Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB IX
Bab Sembilan
Esuriun Orang Bati: Kekuatan Bertahan
Hidup (Survival Strategy) dengan CaraCara Hidup Sesuai Kebudayaan
Analisis temuan penelitian (sintesa) tentang Esuriun 1) Orang Bati
sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara
hidup sesuai kebudayaan untuk mengungkapkan fenomena Orang Bati
yang selama ini terus bertentangan atau paradoks dalam masyarakat.
Sampai masa kini Orang Bati dipersepsikan orang luar (Orang Maluku)
sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang), orang terbang-terbang, orang
misteri, orang yang menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Sebagian besar Orang Maluku beranggapan bahwa penuturan mengenai
Orang Bati adalah mitos. Analisis kekuatan bertahan hidup (survival
strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk menjelaskan
integrasi yang dicapai Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa
(ethnic group) untuk bertahan hidup (survival strategy).
Proses integrasi merupakan unsur penting dalam sistem sosial
Orang Bati sehingga erdasarkan data empirik bahwa teori AGIL
(Adaptation to the environment, Goal attainment, Integration, and
Latenty) relevan untuk melakukan analisis fenomena Orang Bati.
Dalam teori fungsionalisme Parson dengan konsep “fungsi pokok”
(fungtional imperative) menggambarkan empat macam tugas utama
yang harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati”. Teori Parsons
(dalam Suwarno dan Alvin, 2006 : 10-11) memahami masyarakat tidak
ubahnya seperti memahami organ tubuh manusia yaitu ; Pertama,
struktur tubuh manusia memiliki bagian yang saling berhubungan satu
1)Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran
agar Orang Bati saling menjaga dan melindungi hak milik berharga yang meliputi
manusia, tanah, hutan, identitas, adat, budaya, dan lainnya untuk bertahan hidup
(survival strategy) jangka panjang dan mewujudkan eksistensi sebagai manusia maupun
sukubangsa.
271
Esuriun Orang Bati
sama lain, artinya masyarakat mempunyai berbagai kelembagaan yang
saling terkait dan tergantung satu sama lain. Untuk menggambarkan
koordinasi yang harmonis antar kelembagaan tersebut, Parsons
menggunakan konsep “sistem”; Kedua, setiap bagian tubuh manusia
memiliki fungsi yang jelas dan khas (spesifik). Demikian pula setiap
bentuk kelembagaan dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu
untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat, yang dianalogikan sebagai tubuh manusia sehingga konsep “keseimbangan dinamisstationer” (homeostatic equilibrium). Menurut Parson satu bagian
tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan intern dalam mencapai
keseimbangan baru dan perubahan tidak dapat dilakukan secara cepat
karena dapat menggoncangkan fungsi-fungsi dari tubuh manusia itu
sendiri.
Beberapa asumsi pokok teori Parson (dalam Kinloch, 2005 : 188190) digunakan sebagai pintu masuk untuk menganalisis fenomena
Orang Bati di Maluku dapat dikemukakan sebagai berikut; (1) Sistem
sosial diasumsikan untuk memunculkan sui generis, yaitu masyarakat
memiliki realitas indenpenden untuk melintasi eksistensi individu sebagai sutau sistem interaksi; (2) Struktur sosial atau subsistem masyarakat menggambarkan sejumlah fungsi utama yang mendasarinya
(struktur mewakili fungsi) atau problem sistem yang mendasarinya.
Fungsi-fungsi ini terdiri atas integrasi (sistem sosial di dasarkan pada
norma-norma yang mengikat individu dengan masyarakatnya melalui
integrasi normatif), pola pertahanan (sistem budaya nilai-nilai dan nilai
generalisasi) pencapai tujuan (sistem kepribadian-basis pembedaan),
dan adaptasi (organisasi perilaku-basis peran-sistem ekonomi); (3)
Sistem sosial sebaiknya terdiri atas empat subsistem yaitu komunitas
masyarakat (norma-norma integratif) pola pertahanan (nilai-nilai
integratif), bentuk atau proses pemerintahan (diterapkan untuk perolehan tujuan), dan ekonomi (diterapkan untuk adaptif). Fokus utama
sistem sosial ini adalah internal, integrasi normatif. Sementara itu basis
masyarakat adalah tingkat kecukupan diri yang relatif bagi lingkungan;
(4) Sifat hakiki sistem kehidupan pada semua tingkatan organisasi dan
perkembangan evolusioner dengan asumsi yang ada yaitu kelanjutan
272
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
sistem kehidupan; (5) Fokus atau landasan sentral masyarakat adalah
kecenderungan terhadap equilibriun dan homeostatik.
Proses sentral megenai hubungan empat subsistem aksi yaitu
interpenetrasi, internalisasi masyarakat, fenomena budaya ke dalam
kepribadian, dan institusionalisasi komponen-komponen normatif sebagai struktur konstitutif. Sistem sosial ini kemudian dipandang sebagai
sistem yang berorientasi integrasi dan equilibrium secara kuat; (6)
Sistem tidak dipandang statis dari pada suatu kapasitas yang dimilikinya untuk evolusi yang adaptif. Proses sentral perubahan evolusi mengandung pembedaan (differentiation) pada (pembagian lebih jauh
atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (meningkatkan kebebasan unit-unit sosial dari sumber kekerasan). Analisis
temuan penelitian dengan menggunakan teori Parson untuk menganalisis Esuriun Orang Bati: kekuatan bertahan hidup (survival
strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan diawali dengan
pencapaian integrasi kultural oleh kelompok Patasiwa dan Patalima
yang berbeda untuk mewujudkan integrasi eksistensial guna menegaskan identitas Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa
oleh orang luar (Orang Maluku). Lebih jauh dari itu persepsi dari sebagian besar Orang Maluku mengenai penuturan tentang Orang Bati
dianggap mitos. Ternyata penuturan seperti itu Orang Bati sangat memahami keadaan yang berkembang di luar komunitas mereka, sehingga
pencapaian integrasi eksistensial dari kelompok sosial yang berbeda dimaksudkan agar Orang Bati dapat menunjukkan pada orang lain mengenai jati diri yang sebenarnya. Tetapi selama ini Orang Bati tidak
mengetahui cara yang tepat untuk menyatakannya. Utuk itu sampai sekarang Orang Bati dianggap bukan manusia maupun sukubangsa.
Pencapaian integrasi eksistensil dari Orang Bati yang dianalisis melalui
studi ini diawali dengan kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati
dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dapat dikemukakan lebih lanjut:
273
Esuriun Orang Bati
Esuriun Orang Bati: Kisah Turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari
Hutan dan Gunung (Madudu Atamae Yeisa Tua Ukara)
Ketika menjalani hidup secara bersama pada tempat kediaman
awal di Pulau Seram Bagian Timur yang bernama Samos di sekitar
Gunung Bati terdapat dua kelompok sosial yaitu Patasiwa dan Patalima. Selama menjalani hidup secara bersama di Samos kelompok Patasiwa dan Patalima bersepakat (mafakat sinabu) untuk hidup secara
damai di atas falsafah saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua
malindung) di antara sesama Orang Bati. Kehidupan tersebut telah
dijalani oleh leluhur Orang Bati di Samos sampai dengan kedatangan
kelompok suku Alifuru yang mendiami Soabareta di sekitar Gunung
Bati menyatu (terintegrasi) dengan kelompok Alifuru yang mendiami
Samos melalui mekanisme adat Esuriun Orang Bati. Secara sosiokultural, kehidupan dari kedua kelompok sosial tersebut berbeda. Berdasarkan sejarah lisan (oral story) yang disampaikan Orang Bati bahwa
sejak awal kehidupan di Samos maupun Soabareta terdapat kelompok
sosial Patasiwa dan Patalima. Masing-masing kelompok pata mendiami
teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya
yang berbeda-beda. Apabila anak cucu keturunan Alifuru tersebut selalu hidup bermusuhan seperti kelompok suku lainnya di Seram dipastikan bahwa kehidupan mereka terancam dan bisa mengalami kepunahan. Usaha menyatukan kekuatan untuk bertahan hidup (survive)
melalui adat Esuriun Orang Bati, berarti tercipta keseimbangan dalam
sistem kehidupan komunitas. Dapat dikatakan bahwa peristiwa Esuriun Orang Bati merupakan awal dari suatu kesuksesan agar anak cucu
keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati dapat bertahan hidup (survive)
dengan lingkungan.
Perwujudan Esuriun Orang Bati sehingga pencapaian integrasi
eksistensial telah menjadi dorongan kuat agar keturunan Alifuru Bati
atau Orang Bati melakukan strategi turun dari hutan dan gunungan
(madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga seperti
manusia, tanah, identitas, tradisi, adat, kebudayaan, sumber daya alam,
dan lainnya agar bisa bertahan hidup (survive). Kisah Alifuru Bati atau
274
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Orang Bati turun dari hutan dan gunung berkaitan dengan kosmologi
di mana relasi antara alam semesta dan manusia berada dalam suatu
siklus yang senantiasa berputar di mana makna tentang “Manusia Batti”
sebagai manusia berhati bersih adalah leluhur yang tercipta melalui
evolusi daratan Seram, dan tana (tanah) merupakan unsur penting yang
berkaitan dengan penciptaan. Tana (tanah) adalah bernyawa sama seperti manusia, sehingga dalam kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati
makna tana (tanah) menjadi sumber kehidupan untuk mewujudkan
kelangsungan hidup jangka panjang.
Tana (tanah) memiliki kaitan dengan proses mengeringnya daratan Seram yang saat itu tergenang oleh air laut. Maka usaha mewujudkan hidup secara damai di antara sesama anak cucu keturunan Alifuru
atau Alifuru Ina dengan konsep saling menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) di antara mereka yaitu berkaitan dengan
tanah agar tetap lestari. Untuk itu wilayah kediaman Orang Bati dinamakan Tana (Tanah) Bati. Usaha Orang Bati untuk menjaga dan melindungi identitas Bati yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati
adalah final, dan terus dilembagakan. Melalui fungsi dan peran dari
lembaga adat Esuriun Orang Bati, kemudian Orang Bati melakukan
aktivitas turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua
ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung)
seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, gunung,
identitas, tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya.
Kisah Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung
(madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (bernilai) adalah strategi mewujudkan kelangsungan hidup (survival
strategy) dilakukan secara damai karena tidak menimbulkan konflik
maupun pertikaian dengan orang lain. Dalam lembaga adat Esuriun
Orang Bati terdapat nilai dasar (basic value) mengenai “manusia berhati bersih” atau “Batti”. Nilai dasar (ngavin) tentang “manusia berhati
bersih” terdapat dalam pandangan Alifuru Bati atau Orang Bati tentang
kekuatan yang bersifat kesemestaan.
Berdasarkan kosmologi Orang Bati, maka nilai dasar tentang
Manusia Batti yang bersifat kesemestaan adalah makrokosmos, se-
275
Esuriun Orang Bati
dangkan Alifuru Bati atau Orang Bati adalah mikrokosmos, kemudian
dihubungkan dengan Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos yang diimplementasikan melalui cara-cara hidup berdasarkan kebudayaan
Orang Bati yang dilestarikan dalam kehidupan individu, keluarga,
kerabat, dan komunitas sampai saat ini untuk memberi citra bahwa
Orang Bati memiliki jati diri (identitas).
Persepsi Orang Bati mengenai nilai dasar (ngavin) yang terdapat
dalam ideologi Batti yang bersifat kesemestaan menjadi dasar dalam
kisah Esuriun Orang Bati di mana kelompok Patasiwa dan Patalima
yang terintegrasi di Tana (Tanah) Bati memiliki baileu di alam terbuka,
dan cirinya tidak sama dengan konsep baileu yang terdapat pada kelompok Patasiwa dan Patalima pada masyarakat lainnya di Pulau Seram
maupun Maluku yaitu berupa bangun fisik (rumah) yang dibuat dan
ditempatkan secara khusus pada setiap lingkungan negeri (adat). Baileu
merupakan tempat yang sakral, karena itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai adat. Tempat yang dijadikan sebagai
baileu bagi Orang Bati yang terdapat di alam terbuka adalah tempat
yang sangat sakral karena mereka percaya bahwa tempat tersebut
senantiasa dijaga dan dilindungi oleh roh para leluhur (Tata Nusu Si)
yaitu “Manusia Batti” yang sangat ditakuti, dihargai, dihormati, dan
sebagainya oleh generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati.
Apabila kisah Esuriun Orang Bati dipahami sebagai peristiwa
nyata yang dilakukan Orang Bati secara sengaja untuk menjaga dan
melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik berharga.
