PENDUDUK DAN HUBUNGAN ANTAR ETNIS DI KOT (1)
PENDUDUK DAN HUBUNGAN ANTAR ETNIS
DI KOTA SURABAYA PADA MASA KOLONIAL
Oleh: Purnawan Basundoro1
A. Pendahuluan
Hubungan antar etnis di dalam kota kolonial selalu dibayangkan sebagai
hubungan patron-klien yang bersifat eksploitatif. Anggapan tersebut untuk
beberapa kasus bisa dibenarkan tetapi tidak berlaku secara umum. Di berbagai
kota kolonial di Indonesia kedudukan sebagian besar masyarakat Eropa berposisi
sebagai majikan sedangkan penduduk lokal menempatkan diri sebagai buruh.
Ketika kekuasaan kolonial meluas sampai ke seluruh pulau, yang selama periode
tanam paksa menyebar sampai ke pedesaan, tidak dapat dipungkiri bahwa skala
prestise masyarakat Indonesia lama harus diganti dengan yang baru yang
menempatkan masyarakat Eropa pada posisi puncak. F. De Haan dalam bukunya
Oud Batavia mengemukakan bahwa selama periode abad ke-17 dan ke-18 satu
sistem status telah tumbuh di kantung-kantung yang dikontrol oleh kompeni di
Hindia Belanda yang secara substansial berbeda dengan dengan pola Indonesia
lama. Para pegawai kompeni membentuk lapisan sosial yang paling tinggi; di
bawah mereka adalah warga merdeka ( bebas), di antara mereka adalah penganut
agama Kristen (Belanda, mestizo, dan budak-budak Kristen yang diberi hak suara)
yang menduduki posisi yang paling istimewa; setelah itu adalah lapisan yang
terdiri atas orang Cina; penduduk Indonesia, sebagian besar adalah budak dan
kaum buruh, membentuk lapisan yang terbawah.2
1
Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Airlangga. Kandidat Doktor Sejarah pada Universitas Gadjah Mada
2
F. De Haan, Oud Batavia, (Bandung: Sumur Bandung, 1935), hlm. 349
1
B. Ras sebagai Dasar Relasi
Secara umum agama tidak lagi menjadi kriteria prestise sosial bagi
penduduk, melainkan ras. Membesarnya jumlah tenaga kerja kulit putih di atas ras
berwarna pada abad ke-19, bersamaan dengan naiknya posisi sosial kulit putih
serta pandangan sosial yang tinggi atas semua yang mempunyai karakteristik luar
seperti bahasa, pakaian, dan warna kulit yang menyimbolkan ras kulit putih. Oleh
karena itu di sebagian besar dunia, garis warna menjadi dasar struktur sosial
kolonial. Demikian pula yang terjadi di Jawa pada abad ke-19 dimana garis warna
menjadi dasar pembentukan struktur sosial, walaupun di masing-masing daerah
menunjukkan karakteristik yang beragam.3
Hubungan antar etnik di kota-kota kolonial di Indonesia, terutama
hubungan antara orang-orang kulit putih Eropa dengan penduduk lokal cukup
unik. Dalam banyak kasus hubungan mereka murni dalam kerangka hubungan
antara penjajah dan yang terjajah. Hubungan semacam ini bisa sangat menindas
bagi yang terjajah. Tetapi pada waktu dan tempat yang berlainan hubungan
mereka banyak dilandasai oleh motivasi kemanusiaan, yaitu hubungan yang murni
berdasarkan status sosial yang tidak dilandasi sentiman rasial. Jika hubungan
tersebut terjalin antara majikan yang Eropa dan buruh yang Indonesia, maka baikburuknya hubungan tersebut hanya bisa dinilai dari kelas sosial mereka yang
berbeda dan bukan karena perbedaan ras diantara mereka. Pada kenyataannya
kedudukan kaum buruh Indonesia di perkebunan-perkebunan, kantor-kantor, dan
pabrik-pabrik sangat lemah yang disebabkan karena daya tawar mereka amat
rendah sebagai akibat rendahnya pendidikan. Perbandingan antara jasa dan
3
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 107
2
imbalannya pada pembantu rumah tangga misalnya, boleh dikatakan tidak pada
tempatnya.4
Di tempat-tempat umum hubungan antar etnis hampir-hampir tidak
menjadi persoalan. Di tempat-tempat seperti kantor pos, stasiun kereta api dan bis,
klinik, dan toko, atau di pasar-pasar tidak ada satu pun pembatasan untuk mereka
yang ingin datang ke sana dan mengurus kebutuhannya. Tidak ada bagian terpisah
“hanya untuk orang kulit putih” dan “hanya untuk kulit berwarna” di jalan,
lapangan atau taman. Tiap orang boleh datang, dan tiap orang pun ada di sana. Ini
berlaku juga untuk kebanyakan tempat rekreasi yang tidak mengenal kebijakan
pembedaan menurut ras dan kelompok penduduk, bahkan menurut kelas sosial.
Tapi mengenai hal terakhir ini otomatis terjadi pembedaan menurut ukuran
kekuatan keuangan dan menurut kontrol sosial yang diam-diam berlaku. 5 Tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula tempat-tempat dan lembaga-lembaga
tertentu yang menerapkan kebijakan masuk selektif terhadap orang Indonesia.
Salah satu contoh dari white men’s territory di kota Surabaya adalah Simpang
Club. Sositeit ini merupakan gedung pertemuan untuk berbagai kegiatan para
warga yang berada, tapi juga white men’s club yang khas di Hindia Belanda.
Cerita mengenai kekhasan Simpang Club ditampilkan secara dramatis oleh
Elien Utrecht dengan latar belakang kejadian tahun 1940 atau satu tahun
sesudahnya. Elien bersama keluarganya pada waktu itu merupakan salah satu
pengunjung tetap Simpang Club. Mereka datang ke tempat itu sekedar untuk
bercengkerama, berdansa, dan makan malam sambil mendengarkan pertunjukan
4
Pembantu rumah tangga merupakan profesi yang banyak digeluti oleh penduduk
Indonesia pada masa kolonial. Mereka sebagian besar bekerja pada keluarga-keluarga Eropa di
perkotaan serta di beberapa kawasan perkebunan.
5
Elien Utrecht, Melintasi Dua Jaman, Kenangan tentang Indonesia Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan (Jakarta: Komunitas Bambu, 2006), hlm. 32
3
musik. Pada suatu saat ketika mereka sedang asyik mendengarkan pertunjukan
musik tiba-tiba ibu Elien melihat seseorang yang ia kenal masuk ruang besar
tersebut, sehingga secara reflek ia langsung berucap: “O, itu Alkadri”. Mereka
sebenarnya tidak mengenal secara pribadi orang tersebut, tetapi hampir semua
masyarakat yang pernah tinggal di kota Malang pada waktu itu, di mana Elien dan
keluarganya pernah tinggal, pasti mengenal Alkadri. Ia adalah putra Sultan
Pontianak dan perwira KNIL lulusan Breda. Sebagai putra seorang sultan yang
memiliki posisi strategis di sebuah kota kecil, Malang, sosoknya tidak asing bagi
warga kota setempat. Ketika mendengar kata-kata ibu yang mengucapkan sebuah
nama non-Eropa, paman Elien bereaksi dengan mangatakan bahwa menurut
peraturan Simpang Club sebagai seorang non-kulit putih, Alkadri tidak
diperbolehkan masuk. Paman Elien yang pada waktu itu menjabat sebagai
sekretaris Simpang Club kemudian mengambil tindakan drastis dengan mengusir
Alkadri untuk keluar dari ruangan tersebut.
Tindakan paman yang dengan serta merta mengusir Alkadri hanya karena
ia bukan seorang yang dilahirkan dengan kulit putih telah mengguncangkan jiwa
Elien dan ibunya. Ibu Elien lebih terguncang lagi karena dialah yang tanpa
sengaja telah “membuka” kulit Alkadri sehingga secara vulgar diketahui oleh
publik siapa sebenarnya dia. Alkadri yang berseragam perwira KNIL kemudian
keluar dengan tenang bersama rombongannya tanpa menimbulkan kegoncangan.
Tetapi peristiwa dramatis tersebut telah meninggalkan goncangan yang amat hebat
pada diri Elien dan ibunya, sehingga ketika keesokan harinya mereka bertemu
kembali dengan paman mereka di rumah terjadilah perdebatan yang amat hebat
4
mengenai kejadian malam sebelumnya. Ibu sangat memikirkan hal tersebut karena
tanpa ia sadari sebelumnya dengan tidak sengaja telah “melaporkan” Alkadri.6
Kisah Alkadri menunjukkan bahwa di kota-kota kolonial terdapat tempattempat yang secara sadar digunakan untuk melanggengkan “kemurnian ras”
kelompok-kelompok tertentu di negara jajahan. Jika dirunut ke belakang kisah
tersebut berakar pada dua hal, pertama, pada karakteristik kota dimana kota
merupakan wadah dari pluralitas dengan latar belakang etnik, ras, agama,
golongan sosial dan lain-lain. Kota merupakan melting pot dimana keragaman
menyatu namun dengan catatan-catatan tertentu seperti kisah Alkadri.7 Kedua,
pemisahan dalam keragaman merupakan hasil dari proses panjang dimana kota
digunakan sebagai ajang saling mencari pengaruh dari setiap kelompok yang
mencoba peruntungan di tempat tersebut.
C. Keragaman Penduduk Kota Surabaya
Ketika Surabaya ditetapkan sebagai kota yang mandiri secara administratif
pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1906, kota ini telah memiliki
penduduk yang amat heterogen. Penduduk Indonesia mendominasi dari
keseluruhan jumlah penduduk di kota tersebut. Pada tahun 1920 penduduk
Indonesia, yang dalam catatan-catatan administrasi kolonial disebut Inheemschan
dan secara politis dijuluki sebagai Inlander, berjumlah 148.411 orang. Jumlah
tersebut disusul dengan penduduk Cina yang berjumlah 22.118 orang, kemudian
penduduk Eropa yang berjumlah 17.497 orang, dan terakhir adalah penduduk
6
Sesudah ayahnya meninggal Alkadri kemudian menjadi Sultan Hamid (Alkadri) yang
menggantikan posisi ayahnya sebagai sultan di Pontianak. Ibid., hlm. 34
7
Lihat J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1944), terutama halaman 446.
5
Timur Jauh atau Vreemde Oosterlingen yang berjumlah 4.164 orang, sehingga
total penduduk kota Surabaya pada tahun tersebut berjumlah 192.190. 8
Penggunaan istilah-istilah untuk mengklasifikasikan penduduk di kota-kota di
Indonesia pada waktu itu oleh penguasa administrasi dan penguasa politik
kolonial terasa kurang lazim dan cenderung merendahkan (pejorative) orangorang non-Eropa. Penduduk Indonesia (asli) dijuluki sebagai Inlander atau
pribumi. Orang-orang dari negara-negara Asia non Cina diberi sebutan Vreemde
Oosterlingen yang secara harfiah berarti orang-orang dari negara-negara Timur
yang tidak dikenal (asing). Perasaan sebagai ras yang lebih tinggi yang dimiliki
orang-orang Eropa merupakan warisan dari masa lalu yang terus dipupuk oleh
generasi selanjutnya. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Denys Lombard, ketika
mereka semakin bersikap amat merendahkan bangsa-bangsa Asia, pada saat itu
pula sebenarnya mereka tengah menanam benih kehancuran.
