BAB 2. PROFIL KABUPATEN KOTA - DOCRPIJM 8cdec2b926 BAB IIBAB 2
BAB 2. PROFIL KABUPATEN KOTA
2.1. Wilayah Administrasi i. Gambaran Administrasi Wilayah
Kota Bitung terletak pada posisi geografis 1°23'23" - 1°35'39" LU dan 125°1'43" - 125°18'13" BT. Batas Wilayah kota Bitung adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan : Kecamatan Likupang (Kabupaten Minahasa Utara) dan Laut Maluku.
Sebelah Selatan berbatasan dengan : Laut Maluku. Sebelah Barat berbatasan dengan : Kecamatan Kauditan (Kabupaten Minahasa
Utara) Sebelah Timur berbatasan dengan : Laut Maluku.
Berdasarkan letak geografi snya, Kota Bitung terletak di daratan pulau Sulawesi dan sebagian adalah daerah kepulauan yaitu Pulau Lembeh. Kota Bitung terdi ri dari 8 Kecamatan, 6 Kecamatan terletak di pulau Sulawesi yaitu Kecamatan Madidir, Matuari , Girian, Aertembaga, Maesa dan Ranowulu dan 2 Kecamatan terletak di Pulau Lembeh yaitu Lembeh Selatan dan Lembeh Utara.
Kecamatan- kecamatan tersebut yaitu: 1.
Kecamatan Madidir yang memiliki 8 kelurahan.
2. Kecamatan Matuari yang memiliki 8 kelurahan.
3. Kecamatan Girian yang memiliki 7 kelurahan.
4. Kecamatan Lembeh Selatan memiliki 7 kelurahan.
5. Kecamatan Lembeh Utara yang memiliki 10 kelurahan.
6. Kecamatan Aertembaga yang memiliki 10 kelurahan.
7. Kecamatan Maesa yang memiliki 8 kelurahan, dan 8.
Kecamatan Ranowulu yang memiliki 11 kelurahan.
Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bitung (km2), 2015
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bitung, 2015
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016 ii.Peta Wilayah Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
2.2. Potensi Wilayah
Pertanian
Sebagaimana kondisi beberapa tahun sebelumnya, hingga tahun 2014 ini Kota Bitung tetap bukan merupakan salah satu kota sentra produksi padi di Sulawesi Utara. Luas panen pertanian padi (padi sawah dan padi ladang) pada tahun 2014 adalah 218 Ha dengan nilai produksi sebesar 977,92 Ton.
Perkembangan Produksi Padi dan Palawija di Kota Bitung Tahun 2008 – 2014 Sumber : RPJMD Kota Bitung
Terjadi penurunan cukup signifikan pada nilai produksi pada tahun 2014 jika dibandingkan dengan nilai produksi pada tahun 2013 lalu. Penurunan nilai produksi tersebut merupakan hasil dari penurunan luas panen sebesar 48 Ha Sejalan dengan padi, tanaman pala pada tahun 2014 secara umum cenderung turun baik dilihat dari luas panen maupun nilai produksi. Jika dibandingkan dengan tahun 2013 kecuali pada kacang kedelai yang mengalami kenaikan produksi sebesar 99,43%. Peningkatan produksi komoditas pertanian juga terjadi pada sayuran dan khususnya cabe.
Perkebunan Sepanjang tahun 2013 terjadi kenaikan luas areal perkebunan, dan banyaknya pohon pada kelapa, jambu mete dan aren selain itu meningkat.
Kehutanan Menurut fungsinya hutan dibagi menjadi hutan lindung, hutan wisata, suaka alam dan taman wisata. Di Kota Bitung tahun 2013, dari total luas hutan yang sebesar 15.051,58 hektar sebagian besar merupakan hutan cagar alam 9.106,2 hektar (60.5 persen) dan hutan lindung 4.611,5 hektar (30.64 persen). Sisanya adalah Taman wisata 1.312,38 hektar (8.72 persen) dan hutan wisata 21,5 hektar ( 0,14 persen ).
Peternakan Populasi ternak besar/kecil yang terdiri dari sapi, kambing, babi, kuda pada tahun 2013 secara berturut-turut 2.564 ekor, 1.873 ekor, 20.385 ekor dan 19 ekor. Jumlah populasi ternak ini mengalami sebagianpeningkatan dibandingkan tahun sebelumnya terutama pada jumlah sapi yang meningkat sebesar 8,60% yaitu dari 2.361 ekor menjadi 2.564 ekor.
Populasi Beberapa Jenis Ternak di Kota BitungTahun 2007-2013
Sumber : RPJMD Kota BitungSedangkan untuk jumlah ternak unggas diketahui jumlahnya meningkat 6,37 % untuk itik , untuk ayam ras turun sebesar 7,82% dan untuk ayam bukan ras meningkat sebesar 1,00%.
