Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB VII

Bab Tujuh

Tata Kelola Pemerintahan di
Tana (Tanah) Bati
Keadaan Awal Pulau Seram
Struktur tata kelola pemerintahan di Tana (Tanah) Bati, masih
kuat dipengaruhi oleh adat. Walaupun Negara Republik Indonesia
telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pengelolaan Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati
sampai saat ini masih mengikuti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Sistem Pemerintahan Desa.
Pada unsur terendah dalam penyelenggaraan pemerintahan di
tingkat dusun atau kampung (wanuya) masih mengikuti adat-istiadat.
Orang Bati percaya bahwa leluhur (Tata Nusu Si) adalah Manusia Bati
yang lahir dengan evolusi daratan Seram. Sejarah lisan (oral story) yang
dikemukakan Orang Bati bahwa leluhur mereka bernama Ken Min Len
yaitu menempati Samos yang terdapat di sekitar Gunung Bati.
Penuturan Orang Bati tentang leluhur mereka yaitu:
Bomai fabom oi tana eya boit dadi ala tua kaya tama sampai
naiye kapal Cina baru tana tua ukar diwar (Pada awalnya
wilayah ini masih menjadi lautan karena terjadi bencana alam

yang maha dahsyat). Peristiwa alam yang melanda Nusa Ina
(Pulau Ibu) saat ini dapat dikategorikan identik dengan istilah
Tsunami saat ini. Persitiwa alam yang maha dahsyat ini
menyebabkan sebagian besar wilayah Nusa Ina (Pulau Ibu)
menjadi tenggelam, dan air laut yang tergenang menutupi berbagai kawasan. Ada beberapa tempat tertentu saja di Nusa Ina
(Pulau Ibu) yang tidak tergenang oleh air laut. Tempat-tempat
tersebut berdasarkan penuturan leluhur Orang Bati seperti
wilayah sekitar Gunung Murkele, Gunung Bati antara lain
Samos, dan Soabareta. Secara perlahan-lahan terjadi evolusi

223

Esuriun Orang Bati

daratan Seram. Wilayah yang tergenang oleh air laut tersebut
mulai surut secara perlahan-lahan 1).

Ketika bencana alam yang maha dahsyat tersebut menimpa Nusa
Ina (Pulau Ibu) terjadi kerusakan di mana-mana. Keturunan Alifuru
atau Alifuru Ina yang mendiami Nusa Ina (Pulau Ibu) berusaha untuk

bertahan hidup dengan keadaan seadanya. Bagi keturunan Alifuru
yang berhasil menyelamatkan diri dari bencana alam, kemudian
mereka berusaha membangun kehidupan yang baru setelah muncul
daratan Seram. Leluhur Orang Bati yang mampu bertahan hidup kemudian berusaha membangun kehidupan pada lokasi kediaman awal di
Samos (tanah kering pertama) yang dijumpai sekitar Gunung Bati.
Kehidupan dari keturunan Orang Bati di Samos terus berlangsung sampai kedatangan (proses migrasi) yang dilakukan oleh leluhur
Orang Bati yang berasal dari Tanjung Sial di Seram Barat. Mereka yang
datang dari Tanjung Sial di Seram Barat kemudian menempati lokasi
kediaman bernama Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai).
Ketika keturunan Alifuru Ina dari Tanjung Sial ini tiba di Soabareta,
ternyata pada lokasi di Samos (tanah kering pertama yang dijumpai).
Kelompok yang berbeda ini kemudian menjalin hubungan sosial dan
berusaha membangun kehidupan baru dalam kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari mata rumah.
Kehidupan dari keturunan Alifuru Ina yang menyebut diri
sebagai Alifuru Bati ini makin hari makin bertambah banyak sehingga
jumlah mereka menjadi ribuan orang. Perkembangan berikutnya yaitu
mereka melakukan perundingan (mabuk). Hasil kesepakatan yang dicapai yaitu keturunan Alifuru Bati ini harus disebarkan untuk menduduki seluruh wilayah kekuasaan guna menjaga dan melindungi
seluruh hak milik yang berharga antara lain manusia, tanah, dan
)


Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun), Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian
Darat, di Geser, pada tanggal 5 November 2010. Melalui ceritera lisan (oral story) yang
disampaikan Orang Bati bahwa peristiwa ini memiliki kaitan dengan karamnya Kapal
Cina Namba pada masa lampau di sekitar Samos. Orang-orang dalam Kapal Cina
Namba yang berhasil diselamatkan oleh Orang Bati, kemudian mendiami lokasi tersebut sampai saat ini, dan keturunannya ada di Dusun (Wanuya) Sayei, Tokonakat,
Aerweul, dan Sesar Darat.
1

