Efektivitas Program Coping Cat pada Anak dengan Social Phobia

(1)

DENGAN SOCIAL PHOBIA

(The Effectiveness of Coping Cat Kendall in Children with Social

Phobia)

TESIS

Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi Kekhususan Psikologi Klinis Anak

Diajukan Oleh:

WINA ERWINA

107029014

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012/2013


(2)

(3)

(4)

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Efektivitas Program Coping Cat pada Anak dengan Social Phobia”.

Kesabaran, kegigihan dan ketekunan sangat diperlukan dalam menyelesaikan karya tulis ini. Hal ini merupakan proses pembelajaran bagi penulis yang sangat berharga. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, karya ini tidak dapat terselesaikan. Mengingat hal tersebut, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing yang begitu sabar dalam membimbing penulis dan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat bermanfaat. Terima kasih atas semangat dan dukungan yang ibu berikan.

3. Ibu Josetta, M.R. Tuappatinaja, M.Si, Psikolog selaku dosen penguji yang telah memberikan saran-saran dan masukan yang begitu berharga untuk penyempurnaan tesis ini.

4. Ibu Eka Ervika, M.Si, Psikolog sebagai koordinator program studi Magister Psikologi Klinis Anak. Terima kasih atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis.


(5)

ilmu yang telah diberikan selama ini, semoga dapat berguna dan diterapkan sebagaimana mestinya.

6. Kepada suami tercinta, Kemal Pasha Siagian, terima kasih atas kasih sayangnya, dukungan serta semangatnya kepada penulis hingga penyelesaian tesis ini.

7. Kepada putriku tersayang, terima kasih atas senyum dan tawa yang selalu menghibur penulis di saat sedang merasa lelah.

8. Kepada Ayah dan Ibunda tercinta, atas doa yang tulus, semangat dan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada penulis.

9. Kepada Ayah dan Ibu mertua, atas bantuan, doa dan semangatnya hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

10.Kepada adik dan adik iparku yang sudah memberikan doa dan semangat kepada penulis.

11.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Psikologi USU; para staf administrasi, keuangan, perpustakaan, dan lain-lain. Terima kasih karena telah membantu kelancaran kegiatan penulis sepanjang menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi USU

12.Teman-teman Magister Psikologi Profesi angkatan 2010. Terima kasih atas semangat dan kebersamaan serta dukungan yang diberikan kepada penulis. Dengan segala kemampuan yang ada serta mengingat terbatasnya pengalaman dan pengetahuan, penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dalam pengungkapan, pokok pikiran, tata


(6)

penelitian dalam tesis ini dapat berguna bagi yang membutuhkan.

Medan, 25 Agustus 2013


(7)

Universitas Sumatera Utara Agustus 2013 Wina Erwina

107029014

Efektivitas Coping Cat Kendall Pada Anak Dengan Social Phobia Xvi + 138 halaman, 15 tabel

Daftar Pustaka, 62 (1994-2013)

Social phobia merupakan ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain (DSM-IV-TR; APA, 2004).

Social phobia ternyata tidak hanya ditemukan pada orang dewasa, melainkan juga pada anak-anak. Sekolah dikatakan menjadi sumber kecemasan utama bagi anak dengan social phobia (Strauss dan Last dalam Morris, 2004). Namun sering kali kondisi ini kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Padahal berbagai hambatan dan kendala dapat timbul akibat social phobia pada keberfungsian anak sehari-hari. Salah satunya adalah perilaku menghindar dari situasi sosial yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan sosialisasi anak di sekolah. Oleh karena itu dirasakan perlu adanya intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia. Salah satu intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia adalah program coping cat

yang dikembangkan oleh Kendall (Kendall, 2006). Program ini bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi social phobia pada anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan program coping cat Kendall pada anak dengan social phobia. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian kuasi eksperimental before-after study atau yang disebut juga dengan desain pre-test/post-test (Kumar, 1999). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR). Selain itu dilakukan juga pengukuran melalui The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observasi dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan program coping cat Kendall terbukti efektif dalam menurunkan social phobia pada anak. Kedua partisipan menunjukkan penurunan pada skor LSAS-CA. Subjek 1 mengalami penurunan skor dari sebelumnya 112 (very severe social phobia) menjadi 46 (normal range). Demikian juga halnya dengan subjek 2 mengalami penurunan skor dari 76 (marked social phobia) menjadi 32 (normal range). Selain itu terlihat juga penurunan tingkat kecemasan kedua subjek yang dilihat dari SUDS. Skor SUDS subjek 1 yang pada saat pra intervensi adalah 8 (sangat cemas) menurun secara bertahap selama sesi intervensi menjadi 2 (sedikit cemas) saat paska intervensi. Sedangkan pada subjek 2, skor SUDS saat pra intervensi adalah 6 (cemas) mengalami penurunan secara bertahap hingga menjadi 2 (sedikit cemas) paska intervensi. Hasil observasi dan wawancara juga menunjukkan bahwa partisipan mengalami perubahan yang positif dengan mengikuti program intervensi coping cat Kendall. Hal ini terlihat dari berkurangnya perilaku menghindar terhadap situasi sosial yang ditampilkan oleh kedua subjek sehari-hari.


(8)

University of North Sumatera August 2013

Wina Erwina 107029014

The Effectiveness of Coping Cat Kendall in Children with Social Phobia Xvi + 138 pages, 15 tables

References, 62 (1994-2013)

Social phobia is a marked and persistent fear of one or more social or performance situations in which the person is exposed to unfamiliar people or to possible scrutiny by others (DSM-IV-TR; APA, 2004). Social phobia is common not only in adults but in children as well. Many of children with social phobia report attending school to be a significant course of social distress (Strauss & Last in Morris, 2004). Unfortunately, social phobia is often not recognized as a problem by teachers or parents.Social phobia may interfere with a children’s ability to function in everyday life. Children with social phobia may avoid a number of social situations including school. This avoidance behavior may affect academic performance and socializations of children in school.

This study aims to determine the effectiveness of Coping Cat program developed by Kendall (Kendall, 2006) in children with social phobia. The study design used was quasi-experimental research design before-after study or also called pre-test/post-test design (Kumar, 1999). This research using the Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR), The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observation and interviews to collect data.

The results showed that both participants showed a decrease in scores of LSAS–CA-SR . Subject 1 has decreased from the previous score 112 (very severe social phobia ) to 46 ( normal range ) . Similarly, subject 2 score decreased from 76 ( marked social phobia ) to 32 ( normal range ) . The level of anxiety of both subjects that viewed from SUDS scores have also decreased .SUDS score subject 1 during pre- intervention session which is 8 ( very anxious ) decreased gradually during the intervention sessions to 2 (a little anxious) after intervention. While on the subject 2 , during pre intervention session SUDS score is 6 ( anxious ) gradually decreased up to 2 ( a little anxious ) at post- intervention session . Observations and interviews also showed that participants experienced a positive change following the intervention Coping Cat Kendall . This is evident from the reduced social avoidance behavior to the everyday situation shown by both subjects .


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………... i

LEMBAR PENGESAHAN………. ii

LEMBAR PERNYATAAN………. iii

KATA PENGANTAR………. iv

ABSTRAK………... vii

ABSTRACT………. viii

DAFTAR ISI……… ix

DAFTAR TABEL……… xiv

DAFTAR GAMBAR………... xv

DAFTAR LAMPIRAN……… xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Social Phobia ... 12


(10)

2.1.2. Kriteria Diagnostik Social Phobia……….. 13

2.1.3. Situasi Yang Ditakuti Pada Social Phobia……… 14

2.1.4. Karakteristik Simptom Social Phobia……….….. 15

2.1.5. Faktor Etiologi………... 17

2.1.6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terpeliharanya Simptom-Simptom Social Phobia………... 22

2.2. Coping Cat………..……….………... 24

2.2.1. Definisi Coping Cat…………..……… 24

2.2.2. Konsep Teori dalam Program Coping Cat……… 25

2.2.3. Komponen dalam Program Coping Cat……… 29

2.2.4. Teknik-Teknik dalam Program Coping Cat………….. 32

2.2.5. Distorsi Kognitif Yang Diperbaiki Dalam Coping Cat Kendall.………. 33

2.2.6. Tahapan Pelaksanaan Program Coping Cat………….. 34

2.3. Program Coping Cat Kendall pada Anak Dengan Social Phobia……… 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 43

3.2. Identifikasi Variabel Penelitian……… 43

3.3. Definisi Operasional Penelitian………. 44


(11)

3.4.2. Karakteristik Subjek Penelitian………. 45

3.4.3. Lokasi Penelitian……… 45

3.5. Alat Ukur Penelitian……… 46

3.5.1. LSAS-CA-SR (The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report)……… 46

3.5.2. The Subjective Units of Distress Scale (SUDS)…………. 47

3.6. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur……….. 48

3.6.1. LSAS-CA-SR (The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report)……… 48

3.6.2. The Subjective Units of Distress Scale (SUDS)…………. 49

3.7. Metode Pengumpulan Data………. 49

3.7.1. Wawancara……….. 49

3.7.2. Observasi………. 50

3.7.3. Tes Psikologi……… 50

3.7.3.1. Tes Inteligensi………. 50

3.8. Tahapan Penelitian………. 51

3.8.1. Tahap Persiapan Penelitian………. 51

3.8.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian………. 51

3.8.3. Tahap Evaluasi……… 56

3.9. Rancangan Intervensi………... 57


(12)

