UJI ADSORPSI ION LOGAM Mn II DAN Cr III

UJI ADSORPSI ION LOGAM Mn(II) DAN Cr(III) MENGGUNAKAN
LIMBAH KULIT PISANG
PROPOSAL PENELITIAN
Disajikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan tugas akhir mata kuliah metode
penelitian kimia
Progam Studi Kimia

Oleh :
Mariyanti Darmadinata
4311413017

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pisang (Musa Paradisiaca) meruapakan tanaman buah-buahan yang
tumbuh dan tersebar di seluruh Indonesia. Indonesia merupakan penghasil pisang
terbesar di Asia. Produksinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Menurut
data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia, pada tahun 2008 produksi buah
pisang mencapai 6.004.615 ton. Produksi pisang di Jawa Timur mencapai
1.313.935 ton dan menduduki peringkat pertama terbesar di Indonesia kemudian
disusul Jawa Barat sebanyak 1.082.070 ton dan Jawa tengah sebanyak 831.158
ton. Potensi ketersediaan pisang yang cukup melimpah inilah yang turut
menhasilkan limbah dan merupakan salah satu limbah biomassa hasil kegiatan
pertanian yang melimpah sebagai hasil samping komoditas buah pisang. Kulit
pisang yang merupakan bahan buangan atau limbah buah pisang yang bagian dari
buah pisang yang cukup banyak jumlahnya. Umumnya kulit pisang belum
dimanfaatkan secara nyata, hanya dibuang sebagai limbah organik saja atau
digunakan sebagai makanan ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah dari
kulit pisang cukup banyak yaitu sekitar 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas.
Limbah kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai absorben ion logam berat.
Peraturan pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang kegiatan memperoleh
kembali atau menggunakan kembali atau daur ulang bertujuan untuk mengubah

suatu limbah menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan juga aman bagi
lingkungan dan kesehatan manusia. Beberapa penelitian yang telah dilakukan
yaitu pemanfaatan limbah tahu sebagai bahan penyerap logam berat seperti krom,
kadmium, dan besi dalam air lindi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) (Nohong,

2010), optimasi krom(VI) dengan ampas daun the (Camellia sinensis)
menggunakan metode spektrofotometri (Abriagni, 2011), kulit pisang sebagai
absorben penjernih limbah logam Cr (Anggraini,2012), studi adsorpsi ion logam
Cr(III) menggunakan kulit pisang kepok (Musa normalis L.) (Wattimury, 2012),
penelitian selanjutnya yaitu modifikasi limbah kulit pisang untuk absorben ion
logam Mn(II) dan Cr(IV) oleh Suhartini, 2012 dimana dalam penelitiannya Bubuk
Kulit Pisang (BKP) dimodifikasi dilakukan dengan mengikat silang polisakarida
yang terdapat pada kulit pisang menggunakan Epiklorohidrin (Epi) sebagai zat
pengikat silang dengan inisiator sinar gamma dari sumber Cobalt 60. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dosis radiasi radiasi optimum pada bubuk kulit
pisang hasil modifikasi (BKP-Epi) dicapai pada dosis 10 kGy dengan konsentrasi
Epi 10% ini menunjukkan kemampuan BKP-Epi dalam menyerap ion logam
Mn(II) meningkat 160%, BKP-Epi dalam menyerap logam Cr(VI) menurun
sebesar 43,10%. Terdapat perbaikan terhadap ketahanan asam pada BKP-Epi yang
ditunjukkan dengan penurunan kerusakan BKP-Epi sebesar 104,44%. Analisis

Fourier Transform-Infra Red (FT-IR) menunjukkan pergeseran bilangan
gelombang puncak sebelum dan sesudah iradiasi, menandakan terjadinya reaksi
ikatan silang pada polisakarida tersebut.
Secara umum kulit pisang banyak mengandung karbohidrat, air, vitamin C,
kalium, anti-oksidan, kalsium, vitamin B, lemak protein, beragam vitamin B
kompleks diantaranya vitamin B6, minyak nabati, serat, serotonin. Kulit pisang
memiliki banyak manfaat diantanya dapat memisahkan logam berat dari limbah
industri.
Pada penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa kulit pisang yang
memiliki gugus fungsi yang berperan dalam pengikatan ion logam berat seperti
gugus hidroksil, asam karboksilat dan gugus amina (Castro dkk, 2011 dalam
Suhartini, 2012). Gugus fungsional dari rantai polisakarida karbohidrat kulit
pisang adalah gugus hidroksil (-OH). Ikatan yang terjadi antara ion logam dengan
gugus (-OH) pada polisakarida ini dapat terjadi melalui ikatan hidrogen dan gaya