Kisah kehidupan yang dijalani dalam Esuriun Orang Bati memiliki
khasan tertentu, yang dimaknai oleh Betrand dalam Wisadirana (2005 ;
41) bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu sejarah dan sebagian
besar produk dari suatu proses evolusioner. Kisah nyata Esuriun Orang
Bati apabila dipahami menurut teori Parson, berarti melalui Esuriun
Orang Bati tercipta suatu sejarah yang sangat penting bagi keturunan
pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Artinya peristiwa yang berkaitan
dengan Esuriun Orang Bati adalah bagian dari keseluruhan sistem kehidupan Alifuru Bati atau Orang Bati yang telah mengalami proses
adaptasi, terintegrasi, mengikuti pola nilai budaya yang dianut secara
bersama sebagai orang satu asal untuk pencapaian tujuan hidup yang
276
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
diinginkan yaitu hidup secara damai, sehingga keturunan (generasi
penerus) tradisi dan kebudaya Bati dapat bertahan hidup pada setiap
lingkungan, dan lebih jauh dari itu adalah spesis Orang Bati tidak
punah dalam lingkungannya sendiri.
Kisah Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai suatu proses
perubahan cara hidup yang khas dari kelompok sosial Patasiwa dan
Patalima yang awalnya berbeda-beda kemudian menyatu, kemudian
menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati. Artinya perubahan
pada unsur apapun dalam suatu sistem ditentukan oleh unsur-unsur
lainnya. Demikian pula setiap unsur merupakan unsur determinan
unsur lainnya (Berry dalam Wirutomo (2003 ; 15). Mekanisme perubahan yang berlangsung dalam struktur sosial Alifuru Bati atau
Orang Bati dilakukan secara sengaja melalui suatu proses yang panjang
sehingga tahapan perubahan tersebut telah memperkuat ikatan-ikatan
sosial di antara sesama orang satu asal yaitu dari anak cucu keturunan
Alifuru atau Alifuru Ina. Dampak perubahan yang berlangsung terut
menguatkan aspek kelembagaan adat Esuriun Orang Bati sehingga
menjadi mata-rantai kehidupan dalam sistem sosial Orang Bati. Esuriun
Orang Bati yang diwujudkan melalui kisah turunnya Alifuru Bati atau
Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara),
kemudian mekanisme tersebut dilembagakan dalam adat berarti fungsi
kelembagaan pada sistem sosial menjadi hidup. Mekanisme perubahan
tersebut oleh Jarvie (dalam Sztompka, 2005 : 260) karena kehidupan
sosial memiliki kekhasan kesatuannya, karena mengandung proses dan
hubungan timbal-balik dari, dan dibentuk oleh tindakan anggotanya.
Seperti itu adalah gambaran tentang cara-cara hidup sesuai kebudayaan
yang dimiliki Orang Bati dari waktu ke waktu sehingga melalui Esuriun Orang Bati sebagai basis nilai untuk bertahan hidup (survival
strategy).
Esuriun Orang Bati: Nilai Dasar (Basic Value) untuk Bertahan Hidup
(Survival Strategy)
Berdasarkan kisah Esuriun Orang Bati yang telah dikemukakan
maka nilai dasar (basic value) yang terdapat dalam kosmologi Alifuru
277
Esuriun Orang Bati
Bati atau Orang Bati tentang “Manusia Batti” atau “manusia berhati
bersih” yang bersifat kesemestaan adalah manusia yang sempurna dan
hidup sepanjang masa. Makna yang terdapat dalam manusia berhati
bersih adalah penguasa jagat raya yang setiap saat menyertai mereka
sebagai anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati. Nilai dasar
(ngavin) tersebut merupakan simpul pengikat yang kuat, kokoh, dan
ulet (berketahanan), sehingga menjadi idealisme dan sekaligus menjadi
tujuan hidup bersama dari keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati,
maupun orang yang menganut ideologi Batti, dan yakin pada kebenaran nilai tersebut oleh keturunan Alifuru Seram di Pulau Seram atau
Nusa Ina (Pulau Ibu), maupun orang-orang yang mendiami pulaupulau lainnya di Maluku.
Bersumber pada nilai dasar (ngavin) tentang manusia berhati
bersih, maka penganut ideologi Batti sendiri maupun orang luar beranggapan bahwa penyebutan nama “Batti” dan “Bati” yang dianggap
sama, sehingga tidak boleh digunakan atau disebut secara sembarangan
karena pamali (tabu). Nama Batti maupun Bati selama ini oleh orang
luar dimaknai sama oleh orang luar (Orang Maluku) dianggap sakral.
Untuk itu dilarang keras pada individu, kelompok, komunitas, maupun
masyarakat untuk menyebut-nyebut nama Bati tersebut secara sembarangan. Dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku, sangat diyakini
oleh Orang Bati sendiri maupun orang luar (Orang Maluku) bahwa
orang yang sengaja menyebut nama “Batti” dan “Bati” secara sembarangan maka orang yang bersangkutan bisa sakit, disakiti, diculik,
dan sebagainya. Dalam interaksi sosial, ternyata wacana mengenai
nama “Batti” maupun “Bati” yang selama ini dijadikan oleh orang luar
sebagai perlindungan sosial maupun mencegah konflik. Realitas ini
dapat dijumpai dalam kehidupan Orang Patasiwa dan Patalima yang
mendiami negeri-negeri adat di Maluku Tengah (Ambon, Lease, dan
Seram) yang sering terlibat dalam permusuhan, apabila terjadi kasus
orang hilang (anak kecil maupun perempuan), penculikan, dan lainnya
kemudian nama Bati digunakan sebagai pembenaran dalam kasus
seperti itu maka konflik maupun pertikaian di kalangan individu, kelompok, komunitas, maupun masyarakat yang mendiami negeri (adat)
atau desa yang berpotensi menimbulkan pertikaian, ternyata dapat di-
278
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
hindari karena secara tidak sadar simbol Bati telah berperan dalam mewujudkan perdamaian.
Nama Batti yang melekat pada “Manusia Batti” memberikan keyakinan kuat pada keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati sehingga
menjadi kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara
hidup sesuai kebudayaan yang dianut Orang Bati. Strategi bertahan
hidup (survival strategy) pada Orang Bati melalui cara hidup yang
sesuai dengan kebudayaan diimplementasikan pada tingkat individu,
kerabat, kelompok, maupun komunitas. Walaupun Orang Bati mendiami lingkungan terisolasi, namun mereka tidak mengalami kepunahan karena nilai dasar mengenai manusia berhati bersih “Bati”
atau “Batti” memberikan kekuatan hidup pada Orang Bati agar
memegang kuat falsafah hidup untuk saling menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (bernilai). Falsafah hidup ini memberikan kekuatan bertahan hidup (survival strategy) pada tingkat individu, kerabat, kelompok, maupun
komunitas karena ratusan tahun Orang Bati hidup dalam keadaan
terisolasi dan terabaikan tepat tidak mengalami kepunahan. Nilai dasar
mengenai manusia berhati bersih atau “Batti” terus dilakukan melalui
proses pelembagaan (institusionalisasi). Dalam menjalani hidup keseharian sesuai kebudayaan, ternyata basis nilai Batti yang telah terlembaga melalui adat Esuriun Orang Bati terus digunakan untuk bertahan hidup (survival strategy), terutama mengelola lingkungan sosial
dan lingkungan alam (fisik).
Berdasarkan tradisi, adat-istiadat, maupun kebudayaan Orang
Bati, maka dalam interaksi sosial tidak semua keturunan Alifuru Bati
atau Orang Bati menggunakan nama Bati. Sesuai adat yang berlaku,
maka keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami lokasi
kediaman di Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi atau “Bati
Garuda” yang boleh menggunakan nama Bati untuk lokasi pemukiman
maupun penyebutan terhadap diri mereka. Kesepakatan adat yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati bahwa keturunan Alifuru Bati atau
Orang Bati yang menggunakan identitas Bati untuk penyebutan diri,
kelompok, komunitas, teritorial, dan sebagainya adalah anak cucu keturunan Orang Bati yang menjalani kisah langsung turun dari hutan
279
Esuriun Orang Bati
dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) mengikuti rute perjalanan “Manusia Batti” sampai di lokasi bernama Kampung atau Dusun
(Wanuya) Bati Kilusi (Bati Garuda) atau Bati Awal.
Pemahaman terhadap nilai Esuriun Orang Bati yang sifatnya
abstrak apabila dikaitkan dengan pemikiran Clyde Kluckhon berupa
suatu konsepsi, eksplisit atau implisit, khusus bagi seseorang atau merupakan ciri suatu kelompok yang diinginkan, yang mempengaruhi
pemilihan cara, alat dan akhir yang diharapkan dari suatu tindakan
(Posser, 1978 : 176). Timbul pertanyaan bahwa nilai itu bersumber dari
mana? Dalam tradisi dan kebudayaan Bati, nilai Esuriun Orang Bati
bersumber dari hati manusia yang bersih. Makna Batti sebagai
”manusia berhati bersih” senantiasa menjadi penuntun untuk memunculkan pikiran manusia yang bersih, perilaku hidup individu
maupun kelompok yang bersih, dan sebagainya. Nilai dasar tersebut
bersumber dari nurani manusia yang bersih karena berisi ”suara kebaikan” (famumuk ngavin) sehingga menjadi pedoman hidup tertinggi
pada Orang Bati.
Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati dipersepsikan
benar menurut paradigma Orang Bati dan telah merasuk dalam alam
pikiran maupun nurani (hati) atau batin manusia yang bersih (Batti)
sehingga menjadi sumber dan sekaligus sebagai penumbuh nilai yang
benar untuk menjalani kehidupan dengan lingkungan di mana mereka
berada. Dalam pandangan Orang Bati tentang hakikat Esuriun Orang
Bati bersifat kesemestaan, menjadi kunci kehidupan yang sangat
penting yang dimaknai sebagai “matikan eksistensi alam semesta”.
Apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut dikaitkan dengan pendapat Posser (1978 : 303) karena seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak rasional bagi orang yang tidak
menganut sistem nilai yang sama.
Artinya kandungan nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun
Orang Bati lahir dari pikiran dan nurani manusia yang bersih untuk
masuk ke alam nyata, dan dijalani oleh Orang Bati. Implementasi dari
nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut mesti tidak
sama dengan nilai yang dianut oleh orang lain karena sistem nilai yang
membentuk perilaku Orang Bati sangat berbeda dengan orang lain.
280
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Dalam perspektif Orang Bati, nilai tentang Bati atau manusia berhati
bersih senantiasa berisi suara kebaikan, dan suara kebaikan ini muncul
dari ”niat” (lamino) dari setiap orang. Niat (lamino) yang baik maupun
buruk yang terdapat dalam hati manusia tidak dapat disembunyikan
pada Orang Bati. Niat yang baik di mata Orang Bati bukan saja terletak
pada pembicaraan seseorang yang indah-indah, tetapi yang terpenting
adalah wujud dari perbuatan yang sesuai dengan pembicaraan.
Nilai tentang baik dan buruk setiap saat dapat dipengaruhi oleh
kondisi yang bersumber dari dalam diri manusia maupun kelompok,
dan juga bisa datang dari luar lingkungan yang berwujud suara kebaikan (famumuk ngavin) dan suara keburukan (famumuk galotak).
Nilai yang dianut oleh individu maupun kelompok dapat saja dipengaruhi oleh suatu kondisi yang berada di luar maupun dari dalam
lingkungan sehingga perlu ada filter (penyaring). Tetapi nilai dasar sebagai kekuatan bertahan telah memberikan ketahanan diri (self
defence) pada Orang Bati. Sebab batas antara pengaruh suara kebaikan
dan suara keburukan pada manusia sangat tipis. Untuk itu pada katika
(ruang, waktu, kondisi, dan situasi) tertentu yang tepat seseorang maupun sekelompok orang dapat melakukan hal yang baik, tetapi dapat
juga melakukan hal yang buruk. Hal itu sangat tergantung pada nilai
dasar yang dianutnya.
Makna nilai dasar dalam Esuriun Orang Bati seperti dikemukakan telah menjadi pedoman hidup bersama Orang Bati dan menjadi
sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) menghadapi tekanan (presure) baik yang bersumber dari dalam maupun
yang berasal dari luar. Dapat dikatakan bahwa nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati menjadi basis untuk mengembangkan
kekuatan bertahan hidup (survival strategy) pada teritorial genealogis
atau wilayah roina kakal. Nilai dasar tersebut dijadikan sebagai strategi
untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung)
manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, kebudayaan, dan lainnya sebagai hak milik yang berharga, dan dimaknai sebagai “Dunia Orang
Bati” yang sesungguhnya sehingga menjadi simpul pengikat yang tidak
lapuk oleh waktu.
281
Esuriun Orang Bati
Aktualisasi dari nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam konteks
Esuriun Orang Bati yaitu diwujudkan melalui “niat” dari orang atau
manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas karena fungsi
dan peran dari Esuriun Orang Bati berkaitan dengan religi, mitologi
Gunung Bati, mitologi Seram Gunung Manusia, maupun kosmologi
Orang Bati (Tata Nusu Si-Esuriun-Alifuru Bati) yang menjadi sumber
kekuatan untuk bertahan hidup (survive) sampai saat ini. Persepsi
Orang Bati seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat
Pursen (1988 : 37) bahwa mitologi itu memberikan arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam pedoman kebijaksanaan
manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil bagian
dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam. Turut ambil bagian dinamakan partisipasi.