4.1. Pemaparan Kasus 1……… 61

4.1.1. Data Diri Subjek 1………. 61

4.1.2. Deskripsi Subjek 1……… 61

4.1.3. Analisa Fungsional Subjek 1……….... 64

4.1.4. Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 1……….. 66

4.1.5. Hasil Penelitian Pada Subjek 1………. 76

4.1.5.1. Hasil Per Sesi………..……….. 76

4.1.5.2. Hasil Pengukuran LSAS-CA-SR………. 80

4.1.5.3. Hasil Pengukuran SUDS……….. 82

4.1.5.4. Hasil Observasi………. 84

4.1.5.5. Hasil Wawancara………. 87

4.2. Pemaparan Kasus 2……….. 91

4.2.1. Data Diri Subjek 2….……….. 91

4.2.2. Deskripsi Subjek 2……….. 91

4.2.3.Analisa Fungsional Subjek 2……… 94

4.2.4.Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 2……….. 95

4.2.5. Hasil Penelitian Pada Subjek 2……… 107

4.2.5.1. Hasil Per Sesi……….. 107

4.2.5.2. Hasil Pengukuran LSAS-CA-SR………. 110

4.2.5.3. Hasil Pengukuran SUDS………. 112

4.2.5.4. Hasil Observasi……… 114


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan………. 130

5.2. Saran……… 133

5.2.1. Saran Metodologis……….. 133

5.2.2. Saran Praktis……… 133

DAFTAR PUSTAKA ... 134


(14)

Halaman

Tabel 3.1 Rentang Skor Pada LSAS-CA-SR……… 46

Tabel 3.2 Kategori Skor LSAS-CA-SR……… 47

Tabel 3.3 Kategori Skor SUDS………. 48

Tabel 3.4. Jadwal Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 1…………. 53

Tabel 3.5 Jadwal Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 2………….. 54

Tabel 3.6 Kegiatan Pada Sesi Program Intervensi Coping Cat Kendall………. 57

Tabel 4.1 Data Diri Subjek 1……… 61

Tabel 4.2. Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 1………. 66

Tabel 4.3. Hasil Intervensi Per Sesi Pada Subjek 1………. 76

Tabel 4.4 Perolehan Skor LSAS-CA-SR Pretest-Posttest Pada Subjek 1………...……… 80

Tabel 4.5 Data Diri Subjek 2……….……….. 91

Tabel 4.6 Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 2……… 95

Tabel 4.7 Hasil Intervensi Per Sesi Pada Subjek 2……….. 107

Tabel 4.8 Perolehan Skor LSAS-CA-SR Pretest-Posttest Pada Subjek 2……… 110

Tabel 4.9 Rekapitulasi skor LSAS-CA-SR pada kedua subjek Penelitian……….. 120


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Skema kerangka berpikir penerapan program

Coping Cat Kendall pada anak dengan

Social Phobia ……… 41

Gambar 3.1 Diagram analisa S-O-R-C……… 51

Gambar 4.1. Analisa fungsional subjek 1 di rumah ………. 63

Gambar 4.2. Analisa fungsional subjek 1 di sekolah………. 63

Gambar 4.3. Analisa fungsional subjek 1 di area bermain……... 64

Gambar 4.4. Hirarki kecemasan subjek 1……… 67

Gambar 4.5. Hasil SUDS pra intervensi, sesi intervensi dan paska intervensi subjek 1………... 81

Gambar 4.6. Perubahan simptom social phobia subjek 1 setelah menerima Coping Cat Kendall……… 90

Gambar 4.7. Analisa fungsional subjek 2 di sekolah ………. 94

Gambar 4.8. Hirarki kecemasan subjek 2……… 98

Gambar 4.9. Hasil SUDS pra intervensi, sesi intervensi dan paska intervensi subjek 2……….. 113

Gambar 4.10. Perubahan simptom social phobia subjek 2 setelah Menerima Coping Cat Kendall……….. 119


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Alat Ukur The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR)

Lampiran 2. Contoh Alat Ukur The Subjective Units of Distress Scale (SUDS) Lampiran 3. Thought Monitoring Subjek 1

Lampiran 4. Thought Monitoring Subjek 2

Lampiran 5. Rancangan Intervensi Program Coping Cat Kendall pada anak dengan Social Phobia


(17)

Universitas Sumatera Utara Agustus 2013 Wina Erwina

107029014

Efektivitas Coping Cat Kendall Pada Anak Dengan Social Phobia Xvi + 138 halaman, 15 tabel

Daftar Pustaka, 62 (1994-2013)

Social phobia merupakan ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain (DSM-IV-TR; APA, 2004).

Social phobia ternyata tidak hanya ditemukan pada orang dewasa, melainkan juga pada anak-anak. Sekolah dikatakan menjadi sumber kecemasan utama bagi anak dengan social phobia (Strauss dan Last dalam Morris, 2004). Namun sering kali kondisi ini kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Padahal berbagai hambatan dan kendala dapat timbul akibat social phobia pada keberfungsian anak sehari-hari. Salah satunya adalah perilaku menghindar dari situasi sosial yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan sosialisasi anak di sekolah. Oleh karena itu dirasakan perlu adanya intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia. Salah satu intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia adalah program coping cat

yang dikembangkan oleh Kendall (Kendall, 2006). Program ini bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi social phobia pada anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan program coping cat Kendall pada anak dengan social phobia. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian kuasi eksperimental before-after study atau yang disebut juga dengan desain pre-test/post-test (Kumar, 1999). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR). Selain itu dilakukan juga pengukuran melalui The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observasi dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan program coping cat Kendall terbukti efektif dalam menurunkan social phobia pada anak. Kedua partisipan menunjukkan penurunan pada skor LSAS-CA. Subjek 1 mengalami penurunan skor dari sebelumnya 112 (very severe social phobia) menjadi 46 (normal range). Demikian juga halnya dengan subjek 2 mengalami penurunan skor dari 76 (marked social phobia) menjadi 32 (normal range). Selain itu terlihat juga penurunan tingkat kecemasan kedua subjek yang dilihat dari SUDS. Skor SUDS subjek 1 yang pada saat pra intervensi adalah 8 (sangat cemas) menurun secara bertahap selama sesi intervensi menjadi 2 (sedikit cemas) saat paska intervensi. Sedangkan pada subjek 2, skor SUDS saat pra intervensi adalah 6 (cemas) mengalami penurunan secara bertahap hingga menjadi 2 (sedikit cemas) paska intervensi. Hasil observasi dan wawancara juga menunjukkan bahwa partisipan mengalami perubahan yang positif dengan mengikuti program intervensi coping cat Kendall. Hal ini terlihat dari berkurangnya perilaku menghindar terhadap situasi sosial yang ditampilkan oleh kedua subjek sehari-hari.


(18)

University of North Sumatera August 2013

Wina Erwina 107029014

The Effectiveness of Coping Cat Kendall in Children with Social Phobia Xvi + 138 pages, 15 tables

References, 62 (1994-2013)

Social phobia is a marked and persistent fear of one or more social or performance situations in which the person is exposed to unfamiliar people or to possible scrutiny by others (DSM-IV-TR; APA, 2004). Social phobia is common not only in adults but in children as well. Many of children with social phobia report attending school to be a significant course of social distress (Strauss & Last in Morris, 2004). Unfortunately, social phobia is often not recognized as a problem by teachers or parents.Social phobia may interfere with a children’s ability to function in everyday life. Children with social phobia may avoid a number of social situations including school. This avoidance behavior may affect academic performance and socializations of children in school.

This study aims to determine the effectiveness of Coping Cat program developed by Kendall (Kendall, 2006) in children with social phobia. The study design used was quasi-experimental research design before-after study or also called pre-test/post-test design (Kumar, 1999). This research using the Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR), The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observation and interviews to collect data.

The results showed that both participants showed a decrease in scores of LSAS–CA-SR . Subject 1 has decreased from the previous score 112 (very severe social phobia ) to 46 ( normal range ) . Similarly, subject 2 score decreased from 76 ( marked social phobia ) to 32 ( normal range ) . The level of anxiety of both subjects that viewed from SUDS scores have also decreased .SUDS score subject 1 during pre- intervention session which is 8 ( very anxious ) decreased gradually during the intervention sessions to 2 (a little anxious) after intervention. While on the subject 2 , during pre intervention session SUDS score is 6 ( anxious ) gradually decreased up to 2 ( a little anxious ) at post- intervention session . Observations and interviews also showed that participants experienced a positive change following the intervention Coping Cat Kendall . This is evident from the reduced social avoidance behavior to the everyday situation shown by both subjects .


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan tawa dan canda. Akan tetapi, ada juga anak-anak yang lebih banyak diam dan tidak banyak bicara bila dibandingkan dengan teman-temannya. Ia bahkan terkadang menghindar dengan mengasingkan dirinya dan hanya mengamati teman-temannya bermain dari kejauhan. Ia lebih sering menghabiskan waktunya sendiri dan jarang melakukan aktivitas bersama teman-temannya. Tidak hanya pada saat bergaul dengan teman, namun ada juga anak yang sehari-harinya kerap menghindar ketika harus melakukan sesuatu di hadapan orang lain. Ia selalu menolak saat diberikan tugas untuk maju ke depan kelas. Ia hanya menunduk diam dan bahkan ada yang terkadang sampai menangis.