Van der Walls. Hal ini yang menyebabkan kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai
bioadsorben logam berat. (Janelle, 2004 dalam Suhartini,2012)
Dalam bukanya Sutrasono, 2008 mengatakan bahwa terdapat alternatif
lain untuk memisahkan krom dari limbah industri yaitu dengan menggunakan
metode bioadsorpsi. Merupakan metode yang sangat menjanjikan untuk mengolah

buangan industri, terutama karena harganya yang murah dan memiliki kapasitas
penyerapan yang tinggi. Sehingga penelitian ini dapat dilakukan menggunakan
bahan alternatif yaitu berbahan kulit pisang.
1.2 Peruumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka timbul permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh konsentrasi NaOH dalam proses aktivasi kulit pisang
terhadap kemampuan adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III)?
2. Bagaimana pengaruh pH larutan terhadap kemampuan kulit pisang
adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III)?
3. Bagaimana pola kinetik adsopsi ion Mn(II) dan ion Cr(III) menggunakan
kulit pisang?
4. Bagaimana penentuan kapasitas adsorpsi kulit pisang terhadap ion Mn(II)
dan ion Cr(III)?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi NaOH dalam proses aktivasi kulit
pisang terhadap kemampuan adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III).
2. Untuk mengetahui pengaruh pH larutan terhadap kemampuan kulit pisang
adsopsi ion Mn(II) dan ion Cr(III).
3. Untuk mengetahui pola kinetik adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III)

menggunakan kulit pisang.

4. Untuk mengetahui penentuan kapasitas adsorpsi kulit pisang terhadap ion
Mn(II) dan ion Cr(III).
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan:
1. Diperolehnya

bahan adsorben ion Mn(II) dan ion Cr(III) yang

dikembangkan dari material limbah;
2. Memberikan informasi kepada masyarakat bawha kulit pisang dapat di
manfaatkan dalam menangani pencemaran logam Mn dan Cr;
3. Bahan adsorben dapat dijadikan sebagai briket (bahan bakar), dan;
4. Memberikan informasi bagi pemerintah maupun kalangan industri dalam
penanggulangan pencemaran oleh logam Mn dan Cr.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Pisang

Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa
berdaun besar memanjang dari suku Musaceace. Beberapa jenisnya (Musa
acuminata, M. Balbisiana, dan M. paradisiaca). Buah ini tersusun dalam tandan
dengan kelompok-kelompok tersusun menjari, yang disebut sisir. Hampir semua
buah pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang, meskipun ada
beberapa yang berwarna jingga, merah, hijau, ungu atau bahkan hampir hitam.
Buah pisang sebagai bahan pangan merupakan sumber energi (karbohidrat) dan
mineral, terutama kalium.
2.1.1 Morfologi tanaman Pisang
Pisang merupakan tanaman monokotil dan herba perennial yang
dikembangbiakkan dengan cara vegetatif. Jenis-jenis pisang yang ada memiliki
perbedaan morfologi yang memberikan variasi dalam kultivar pisang sehingga
dari karakter tersebut dapat membedakan jenis pisang dari beberapa kultivar,
meskipun tanaman belum dewasa dan berbuah (UNCST, 2007)

Gambar 2.1. Tanaman Pisang

Variasi dalam kultur pisang, diantaranya dari warna buah, warna batang,
bentuk daun, bentuk buah dan masih banyak lagi karakter yang membedakan
diantara kultivar pisang. Adapun morfologi dari tanaman pisang, antara lain:

a. Akar
Akar utama memiliki ketebalan sekitar 5-8 mm berwarna putih ketika baru
dan sehat. Akar pisang berakar rimpang dan tidak mempunyai akar tunggang.
Akar ini berpangkal pada umbi batang. Akar terbanyak berada dibagian bawah
tanah sampai kedalaman 75-150 cm, sedangkan akar yang berada di bagian
samping

umbi

batang

tumbuh

ke

samping

atau

mendatar.


Dalam

perkembangannya akar sampai mencapai 4-5 meter (Satuhu & Supriyadi, 1999).
b. Batang
Batang pisang merupakan batang semu yang ternyata brupa lembaran daun
yang saling tumbuh tindih dengan daun baru dan akhirnya bunga muncul dari
bagian tengah (Mudita, 2012). Batang sejati pada tanaman pisang sebagian atau
keseluruhan ada di bawah tanah yang disebut rhizom yang akan muncul pada saat
bunga

terbentuk.

Rhizom

merupakan

organ

penting


yang

mendukung

pertumbuhan tandan buah dan perkembangan anakan (Robinson & Walkers,
1999).
c. Daun
Daun pisang tersusun spiral, berdasar tumpul, melingkar, berujung halus,
terpotong dan mudah tersobek. Tulang daun tengahnya nyata dengan urat yang
paralel. Stomata ada di kedua permukaan daun. Daun yang paling muda terbentuk
di bagian tengah tanaman dan daun yang paling tua terdesak keluar membentuk
mahkota daun (Rozyandra, 2004).