Populasi Ternak Unggas di Kota Bitung Tahun 2008 – 2013 Sumber : RPJMD Kota Bitung
Perikanan Produksi perikanan laut tahun 2013 turun sebesar 16,35%, yakni dari 159.319,4 ton menjadi 133.277,6 ton. Penurunan produksinya tidak berpengaruh terhadap nilai produksi perikanan laut pada tahun 2013 yang mengalami peningkatan yang cukup significan yaitu sebesar 66,68%, yakni dari 1.692,02 milyar rupiah pada tahun 2012 menjadi 2.820,27 milyar rupiah tahun 2013. Selain itu diketahui Aktivitas usaha perikanan darat meliputi tambak, kolam, keramba dan sawah mengalami kenaikan produksi pada tahun 2013. Pada tahun 2013, sudah tidak ada produksi perikanan darat dari sektor sawah sehingga hanya berasal dari kolam, naik sebesar 31,83% dengan nilai produksi juga naik signifikan dari 4.235.000 ribu menjadi 4.603.000 ribu.
2.3. Demografi dan Urbanisasi
Sumber utama data kependudukan adalah sensus penduduk yang di laksanakan setiap sepuluh tahun sekali . Sensus penduduk telah di laksanakan sebanyak enam kali sejak Indones ia merdeka, yaitu tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010. Di dalam sensus penduduk, pencacahan di lakukan terhadap seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah teritorial Indonesia termasuk warga negara asing kecuali anggota korps diplomatic negara sahabat beserta keluarganya. Metode pengumpulan data dalam sensus di lakukan dengan wawancara antara petugas sensus dengan responden dan juga melalui e-census. Pencata tan penduduk menggunakan konsep usual residence, yaitu konsep di mana penduduk biasa bertempat tinggal . Bagi penduduk yang bertempat tinggal tetap dicacah di mana mereka biasa tinggal , sedangkan untuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap dicacah di tempat di mana mereka ditemukan pe tugas sensus pada malam ‘Hari Sensus’. Te rmasuk pe nduduk ya ng tidak bertempat tinggal tetap adalah tuna wisma, awak kapal berbendera Indonesia, penghuni perahu/rumah apung, masyarakat terpencil/terasing, dan pengungsi. Bagi mereka yang mempunyai tempat tinggal tetap dan sedang bepergian ke luar wilayah lebih dari enam bulan, tidak dicacah di tempat tinggalnya, tetapi dicacah di tempat tujuannya. Untuk tahun yang tidak di laksanakan sensus penduduk, data kependudukan diperoleh dari hasil proyeks i penduduk. Proyeksi penduduk merupakan suatu perhitungan ilmiah yang didasarkan pada asumsi dari komponenkomponen perubahan penduduk, yaitu kelahi ran, kematian, dan migrasi . Proyeksi penduduk Indonesia 2010
- –2035 menggunakan data dasar penduduk hasil SP2010. Penduduk Indonesia adalah semua orang yang berdomisili di wi layah teritorial Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Laju pertumbuhan penduduk adalah angka yang menunjukkan persentase pertambahan penduduk dalam jangka waktu tertentu.
2. 4. Isu Strategis Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
I. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Potensi Ekonomi
- Data tentang Produk Domestik Regional Bruto/PDRB sebagai dasar pengukuran pertumbuhan ekonomi, disajikan menggunakan tahun dasar 2010. Keadaan perekonomian Kota Bitung selang 2010 - 2013 mengalami peningkatan yang stabil. Tahun 2013, PDRB Kota Bitung atas dasar harga berlaku sebesar 9,38 trilyun rupiah. Sedangkan atas dasar harga konstan 2010 mencapai 8,23 triliun rupiah atau naik 11,33 persen dibanding tahun 2012.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Perkembangan PDRB Kota Bitung
Sumber : kota bitung dalam angka 2016- Pertumbuhan ekonomi Kota Bitung Tahun 2010 yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2010 mengalami peningkatan 6,66 persen. Pertumbuhan ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 6,45 persen. Indikator utama kemajuan perekonomian suatu wilayah dapat diukur dengan melihat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kota Bitung menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun, Laju pertumbuhan ini bisa dikatakan merupakan keberhasilan bagi pemerintah kota Bitung dan juga keberhasilan ini masih bisa dikembangkan sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan.
Potensi Pertumbuhan Ekonomi
II. Data Pendapatan Per Kapita
PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-masing penduduk sebagai akibat adanya aktifitas produksi. Tinggi rendahnya tingkat produktivitas penduduk suatu daerah bisa dilihat dari tinggi rendahnya PDRB per kapita. Angka ini diperoleh dengan membagi antara total nilai PDRB Kota Bitung dengan jumlah penduduk Kota Bitung pada pertengahan tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada suatu daerah tertentu belum tentu menunjukan meningkatnya kemakmuran masyarakatnya. Indikator kesejahteraan masyarakat daerah tersebut juga ditentukan oleh pemerataan akan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan diikuti oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi pula menyebabkan tidak meningkatnya pendapatan perkapita. Demikian juga dengan pemerataan kesejahteraan, tingginya laju pendapatan tidak selalu diikuti oleh meratanya pendapatan yang diterima oleh masyarakat. PDRB per kapita di Bitung pada tahun 2013 sebesar Rp. 27,904,046. Angka ini menunjukan besarnya produktivitas penduduk pada tahun 2013. Sedangkan pendapatan per kapitanya adalah Rp. 21,092,925. Angka ini merupakan angka yang didapatkan atas dasar harga berlaku. Jika mempertimbangkan pengaruh perubahan harga sejak tahun 2000 sebagai tahun dasar, maka PDRB perkapitanya adalah Rp. 13,962,743 dan pendapatan per kapitanya sebesar Rp. 12,634,911. Artinya baik produktivitas maupun pendapatan per kapita menunjukan adanya kenaikan secara riil dibandingkan tahun 2012 yang masing-masing nilainya adalah Rp 13,224,670 dan Rp 11,879,994.
