KONSTRUKSI PEREMPUAN IDEAL DALAM FILM

Film merupakan media dengan sejuta ideologi dan paradoks yang sangat luar
biasa. Bisa dikatakan hampir semua isi pesan dalam film tersebut selalu memuat
kepentingan ideologi yang hendak disampaikan kepada khalayak sasarannya. Pesan
ideologi tersebut biasanya disesuaikan dengan konteks sosial di masyarakat itu
sendiri, sehingga arwah ideologi tersebut akan lebih mudah masuk ke jiwa para
khalayak dan menciptakan pemahaman bahkan budaya popular baru yang
berkembang di kalangan masyarakat luas, tidak terkecuali di Indonesia itu sendiri.
Semakin banyaknya produksi film yang mengandung kepentingan tertentu, semakin
jeli juga para pengamat mengkaji, membaca dan mengkritisi film yang beredar di
pasar Indonesia. Melalui Filmologi, film dipandang dengan beda perspektif sehingga
menghasilkan opini baru yang menarik untuk dibicarakan, seperti multikultur ataupun
mungkin kajian kritis yang menyoroti mengenai isu gender di masyarakat.
Kajian gender merupakan kajian yang tidak bisa terlepas dalam kehidupan
masyarakat. Hampir semua lingkup masyarakat merasakan adanya perbedaan antaran
seorang laki-laki dan perempuan, itu semua memunculkan adanya sifat maskulin dan
feminin yang sangat kompleks di masyarakat Indonesia. Akan tetapi jika dilihat dari
kesetaraan gender yang ada, sering kali perempuan disorot lebih ekstrim dan
dijadikan sebagai objek eksploitasi hiburan dibandingan dengan kaum laki-laki itu
sendiri, begitu pula dalam beberapa film yang ada di Indonesia. Perempuan dalam
media film selalu dikonstruksikan seperti apa yang diharapkan oleh kaum laki-laki,
seperti perempuan ideal adalah perempuan yang cantik, putih, tinggi dan seksi. Itu

semua pastinya dapat menimbulkan bias gender di masyarakat. Dari beberapa film
yang beredar di masyarakat, ada satu dari beberapa film yang menyoroti mengenai
konstruksi perempuan dalam film, seperti dalam film “Bidadari-Bidadari Surga”
misalnya.
Kerangka Ideologi dalam Film
Film yang diadaptasi dari novel yang dibuat oleh Tere Liye tersebut mempunyai
ideologi yang hendak disampaikan terkait dengan konstruksi perempuan dalam film,
dimana perempuan yang ideal digambarkan sebagai perempuan yang mempunyai

sifat maskulin seperti halnya laki-laki. Pesan tersebut sedikit bertentangan dengan
konstruksi masyarakat mengenai perempuan ideal. Akan tetapi asumsi perempuan
maskulin adalah perempuan ideal itu terbantah oleh stereotype masyarakat yang
sudah mengaris bawahi, bahwa perempuan ideal ya harus berwajah cantik, berkulit
putih dan lain sebagainya. Dari situ bisa kita lihat adanya ideologi tersendiri yang
hendak disampaikan pembuat film kepada khalayak sasarannya. Itulah inti kerangka
ideologi yang disampaikan dari film “Bidadari-bidadari Surga”.
Sinopsis Film
Film “Bidadari-Bidadari Surga” adalah film yang diangkat dari novel best seller
karya Tere Liye.
Jenis Film


: Drama

Produser

: Chand Parwez Servia, Fiaz Servia

Produksi

: Starvision

Sutradara

: Sony Gaokasak

Cast
Laisa

: Nirina Zubir


Dalimunte

: Nino Fernandez

Yashinta

: Nadine Chandrawinata dan masih banyak lagi.

Film ini bercerita tentang kerja keras seorang perempuan yang bernama Laisa
yang merupakan anak sulung dari 5 bersaudara dalam menghidupi ke-4 adiknya dan
ibunya seorang, Ayah Laisa sudah meninggal dan Ia berpesan kepada Laisa untuk
menjaga keluarganya. Itu sebabnya Laisa rela berkorban demi keluarganya, termasuk
rela tidak melanjutkan sekolahnya karena harus mencari nafkah untuk keperluan
keluarga dan adiknya yang juga sekolah. Ia beranggapan bahwa seorang perempuan
tak sekolah pun tak apa itu sebabnya dia memutuskan untuk menghidupi keluarga dan
menjalankan amanah Ayahandanya. Sehari-harinya Laisa bekerja di kebun strawbery
dan mengurus rumah. Perjuangan Laisa dalam menghidupi dan menjaga keluarganya
sangatlah luar biasa, dia menanamkan sikap disiplin kepada keluarganya, bahkan