Perilaku anak tersebut sayangnya sering kali diabaikan oleh orang tua ataupun guru di sekolah. Mereka pada umumnya menganggap perilaku anak tersebut disebabkan oleh sifatnya yang pemalu. Hal ini menyebabkan orang tua ataupun guru jarang yang mengeluhkan perilaku anak tersebut dibandingkan dengan anak yang menunjukkan masalah perilaku lainnya seperti senang membuat keributan di kelas, senang melawan guru, atau anak yang senang berkelahi dengan temannya.

Kondisi tersebut diatas menyebabkan kasus anak dengan keluhan pendiam, pemalu, sulit tampil dan sulit berteman menjadi jarang dilaporkan dan cenderung diabaikan. Padahal, perilaku anak yang demikian merupakan gejala dari salah satu


(20)

gangguan mental anak yaitu social phobia. Social phobia sendiri merupakan kecemasan berlebihan yang muncul karena adanya kekhawatiran memperoleh evaluasi negatif dari orang lain saat individu terlibat dalam aktivitas atau situasi sosial tertentu (NIMH, 2013).

Saat ini di Indonesia, hasil penelitian mengenai social phobia masih relatif jarang ditemukan sehingga data-data yang diperoleh juga masih dapat dikatakan minim. Sebaliknya, berbagai studi yang dilakukan di belahan dunia lainnya menunjukkan tingginya angka kasus social phobia. Salah satu hasil penelitian terdahulu di Amerika Serikat menyatakan social phobia merupakan masalah kesehatan mental terbesar ketiga di dunia dengan prevalensi sebesar 13.3% (Kessler dkk, 1994). Sementara itu dilaporkan juga bahwa sebesar 10-15% individu di dunia ini mengalami kondisi tersebut pada tingkat yang signifikan (APA, 2004). Berbagai hasil penelitian di beberapa negara lainnya menunjukkan prevalensi yang beragam. Sebuah survey di New Zealand melaporkan bahwa 11,1% remaja berusia 18 tahun memenuhi kriteria social phobia (Feehan dalam NICE, 2013). Hasil penelitian lainnya di Australia menyatakan social phobia berada di posisi kedelapan sebagai gangguan mental yang paling umum dijumpai pada pria dan wanita berusia 15 hingga 24 tahun (Lampe, dkk, 2003). Angka prevalensi yang tinggi yaitu 4.7% hingga 9% juga ditemukan di Brazil (Rocha dkk, 2005).

Social phobia pada umumnya pertama kali terdeteksi di usia anak-anak akhir, atau di awal maupun pertengahan usia remaja (Kessler, 2005). Meskipun demikian hasil penelitian terdahulu ada yang menemukan bahwa social phobia dapat terdeteksi lebih dini pada saat usia anak 8 tahun (Velting, 2001). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian lainnya yang menemukan kasus social phobia pada setting klinis sebesar 29-40% dan membuatnya menjadi salah satu bentuk gangguan kecemasan yang paling umum


(21)

dijumpai pada anak-anak (Hammerness, dkk; Kendall, dkk dalam Hitchcock, dkk, 2009). Sementara itu dikatakan bahwa gejala-gejala social phobia lebih tinggi tingkatannya pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki (Inam, Mahjabeen, dan Abiodullah, 2012).

Social phobia berbeda dengan kecemasan biasa yang terkadang dialami ketika berhadapan dengan situasi baru atau saat harus tampil menyampaikan pidato di depan banyak orang. Anak dengan social phobia merasa takut untuk melakukan kegiatan rutinnya sehari-hari seperti makan atau minum di depan orang lain, membeli sesuatu di supermarket atau menggunakan toilet umum. Ketakutan tersebut menyebabkan anak memandang situasi sosial sebagai suatu hal yang mengancam dan harus dihindari.

Terdapat sejumlah situasi sosial yang menimbulkan kecemasan bagi anak dengan social phobia (Morris, 2004). Secara umum situasi tersebut terdiri dari interaksi sosial dan performance. Adapun situasi yang melibatkan interaksi sosial antara lain menghadiri pesta, bertemu dengan orang asing, terlibat dalam percakapan, mempertahankan kontak mata, berbicara dengan figur otoritas, dan bersikap asertif. Sedangkan situasi yang melibatkan performance seperti berbicara di hadapan sekelompok orang, makan atau minum bersama orang lain, menggunakan toilet umum, dan tampil di hadapan orang lain. Sebuah hasil penelitian yang terdahulu menemukan bahwa 60% situasi yang mencemaskan ternyata dialami oleh anak di sekolah (Strauss dan Last, dalam Morris, 2004). Hal ini tidaklah mengherankan karena anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Lebih lanjut dikatakan bahwa situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan anak dengan social phobia di sekolah adalah ketika berinteraksi dengan temannya, menjalani ujian, tampil di depan guru dan teman-teman serta membaca dengan keras di depan kelas.


(22)

Berdasarkan uraian sebelumnya, telah disampaikan data-data yang menunjukkan tingginya kasus social phobia di berbagai negara. Namun sayangnya, tingginya angka tersebut berbanding terbalik dengan penanganan yang dilakukan. Gangguan ini sering kali kurang disadari dan dibiarkan begitu saja tanpa penanganan apapun. Berdasarkan sebuah survey yang dilakukan oleh National Comorbidity Survey Replication Study (NCS-R, dalam Schneider dan Levenson, 2008) rata-rata durasi penundaan perolehan penanganan untuk social phobia adalah 16 tahun lamanya. Hanya 45% dari individu dengan social phobia yang memperoleh penanganan. Tidak hanya itu, ketika terdeteksi, social phobia ditemukan bersamaan dengan gangguan mental lainnya. Oleh karena itu social phobia harus dideteksi dan ditangani sedini mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang disebabkan oleh penghindaran yang dilakukan anak terhadap interaksi sosial.

Social phobia dapat menimbulkan berbagai hambatan dan kendala dalam keberfungsian anak sehari-hari. Perilaku menghindar yang kerap dilakukannya dapat menyebabkan anak tidak memiliki banyak teman serta masalah lainnya seperti prestasi akademis yang rendah. Selain itu anak dengan social phobia juga cenderung memiliki harga diri yang rendah serta mengalami hambatan dalam kemampuan sosial (Chavira, Stein; Van Ameringen dkk; Fordham dan Stevenson dalam Hitchcock dkk, 2009). Social phobia pada anak juga menjadi faktor resiko berkembangnya gangguan psikologis lainnya di kemudian hari (Wittchen, Stein dan Kessler dalam Melfsen dkk, 2011).

Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui bahwa social phobia apabila tidak segera ditangani maka akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Perilaku menghindar yang kerap dilakukan anak pada saat berada dalam situasi sosial dapat menyebabkan terhambatnya proses belajar mengajar di sekolah dan mempengaruhi


(23)

prestasi akademisnya. Perilaku menghindar pada anak dengan social phobia juga dapat menghambat sosialisasinya sehingga interaksinya cenderung terbatas dan kemampuan sosialnya kurang berkembang. Deteksi dan penanganan sedini mungkin sangatlah diperlukan.

Gejala-gejala social phobia pada anak dapat dilihat dari tiga aspek yaitu fisiologis, perilaku dan kognitif. Secara fisiologis, anak akan mengalami peningkatan aktivitas otonom saat berada pada situasi sosial seperti meningkatnya denyut jantung, berkeringat dingin, wajah yang memerah, mual, masalah dengan pencernaan, dan tegangan otot (Hitchcock dkk, 2009). Kecemasan ini juga dapat terlihat dari perilaku anak yang kerap kali menghindar dari situasi sosial, sensitif, emosi yang meledak-ledak, menangis, selalu menempel pada orang tua, serta terlampau berhati-hati. Selain perilaku menghindar, ada juga yang disebut dengan safety behavior yang kerap dilakukan oleh anak dengan social phobia. Safety behavior merupakan perilaku yang dilakukan untuk mengurangi rasa cemas pada situasi sosial. Selain itu anak dengan social phobia juga sering digambarkan sebagai anak yang sangat peka akan kritikan dan tidak asertif terhadap teman-temannya (Bruch dan Heimberg dalam Hitchcock dkk, 2009). Sedangkan dari aspek kognitif, anak cenderung sangat memikirkan penilaian dari orang lain dan menganggap situasi sosial sebagai sesuatu yang mengancam (Barret, Rapee, Dadds, dan Ryan dalam Hitchcock dkk, 2009).

Hasil penelitian menemukan bahwa baik pada orang dewasa maupun anak-anak yang mengalami gangguan psikologis mengalami distorsi tingkat tinggi pada proses berpikirnya yang terkait dengan automatic thought (Wright, Beck & Thase, 2003). Demikian juga halnya dengan anak yang mengalami social phobia. Anak dengan social phobia memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak mampu dan tidak normal sehingga selalu melakukan kesalahan dan tidak diterima oleh orang lain. Anak yang mengalami


(24)

kondisi ini sangat peka terhadap sinyal-sinyal yang menunjukkan adanya kemungkinan penilaian negatif dari orang lain. Anak menjadi terlalu fokus terhadap sinyal-sinyal tersebut sehingga akhirnya tanpa disadari ia terlampau menyalahkan diri sendiri dan memunculkan distorsi persepsi terhadap perilaku orang lain (Ito dkk, 2008). Stimulus netral pun kemudian disalahartikan sebagai sesuatu yang negatif, sedangkan stimulus positif cenderung diabaikan. Demikian juga halnya dengan memorinya akan pengalaman di masa lalu yang berhasil ia lewati dengan baik cenderung kurang ia perhatikan. Distorsi kognitif tersebut kemudian akan mengaktifkan sistem saraf autonom dan memunculkan simptom-simptom kecemasan yang selanjutnya menjadi penguat bagi gambaran diri yang negatif, perasaan tidak mampu, perasaan terhina dan yang akhirnya membuat anak dengan social phobia menarik diri dan menghindar dari situasi sosial. Perilaku menghindar pun membuat anak semakin menyalahkan dirinya, siklus ini akan terjadi secara terus menerus (Clarks dan Well dalam Ito dkk 2008).