224

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

sebagainya. Kesepakatan melalui adat Esuriun Orang Bati kemudian
ribuan Alifuru yang mendiami Samos di sekitar Gunung Bati tersebut
melalui Esuriun Orang Bati yang dilakukan melalui peristiwa adat, kemudian diwujudkan melalui aksi bersama dalam suatu gerakan Alifuru
Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara)
dikemukakan Orang Bati bahwa:
Bomai siyoi le dewei hidupa tua di roina kakal bomai si Siwa tua
si Lim dadi so baru datur di bias (Mereka telah berusaha

membangun kehidupan bersama sebagai orang basudara atau
roina kakal yang terdiri dari kelompok Siwa-Lima menyatu
sebagai satu kekuatan). Esuriun adalah strategi menguasai ruang
hidup yang telah dilakukan oleh keturunan anak cucu Alifuru
Ina atau Alifuru Seram. Untuk Alifuru yang mendiami Samos di
Gunung Bati yang jumlahnya ribuan orang tersebut turun dari
hutan dan gunung secara bersama-sama untuk menguasai
wilayah kekuasaan (watas nakuasa) atau ruang hidup di bawah
pimpinan Kapitan Esuriun Orang Bati yaitu “Kilusi”. Ruang
hidup yang menjadi tanggung jawab bersama untuk setiap anak
cucu keturunan Alifuru Bati wajib menjaga, melindunginya
secara baik karena hal itu merupakan hak miliki yang di
dalamnya terdapat manusia, tanah, hutan, dan sebagainya.
Ruang hidup atau wilayah kekuasaan (watas nakuasa) adalah
teritorial genelogis atau yang akrab disebut teritorial orang
basudara di mana keturunan anak cucu Siwa-Lima yang menempati wilayah adat ini harus dapat memanfaatkan serta
mengelola dan memeliharanya secara baik untuk kelangsungan
hidup anak cucu. Tanah (Tana), hutan (esu), gunung (ukar), dan
segala isi yang berada di dalamnya adalah jiwa kami Orang Bati.
Untuk itu sampai saat ini Orang Bati percaya bahwa Kilusi

(Garuda) sebagai Kapitan Esuriun Orang Bati tidak pernah meninggal dunia, dan ia selalu berada dengan mereka semua anak
cucu sampai sekarang. Sosok Oyang Kilusi tidak kelihatan” 2),
tetapi ia ada di mana-mana dalam wilayah kekuasaan (watas
nakuasa) Orang Bati.

Sampai saat ini Orang Bati sangat kuat memegang falsafah Orang
Basudara (Roina Kakal) karena mereka sangat menyadari dan memahami keberadaannya sebagai anak cucu keturunan Alifuru. Sebab
Alifuru tidak terdapat di mana-mana, hanya ada di Nusa Ina (Pulau
Ibu) atau Pulau Seram, dan anak cucunya sudah menyebar ke seluruh
Wawancara dengan bapak SeSia (73 Tahun) Tokoh Adat Dusun Rumbou (Bati

2)

Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 11 September 2010.

225

Esuriun Orang Bati

wilayah Kepulauan Maluku dengan pembagian masing-masing, serta

kewajiban untuk menjaga, melindungi tanah, manusia, dan induk dari
Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram.
Ratusan tahun lamanya para kapitan dari Pulau Seram telah ke
luar dengan parang (peda) dan salawaku (perisai), kemudian mereka
menduduki tempat strategis dalam kawasan Maluku untuk menjaga
dan melindungi (protection) untuk melindungi seluruh hak milik. Hal
ini berarti simbol Siwa-Lima sebagai pemersatu yang masih terus bertahan sebagai falsafah hidup Orang Bati sebenarnya merupakan warisan nilai dari Alifuru Seram yang arif, serta memiliki hakikat nilai yang
sangat mendasar (intrinsik) untuk menyelenggarakan kehidupan
politik, sosial, budaya, ekonomi, keamanan wilayah, dan sebagainya
pada lingkungan lokal.
Untuk itu tanah (tana) dan hutan (esu) yang dipahami Orang
Bati sebagai aset yang harus dijaga dan dilindungi oleh semua anak
cucu keturunan Alifuru Ina jangan sampai disalahgunakan untuk kepentingan pembangunan yang merusak tatanan lokal yang telah terbentuk secara adat. Persoalan ini akan menjadi krusial dan sangat sulit
diatasi pada masa depan apabila antara masyarakat pemilik hak atas
tanah dengan pemerintah dan sebagainya sebagai pihak yang berperan
sebagai penguasa melakukan monoploi. Dalam perspektif ini yang
penting di-ingatkan oleh peneliti yaitu pemahaman Orang Bati terhadap “Tana atau Tanah” sebagai wilayah mereka yang dinamakan
“Tana (Tanah) Bati atau Atamae Batu adalah bumi manusia yang setiap
saat harus di-selamatkan oleh penghuninya.
Pemerintahan Adat di Tana (Tanah) Bati senantiasa berusaha

menyelamatkan aset tersebut dari serbuan orang luar. Tana (Tanah)
Bati atau Atamae Batu dianggap sebagai wilayah bernyawa karena ia
hidup setiap saat dengan mereka sebagai Orang Bati. Hubungan sosial
berdasarkan roina kakal dalam konteks Orang Bati adalah perspektif
kehidupan yang final karena hal ini telah dilakukan secara adat. Untuk
itu “Bati” yang dipahami sebagai manusia berhati bersih, suci, mulia,
dan ia tidak pernah mati (meninggal) dunia, dan senantiasa menyertai
Orang Bati sebagai keturunannya. Pemahaman terhadap makna Bati
226