Berdasarkan makna kehidupan nyata yang didambakan melalui
Esuriun Orang Bati yang sengaja dilakukan untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap seluruh hak milik
yang berharga (bernilai) dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) sebagai ruang hidup adalah cara memaknai kosmologi Alifuru Bati atau
Orang Bat. Perbedaan makna tersebut oleh Pursen (2006 : 38-39)
karena fungsi mitologi untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi
mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia
dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan mempengaruhi
dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos bertalian erat
dengan fungsinya yang pertama memberikan jaminan masa kini.
Makna tentang mitos seperti dikemukakan, apabila dikaitkan
dengan Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai pelabuhan di mana
semua kekuatan hidup memiliki tempat berlabuh memiliki kekuatan
mengikat. Persoalan mendasar untuk memahami fungsi mitologi sebagai kekuatan berlabuh untuk penjamin masa kini maupun masa yang
akan datang yaitu memberikan pada manusia pengetahuan tentang
dunia serta kehidupan mereka di alam nyata seperti dibayangkan
dalam alam yang tidak nyata mengenai sesuatu itu ada (kehidupan
setelah kematian) manusia. Standar idealnya yaitu pada saat menjalani
hidup ini setiap individu, kelompok, maupun komunitas memegang
282
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
teguh Esuriun Orang Bati sebagai adat dan kebudayaan Orang Bati
yang dihormati dan dijunjung tinggi sehingga norma-norma adat yang
telah disepakati secara bersama agar dipatuhi.
Kesepakatan yang berhasil dibangun melalui Esuriun Orang Bati
memberikan kekuatan moril atau spirit sehingga dapat dikategorikan
sebagai budaya spiritual (spiritual cultur) untuk bertahan hidup (survival strategy) dalam menghadapi tekanan (presure). Konsep kunci
tentang “manusia berhati bersih atau Batti” terletak pada “niat” dan
katika (saat yang tepat). Paradigma tentang “niat” yang terdapat dalam
hati atau nurani manusia sesungguhnya bersih dan berisi suara kebaikan. Paradigma mengenai katika (saat yang tepat) dalam perspektif
Orang Bati merupakaan aspek penting yang berkaitan langsung dengan
manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas dalam menjalani hidup dengan sesama makhluk hidup, lingkungan, dan sebagainya. Relasi yang tercipta antara manusia dengan lingkungan yang berdasarkan niat dimaksudkan agar manusia yang melakukan hal baik,
buruk, dan sebagainya akan tampak nyata melalui “niat” (lamino).
Wujud nyata dari niat yang ada pada diri manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas yaitu tampak melalui sikap dan peri-laku.
Niat merupakan hakikat dasar dalam hidup manusia karena niat
manusia bersumber dari hati atau nurani manusia yang bersih.
Dalam perspektif Orang Bati, niat baik maupun buruk hanya ada
dalam hati manusia sangat dipengaruhi oleh dua suara yang dimaknai
sebagai suara kebaikan dan suara keburukan. Jarak antara suara kebaikan dan keburukan sangat tipis. Kedua suara tersebut senantiasa
tarik menarik sehingga pada katika (waktu yang tepat), manusia dapat
melakukan kebaikan, tetapi pada katika (saat atau waktu yang tepat)
atau saat yang lain manusia dapat melakukan hal yang buruk, sehingga
bertentangan dengan nilai. Kondisi tersebut sangat tergantung pada
daya yang terdapat pada relasi yang tercipta melalui simpul nilai dasar.
Relasi saling tergantung yang ada pada niat manusia ditentukan oleh
katika (waktu yang tepat) untuk melakukannya terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun dengan lingkungan di mana ia berada.
Untuk itu nilai dasar tentang manusia berhati bersih atau Bati
sebagai simpul untuk mengikat relasi yang tercipta di antara Orang Bati
283
Esuriun Orang Bati
dengan alam semesta dan leluhur tidak pernah mati. Suatu hal yang
mungkin terjadi yaitu perkembangannya pada katika (waktu atau saat
yang tepat) di mana nilai bisa merosot, tetapi pada katika yang lain
nilai bisa menjadi marak kembali. Simpul pengikat tersebut memiliki
kekuatan yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) dimaksudkan untuk
membedakan Orang Bati dengan sukubangsa lainnya di Pulau Seram
maupun Maluku. Nilai dasar tentang manusia berhati bersih yang diwujudkan melalui Esuriun Orang Bati menghubungkan Alifuru Bati
atau Orang Bati yang terdiri dari berbagai kelompok sosial (Patasiwa
dan Patalima) dapat terintegrasi dengan satu identitas yaitu Orang Bati
sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group).
Menguatkan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun
Orang Bati terus dilestarikan dalam kehidupan keseharian. Melemahkan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati diabaikan oleh pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Esuriun Orang Bati
sebagai jati diri atau identitas Orang Bati yang sesungguhnya, dimaksudkan untuk menunjukan pada orang lain bahwa Orang Bati torgolong sebagai kelompok atau rumpun Patasiwa Putih di Pulau Seram
memiliki eksistensi untuk bertahan hidup seperti diwujudkan melalui
mekanisme pertahanan diri dan kelompok ketika melakukan upacara
adat Esuriun Orang Bati yang sakral. Adat Esuriun Orang Bati dijadikan sebagai benteng tanpa tembok karena konsep saling menjaga
dan melindungi (mabangat nai tua malindung) dijadikan sebagai pagar
(sirerun), dan bisa dimaknai sebagai strategi membangun benteng
tanpa tembok di mana posisi manusia dan adat selalu menyatu. Artinya
Orang Bati sengaja menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan
(invisible barriers) melalui strategi menempatkan manusia yang berbicara dengan bahasa yang sama berada pada batas wilayah kekuasaan
atau watas nakuasa sebagai ruang hidup yang dilakukan melalui adat
Esuriun Orang Bati.
Realitas hidup yang dijalani Orang Bati melalui pemahaman
tentang nilai dasar (basic value) tentang “Manusia Batti” atau manusia
berhati bersih, memberikan isyarat bahwa siapa saja yang berniat
untuk memasuki wilayah Tana (Tanah) Bati berarti perlu melakukan
pencucian diri untuk memperoleh jiwa yang bersih, jujur, dan se-
284
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
bagainya. Sebab ciri dari manusia berhati bersih ada pada niat (lamino
di ngavin). Realitas tersebut apabila dianalisis dengan menggunakan
teori Parson dapat dimaknai sebagai suatu sistem budaya tertentu memiliki basis nilai yang sifatnya generalisasi dan digunakan sebagai pola
pertahanan diri (self defence). Contohnya yaitu Orang Bati sebagai
manusia maupun sukubangsa mampu menahan diri terhadap berbagai
stigma (anggapan negatif) dari orang luar terhadap diri mereka di mana
identitas Bati dipertaruhkan dalam interaksi, dan Orang Bati sering
mendengarnya secara langsung dari mulut orang luar. Namun Orang
Bati tidak pernah memberikan reaksi dalam bentuk apapun. Berarti
Orang Bati paham sebagai penganut ideologi Batti harus sabar. Kesabaran yang sangat mendalam, dan tertanam pada diri,, kerabat, kelompok, maupun komunitas merupakan tingkat pemahaman terhadap
falsafah yang tertinggi di mana manusia diajarkan untuk mencapai
kebahagiaan hidup setelah kematian atau makna tentang kehidupan
setelah kematian yang terdapat dalam sistem religi Alifuru Seram.
Esuriun Orang Bati: Implementasi Kosmologi untuk Bertahan Hidup
(Survival Strategy)
Nilai dasar (ngavin) yang terlembaga melalui pemahaman terhadap makna “Batti” sebagai manusia berhati bersih atau Batti berkaitan dengan kosmologi yang dianut oleh keturunan Alifuru Bati atau
Orang Bati yang bersifat kesemestaan. Dalam perbincangan mengenai
kosmologi terdapat dua istilah yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Pandangan Christian Wolft (1728) dalam karyanya Praeliminares de
Philosophia in Genere memposisikan kosmologi sebagai salah satu
cabang metafisika. Pandangannya mengenai alam semesta diselidiki
menurut inti dan hakikatnya yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan
maknanya. Titik tolak kosmologi adalah ke-satuan manusia dan alam
semesta dengan dunia yang dialami manusia (Siswanto, 2005 : 2-3).
Pandangan tersebut di atas apabila digunakan untuk memahami tentang nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati berdasarkan kosmologi Orang Bati dapat dikatakan bahwa kedudukan dari
Manusia Batti atau manusia berhati bersih atau leluhur (Tata Nusu Si )
285
Esuriun Orang Bati
adalah makrokosmos karena bersifat kesemestaan, dan Alifuru Bati
atau Orang Bati sebagai mikrokosmos. Esuriun Orang Bati merupakan
mezokosmos untuk menghubungkan makrokosmos yaitu “Manusia
Batti” atau leluhur dan mikrokosmos yaitu Alifuru Bati atau Orang
Bati.
Implementasi Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos tampak
melalui kisah nyata Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan
gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dimaksudkan agar Orang Bati
dapat bertahan hidup (survival strategy) sesuai nilai dasar (basic value)
yaitu manusia berhati bersih atau Batti agar mereka saling menjaga dan
melindungi (mabangat nai tua malindung). Hakikat dari nilai Esuriun
Orang Bati telah digunakan untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat seperti pembagian hak milik atas tana atau (tanah) pada
masing-masing marga yang dinamakan etar, pengaturan pemeritahan
adat oleh mata rumah perintah yang mengikuti garis lurus (garis lakilaki) menurut paham patrilinial, pengaturan mengenai sistem pengelolaan wilayah hutan melalui tanggalasu, tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, norma sosial (tata krama pergaulan), dan sebagainnya. Esuriun Orang Bati memiliki fungsi dan peran untuk mewujudkan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Esuriun Orang
Bati adalah kisah nyata, dan bukan ilang-lang (hilang-hilang) sebagaimana persepsi orang luar selama ini. Kunci untuk memahami
dunia Orang Bati adalah “niat” yang baik dari nurani yang bersih pada
diri manusia adalah hakikat tertinggi mengenai ideologi Batti yang bersifat kesemestaan.
Ideologi Batti tentang manusia berhati bersih yang dianut oleh
anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati senantiasa memberikan arah pada setiap individu, kelompok, maupun komunitas
Orang Bati dalam berperilaku, dan dijadikan sebagai pedoman kebijaksanaan untuk menjalani hidup dengan lingkungan. Persepsi Orang
Bati tentang hakikat ideologi Batti yaitu dunia boleh runtuh, tetapi
Gunung Bati tetap berdiri kokoh (dunia eya nabaloan, tapi ukar baitta,
tetap nadili utuh). Makna Gunung Bati sebagai tempat asal-usul leluhur
Orang Bati adalah gunung-tanah atau tanah kelahiran, tempat asal, dan
sebagainya di mana mereka sebagai anak cucu bisa menjalani hidup
286
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
bersama dalam konteks orang basudara (roina kakal) yang terintegrasi
dalam satu identitas yaitu Orang Bati. Esuriun Orang Bati telah menyatukan (mengintegrasikan) kelompok sosial Patasiwa dan Patalima
yang berbeda menjadi kesatuan yang erat.
Dalam pandangan Orang Bati, nilai dasar (ngavin) yang terkandung dalam Esuriun Orang Bati merupakan suara hati manusia
yang bersih (mancia lamino di ngavin), kemudian dijadikan sebagai
prinsip hidup utama yang menjadi basis ideologi Batti. Hakikat tertinggi mengenai ideologi Batti bersifat kesemestaan atau matikan
eksistensi alam semesta. Basis utama dari nilai “Bati” atau “Batti” telah
mengalami proses pelembagaan (institusionalisasi) dalam tradisi, adat,
dan kebudayaan Orang Bati. Artinya cara Orang Bati menanggapi lingkungan di mana ia berada, senantiasa menjadi cerminan hati manusia
yang bersih karena berisi suara kebaikan, dan dijadikan sebagai pedoman hidup bersama dalam lingkungan kebudayaan Orang Bati yang
tidak pernah berubah. Maknanya yaitu kehidupan Orang Bati sebagai
manusia di alam nyata mesti berubah, tetapi kehidupan “Manusia
Batti” tidak akan pernah berubah. Sumber nilai tersebut dipegang kuat
oleh penganut tradisi dan kebudayaan Bati. Sebagai manusia biasa,
Orang Bati memiliki cita-cita seperti itu, tetapi perwujudan sebagai
“Manusia Batti” adalah hakikat hidup tertinggi, sehingga dimaknai sebagai kesemestaan. Persepsi Orang Bati tentang nilai dasar (ngavin)
seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat Sutrisno dan
Putranto (2005 : 67) yaitu nilai dasar yang dijadikan sebagai pedoman
hidup senantiasa ditumbuhkan dan dibatinkan lewat kebudayaan orang
itu yang dihayatinya sebagai jagat makna hidup dan diwacanakan serta
dihayati dalam jagat simbol.