PDRB dan Pendapatan per Kapita Kota Bitung Tahun 2009 - 2013
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016III. Data Kondisi Lingkungan Strategis 1. Topografi
Dilihat dari aspek topografis, keadaan tanah Kota Bitung sebagian besar berupa daratan di mana 45,06 % berombak berbukit dan 32,73 % bergunung. Hanya 4,18% merupakan dataran landai serta sisanya 18,03 % berombak. Bagian Timur kota, mulai dari pesisir pantai Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian Barat, merupakan daratan yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0
- – 15 derajat
- – 40 %. Hal ini terlihat dari luas wilayah kelerengan 25 – 40 % yang mempunyai wilayah terluas yaitu sebesar 11.759 Ha atau sekitar 37,52 % dari total luas Kota Bitung saat ini. Memang secara visual juga terlihat bahwa Kota Bitung hampir seluruh wilayahnya merupakan daerah perbukitan atau pegunangan. Dan hasil perhitungan Konsultan juga menunjukkan bahwa daerah yang datar yaitu kemiringan lereng antara 0
- – 8 % hanya memiliki luas paling kecil, yaitu 2.274 % atau sebesar 7,89 % dari total luas Kota Bitung.
Total Kecamatan 8 – 15 15- 25 25 - 40 0 – 8% >40 % % % % Ha
1 Matuari 1.097 844
62
2 Ranowulu 286 1.08 3.679 7.495 1.657
3 Girian 193 235
54
4 Madidir 352 740 777
5 Maesa 221 556 269
92
6 Aertembaga 325 627 2.575 1.28 1.049
7 Lembeh Utara 60 462 1.425 564 Lembeh 8 698 423 1.228 932
Selatan
Total 2.474 3.544 8.489 11.759 5.071 31.337
2. Geohidrologi A. Air Pemukaan
Air permukaan di Kota Bitung meliputi aliran-aliran sungai yang melintas di wilayah Kota Bitung, yaitu:
1. Sungai Girian, panjang 17.50 km
2. Sungai Tewaan, panjang 8.75 km
3. Sungai Batu Putih, panjang 9.25 km
4. Sungai Rinondoran, panjang 11.25 km
5. Sungai Sagerat, panjang 9.50 km Selain itu ada beberapa lokasi mata air di Kota Bitung yang memiliki debit air yang cukup besar, yaitu:
- Mata air dengan volume + 50 liter/ dtk, terletak di RSUD Manembo-Nembo
- Mata air di kelurahan Danowudu yang dimanfaatkan Kota Bitung termasuk pelabuhan Bitung berlokasi di bagian utara kelurahan
- Mata air (oleh masyarakat disebut mata air hujan) terletak di sebelah selatan
Kelurahan Donowudu yang berbatasan dengan kelurahan Giper (dahulu Girian Atas), dan sudah dikelola oleh PDAM Bitung.
- Mata Air di Kel. Tewaang, sekarang ini sudah dimanfaatkan oleh masyarakat umum tapi belum memenuhi syarat.
- Mata air di Kel. Girian Indah (sebelah utara berbatasan dengan perkebunan Kel.
Danowudu Kec. Ranowulu), saat ini dikelola dan dimanfaatkan oleh SECATA B (dahulu Dodik XII Wangurer) dan masyarakat Kel. Girian Indah Lingkungan VI.
- Mata air di Kel. Bitung Barat II
- Mata air di Kel. Aertembaga Dua (Lingkungan I)
- Mata air di Kel. Makawidey (L ingkungan I)
- Mata air di Kel. Kasawari - Mata air di Kel. Pintu Kota Kecamatan lembeh Utara, yang sangat baik untuk dikonsumsi.
- Mata air di Kel. Batukota (Lingkungan I/Baturiri)
- Tiga mata air di Kel. Gunung Woka, yang dapat difungsikan untuk kebutuhan masyarakat, untuk sementara masih digunakan melayani khusus masyarakat Kel. Gunung Woka.
- Mata air di Kel. Kareko, lokasinya ada 2 di lingk. I RT 01 - Mata air di Kel. Binuang, tapi belum ditata dengan baik.
- Mata air di Kel. Posokan yang ditata dengan baik, untuk saat ini masih dimanfaatkan secara manual oleh masyarakat.