Gambar 2.2. Bagian-bagian Daun

d. Bunga
Bunga terdiri dari kumpulan dua garis bunga yang terdiri dari gabungan
bunga betina dan jantan yang tersusun dalam kelompok, bunga tertutupi oleh
bractea merah kecoklatan. Braktea dan bunga tersusun secara spiral sehingga

membentuk bunga yang berukuran besar (UNCST, 2007). Sebagian besar dari
kultivar pisang, braktea memiliki warna yang bervariasi, warna permukaan luar
dalam berwarna kuning kemerahan hingga ungu (Javed et al, 2001: Siddiqah,
2002).
Bunga betina berkembang secara normal, sedangkan bunga jantan tidak
berkembang. Bunga betina keluar lebih dulu, terletak paling dekat dengan
pangkal, sedangkan bunga-bunga yang terbentuk kemudian ke arah ujung bunga
tandan adalah bunga jantan. Tiap kelompok bunga disebut sisir. Ada sekitar 12-20
bunga tiap sisir dan sekitar 5-15 sisir dalam 1 tandan. Bunga betina panjangnya
sampai 10 cm dan bunga jantan panjangnya 6 cm (Rozyandra, 2004).

Gambar 2.3. Bunga pisang dan bagian-bagiannya

e. Buah
Pada umumnya buah pisang berkembang tanpa pembuahan (partenokarpi)
dan tidak mengandung biji. Ukuran panjang dan lebarnya 6-35 cm x 2.5-5 cm.
bentuk buah beranekaragam sesuai dengan jenisnya, ada yang bentuknya
membengkok, sedikit lurus dan lurus. Warna buah hijau, kuning atau coklat
(Rozyandra, 2004). Buah pisang tersusun dalam tandan. Tiap tandan terdiri atas
beberapa sisir dan tiap sisir terdapat 6-22 buah pisang atau tergantung pada

varietasnya (Candra, 2003; Rukmana, 1999).
Buah pisang umumnya dipanen pada umum 18 bulan setelah tanam atau
80-110 hari setelah tanaman berbunga jika berada pada kondisi yang optimum.
Panen buah pisang pada umumnya dilakukan berdasarkan tujuan pemasaran. Buah
yang akan dipasarkan di daerah yang dapat dicapai dalam waktu kurang dari satu
hari dari daerah produksi dipanen saat buah sudah matang penuh. Buah yang akan
dipasarkan untuk daerah yang dicapai dalam waktu lebih dari satu hari dari daerah
produksi dipanen saat stadia kematangan tiga perempat penuh (kematangan 75%),
yaitu stadia kematangan di mana pada individu buah masih terdapat siku-siku
yang jelas dan masih terdapat warna hijau pada kulit buah (Diennazola, 2008;
Samson, 1986). Stadia kematangan ini berumur sekitar 70-98 hari setelah
pembuangan seperti pada pisang raja bulu (Diennazola, 2008; Naksone & Paull,
1998).

f. Anakan Pisang
Pertumbuhan anakan

pisang dimulai dari mata tunas yang ada pada

bonggolnya. Bila kandungan air tanah mencukupi tunas akan tumbuh menjadi
dewasa. Pada umumnya tunas tumbuh dari bonggol bagian atas, sehingga anakan
pisang semakin mendekati permukaan tanah akibatnya pertumbuhan anakan
lambat karena akar tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Mudita, 2012;
Rozyandra, 2004)

Gambar 2.4. Anakan pisang

2.1.2 Kandungan Kimia dalam Kulit Pisang
Pisang termasuk salah satu buah yang mudah dijumpai di mana-mana.
Indonesia memang negara tropis dan buah pisang adalah salah satu komoditas
tanaman yang tumbuh subur di daerah tropis. Karena melimpah, buah pisang
dijual dengan harga yang cukup terjangkau. Secara umum, kulit pisang banyak
mengandung karbohidrat, air, vitamin C, kalium, lutein, anti-oksidan, kalsium,
vitamin B, lemak, protein, beragam vitamin B kompleks di antaranya vitamin B6,
minyak nabati, serat, sirotonin dan banyak lagi lainnya. Dengan produktivitas
yang tinggi maka jumlah kulit pisang bertambah. Jumlah limbah yang melimpah
tersebut dapat dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi.
Buah pisang banyak mengandung karbohidrat baik isinya maupun
kulitnya. Pisang menpunyai kandungan khrom yang berfungsi dalam metabolisme

karbohidrat dan lipid. Khrom bersama dengan insulin memudahkan masuknya
glukosa ke dalam sel-sel. Kekurangan khrom dalam tubuh dapat menyebabkan
gangguan toleransi glukosa. Umumnya masyarakat hanya memakan buahnya saja
dan membuang kulit pisang begitu saja. Hasil analisi kimia menunjukkan bahwa
komposisi kulit pisang banyak mengandung air yaitu 68,90% dan karbohidrat
sebesar 18,50%. Komposisi zat gizi kulit pisang dapat dilihat pada tabel 2.1 di
bawah ini:
Tabel 2.1. Komposisi Zat Gizi kulit Pisang per 100 gram bahan

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Zat Gizi
Air (g)
Karbohidrat (g)
Lemak (g)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)

Kadar
68,90
18,50
2,11
0,32
715
117
1,60
0,12
17,50

Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Jatim, Surabaya (1982).