Berarti Esuriun Orang Bati adalah simbol tertinggi dalam jagat
makna di mana “manusia berhati bersih atau Batti” merupakan konsepsi abstrak yang ideal agar Orang Bati dapat mencapainya ketika
menjalani hidup dalam dunia keseharian. Esuriun Orang Bati sebagai
mezokosmos merupakan simpul untuk menghubungkan makrokosmos
(Manusia Batti) atau manusia berhati bersih dan mikrokosmos yaitu
Alifuru Bati atau Orang Bati sehingga tercipta relasi saling memberi
yang bersifat harmoni, dan dimaknai sebagai matikan eksistensi alam
287
Esuriun Orang Bati
semesta. Esuriun Orang Bati memiliki fungsi dan peran sentral sebagai
mata-rantai untuk mengatur relasi antara manusia dengan Maha Kuasa
Pencipta Alam Semesta dan Manusia, relasi antara manusia dengan
manusia, manusia dengan lingkungan alam, manusia dengan katika
atau waktu, manusia dengan perbuatan atau karya. Hakikat Esuriun
Orang Bati digunakan oleh individu, kelompok, maupun komunitas
untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survive) dalam menghadapi
tekanan (presure) yaitu menegaskan bahwa penganut ideologi Batti
mampu bertahan hidup (survive) tanpa campur tangan orang luar.
Kondisi ini telah teruji di mana Orang Bati mendiami wilayah yang
terisolasi selama ratusan tahun di Pulau Seram Bagian Timur, tetapi
mereka tidak punah. Realitas yang dialami Orang Bati membuktikan
bahwa komunitas yang taat dan menjunjung tinggi nilai dasar, adatistiadat, kebudayaan, dan sebagainya memiliki perkembangan dalam
peradaban yang jauh lebih maju karena menghargai nilai kemanusiaan,
lingkungan, dan sebagainya.
Untuk itu sejak leluhur Orang Bati melakukan Esuriun Orang
Bati pada masa lampau guna menjaga dan melindungi (mabangat nai
tua malindung) terhadap seluruh hak milik berharga seperti manusia,
hutan, gunung, identitas, adat, budaya, kebudayaan, dan lainnya merupakan upaya nyata dalam mengembangkan strategi bertahan hidup
(survival strategy). Esuriun Orang Bati adalah perwujudan eksistensi
Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa, dan sekaligus menegaskan bahwa Orang Bati bukan orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang atau manusia terbang-terbang, orang atau manusia
jahat, dan sebagainya. Persepsi seperti ini adalah stigma (anggapan
negatif) orang luar (Orang Maluku) yang sama sekali tidak mengetahui
dan memahami secara benar tentang makna mendasar yang terdapat
dalam konsep “Bati’ dan “Batti”. Anggapan negatif (stigma) orang luar
(Orang Maluku) adalah mitos yang harus diakhiri. Esuriun Orang Bati
dilakukan agar anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati dapat
bertahan hidup (survive) dengan lingkungan agar mereka tidak punah.
Cara hidup yang dijalani Orang Bati merupakan usaha implementasi
nilai dasar yang terdapat dalam ideologi Batti.
288
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Esuriun Orang Bati bersumber dari kebenaran nilai yang harus
diwujudkan, dan bukan suatu kebetulan. Artinya Esuriun Orang Bati
jadi karena fakta kebenaran, dan bukan suatu kebetulan. Sebab hati
manusia yang bersih itu ada pada “batin” setiap orang atau individu
maupun kelompok adalah hakikat kebenaran sejati yang harus disosialisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam realitasnya, nilai yang
melekat pada Esuriun Orang Bati terus ditularkan pada generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati agar mereka dapat mewujudkannya
melalui cara berpikir dan bertindak. Hati manusia yang bersih atau
“Batti” merupakan sumber dan sekaligus menjadi penumbuh nilai
dengan kendali yang sinergi dari pikiran (ratio) atau akal manusia.
Hakikat dalam memahami nilai seperti ini apabila dikaitkan dengan
teori Parson, maka dimaksudkan adalah pencapaian tujuan di mana
sistem kepribadian menjadi basis pembedaan sehingga tampak nyata
dengan orang luar yang tidak menganut ideologi Batti.
Esuriun Orang Bati: Simpul Pengikat Kelompok Sosial yang Kokoh
untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)
Dikatakan Esuriun Orang Bati sebagai simpul pengikat karena
pengukuhan dilakukan melalui adat. Penguatan melalui adat esuriun
dijadikan sebagai "budaya spiritual" pada Orang Bati. Wujud nyata dari
Esuriun Orang Bati yang lahir dari latar belakang kehidupan berbagai
kelompok sosial yang berbeda (Patasiwa dan Patalima) di Samos
(tempat kering pertama yang dijumpai) dan Soabareta (tanjung kering
pertama yang dijumpai) ketika mengorganisi diri dan kelompok, kemudian mereka mencapai kesepakatan (mafakat sinabu) secara bersama
untuk turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara)
guna menguasai wilayah kekuasaan (watas nakuasa) sebagai ruang
hidup guna menjaga dan melindungi seluruh hak milik berharga seperti manusia, hutan, gunung, identitas, adat, budaya, lingkungan
alam, dan lainnya dari serbuan orang luar adalah strategi survive.
Strategi Esuriun Orang Bati mendapat legitimasi kolektif,
kemudian diwujudkan melalui adat dalam menyelenggarakan kehidupan bersama sebagai orang satu asal yaitu anak cucu keturunan
289
Esuriun Orang Bati
Alifuru atau Alifuru Ina yang mendiami teritorial genealogis di Pulau
Seram Bagian Timur, merupakan strategi bertahan hidup (survive)
jangka panjang. Agar Orang Bati tetap memiliki kekuatan bertahan
hidup (survival strategy) maka nilai Esuriun Orang Bati dijadikan sebagai tali pengikat (buas) yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan).
Lembaga adat Esuriun Orang Bati menjadi kehormatan tertinggi yang
senantiasa dijunjung, dihormati, dihargai oleh generasi pewaris tradisi
dan kebudayaan Bati.
Simpul pengikat yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati terus
mengalami proses sosialisasi pada setiap individu maupun kelompok
sehingga proses pelembagaan nilai (institusinalisasi) dalam budaya dan
stukur sosial Orang Bati dapat dipelihara dan terus berfungsi sebagai
pengikat integrasi yang telah dicapai secara bersama. Wujud nyata
untuk bertahan hidup (survival strategy) melalui relasi antara sesama
Orang Bati, antara Orang Bati dengan orang lain, lingkungan, dan sebagainya adalah menegaskan "Eksistensi Orang Bati" sebagai manusia
maupun sukubangsa yang memiliki identitas. Untuk itu nilai dasar
yang terkandung dalam Esuriun Orang Bati senantiasa dijadikan sebagai spirit untuk menjalani hidup bermasyarakat, sehingga dapat
dianggap sebagai budaya spiritual (cultural spiritual) di kalangan Orang
Bati. Apabila Esuriun Orang Bati dipahami melalui teori Parson, dapat
dikatakan bahwa simpul pengikat karena berada dalam suatu sistem
sosial atau suatu sistem kehidupan bersama, dan terus dilestarikan
maupun dibudidayakan bagi generasi penerus tradisi dan kebudayaan
Bati karena memiliki fungsi integrasi yang didasarkan pada normanorma yang mengikat individu dan komunitas melalui integrasi
normatif, fungsional, dan kultural.
Esuriun Orang Bati: Budaya Spiritual untuk Bertahan Hidup (Survival
Strategy)
Bersumber pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang
Bati merupakan wujud “budaya spiritual” yang dimiliki oleh kelompok
maupun komunitas. Dalam prakteknya, nilai dasar yang terdapat dalam
Esuriun Orang Bati tersebut dijadikan sebagai penuntun dalam hidup
290
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
keseharian mereka yang mendiami wilayah pegunungan, lereng bukit,
lembah, dan pesisir pantai. Secara teoritik, makna Esuriun Orang Bati
sebagai sistem nilai budaya karena terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai
hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena
itu, suatu sistem nilai-budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia
lain yang tingkatannya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus,
hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilaibudaya itu (Koentjaraningrat, 2002 : 25).
Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual karena etar sebagai
teritorial genealogis memberikan penguatan pada usaha membangun
benteng tanpa tembok yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) untuk
menghadapi perkembangan masa depan guna mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) jangka panjang di mana wilayah
kediaman Orang Bati sampai sekarang tidak dapat didatangi oleh orang
luar sesuka hatinya tanpa restu dan izin dari mereka semua yang mendiami kampung atau dusun (wanuya) yang berada di pesisir pantai,
lereng bukit, maupun pegunungan. Budaya spiritual yang muncul dari
Esuriun Orang Bati memperoleh penguatan melalui adat sehingga
proses integrasi yang berlangsung pada kelompok sosial Patasiwa dan
Patalima meliputi 24 marga asli di Tana (Tanah) Bati yaitu 11 marga
Patasiwa dan 13 marga Patalima 2) mendiami teritorial, menganut
bahasa, adat-istiadat, identitas, dan kebudayaan yang sama.
Budaya spiritual yang memberikan penguatan pada identitas
Orang Bati muncul dalam konsep untuk menamakan wilayah mereka
adalah sakral atau wilayah bernyawa merupakan pagar (sirerun) untuk
menjaga dan melindungi seluruh kepentingan Orang Bati dari serbuan
orang luar. Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual merupakan
totalitas, dan merupakan bagian dari sistem nilai-budaya Orang Bati
karena segala hal yang berkaitan dengan hidup memiliki hulu dan
muara pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati. Artinya Orang Bati sangat paham terhadap persoalan tersebut karena ke2)Mengenai susunan dan pembagian marga Patasiwa dan Patalima dapat dilihat pada bab
tujun tentang Sistem Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati.
291
Esuriun Orang Bati
arifan yang mereka miliki sebagai warisan leluhur masih kuat dipertahankan sampai masa kini.
Kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) melalui
Esuriun Orang Bati berada dalam sistem nilai (ideologi) Batti sehingga
dijadikan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan kehidupan bersama. Sistem nilai, keyakinan yang mengakar biasanya dianggapa benar
oleh pendukungnya. Dalam ideologi, pandang sesorang terhadap dunia
yang dianggap sebagai hal penting bagi identitas diri dan gambaran
citra dirinya sendiri, walaupun itu tampaknya tidak rasional bagi orang
yang tidak menganut sistem nilai yang sama (Boulding, 1964: Posser,
1978; Agusyanto, 2007).
Bertolak dari pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan
bahwa Esuriun Orang Bati memiliki basis nilai (ideologi) yang telah
menyatukan kosmos Orang Bati atau Suku Bati dengan dunia keseharian mereka. Bagi orang lain yang tidak memahami dan mendalami
dunia Orang Bati atau Suku Bati yang sesungguhnya dapat menganggap
hal itu tidak rasional. Bagi Orang Bati atau Suku Bati, cara itu sangat
rasional. Sebab cara Orang Bati atau Suku Bati memahami dunia
mereka memang berbeda dari orang lain ketika memandang dunia
Orang Bati. Esuriun Orang Bati melekat langsung sebagai identitas
mereka, sehingga mereka mudah mengidentifikasi diri ketika berhadapan dengan orang lain yang tidak menganut tradisi esuriun.
Fenomena seperti ini bagi Marguerite G Kraf (dalam Poser, 1978: 4)
bahwa cara melihat dunia dan peranan dalam dunia itu sendiri yang
mendasari tindakan dan reaksi dalam kelompok dan di luar kelompok,
hubungan manusia dengan alam sekitarnya, sikap seseorang terhadap
alam semesta, orientasi pada waktu dan ruang, nilai-nilai dan normanorma.
Pendapat di atas sesungguhnya telah memperkuat basis nilai
yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati sebagai dunia Orang Bati atau
Suku Bati yang sesunguhnya. Dunia tersebut adalah nyata, bukan tersamar atau ilang-ilang (hilang-hilang) seperti persepsi orang luar
selama ini. Menguatnya tradisi Esuriun Orang Bati dalam habitat
mereka karena tradisi tidak dapat dibayangkan tanpa para penjaganya.
292
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Penjaga memiliki hak istimewa untuk masuk ke dalam kebenaran, dan
kebenaran tidak dapat dibuktikan kecuali tampak dalam penafsiran dan
praktek para penjaga. Dalam tradisi esuriun, mereka dapat membedakan antara “orang dalam dan orang luar”. Realitas tersebut secara
teoritis dapat dikemukakan bahwa, partisipasi dalam ritual dan penerimaan terhadap kebenaran formulatif adalah syarat bagi keberadaan
tradisi (Giddens, 2003: 47). Teori Giddens yang digunakan untuk
menganalisis Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup
(survival strategy) karena dalam tradisi maupun ritual yang dilakukan
Orang Bati setiap saat. Ritual yang berkaitan dengan Esuriun Orang
Bati memiliki basis nilai yang berperan dalam kehidupan mereka
Esuriun Orang Bati: Kekuatan Bertahan
Hidup (Survival Strategy) dengan CaraCara Hidup Sesuai Kebudayaan
Analisis temuan penelitian (sintesa) tentang Esuriun 1) Orang Bati
sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara
hidup sesuai kebudayaan untuk mengungkapkan fenomena Orang Bati
yang selama ini terus bertentangan atau paradoks dalam masyarakat.