Hubungan antar masyarakat di kota-kota kolonial dimana penduduknya
amat heterogen memang cenderung buruk dan rasialis. Hal ini tidak hanya
berkaitan hubungan antara orang-orang Eropa dengan penduduk lokal, tetapi
menjadi fenomena yang menyeluruh, sebagaimana akan dikemukakan di bagian
lain dari tulisan ini. Sebagai ilustrasi, kalimat-kalimat dari sebuah roman yang
ditulis oleh Beb Vuyk yang berjudul Verzameld Werk (Kumpulan Karangan) bisa
memperkuat gambaran tentang kondisi tersebut. Beb Vuyk yang salah seorang
neneknya berasal dari Indonesia sangat merasakan perubahan-perubahan orangorang kulit putih yang ia katakan sebagai “berkaratnya” ras kulit putih. Ia
menuliskan bahwa:
8
G.H. Von Faber, Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indie’s Voornaamste Koopstad
in de Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931, (Surabaya: Boekhandel en Drukkerij,
1933), hlm. 30
6
“Dapat dikatakan bahwa setiap orang yang datang ke Hindia dengan niat
untuk menetap di sana akan mengalami suatu transformasi. Manusia yang
bersahaja waktu berangkat dari Genoa merasa seakan-akan derajatnya naik
beberapa tingkat begitu tiba di Priok. Itulah proses berkaratnya jiwa yang
menimpa setiap orang. VOC telah mewarisi hak-hak para pemimpin lokal,
dan sejak tiga ratus tahun setiap pendatang baru yang mendarat di Hindia
dengan sendirinya menjadi seorang pemimpin, majikan, orang penting...
Sejak saat meninggalkan Eropa, ia telah menjadi “orang Eropa”. Tinggi
rendahnya kedudukan mereka berbanding terbalik dengan besar kecilnya
jumlah mereka; jika di suatu tempat terdapat hanya satu atau dua orang
Eropa, proses pengkaratan yang berbahaya itu berjalan lebih cepat...
Proses itu akan makin cepat jika orang itu berasal dari lingkungan
sederhana ataupun hanya mendapat pendidikan rendah. Itulah suatu
penyakit yang jarang diakui sebagai penyakit, namun lebih nyata daripada
banyak penyakit lainnya...”.9
Kalimat-kalimat di atas menyiratkan bahwa secara umum nasib bangsa
yang dijajah akan sangat tergantung dengan bangsa yang menjajah. Di tengahtengah pluralitas maka bangsa penjajah memposisikan dirinya pada posisi paling
atas, walaupun bisa jadi asal-usul mereka secara individual sebenarnya sangat
berkebalikan dengan posisinya di tanah jajahan.10
Heterogenitas penduduk kota Surabaya tidak hanya mencakup orang-orang
Indonesia, Cina, Timur Asing, dan Eropa saja karena sejatinya orang-orang Eropa
yang ada di kota Surabaya juga sangat heterogen. Mereka tidak hanya orangorang Belanda saja sebagai kelompok penduduk yang secara politis memerintah,
tetapi di luar mereka ternyata berdasarkan pendataan bulan April 1930 terdapat
lebih dari 25 kelompok-kelompok kebangsaan orang-orang Eropa, selain orangorang Belanda di kota Surabaya. Hal itu terlihat pada tabel di bawah ini:
9
“Het Laatste Huis van de Wereld”, (Rumah Terakhir di Dunia) dalam Beb Vuyk,
Verzameld Werk, (Amsterdam: Querido, 1972), hlm. 179-180
10
Cerita tentang orang Eropa yang merasa derajatnya naik ketika tiba di Hindia Belanda
bisa dibaca pada kisah hidup seorang prajurit yang ditulis oleh H.C.C. Clockener Brousson,
Gedenkschriften van Een Oud Kolonial. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke bahasa
indonesia dan diberi judul Batavia Awal Abad 20, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007)
7
Tabel 1:
Jumlah Penduduk Eropa Berdasarkan Kebangsaan
di Kota Surabaya pada April 1930
Kebangsaan
Laki-laki
Perempuan
Armenia
194
194
Belgia
40
38
Czechnya
17
13
Denmark
19
10
Jerman
507
338
Inggris
217
166
Perancis
24
34
Yunani
4
Hongaria
9
10
Italia
32
20
Latin
1
1
Norwegia
1
1
Oostenrijk
42
35
Polandia
12
15
Portugis
1
Rumania
9
6
Rusia
18
10
Turki
6
8
Swedia
7
6
Zwitzerland
41
26
Non-Eropa
Afrika
2
1
Amerika
18
13
Australia
2
1
Jepang
520
200
Philipina
22
4
Sumber: G.H. Von Faber, Nieuw Soerabaia, hlm. 35
Jumlah
Jiwa
388
78
30
29
845
383
85
4
19
52
2
2
77
27
1
15
28
14
13
67
Jumlah
Keluarga
85
16
5
5
171
87
8
3
12
1
1
16
4
2
5
3
3
16
3
31
3
720
26
7
1
124
3
Pada tahun 1930 jumlah keseluruhan orang Eropa di kota Surabaya sudah
melonjak menjadi 26.463 orang, penduduk Indonesia berjumlah hampir dua kali
lipat dari tahun 1920 yaitu menjadi 265.872 orang, komunitas Cina juga melonjak
tajam menjadi 38.797 orang, dan warga Timur Asing menjadi 5.682 orang.
D. Sentimen antar Ras
8
Hubungan sesama bangsa Eropa yang tinggal di kota Surabaya tidak
selamanya harmoni, bahkan seringkali berbagai kejadian politik yang terjadi di
Eropa mempengaruhi hubungan mereka di sini. Sentimen anti Jerman misalnya
menjangkiti orang-orang Belanda ketika tanggal 10 Mei 1940 Jerman menyerbu
Eropa dan Belanda jatuh ke tangan mereka. Di kota Surabaya jumlah orang
Jerman cukup tinggi yaitu 845 orang yang terdiri dari 171 keluarga. Setelah
Belanda jatuh ke tangan Jerman, di sekolah-sekolah di kota Surabaya berlangsung
adegan yang penuh dengan emosional. Guru-guru di sekolah Belanda menangis,
murid-murid merasa sedih dan tercengang. Keadaan menjadi kalut karena ada
murid-murid yang dikeluarkan hanya karena mereka bernama keluarga Jerman.
Orang-orang Jerman dan orang-orang Belanda dengan nama Jerman ditahan
secara serampangan.
Suasana menjadi kacau, tidak ada lagi tempat dan kesempatan untuk saling
mendengarkan. Berturut-turut bahasa Jerman dicoret dari daftar pelajaran bahasa
di sekolah-sekolah, tidak seorang pun lagi memerlukan sesuatu dari sejarah atau
ilmu bumi Jerman. Bahkan musik klasik para komponis Jerman tidak lagi
disiarkan oleh NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep-Matschappij).
Penyair-penyair dan penulis-penulis prosa besar Jerman seperti Goethe, Schiller,
Heinrich Heine, serta seluruh benda budaya Jerman dilempar menjadi satu
onggokan dan dibuang ke tengah kegelapan.11
Sesudah negeri Belanda dikuasai oleh Jerman, kota-kota di Indonesia
dimana mayoritas komunitas Eropa tinggal beredar berbagai desas-desus seputar
perkembangan dunia internasional. Rata-rata komunitas Eropa menyadari bahwa
sesudah bencana menimpa Eropa, bahaya yang mengancam komunitas mereka di
11
Utrecht, op.cit., hlm. 46
9
Jawa datang dari pihak Jepang. Desas-desus yang beredar juga sangat rasialis,
yang umumnya mengatakan bahwa fisik dan intelek orang Jepang lebih rendah
dari orang Eropa. Yang orang-orang Eropa ketahui mengenai orang-orang Jepang
adalah bahwa mereka hanya dapat meniru: meniru membuat mainan anak-anak,
gunting merek Solingen, dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang konon
berkualitas rendah. Di bidang ketrampilan militer, sebagaimana diceritakan orang,
mereka memiliki keterbatasan fisik karena posturnya kecil, dan punya bakat
alamiah rabun senja. Hal ini menghalangi orang Jepang menjadi pilot yang baik,
walau ia menguasai dengan baik pesawat tempur.12 Namun desas-desus rasialis
tersebut hilang ditelan angin manakala Jepang benar-benar menyerbu Indonesia
dan memaksa pemerintah kolonial Belanda bertekuk lutut tanpa syarat. Desasdesus bahwa tentara bertubuh pendek tersebut memiliki bakat alamiah rabun senja
ternyata hanya isapan jempol belaka, buktinya Pangkalan Militer Amerika Serikat
di Pearl Harbour disapu bersih hanya dalam hitungan jam.
Jumlah komunitas Jepang di kota Surabaya sebagaimana ditujukkan dalam
tabel di atas cukup besar, karena pada tahun 1930 saja terdapat 720 orang Jepang
di kota ini. Keberadaan komunitas Jepang di kota Surabaya memiliki pengaruh
yang cukup kuat bahkan secara simbolik mengalahkan pengaruh komunitas
Tionghoa. Masyarakat kota Surabaya lebih suka menyebut jalan raya yang
membelah kawasan Pecinan dengan sebutan Jalan Kembang Jepun dari pada
menyebut nama resminya, Handelstraat (Jalan Perdagangan). Bahkan tidak ada
satupun catatan yang menyebut jalan tersebut dengan sebutan Jalan Pecinan.
Tidak jelas benar kapan Handelstraat berubah menjadi Kembang Jepun, tetapi
kemungkinan besar baru pada awal abad ke-20 sebutan tersebut mencuat seiring
12
Ibid., hlm. 47
10
dengan datangnya gadis-gadis dari Jepang yang mengadu nasib dengan berprofesi
sebagai gadis penghibur (geisha) yang mangkal di salah satu rumah yang terletak
di jalan tersebut.
Keberadaan para geisha ini terkait dengan sikap orang-orang Jepang yang
tertutup dan hanya bergaul dengan sesama orang Jepang. Sebagai arena untuk
saling berkumpul dan mencari hiburan mereka kemudian membangun tempat
pertemuan yang setara dengan sositeit yang dimiliki perkumpulan orang-orang
Belanda. Sositeit Jepang tersebut terletak di Handelstraat. Untuk meramaikan
suasana tempat hiburan bagi masyarakat jepang di Surabaya, didatangkanlah
sejumlah geisha yang cantik-cantik dari negeri mereka. Keberadaan para gadis
yang diberi julukan Nippon no Hanna atau bunga dari Jepang, cepat menarik
perhatian masyarakat kota Surabaya. Dari sinilah maka Handelstraat berubah
menjadi Kembang Jepun. Jumlah mereka diperkirakan sangat sedikit namun telah
menjadi unsur simbolik yang amat kuat. Sebagian besar komunitas Jepang di kota
Surabaya berprofesi sebagai pedagang. Salah satu toko terkenal yang dimiliki oleh
mereka adalah Toko Choya yang terletak di Kembang Jepun. Beberapa
perusahaan dagang Jepang juga membuka kantornya di kota ini, antara lain Mitsui
Bussan yang dibuka tahun 1896, Mitsubishi Shonji, serta perusahaan transportasi
Osaka Shosen Kaisha. Kantor bank Jepang yang membuka cabang di kota
Surabaya antara lain Bank Mitsui, dan Bank Yokohama.13
Keberadaan komunitas Jepang di kota Surabaya cukup solid dan
terorganisir, sehingga pada tahun 1925 mereka berhasil mendirikan sekolah
khusus untuk anak-anak Jepang yang tinggal di kota itu (Nihonjin Gakko), dan
13
Meta Sekar Puji Astuti, Apakah Mereka Mata-mata?: Orang-orang Jepang di
Indonesia (1868-1942), (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 120
11
merupakan sekolah Jepang pertama di Indonesia pada masa kolonial Belanda.