Karbohidrat atau Hidrat Arang yang dikandung oleh kulit pisang adalah
amilum. Amilum atau pati ialah jenis polisakarida karbohidrat (karbohidrat
kompleks). Amilum (pati) tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan
tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk
menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka
panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang
penting. Amilum merupakan sumber energi utama bagi orang dewasa di seluruh
penduduk dunia, terutama di negara berkembang oleh karena di konsumsi sebagai
bahan makanan pokok. Disamping bahan pangan kaya akan amilum juga
mengandung protein, vitamin, serat dan beberapa zat gizi penting lainnya (Johari
dan Rahmawati, 2006).
Kulit pisang yang memiliki gugus fungsi yang berperan dalam pengikatan
ion logam berat seperti gugus hidroksil, asam karboksilat dan gugus amina
(Castro dkk, 2011 dalam Suhartini, 2012). Gugus fungsional dari rantai

polisakarida karbohidrat kulit pisang adalah gugus hidroksil (-OH). Ikatan yang
terjadi antara ion logam dengan gugus (-OH) pada polisakarida ini dapat terjadi
melalui ikatan hidrogen dan gaya Van der Walls. Hal ini yang menyebabkan kulit
pisang dapat dimanfaatkan sebagai bioadsorben logam berat. (Janelle, 2004 dalam
Suhartini,2012)
2.2 Adsorpsi
Adsorpsi atau penyerapan adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu
fluida, cairan, maupun gas terikat kepada suatu padatan atau cairan (zat penyerap,
adsorben) dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis atau film (zat penyerap,
adsorbat) (Majid, 2001) pada permukaannya. Berbeda dengan absorbsi yang
merupakan penyerapan fluida oleh fluida lainnya dengan membentuk suatu
larutan (Sukardjo,1990)
Adsorpsi secara umum adalah proses penggumpalan substansi terlarut
(soluble) yang ada dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap.
Definisi ini menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan pada lapisan
permukaan atau antar fasa, di mana molekul dari suatu materi terkumpul pada
bahan pengadsorpsi atau adsorben. Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis yaitu
adsorpsi fisika (disebabkan oleh gaya Van Der Walls, penyebab terjadinya
kondensasi gas untuk membentuk cairan) yang ada pada permukaan adsorben)
dan adsorpsi kimia (terjadi reaksi antara zat yang diserap dengan adsorben,
banyaknya zat yang teradsorpsi tergantung pada sifat khas zat padatnya yang
merupakan fungsi tekanan dan suhu) (Baba, 1999).
Menurut Giels dalam Widodo (2003), gaya-gaya yang bekerja dalam
serapan larutan adalah sebagai berikut:
a. Gaya tarik Van Der Waals
b. Ikatan Hidrogen
c. Pertukaran Ion

d. Ikatan Kovalen
2.3 Ikatan Antara Logam dan Selulosa
Reaksi crosslinking merupakan suatu reaksi ikatan silang pada
polisakarida. Ikatan silang yang terbentuk pada senyawa polisakarida dengan
pereaksi multifungsional umumnya merupakan ikatan ester yang menjembatani
atau menghubungkan dua gugus hidroksil pada molekul polisakarida. Reaksi
ikatan silang dapat memperkuat ikatan hidrogen dalam granula polisakarida
melalui ikatan silang kimia yang berfungsi sebagai jembatan antar moleku
(Catton, 1989).
Polisakarida merupakan komposisi utama kulit pisang. Polisakarida yang
terdapat pada kulit pisang sebagian besar terdiri dari amilosa, amilopektin, dan
selulosa. Amilosa mrupakan polisakarida yang terdiri dari polimer rantai lurus
yang dibangun oleh ikatan -(1,4)-glikosidik dan pada setiap rantai terdapat 500
unit D-glukosa hingga 2000 unit D-glukosa. Amilopektin adalah polisakarida
terdiri dari polimer terdiri dari polimer berantai cabang dengan ikatan

-(1,6)-

glikosidik di tempat percabangannya. Seyiap cabang terdiri atas 25 unit hingga 30
unit D-glukosa. Amilopektin merupakan molekul paling dominan dalam pati.
Dalam granula pati rantai amilopektin mempunyai keteraturan susunan. Selulosa
merupakan polisakarida yang terdiri

1,4

dari poli glukosa, dengan berat

molekulsangat besar. Unit ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan
glikosida yang mengakibatkan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan
hidrogen secara intra dan intermolekul.
CH2OH

