Phobia Anak Pada Laba-Laba

0 5 42

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Ruang Lingkup Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.1.1 Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibil

0 2 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) - Pengaruh Pengungkapan Corporte Social Responsibility, Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan dan Nilai Perusahaan sebagai Varia

0 0 43

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Corporate Social Responsibility 2.1.1 Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR) - Pengaruh Corporate Social Responsibility dan Debt to Equity Ratio Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Pertambangan Batubara Di Bursa Efek

0 1 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia - Pengaruh Program CSR Terhadap Kepuasan Kerja Pada PT Toba Pulp Lestari kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terminologi Judul 2.1.1. Definisi Rumah Sakit - Rumah Sakit Ibu dan Anak

0 2 66

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka - Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Dan Pencitraan PT. Pertamina

0 1 25

Efektivitas Program Coping Cat pada Anak dengan Social Phobia

0 0 16

5.2.2. Saran Praktis - Efektivitas Program Coping Cat pada Anak dengan Social Phobia

0 0 5