Sampai masa kini Orang Bati dipersepsikan orang luar (Orang Maluku)
sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang), orang terbang-terbang, orang
misteri, orang yang menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Sebagian besar Orang Maluku beranggapan bahwa penuturan mengenai
Orang Bati adalah mitos. Analisis kekuatan bertahan hidup (survival
strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk menjelaskan
integrasi yang dicapai Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa
(ethnic group) untuk bertahan hidup (survival strategy).
Proses integrasi merupakan unsur penting dalam sistem sosial
Orang Bati sehingga erdasarkan data empirik bahwa teori AGIL
(Adaptation to the environment, Goal attainment, Integration, and
Latenty) relevan untuk melakukan analisis fenomena Orang Bati.
Dalam teori fungsionalisme Parson dengan konsep “fungsi pokok”
(fungtional imperative) menggambarkan empat macam tugas utama
yang harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati”. Teori Parsons
(dalam Suwarno dan Alvin, 2006 : 10-11) memahami masyarakat tidak
ubahnya seperti memahami organ tubuh manusia yaitu ; Pertama,
struktur tubuh manusia memiliki bagian yang saling berhubungan satu
1)Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran
agar Orang Bati saling menjaga dan melindungi hak milik berharga yang meliputi
manusia, tanah, hutan, identitas, adat, budaya, dan lainnya untuk bertahan hidup
(survival strategy) jangka panjang dan mewujudkan eksistensi sebagai manusia maupun
sukubangsa.
271
Esuriun Orang Bati
sama lain, artinya masyarakat mempunyai berbagai kelembagaan yang
saling terkait dan tergantung satu sama lain. Untuk menggambarkan
koordinasi yang harmonis antar kelembagaan tersebut, Parsons
menggunakan konsep “sistem”; Kedua, setiap bagian tubuh manusia
memiliki fungsi yang jelas dan khas (spesifik). Demikian pula setiap
bentuk kelembagaan dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu
untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat, yang dianalogikan sebagai tubuh manusia sehingga konsep “keseimbangan dinamisstationer” (homeostatic equilibrium). Menurut Parson satu bagian
tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan intern dalam mencapai
keseimbangan baru dan perubahan tidak dapat dilakukan secara cepat
karena dapat menggoncangkan fungsi-fungsi dari tubuh manusia itu
sendiri.
Beberapa asumsi pokok teori Parson (dalam Kinloch, 2005 : 188190) digunakan sebagai pintu masuk untuk menganalisis fenomena
Orang Bati di Maluku dapat dikemukakan sebagai berikut; (1) Sistem
sosial diasumsikan untuk memunculkan sui generis, yaitu masyarakat
memiliki realitas indenpenden untuk melintasi eksistensi individu sebagai sutau sistem interaksi; (2) Struktur sosial atau subsistem masyarakat menggambarkan sejumlah fungsi utama yang mendasarinya
(struktur mewakili fungsi) atau problem sistem yang mendasarinya.
Fungsi-fungsi ini terdiri atas integrasi (sistem sosial di dasarkan pada
norma-norma yang mengikat individu dengan masyarakatnya melalui
integrasi normatif), pola pertahanan (sistem budaya nilai-nilai dan nilai
generalisasi) pencapai tujuan (sistem kepribadian-basis pembedaan),
dan adaptasi (organisasi perilaku-basis peran-sistem ekonomi); (3)
Sistem sosial sebaiknya terdiri atas empat subsistem yaitu komunitas
masyarakat (norma-norma integratif) pola pertahanan (nilai-nilai
integratif), bentuk atau proses pemerintahan (diterapkan untuk perolehan tujuan), dan ekonomi (diterapkan untuk adaptif). Fokus utama
sistem sosial ini adalah internal, integrasi normatif. Sementara itu basis
masyarakat adalah tingkat kecukupan diri yang relatif bagi lingkungan;
(4) Sifat hakiki sistem kehidupan pada semua tingkatan organisasi dan
perkembangan evolusioner dengan asumsi yang ada yaitu kelanjutan
272
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
sistem kehidupan; (5) Fokus atau landasan sentral masyarakat adalah
kecenderungan terhadap equilibriun dan homeostatik.
Proses sentral megenai hubungan empat subsistem aksi yaitu
interpenetrasi, internalisasi masyarakat, fenomena budaya ke dalam
kepribadian, dan institusionalisasi komponen-komponen normatif sebagai struktur konstitutif. Sistem sosial ini kemudian dipandang sebagai
sistem yang berorientasi integrasi dan equilibrium secara kuat; (6)
Sistem tidak dipandang statis dari pada suatu kapasitas yang dimilikinya untuk evolusi yang adaptif. Proses sentral perubahan evolusi mengandung pembedaan (differentiation) pada (pembagian lebih jauh
atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (meningkatkan kebebasan unit-unit sosial dari sumber kekerasan). Analisis
temuan penelitian dengan menggunakan teori Parson untuk menganalisis Esuriun Orang Bati: kekuatan bertahan hidup (survival
strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan diawali dengan
pencapaian integrasi kultural oleh kelompok Patasiwa dan Patalima
yang berbeda untuk mewujudkan integrasi eksistensial guna menegaskan identitas Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa
oleh orang luar (Orang Maluku). Lebih jauh dari itu persepsi dari sebagian besar Orang Maluku mengenai penuturan tentang Orang Bati
dianggap mitos. Ternyata penuturan seperti itu Orang Bati sangat memahami keadaan yang berkembang di luar komunitas mereka, sehingga
pencapaian integrasi eksistensial dari kelompok sosial yang berbeda dimaksudkan agar Orang Bati dapat menunjukkan pada orang lain mengenai jati diri yang sebenarnya. Tetapi selama ini Orang Bati tidak
mengetahui cara yang tepat untuk menyatakannya. Utuk itu sampai sekarang Orang Bati dianggap bukan manusia maupun sukubangsa.
Pencapaian integrasi eksistensil dari Orang Bati yang dianalisis melalui
studi ini diawali dengan kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati
dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dapat dikemukakan lebih lanjut:
273
Esuriun Orang Bati
Esuriun Orang Bati: Kisah Turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari
Hutan dan Gunung (Madudu Atamae Yeisa Tua Ukara)
Ketika menjalani hidup secara bersama pada tempat kediaman
awal di Pulau Seram Bagian Timur yang bernama Samos di sekitar
Gunung Bati terdapat dua kelompok sosial yaitu Patasiwa dan Patalima. Selama menjalani hidup secara bersama di Samos kelompok Patasiwa dan Patalima bersepakat (mafakat sinabu) untuk hidup secara
damai di atas falsafah saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua
malindung) di antara sesama Orang Bati. Kehidupan tersebut telah
dijalani oleh leluhur Orang Bati di Samos sampai dengan kedatangan
kelompok suku Alifuru yang mendiami Soabareta di sekitar Gunung
Bati menyatu (terintegrasi) dengan kelompok Alifuru yang mendiami
Samos melalui mekanisme adat Esuriun Orang Bati. Secara sosiokultural, kehidupan dari kedua kelompok sosial tersebut berbeda. Berdasarkan sejarah lisan (oral story) yang disampaikan Orang Bati bahwa
sejak awal kehidupan di Samos maupun Soabareta terdapat kelompok
sosial Patasiwa dan Patalima. Masing-masing kelompok pata mendiami
teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya
yang berbeda-beda. Apabila anak cucu keturunan Alifuru tersebut selalu hidup bermusuhan seperti kelompok suku lainnya di Seram dipastikan bahwa kehidupan mereka terancam dan bisa mengalami kepunahan. Usaha menyatukan kekuatan untuk bertahan hidup (survive)
melalui adat Esuriun Orang Bati, berarti tercipta keseimbangan dalam
sistem kehidupan komunitas. Dapat dikatakan bahwa peristiwa Esuriun Orang Bati merupakan awal dari suatu kesuksesan agar anak cucu
keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati dapat bertahan hidup (survive)
dengan lingkungan.
Perwujudan Esuriun Orang Bati sehingga pencapaian integrasi
eksistensial telah menjadi dorongan kuat agar keturunan Alifuru Bati
atau Orang Bati melakukan strategi turun dari hutan dan gunungan
(madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga seperti
manusia, tanah, identitas, tradisi, adat, kebudayaan, sumber daya alam,
dan lainnya agar bisa bertahan hidup (survive). Kisah Alifuru Bati atau
274
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Orang Bati turun dari hutan dan gunung berkaitan dengan kosmologi
di mana relasi antara alam semesta dan manusia berada dalam suatu
siklus yang senantiasa berputar di mana makna tentang “Manusia Batti”
sebagai manusia berhati bersih adalah leluhur yang tercipta melalui
evolusi daratan Seram, dan tana (tanah) merupakan unsur penting yang
berkaitan dengan penciptaan. Tana (tanah) adalah bernyawa sama seperti manusia, sehingga dalam kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati
makna tana (tanah) menjadi sumber kehidupan untuk mewujudkan
kelangsungan hidup jangka panjang.
Tana (tanah) memiliki kaitan dengan proses mengeringnya daratan Seram yang saat itu tergenang oleh air laut. Maka usaha mewujudkan hidup secara damai di antara sesama anak cucu keturunan Alifuru
atau Alifuru Ina dengan konsep saling menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) di antara mereka yaitu berkaitan dengan
tanah agar tetap lestari. Untuk itu wilayah kediaman Orang Bati dinamakan Tana (Tanah) Bati. Usaha Orang Bati untuk menjaga dan melindungi identitas Bati yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati
adalah final, dan terus dilembagakan. Melalui fungsi dan peran dari
lembaga adat Esuriun Orang Bati, kemudian Orang Bati melakukan
aktivitas turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua
ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung)
seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, gunung,
identitas, tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya.
Kisah Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung
(madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (bernilai) adalah strategi mewujudkan kelangsungan hidup (survival
strategy) dilakukan secara damai karena tidak menimbulkan konflik
maupun pertikaian dengan orang lain. Dalam lembaga adat Esuriun
Orang Bati terdapat nilai dasar (basic value) mengenai “manusia berhati bersih” atau “Batti”. Nilai dasar (ngavin) tentang “manusia berhati
bersih” terdapat dalam pandangan Alifuru Bati atau Orang Bati tentang
kekuatan yang bersifat kesemestaan.
Berdasarkan kosmologi Orang Bati, maka nilai dasar tentang
Manusia Batti yang bersifat kesemestaan adalah makrokosmos, se-
275
Esuriun Orang Bati
dangkan Alifuru Bati atau Orang Bati adalah mikrokosmos, kemudian
dihubungkan dengan Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos yang diimplementasikan melalui cara-cara hidup berdasarkan kebudayaan
Orang Bati yang dilestarikan dalam kehidupan individu, keluarga,
kerabat, dan komunitas sampai saat ini untuk memberi citra bahwa
Orang Bati memiliki jati diri (identitas).
Persepsi Orang Bati mengenai nilai dasar (ngavin) yang terdapat
dalam ideologi Batti yang bersifat kesemestaan menjadi dasar dalam
kisah Esuriun Orang Bati di mana kelompok Patasiwa dan Patalima
yang terintegrasi di Tana (Tanah) Bati memiliki baileu di alam terbuka,
dan cirinya tidak sama dengan konsep baileu yang terdapat pada kelompok Patasiwa dan Patalima pada masyarakat lainnya di Pulau Seram
maupun Maluku yaitu berupa bangun fisik (rumah) yang dibuat dan
ditempatkan secara khusus pada setiap lingkungan negeri (adat). Baileu
merupakan tempat yang sakral, karena itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai adat. Tempat yang dijadikan sebagai
baileu bagi Orang Bati yang terdapat di alam terbuka adalah tempat
yang sangat sakral karena mereka percaya bahwa tempat tersebut
senantiasa dijaga dan dilindungi oleh roh para leluhur (Tata Nusu Si)
yaitu “Manusia Batti” yang sangat ditakuti, dihargai, dihormati, dan
sebagainya oleh generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati.
Apabila kisah Esuriun Orang Bati dipahami sebagai peristiwa
nyata yang dilakukan Orang Bati secara sengaja untuk menjaga dan
melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik berharga.