CH2OH

CH2OH

O

O

OH

OH

O

OH

OH

O

O
OH

CH2OH

O

OH

O
OH

O
OH

Gambar 1. Struktur Amilosa
CH2OH

CH2OH

O

O

OH

OH
O

O
OH

OH

CH2OH

CH2OH

CH2OH
O

CH2OH

O

O

OH

O

OH

OH
O

OH

O

O

OH

OH

O

OH

OH

Gambar 2. Struktur Amilopektin
CH2OH

H

H

H

O
H
OH

O

OH

H

OH

H

H

H

H

O

CH2OH

OH
H

O
H
OH

O

OH

H

H

H
H

OH

H

O

H
H

CH2OH

OH

O
O

H
CH2OH

Gambar 3. Struktur Selulosa

2.4 Logam Berat
Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang
sama dengan logam-logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang
dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan atau masuk ke dalam tubuh
organisme hidup. (Heryanto, 2004)
Menurut Amold (1990 dalam Subowo et.al,1999), logam berat adalah
unsur logam yang mempunyai massa jenis lebih besar dari g/cm3 antara lain Cd,
Hg, Pb, Cu, Zn, Cr, dan Ni. Logam berat Cu, Zn, dan Ni meruoakan logam
essensaial sedangkan Cd, Hg, dan Pb dinamakan sebagai logam non essensial dan
pada tingkat tertentu menjadi logam beracun bagi makhluk hidup. Logam berat
berbahaya umumnya memiliki rapat massa tinggi dan jumlah konsentrasi kecil

dapat bersifat racun dan berbahaya, seperti merkuri atau air raksa (Hg), Kadmium
(Cd), Arsen (As), Kromium (Cr), Talium (Ti), dan timbal (Pb).
Karakteristik dari kelompok logam berat menurut Murply (1981) adalah sebagai
berikut:
a. Memiliki spesifikasi graviti yang sangat besar (lebih besar dari 4).
b. Mempunyai nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur Lantanida dan
Aktinida.
c. Mempunyai respon biokimia khas (spesifik) pada organisme hidup.
Nieboer dan Richardson, 1980 menggunakan istilah logam berat untuk
menggantikan pengelompokan ion-ion logam ke dalam 3 kelompok biologi
dan kimia (bio-kimia). Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya
menimbulakan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa
semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh
makhluk hidup. Logam berat dalam jumlah kecil dibutuhkan atau belum
berbahaya bagi manusia. Seperti gangguan pada pencernaan (As), meracuni
syaraf (Pb dan Hg), kanker kulit atau gangguan pernapasan (Cr) seperti
diutarakan oleh Pikukuh, 1985 dan mengganggu kualitas air minum (Fe, Mn
dan Zn) (Widyanto, 1977)
2.4.1 Logam Kromium dan Mangan
Krom merupakan elemen berbahaya di permukaan bumi dan dijumpai
dalam kondisi oksida antara Kromium (II) hingga Kromium (IV). Efek yang
ditimbulkan bila krom terakumulasi dengan jumlah yang besar dalam tubuh
adalah dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit antara lain: kanker, paru-paru,
pelubangan jantung, dermatitis,a alergi, dan iritasi apabila terkena mata. Logam
kromium biasanya digunakan untuk mengeraskan baja, pembuatan baja tahan
karat dan membentuk banyak alloy yang berguna. Di samping itu digunakan
dalam proses pelapisan logam. Kromium dan Managan yang masuk ke dalam
lingkungan sebagian besar adalah dari kegiatan perindustrian (pabrik semen,

baterai, cat, industri pelapisan, pewarna, dan tofografi) dan dari pembakaran serta
mobilisasi bahan-bahan bakar (Rama, 1990). Berbagai metode seperti penukar
ion, penyerapan dengan karbon aktif, dan pengendapan secara elektrolisis telah
dilakukan untuk menyerap bahan pencemar beracun dari limbah, tetapi cara ini
menimbulkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya (Wurzbrug, 1989
dalam Suhartini, 2012)
2.5 Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban
suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Pada pengukuran menggunakan
spektrofotometer

ini,

metoda

yang

sering

digunakan

disebut

dengan

spektrofotometri (Hendayana dalam Hidayah, 2013)
Spektrofotometer bekerja pada prinsip penyerapan gelombang cahaya
(radiasi) yang dilewatkan pada suatu larutan. Spektrofotometer yang digunakan
adalah visibel atau menggunakan cahaya tampak, yang panjang gelombang
optimum dicari untuk mengetahui seberapa besar energi cahaya tertinggi yang
diserap oleh larutan (Hendayana, dalam Hidayah 2013)
Metode spektrofotometri dapat digunakan untuk pengukuran kuantitatif
yaitu besarnya energi yang diserap oleh larutan sebanding dengan konsentrasi dan
tebal larutan. Hubungan ini dapat dituliskan dengan persamaan Lambert Beer
A= a b c