Secara umum komunitas Jepang memiliki sifat yang tertutup dan cenderung
bergaul rapat diantara mereka sendiri kecuali untuk keperluan bisnis. Mengenai
interaksi orang-orang Jepang di Indonesia, bekas Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Van Mook dalam bukunya The Netherlands Indies and Japan
berkomentar cukup menarik. Menurutnya orang-orang Jepang tidak hanya ingin
bergaul dengan klub-klub mereka sendiri, perkumpulan-perkumpulan sosial, dan
tempat-tempat ibadah, tetapi juga sekolah khusus untuk mereka, dokter-dokter,
dokter gigi, bank-bank milik mereka, dan alat-alat transportasi. Lebih lanjut Van
Mook mengemukakan bahwa jika mereka diberi kesempatan untuk menentukan
sendiri dengan cara mereka, mereka pasti tidak akan merekrut pegawai pribumi,
kecuali buruh. Sebisa mungkin karyawan mereka laki-laki dan orang Jepang.
Mereka menganggap bahwa perdagangan, perkebunan, pertambangan, dan pabrikpabrik mereka merupakan bagian dari kegiatan perekonomian kekaisaran
Jepang.14
Hubungan orang-orang Jepang dengan masyarakat kota Surabaya tidak
begitu baik karena secara umum orang Jepang memandang rendah masyarakat
setempat. Sebagian besar orang Jepang menganggap bahwa masyarakat Indonesia
adalah orang-orang pemalas. Sangat sedikit orang Jepang yang mau mempelajari
bahasa setempat, kalau pun bisa hanya sekedarnya saja. Orang-orang Jepang
menghendaki agar mereka bisa sejajar dengan orang-orang Eropa yang sudah
lama bercokol di kota Surabaya. Mereka memang sangat mengagumi efektifitas
14
H.J. Van Mook, The Netherlands Indies and Japan: Their Relations 1940-1941,
(London: George Allen and Uwin Ltd., 1944), hlm. 18
12
sistem pemerintahan dan administrasi yang dijalankan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Selain membawa misi dagang, orang-orang Jepang ternyata juga
membawa misi budaya untuk mengenalkan budaya dan bangsa Jepang kepada
masyarakat kota Surabaya. Orang Surabaya menyebut para pendatang Jepang
dengan sebutan wong Yapan, orang Jepang. Cara-cara mereka dalam mengenalkan
budaya Jepang masih sangat sederhana. Salah satunya adalah dengan berkeliling
kota menggunakan sepeda pancal. Seorang laki-laki Jepang menuntun sepeda
dengan sebuah kotak kayu di belakangnya. Di tempat banyak orang berkumpul ia
berhenti. Dengan senyumnya yang khas sambil sedikit membungkuk ala
menghormat bangsa Jepang, ia mencoba menarik perhatian dengan ucapannya
yang khas, “Mari, bore riat...”. Tangannya kemudian sibuk mengeluarkan
sejumlah boneka replika sosok pria dan wanita Jepang dalam balutan kimono dan
busana kebesaran bushido yang kemudian menjejerkannya berderet di atas kotak.
Setelah selesai mempertunjukkan berbagai keahlian yang berkaitan dengan
budaya Jepang ia akan mengucapkan “Aringato, terimakasi, terimakasi...” sambil
mengemasi barang-barangnya dan kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut
dengan menuntun sepedanya.15 Jumlah orang Jepang di kota Surabaya meningkat
tajam ketika kota ini diduduki oleh mereka yang menggantikan keberadaan orangorang Belanda sejak awal tahun 1942.
Orang-orang Indonesia (Inheemschan) yang tinggal di kota Surabaya juga
berasal dari etnis yang amat beragam. Sebagai sebuah kota besar yang tumbuh
15
Peristiwa unik tersebut disaksikan oleh salah satu warga kota Surabaya,
Boedhimoerdono (1926-2002) yang kemudian ditulis menjadi sebuah buku yang dicetak sangat
terbatas. Boedhimoerdono, Jalan Panjang menuju Kota Pahlawan, (Surabaya: Pusura, 2003), hlm.
44-45
13
menjadi kota industri dan perdagangan, kota Surabaya menjadi tujuan migrasi dari
wilayah-wilayah sekitar bahkan dari Jawa Tengah dan dari luar pulau, terutama
dari pulau-pulau kawasan Indonesia bagian timur. Selain dari etnis Jawa, menurut
Faber penduduk kota Surabaya juga berlatarbelakang etnis Madura, Sunda,
Melayu, Bali, Minahasa, Ambon, dan lain-lain.16 Data yang berhasil dikumpulkan
oleh Departemen van Economische Zaken pada sensus penduduk tahun 1930
menunjukkan prosentase migran di kota Surabaya mencapai 51,4 persen. Jika data
tersebut benar maka sebenarnya kota Surabaya merupakan kota bagi pendatang
atau masyarakat urban.17 Prosentase tersebut merupakan yang terbesar kedua
untuk beberapa kota besar di Jawa. Bandung menempati urutan pertama sebagai
kota dengan penduduk yang berasal dari luar mencapai 55,1 persen. Batavia yang
sedang bergerak menjadi kota metropolis terbesar justru menempati urutan ketiga.
Jumlah migran di kota tersebut berjumlah 51,2 persen.18
Selain dari kabupaten-kabupaten di Jawa Timur, para pendatang di kota
Surabaya yang cukup banyak berasal dari Jawa Tengah dan Vorstenlanden. Sudah
sejak abad ke-19 orang-orang dari Jawa Tengah dan daerah Vorstenlanden
(Yogyakarta dan Surakarta) bermigrasi ke Jawa Timur. Alasannya adalah untuk
mencari penghidupan yang lebaih baik. Menurut Clifford Geertz kondisi
perekonimian di Jawa Tengah dan daerah Vorstenlanden yang cenderung statis
telah mendorong proses migrasi besar-besaran ke Jawa Timur yang secara umum
16
Faber, Nieuw Soerabaia, hlm. 43
Departemen van Economische Zaken, Volkstelling 1930 deel III: Inheemsche Bevolking
van Oost-Java, (Batavia: Landsdrukkerij, 1934), hlm. 29
18
Prosentase kaum migran untuk beberapa kota besar di Jawa antara lain:Surabaya 51,4
persen, Semarang 40,8 persen, Surakarta 35,5 persen, Yogyakarta 33 persen, Batavia 51,2 persen,
Bandung 55,1 persen, dan Meester Cornelis 41,6 persen. Ibid.
17
14
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik karena keberadaan
perkebunan yang amat luas dan produktif.19
Orang-orang dari Jawa Tengah yang melakukan migrasi ke Jawa Timur
paling banyak menuju ke daerah Jembar. Pada tahun 1930 jumlahnya mencapai
18.525 orang. Pilihan lain adalah menuju ke Banyuwangi (10.724 orang), dan
Malang (9.302 orang). Ketiga daerah tersebut merupakan daerah perkebunan yang
sedang tumbuh dan dikelola secara profesional oleh para pemodal dari Eropa.
Yang berpindah ke kota Surabaya hanya berjumlah 7.570 orang. 20 Imigran dari
Yogyakarta di Jawa Timur paling banyak menetap di Malang,14.419 orang,
sedangkan mereka yang berasal dari Surakarta banyak menetap di Blitar yaitu
mencapai 7.763 orang. Hanya sedikit orang-orang dari Yogyakarta dan Surakarta
yang memilih bermigrasi ke kota Surabaya, masing-masing hanya 1.369 orang
dan 2.283 orang.21 Mengapa mereka lebih tertarik untuk berpindah menuju ke
kawasan perkebunan, hal ini terkait erat dengan keahlian yang mereka miliki.
Rata-rata yang berpindah menuju ke daerah-daerah lain adalah penduduk
pedesaan yang memiliki ketrampilan terbatas. Ketrampilan utama mereka adalah
dalam hal mengolah tanah-tanah pertanian, sebuah ketrampilan yang cocok dan
sedang dibutuhkan di daerah-daerah perkebunan di Jawa Timur bagian timur dan
bagian selatan. Sebagian besar dari mereka adalah korban krisis ekonomi yang
sedang melanda dunia yang mencapai puncaknya pada tahun 1930.
Namun dari seluruh imigran yang ada di kota Surabaya yang terbanyak
adalah dari pulau Madura. Tabel di atas menunjukkan pada tahun 1930 jumlah
19
Clifford Geertz, Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, (Jakarta Grafiti Pers,
1986), terutama Bab III.
20
Departemen van Economische Zaken, op.cit., hlm. 25-26.
21
Ibid.
15
pendatang dari Bangkalan dan Sampang, wilayah Madura paling barat, sebanyak
26.004 orang. Menurut F.A. Sutjipto sejarah migrasi orang-orang dari pulau
Madura ke wilayah-wilayah lain di luar pulau sudah berlangsung sejak berabadabad sebelumnya. Ketika di Jawa masih sering dilanda peperangan banyak dari
mereka yang direkrut untuk menjadi prajurit di Mataram. Namun sebagian besar
dari mereka bermigrasi karena alasan ekonomi mengingat daerah kelahiran
mereka merupakan daerah yang sangat tidak subur dan sulit untuk ditanami. 22
Imigran dari pulau Madura memang memiliki karakteristik sendiri. Karena
tempatnya yang relatif lebih dekat serta ditunjang dengan infrastruktur
transportasi yang baik dan lancar maka sebagian besar dari mereka kembali ke
Madura secara temporer, minimal satu tahun satu kali ketika menjelang lebaran
tiba. Orang Madura menyebutnya sebagai toron, untuk istilah pulang kampung
atau mudik ke Madura.
Karena jumlahnya yang amat banyak, maka sosok orang Madura terasa
mendominasi kota Surabaya. Ia banyak mengisi sektor-sektor pekerjaan yang
cukup kasar, menjadi kuli angkut di pelabuhan dan di pasar-pasar, atau menjadi
pembantu rumah tangga, walaupuan rumah tangga Eropa kurang suka
mempekerjakan mereka. Ketika membandingkan dengan orang Jawa atau orang
Sunda, orang Eropa cenderung memandang negatif orang-orang dari Madura.
Mereka digambarkan sebagai orang yang kasar walaupun terdapat sisi-sisi positif
terutama dalam hal bekerja. Van Gelder misalnya melukiskan orang Madura
sebagai orang yang kurang memperhatikan kesopanan, lebih tidak formal
dibandingkan dengan orang Jawa. Mereka memiliki keberanian untuk
22
F.A. Sutjipto Tjiptoatmodjo, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura.” Disertasi
UGM Yogyakarta, 1983
16
menyuarakan pendapatnya sekalipun kepada atasannya. Gerak-geriknya hidup dan
dalam percakapan dengan sesama mereka condong bersuara lantang. Bahasanya
terdengar berat dan tajam tetapi penuh dengan pernyataan yang sejalan dengan
keseluruhan kepribadiannya.23 Kebebasannya sering dinyatakan dalam bentuk
kekasaran dan kekurangsopanan, suatu keadaan kurang menyenangkan bagi orang
yang untuk pertama kali berkenalan dengan orang Madura, sehingga ia akan kaget
terutama kalau ia sudah biasa berinteraksi dengan orang Jawa yang bersifat sopan
dan pengabdi. Bahkan dalam percakapan dengan pembesar tinggi, nada suara
orang Madura berani dan tak terhambat kesungkanan, sehingga sering terkesan
kurang ajar.24
Orang Madura juga digambarkan sebagai orang yang amat mudah
tersinggung, penuh curiga, pemarah, berdarah panas, beringas, pendendam, suka
berkelahi, dan kejam. Jika orang Madura dipermalukan, dihunusnya belati dan
dengan segera membalas dendam hinaan yang diterimanya, atau menunggu
sampai kesempatan datang untuk membalas dendam.25 Jika bepergian mereka
selalu membawa senjata tajam, umumnya yang dibawa ke mana-mana adalah are’
(clurit) baik yang besar maupun yang kecil. Dengan alat yang tajam itu mereka
bisa memotong apa saja, memotong kayu, membersihkan belukar untuk merintis
jalan, menebang pohon, dan lain-lain. Bahkan dengan tarikan nafas yang sama ia
juga akan memotong tangan, kaki, dan kepala orang lain jika memang harus
berbuat demikian.26 Untuk melucuti senjata “jelata Jawa Timur, sejak tahun 1864
23
W. Van Gelder, “De Residentie Madoera”, dalam Tijdschrift van het Koninklijk
Aardrijkskundig Genootschap te Amsterdam 16, 1899, hlm. 577
24
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie II, (“s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1918),
hlm. 639
25
De Djava Post, 22 September 1911
26
Mr. Wop (W. Tadema), Indische Brieven Mr. Wop over Koloniale Hervorming. II.