Kisah kehidupan yang dijalani dalam Esuriun Orang Bati memiliki
khasan tertentu, yang dimaknai oleh Betrand dalam Wisadirana (2005 ;
41) bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu sejarah dan sebagian
besar produk dari suatu proses evolusioner. Kisah nyata Esuriun Orang
Bati apabila dipahami menurut teori Parson, berarti melalui Esuriun
Orang Bati tercipta suatu sejarah yang sangat penting bagi keturunan
pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Artinya peristiwa yang berkaitan
dengan Esuriun Orang Bati adalah bagian dari keseluruhan sistem kehidupan Alifuru Bati atau Orang Bati yang telah mengalami proses
adaptasi, terintegrasi, mengikuti pola nilai budaya yang dianut secara
bersama sebagai orang satu asal untuk pencapaian tujuan hidup yang
276
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
diinginkan yaitu hidup secara damai, sehingga keturunan (generasi
penerus) tradisi dan kebudaya Bati dapat bertahan hidup pada setiap
lingkungan, dan lebih jauh dari itu adalah spesis Orang Bati tidak
punah dalam lingkungannya sendiri.
Kisah Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai suatu proses
perubahan cara hidup yang khas dari kelompok sosial Patasiwa dan
Patalima yang awalnya berbeda-beda kemudian menyatu, kemudian
menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati. Artinya perubahan
pada unsur apapun dalam suatu sistem ditentukan oleh unsur-unsur
lainnya. Demikian pula setiap unsur merupakan unsur determinan
unsur lainnya (Berry dalam Wirutomo (2003 ; 15). Mekanisme perubahan yang berlangsung dalam struktur sosial Alifuru Bati atau
Orang Bati dilakukan secara sengaja melalui suatu proses yang panjang
sehingga tahapan perubahan tersebut telah memperkuat ikatan-ikatan
sosial di antara sesama orang satu asal yaitu dari anak cucu keturunan
Alifuru atau Alifuru Ina. Dampak perubahan yang berlangsung terut
menguatkan aspek kelembagaan adat Esuriun Orang Bati sehingga
menjadi mata-rantai kehidupan dalam sistem sosial Orang Bati. Esuriun
Orang Bati yang diwujudkan melalui kisah turunnya Alifuru Bati atau
Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara),
kemudian mekanisme tersebut dilembagakan dalam adat berarti fungsi
kelembagaan pada sistem sosial menjadi hidup. Mekanisme perubahan
tersebut oleh Jarvie (dalam Sztompka, 2005 : 260) karena kehidupan
sosial memiliki kekhasan kesatuannya, karena mengandung proses dan
hubungan timbal-balik dari, dan dibentuk oleh tindakan anggotanya.
Seperti itu adalah gambaran tentang cara-cara hidup sesuai kebudayaan
yang dimiliki Orang Bati dari waktu ke waktu sehingga melalui Esuriun Orang Bati sebagai basis nilai untuk bertahan hidup (survival
strategy).
Esuriun Orang Bati: Nilai Dasar (Basic Value) untuk Bertahan Hidup
(Survival Strategy)
Berdasarkan kisah Esuriun Orang Bati yang telah dikemukakan
maka nilai dasar (basic value) yang terdapat dalam kosmologi Alifuru
277
Esuriun Orang Bati
Bati atau Orang Bati tentang “Manusia Batti” atau “manusia berhati
bersih” yang bersifat kesemestaan adalah manusia yang sempurna dan
hidup sepanjang masa. Makna yang terdapat dalam manusia berhati
bersih adalah penguasa jagat raya yang setiap saat menyertai mereka
sebagai anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati. Nilai dasar
(ngavin) tersebut merupakan simpul pengikat yang kuat, kokoh, dan
ulet (berketahanan), sehingga menjadi idealisme dan sekaligus menjadi
tujuan hidup bersama dari keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati,
maupun orang yang menganut ideologi Batti, dan yakin pada kebenaran nilai tersebut oleh keturunan Alifuru Seram di Pulau Seram atau
Nusa Ina (Pulau Ibu), maupun orang-orang yang mendiami pulaupulau lainnya di Maluku.
Bersumber pada nilai dasar (ngavin) tentang manusia berhati
bersih, maka penganut ideologi Batti sendiri maupun orang luar beranggapan bahwa penyebutan nama “Batti” dan “Bati” yang dianggap
sama, sehingga tidak boleh digunakan atau disebut secara sembarangan
karena pamali (tabu). Nama Batti maupun Bati selama ini oleh orang
luar dimaknai sama oleh orang luar (Orang Maluku) dianggap sakral.
Untuk itu dilarang keras pada individu, kelompok, komunitas, maupun
masyarakat untuk menyebut-nyebut nama Bati tersebut secara sembarangan. Dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku, sangat diyakini
oleh Orang Bati sendiri maupun orang luar (Orang Maluku) bahwa
orang yang sengaja menyebut nama “Batti” dan “Bati” secara sembarangan maka orang yang bersangkutan bisa sakit, disakiti, diculik,
dan sebagainya. Dalam interaksi sosial, ternyata wacana mengenai
nama “Batti” maupun “Bati” yang selama ini dijadikan oleh orang luar
sebagai perlindungan sosial maupun mencegah konflik. Realitas ini
dapat dijumpai dalam kehidupan Orang Patasiwa dan Patalima yang
mendiami negeri-negeri adat di Maluku Tengah (Ambon, Lease, dan
Seram) yang sering terlibat dalam permusuhan, apabila terjadi kasus
orang hilang (anak kecil maupun perempuan), penculikan, dan lainnya
kemudian nama Bati digunakan sebagai pembenaran dalam kasus
seperti itu maka konflik maupun pertikaian di kalangan individu, kelompok, komunitas, maupun masyarakat yang mendiami negeri (adat)
atau desa yang berpotensi menimbulkan pertikaian, ternyata dapat di-
278
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
hindari karena secara tidak sadar simbol Bati telah berperan dalam mewujudkan perdamaian.
Nama Batti yang melekat pada “Manusia Batti” memberikan keyakinan kuat pada keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati sehingga
menjadi kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara
hidup sesuai kebudayaan yang dianut Orang Bati. Strategi bertahan
hidup (survival strategy) pada Orang Bati melalui cara hidup yang
sesuai dengan kebudayaan diimplementasikan pada tingkat individu,
kerabat, kelompok, maupun komunitas. Walaupun Orang Bati mendiami lingkungan terisolasi, namun mereka tidak mengalami kepunahan karena nilai dasar mengenai manusia berhati bersih “Bati”
atau “Batti” memberikan kekuatan hidup pada Orang Bati agar
memegang kuat falsafah hidup untuk saling menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (bernilai). Falsafah hidup ini memberikan kekuatan bertahan hidup (survival strategy) pada tingkat individu, kerabat, kelompok, maupun
komunitas karena ratusan tahun Orang Bati hidup dalam keadaan
terisolasi dan terabaikan tepat tidak mengalami kepunahan. Nilai dasar
mengenai manusia berhati bersih atau “Batti” terus dilakukan melalui
proses pelembagaan (institusionalisasi). Dalam menjalani hidup keseharian sesuai kebudayaan, ternyata basis nilai Batti yang telah terlembaga melalui adat Esuriun Orang Bati terus digunakan untuk bertahan hidup (survival strategy), terutama mengelola lingkungan sosial
dan lingkungan alam (fisik).
Berdasarkan tradisi, adat-istiadat, maupun kebudayaan Orang
Bati, maka dalam interaksi sosial tidak semua keturunan Alifuru Bati
atau Orang Bati menggunakan nama Bati. Sesuai adat yang berlaku,
maka keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami lokasi
kediaman di Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi atau “Bati
Garuda” yang boleh menggunakan nama Bati untuk lokasi pemukiman
maupun penyebutan terhadap diri mereka. Kesepakatan adat yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati bahwa keturunan Alifuru Bati atau
Orang Bati yang menggunakan identitas Bati untuk penyebutan diri,
kelompok, komunitas, teritorial, dan sebagainya adalah anak cucu keturunan Orang Bati yang menjalani kisah langsung turun dari hutan
279
Esuriun Orang Bati
dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) mengikuti rute perjalanan “Manusia Batti” sampai di lokasi bernama Kampung atau Dusun
(Wanuya) Bati Kilusi (Bati Garuda) atau Bati Awal.
Pemahaman terhadap nilai Esuriun Orang Bati yang sifatnya
abstrak apabila dikaitkan dengan pemikiran Clyde Kluckhon berupa
suatu konsepsi, eksplisit atau implisit, khusus bagi seseorang atau merupakan ciri suatu kelompok yang diinginkan, yang mempengaruhi
pemilihan cara, alat dan akhir yang diharapkan dari suatu tindakan
(Posser, 1978 : 176). Timbul pertanyaan bahwa nilai itu bersumber dari
mana? Dalam tradisi dan kebudayaan Bati, nilai Esuriun Orang Bati
bersumber dari hati manusia yang bersih. Makna Batti sebagai
”manusia berhati bersih” senantiasa menjadi penuntun untuk memunculkan pikiran manusia yang bersih, perilaku hidup individu
maupun kelompok yang bersih, dan sebagainya. Nilai dasar tersebut
bersumber dari nurani manusia yang bersih karena berisi ”suara kebaikan” (famumuk ngavin) sehingga menjadi pedoman hidup tertinggi
pada Orang Bati.
Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati dipersepsikan
benar menurut paradigma Orang Bati dan telah merasuk dalam alam
pikiran maupun nurani (hati) atau batin manusia yang bersih (Batti)
sehingga menjadi sumber dan sekaligus sebagai penumbuh nilai yang
benar untuk menjalani kehidupan dengan lingkungan di mana mereka
berada. Dalam pandangan Orang Bati tentang hakikat Esuriun Orang
Bati bersifat kesemestaan, menjadi kunci kehidupan yang sangat
penting yang dimaknai sebagai “matikan eksistensi alam semesta”.
Apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut dikaitkan dengan pendapat Posser (1978 : 303) karena seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak rasional bagi orang yang tidak
menganut sistem nilai yang sama.
Artinya kandungan nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun
Orang Bati lahir dari pikiran dan nurani manusia yang bersih untuk
masuk ke alam nyata, dan dijalani oleh Orang Bati. Implementasi dari
nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut mesti tidak
sama dengan nilai yang dianut oleh orang lain karena sistem nilai yang
membentuk perilaku Orang Bati sangat berbeda dengan orang lain.
280
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Dalam perspektif Orang Bati, nilai tentang Bati atau manusia berhati
bersih senantiasa berisi suara kebaikan, dan suara kebaikan ini muncul
dari ”niat” (lamino) dari setiap orang. Niat (lamino) yang baik maupun
buruk yang terdapat dalam hati manusia tidak dapat disembunyikan
pada Orang Bati. Niat yang baik di mata Orang Bati bukan saja terletak
pada pembicaraan seseorang yang indah-indah, tetapi yang terpenting
adalah wujud dari perbuatan yang sesuai dengan pembicaraan.
Nilai tentang baik dan buruk setiap saat dapat dipengaruhi oleh
kondisi yang bersumber dari dalam diri manusia maupun kelompok,
dan juga bisa datang dari luar lingkungan yang berwujud suara kebaikan (famumuk ngavin) dan suara keburukan (famumuk galotak).
Nilai yang dianut oleh individu maupun kelompok dapat saja dipengaruhi oleh suatu kondisi yang berada di luar maupun dari dalam
lingkungan sehingga perlu ada filter (penyaring). Tetapi nilai dasar sebagai kekuatan bertahan telah memberikan ketahanan diri (self
defence) pada Orang Bati. Sebab batas antara pengaruh suara kebaikan
dan suara keburukan pada manusia sangat tipis. Untuk itu pada katika
(ruang, waktu, kondisi, dan situasi) tertentu yang tepat seseorang maupun sekelompok orang dapat melakukan hal yang baik, tetapi dapat
juga melakukan hal yang buruk. Hal itu sangat tergantung pada nilai
dasar yang dianutnya.
Makna nilai dasar dalam Esuriun Orang Bati seperti dikemukakan telah menjadi pedoman hidup bersama Orang Bati dan menjadi
sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) menghadapi tekanan (presure) baik yang bersumber dari dalam maupun
yang berasal dari luar. Dapat dikatakan bahwa nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati menjadi basis untuk mengembangkan
kekuatan bertahan hidup (survival strategy) pada teritorial genealogis
atau wilayah roina kakal. Nilai dasar tersebut dijadikan sebagai strategi
untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung)
manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, kebudayaan, dan lainnya sebagai hak milik yang berharga, dan dimaknai sebagai “Dunia Orang
Bati” yang sesungguhnya sehingga menjadi simpul pengikat yang tidak
lapuk oleh waktu.
281
Esuriun Orang Bati
Aktualisasi dari nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam konteks
Esuriun Orang Bati yaitu diwujudkan melalui “niat” dari orang atau
manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas karena fungsi
dan peran dari Esuriun Orang Bati berkaitan dengan religi, mitologi
Gunung Bati, mitologi Seram Gunung Manusia, maupun kosmologi
Orang Bati (Tata Nusu Si-Esuriun-Alifuru Bati) yang menjadi sumber
kekuatan untuk bertahan hidup (survive) sampai saat ini. Persepsi
Orang Bati seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat
Pursen (1988 : 37) bahwa mitologi itu memberikan arah kepada kelakuan manusia, dan merupakan semacam pedoman kebijaksanaan
manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil bagian
dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam. Turut ambil bagian dinamakan partisipasi.