……………………… (1)

Dengan A adalah adsorbansi, a adalah koefisien adsorpsi (adsorpsivitas), b adalah
ketebalan sampel, dan c adalah konsentrasi molekul sampel (larutan) (Hendayana
dalam Hidayah, 2013)
Analisis spektrofotometer berguna untuk setiap senyawa organik yang
mengandung satu atau lebih gugus kromofer. Sejumlah zat-zat anorganik juga
mengabsorbsi dan secara langsung dapat ditetapkan dengan baik, seperti logamlogam transisi. Sejumlah zat lain juga memperlihatkan sifat absorbs, misalnya:
ion-ion nitrit, nitrat, kromat (Khopkar, 1983)

Spektrofotometri serapan atom adalah suatu metode yang digunakan untuk
mendeteksi

atom-atom

logam dalam

fase gas. Metode ini

seringkali

mengandalkan nyala untuk mengubah logam dalam larutan sampel menjadi atomatom logam berbentuk gas yang digunakan untuk analisis kuantitatif dari logam
dalam sampel (Rohman, 2007). Prinsip dari spektrofotometri adalah terjadinya
interaksi antara energi dan materi. Pada spektroskopi serapan atom terjadi
penyerapan energi oleh atom sehingga atom mengalami transisi elektronik dari
keadaan dasar ke keadaan tereksitasi. Dalam metode ini, analisa didasarkan pada
pengukuran intesitas sinar yang diserap oleh atom sehingga terjadi eksitasi. Untuk
dapat terjadinya proses absorbsi atom diperlukan sumber radiasi monokromatik
dan alat untuk menguapkan sampel sehingga diperoleh atom dalam keadaan dasar
dari unsur yang diinginkan. Spektrofotometri serapan atom merupakan metode
analisis yang tepat untuk analisis analit terutama logam-logam dengan konsentrasi
rendah (Pecsok, 1976). Spektrofotometri serapan atom (SSA) didasarkan pada
absorbsi atom pada suatu unsur yang dapat mengabsorpsi energi pada panjang
gelombang tertentu. Banyak energi sinar yang diabsorpsi berbanding lurus dengan
jumlah atom yang mengabsorpsi. Atom terdiri atas inti atom yang mengandung
proton bermuatan 20 positif dan neutron berupa partikel netral, dimana inti atom
dikelilingi oleh elektron bermuatan negatif yang memiliki tingkat energi berbeda.
Jika energi diabsorpsi oleh atom, maka elektron yang berada paling luar (elektron
valensi) akan tereksitasi dari keadaan dasar atau tingkat energi yang lebih rendah
(ground state) ke keadaan tereksitasi yang memiliki tingkat energi yang lebih
tinggi (excited site). Jumlah energi yang dibutuhkan untuk memindahkan elektron
ke tingkat energi tertentu dikenal sebagai potensial eksitasi untuk tingkat energi
itu. Pada waktu kembali ke keadaan dasar, elektron melepaskan energi panas atau
energi sinar (Clark, 1979).
2.6 Hipotesis Penelitian
1. Ho : tidak ada pengaruh konsentrasi NaOHdalam proses aktivasi kulit pisang
terhadap kemampuan adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III).

Ha : Ada pengaruh konsentrasi NaOH dalam proses aktivasi kulit pisang
terhadap kemampuan adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III).
2. Ho : Tidak ada pengaruh pH larutan terhadap kemampuan kulit pisang

adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III).
Ha : Ada pengaruh larutan pH larutan terhadap kemampuan kulit pisang
adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III).
3. Ho : Tidak dapat menggunakan metode ekstraksi dengan variansi pH
campuran larutan dilanjutkan dengan uji SSA untuk menentukan pola kinetik
adsorpsi ion Mn(II) dan ion Cr(III) menggunakan kulit pisang.
Ha : Dapat menggunakan metode ekstraksi dengan variansi pH campuran
larutan dilanjutkan dengan uji SSA untuk menentukan pola kinetik adsorpsi
ion Mn(II) dan ion Cr(III).
4. Ho : Tidak dapat menggunakan metode ekstraksi dengan variansi konsentrasi

dilanjutkan dengan uji SSA untuk menentukan kapasitas adsorpsi kulit pisang
terhadap ion Mn(II) dan Cr(III)
Ha : Dapat menggunakan metode ekstraksi dengan variansi konsentrasi
dilanjutkan dengan uji SSA untuk menentukan kapasitas adsorpsi kulit pisang
terhadap ion Mn(II) dan Cr(III).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan individu sejenis yang berada pada wilayah
tertentu dan pada waktu yang tertentu pula. Dalam penelitian ini populasi yang
digunakan adalah populasi buah pisang.
3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi buah pisang yang diteliti.
Sampel yang digunakan adalah cuplikan dari kulit buah pisang yang dijual di
pasar Bojonegoro Jawa Timur.
3.3 Variabel penelitian
Variabel dari penelitian ini meliputi variabel terikat, variabel bebas, dan
variabel terkendali.
3.3.1 Variabel terikat adalah variabel yang menjadi titik pusat penelitian.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kulit pisang, adsorben.
3.3.2 Variabel bebas adalah variabel yang akan diteliti pengaruhnya
terhadap variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
aktivasi, pH, kinetika adsorpsi, kapasitas adsorpsi.
3.3.3