Madoereesche Toestanden, (‘s-Gravenhage: Nijhoff, 1866), hlm. 300
17
dilakukan penyitaan terhadap senjata tajam yang dibawa orang awam di tempat
umum. Pada awal abad ke-20, Petrus mengolok-olok bahwa Selat Madura tidak
akan dapat dilayari jika semua senjata yang disita itu diceburkan ke perairan
tersebut.27
Terdapat kesan yang amat kuat pada masyarakat Eropa yang tinggal di
kota Surabaya pada masa kolonial terhadap orang Madura, bahwa mereka sering
melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Mereka adalah pecandu judi yang
akan berbuat apa saja demi kesenangannya tersebut. Seseorang yang mengaku
bernama N menuliskan kesannya sebagai berikut:
“Seringkali terjadi bahwa untuk memungkinkannya berjudi, secara sia-sia
ia menghamburkan semua barang miliknya, lalu menggadaikan sawah
ladangnya pada tetangganya yang lebih kaya, atau pada orang Arab
ataupun Cina. Jika ia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali istri
atau anak gadisnya yang cantik, ia pun akan tega menggadaikan atau
menyerahkan wanita itu pada penjudi yang lebih beruntung.”28
Orang Madura juga digambarkan sebagai pelaku berbagai tindak kriminal,
sehingga ketika kendaraan becak sudah mulai ada di kota Surabaya, orang-orang
Eropa selalu diperingatkan bila akan naik becak yang dijalankan oleh orang
Madura karena dikhawatirkan akan dirampok. Tukang becaknya dikatakan akan
berpura-pura tidak tahu jalan, sebab mereka tidak dapat dipercaya dan bodoh.
Banyak orang yang memiliki pendidikan yang cukup tinggi akan malu jika
dikatakan sebagai keturunan orang Madura. Orang-orang Madura juga sering
dituduh sebagai pembuat kotor kota dan membuat tidak sehat lingkungan mereka.
Rumah dan halaman mereka sangat kumuh dan kotor. Halaman dipenuhi dengan
27
J. Th. Petrus, “De Madoerees en Zijn Wapen”, dalam Weekblad voor Indie 2-4, 19051906, hlm. 61
28
N, “Madureesche Stierengevechten”, dalam De Aarde en Haar Volken 67-2, 1931, hlm.
32
18
buangan barang bekas, sedangkan rumahnya buruk tak terawat serta tidak sebersih
rumah-rumah orang Jawa dan Sunda.29 Bagi yang tidak memiliki rumah seringkali
tidur di pinggir-pinggir jalan dengan membuat pelindung seadanya dari kardus,
tikar bekas, dan ranting-ranting. Kesukaan mereka hidup menggelandang sering
membuat tidak senang orang-orang Cina karena seringkali tidur di emper rumah
toko mereka, dan sulit sekali diusir pergi. Sifat, sikap, dan pandangan mereka
terhadap kota dan tempat tinggal pada periode selanjutnya akan sangat
menentukan jalannya sejarah kota Surabaya.
Hubungan antar etnis di kota Surabaya cenderung naik turun dan sangat
tergantung dengan berbagai peristiwa yang terjadi di kota ini yang melibatkan
etnis-etnis yang ada. Sebagai contoh misalnya, pada tanggal 2 Juni 1920 surat
kabar Pewarta Soerabaia, koran berbahasa Melayu terbesar yang terbit di kota
ini, menurunkan tulisan yang amat menarik yang mewakili sentimen antar etnis di
kota Surabaya sebagai berikut:
Ini hal soedah kedjadian di kreta api di klas doea. Di satoe bangkoe ada
doedoek doea orang Olanda, satoe orang Tionghoa dan satoe orang
Boemiputra. Itoe doea orang Olanda omong-omong tentang pemogokan di
fabriek dalam bahasa Olanda seperti jang biasa dipakei dalem kampoengkampoeng. Marika tjelah itoe pemogokan-pemogokan dan bagimana si
pemogok itoe kemoedian lantas soeka mentjoeri.
Doea orang jang doedoek depannja itoe orang Tionghoa dan Boemipoetra
omong-omong djoega dalem bahasa Olanda tapi omongannja ada lebih
bagoes dari pada itoe doea orang jang mengakoe bangsa Olanda.
“Wah, saia merasa sedih jang itoe orang-orang Boemipoetra sekarang
banjak djoega jang lantas djadi pentjoeri,” kata orang Boemipoetra pada
sobatnja orang Tionghoa jang lantas bales: “Ja, memang begitoe, tapi saia
rasa boekan salahnja marika sendiri. Marika dapat peladjaran dari orangorang Olanda dalem itoe perkara, teroetama orang bisa liat di bioscoop.”
Doea orang Olanda itoe lantas tjampoer omong: “tapi kaoe tiada inget itoe
djongos di Bandoeng soedah tjoba maoe perkosa satoe anak prampoean
Europa beroemoer 11 taon?”
29
‘t. H, “De Stierenwedrennen op Madoera”, De Aarde en Haar Volken 60-8, 1924, hlm.
180
19
“Nou, itoe djongos masih gelap pengetahoeannja, tapi saia heran kaoe
seorang Europa seperti meneer Zorab di Soerabaia, seorang jang sopan dan
telah mateng peladjarannja, soedah perkosa djoega satoe prampoean
Boemipoetra belon tjoekoep oemoer,” kata itoe orang Boemipoetra.
“Betoel, liat sadja itoe zedenschandaal di Den Haag. Di sitoe orang bisa
taoe sampei dimana kesopanannja orang Olanda,” kata orang itoe
Tionghoa boeat menjamboeng itoe omongan.
“Loe, Tjina toetoep moeloet. Ingetlah kaoe sama itoe merek dagang jang
dipalsoe oleh bebrapa orang bangsamoe,” kata si Olanda.
“Loe, Olanda inget loe itoe bandiet aoeto jang teritoeng djoega
bangsamoe. Inget loe commies gewesteijkraad jang maboer dengen gondol
oeang. Zwart pemalsoe cheque dan pembongkar brandkast,” Saoet itoe
orang Tionghoa. Mendadak condectoer dateng maoe mintain kartjis dan
itoe perbantahan lantas djadi dipeotoesken.30
Kejadian saling olok di kereta tersebut mencerminkan hubungan antar
etnik yang naik turun. Dalam obrolan tersebut terlihat jelas polarisasi etnis yang
terjadi. Walaupun dalam banyak kajian sering digambarkan bahwa orang Cina
biasanya lebih dekat dengan orang Eropa karena mereka sering kali mendapat
keuntungan, tetapi dalam kenyataan sehari-hari ternyata tidak seperti itu. Obrolan
di atas membuktikan bahwa orang Cina ternyata bersekongkol dengan seorang
bumiputra untuk memojokkan dan mengolok-olok orang Eropa. Hubungan antar
etnis yang amat cair nampaknya menjadi ciri masyarakat kota Surabaya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Parada Harahap yang melakukan perjalanan
jurnalistik keliling Indonesia pada tahun 1939 ia berkomentar bahwa sikap
“keambtenaren” tidak terlihat pada masyarakat Surabaya. Ia mengatakan bahwa
bumiputra sekalipun bisa memperoleh porsi yang sesuai dengan haknya. Hal ini
menurut pandangan Parada Harahap karena pengaruh “dagang”. 31 Pandangan
30
“Siapa jang Djelek” dalam Pewarta Soerabaia, 2 Juni 1920
31
Menurut Parada Harahap masyarakat kota Surabaya jauh lebih demokratis, dan jauh
dari sikap-sikap feodal karena pengaruh dari kultur dagang dan industri. Dalam kultur dagang
sikap yang paling menonjol adalah perburuan terhadap keuntungan dibandingkan sikap
mempersoalkan latar belakang etnis. Parada Harahap, Indonesia Sekarang, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1952), hlm. 183
20
tersebut seolah-olah menjadi bukti bahwa sebagian besar masyarakat kota
Surabaya sudah memasuki periode masyarakat industri.
E. Penutup
Secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk berhubungan
dengan siapapun. Namun sebagaimana sebuah pepatah mengatakan bahwa
“burung akan selalu bergabung dengan jenisnya” hubungan antar manusia selalu
didasari
oleh
pertimbangan-pertimbangan
tertentu.
Manusia
memiliki
kecenderungan yang kuat untuk hanya berhubungan secara intim dengan
kelompok-kelompok yang mereka kehendaki. Agama, ras, status sosial atau
ekonomi sering kali dijadikan pijakan oleh manusia untuk menjalin relasi dengan
sesamanya. Kondisi ini untuk beberapa kasus aktual telah menyulut berbagai
problem sosial yang sulit untuk diurai. Dengan menelusuri jejak-jejak sejarah
hubungan antar etnis/ras di berbagai kota di Indonesia maka kita akan belajar
sejauh mana kearifan masyarakat kita dalam menjaga harmoni antar berbagai
kelompok yang heterogen. Semoga makalah kecil ini bisa menjadi celah untuk
bercermin.
Daftar Pustaka
Astuti, Meta Sekar Puji. Apakah Mereka Mata-mata?: Orang-orang Jepang di
Indonesia (1868-1942). Yogyakarta: Ombak, 2008
Boedhimoerdono. Jalan Panjang menuju Kota Pahlawan. Surabaya: Pusura, 2003
Brousson, H.C.C. Clockener. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup Jakarta,
2007
De Djava Post, 22 September 1911
21
Departemen van Economische Zaken. Volkstelling 1930 deel III: Inheemsche
Bevolking van Oost-Java. (Batavia: Landsdrukkerij, 1934
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie II. “s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1918
Faber, G.H. Von. Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indie’s Voornaamste
Koopstad in de Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931.
Surabaya: Boekhandel en Drukkerij, 1933
Furnivall, J.S. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press, 1944
Geertz, Clifford. Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Jakarta Grafiti
Pers, 1986
Gelder, W. Van. “De Residentie Madoera”, dalam Tijdschrift van het Koninklijk
Aardrijkskundig Genootschap te Amsterdam 16, 1899
Haan, F. De. Oud Batavia. Bandung: Sumur Bandung, 1935
Harahap, Parada. Indonesia Sekarang. Jakarta: Bulan Bintang, 1952
N, “Madureesche Stierengevechten” dalam De Aarde en Haar Volken 67-2, 1931
Mook, H.J. Van. The Netherlands Indies and Japan: Their Relations 1940-1941.
London: George Allen and Uwin Ltd., 1944
Petrus, J. Th. “De Madoerees en Zijn Wapen” dalam Weekblad voor Indie 2-4,
1905-1906
“Siapa jang Djelek” dalam Pewarta Soerabaia, 2 Juni 1920
Tadema, Wop. Indische Brieven Mr. Wop over Koloniale Hervorming. II.
Madoereesche Toestanden. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, 1866
‘t. H, “De Stierenwedrennen op Madoera”, De Aarde en Haar Volken 60-8, 1924
Tjiptoatmodjo, F.A. Sutjipto. “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura.”