B. Air Tanah
3 Manembo - nembo Matuari 45 0,1 1,5 Tufa kasar/pasiran, batu apung dan tufa lapili
59
9 Jumlah 834
50 Batu Putih 131
Bitung-Ratahan 703
Tabel 2.3 Potensi Air Tanah pada Cekungan Air Tanah Cekungan Air Tanah (CAT) Potensi Air Tanah Dangkal Q ₁ ( Juta Mᵌ/Tahun ) Potensi Air Tanah Dalam Q ₂ ( Juta Mᵌ/Tahun )64 4 0,13 Pasir Lempungan, lemp ung pasiran, tufa halus Kedalaman 38-59 m
6 Naemundung Aertembaga
60 1 0,37 Tufa kasar dan tufa lapil i kedalaman 30-50 m
5 Bitung Barat I Maesa
1 Pasir kerikilan, batu apu ng
4 Madidir Weru Madidir 45 0,5
Sedangkan lokasi titik air tanah di Kota Bitung meliputi:
1. Kelurahan Pinangunian + 30 liter/detik
1 Sagerat Matuari 100 6 0,17 Tufa halus/lempung Pas iran - pasir Lempungan
Tabel 2.2 Potensi Air Tanah Pada Beberapa Titik Pengeboran Air Tanah No LOKASI KEDALAMAN TINGGI MUKA AIR DEBIT LITOLOGI AKUIFER KELURAHAN KECAMATAN (m) (m) (L/dtk)7. Kelurahan Wangurer Timur Kecamatan Madidir Berikut adalah potensi air tanah pada beberapa titik pengeboran air tanah dan potensi air tanah cekungan air tanah di Kota Bitung.
6. Kelurahan Pintu Kota Kecamatan Lembeh Utara
5. Kelurahan Paudean Kecamatan Lembeh Selalatan
4. Kelurahan Wangurer Barat / Kelurahan Girian Indah Belakang SMPN 12 Kecamatan Girian
3. Kelurahan Kakenturan II Kecamatan Aertembaga
2. Kelurahan Kakenturan I Kecamatan Maesa
1. Kelurahan Pateten III Kecamatan Maesa
4. Kelurahan Sagerat Weru Lokasi sumur bor di Kota Bitung ada 7 (tujuh) lokasi, yaitu:
3. Kelurahan Empang / Kelurahan Bitung Timur
2. Kelurahan Madidir Weru
2 Manembo - nembo Matuari 50 0,5 2,4 Pasir kasar - kerikilan
3. Geologi
Secara umum Wilayah Kota Bitung dan sekitarnya disusun oleh batuan vulkanik yang berumur Kuarter (Qv) yang terdiri atas lava, bom, lapili dan abu yang sebagian kecil ditutupi oleh endapan (Qs) yang terdiri atas pasir lanau, konglomerat dan lempung napalan (EFENDI, 1976). Berdasarkan pemetaan geologi permukaan dan pendugaan reseistivitas bawah permukaan, Wilayah Kota Bitung umumnya disusun oleh batuan vulkanik dan vulkaniklastik yang sebagian ditutupi oleh endapan permukaan. Berdasarkan ciri litologinya, batuan-batuan ini dapat dikelompokan ke dalam 5 (lima) satuan, yaitu:
A. Satuan Tufa-Breksi
Satuan tufa-breksi terdiri atas lava andesit, tufakasar-halus, tufa lapili berbatu apung, breksi tufa lapili dan breksi. Pengelompokan batuan-batuan ini dalam keadaan satu satuan didasarkan pada kesatuan ciri litologi yang menunjukkan satu sumber dan proses pembentukan berupa kesamaan komposisi mineral dan kelanjutan tatanan litologinya. Satuan tufa -breksi merupakan batuan terluas yang penyebarannya meliputi sebagian besar daerah selidikan. Sebaran ini di bagian barat hingga ke arah utara membentuk morfologi perbukitan, di bagian tengah membentuk morfologi kerucut gunung api Duasudara, sedangkan di bagian selatan hingga ke arah timur umumnya membentuk morfologi bergelombang dan pegunungan serta sebagian membentuk daratan. Batuan-batuan penyusunnya umumnya tersingkap di permukaan secara alami pada tebing alur sungai dan pantai, sebagian lagi tersingkap melalui penggalian untuk pembuatan sumur gali dan penambangan bahan galian serta pemotongan punggungan bukit untuk pembuatan ruas jalan. Sedangkan batuan penyusun yang berada jauh di permukaan penyingkapannya dilakukan melalui pendugaan resistivitas di atas permukaan dan pendugaan potensial diri pada lubang bor dalam. Batuan lava andesit basaltis merupakan batuan beku ekstrusif daerah ini yang merupakan pencerminan jenis magma asalnya. Singkapannya sulit dijumpai didalam satuan tufa breksi ini kecuali singkapan lava di sepanjang pantai utara sekitar kaki lereng Gunung Tangkoko-Batu Angus yang dikelompokan ke dalam satuan batuan tersendiri karena memiliki sebaran yang cukup luas di sekitar kerucut Gunung Tangkoko. Singkapan lava andesit penyusun satuan tuva
- – breksi ini hanya dijumpai di hulu Sungai Danowudu yang keberadaannya didukung oleh dugaan resitivitas dari atas permukaan di sekitar Danowudo (GBT 1) yang menunjukkan adanya batuan jenis ini pada kedalaman 14-30 meter di bawah permukaan tanah setempat (bmt). Sedangkan di sekitar Pinokalan (GBT 5) mulai dijumpai pada kedalaman 32 meter (bmt) dengan
- – 110 m bmt dan di sekitar Manembo-nembo (GBT 13) yang mencapai kedalaman 87 m bmt yang hanya memberikan nilai resistivitas 26