Variabel

terkendali

adalah

faktor-faktor

lain

yang

dapat

mempengaruhi uji stabilitas selama penelitian. Variabel terkendali dalam
penelitian ini adalah, sinar lampu, umur pisang, dan berat buah pisang.
3.4 Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel kulit pisang dilakukan di pasar Bojonegoro,
penelitian ini dilakukan di gedung D8 lantai satu laboratorium kimia anorganik
FMIPA UNNES.

3.5 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, labu ukur, piipet
tetes, pipiet ukur, penangas magnet stirer, kertas saring whatman 41, deksikator,
gelas ukur, tapisan 100 mesh, blender merk miyako, neraca analitik, stopwatch,
kertas pH, SSA merk shimadzu AA-630. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah NaOH, kulit pisang, Cr(NO3)3, MnSO4, aquades.
3.6 Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini, proses adsorpsi ion logam krom dan ion logam mangan akan
dilakukan menggunakan absorben berupa serbuk yang berasal dari kulit pisang
teraktivasi.
Eksperimen yang dilakukan dibagi menjadi lima bagian, yaitu preparasi adsorben,
aktivasi NaOH 3%, pengaruh pH yaitu 2,4, dan 6, uji kinetika adsorpsi, dan
penentuan kapasitas adsorpsi maksimum.
3.7 Prosedur Eksperimen
3.7.1 Preparasi Kulit Pisang
Preparasi adsorben yang berasal dari kulit pisang kemudian dipotong halus
lalu dikeringkan pada suhu 60-70˚C selama 6 jam, diangin-anginkan dan di
blender hingga halus agar dapat dilakukan pengayakan menggunakan ukuran 100
mesh, sehingga didapat sampel kulit pisang tanpa aktivasi. Kemudian sampel
tersebut dimasukkan ke dalam deksikator.
3.7.2 Kulit Pisang teraktivasi NaOH 3%
Pembuatan larutan NaOH dengan konsentrasi 3%. Sampel kulit pisang
tanpa teraktivasi dicampur dengan perbandingan larutan NaOH terhadap sampel
kulit pisang tanpa teraktivasi sebesar 2 : 1. Kemudian diaduk selama 1-2 jam, dan
dilanjutkan dengan pencucian menggunakan aquades hingga netral (menggunakan
kertas pH). Sampel tersebut kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu

60˚C dan dilakukan pengayakan menggunakan ukuran 100 mesh. Sehingga
diperoleh sampel kulit pisang teraktivasi.
3.7.3 Pengaruh Variasi pH trhadap ion Mn (II) dan ion Cr (III)
menggunakan kulit pisang teraktivasi NaOH. (Santi, dalam Wattimury,
2012)
Pembuatan sederet larutan Mn (II) dan Cr (III) dengan konsentrasi 50mg/L
sebanyak 75 ml dengan pH diatur berturut-turut menjadi 2, 4, dan 6. Masingmasing larutan tambahkan sampel kulit pisang teraktivasi NaOH sebanyak 0,5 g.
selanjutnya beker glas yang berisi larutan uji dan sampel diaduk menggunakan
magnet stirer selama ± 2jam, lalu didiamkan selama 30 menit, kemudian larutan
dipisahkan dengan penyaringan. Hasil penyaringan diuji menggunakan AAS.
3.7.4 Uji Kinetika Adsorbsi ion Mn (II) dan Cr (III) menggunakan kulit
pisang teraktivasi NaOH. (Santi, dalam Wattimury, 2012)
Sampel kulit pisang teraktivasi NaOH 3%. Sebanyak 0,5 g ditambahkan ke
dalam larutan Mn (II) dan Cr (III) dengan konsentrasi masing-masing 50 mg/L
sebnayk 75 ml dengan pH optimum (berdasarkan hasil pada perlakuan pengaruh
pH), selanjutnya dilakukan pengadukan menggunakan magnet stirer, pada interval
waktu berturut-turut 30, 60, 90, dan 120 enit, dan disaring. Hasil penyaringan
diuji menggunakan AAS.
3.7.5 Penentuan Kapasitas Adsorpsi maksimum kulit pisang teraktivasi
NaOH. (Santi, dalam Wattimury, 2012)
Larutan Mn (II) dan larutan Cr (III) dengan masing-masing-masing
konsentrasi berturut-turut 20, 25, 50, 75, 100mg/L sebanyak 75 ml dan pH
optimum berdasarkan hasil pada perlakuan pengaruh pH; dicampur dengan
sampel kulit pisang teraktivasi NaOH sebanyak 0,5 g. kemudian lakukan
pengadukan menggunakan magnet stirer, selama waktu kesetimbangan yang
diperoleh berdasarkan uji kinetika, dan dilakukan penyaringan. Hasil penyaringan
diuji menggunakan ASS.