Disertasi UGM Yogyakarta, 1983
Utrecht, Elien. Melintasi Dua Jama: Kenangan tentang Indonesia Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan. Jakarta: Komunitas Bambu, 2006
Vuyk, Beb. Verzameld Werk. Amsterdam: Querido, 1972
Wertheim,W.F. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999
22
23
DI KOTA SURABAYA PADA MASA KOLONIAL
Oleh: Purnawan Basundoro1
A. Pendahuluan
Hubungan antar etnis di dalam kota kolonial selalu dibayangkan sebagai
hubungan patron-klien yang bersifat eksploitatif. Anggapan tersebut untuk
beberapa kasus bisa dibenarkan tetapi tidak berlaku secara umum. Di berbagai
kota kolonial di Indonesia kedudukan sebagian besar masyarakat Eropa berposisi
sebagai majikan sedangkan penduduk lokal menempatkan diri sebagai buruh.
Ketika kekuasaan kolonial meluas sampai ke seluruh pulau, yang selama periode
tanam paksa menyebar sampai ke pedesaan, tidak dapat dipungkiri bahwa skala
prestise masyarakat Indonesia lama harus diganti dengan yang baru yang
menempatkan masyarakat Eropa pada posisi puncak. F. De Haan dalam bukunya
Oud Batavia mengemukakan bahwa selama periode abad ke-17 dan ke-18 satu
sistem status telah tumbuh di kantung-kantung yang dikontrol oleh kompeni di
Hindia Belanda yang secara substansial berbeda dengan dengan pola Indonesia
lama. Para pegawai kompeni membentuk lapisan sosial yang paling tinggi; di
bawah mereka adalah warga merdeka ( bebas), di antara mereka adalah penganut
agama Kristen (Belanda, mestizo, dan budak-budak Kristen yang diberi hak suara)
yang menduduki posisi yang paling istimewa; setelah itu adalah lapisan yang
terdiri atas orang Cina; penduduk Indonesia, sebagian besar adalah budak dan
kaum buruh, membentuk lapisan yang terbawah.2
1
Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Airlangga. Kandidat Doktor Sejarah pada Universitas Gadjah Mada
2
F. De Haan, Oud Batavia, (Bandung: Sumur Bandung, 1935), hlm. 349
1
B. Ras sebagai Dasar Relasi
Secara umum agama tidak lagi menjadi kriteria prestise sosial bagi
penduduk, melainkan ras. Membesarnya jumlah tenaga kerja kulit putih di atas ras
berwarna pada abad ke-19, bersamaan dengan naiknya posisi sosial kulit putih
serta pandangan sosial yang tinggi atas semua yang mempunyai karakteristik luar
seperti bahasa, pakaian, dan warna kulit yang menyimbolkan ras kulit putih. Oleh
karena itu di sebagian besar dunia, garis warna menjadi dasar struktur sosial
kolonial. Demikian pula yang terjadi di Jawa pada abad ke-19 dimana garis warna
menjadi dasar pembentukan struktur sosial, walaupun di masing-masing daerah
menunjukkan karakteristik yang beragam.3
Hubungan antar etnik di kota-kota kolonial di Indonesia, terutama
hubungan antara orang-orang kulit putih Eropa dengan penduduk lokal cukup
unik. Dalam banyak kasus hubungan mereka murni dalam kerangka hubungan
antara penjajah dan yang terjajah. Hubungan semacam ini bisa sangat menindas
bagi yang terjajah. Tetapi pada waktu dan tempat yang berlainan hubungan
mereka banyak dilandasai oleh motivasi kemanusiaan, yaitu hubungan yang murni
berdasarkan status sosial yang tidak dilandasi sentiman rasial. Jika hubungan
tersebut terjalin antara majikan yang Eropa dan buruh yang Indonesia, maka baikburuknya hubungan tersebut hanya bisa dinilai dari kelas sosial mereka yang
berbeda dan bukan karena perbedaan ras diantara mereka. Pada kenyataannya
kedudukan kaum buruh Indonesia di perkebunan-perkebunan, kantor-kantor, dan
pabrik-pabrik sangat lemah yang disebabkan karena daya tawar mereka amat
rendah sebagai akibat rendahnya pendidikan. Perbandingan antara jasa dan
3
W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 107
2
imbalannya pada pembantu rumah tangga misalnya, boleh dikatakan tidak pada
tempatnya.4
Di tempat-tempat umum hubungan antar etnis hampir-hampir tidak
menjadi persoalan. Di tempat-tempat seperti kantor pos, stasiun kereta api dan bis,
klinik, dan toko, atau di pasar-pasar tidak ada satu pun pembatasan untuk mereka
yang ingin datang ke sana dan mengurus kebutuhannya. Tidak ada bagian terpisah
“hanya untuk orang kulit putih” dan “hanya untuk kulit berwarna” di jalan,
lapangan atau taman. Tiap orang boleh datang, dan tiap orang pun ada di sana. Ini
berlaku juga untuk kebanyakan tempat rekreasi yang tidak mengenal kebijakan
pembedaan menurut ras dan kelompok penduduk, bahkan menurut kelas sosial.
Tapi mengenai hal terakhir ini otomatis terjadi pembedaan menurut ukuran
kekuatan keuangan dan menurut kontrol sosial yang diam-diam berlaku. 5 Tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula tempat-tempat dan lembaga-lembaga
tertentu yang menerapkan kebijakan masuk selektif terhadap orang Indonesia.
Salah satu contoh dari white men’s territory di kota Surabaya adalah Simpang
Club. Sositeit ini merupakan gedung pertemuan untuk berbagai kegiatan para
warga yang berada, tapi juga white men’s club yang khas di Hindia Belanda.
Cerita mengenai kekhasan Simpang Club ditampilkan secara dramatis oleh
Elien Utrecht dengan latar belakang kejadian tahun 1940 atau satu tahun
sesudahnya. Elien bersama keluarganya pada waktu itu merupakan salah satu
pengunjung tetap Simpang Club. Mereka datang ke tempat itu sekedar untuk
bercengkerama, berdansa, dan makan malam sambil mendengarkan pertunjukan
4
Pembantu rumah tangga merupakan profesi yang banyak digeluti oleh penduduk
Indonesia pada masa kolonial. Mereka sebagian besar bekerja pada keluarga-keluarga Eropa di
perkotaan serta di beberapa kawasan perkebunan.
5
Elien Utrecht, Melintasi Dua Jaman, Kenangan tentang Indonesia Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan (Jakarta: Komunitas Bambu, 2006), hlm. 32
3
musik. Pada suatu saat ketika mereka sedang asyik mendengarkan pertunjukan
musik tiba-tiba ibu Elien melihat seseorang yang ia kenal masuk ruang besar
tersebut, sehingga secara reflek ia langsung berucap: “O, itu Alkadri”. Mereka
sebenarnya tidak mengenal secara pribadi orang tersebut, tetapi hampir semua
masyarakat yang pernah tinggal di kota Malang pada waktu itu, di mana Elien dan
keluarganya pernah tinggal, pasti mengenal Alkadri. Ia adalah putra Sultan
Pontianak dan perwira KNIL lulusan Breda. Sebagai putra seorang sultan yang
memiliki posisi strategis di sebuah kota kecil, Malang, sosoknya tidak asing bagi
warga kota setempat. Ketika mendengar kata-kata ibu yang mengucapkan sebuah
nama non-Eropa, paman Elien bereaksi dengan mangatakan bahwa menurut
peraturan Simpang Club sebagai seorang non-kulit putih, Alkadri tidak
diperbolehkan masuk. Paman Elien yang pada waktu itu menjabat sebagai
sekretaris Simpang Club kemudian mengambil tindakan drastis dengan mengusir
Alkadri untuk keluar dari ruangan tersebut.
Tindakan paman yang dengan serta merta mengusir Alkadri hanya karena
ia bukan seorang yang dilahirkan dengan kulit putih telah mengguncangkan jiwa
Elien dan ibunya. Ibu Elien lebih terguncang lagi karena dialah yang tanpa
sengaja telah “membuka” kulit Alkadri sehingga secara vulgar diketahui oleh
publik siapa sebenarnya dia. Alkadri yang berseragam perwira KNIL kemudian
keluar dengan tenang bersama rombongannya tanpa menimbulkan kegoncangan.
Tetapi peristiwa dramatis tersebut telah meninggalkan goncangan yang amat hebat
pada diri Elien dan ibunya, sehingga ketika keesokan harinya mereka bertemu
kembali dengan paman mereka di rumah terjadilah perdebatan yang amat hebat
4
mengenai kejadian malam sebelumnya. Ibu sangat memikirkan hal tersebut karena
tanpa ia sadari sebelumnya dengan tidak sengaja telah “melaporkan” Alkadri.6
Kisah Alkadri menunjukkan bahwa di kota-kota kolonial terdapat tempattempat yang secara sadar digunakan untuk melanggengkan “kemurnian ras”
kelompok-kelompok tertentu di negara jajahan. Jika dirunut ke belakang kisah
tersebut berakar pada dua hal, pertama, pada karakteristik kota dimana kota
merupakan wadah dari pluralitas dengan latar belakang etnik, ras, agama,
golongan sosial dan lain-lain. Kota merupakan melting pot dimana keragaman
menyatu namun dengan catatan-catatan tertentu seperti kisah Alkadri.7 Kedua,
pemisahan dalam keragaman merupakan hasil dari proses panjang dimana kota
digunakan sebagai ajang saling mencari pengaruh dari setiap kelompok yang
mencoba peruntungan di tempat tersebut.
C. Keragaman Penduduk Kota Surabaya
Ketika Surabaya ditetapkan sebagai kota yang mandiri secara administratif
pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1906, kota ini telah memiliki
penduduk yang amat heterogen. Penduduk Indonesia mendominasi dari
keseluruhan jumlah penduduk di kota tersebut. Pada tahun 1920 penduduk
Indonesia, yang dalam catatan-catatan administrasi kolonial disebut Inheemschan
dan secara politis dijuluki sebagai Inlander, berjumlah 148.411 orang. Jumlah
tersebut disusul dengan penduduk Cina yang berjumlah 22.118 orang, kemudian
penduduk Eropa yang berjumlah 17.497 orang, dan terakhir adalah penduduk
6
Sesudah ayahnya meninggal Alkadri kemudian menjadi Sultan Hamid (Alkadri) yang
menggantikan posisi ayahnya sebagai sultan di Pontianak. Ibid., hlm. 34
7
Lihat J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1944), terutama halaman 446.
5
Timur Jauh atau Vreemde Oosterlingen yang berjumlah 4.164 orang, sehingga
total penduduk kota Surabaya pada tahun tersebut berjumlah 192.190. 8
Penggunaan istilah-istilah untuk mengklasifikasikan penduduk di kota-kota di
Indonesia pada waktu itu oleh penguasa administrasi dan penguasa politik
kolonial terasa kurang lazim dan cenderung merendahkan (pejorative) orangorang non-Eropa. Penduduk Indonesia (asli) dijuluki sebagai Inlander atau
pribumi. Orang-orang dari negara-negara Asia non Cina diberi sebutan Vreemde
Oosterlingen yang secara harfiah berarti orang-orang dari negara-negara Timur
yang tidak dikenal (asing). Perasaan sebagai ras yang lebih tinggi yang dimiliki
orang-orang Eropa merupakan warisan dari masa lalu yang terus dipupuk oleh
generasi selanjutnya. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Denys Lombard, ketika
mereka semakin bersikap amat merendahkan bangsa-bangsa Asia, pada saat itu
pula sebenarnya mereka tengah menanam benih kehancuran.