- – 45 Ohm.m yang ditafsir tufa k>– lapili. Sedangkan lava andesit penyusun satuan tersebut yang dijumpai di tebing barat lembah alur Sungai Danowudu memperlihatkan struktur blok atau aa-lava yang dibatasi oleh bidang-bidang rekahan berjarak 1 – 2 m yang sebagian memancarkan air tanah sebagai mata air. Singkapan lain dapat dijumpai di hulu Sungai Kayuwale Kecil sekitar Pinasungkulan yang diduga merupakan kelanjutan dari lidah lava yang tersingkap di Danowudu tersebut. Singkapannya umumnya masih segar dengan warna abu-abu gelap sebagai cerminan dari kandungan mineral umumnya plagioklas dan piroksen sebagai fenokris berukuran halus
- – sedang (<3mm) yang tertanam dalam masa dasar afanitis dalam kemasan tekstur porfiritis dan struktur masif. Sebagian melapuk ringan sampai sedang membentuk tanah regolit pasiran hingga sedikit lempungan dengan warna abu-abu kecoklatan sebagai cermin dari oksidasi kandungan mineral mafiknya. Batuan tufa breksi sebagai batuan utama penyusun satuan tufa-breksi umumnya dapat dijumpai di sebagian besar daerah selidikan, singkapan paling luas dapat dijumpai
- –breksi memperllihatkan struktur berlapis tipis hingga masif vulkanik klastik halus yang >– berukuran abu (<4 mm) dan vulkanikklastik kasar berukuran lapili - blok (4 250mm). Batuan-batuan ini dalam keadaan segar berwarna abu-abu terang hingga gelap sebagai cerminan kandungan mineral andesistis yang umumnya berupa felspar, hornblenda dan piroksen dalam bentuk pecahan kristal maupun kepingan gelas dan batuan. Lapisan sempurnanya membentuk lapisan tipis tanah andosol yang berwarnas coklat kekuningan hingga kemerahan sebagai tanah lempung lateritis yang meliputi hampir seluruh permulaan batuan. Setempat dijumpai ubahan hidrotermal berupa lempungan kaolin yang berwarna putih yang dijumpai dipotongan kaki lereng bukit sekitar Pinasungkulan. Tufa halus dan kasar masing-masing disusun oleh pecahan kristal felspar dan piroksen yang berbentuk menyudut dan berukuran abu halus (< 0,06 mm) dan abu kasar (0,06
- – 4 mm). Butiran kristalnya tersebar merata di dalam gelas vulkanik dengan kemasan tekstur klastik halus yang terpilah baik. Kehadiran fragmen batuan andesit balatis berwarna abu-abu gelap dan batuapung berwarna abu-abu terang dan berstruktur vesikular yang berukuran lapili ( 64 mm) dalam jumlah yang cukup banyak (60 %) di dalam kemasan batuan tufa ini menyebabkan pilahan butirannya memburuk dan membentuk tufa lapili. Fragmen batuapung menunjukkan struktur bersusun terbalik, sedangkan batuan andesit bersusun normal akibat mekanisme jatuhan material piroklastik eksplosif. Breksi tufa lapili merupakan tufa lapili dengan kandungan yang
- –60%) antara fragmen berukuran lapili (< 64 mm) dan blok (> 64 mm), lebih dari 60 % fragmen berukuran blok akan membentuk breksi. Di dalam jenis batuan tufa lapili dan breksi ini tampak adanya pergeseran kelimpahan kandungan antara fragmen batuan andesit balastis. Kadang-kadang fragmen batuan andesit balastis menunjukkan gejala terelaskan yang menunjukkan adanya aliran mineral oleh gas panas seperti kenampakan breksi yang dijumpai di
B. Satuan Lava Andesit
Satuan lava andesit terdiri atas lava andesit dan breksi autoklasik. Pengelompokan batuan-batuan ini kedalam satu satuan didasarkan pada kesatuan ciri litologi yang menunjukkan satuan sumber dan proses pembentukan berupa kesamaan komposisi mineral dan kelanjutan tatanan litoliginya yang berbeda dengan batuan vulkanik dan volkanilistik yang menyusun satuan tufa-breksi. Jika pada satuan tufa-breksi yang lebih dominan adalah batuan vulkanikklastik, maka pada satuan lava ini yang lebih dominan adalah batuan vulkaniknya. Dominasi batuan vulkanik efusif tersebut berkaitan erat dengan aktivitas G. Tongkoko dan Batu Angus yang umumnya melelehkan lava selama perioda keaktifannya. Satuan lava andesit tersebar mulai dari puncak kerucut Gunung Tangkoko dan kerucut parasitnya Gunung Batu Angus hingga ke kaki-kaki lerengnya membentuk morfologi kerucut vulkanik Gunung Tangkoko dan dataran lava Gunung Batu Angus. Batuan-batuan penyusunnya umumnya tersingkap di permukaan secara alami sepanjang tebing pantai. Singkapan lava andesit penyusun satuan tersebut yang dijumpau di sepanjang tebing pantai utara
- – timur kaki lereng kerucut Gunung Tangkoko memperlihatkan struktur masif dan blok atau aa-lava yang dibatasi oleh bidang-bidang rekahan berjarak 1 – 2 m.