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa social phobia memicu tiga bentuk respon yaitu kognitif, perilaku dan fisiologis. Ketiganya saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa respon perilaku yaitu perilaku menghindar terhadap situasi sosial dapat menyebabkan berbagai kendala dan hambatan bagi anak. Oleh karena itu, respon perilaku menghindar pada anak dengan social phobia diharapkan dapat diturunkan melalui program intervensi Coping Cat Kendall. Program ini sendiri merupakan program intervensi yang dikhususkan untuk menangani gangguan kecemasan pada anak. Terapis dalam intervensi ini mengajarkan pada anak bahwa mengalami kecemasan adalah suatu hal yang wajar. Anak belajar untuk mengidentifikasi proses kognitif yang terlibat dan mengembangkan coping skills sehingga anak mampu menghadapi rasa takutnya dan tidak perlu menghindarinya. Melalui latihan-latihan yang dilakukan selama sesi terapi dan di luar sesi terapi, maka


(25)

anak dapat yakin bahwa kemampuan copingnya ternyata berhasil (Seligman & Reichenberg, 2012).

Efektivitas Coping Cat telah banyak didokumentasikan dalam sejumlah literatur (Silva, dkk, 2006; Velting, dkk, 2004). Program ini disebut sebagai panduan CBT yang aplikasinya tersebar luas untuk mengatasi kecemasan pada anak (Velting, dkk, 2004) dan telah berhasil dilakukan di Amerika Serikat, Australia dan Canada. Program Coping Cat sangat dapat diadaptasi dan juga efektif apabila dilakukan pada kelompok dan dijalankan bersamaan dengan manajemen kecemasan keluarga. Selain itu, program Coping Cat juga berhasil diterapkan pada berbagai etnik budaya dan gender. Penelitian yang dilakukan oleh Kendall (dalam Mash dan Wolve, 2010) menunjukkan program

Coping Cat efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak, setelah

memperoleh intervensi ini anak tidak lagi memenuhi kriteria untuk gangguan kecemasan.

Berdasarkan pertimbangan dari penelitian sebelumnya bahwa Coping Cat efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak maka peneliti tertarik untuk menggunakan program intervensi Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Perilaku menghindar yang menjadi karakteristik dari social phobia sering kali diabaikan dan tidak mendapat perhatian oleh orang tua maupun guru di sekolah. Padahal hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak karena dapat menghambat fungsi akademis dan sosial anak serta berkembangnya gangguan yang lebih serius. Dengan demikian peneliti memandang masalah social phobia pada anak perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius.


(26)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana efektivitas Coping Cat Kendall dalam menurunkan social phobia pada anak?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas Coping Cat Kendall dalam menurunkan social phobia pada anak.

1.4. Manfaat penelitian

1.4.1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Psikologi Klinis Anak

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai aplikasi nyata psikologi klinis anak terkait penerapan program Coping Cat Kendall dalam upaya untuk menanggulangi gejala-gejala kecemasan pada anak khususnya yang mengalami Social Phobia.

1.4.2. Perkembangan Pelayanan Psikologi

Hasil penelitian mengenai efektivitas Coping Cat Kendall diharapkan mampu menjadi acuan atau pedoman bagi psikolog klinis anak sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan psikologi.

1.4.3. Perkembangan Riset Psikologi

Manfaat penelitian lainnya adalah sebagai dasar pengembangan riset psikologi. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran efektivitas Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Pengembangan riset psikologi yang dilakukan akan


(27)

meningkatkan kemampuan dan keterampilan psikolog dalam melaksanakan terapi khususnya menggunakan Coping Cat Kendall pada anak dengan social shobia.

1.5 Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan

Berisikan uraian mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Kajian yang diperoleh dari penelaahan pustaka meliputi kajian literatur dan hal-hal yang terkait social phobia dan Coping Cat Kendall.

Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian, gambaran subjek penelitian, dan rancangan program intervensi Coping Cat Kendall.

Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian

Berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Social Phobia

2.1.1. Definisi Social Phobia

Istilah social phobia pertama kali diciptakan oleh Janet pada tahun 1903 (dalam Heimberg dkk, 1995) untuk menggambarkan pasiennya yang cemas ketika diamati oleh orang lain saat sedang berbicara, atau melakukan aktivitas seperti bermain piano dan menulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahui sejak masa Hippocrates (dalam Heimberg dkk, 1995). Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR; APA, 2004) social phobia atau juga sering diistilahkan dengan social anxiety disorder adalah ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Karakteristik utama dari social phobia adalah ketakutan yang berlebihan bahwa dirinya akan dilihat dan diamati oleh orang lain. Individu dengan social phobia merasa sangat terganggu dengan adanya kemungkinan bahwa ia akan melakukan kesalahan atau menunjukkan tanda-tanda kecemasan yang akhirnya membuat ia dipermalukan di depan orang lain.

2.1.2. Kriteria diagnostik social phobia

Berikut adalah kriteria diagnostik social phobia berdasarkan DSM-IV TR (APA, 2004):

A.Ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau situasi saat harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal


(29)

dengan baik atau situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Individu merasa takut dirinya akan melakukan sesuatu yang memalukan atau menunjukkan gejala-gejala kecemasannya di hadapan orang lain.

Diagnosis social phobia dapat ditegakkan pada anak jika anak tersebut terbukti memiliki kapasitas yang sesuai dengan usianya untuk membina hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dengan baik, kecemasan juga harus muncul pada saat interaksi dengan teman sebaya, bukan hanya saat berinteraksi dengan orang dewasa.

B.Saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakuti, kecemasan akan muncul dalam bentuk serangan panik. Pada anak-anak, kecemasan muncul dalam bentuk perilaku seperti menangis, tantrum, diam membisu, atau bersembunyi dari situasi sosial yang terdiri dari orang-orang yang belum dikenalnya.

C.Individu menyadari bahwa ketakutan yang ia rasakan adalah berlebihan dan tidak masuk akal. Pada anak-anak, kriteria ini tidak termasuk.

D.Individu menghindar dari situasi sosial yang ditakuti atau apabila tetap berada pada situasi tersebut, ia akan mengalami kecemasan yang hebat.

E.Perilaku menghindar, antisipasi kecemasan atau kesulitan yang dialami dalam situasi sosial yang ditakuti menimbulkan gangguan secara signifikan dalam rutinitas normal individu, fungsi pekerjaan atau akademis, hubungan sosial atau individu terlihat tertekan dengan fobia yang dialaminya.

F. Jika individu berusia di bawah 18 tahun, maka gejala-gejala tersebut berlangsung selama sekurang-kurangnya 6 bulan.

G.Ketakutan atau perilaku menghindar bukan disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat tertentu (misalnya narkotika atau obat-obatan) atau kondisi medis dan kondisi ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lainnya.


(30)

H.Apabila disertai oleh kondisi medis atau gangguan mental lainnya maka ketakutan yang tertera pada kriteria A tidak berhubungan dengan kondisi tersebut.

Spesifikasi:

Generalized: apabila kecemasan muncul hampir pada setiap situasi sosial (dipertimbangkan juga Avoidant Personality Disorder sebagai diagnosis tambahan).

2.1.3. Situasi yang ditakuti pada social phobia

Secara umum, terdapat dua situasi yang ditakuti oleh individu dengan social phobia (Liebowitz, dalam Heimberg dkk, 1995) yaitu:

a. Situasi interaksi sosial

Yang termasuk dalam situasi interaksi sosial adalah pesta, bertemu dengan orang asing, percakapan sehari-hari, berbicara dengan figur otoritas, mempertahankan kontak mata, bersikap asertif.

b. Situasi performance

Berbicara di hadapan sekelompok orang, makan atau minum di depan orang lain, menggunakan toilet umum, tampil di depan orang lain.

Sebuah skala kemudian dikembangkan oleh Liebowitz untuk mengetahui tingkat kecemasan individu terhadap masing-masing tipe situasi sosial tersebut. Banyaknya situasi yang dicemaskan oleh individu dengan social phobia dapat bervariasi. DSM-IV-TR sendiri mengkhususkan dua jenis social phobia yaitu “generalized” apabila individu merasa cemas hampir pada setiap situasi sosial, dan “specific” jika kecemasan muncul hanya pada situasi tertentu, misalnya saat berbicara formal atau tampil di depan umum (APA, 2004).