Berdasarkan makna kehidupan nyata yang didambakan melalui
Esuriun Orang Bati yang sengaja dilakukan untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap seluruh hak milik
yang berharga (bernilai) dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) sebagai ruang hidup adalah cara memaknai kosmologi Alifuru Bati atau
Orang Bat. Perbedaan makna tersebut oleh Pursen (2006 : 38-39)
karena fungsi mitologi untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi
mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia
dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan mempengaruhi
dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos bertalian erat
dengan fungsinya yang pertama memberikan jaminan masa kini.
Makna tentang mitos seperti dikemukakan, apabila dikaitkan
dengan Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai pelabuhan di mana
semua kekuatan hidup memiliki tempat berlabuh memiliki kekuatan
mengikat. Persoalan mendasar untuk memahami fungsi mitologi sebagai kekuatan berlabuh untuk penjamin masa kini maupun masa yang
akan datang yaitu memberikan pada manusia pengetahuan tentang
dunia serta kehidupan mereka di alam nyata seperti dibayangkan
dalam alam yang tidak nyata mengenai sesuatu itu ada (kehidupan
setelah kematian) manusia. Standar idealnya yaitu pada saat menjalani
hidup ini setiap individu, kelompok, maupun komunitas memegang
282
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
teguh Esuriun Orang Bati sebagai adat dan kebudayaan Orang Bati
yang dihormati dan dijunjung tinggi sehingga norma-norma adat yang
telah disepakati secara bersama agar dipatuhi.
Kesepakatan yang berhasil dibangun melalui Esuriun Orang Bati
memberikan kekuatan moril atau spirit sehingga dapat dikategorikan
sebagai budaya spiritual (spiritual cultur) untuk bertahan hidup (survival strategy) dalam menghadapi tekanan (presure). Konsep kunci
tentang “manusia berhati bersih atau Batti” terletak pada “niat” dan
katika (saat yang tepat). Paradigma tentang “niat” yang terdapat dalam
hati atau nurani manusia sesungguhnya bersih dan berisi suara kebaikan. Paradigma mengenai katika (saat yang tepat) dalam perspektif
Orang Bati merupakaan aspek penting yang berkaitan langsung dengan
manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas dalam menjalani hidup dengan sesama makhluk hidup, lingkungan, dan sebagainya. Relasi yang tercipta antara manusia dengan lingkungan yang berdasarkan niat dimaksudkan agar manusia yang melakukan hal baik,
buruk, dan sebagainya akan tampak nyata melalui “niat” (lamino).
Wujud nyata dari niat yang ada pada diri manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas yaitu tampak melalui sikap dan peri-laku.
Niat merupakan hakikat dasar dalam hidup manusia karena niat
manusia bersumber dari hati atau nurani manusia yang bersih.
Dalam perspektif Orang Bati, niat baik maupun buruk hanya ada
dalam hati manusia sangat dipengaruhi oleh dua suara yang dimaknai
sebagai suara kebaikan dan suara keburukan. Jarak antara suara kebaikan dan keburukan sangat tipis. Kedua suara tersebut senantiasa
tarik menarik sehingga pada katika (waktu yang tepat), manusia dapat
melakukan kebaikan, tetapi pada katika (saat atau waktu yang tepat)
atau saat yang lain manusia dapat melakukan hal yang buruk, sehingga
bertentangan dengan nilai. Kondisi tersebut sangat tergantung pada
daya yang terdapat pada relasi yang tercipta melalui simpul nilai dasar.
Relasi saling tergantung yang ada pada niat manusia ditentukan oleh
katika (waktu yang tepat) untuk melakukannya terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun dengan lingkungan di mana ia berada.
Untuk itu nilai dasar tentang manusia berhati bersih atau Bati
sebagai simpul untuk mengikat relasi yang tercipta di antara Orang Bati
283
Esuriun Orang Bati
dengan alam semesta dan leluhur tidak pernah mati. Suatu hal yang
mungkin terjadi yaitu perkembangannya pada katika (waktu atau saat
yang tepat) di mana nilai bisa merosot, tetapi pada katika yang lain
nilai bisa menjadi marak kembali. Simpul pengikat tersebut memiliki
kekuatan yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) dimaksudkan untuk
membedakan Orang Bati dengan sukubangsa lainnya di Pulau Seram
maupun Maluku. Nilai dasar tentang manusia berhati bersih yang diwujudkan melalui Esuriun Orang Bati menghubungkan Alifuru Bati
atau Orang Bati yang terdiri dari berbagai kelompok sosial (Patasiwa
dan Patalima) dapat terintegrasi dengan satu identitas yaitu Orang Bati
sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group).
Menguatkan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun
Orang Bati terus dilestarikan dalam kehidupan keseharian. Melemahkan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati diabaikan oleh pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Esuriun Orang Bati
sebagai jati diri atau identitas Orang Bati yang sesungguhnya, dimaksudkan untuk menunjukan pada orang lain bahwa Orang Bati torgolong sebagai kelompok atau rumpun Patasiwa Putih di Pulau Seram
memiliki eksistensi untuk bertahan hidup seperti diwujudkan melalui
mekanisme pertahanan diri dan kelompok ketika melakukan upacara
adat Esuriun Orang Bati yang sakral. Adat Esuriun Orang Bati dijadikan sebagai benteng tanpa tembok karena konsep saling menjaga
dan melindungi (mabangat nai tua malindung) dijadikan sebagai pagar
(sirerun), dan bisa dimaknai sebagai strategi membangun benteng
tanpa tembok di mana posisi manusia dan adat selalu menyatu. Artinya
Orang Bati sengaja menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan
(invisible barriers) melalui strategi menempatkan manusia yang berbicara dengan bahasa yang sama berada pada batas wilayah kekuasaan
atau watas nakuasa sebagai ruang hidup yang dilakukan melalui adat
Esuriun Orang Bati.
Realitas hidup yang dijalani Orang Bati melalui pemahaman
tentang nilai dasar (basic value) tentang “Manusia Batti” atau manusia
berhati bersih, memberikan isyarat bahwa siapa saja yang berniat
untuk memasuki wilayah Tana (Tanah) Bati berarti perlu melakukan
pencucian diri untuk memperoleh jiwa yang bersih, jujur, dan se-
284
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
bagainya. Sebab ciri dari manusia berhati bersih ada pada niat (lamino
di ngavin). Realitas tersebut apabila dianalisis dengan menggunakan
teori Parson dapat dimaknai sebagai suatu sistem budaya tertentu memiliki basis nilai yang sifatnya generalisasi dan digunakan sebagai pola
pertahanan diri (self defence). Contohnya yaitu Orang Bati sebagai
manusia maupun sukubangsa mampu menahan diri terhadap berbagai
stigma (anggapan negatif) dari orang luar terhadap diri mereka di mana
identitas Bati dipertaruhkan dalam interaksi, dan Orang Bati sering
mendengarnya secara langsung dari mulut orang luar. Namun Orang
Bati tidak pernah memberikan reaksi dalam bentuk apapun. Berarti
Orang Bati paham sebagai penganut ideologi Batti harus sabar. Kesabaran yang sangat mendalam, dan tertanam pada diri,, kerabat, kelompok, maupun komunitas merupakan tingkat pemahaman terhadap
falsafah yang tertinggi di mana manusia diajarkan untuk mencapai
kebahagiaan hidup setelah kematian atau makna tentang kehidupan
setelah kematian yang terdapat dalam sistem religi Alifuru Seram.
Esuriun Orang Bati: Implementasi Kosmologi untuk Bertahan Hidup
(Survival Strategy)
Nilai dasar (ngavin) yang terlembaga melalui pemahaman terhadap makna “Batti” sebagai manusia berhati bersih atau Batti berkaitan dengan kosmologi yang dianut oleh keturunan Alifuru Bati atau
Orang Bati yang bersifat kesemestaan. Dalam perbincangan mengenai
kosmologi terdapat dua istilah yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Pandangan Christian Wolft (1728) dalam karyanya Praeliminares de
Philosophia in Genere memposisikan kosmologi sebagai salah satu
cabang metafisika. Pandangannya mengenai alam semesta diselidiki
menurut inti dan hakikatnya yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan
maknanya. Titik tolak kosmologi adalah ke-satuan manusia dan alam
semesta dengan dunia yang dialami manusia (Siswanto, 2005 : 2-3).
Pandangan tersebut di atas apabila digunakan untuk memahami tentang nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati berdasarkan kosmologi Orang Bati dapat dikatakan bahwa kedudukan dari
Manusia Batti atau manusia berhati bersih atau leluhur (Tata Nusu Si )
285
Esuriun Orang Bati
adalah makrokosmos karena bersifat kesemestaan, dan Alifuru Bati
atau Orang Bati sebagai mikrokosmos. Esuriun Orang Bati merupakan
mezokosmos untuk menghubungkan makrokosmos yaitu “Manusia
Batti” atau leluhur dan mikrokosmos yaitu Alifuru Bati atau Orang
Bati.
Implementasi Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos tampak
melalui kisah nyata Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan
gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dimaksudkan agar Orang Bati
dapat bertahan hidup (survival strategy) sesuai nilai dasar (basic value)
yaitu manusia berhati bersih atau Batti agar mereka saling menjaga dan
melindungi (mabangat nai tua malindung). Hakikat dari nilai Esuriun
Orang Bati telah digunakan untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat seperti pembagian hak milik atas tana atau (tanah) pada
masing-masing marga yang dinamakan etar, pengaturan pemeritahan
adat oleh mata rumah perintah yang mengikuti garis lurus (garis lakilaki) menurut paham patrilinial, pengaturan mengenai sistem pengelolaan wilayah hutan melalui tanggalasu, tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, norma sosial (tata krama pergaulan), dan sebagainnya. Esuriun Orang Bati memiliki fungsi dan peran untuk mewujudkan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Esuriun Orang
Bati adalah kisah nyata, dan bukan ilang-lang (hilang-hilang) sebagaimana persepsi orang luar selama ini. Kunci untuk memahami
dunia Orang Bati adalah “niat” yang baik dari nurani yang bersih pada
diri manusia adalah hakikat tertinggi mengenai ideologi Batti yang bersifat kesemestaan.
Ideologi Batti tentang manusia berhati bersih yang dianut oleh
anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati senantiasa memberikan arah pada setiap individu, kelompok, maupun komunitas
Orang Bati dalam berperilaku, dan dijadikan sebagai pedoman kebijaksanaan untuk menjalani hidup dengan lingkungan. Persepsi Orang
Bati tentang hakikat ideologi Batti yaitu dunia boleh runtuh, tetapi
Gunung Bati tetap berdiri kokoh (dunia eya nabaloan, tapi ukar baitta,
tetap nadili utuh). Makna Gunung Bati sebagai tempat asal-usul leluhur
Orang Bati adalah gunung-tanah atau tanah kelahiran, tempat asal, dan
sebagainya di mana mereka sebagai anak cucu bisa menjalani hidup
286
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
bersama dalam konteks orang basudara (roina kakal) yang terintegrasi
dalam satu identitas yaitu Orang Bati. Esuriun Orang Bati telah menyatukan (mengintegrasikan) kelompok sosial Patasiwa dan Patalima
yang berbeda menjadi kesatuan yang erat.
Dalam pandangan Orang Bati, nilai dasar (ngavin) yang terkandung dalam Esuriun Orang Bati merupakan suara hati manusia
yang bersih (mancia lamino di ngavin), kemudian dijadikan sebagai
prinsip hidup utama yang menjadi basis ideologi Batti. Hakikat tertinggi mengenai ideologi Batti bersifat kesemestaan atau matikan
eksistensi alam semesta. Basis utama dari nilai “Bati” atau “Batti” telah
mengalami proses pelembagaan (institusionalisasi) dalam tradisi, adat,
dan kebudayaan Orang Bati. Artinya cara Orang Bati menanggapi lingkungan di mana ia berada, senantiasa menjadi cerminan hati manusia
yang bersih karena berisi suara kebaikan, dan dijadikan sebagai pedoman hidup bersama dalam lingkungan kebudayaan Orang Bati yang
tidak pernah berubah. Maknanya yaitu kehidupan Orang Bati sebagai
manusia di alam nyata mesti berubah, tetapi kehidupan “Manusia
Batti” tidak akan pernah berubah. Sumber nilai tersebut dipegang kuat
oleh penganut tradisi dan kebudayaan Bati. Sebagai manusia biasa,
Orang Bati memiliki cita-cita seperti itu, tetapi perwujudan sebagai
“Manusia Batti” adalah hakikat hidup tertinggi, sehingga dimaknai sebagai kesemestaan. Persepsi Orang Bati tentang nilai dasar (ngavin)
seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat Sutrisno dan
Putranto (2005 : 67) yaitu nilai dasar yang dijadikan sebagai pedoman
hidup senantiasa ditumbuhkan dan dibatinkan lewat kebudayaan orang
itu yang dihayatinya sebagai jagat makna hidup dan diwacanakan serta
dihayati dalam jagat simbol.