Singkapan batuan ini umumnya masih segar dengan warna abu-abu gelap sebagai cerminan dari kandungan mineral umunya plagioklas dan piroksen sebagai fenokris berukuran halus
- – sedang (< 3 mm) yang tertanam dalam masa dasar afanitis dalam kemasan tekstur porfiritis dan struktur masif kadang-kadang memperlihatkan struktur aliran oleh kesejajaran fenokrisnya. Sebagian melapuk ringan sampai sedang membentuk tanah regolit pasiran hingga sedikit lempungan dengan warna abu- abu kecoklatan sebagai cerminan dari oksidasi kandungan mineral mafiknya. Pelapukan terutama tampak pada permukaan batuan dan bidang rekahannya. Leleran lava andesit tersebut menindih batuan klastika kasar yang berfragmen blok-blok batuan sejenis yaitu andesit dan tertanam di dalam matriks tufa litik dari batuan sejenis. Karakteristik menunjukkan adanya breksiasi dari lava andesit oleh aliran mineral akibat hembusan gas vulkanis eksplosif membentuk breksi aliran autoklastik.
C. Satuan Tefra
Satuan tefra merupakan endapan jatuhan piroklastik yang belum terkonsolidasimembentuk batuan, namun masih bersifat urai atau lepas. Pengelompokkan material batuan ini ke dalam satu satuan didasarkan ciri litologis yang berbeda dengan ciri litologi material batuan sebelumnya yang telah terkonsolidasi. Endapan tefra tersebut terdiri atas material volkanis eksplosif berkomposisi andesit basalis yang berwarna abu-abu gelap kehitaman, berukuran abu hingga lapili (< 25 mm) dan berbentuk menyudut. Terendapkan dalam struktur bersusun normal di dalam kemasan yang terpilah sedang – buruk atau bergradasi baik. Sumur uji tempat pemercontoan tanah tak-terganggu (TBT 1) menunjukkan perulangan struktur susunan normal tersebut yang dibatasi oleh bidang batas lapukan berupa pasir lempungan lateritis. Ciri litologi ini menunjukkan perulan gan perioda pengendapannya sehingga dapat ditafsirkan paling sedikit terjadi empat kali pengendapan letakan bawah udara material piroklastik eksplosif. Ekslposifitas sumber material tefra ini cukup kuat sehingga materialnya menutupi hampir seluruh Wilayah Kota Bitung dan sekitarnya dengan ketebatan yang bervariasi sesuai bentang lahan asal tempat pengendapannya, sedangkan pola sebarannya dipengaruhi oleh kedudukan relatif pusat erupsi terhadap arah tiupan angin. Hasil pemetaan geologi permukaan dan pendugaan bawah permukaan melalui bentangan resistivitas, uji penetrasi konus dan sumuran menunjukkan bahwa material tefra umumnya menyebar di bagian barat daerah selidikan yang menunjukkan bahwa angin yang melalui pusat erupsi Gunung Tangkoko dan Duasudara dan membawa serta materialnya berhembus dari arah timur. Ketebalan maksimum (7,60 m) dijumpai di sekitar Danowudu (SBT 3) yang merupakan bentang lahan lembah Sungai Girian antar kerucut volkanis Gunung Klabat dan Duasudara yang bertindak sebagai cekungan pengendapan.
D. Satuan Aluvium Sungai
Satuan aluvium sungai merupakan endapan aliran epiklasik yang sebagian telah terkonsolidasi lemah dan sebagian lagi masih terurai lepas-lepas. Pengelompokkan material batuan ini ke dalam satu satuan didasarkan pada ciri lilologis yang berbeda dengan ciri litologi material batuan sebelumnya yang telah terkonsolidasi kuat membentuk batuan. Endapan tersebut terdiri atas material epiklastik berukuran bongkahan hingga pasir dari berbagai batuan asal, seperti : andesit, breksi dan tufa hasil erosi dan transportasi aliran air sungai yang diendapkan di sekitar tepian alur sungai. Bentuk material umumnya telah membudar akibat abrasi selama transportasi dan terendapkan dalam pilahan baik. Material kasar relatif terendapkan lebih dahulu dibandingkan dengan material halus, baik secara laretal maupun vertikal. Secara lateral dicirikan oleh endapan bongkahan di bagian hulu sungai dan pasir di bagian hilirnya, sedangkan secara vertikal dicirikan oleh struktur bersusun normal. Oleh karena proses pembentukannya dipengaruhi oleh aliran air sungai, maka sebarannya berada di sekitar lembah beraliran sungai yaitu di lembah Sungai Girian dan Sungai Batu Putih. Ketebalan dan sebarannya dipengaruhi oleh kekuatan aliran sungai dan bentanglahan lembah. Kekuatan aliran tergantung pada volume air dan gradien alur, makin besar kedua faktor tersebut maka semakin kuat alirannya. Volume air akan meningkat pada musim penghujan, sedangkan gradien membesar ke arah hulu maka kekuatan aliran maksimum berada pada kondisi tersebut sehingga erosi terjadi di zona ini. Secara berangsur ke arah hilir kekuatan aliran yang membawa material erosif melemah akibat pengecilan gradien alur sehingga terjadi pengendapan di zona ini. Hasil pemetaan geologi permukaan dan pendugaan bawah permukaan melalui bentangan resistivitas (BP 1
- – 4) menunjukkan bahwa ketebalan aluvium di sekitar Batu Putih mencapai 40 m.