(31)

2.1.4. Karakteristik simptom social phobia

Karakteristik simptom social phobia dapat dilihat melalui 3 aspek sebagai berikut (Clarks dan Wells, dalam Crozier & Alden, 2001):

a. Aspek kognitif

Individu dengan social phobia sangat mengkhawatirkan tentang bagaimana orang lain akan mempersepsikan dan menilai dirinya. Kecemasan pada individu dengan social phobia disebabkan oleh adanya distorsi kognitif berupa pikiran-pikiran negatif, persepsi akan kekurangan diri, standar yang tinggi saat tampil di hadapan orang lain, dan keyakinan irasional mengenai standar yang digunakan orang lain untuk menilai dirinya. Pada saat akan memasuki situasi sosial tertentu, individu dengan social phobia memikirkan secara detil tentang apa yang akan terjadi dan bagaimana dia akan menghadapi kesulitannya. Pikiran-pikiran negatif tersebut tetap ada saat ia telah masuk dalam situasi sosial tersebut. Bahkan setelah keluar dari situasi tersebut, individu masih membayangkan secara detil apa yang telah terjadi pada dirinya.

b. Aspek perilaku

Pada saat menghadapi situasi sosial yang ditakutinya, individu dengan social phobia kerap memunculkan avoidance behavior yang memiliki 3 bentuk sebagai berikut:

- Avoidance

Hal ini dilakukan dengan cara menghindar sepenuhnya dari situasi sosial yang ditakuti.

- Escape

Respon ini dilakukan apabila individu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari situasi sosial tertentu. Individu pun akhirnya memasuki


(32)

situasi tersebut namun kemudian berusaha untuk keluar dari situasi tersebut lebih awal.

- Safety behavior/partial avoidance

Apabila avoidance dan escape behavior tidak mungkin dilakukan, maka individu dengan social phobia biasanya melakukan safety behavior/partial avoidance yang digunakan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan seperti misalnya menghindari kontak mata, berbicara dengan cepat, berbicara dengan suara pelan, atau duduk di kursi bagian belakang.

c. Aspek fisiologis

Individu dengan social phobia mengalami sejumlah reaksi somatis saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakutinya. Reaksi ini muncul akibat meningkatnya aktifitas sistem saraf otonom, adapun diantaranya adalah jantung berdebar kencang, wajah memerah, keringat, gemetaran, otot tegang, serta perut terasa tidak enak.

2.1.5. Faktor Etiologi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya social phobia yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis, peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan (Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001).

a. Kerentanan Genetik

Beberapa hasil penelitian membuktikan peran faktor genetik terhadap social phobia. Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap saudara


(33)

kembar, berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar 24.4% untuk kembar monozigot perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki (Kendler dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Penelitian lainnya dilakukan untuk mengetahui faktor resiko social phobia dalam sebuah keluarga dengan cara membandingkan antara individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dengan individu yang tidak memiliki kerabat pasien social phobia. Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan rata-rata social phobia pada individu yang memiliki kerabat pasien social phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Meskipun demikian, ternyata banyak juga individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dan saudara kembar dari pasien social phobia tidak mengalami gangguan ini. Dengan demikian faktor lain mungkin turut berperan dalam terjadinya social phobia. Dilaporkan juga dari hasil pencitraan otak dan teknik genotyping bahwa serotonin pengangkut protein dan kepadatan reseptor dopamine berpengaruh pada patogenesis social phobia dan generalized anxiety disorder (Schmidt dkk; Tiihonen dalam Kashdan dan Herbert, 2001).

b. Temperamen Behavioral Inhibition

Beberapa studi menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristik pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian hari (Stemberger dkk, Turner dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun usia munculnya social phobia rata-rata 15 tahun, namun karakteristik pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan (Kagan dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Kagan menggunakan istilah behavioral inhibition (BI) untuk menggambarkan kecenderungan bada bayi dan anak-anak untuk menarik diri dari situasi, orang maupun objek yang baru baginya. Anak dengan temperamen ini semasa


(34)

bayinya digambarkan sebagai bayi yang mudah terganggu dan kurang tidur, mudah cemas di masa balita, dan menarik diri sejak masa anak-anak hingga dewasa (Kagan dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta menyebutkan adanya hubungan antara BI dengan berkembangnya gangguan kecemasan (Biederman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti 2.242 mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya untuk mengalami social phobia.

BI juga dikatakan berhubungan dengan tingginya negative affect (NA) dan rendahnya positive affect (PA) yang merupakan ciri dari individu dengan social phobia (Brown dkk; Watson dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen ini memiliki ambang batas reaksi fisiologis yang rendah, NA yang tinggi dikarakteristikkan menunjukkan reaksi fisiologis yang berlebihan, mudah takut terhadap situasi maupun orang yang baru baginya. PA yang rendah bersumber dari kecenderungan menghindari situasi maupun orang baru. Sesuatu hal yang baru dikatakan tidak hanya menimbulkan kecemasan dan penolakan, akan tetapi juga dapat memunculkan emosi positif seperti minat, ketertarikan dan kesenangan (Izard dan Hyson; Spielberger dan Starr dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen BI cenderung mudah curiga dan sangat berhati-hati sehingga saat menghadapi situasi yang baru mereka kurang bereksplorasi dengan lingkungan. Namun demikian tidak semua anak dengan temperamen BI akan mengalami social phobia. Schwartz (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) dalam penelitiannya menemukan hanya 34% remaja yang semasa anak-anaknya tergolong dalam temperamen BI yang menunjukkan simptom social phobia pada usia 13 tahun. Hal ini berarti terdapat faktor


(35)

lainnya yang dapat mempengaruhi berkembangnya social phobia termasuk diantaranya pengalaman hidup (Stein dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

c. Pengalaman dari lingkungan

Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Setiap pengalaman tersebut berpotensi untuk menciptakan umpan balik negatif terkait dengan kecemasan, perilaku menghindar dan hambatan dalam kemampuan sosial.

Orang tua berpengaruh terhadap resiko berkembangnya simptom-simptom social phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkan kecenderungan negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampau melindungi dan posesif. Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinan negatif mengenai ancaman yang ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkan penilaian dari orang lain kepada anak (Chorpita dkk; Ginsburg dkk; dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengan social phobia cenderung mempersepsikan orang tuanya sebagai sosok dengan pergaulan yang terbatas dan kerap menghindar dari situasi sosial serta jarang berkumpul bersama teman ataupun keluarga (Bruch & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengasuhan yang menekankan


(36)

pentingnya penilaian dari orang lain atau kurangnya komunikasi dan ekspresi emosional dapat mengembangkan sifat pemalu dan rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak (Melfsen dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

Pada penelitian lainnya, Vernberg dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa saat anak dengan social phobia masuk ke sekolah baru ia lebih mengalami kesulitan untuk berteman dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami social phobia. Kecemasan sosial yang tinggi secara signifikan menyebabkan kurangnya interaksi dan kedekatan yang merupakan faktor penting untuk mengembangkan hubungan pertemanan. Sebuah fakta yang menarik ditemukan yaitu bahwa kecemasan pada anak dengan social phobia juga muncul terhadap teman-teman yang sudah dikenalnya dengan baik bukan semata-mata terhadap situasi atau orang yang baru dikenalnya (Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remaja seperti presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh teman sebaya juga dapat memicu simptom-simptom social phobia (Albano & Barlow dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai masalah ini namun fakta yang ada menunjukkan bahwa cemoohan dari teman sebaya berhubungan positif dengan kecemasan sosial dan perilaku menghindar pada anak laki-laki maupun perempuan (Asher & Coie; Slee dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Pada sebuah penelitian terhadap orang dewasa dengan karakter pemalu, dilaporkan bahwa pengalaman dicemooh dan dipermalukan oleh teman sebaya dianggap sebagai peristiwa di masa kanak-kanak yang memunculkan ketakutan dan perilaku menghindar (Ishiyama dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).


(37)

2.1.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom social phobia

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom social phobia yaitu bias kognitif, hambatan kemampuan sosial dan operant conditioning (Beck dkk; Clark & Wells; Musa & Lepine dalam Kashdan & Heirbert, 2001). Menurut pendekatan kognitif, inti dari social phobia adalah adanya keinginan yang kuat untuk tampil dan disukai oleh orang lain namun disertai oleh persepsi ketidakmampuan diri untuk melakukan hal tersebut. Individu dengan social phobia merasa yakin bahwa dirinya akan melakukan sesuatu yang akan menimbulkan penolakan dan penilaian negatif dari orang lain. Keyakinan ini ditambah dengan persepsi tentang adanya penilaian dari orang lain menimbulkan pernyataan diri negatif dan membuat individu menjadi terobsesi dengan penampilan sosial orang lain (Hartman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hal inilah yang kemudian terwujud menjadi simptom kecemasan dalam bentuk reaksi fisiologis dan perilaku. Reaksi fisiologis seperti wajah yang memerah, berkeringat dingin, gangguan pencernaan lalu diinterpretasikan oleh individu sebagai bukti bahwa ia tidak berhasil yang pada akhirnya semakin meningkatkan kecemasan. Individu pun menjadi fokus pada pikiran negatifnya, reaksi somatis serta sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa orang lain menilai buruk dirinya. Hal ini kemudian akan menghambat fungsi sosial individu tersebut (Hope, Gansler & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

Hambatan dalam kemampuan sosial juga dikatakan berpengaruh terhadap bertahannya simptom-simptom social phobia. Spence dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa remaja dengan social phobia lebih cemas dan menunjukkan kemampuan sosial yang buruk dibandingkan dengan kelompok individu yang tidak mengalami social phobia. Penelitian lainnya menemukan bahwa anak


(38)

dengan social phobia cenderung kurang bergaul dan juga kurang mendapatkan dukungan dan penerimaan dari teman sebaya (La Greca dan Lopez dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta-fakta ini sering disalah artikan oleh individu dengan social phobia, ia menganggap dirinya memiliki hambatan dalam kemampuan sosial. Sesungguhnya permasalahan yang berkaitan dengan perilaku sosial bisa jadi mencerminkan adanya hambatan dalam keterampilan sosial, atau kemungkinan permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari kecemasan yang berlebihan.