Hubungan antar masyarakat di kota-kota kolonial dimana penduduknya
amat heterogen memang cenderung buruk dan rasialis. Hal ini tidak hanya
berkaitan hubungan antara orang-orang Eropa dengan penduduk lokal, tetapi
menjadi fenomena yang menyeluruh, sebagaimana akan dikemukakan di bagian
lain dari tulisan ini. Sebagai ilustrasi, kalimat-kalimat dari sebuah roman yang
ditulis oleh Beb Vuyk yang berjudul Verzameld Werk (Kumpulan Karangan) bisa
memperkuat gambaran tentang kondisi tersebut. Beb Vuyk yang salah seorang
neneknya berasal dari Indonesia sangat merasakan perubahan-perubahan orangorang kulit putih yang ia katakan sebagai “berkaratnya” ras kulit putih. Ia
menuliskan bahwa:
8
G.H. Von Faber, Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indie’s Voornaamste Koopstad
in de Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931, (Surabaya: Boekhandel en Drukkerij,
1933), hlm. 30
6
“Dapat dikatakan bahwa setiap orang yang datang ke Hindia dengan niat
untuk menetap di sana akan mengalami suatu transformasi. Manusia yang
bersahaja waktu berangkat dari Genoa merasa seakan-akan derajatnya naik
beberapa tingkat begitu tiba di Priok. Itulah proses berkaratnya jiwa yang
menimpa setiap orang. VOC telah mewarisi hak-hak para pemimpin lokal,
dan sejak tiga ratus tahun setiap pendatang baru yang mendarat di Hindia
dengan sendirinya menjadi seorang pemimpin, majikan, orang penting...
Sejak saat meninggalkan Eropa, ia telah menjadi “orang Eropa”. Tinggi
rendahnya kedudukan mereka berbanding terbalik dengan besar kecilnya
jumlah mereka; jika di suatu tempat terdapat hanya satu atau dua orang
Eropa, proses pengkaratan yang berbahaya itu berjalan lebih cepat...
Proses itu akan makin cepat jika orang itu berasal dari lingkungan
sederhana ataupun hanya mendapat pendidikan rendah. Itulah suatu
penyakit yang jarang diakui sebagai penyakit, namun lebih nyata daripada
banyak penyakit lainnya...”.9
Kalimat-kalimat di atas menyiratkan bahwa secara umum nasib bangsa
yang dijajah akan sangat tergantung dengan bangsa yang menjajah. Di tengahtengah pluralitas maka bangsa penjajah memposisikan dirinya pada posisi paling
atas, walaupun bisa jadi asal-usul mereka secara individual sebenarnya sangat
berkebalikan dengan posisinya di tanah jajahan.10
Heterogenitas penduduk kota Surabaya tidak hanya mencakup orang-orang
Indonesia, Cina, Timur Asing, dan Eropa saja karena sejatinya orang-orang Eropa
yang ada di kota Surabaya juga sangat heterogen. Mereka tidak hanya orangorang Belanda saja sebagai kelompok penduduk yang secara politis memerintah,
tetapi di luar mereka ternyata berdasarkan pendataan bulan April 1930 terdapat
lebih dari 25 kelompok-kelompok kebangsaan orang-orang Eropa, selain orangorang Belanda di kota Surabaya. Hal itu terlihat pada tabel di bawah ini:
9
“Het Laatste Huis van de Wereld”, (Rumah Terakhir di Dunia) dalam Beb Vuyk,
Verzameld Werk, (Amsterdam: Querido, 1972), hlm. 179-180
10
Cerita tentang orang Eropa yang merasa derajatnya naik ketika tiba di Hindia Belanda
bisa dibaca pada kisah hidup seorang prajurit yang ditulis oleh H.C.C. Clockener Brousson,
Gedenkschriften van Een Oud Kolonial. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke bahasa
indonesia dan diberi judul Batavia Awal Abad 20, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007)
7
Tabel 1:
Jumlah Penduduk Eropa Berdasarkan Kebangsaan
di Kota Surabaya pada April 1930
Kebangsaan
Laki-laki
Perempuan
Armenia
194
194
Belgia
40
38
Czechnya
17
13
Denmark
19
10
Jerman
507
338
Inggris
217
166
Perancis
24
34
Yunani
4
Hongaria
9
10
Italia
32
20
Latin
1
1
Norwegia
1
1
Oostenrijk
42
35
Polandia
12
15
Portugis
1
Rumania
9
6
Rusia
18
10
Turki
6
8
Swedia
7
6
Zwitzerland
41
26
Non-Eropa
Afrika
2
1
Amerika
18
13
Australia
2
1
Jepang
520
200
Philipina
22
4
Sumber: G.H. Von Faber, Nieuw Soerabaia, hlm. 35
Jumlah
Jiwa
388
78
30
29
845
383
85
4
19
52
2
2
77
27
1
15
28
14
13
67
Jumlah
Keluarga
85
16
5
5
171
87
8
3
12
1
1
16
4
2
5
3
3
16
3
31
3
720
26
7
1
124
3
Pada tahun 1930 jumlah keseluruhan orang Eropa di kota Surabaya sudah
melonjak menjadi 26.463 orang, penduduk Indonesia berjumlah hampir dua kali
lipat dari tahun 1920 yaitu menjadi 265.872 orang, komunitas Cina juga melonjak
tajam menjadi 38.797 orang, dan warga Timur Asing menjadi 5.682 orang.
D. Sentimen antar Ras
8
Hubungan sesama bangsa Eropa yang tinggal di kota Surabaya tidak
selamanya harmoni, bahkan seringkali berbagai kejadian politik yang terjadi di
Eropa mempengaruhi hubungan mereka di sini. Sentimen anti Jerman misalnya
menjangkiti orang-orang Belanda ketika tanggal 10 Mei 1940 Jerman menyerbu
Eropa dan Belanda jatuh ke tangan mereka. Di kota Surabaya jumlah orang
Jerman cukup tinggi yaitu 845 orang yang terdiri dari 171 keluarga. Setelah
Belanda jatuh ke tangan Jerman, di sekolah-sekolah di kota Surabaya berlangsung
adegan yang penuh dengan emosional. Guru-guru di sekolah Belanda menangis,
murid-murid merasa sedih dan tercengang. Keadaan menjadi kalut karena ada
murid-murid yang dikeluarkan hanya karena mereka bernama keluarga Jerman.
Orang-orang Jerman dan orang-orang Belanda dengan nama Jerman ditahan
secara serampangan.
Suasana menjadi kacau, tidak ada lagi tempat dan kesempatan untuk saling
mendengarkan. Berturut-turut bahasa Jerman dicoret dari daftar pelajaran bahasa
di sekolah-sekolah, tidak seorang pun lagi memerlukan sesuatu dari sejarah atau
ilmu bumi Jerman. Bahkan musik klasik para komponis Jerman tidak lagi
disiarkan oleh NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep-Matschappij).
Penyair-penyair dan penulis-penulis prosa besar Jerman seperti Goethe, Schiller,
Heinrich Heine, serta seluruh benda budaya Jerman dilempar menjadi satu
onggokan dan dibuang ke tengah kegelapan.11
Sesudah negeri Belanda dikuasai oleh Jerman, kota-kota di Indonesia
dimana mayoritas komunitas Eropa tinggal beredar berbagai desas-desus seputar
perkembangan dunia internasional. Rata-rata komunitas Eropa menyadari bahwa
sesudah bencana menimpa Eropa, bahaya yang mengancam komunitas mereka di
11
Utrecht, op.cit., hlm. 46
9
Jawa datang dari pihak Jepang. Desas-desus yang beredar juga sangat rasialis,
yang umumnya mengatakan bahwa fisik dan intelek orang Jepang lebih rendah
dari orang Eropa. Yang orang-orang Eropa ketahui mengenai orang-orang Jepang
adalah bahwa mereka hanya dapat meniru: meniru membuat mainan anak-anak,
gunting merek Solingen, dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang konon
berkualitas rendah. Di bidang ketrampilan militer, sebagaimana diceritakan orang,
mereka memiliki keterbatasan fisik karena posturnya kecil, dan punya bakat
alamiah rabun senja. Hal ini menghalangi orang Jepang menjadi pilot yang baik,
walau ia menguasai dengan baik pesawat tempur.12 Namun desas-desus rasialis
tersebut hilang ditelan angin manakala Jepang benar-benar menyerbu Indonesia
dan memaksa pemerintah kolonial Belanda bertekuk lutut tanpa syarat. Desasdesus bahwa tentara bertubuh pendek tersebut memiliki bakat alamiah rabun senja
ternyata hanya isapan jempol belaka, buktinya Pangkalan Militer Amerika Serikat
di Pearl Harbour disapu bersih hanya dalam hitungan jam.
Jumlah komunitas Jepang di kota Surabaya sebagaimana ditujukkan dalam
tabel di atas cukup besar, karena pada tahun 1930 saja terdapat 720 orang Jepang
di kota ini. Keberadaan komunitas Jepang di kota Surabaya memiliki pengaruh
yang cukup kuat bahkan secara simbolik mengalahkan pengaruh komunitas
Tionghoa. Masyarakat kota Surabaya lebih suka menyebut jalan raya yang
membelah kawasan Pecinan dengan sebutan Jalan Kembang Jepun dari pada
menyebut nama resminya, Handelstraat (Jalan Perdagangan). Bahkan tidak ada
satupun catatan yang menyebut jalan tersebut dengan sebutan Jalan Pecinan.
Tidak jelas benar kapan Handelstraat berubah menjadi Kembang Jepun, tetapi
kemungkinan besar baru pada awal abad ke-20 sebutan tersebut mencuat seiring
12
Ibid., hlm. 47
10
dengan datangnya gadis-gadis dari Jepang yang mengadu nasib dengan berprofesi
sebagai gadis penghibur (geisha) yang mangkal di salah satu rumah yang terletak
di jalan tersebut.
Keberadaan para geisha ini terkait dengan sikap orang-orang Jepang yang
tertutup dan hanya bergaul dengan sesama orang Jepang. Sebagai arena untuk
saling berkumpul dan mencari hiburan mereka kemudian membangun tempat
pertemuan yang setara dengan sositeit yang dimiliki perkumpulan orang-orang
Belanda. Sositeit Jepang tersebut terletak di Handelstraat. Untuk meramaikan
suasana tempat hiburan bagi masyarakat jepang di Surabaya, didatangkanlah
sejumlah geisha yang cantik-cantik dari negeri mereka. Keberadaan para gadis
yang diberi julukan Nippon no Hanna atau bunga dari Jepang, cepat menarik
perhatian masyarakat kota Surabaya. Dari sinilah maka Handelstraat berubah
menjadi Kembang Jepun. Jumlah mereka diperkirakan sangat sedikit namun telah
menjadi unsur simbolik yang amat kuat. Sebagian besar komunitas Jepang di kota
Surabaya berprofesi sebagai pedagang. Salah satu toko terkenal yang dimiliki oleh
mereka adalah Toko Choya yang terletak di Kembang Jepun. Beberapa
perusahaan dagang Jepang juga membuka kantornya di kota ini, antara lain Mitsui
Bussan yang dibuka tahun 1896, Mitsubishi Shonji, serta perusahaan transportasi
Osaka Shosen Kaisha. Kantor bank Jepang yang membuka cabang di kota
Surabaya antara lain Bank Mitsui, dan Bank Yokohama.13
Keberadaan komunitas Jepang di kota Surabaya cukup solid dan
terorganisir, sehingga pada tahun 1925 mereka berhasil mendirikan sekolah
khusus untuk anak-anak Jepang yang tinggal di kota itu (Nihonjin Gakko), dan
13
Meta Sekar Puji Astuti, Apakah Mereka Mata-mata?: Orang-orang Jepang di
Indonesia (1868-1942), (Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 120
11
merupakan sekolah Jepang pertama di Indonesia pada masa kolonial Belanda.
Secara umum komunitas Jepang memiliki sifat yang tertutup dan cenderung
bergaul rapat diantara mereka sendiri kecuali untuk keperluan bisnis. Mengenai
interaksi orang-orang Jepang di Indonesia, bekas Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Van Mook dalam bukunya The Netherlands Indies and Japan
berkomentar cukup menarik. Menurutnya orang-orang Jepang tidak hanya ingin
bergaul dengan klub-klub mereka sendiri, perkumpulan-perkumpulan sosial, dan
tempat-tempat ibadah, tetapi juga sekolah khusus untuk mereka, dokter-dokter,
dokter gigi, bank-bank milik mereka, dan alat-alat transportasi. Lebih lanjut Van
Mook mengemukakan bahwa jika mereka diberi kesempatan untuk menentukan
sendiri dengan cara mereka, mereka pasti tidak akan merekrut pegawai pribumi,
kecuali buruh. Sebisa mungkin karyawan mereka laki-laki dan orang Jepang.