E. Satuan Aluvium Pantai
Satuan aluvium pantai merupakan endapan arus dan gelombang pantai di zona pasang surut. Umumnya berkomposisi epiklastik darat yang berukuran pasir hingga lempung, kadang-kadang lumpur yang masih bersifat urai atau lepas-lepas. Pengelompokan material batuan ini kedalam satu satuan didasarkan pada ciri litologis yang berbeda dengan ciri lotologi mate rial batuan sebelumnya yang sebagian telah terkonsolidasi lemah dan mengandung material berukuran bongkah. Endapan tersebut terdiri atas material epiklastik berukuran pasir hingga lanau, setempat lempungan organis dan lumpuran sebagai endapan rawa pantai. Bentuk material selain telah sangat membundar, juga terpilah oleh gelombang dan terjangan arus alaut pasang. Pengendapan terjadi pada saat surut akibat penurunan kekuatan arus dan gelombang membentuk endapan gumuk pantai membusur di sekitar muara Sungai Girian dan Sungai Batu Putih.
4. Geologi Permukaan
Wilayah Kota Bitung merupakan suatu daerah berlahan khas gunung api yang dicirikan langsung oleh corak morfologi deretan kerucut vulkanik yang dibentuk oleh batuan vulkanik akibat aktifitas vulkanisme. Corak morfologi berintikan batuan vulkanik ini berada di dalam pengaruh iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yang khas untuk daerah di dalam zona meridian. Jenis batuan, morfologi, aktifitas vulkanisme dan iklim ini mempengaruhi pembentukan tanah daerah ini. Batuan pembentuk lahan Wilayah Kota Bitung ditutupi oleh tanah lapukan dan endapan yang dapat digolongkan berdasarkan sifat fisik dan teknis ke dalam 4 (empat) satuan, yaitu: satuan pasir lempungan, satuan pasir kerikilan, satuan pasir gravel dan satuan pasir lumpuran. Daya dukung dan kestabilan lahan suatu daerah untuk dapat memikul beban konstruksi ditentukan oleh morfologi permukaan lahan serta jenis dan tatanan material pembentuk lahan tersebut sebagai faktor internal di bawah pengaruh faktor external seperti kondisi iklim dan budidaya atau penggunaan lahan. Berdasarkan sifat fisik dan keteknikan tanah dan batuan serta morfologi bentang lahan, maka Wilayah Kota Bitung dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) satuan geologi teknik sesuai dengan daya dukung dan kestabilannya, yaitu:
- sedang tinggi.
Satuan geologi teknik I yang berdaya dukung tinggi dengan kestabilian
- kestabilan rendah.
Satuan geologi teknik II yang berdaya dukung sangat tinggi dengan
- tinggi.
Satuan geologi teknik III yang berdaya dukung rendah dengan kestabilan
Satuan geologi teknik I umumnya meliputi lahan bagian selatan yang membentang dari barat ke timur mulai dari Sagerat hingga Tandurusa dan ke arah utara sampai daerah Danowudu dan sebagian lagi sekitar Pinasungkulan dan Tinerungan serta Batu Putih. Lahan daerah tersebut dibentuk oleh material pembentuk yang mampu memikul beban konstruksi berat serta relatif stabil. Kemampuan menopang beban konstruksi berat tersebut disebabkan oleh material pembentuknya yang terdiri atas
- – batuan piroklastika sebagai batuan dasar yang ditutupi tanah lapukan pasir lanauan lempungan dan tanah endapan jatuhan pasir kerikilan
- – lanauan serta tanah endapan terangkut pasir gravelan. Material ini mampu memikul beban konstruksi hingga 16 ton/cm2 untuk fondasi dangkal bahkan hingga 96 ton/cm2 untuk fondasi tinggi disebabkan oleh bentang lahan berupa pedataran hingga punggung perbukitan dengan kemiringan lereng yang datar hingga landai (<15%). Satuan geologi teknik II ini umumnya meliputi lahan tubuh gunung api Duasudara dan Tangkoko serta daerah pegunungan dan pebukitan yang sebagian dijadikan lokasi pemukiman, yaitu: Kelurahan Apela dan Tendeki di bagian barat serta Pinangunian, Tandurusa dan Makawidey di bagian timur. Lahan daerah tersebut dibentuk oleh material pembentuk yang mampu memikul beban konstruksi berat seperti halnya satuan geologi teknik I, namun kondisinya kurang stabil. Kemampuan menopang beban konstruksi tersebut bahkan lebih besar dan lebih ekonomis sebab tanah penutup batuan batuan dasar yang terdiri atas lapukan pasir lan>– lempungan dan tanah endapan jatuhan pasir kerikilan
- – lanauan tersebut relatif lebih tipis (<1m) sehingga mudah untuk
Peta Geologi Kota Bitung
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016Untuk satuan geologi teknik III meliputi lahan di sepanjang daratan Aluvium pantai di sekitar muara sungai utama Sungai Girian dan Sungai Batu Putih serta sungai- sungai lainnya seperti Sungai Airprang. Lahan satuan ini dibentuk oleh material pembentuk yang kurang mampu memikul beban konstruksi berat meskipun kondisinya relatif lebih stabil. Ketidak mampuan menopang beban konstruksi berat tersebut disebabkan oleh tutupan tanah endapan terangkut yang relatif tebal (5-40m) dan umumnya masih bersifat sangat urai dan sebagian bersifat lumpuran, meskipun umumnya terdiri atas pasir yang tersebar merata membentuk bentang lahan datar (<5%). Kondisi ini memang relatif sangat stabil namun memerlukan tiang pancang hingga kedalaman tersebut untuk konstruksi berat sehingga tidak ekonomis, sedangkan untuk konstruksi ringan dengan fondasidangkal hanya mampu mendukung beban sebesar 4-6 ton/cm2.