Faktor-faktor lainnya seperti penguat negatif terhadap perilaku menghindar yang sering muncul dari interaksi orang tua dan anak, hubungan dengan teman sebaya, serta ingatan akan peristiwa traumatis juga mempengaruhi bertahannya simptom-simptom social phobia. Penguat negatif dapat muncul sewaktu individu berusaha untuk menghindari suatu situasi dan merasa lega saat ia berhasil menghindar dari situasi tersebut. Demikian juga halnya dengan peristiwa traumatis, misalnya dengan menyaksikan seseorang yang terjatuh di muka umum juga dapat menjadi penguat negatif serta menimbulkan perasaan lega pada individu dengan social phobia. Orang tua sering kali tanpa disadari memberikan penguat negatif kepada anak dengan cara membantu anak untuk menghindari situasi yang ditakutinya, misalnya dengan menuliskan surat izin kepada guru agar anaknya tidak masuk sekolah. Faktor-faktor operant yang menguatkan pola perilaku menghindar ini dapat mempengaruhi tugas-tugas perkembangan anak. Sebagai contoh kesempatan anak untuk menguasai keterampilan penting dalam interaksi sosial seperti membina hubungan persahabatan dan mencapai kemandirian dari keluarga menjadi terbatas. Perilaku menghindar berlebihan pada masa-masa penting perkembangan seorang anak berpengaruh negatif terhadap perkembangan keterampilan sosial anak dan menjadi penguat bagi bias kognitif yang maladaptif.


(39)

2.2. Coping Cat

2.2.1. Definisi Coping Cat

Program Coping Cat dikembangkan oleh Philip C. Kendall, seorang ahli psikologi klinis yang memfokuskan terapinya pada anak-anak dan remaja. Program ini sendiri dikhususkan untuk penanganan gangguan kecemasan terutama untuk anak-anak berusia 7 hingga 13 tahun yang memenuhi kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk separation anxiety disorder, social phobia, dan generalized anxiety disorder. Coping Cat mengkombinasikan antara efektivitas pendekatan perilaku dan juga menekankan faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan kecemasan. Program ini juga melibatkan sumber dukungan sosial yang ada, seperti orang tua dan teman sebaya (Kendal & Hedtke, 2006).

Secara keseluruhan, program Coping Cat bertujuan untuk mengajarkan kepada anak dalam mengenali tanda-tanda kecemasan dan menjadikannya isyarat untuk melakukan strategi pengendalian kecemasan. Program ini berdasarkan pada manual yang terstruktur untuk membangun keterampilan anak secara bertahap mulai dari mengidentifikasi proses kognitif yang terkait dengan kecemasan, menerapkan strategi kognitif untuk mengendalikan kecemasan dan mempraktikkannya secara langsung pada situasi yang menimbulkan kecemasan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Coping Cat adalah suatu terapi yang bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan dengan melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif yang terkait dengan kecemasan.


(40)

2.2.2. Konsep Teori dalam Program Coping Cat

Teori Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan dasar dalam memahami Coping Cat Kendall. Hanya saja Kendall lebih memfokuskan penerapan CBT pada anak-anak dan remaja. Kendall mengemukakan definisi tersediri mengenai CBT yaitu sebuah amalgam; kombinasi yang rasional, suatu upaya yang bertujuan untuk mempertahankan efek positif yang terlihat dari prosedur perilaku dalam konteks yang fleksibel dengan melibatkan aktivitas kognitif dan pengalaman emosional klien dalam proses terapi untuk menuju pada perubahan (Kendall dan Hollon, dalam Kendall, 2006). Sesuai dengan definisi tersebut, maka dalam terapinya Kendall menggunakan prosedur latihan aktif dan sesi yang terstruktur (melalui penggunaan manual dan buku kerja) serta strategi-strategi yang ditujukan untuk membawa perubahan pada pola pikir, emosi dan perilaku klien.

Kendall (2006) memfokuskan terapinya dalam menangangi gangguan pada anak-anak dan remaja dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan fisiologis serta aspek-aspek perkembangan lainnya yang terjadi pada fase tersebut. Selain itu terapinya tetap mengutamakan upaya untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan melibatkan kekuatan-kekuatan kognitif yang mempengaruhi proses pengolahan informasi, mengkaitkannya dengan aspek sosial dan emosional, mempertimbangkan peran orang tua atau keluarga terhadap permasalahan yang dialami individu serta penekanan pada performa klien. Penerapan teori tersebut dilakukan melalui prosedur yang terstruktur dan berdasarkan pada manual.

Menurut Kendall (2006), strategi kognitif untuk pemecahan masalah (problem solving) dapat dimaksimalkan melalui aktivitas-aktivitas dalam terapi yang bertujuan dan terencana. Berbagai cara dan model pengolahan informasi sangat mempengaruhi bagaimana individu memandang dunia dan menjalaninya. Proses pengolahan informasi


(41)

yang disfungsional harus dapat disadari dan dimodifikasi. Caranya dengan mengajarkan strategi kognitif baru untuk memperbaiki pola pikir yang salah pada anak-anak maupun remaja.

Kendall (2006) berpendapat bahwa terapinya juga berkaitan erat dengan aspek emosi baik positif maupun negatif. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku individu karena ia menganggap bahwa kognisi, emosi dan perilaku saling berhubungan satu dengan yang lain. Kemampuan individu untuk memecahkan masalah juga membutuhkan pemahaman serta modifikasi terhadap kondisi emosi. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall sangat memperhatikan dan memfokuskan pada kondisi emosi klien.

Aspek sosial dan interpersonal juga memberikan kontribusi yang tidak kalah pentingnya terhadap gangguan yang dialami klien. Kendall (2006) mempertimbangkan pentingnya hubungan sosial baik dengan keluarga maupun teman sebaya terhadap penyesuaian psikologis yang sehat. Klien harus memiliki kemampuan adaptasi serta coping yang efektif terhadap situasi sosial. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall melibatkan orang tua namun tentunya hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk gangguan yang dialami anak serta tahap perkembangannya. Pada anak dengan separation anxiety disorder, keterlibatan orang tua akan sangat berpengaruh dan memberi dampak positif. Sedangkan untuk kasus remaja yang mengalami depresi, akan lebih baik apabila orang tua tidak dilibatkan dalam sesi terapi karena mereka pada umumnya lebih nyaman menjalani terapi secara terpisah.

Kendall (2006) melakukan prosedur dalam terapinya dengan berdasarkan pada manual yang terstruktur. Sama halnya dengan teori, struktur juga dapat memandu jalannya terapi, fokus pada tujuan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan pengalaman anak berkaitan dengan aspek kognitif, emosi, perilaku, sosial dan keluarga.


(42)

Manual dapat memudahkan terapis mengarahkan anak-anak dalam mengikuti jalannya terapi serta menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Penting untuk diingat bahwa terapi berdasarkan manual bukanlah bersifat kaku melainkan ditujukan untuk diaplikasikan secara fleksibel (Kendall dan Beidas, 2007). Terapis dapat melakukan adaptasi dalam proses terapi berdasarkan manual sesuai dengan kebutuhan klien selama tetap konsisten dengan strategi-strategi CBT. Kendall menggunakan buku kerja (workbook) (Kendall dan Hedtke, 2006) untuk anak agar mereka dapat belajar dan melatih kemampuan yang baru diperolehnya secara terstruktur. Selain itu pemberian buku kerja juga konsisten dengan metode pembelajaran yang diperoleh anak-anak di sekolah.

Terapi yang dirancang oleh Kendall (2006) menekankan pentingnya performa klien yang dalam hal ini adalah anak-anak dan remaja. Beberapa intervensi yang dilakukan pada orang dewasa pada umumnya bertujuan untuk membantu klien memperoleh insight atau pemahaman akan masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, program intervensi yang difokuskan pada klien anak-anak dan remaja bertujuan untuk memperbaiki distorsi pada pola pikir, emosi, dan perilaku melalui praktek atau latihan secara langsung yang disertai oleh dorongan dan feedback dari terapis. Dengan demikian anak diharapkan mampu menggunakan kemampuan sosial dan kognitifnya dengan lebih baik. Selain itu latihan juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi intrinsik klien khususnya bagi klien yang terlihat kurang bersemangat dalam menjalani terapi. Bagi klien usia anak dan remaja, perubahan tidak dapat diperoleh hanya melalui percakapan atau dialog karena tingkat perkembangan kognitif mereka yang belum memadai. Oleh karena itu mereka harus diberikan kesempatan untuk melatih strategi-strategi yang baru diperolehnya secara langsung.


(43)

2.2.3. Komponen dalam Program Coping Cat Kendall

Program Coping Cat terdiri dari komponen afektif, kognitif dan perilaku yang kemudian dikombinasikan untuk mengatasi kecemasan pada anak (Kendall, 2006). Adapun komponen-komponen tersebut antara lain:

a. Komponen afektif

- Affective education

Anak diajarkan untuk mengenal berbagai macam emosi dan ekspresi wajah serta bahasa tubuh yang sesuai.