Mereka menganggap bahwa perdagangan, perkebunan, pertambangan, dan pabrikpabrik mereka merupakan bagian dari kegiatan perekonomian kekaisaran
Jepang.14
Hubungan orang-orang Jepang dengan masyarakat kota Surabaya tidak
begitu baik karena secara umum orang Jepang memandang rendah masyarakat
setempat. Sebagian besar orang Jepang menganggap bahwa masyarakat Indonesia
adalah orang-orang pemalas. Sangat sedikit orang Jepang yang mau mempelajari
bahasa setempat, kalau pun bisa hanya sekedarnya saja. Orang-orang Jepang
menghendaki agar mereka bisa sejajar dengan orang-orang Eropa yang sudah
lama bercokol di kota Surabaya. Mereka memang sangat mengagumi efektifitas
14
H.J. Van Mook, The Netherlands Indies and Japan: Their Relations 1940-1941,
(London: George Allen and Uwin Ltd., 1944), hlm. 18
12
sistem pemerintahan dan administrasi yang dijalankan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Selain membawa misi dagang, orang-orang Jepang ternyata juga
membawa misi budaya untuk mengenalkan budaya dan bangsa Jepang kepada
masyarakat kota Surabaya. Orang Surabaya menyebut para pendatang Jepang
dengan sebutan wong Yapan, orang Jepang. Cara-cara mereka dalam mengenalkan
budaya Jepang masih sangat sederhana. Salah satunya adalah dengan berkeliling
kota menggunakan sepeda pancal. Seorang laki-laki Jepang menuntun sepeda
dengan sebuah kotak kayu di belakangnya. Di tempat banyak orang berkumpul ia
berhenti. Dengan senyumnya yang khas sambil sedikit membungkuk ala
menghormat bangsa Jepang, ia mencoba menarik perhatian dengan ucapannya
yang khas, “Mari, bore riat...”. Tangannya kemudian sibuk mengeluarkan
sejumlah boneka replika sosok pria dan wanita Jepang dalam balutan kimono dan
busana kebesaran bushido yang kemudian menjejerkannya berderet di atas kotak.
Setelah selesai mempertunjukkan berbagai keahlian yang berkaitan dengan
budaya Jepang ia akan mengucapkan “Aringato, terimakasi, terimakasi...” sambil
mengemasi barang-barangnya dan kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut
dengan menuntun sepedanya.15 Jumlah orang Jepang di kota Surabaya meningkat
tajam ketika kota ini diduduki oleh mereka yang menggantikan keberadaan orangorang Belanda sejak awal tahun 1942.
Orang-orang Indonesia (Inheemschan) yang tinggal di kota Surabaya juga
berasal dari etnis yang amat beragam. Sebagai sebuah kota besar yang tumbuh
15
Peristiwa unik tersebut disaksikan oleh salah satu warga kota Surabaya,
Boedhimoerdono (1926-2002) yang kemudian ditulis menjadi sebuah buku yang dicetak sangat
terbatas. Boedhimoerdono, Jalan Panjang menuju Kota Pahlawan, (Surabaya: Pusura, 2003), hlm.
44-45
13
menjadi kota industri dan perdagangan, kota Surabaya menjadi tujuan migrasi dari
wilayah-wilayah sekitar bahkan dari Jawa Tengah dan dari luar pulau, terutama
dari pulau-pulau kawasan Indonesia bagian timur. Selain dari etnis Jawa, menurut
Faber penduduk kota Surabaya juga berlatarbelakang etnis Madura, Sunda,
Melayu, Bali, Minahasa, Ambon, dan lain-lain.16 Data yang berhasil dikumpulkan
oleh Departemen van Economische Zaken pada sensus penduduk tahun 1930
menunjukkan prosentase migran di kota Surabaya mencapai 51,4 persen. Jika data
tersebut benar maka sebenarnya kota Surabaya merupakan kota bagi pendatang
atau masyarakat urban.17 Prosentase tersebut merupakan yang terbesar kedua
untuk beberapa kota besar di Jawa. Bandung menempati urutan pertama sebagai
kota dengan penduduk yang berasal dari luar mencapai 55,1 persen. Batavia yang
sedang bergerak menjadi kota metropolis terbesar justru menempati urutan ketiga.
Jumlah migran di kota tersebut berjumlah 51,2 persen.18
Selain dari kabupaten-kabupaten di Jawa Timur, para pendatang di kota
Surabaya yang cukup banyak berasal dari Jawa Tengah dan Vorstenlanden. Sudah
sejak abad ke-19 orang-orang dari Jawa Tengah dan daerah Vorstenlanden
(Yogyakarta dan Surakarta) bermigrasi ke Jawa Timur. Alasannya adalah untuk
mencari penghidupan yang lebaih baik. Menurut Clifford Geertz kondisi
perekonimian di Jawa Tengah dan daerah Vorstenlanden yang cenderung statis
telah mendorong proses migrasi besar-besaran ke Jawa Timur yang secara umum
16
Faber, Nieuw Soerabaia, hlm. 43
Departemen van Economische Zaken, Volkstelling 1930 deel III: Inheemsche Bevolking
van Oost-Java, (Batavia: Landsdrukkerij, 1934), hlm. 29
18
Prosentase kaum migran untuk beberapa kota besar di Jawa antara lain:Surabaya 51,4
persen, Semarang 40,8 persen, Surakarta 35,5 persen, Yogyakarta 33 persen, Batavia 51,2 persen,
Bandung 55,1 persen, dan Meester Cornelis 41,6 persen. Ibid.
17
14
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik karena keberadaan
perkebunan yang amat luas dan produktif.19
Orang-orang dari Jawa Tengah yang melakukan migrasi ke Jawa Timur
paling banyak menuju ke daerah Jembar. Pada tahun 1930 jumlahnya mencapai
18.525 orang. Pilihan lain adalah menuju ke Banyuwangi (10.724 orang), dan
Malang (9.302 orang). Ketiga daerah tersebut merupakan daerah perkebunan yang
sedang tumbuh dan dikelola secara profesional oleh para pemodal dari Eropa.
Yang berpindah ke kota Surabaya hanya berjumlah 7.570 orang. 20 Imigran dari
Yogyakarta di Jawa Timur paling banyak menetap di Malang,14.419 orang,
sedangkan mereka yang berasal dari Surakarta banyak menetap di Blitar yaitu
mencapai 7.763 orang. Hanya sedikit orang-orang dari Yogyakarta dan Surakarta
yang memilih bermigrasi ke kota Surabaya, masing-masing hanya 1.369 orang
dan 2.283 orang.21 Mengapa mereka lebih tertarik untuk berpindah menuju ke
kawasan perkebunan, hal ini terkait erat dengan keahlian yang mereka miliki.
Rata-rata yang berpindah menuju ke daerah-daerah lain adalah penduduk
pedesaan yang memiliki ketrampilan terbatas. Ketrampilan utama mereka adalah
dalam hal mengolah tanah-tanah pertanian, sebuah ketrampilan yang cocok dan
sedang dibutuhkan di daerah-daerah perkebunan di Jawa Timur bagian timur dan
bagian selatan. Sebagian besar dari mereka adalah korban krisis ekonomi yang
sedang melanda dunia yang mencapai puncaknya pada tahun 1930.
Namun dari seluruh imigran yang ada di kota Surabaya yang terbanyak
adalah dari pulau Madura. Tabel di atas menunjukkan pada tahun 1930 jumlah
19
Clifford Geertz, Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, (Jakarta Grafiti Pers,
1986), terutama Bab III.
20
Departemen van Economische Zaken, op.cit., hlm. 25-26.
21
Ibid.
15
pendatang dari Bangkalan dan Sampang, wilayah Madura paling barat, sebanyak
26.004 orang. Menurut F.A. Sutjipto sejarah migrasi orang-orang dari pulau
Madura ke wilayah-wilayah lain di luar pulau sudah berlangsung sejak berabadabad sebelumnya. Ketika di Jawa masih sering dilanda peperangan banyak dari
mereka yang direkrut untuk menjadi prajurit di Mataram. Namun sebagian besar
dari mereka bermigrasi karena alasan ekonomi mengingat daerah kelahiran
mereka merupakan daerah yang sangat tidak subur dan sulit untuk ditanami. 22
Imigran dari pulau Madura memang memiliki karakteristik sendiri. Karena
tempatnya yang relatif lebih dekat serta ditunjang dengan infrastruktur
transportasi yang baik dan lancar maka sebagian besar dari mereka kembali ke
Madura secara temporer, minimal satu tahun satu kali ketika menjelang lebaran
tiba. Orang Madura menyebutnya sebagai toron, untuk istilah pulang kampung
atau mudik ke Madura.
Karena jumlahnya yang amat banyak, maka sosok orang Madura terasa
mendominasi kota Surabaya. Ia banyak mengisi sektor-sektor pekerjaan yang
cukup kasar, menjadi kuli angkut di pelabuhan dan di pasar-pasar, atau menjadi
pembantu rumah tangga, walaupuan rumah tangga Eropa kurang suka
mempekerjakan mereka. Ketika membandingkan dengan orang Jawa atau orang
Sunda, orang Eropa cenderung memandang negatif orang-orang dari Madura.
Mereka digambarkan sebagai orang yang kasar walaupun terdapat sisi-sisi positif
terutama dalam hal bekerja. Van Gelder misalnya melukiskan orang Madura
sebagai orang yang kurang memperhatikan kesopanan, lebih tidak formal
dibandingkan dengan orang Jawa. Mereka memiliki keberanian untuk
22
F.A. Sutjipto Tjiptoatmodjo, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura.” Disertasi
UGM Yogyakarta, 1983
16
menyuarakan pendapatnya sekalipun kepada atasannya. Gerak-geriknya hidup dan
dalam percakapan dengan sesama mereka condong bersuara lantang. Bahasanya
terdengar berat dan tajam tetapi penuh dengan pernyataan yang sejalan dengan
keseluruhan kepribadiannya.23 Kebebasannya sering dinyatakan dalam bentuk
kekasaran dan kekurangsopanan, suatu keadaan kurang menyenangkan bagi orang
yang untuk pertama kali berkenalan dengan orang Madura, sehingga ia akan kaget
terutama kalau ia sudah biasa berinteraksi dengan orang Jawa yang bersifat sopan
dan pengabdi. Bahkan dalam percakapan dengan pembesar tinggi, nada suara
orang Madura berani dan tak terhambat kesungkanan, sehingga sering terkesan
kurang ajar.24
Orang Madura juga digambarkan sebagai orang yang amat mudah
tersinggung, penuh curiga, pemarah, berdarah panas, beringas, pendendam, suka
berkelahi, dan kejam. Jika orang Madura dipermalukan, dihunusnya belati dan
dengan segera membalas dendam hinaan yang diterimanya, atau menunggu
sampai kesempatan datang untuk membalas dendam.25 Jika bepergian mereka
selalu membawa senjata tajam, umumnya yang dibawa ke mana-mana adalah are’
(clurit) baik yang besar maupun yang kecil. Dengan alat yang tajam itu mereka
bisa memotong apa saja, memotong kayu, membersihkan belukar untuk merintis
jalan, menebang pohon, dan lain-lain. Bahkan dengan tarikan nafas yang sama ia
juga akan memotong tangan, kaki, dan kepala orang lain jika memang harus
berbuat demikian.26 Untuk melucuti senjata “jelata Jawa Timur, sejak tahun 1864
23
W. Van Gelder, “De Residentie Madoera”, dalam Tijdschrift van het Koninklijk
Aardrijkskundig Genootschap te Amsterdam 16, 1899, hlm. 577
24
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie II, (“s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1918),
hlm. 639
25
De Djava Post, 22 September 1911
26
Mr. Wop (W. Tadema), Indische Brieven Mr. Wop over Koloniale Hervorming. II.