Berarti Esuriun Orang Bati adalah simbol tertinggi dalam jagat
makna di mana “manusia berhati bersih atau Batti” merupakan konsepsi abstrak yang ideal agar Orang Bati dapat mencapainya ketika
menjalani hidup dalam dunia keseharian. Esuriun Orang Bati sebagai
mezokosmos merupakan simpul untuk menghubungkan makrokosmos
(Manusia Batti) atau manusia berhati bersih dan mikrokosmos yaitu
Alifuru Bati atau Orang Bati sehingga tercipta relasi saling memberi
yang bersifat harmoni, dan dimaknai sebagai matikan eksistensi alam
287
Esuriun Orang Bati
semesta. Esuriun Orang Bati memiliki fungsi dan peran sentral sebagai
mata-rantai untuk mengatur relasi antara manusia dengan Maha Kuasa
Pencipta Alam Semesta dan Manusia, relasi antara manusia dengan
manusia, manusia dengan lingkungan alam, manusia dengan katika
atau waktu, manusia dengan perbuatan atau karya. Hakikat Esuriun
Orang Bati digunakan oleh individu, kelompok, maupun komunitas
untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survive) dalam menghadapi
tekanan (presure) yaitu menegaskan bahwa penganut ideologi Batti
mampu bertahan hidup (survive) tanpa campur tangan orang luar.
Kondisi ini telah teruji di mana Orang Bati mendiami wilayah yang
terisolasi selama ratusan tahun di Pulau Seram Bagian Timur, tetapi
mereka tidak punah. Realitas yang dialami Orang Bati membuktikan
bahwa komunitas yang taat dan menjunjung tinggi nilai dasar, adatistiadat, kebudayaan, dan sebagainya memiliki perkembangan dalam
peradaban yang jauh lebih maju karena menghargai nilai kemanusiaan,
lingkungan, dan sebagainya.
Untuk itu sejak leluhur Orang Bati melakukan Esuriun Orang
Bati pada masa lampau guna menjaga dan melindungi (mabangat nai
tua malindung) terhadap seluruh hak milik berharga seperti manusia,
hutan, gunung, identitas, adat, budaya, kebudayaan, dan lainnya merupakan upaya nyata dalam mengembangkan strategi bertahan hidup
(survival strategy). Esuriun Orang Bati adalah perwujudan eksistensi
Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa, dan sekaligus menegaskan bahwa Orang Bati bukan orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang atau manusia terbang-terbang, orang atau manusia
jahat, dan sebagainya. Persepsi seperti ini adalah stigma (anggapan
negatif) orang luar (Orang Maluku) yang sama sekali tidak mengetahui
dan memahami secara benar tentang makna mendasar yang terdapat
dalam konsep “Bati’ dan “Batti”. Anggapan negatif (stigma) orang luar
(Orang Maluku) adalah mitos yang harus diakhiri. Esuriun Orang Bati
dilakukan agar anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati dapat
bertahan hidup (survive) dengan lingkungan agar mereka tidak punah.
Cara hidup yang dijalani Orang Bati merupakan usaha implementasi
nilai dasar yang terdapat dalam ideologi Batti.
288
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Esuriun Orang Bati bersumber dari kebenaran nilai yang harus
diwujudkan, dan bukan suatu kebetulan. Artinya Esuriun Orang Bati
jadi karena fakta kebenaran, dan bukan suatu kebetulan. Sebab hati
manusia yang bersih itu ada pada “batin” setiap orang atau individu
maupun kelompok adalah hakikat kebenaran sejati yang harus disosialisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam realitasnya, nilai yang
melekat pada Esuriun Orang Bati terus ditularkan pada generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati agar mereka dapat mewujudkannya
melalui cara berpikir dan bertindak. Hati manusia yang bersih atau
“Batti” merupakan sumber dan sekaligus menjadi penumbuh nilai
dengan kendali yang sinergi dari pikiran (ratio) atau akal manusia.
Hakikat dalam memahami nilai seperti ini apabila dikaitkan dengan
teori Parson, maka dimaksudkan adalah pencapaian tujuan di mana
sistem kepribadian menjadi basis pembedaan sehingga tampak nyata
dengan orang luar yang tidak menganut ideologi Batti.
Esuriun Orang Bati: Simpul Pengikat Kelompok Sosial yang Kokoh
untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)
Dikatakan Esuriun Orang Bati sebagai simpul pengikat karena
pengukuhan dilakukan melalui adat. Penguatan melalui adat esuriun
dijadikan sebagai "budaya spiritual" pada Orang Bati. Wujud nyata dari
Esuriun Orang Bati yang lahir dari latar belakang kehidupan berbagai
kelompok sosial yang berbeda (Patasiwa dan Patalima) di Samos
(tempat kering pertama yang dijumpai) dan Soabareta (tanjung kering
pertama yang dijumpai) ketika mengorganisi diri dan kelompok, kemudian mereka mencapai kesepakatan (mafakat sinabu) secara bersama
untuk turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara)
guna menguasai wilayah kekuasaan (watas nakuasa) sebagai ruang
hidup guna menjaga dan melindungi seluruh hak milik berharga seperti manusia, hutan, gunung, identitas, adat, budaya, lingkungan
alam, dan lainnya dari serbuan orang luar adalah strategi survive.
Strategi Esuriun Orang Bati mendapat legitimasi kolektif,
kemudian diwujudkan melalui adat dalam menyelenggarakan kehidupan bersama sebagai orang satu asal yaitu anak cucu keturunan
289
Esuriun Orang Bati
Alifuru atau Alifuru Ina yang mendiami teritorial genealogis di Pulau
Seram Bagian Timur, merupakan strategi bertahan hidup (survive)
jangka panjang. Agar Orang Bati tetap memiliki kekuatan bertahan
hidup (survival strategy) maka nilai Esuriun Orang Bati dijadikan sebagai tali pengikat (buas) yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan).
Lembaga adat Esuriun Orang Bati menjadi kehormatan tertinggi yang
senantiasa dijunjung, dihormati, dihargai oleh generasi pewaris tradisi
dan kebudayaan Bati.
Simpul pengikat yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati terus
mengalami proses sosialisasi pada setiap individu maupun kelompok
sehingga proses pelembagaan nilai (institusinalisasi) dalam budaya dan
stukur sosial Orang Bati dapat dipelihara dan terus berfungsi sebagai
pengikat integrasi yang telah dicapai secara bersama. Wujud nyata
untuk bertahan hidup (survival strategy) melalui relasi antara sesama
Orang Bati, antara Orang Bati dengan orang lain, lingkungan, dan sebagainya adalah menegaskan "Eksistensi Orang Bati" sebagai manusia
maupun sukubangsa yang memiliki identitas. Untuk itu nilai dasar
yang terkandung dalam Esuriun Orang Bati senantiasa dijadikan sebagai spirit untuk menjalani hidup bermasyarakat, sehingga dapat
dianggap sebagai budaya spiritual (cultural spiritual) di kalangan Orang
Bati. Apabila Esuriun Orang Bati dipahami melalui teori Parson, dapat
dikatakan bahwa simpul pengikat karena berada dalam suatu sistem
sosial atau suatu sistem kehidupan bersama, dan terus dilestarikan
maupun dibudidayakan bagi generasi penerus tradisi dan kebudayaan
Bati karena memiliki fungsi integrasi yang didasarkan pada normanorma yang mengikat individu dan komunitas melalui integrasi
normatif, fungsional, dan kultural.
Esuriun Orang Bati: Budaya Spiritual untuk Bertahan Hidup (Survival
Strategy)
Bersumber pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang
Bati merupakan wujud “budaya spiritual” yang dimiliki oleh kelompok
maupun komunitas. Dalam prakteknya, nilai dasar yang terdapat dalam
Esuriun Orang Bati tersebut dijadikan sebagai penuntun dalam hidup
290
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
keseharian mereka yang mendiami wilayah pegunungan, lereng bukit,
lembah, dan pesisir pantai. Secara teoritik, makna Esuriun Orang Bati
sebagai sistem nilai budaya karena terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai
hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena
itu, suatu sistem nilai-budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia
lain yang tingkatannya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus,
hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilaibudaya itu (Koentjaraningrat, 2002 : 25).
Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual karena etar sebagai
teritorial genealogis memberikan penguatan pada usaha membangun
benteng tanpa tembok yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) untuk
menghadapi perkembangan masa depan guna mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) jangka panjang di mana wilayah
kediaman Orang Bati sampai sekarang tidak dapat didatangi oleh orang
luar sesuka hatinya tanpa restu dan izin dari mereka semua yang mendiami kampung atau dusun (wanuya) yang berada di pesisir pantai,
lereng bukit, maupun pegunungan. Budaya spiritual yang muncul dari
Esuriun Orang Bati memperoleh penguatan melalui adat sehingga
proses integrasi yang berlangsung pada kelompok sosial Patasiwa dan
Patalima meliputi 24 marga asli di Tana (Tanah) Bati yaitu 11 marga
Patasiwa dan 13 marga Patalima 2) mendiami teritorial, menganut
bahasa, adat-istiadat, identitas, dan kebudayaan yang sama.
Budaya spiritual yang memberikan penguatan pada identitas
Orang Bati muncul dalam konsep untuk menamakan wilayah mereka
adalah sakral atau wilayah bernyawa merupakan pagar (sirerun) untuk
menjaga dan melindungi seluruh kepentingan Orang Bati dari serbuan
orang luar. Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual merupakan
totalitas, dan merupakan bagian dari sistem nilai-budaya Orang Bati
karena segala hal yang berkaitan dengan hidup memiliki hulu dan
muara pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati. Artinya Orang Bati sangat paham terhadap persoalan tersebut karena ke2)Mengenai susunan dan pembagian marga Patasiwa dan Patalima dapat dilihat pada bab
tujun tentang Sistem Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati.
291
Esuriun Orang Bati
arifan yang mereka miliki sebagai warisan leluhur masih kuat dipertahankan sampai masa kini.
Kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) melalui
Esuriun Orang Bati berada dalam sistem nilai (ideologi) Batti sehingga
dijadikan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan kehidupan bersama. Sistem nilai, keyakinan yang mengakar biasanya dianggapa benar
oleh pendukungnya. Dalam ideologi, pandang sesorang terhadap dunia
yang dianggap sebagai hal penting bagi identitas diri dan gambaran
citra dirinya sendiri, walaupun itu tampaknya tidak rasional bagi orang
yang tidak menganut sistem nilai yang sama (Boulding, 1964: Posser,
1978; Agusyanto, 2007).
Bertolak dari pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan
bahwa Esuriun Orang Bati memiliki basis nilai (ideologi) yang telah
menyatukan kosmos Orang Bati atau Suku Bati dengan dunia keseharian mereka. Bagi orang lain yang tidak memahami dan mendalami
dunia Orang Bati atau Suku Bati yang sesungguhnya dapat menganggap
hal itu tidak rasional. Bagi Orang Bati atau Suku Bati, cara itu sangat
rasional. Sebab cara Orang Bati atau Suku Bati memahami dunia
mereka memang berbeda dari orang lain ketika memandang dunia
Orang Bati. Esuriun Orang Bati melekat langsung sebagai identitas
mereka, sehingga mereka mudah mengidentifikasi diri ketika berhadapan dengan orang lain yang tidak menganut tradisi esuriun.
Fenomena seperti ini bagi Marguerite G Kraf (dalam Poser, 1978: 4)
bahwa cara melihat dunia dan peranan dalam dunia itu sendiri yang
mendasari tindakan dan reaksi dalam kelompok dan di luar kelompok,
hubungan manusia dengan alam sekitarnya, sikap seseorang terhadap
alam semesta, orientasi pada waktu dan ruang, nilai-nilai dan normanorma.
Pendapat di atas sesungguhnya telah memperkuat basis nilai
yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati sebagai dunia Orang Bati atau
Suku Bati yang sesunguhnya. Dunia tersebut adalah nyata, bukan tersamar atau ilang-ilang (hilang-hilang) seperti persepsi orang luar
selama ini. Menguatnya tradisi Esuriun Orang Bati dalam habitat
mereka karena tradisi tidak dapat dibayangkan tanpa para penjaganya.
292
Esuriun Orang Bati: Survival Strategy dengan Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Penjaga memiliki hak istimewa untuk masuk ke dalam kebenaran, dan
kebenaran tidak dapat dibuktikan kecuali tampak dalam penafsiran dan
praktek para penjaga. Dalam tradisi esuriun, mereka dapat membedakan antara “orang dalam dan orang luar”. Realitas tersebut secara
teoritis dapat dikemukakan bahwa, partisipasi dalam ritual dan penerimaan terhadap kebenaran formulatif adalah syarat bagi keberadaan
tradisi (Giddens, 2003: 47). Teori Giddens yang digunakan untuk
menganalisis Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup
(survival strategy) karena dalam tradisi maupun ritual yang dilakukan
Orang Bati setiap saat. Ritual yang berkaitan dengan Esuriun Orang
Bati memiliki basis nilai yang berperan dalam kehidupan mereka