untuk melindungi keluarga, khususnya adiknya dia rela mengorbankan nyawanya

untuk melawan harimau di hutan. Seiring berjalannya waktu, adik-adik Laisa berhasil
dalam karirnya dan tiba saatnya untuk menikah. Namun mereka enggan untuk
mendahului Laisa. Akan tetapi Laisa tidak mau menikah dahulu, karena Ia takut jika
Ia menikah, maka Ia tidak bisa menjalankan amanah Ayahnya untuk menjaga
keluarganya. Walaupun terbesit ada keinginan untuk menikah, dan berkali-kali
dijodohkan oleh adiknya, Ia tetap bersih kukuh untuk tidak mau menikah, karena
kebanyakan laki-laki yang dijodohkan tidak menyukai Laisa karena buruk rupa.
Karena sayang dan pedulinya dengan adiknya, Laisa memaksa dan meyakinkan
adiknya untuk menikah, hingga semua adiknya menikah semua kecuali Yashinta, dia
tidak ingin mendahului Laisa untuk menikah walau sudah menemukan tambatan hati.
Dikisahkan Laisa mempunyai penyakit kangker, di akhir kisah ini Laisa meminta
Yashinta menikah di depan Laisa yang sakit-sakitan hingga akhirnya Yashinta
terpaksa

mau

dan

pada


saat

mereka

melangsungkan

pernikahan,

Laisa

menghembuskan nafas terakhir disisa hidupnya dan Laisa menjadi bidadari-bidadari
surga yang cantik parasnya dan putih kulitnya, karena sudah berhasil melaksanakan
amanah Ayahandanya hingga akhir hayatnya. Itulah sedikit gambaran inti dari film
“Bidadari-bidadari Surga”.
Analisis Film
Dari film “Bidadari-bidadari Surga” tersebut jika kita amati lebih detail, ada hal-hal
yang sangat seru untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut, khususnya dari isi pesan film
yang hendak disampaikan itu sendiri. Dimana Isi konten tersebut memadupadankan
antara stereotype dan konstruksi perempuan baru menurut pembuat film dan
konstruksi perempuan ideal menurut masyarakat, yang keduanya pada dasarnya

bertentangan, akan tetapi bisa diselaraskan melalui film tersebut. Berikut
penjelasannya :
1. Stereotype Baru Perempuan Ideal
Digambarkan dalam film “Bidadari-bidadari Surga” tersebut, bahwasaanya
Perempuan ideal adalah perempuan yang mempunyai sifat maskulin seperti

layaknya laki-laki, sedangkan paras cantik, putih dan seksi itu masalah
belakangan. Isi pesan ini bertolak belakang dari realitas aslinya, akan tetapi
dengan cerita yang dramatis dan persuasif, pendapat ini mulai menemukan titik
logis, manakala kita melihat perjuangan seorang Laisa yang sangat bekerja keras
dan mengorbankan dirinya sendiri demi keluarganya layaknya “Kartini Muda”.
Dari situ semua kita bisa menggambarkan, bahwasannya ada usaha dari pembuat
film untuk melakukan penyetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan,
Itu semua dibuktikan dari tokoh Laisa, seorang perempuan yang memiliki
tanggung jawab dan sifat layaknya laki-laki. Film ini ingin menggambarkan
bahwasannya seorang perempuan pun juga bisa menjadi layaknya laki-laki, maka
dari itu jangan terlalu menganggap remeh seorang perempuan, itulah sedikit
halnya pesan yang ingin disampaikan dari penulis atau pembuat film. Pesan atau
asumsi tersebut diperjelas dari adegan-adegan yang dilakukan Laisa, dimana dia
mampu melawan Harimau dan menyelamatkan adik-adiknya, mengurus rumah,

keluarga serta mengurus kebun sendirian dan lain sebagainya.

(Gambar 1. Laisa, Konstruksi Perempuan Maskulin)

Itu sebabnya mengapa pesan ini menjadi seru untuk diperbincangkan, karena
dilain sisi sudah mengarah pada kajian gender, pesan tersebut juga merupakan
ideologi yang berlawanan dari garis normalnya. Akan tetapi pesan yang ada masih
belum bisa diterima logis oleh masyarakat yang mengedepankan budaya patriaki
yang ada, asumsi yang mengatakan bahwa seorang perempuan yang ideal adalah
perempuan yang mempunyai sifat maskulin menjadi terbantah, karena budaya

patriaki yang meliputi masyarakat Indonesia. Itu sebabnya masyarakat kurang
menganggap wajar itu semua, bahkan menganggap pribadi Laisa adalah pribadi
yang langka, karena berbeda jauh dari definisi perempuan ideal.
2. Stereotype Perempuan Ideal di Mata Masyarakat
Inti pesan ideologi yang disamaikan di atas tidak bisa lepas dari stereotype
perempuan ideal menurut masyarakat, dimana stereotype tersebut sudah wajar dan
diterima di masyarakat itu sendiri. Berikut adalah penjelasannya :
a. Perempuan yang berparas cantik, putih tinggi dan seksi
Digambarkan juga dalam film tersebut, seorang perempuan yang ideal adalah

perempuan yang berparas cantik, putih, tinggi dan seksi. Itu semua terlihat dan
didukung dari pemeran Yashinta yang mempunyai kecantikan luar biasa,
seperti apa yang dikonstruksikan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.