5. Klimatologi
Iklim di Kota Bitung hanya terdiri dari 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di wilayah ini. Pada bulan Oktober sampai dengan bulan April biasanya terjadi hujan karena angin yang bertiup dari arah Barat/Barat Laut banyak mengandung air. Sedangkan pada bulan Juni sampai dengan bulan September biasanya terjadi musim kemarau karena angin yang bertiup dari arah Timur tidak banyak mengandung air.
Curah hujan Jumlah curah hujan di Kota Bitung cukup beragam menurut bulan, terlihat bahwa rata -rata curah hujan yang terjadi adalah sebesar 152.03 mm/tahun. Selama selang 10 tahun terakhir, dari data yang ada terlihat bahwa bulan September memiliki curah hujan yang kecil, yaitu rata-rata 35.26 mm/tahun. Sedangkan curah hujan Januari dalam selang waktu 10 tahun terakhir ini memiliki curah hujan tertinggi, yaitu rata-rata sebesar 241.24 mm/tahun. Data curah hujan yang dianalisis adalah data 10 tahun terakhir, (Sumber Data: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Maritim Bitung) Pola curah hujan wilayah kota Bitung dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa rataan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, yakni 241,2 mm sedangkan terendah pada bulan September, yakni 35,3 mm. Hasil analisis curah hujan dengan menggunakan pendekatan tipe iklim Schmidt dan Ferguson menunjukkan bahwa Wilayah kota Bitung adalah termasuk tipe iklim A (9 bulan basah berturut-turut, 2 bulan lembab dan 1 bulan kering). Curah hujan rata-rata bulanan di wilayah kota Bitung dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Rataan Curah Hujan Bulanan
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016 Hari hujan Berdasarkan data dari Stasuin Meteorologi Maritim Bitung diperoleh data jumlah hari hujan untuk 10 (sepuluh) tahun terakhir, terlihat bahwa rata-rata hari hujan yang terjadi adalah berjumlah 18 hari/bulan. Ini berarti lebih banyak terjadi hujan dari pada penyinaran matahari selang satu bulan. Jika dicermati juga ternyata bulan sepuluh tahun terakhir ini hari hujan terpanjang terjadi pada bulan Januari, yaitu rata- rata 23,7 hari/bulan.
Intensitas hujan Jumlah hari hujan rata-rata selang 10 (sepuluh) tahun terakhir yang menunjukkan bahwa rata-rata hari hujan adalah berjumlah 18 hari/bulan, menunjukkan bahwa intensitas curah hujan di Kota Bitung adalah tinggi. Bahkan ada bulan-bulan tertentu yang intensitas hujan terjadi hampir satu bulan berjalan.
Data Klimatologi a.
Suhu Udara Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut. Suhu udara wilayah Kota Bitung berkisar antara 27,2
⁰ C-28,0⁰C di mana suhu udara maksimum terdapat pada bulan Desember (28,0 ⁰C) dan suhu udara minimum terdapat pada bulan Juli (27,2⁰C).
Suhu Udara Rata-Rata Bulanan
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016 b.Kelembaban Udara Kelembaban udara Kota Bitung cukup tinggi sepanjang tahun meskipun pada musim kemarau. Kelembaban udara pada musim kemarau pada bulan Juli, Agustus dan September lebih besar dari 70 %. Wilayah Kota Bitung mempunyai kelembaban udara relatif tinggi, yaitu berkisar antara 77,7 % pada bulan November sampai 80,3 % pada bulan April.
Kelembaban Udara Rataan Bulanan
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016 c.Kecepatan Angin Perubahan angin yang dianalisis meliputi kecepatan dan arah. Pola kecepatan dan arah angin Kota Bitung, sesuai data yang diperoleh, menunjukkan rataan kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Agustus, yakni sekitar 4,6 knots dan terendah pada bulan April, yakni 1,9 knots.
Kecepatan Angin
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016IV. Data Resiko Bencana Alam
Kota Bitung memiliki beberapa kerawanan bencana yang terdiri dari: Rawan Tanah Longsor/Gerakan Tanah
- Berdasarkan Peta Indeks Risiko Bencana Gerakan Tanah di Provinsi Sulawesi Utara (Data BNPB
), Kota Bitung termasuk dalam tingkat risiko “Tinggi” terhadap gerakan tanah. Daerah ini mempunyai potensi untuk terjadi Gerakan Tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah, sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan.
- Daerah pesisir pulau Lembeh pada titik-titik tertentu dan daerah yang dianggap rawan di kota Bitung merupakan daerah rawan gelombang pasang/abrasi. Hampir setiap tahun daerah ini dilanda gelombang pasang. Gelombang pasang dapat mengakibatkan mundurnya garis pantai. Untuk mecegah hal ini terjadi, maka ke depan perlu dibuatkan tanggul penahan ombak (break water).
Rawan Gelombang Pasang/Abrasi