- Awareness of bodily reactions when anxious

Anak diajarkan untuk mengenal reaksi-reaksi tubuh terhadap berbagai emosi dan mengidentifikasi reaksi tubuhnya bagaimanakah yang muncul saat ia cemas. Hal ini penting untuk membuat anak terlebih dahulu menyadari kondisi dirinya yang sedang cemas sebelum mulai melakukan rencana untuk mengatasi kecemasan.

- Somatic management

Prosedur ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak akan kondisi tubuhnya saat cemas dan mengajarkan cara untuk mengurangi ketegangan yang dirasakannya tersebut. Terdapat dua prosedur somatic management yang umum digunakan yaitu:

1. Diaphragmatic breathing

Dilakukan dengan cara menarik nafas dalam-dalam dan difokuskan pada perut. Peneliti menginstruksikan anak untuk melakukan prosedur ini selama beberapa kali. Prosedur ini juga tergolong ringan dan tidak kentara jika dilakukan pada situasi yang menimbulkan kecemasan.


(44)

Prosedur ini dilakukan dengan cara melemaskan bagian-bagian otot tertentu sehingga anak dapat membedakan sensasi tubuh di saat tegang dan di saat tenang. Pada anak-anak, dapat digunakan cerita sebagai instruksinya agar lebih memudahkan anak untuk memahami dan melaksanakannya.

b. Komponen kognitif

- Identification and modification of anxious self talk

Prosedur ini dilakukan untuk mengubah distorsi kognitif (anxious self talk) pada anak. Terdapat berbagai cara untuk melakukannya, salah satunya dengan memperlihatkan gambar kartun dan gelembung pikiran. Anak kemudian diminta untuk mengisi gelembung pikiran yang masih kosong pada gambar tersebut. Terapis kemudian mengajak anak untuk menganalisa isi pikirannya tersebut dan memberikan sejumlah pertanyaan untuk menantang atau membuktikannya. Cara lain yang dapat dilakukan adalah terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara mengidentifikasi dan mengubah distorsi kognitif pada situasi yang menimbulkan kecemasan.

- Problem solving

Prosedur ini dilakukan untuk mengajarkan anak membuat dan menetapkan langkah-langkah alternatif yang dapat dilakukan ketika menghadapi situasi yang menimbulkan kecemasan sehingga anak tidak lagi melakukan penghindaran terhadap situasi tersebut. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah:

1. Menentukan masalah: “situasi apa yang menimbulkan kecemasan?” 2. Mengumpulkan berbagai solusi: “apa saja yang dapat dilakukan untuk


(45)

3. Mengevaluasi solusi yang tersedia: “solusi manakah yang memungkinkan?” “apakah solusi tersebut masuk akal untuk dilakukan?” 4. Memilih solusi yang lebih dirasakan sesuai: “solusi mana yang paling

tepat?” c. Komponen perilaku

- Self reward

Prosedur ini dilakukan setelah anak melakukan evaluasi terlebih dahulu atas usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi kecemasan. Terapis selanjutnya mendorong anak untuk memberi reward terhadap dirinya sendiri berdasarkan usaha dan performance yang telah dilakukannya.

- Exposure

Prosedur ini dapat dilakukan secara imaginal maupun in vivo exposure Terapis menghadirkan situasi yang menimbulkan kecemasan pada anak secara bertahap mulai dari situasi dengan tingkat kecemasan yang paling rendah hingga tingkat kecemasan yang paling tinggi.

2.2.4. Teknik-teknik dalam program Coping Cat Kendall

Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa teknik yang digunakan dalam program Coping Cat Kendall (Kendall, 2010) antara lain:

a. Graduated sequence of training tasks and assignments

Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan rangkaian tugas latihan secara bertahap kepada anak yang dilengkapi dengan materi dalam workbook atau buku kerja.


(46)

b. Coping modeling

Selama program intervensi berlangsung, terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara melakukan strategi FEAR yang telah dipelajari satu persatu. Terapis juga memberikan contoh apa yang harus dilakukan saat mengalami kesulitan dalam melaksanakan strategi FEAR.

c. Role play

Terapis terlebih dahulu memperlihatkan kepada anak bagaimana cara menghadapi situasi yang ditakutinya lalu kemudian anak diajak untuk berpartisipasi dalam situasi yang dicontohkan terapis. Selanjutnya anak diminta melakukan role play seorang diri pada situasi yang ditakutinya secara bertahap.

d. Homework assignment/Show-That-I-Can (STIC) tasks

Homework assignment diberikan kepada anak untuk dikerjakan di luar sesi terapi untuk membantu anak menerapkan apa yang telah dipelajarinya selama sesi terapi.

e. Contingent rewards

Rewards atau reinforcement diberikan kepada anak setiap kali ia

mengerjakan homework assignment yang diberikan. Melalui latihan yang berulang dan reinforcement yang diberikan akan membantu meningkatkan keyakinan diri anak dan menumbuhkan kompetensi diri.

2.2.5. Distorsi kognitif yang diperbaiki dalam Coping Cat Kendall

Distorsi kognitif merupakan pikiran tidak rasional yang dapat memperkuat emosi atau pikiran negatif dalam diri seseorang. Pada program Coping Cat, distorsi kognitif ini berusaha untuk diperbaiki guna menurunkan tingkat kecemasan dan


(47)

perilaku menghindar yang dimunculkan oleh subjek. Terdapat beberapa bentuk distorsi kognitif yang berkaitan dengan kecemasan pada anak dan remaja (Kendall, Podell, Gosch, 2010):

a. Walking with blinders: tidak memikirkan segala hal positif yang mungkin terjadi, hanya memikirkan hal buruk saja.

b. The repetitor: jika sudah pernah terjadi sekali maka pasti akan terulang lagi kejadian yang sama.

c. The catastrophe: selalu memikirkan hal yang paling buruk akan terjadi pada dirinya.

d. The pessimist: berharap segala sesuatunya pasti akan berakhir dengan kegagalan. e. Pick, pick, pick: hanya mendapati hal-hal negatif dalam sebuah situasi.

f. The avoider: menghindar atau menjauh dari semua hal yang membuat cemas.

g. Quick and dirty: langsung menyimpulkan sebelum memperoleh semua bukti.

h. The mind reader: seolah-olah dapat membaca pikiran orang lain dan merasa yakin bahwa orang lain pasti memikirkan hal yang buruk tentang dirinya.

i. The shoulds: pola berpikir “harus”, misalnya harus selalu mengerjakan tugas dengan benar, atau harus tenang dan tidak boleh merasa cemas.

j. The fortune teller: membuat perkiraan sendiri tentang apa yang akan terjadi. k. The perfectionist: berpikir “harus mengerjakan segalanya dengan sempurna”

atau “tidak boleh melakukan kesalahan apapun”.

2.2.6. Tahapan pelaksanaan program Coping Cat Kendall

Program Coping Cat Kendall dilakukan dalam beberapa tahap yang didalamnya melibatkan komponen yang berbeda-beda. Berikut ini adalah uraian tahapan pelaksanaan program Coping Cat (Kendall, 2006):


(48)

a. Psikoedukasi

Pada tahap ini terapis bertugas untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kecemasan. Mulai dari aspek biologis, perilaku dan psikologis dari kecemasan, sifat natural kecemasan, faktor-faktor penyebabnya, serta teknik terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Terapis juga dapat memperbaiki apabila orang tua memiliki pemahaman yang keliru mengenai kecemasan dan konsep terapi.

b. Skills training/coping skills

Pada tahap ini terapis mengajarkan konsep-konsep penting dalam mengendalikan kecemasan yang disingkat dengan FEAR sebagai berikut:

- F: Feeling frightened?

Terapis menyampaikan bahwa langkah pertama untuk mengendalikan kecemasan adalah mengenali perasaan cemas dan membedakannya dari emosi lainnya. Anak diajarkan untuk mengenali ekspresi wajah, postur dan sinyal-sinyal fisiologis yang berhubungan dengan emosi yang berbeda-beda. Konsep kecemasan ini diperkenalkan pada anak secara abstrak dan tidak langsung mengacu pada pengalaman anak .Terdapat banyak aktivitas yang dapat dilakukan, misalnya bersama-sama menggunting gambar orang di majalah yang memperlihatkan emosi yang berbeda-beda. Pada gilirannya, anak akan belajar untuk mengidentifikasi ekspresi fisiologisnya sendiri dengan cara membayangkan saat dalam kondisi cemas dan membuat gambar dirinya saat mengalami kecemasan.

Pada saat anak mulai dapat mengenali reaksi fisiknya saat mengalami kecemasan, anak mulai dapat diajarkan untuk menjadikan reaksi tersebut sebagai


(49)

isyarat untuk melakukan relaksasi. Pada umumnya, anak dapat diajarkan untuk menarik nafas dalam-dalam segera setelah menyadari bahwa dirinya sedang merasa cemas. Anak kemudian belajar prosedur relaksasi secara bertahap yang pertama-tama difokuskan pada otot-otot utama yang berhubungan dengan perasaan cemas. Terapis mencontohkan pada anak bagaimana caranya menggunakan prosedur relaksasi secara tepat. Cara lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan cerita khususnya untuk anak yang usianya lebih muda. Terapis juga dapat memberikan rekaman prosedur relaksasi yang bisa dibawa oleh anak untuk dilatih di rumah. Terapis menekankan pada anak bahwa prosedur relaksasi tersebut dapat dilakukan dengan tepat jika anak sering berlatih menggunakannya.