(Gambar 2. Yashinta, Konstruksi Perempuan Ideal)

Selain itu asumsi ini juga dibuktikan manakala Laisa dipertemukan dengan
laki-laki yang akan dijodohkan dengannya, dia mulai memperhatikan
penampilan dirinya, seperti menggunakan aksesoris rambut untuk menutupi
rambutnya yang gimbal, berdandan dan lain sebagainya. Selain itu ada adegan
lain lagi yang memperkuat bahwasannya perempuan ideal adalah perempuan
yang cantik, manakala Laisa dipertemukan dengan laki-laki yang akan
dijodohkan dengannya, laki-laki tersebut mengira bahwa Laisa itu cantik dan
ketika bertemu dengan Laisa, laki-laki tersebut kaget melihat wajah Laisa tidak
secantik seperti apa yang Ia bayangkan. Dari adegan tersebut, sudah terbukti
jelas film ini masih membicarakan konteks perempuan ideal itu adalah
perempuan yang berparas cantik, walaupun film ini juga mencoba melihat sisi

lain dari perempuan yang ideal bukan hanya yang berparas cantik saja, akan
tetapi juga bisa perempuan maskulin layaknya laki-laki.

b. Perempuan yang ideal adalah perempuan yang menikah
Film tersebut juga ingin menggambarkan bahwa perempuan yang ideal itu
adalah perempuan ynag menikah, karena pada hayatnya perempuan itu
diciptakan dan ditakdirkan untuk membina hubungan rumah tangga dengan
seorang laki-laki, itu semua dibuktikan dari semua adik-adik Laisa yang
menikah dan menyuruh Laisa untuk menikah agar tidak menjadi bulan-bulanan
warga, karena wajahnya yang jelek, sehingga tidak ada laki-laki yang mau
dengannya. Dari adegan itu saja sudah terbukti bahwasannya masyarakat
menganggap perempuan yang ideal adalah perempuan yang menikah,
walaupun pada akhirnya pembuat film ini mengistilahkan bahwa pernikahan
itu tidaklah penting, yang penting adalah bisa membahagiakan keluarga dan
bisa menjalankan amanah dari orang tua. Itu semua dilakukan untuk
menumbuhkan asumsi baru, bahwa perempuan yang tidak menikah itu bukan
berarti tidak ideal, tapi justru sangat luar biasa di sisi lain, karena dia mampu
menjalani

kodrati

perempuan


yang

mengurus

keluarga

dan

membahagiakannya.
Dari penjelasan dan analisis singkat di atas, kita bisa melihat kekompleksan isi
pesan yang disampaikan dari film ini, khususnya dalam penyampaian isi mengenai
pendapat konstruksi perempuan yang bertolak belakang dari realitas aslinya dengan
padupadan konstruksi perempuan ideal menurut masyarakat. Film ini juga
memberikan penegasan bahwasannya konstruksi perempuan yang mempunyai sifat
maskulin itu pada dasarnya kalah dengan konstruksi perempuan ideal dengan paras
cantik. Itu semua dibuktikan dari budaya masyarakat yang kebanyakan masih
menganut sistem patriaki dan di akhir adegan setelah Laisa meninggal digambarkan
Laisa berubah dan berstransformasi menjadi perempuan cantik yang berkulit putih
dan tidak gimbal layaknya konstruksi perempuan anggapan masyarakat.


(Gambar 3. Laisa, Konstruksi Perempuan Ideal)

Itu artinya pesan perempuan maskulin itu hanyalah asumsi yang tertolak oleh
sistem budaya patriaki pembuat film tersebut. Itulah ideologi pesan yang ingin
disampaikan oleh pembuat film. Dari itu semua membuktikan bahwasannya film
tidak bisa lepas dari kepentingan pembuat filmnya.
Melihat kajian film “Bidadari-bidadari Surga” di atas, kita bisa merefleksikan
bahwasannya film itu tidak ada yang netral, maka dari itu kita harus dapat kembali
berfikir kritis dan melihat untuk kepentingan apa film itu diproduksi, tidak lain tidak
bukan untuk kepentingan pembuat film yang diambil dari persoalan produksi dan
konsumsi budaya, khususnya dalam film ini budaya matriaki yang terkalahkan oleh
patriaki yang berkaitan dengan ideologi gender yang ada di masyarakat umum.