Madoereesche Toestanden, (‘s-Gravenhage: Nijhoff, 1866), hlm. 300
17
dilakukan penyitaan terhadap senjata tajam yang dibawa orang awam di tempat
umum. Pada awal abad ke-20, Petrus mengolok-olok bahwa Selat Madura tidak
akan dapat dilayari jika semua senjata yang disita itu diceburkan ke perairan
tersebut.27
Terdapat kesan yang amat kuat pada masyarakat Eropa yang tinggal di
kota Surabaya pada masa kolonial terhadap orang Madura, bahwa mereka sering
melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Mereka adalah pecandu judi yang
akan berbuat apa saja demi kesenangannya tersebut. Seseorang yang mengaku
bernama N menuliskan kesannya sebagai berikut:
“Seringkali terjadi bahwa untuk memungkinkannya berjudi, secara sia-sia
ia menghamburkan semua barang miliknya, lalu menggadaikan sawah
ladangnya pada tetangganya yang lebih kaya, atau pada orang Arab
ataupun Cina. Jika ia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali istri
atau anak gadisnya yang cantik, ia pun akan tega menggadaikan atau
menyerahkan wanita itu pada penjudi yang lebih beruntung.”28
Orang Madura juga digambarkan sebagai pelaku berbagai tindak kriminal,
sehingga ketika kendaraan becak sudah mulai ada di kota Surabaya, orang-orang
Eropa selalu diperingatkan bila akan naik becak yang dijalankan oleh orang
Madura karena dikhawatirkan akan dirampok. Tukang becaknya dikatakan akan
berpura-pura tidak tahu jalan, sebab mereka tidak dapat dipercaya dan bodoh.
Banyak orang yang memiliki pendidikan yang cukup tinggi akan malu jika
dikatakan sebagai keturunan orang Madura. Orang-orang Madura juga sering
dituduh sebagai pembuat kotor kota dan membuat tidak sehat lingkungan mereka.
Rumah dan halaman mereka sangat kumuh dan kotor. Halaman dipenuhi dengan
27
J. Th. Petrus, “De Madoerees en Zijn Wapen”, dalam Weekblad voor Indie 2-4, 19051906, hlm. 61
28
N, “Madureesche Stierengevechten”, dalam De Aarde en Haar Volken 67-2, 1931, hlm.
32
18
buangan barang bekas, sedangkan rumahnya buruk tak terawat serta tidak sebersih
rumah-rumah orang Jawa dan Sunda.29 Bagi yang tidak memiliki rumah seringkali
tidur di pinggir-pinggir jalan dengan membuat pelindung seadanya dari kardus,
tikar bekas, dan ranting-ranting. Kesukaan mereka hidup menggelandang sering
membuat tidak senang orang-orang Cina karena seringkali tidur di emper rumah
toko mereka, dan sulit sekali diusir pergi. Sifat, sikap, dan pandangan mereka
terhadap kota dan tempat tinggal pada periode selanjutnya akan sangat
menentukan jalannya sejarah kota Surabaya.
Hubungan antar etnis di kota Surabaya cenderung naik turun dan sangat
tergantung dengan berbagai peristiwa yang terjadi di kota ini yang melibatkan
etnis-etnis yang ada. Sebagai contoh misalnya, pada tanggal 2 Juni 1920 surat
kabar Pewarta Soerabaia, koran berbahasa Melayu terbesar yang terbit di kota
ini, menurunkan tulisan yang amat menarik yang mewakili sentimen antar etnis di
kota Surabaya sebagai berikut:
Ini hal soedah kedjadian di kreta api di klas doea. Di satoe bangkoe ada
doedoek doea orang Olanda, satoe orang Tionghoa dan satoe orang
Boemiputra. Itoe doea orang Olanda omong-omong tentang pemogokan di
fabriek dalam bahasa Olanda seperti jang biasa dipakei dalem kampoengkampoeng. Marika tjelah itoe pemogokan-pemogokan dan bagimana si
pemogok itoe kemoedian lantas soeka mentjoeri.
Doea orang jang doedoek depannja itoe orang Tionghoa dan Boemipoetra
omong-omong djoega dalem bahasa Olanda tapi omongannja ada lebih
bagoes dari pada itoe doea orang jang mengakoe bangsa Olanda.
“Wah, saia merasa sedih jang itoe orang-orang Boemipoetra sekarang
banjak djoega jang lantas djadi pentjoeri,” kata orang Boemipoetra pada
sobatnja orang Tionghoa jang lantas bales: “Ja, memang begitoe, tapi saia
rasa boekan salahnja marika sendiri. Marika dapat peladjaran dari orangorang Olanda dalem itoe perkara, teroetama orang bisa liat di bioscoop.”
Doea orang Olanda itoe lantas tjampoer omong: “tapi kaoe tiada inget itoe
djongos di Bandoeng soedah tjoba maoe perkosa satoe anak prampoean
Europa beroemoer 11 taon?”
29
‘t. H, “De Stierenwedrennen op Madoera”, De Aarde en Haar Volken 60-8, 1924, hlm.
180
19
“Nou, itoe djongos masih gelap pengetahoeannja, tapi saia heran kaoe
seorang Europa seperti meneer Zorab di Soerabaia, seorang jang sopan dan
telah mateng peladjarannja, soedah perkosa djoega satoe prampoean
Boemipoetra belon tjoekoep oemoer,” kata itoe orang Boemipoetra.
“Betoel, liat sadja itoe zedenschandaal di Den Haag. Di sitoe orang bisa
taoe sampei dimana kesopanannja orang Olanda,” kata orang itoe
Tionghoa boeat menjamboeng itoe omongan.
“Loe, Tjina toetoep moeloet. Ingetlah kaoe sama itoe merek dagang jang
dipalsoe oleh bebrapa orang bangsamoe,” kata si Olanda.
“Loe, Olanda inget loe itoe bandiet aoeto jang teritoeng djoega
bangsamoe. Inget loe commies gewesteijkraad jang maboer dengen gondol
oeang. Zwart pemalsoe cheque dan pembongkar brandkast,” Saoet itoe
orang Tionghoa. Mendadak condectoer dateng maoe mintain kartjis dan
itoe perbantahan lantas djadi dipeotoesken.30
Kejadian saling olok di kereta tersebut mencerminkan hubungan antar
etnik yang naik turun. Dalam obrolan tersebut terlihat jelas polarisasi etnis yang
terjadi. Walaupun dalam banyak kajian sering digambarkan bahwa orang Cina
biasanya lebih dekat dengan orang Eropa karena mereka sering kali mendapat
keuntungan, tetapi dalam kenyataan sehari-hari ternyata tidak seperti itu. Obrolan
di atas membuktikan bahwa orang Cina ternyata bersekongkol dengan seorang
bumiputra untuk memojokkan dan mengolok-olok orang Eropa. Hubungan antar
etnis yang amat cair nampaknya menjadi ciri masyarakat kota Surabaya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Parada Harahap yang melakukan perjalanan
jurnalistik keliling Indonesia pada tahun 1939 ia berkomentar bahwa sikap
“keambtenaren” tidak terlihat pada masyarakat Surabaya. Ia mengatakan bahwa
bumiputra sekalipun bisa memperoleh porsi yang sesuai dengan haknya. Hal ini
menurut pandangan Parada Harahap karena pengaruh “dagang”. 31 Pandangan
30
“Siapa jang Djelek” dalam Pewarta Soerabaia, 2 Juni 1920
31
Menurut Parada Harahap masyarakat kota Surabaya jauh lebih demokratis, dan jauh
dari sikap-sikap feodal karena pengaruh dari kultur dagang dan industri. Dalam kultur dagang
sikap yang paling menonjol adalah perburuan terhadap keuntungan dibandingkan sikap
mempersoalkan latar belakang etnis. Parada Harahap, Indonesia Sekarang, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1952), hlm. 183
20
tersebut seolah-olah menjadi bukti bahwa sebagian besar masyarakat kota
Surabaya sudah memasuki periode masyarakat industri.
E. Penutup
Secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk berhubungan
dengan siapapun. Namun sebagaimana sebuah pepatah mengatakan bahwa
“burung akan selalu bergabung dengan jenisnya” hubungan antar manusia selalu
didasari
oleh
pertimbangan-pertimbangan
tertentu.
Manusia
memiliki
kecenderungan yang kuat untuk hanya berhubungan secara intim dengan
kelompok-kelompok yang mereka kehendaki. Agama, ras, status sosial atau
ekonomi sering kali dijadikan pijakan oleh manusia untuk menjalin relasi dengan
sesamanya. Kondisi ini untuk beberapa kasus aktual telah menyulut berbagai
problem sosial yang sulit untuk diurai. Dengan menelusuri jejak-jejak sejarah
hubungan antar etnis/ras di berbagai kota di Indonesia maka kita akan belajar
sejauh mana kearifan masyarakat kita dalam menjaga harmoni antar berbagai
kelompok yang heterogen. Semoga makalah kecil ini bisa menjadi celah untuk
bercermin.
Daftar Pustaka
Astuti, Meta Sekar Puji. Apakah Mereka Mata-mata?: Orang-orang Jepang di
Indonesia (1868-1942). Yogyakarta: Ombak, 2008
Boedhimoerdono. Jalan Panjang menuju Kota Pahlawan. Surabaya: Pusura, 2003
Brousson, H.C.C. Clockener. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup Jakarta,
2007
De Djava Post, 22 September 1911
21
Departemen van Economische Zaken. Volkstelling 1930 deel III: Inheemsche
Bevolking van Oost-Java. (Batavia: Landsdrukkerij, 1934
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie II. “s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1918
Faber, G.H. Von. Nieuw Soerabaia: De Geschiedenis van Indie’s Voornaamste
Koopstad in de Eerste Kwarteeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931.
Surabaya: Boekhandel en Drukkerij, 1933
Furnivall, J.S. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press, 1944
Geertz, Clifford. Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Jakarta Grafiti
Pers, 1986
Gelder, W. Van. “De Residentie Madoera”, dalam Tijdschrift van het Koninklijk
Aardrijkskundig Genootschap te Amsterdam 16, 1899
Haan, F. De. Oud Batavia. Bandung: Sumur Bandung, 1935
Harahap, Parada. Indonesia Sekarang. Jakarta: Bulan Bintang, 1952
N, “Madureesche Stierengevechten” dalam De Aarde en Haar Volken 67-2, 1931
Mook, H.J. Van. The Netherlands Indies and Japan: Their Relations 1940-1941.
London: George Allen and Uwin Ltd., 1944
Petrus, J. Th. “De Madoerees en Zijn Wapen” dalam Weekblad voor Indie 2-4,
1905-1906
“Siapa jang Djelek” dalam Pewarta Soerabaia, 2 Juni 1920
Tadema, Wop. Indische Brieven Mr. Wop over Koloniale Hervorming. II.
Madoereesche Toestanden. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, 1866
‘t. H, “De Stierenwedrennen op Madoera”, De Aarde en Haar Volken 60-8, 1924
Tjiptoatmodjo, F.A. Sutjipto. “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura.”
Disertasi UGM Yogyakarta, 1983
Utrecht, Elien. Melintasi Dua Jama: Kenangan tentang Indonesia Sebelum dan
Sesudah Kemerdekaan. Jakarta: Komunitas Bambu, 2006
Vuyk, Beb. Verzameld Werk. Amsterdam: Querido, 1972
Wertheim,W.F. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999
22
23