- E: Expecting bad things to happen?

Terapis mengajarkan anak untuk mengenali pikiran-pikiran cemas. Konsep penting yang diajarkan pada tahap ini adalah mengenai “self talk” yaitu hal-hal yang terlintas dalam benak atau pikiran anak saat merasakan cemas. Self talk dapat berupa harapan anak akan dirinya sendiri, atau pemikirannya mengenai orang lain atau situasi tertentu. Pada anak-anak yang cemas, self talk sering kali berupa penilaian yang negatif terhadap diri sendiri, menetapkan standar yang terlalu tinggi, khawatir akan penilaian orang lain, takut akan gagal dan tidak mampu mengatasi masalah.

Tahap ini kelihatannya agak sedikit sulit untuk dilakukan, namun terdapat berbagai cara yang akan memudahkan terapis untuk mengajarkan anak mengenai konsep self talk. Terapis dapat menggunakan gambar-gambar kartun dengan gelembung yang akan diisi dengan hal-hal yang ada dalam pikiran tokoh


(50)

dalam kartun tersebut. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, terapis dapat mulai mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Segera setelah anak dapat mengenali pikiran cemasnya sendiri, maka terapis membantu anak untuk membentuk pikiran-pikiran yang dapat menanggulangi kecemasan anak. Terapis menantang pikiran-pikiran negatif yang terdapat dalam diri anak melalui proses uji hipotesis. Tujuan proses ini adalah agar anak dapat menciptakan proses informasi alternatif untuk menanggulangi kecemasannya. Pemberian tugas, permainan peran, dan tugas exposure dapat diberikan untuk membantu anak membentuk pikiran-pikiran alternatif tersebut.

- A: Attitude and actions that can help

Pada tahap ini fokusnya adalah problem solving atau penyelesaian masalah, terapis membantu anak membuat berbagai solusi alternatif dan kemudian memilih solusi yang paling tepat untuk dilakukan saat mengalami kecemasan. Konsep problem solving dapat dikenalkan dengan cara membahas situasi-situasi yang tidak terlalu mengancam bagi anak. Terapis dapat mencontohkan situasi-situasi tertentu dan membantu anak membuat beberapa solusi dan memilih solusi yang sesuai. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, barulah terapis dapat mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Berbagai solusi dapat dilakukan misalnya dengan membuat daftar teman dekat atau keluarga yang memberikan dukungan, mengamati cara orang lain mengatasi masalah, atau melatih kemampuan akademik, dan sosial.

Anak yang usianya lebih muda sering kali memilih karakter kartun atau televisi yang menjadi pahlawannya dan dapat mengatasi kesulitannya. Terapis dapat mendorong anak untuk memikirkan apa yang akan dilakukan tokoh kesukaan


(1)

b. Melakukan permainan personal facts agar lebih mengenal satu sama lain. c. Memperkenalkan konsep

perasaan dan pikiran.

d. Menjelaskan program yang akan dijalani kepada subjek secara singkat.

e. Memberikan homework assignment

f. Menetapkan daftar hadiah SKILLS TRAINING (FEAR)

F (FEELING FRIGHTENED?) 1 Mengenali

perasaan cemas

Affective education a. Mengenali berbagai bentuk emosi yang berbeda-beda beserta ekspresi yang dimunculkan.

b. Membedakan antara kecemasan dengan bentuk emosi lainnya dan mengenali reaksi fisiknya saat cemas c. Menyusun hirarki

situasi pemicu kecemasan

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker

b. Membuat daftar berbagai bentuk perasaan dan menggunakan gambar wajah yang menunjukkan berbagai ekspresi.

c. Bermain Feeling Charades yaitu role play tentang berbagai bentuk ekspresi emosi dan saling menebak ekspresi yang ditampilkan d. Membahas mengenai

kecemasan yang dirasakan subjek, pada saat kapan kecemasan itu muncul, reaksi subjek saat cemas, dan respon terhadap situasi tersebut.


(2)

e. Memperkenalkan Feelings Thermometer yang dapat membantu menentukan situasi mana yang dapat lebih memicu kecemasan subjek. f. Menyusun hirarki situasi

pemicu kecemasan subjek g. Memberikan homework

assignment 2 Mengenali respon

somatis saat cemas

Awareness of bodily reactions when anxious

Mengenali secara spesifik respon somatis saat cemas

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker.

b. Memperkenalkan berbagai respon somatis

c. Latihan mengenali respon somatis melalui Coping modeling dan role play pada situasi yang ditakuti oleh anak

d. Memperkenalkan anak pada strategi FEAR yang pertama e. Memberikan homework

assignment 3 Latihan relaksasi Somatic management Melakukan latihan

relaksasi sederhana untuk membantu mengurangi ketegangan saat sedang merasa cemas/takut.

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker.

b. Melakukan penukaran hadiah c. Subjek diminta untuk membayangkan situasi pemicu kecemasan dan fokus pada bagian tubuhnya yang terasa tegang.


(3)

dengan prosedur deep breathing dan progressive muscle relaxation

e. Terapis menjadi coping model dan mencontohkan prosedur relaksasi kemudian

ajak anak untuk

berpartisipasi.

f. Memberikan homework assignment

E (Expecting bad things to happen? 4 Mengenali dan

memodifikasi anxious “self talk”

Identification and modification of anxious self talk

a. Memahami fungsi self talk dan pengaruhnya terhadap respon yang muncul saat cemas b. Mengidentifikasi

anxious self talk Mengembangkan coping self talk (isi pikiran yang dapat membantu mengatasi rasa cemas)

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker.

b. Memperkenalkan konsep self talk (isi pikiran)

c. Membuat self talk pada situasi pemicu kecemasan subjek

d. Memperkenalkan perbedaan antara anxious self talk dengan coping self talk

e. Memperkenalkan strategi FEAR yang kedua

f. Latihan membuat coping self talk

g. Memberikan homework assignment

A (Attitudes and actions that can help) 5 Mengembangkan

keterampilan problem solving

Problem solving a. Memahami konsep problem solving

b. Menggunakan strategi problem solving untuk

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker


(4)

mengendalikan kecemasan

FEAR yang ketiga

c. Memperkenalkan konsep problem solving dan tahap-tahapnya

d. Latihan membuat tahapan problem solving

e. Memberikan homework assignment

R (Results and Rewards) 6 Memperkenalkan

konsep self-rating dan reward

Self reward Memahami konsep

evaluasi diri dan dapat memberikan reward terhadap diri sendiri berdasarkan usaha dan performa.

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker

b. Menukar stiker dengan hadiah c. Menjelaskan konsep evaluasi

diri dan self reward

d. Menetapkan daftar reward yang mungkin diperoleh subjek

e. Latihan membuat self rating dan self reward

f. Meninjau keseluruhan strategi TAKUT

g. Membahas situasi berdasarkan fear ladder yang akan dipraktikkan pada pertemuan selanjutnya

h. Memberikan homework assignment

SKILLS PRACTICE 7 Latihan

menerapkan

strategi FEAR pada situasi yang berada

Imaginal exposure, in vivo exposure

Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker.


(5)

di posisi terendah dari fear ladder

nyata secara bertahap c. Latihan in vivo exposure

Membahas situasi

berdasarkan fear ladder yang akan dipraktikkan pada pertemuan selanjutnya

d. Memberikan homework assignment

8 Latihan menerapkan

strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi kedua dari fear ladder

Imaginal exposure, in vivo exposure

Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau nyata secara bertahap

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker

b. Latihan imaginal exposure c. Latihan in vivo exposure

Membahas situasi

berdasarkan fear ladder yang akan dipraktikkan pada pertemuan selanjutnya

d. Memberikan homework assignment

9 Latihan menerapkan

strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi ketiga dari fear ladder

Imaginal exposure, in vivo exposure

Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau nyata secara bertahap

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker

b. Latihan imaginal exposure c. Latihan in vivo exposure

Membahas situasi

berdasarkan fear ladder yang akan dipraktikkan pada pertemuan selanjutnya

d. Memberikan homework assignment

10 Latihan menerapkan

strategi FEAR pada situasi yang berada

Imaginal exposure, in vivo exposure

Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker


(6)

di posisi keempat dari fear ladder

nyata secara bertahap c. Latihan in vivo exposure

Membahas situasi

berdasarkan fear ladder yang akan dipraktikkan pada pertemuan selanjutnya

d. Memberikan homework assignment

11 Latihan menerapkan

strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi kelima dari fear ladder

Imaginal exposure, in vivo exposure

Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau nyata secara bertahap

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker

b. Latihan imaginal exposure c. Latihan in vivo exposure

Membahas situasi

berdasarkan fear ladder yang akan dipraktikkan pada pertemuan selanjutnya

d. Memberikan homework assignment

12 Latihan menerapkan

strategi FEAR pada situasi yang berada di posisi tertinggi dari fear ladder

Imaginal exposure, in vivo exposure

a. Memberikan subjek kesempatan untuk menerapkan strategi FEAR dalam situasi simulasi atau nyata secara bertahap

b. Menutup terapi

a. Membahas homework assignment sebelumnya dan memberikan stiker

b. Melakukan penukaran hadiah c. Latihan imaginal exposure d. Latihan in vivo exposure e. Merangkum keseluruhan

proses terapi dan mengakhiri terapi