Skema Kerja
Limbah Biomassa
Kulit Pisang

Preparasi Kulit
Pisang

Kulit Pisang
Teraktivasi 3% NaOH

Pengaruh Variasi pH
2,4 dan 6 terhadap ion
Mn (II) dan Cr(III)

Uji Kinetika adsorpsi
(variasi waktu)
30,60,90, dan 120

Penentuan kapasitas
adsorpsi Maksimum

Uji SSA
(Spektrofotometer
Serapan Atom

Uji SSA
(Spektrofotemer
Serapan Atom)

Uji SSA
(Spektrofotometer
Serapan Atom)

Pengolahan Data
(microsoft EXEL)

Pengolahan data
(microsoft EXEL)

Pengolahan data
(microsoft EXEL)

Tabel C.1. Aktivasi Kulit Pisang Menggunakan NaOH 3% Berdasarkan
variasi pH dengan masing-masing Konsentrasi Larutan Mn 50 mg/L dan Cr
50 mg.L
No
1
2
3
No

pH
2
4
6
pH

Conc (mg/L)

Abs

BG

Conc (mg/L)

Abs

BG

1
2
3

2
4
6

Tabel C.2 Aktivasi kulit Pisang Menggunakan NaOH 3 % Berdasarkan Variasi waktu
dengan Konsentrasi larutan Mn (II) dan Cr (III) masing-masing 50 mg/L

No

pH

(Menit)

1

4

30

2

4

60

3

4

90

4

4

120

No

pH

(Menit)

1

4

30

2

4

60

3

4

90

4

4

120

Conc (mg/L)

Abs

BG

Conc (mg/L)

Abs

BG

Tabel C.3. aktivasi Kulit Pisang menggunakan NaOH 3% Berdasrkan variasi
konsentasi Larutan 20: 25: 50: 75:100 mg/L
No

pH

Waktu (menit)

Conc,

Conc

(optimum)

optimum

awal

(mg/L)

mg/L
1

4

90

20

2

4

90

25

3

4

90

50

Abs

BG

4

4

90

75

5

4

90

100

3.8 Teknik Analisis Data
1. Menghitung berat Crom dan berat Mn yang dibutuhkan untuk membuat larutan
standar Cr 1000 mg/L. Dengan menggunakan rumus,

2. Untuk membuat larutan Crom Nitrat Cr(NO3)3 sebanyak 75 ml dengan
konsentrasi 20 mg/L ; 25 mg/L ; 50 mg/L ; 75 mg/L ; 100 mg/L, Dilakukan
pengenceran larutan Crom Nitrat Cr(NO3)3 p,a, dengan menggunakan rumus
pengenceran dibawah ini : berlaku juga untuk larutan larutan MnSO4
v1 x M1= v2 x M2
Konsentrasi 100 mg/L.

Konsentrasi 75 mg/L.

Konsentrasi 50 mg/L.

Konsentrasi 25 mg/L.

Konsentrasi 20 mg/L,

5. Menghitung jumlah adsorbat yang terjerap pada adrorben saat kesetimbangan

(Qe) :
5.1 Perhitungan absorbat yang terjerap berdasarkan variasi pH 2 ; 4 ; 6
Pada saat pH =
Konsentrasi awal ( Co) = mg/L
Konsentrasi setimbang ( Ce ) = mg/L
Massa adsorben = g
Volume adsorbat = L

6. Presentase Adsorbsi:
6.1 Pengaruh Variasi pH 2, 4, 6

DAFTAR PUSTAKA
Nohong. 2010. Pemanfaatan Limbah Tahu Sebagai Bahan Penyerap
Logam Krom, Kadmium dan Besi Dalam Air Lindi TPA. Jurnal Pembelajaran
Sains, Vol. 6, No. 2:257-269

Palar. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka
Cipta
Sugiyarto, Kristian H. 2003. Kimia anorganik II. Yogyakarta: Jurusan
Kimia FMIPA UNY
Suhartini, Meri. 2012. Modifikasi Limbah Kulit Pisang Untuk Adsorben
Ion Logam Mn(II) Dan Cr(IV). Jurnal Sains Materi Indonesia, Vol.14, No. 2:229234
Wahab. 2004. Pengantar Biokimia. Malang: Bayumedia
Wattimury, John Hendrik. 2012. Studi Adsorpsi Ion Logam Crom (III)
Menggunakan Kulit Pisang Kepok (Musa normalis L.). Skripsi Universitas Negeri
Papua Manukwari