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

menjadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy),
dan dimaknai oleh peneliti sebagai kelangsungan hidup masa lampau
menjadi penuntun bagi kelangsungan hidup masa depan yang lebih
baik, adalah kelangsungan hidup yang cakap. Sebab Esuriun Orang Bati
dilakukan secara dama dan tidak menimbulkan pertentangan (konflik)
dengan orang lain. Bahkan cara Esuriun Orang Bati dilakukan melalui
cara damai untuk menguasai ruang hidup karena dipahami oleh Orang
Bati sebagai hak milik mereka yang harus dijaga, dilindungi. Orang

Bati menerapkan hal ini dalam kehidupan nyata karena mereka sangat
takut melakukan kesalahan pada orang lain. Sebab setiap langkah
hidup mereka sebagai manusia senantiasa diketahui oleh leluhur yaitu
Manusia Batti (Tata Nusu Si). Mengenai kepercayaan Orang Bati pada
leluhur mereka yang dinamakan Manusia Bati diungkapkan bahwa:
Mancia Batti oi datiwar tua tana watu kai (Manusia Batti
tercipta dengan evolusi daratan Seram, adalah penghuni abadi
dari Gunung Bati sampai saat ini). Manusia Batti tidak pernah
mati (meninggal dunia), dan sampai saat ini ia senantiasa berada
dengan mereka sebagai anak cucu Orang Bati” 3).

Untuk itu bagi Orang Bati, nama Bati itu sendiri adalah sakral.
Mereka tidak boleh menyebut nama Bati ini secara sembarangan karena takut dimarahi, dibuat susah, dan sebagainya oleh leluhur mereka.
Nama Bati boleh disebut apabila mereka membutuhkan suatu pertolongan dari leluhur. memiliki peristiwa tersendiri yang dipercaya
oleh Orang Bati sampai sekarang bahwa Manusia Bati (manusia berhati
bersih atau berhati suci). Dikemukakan bahwa:
Nama Batti atau Manusia Bati tidak ada yang memberikan.
Ketika leluhur Orang Bati datang ke wilayah Seram Timur dan
mendiami Samos, kemudian menggunakan nama Bati untuk
keturunan Alifuru Ina yang sudah ada di tempat tersebut.

Kawasan di mana Orang Bati ini berada masuk dalam wilayah
adat Weurartefela di Negeri Kian Darat. Sejak dahulu sampai
sekarang Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri Kian Darat beserta
warga senantiasa dilindungi oleh leluhur Orang Bati. Jadi dalam
keadaan yang genting Raja (Mata Lean) atau Jou Kian Darat
3)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri Kian
Darat, di Geser, tanggal 5 November 2009.

227

Esuriun Orang Bati

serta warganya itu bisa hilang atau menghilang, jika ada orang
yang berusaha menyusahkan mereka. Tapi kami bukan orang
ilang-ilang (hilang-hilang) seperti anggapan orang luar selama
ini pada kami. Sebab terkait dengan kepercayaan mereka
bahwa, Manusia Batti yang menjaga dan melindungi Orang Bati
dan Tana (Tanah) Bati tidak pernah mati. Anggapan orang luar
yang keliru selama ini terus berkembang dalam kehidupan
masyarakat sehingga Orang Bati itu dinamakan sebagai orang

ilang-ilang (hilang-hilang). Pada hal kami itu ada, dan bukan
orang ilang-ilang (hilang-hilang) sebagaimana anggapan orang
luar selama ini 4).

Hubungan dengan nama ”Bati” yang selama ini terpelihara dalam
lingkungan mata rumah Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat
yaitu mereka senantiasa dilindungi. Dalam keadaan yang mendesak
atau dalam keadaan genting Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian
Darat bisa menghilang. Peristiwa ini yang awalnya berkembang dalam
masyarakat, sehingga muncul persepsi dari kalangan masyarakat luar
bahwa Orang Bati itu adalah orang ilang-ilang (hilang-hilang).

Esuriun Orang Bati: Strategi Mengatur Pemerintahan untuk
Bertahan Hidup (Survive)
Strategi Orang Bati untuk menguasai ruang hidup di Pulau
Seram yang dikonsepkan oleh peneliti sebagai kelangsungan hidup
yang cakap (survival strategy) karena cara yang dilakukan Orang Bati
berlangsung secara damai dan tidak menimbulkan konflik dengan
orang lain. Strategi Esuriun Orang Bati dilakukan dengan pertimbangan kebutuhan jangka panjang untuk menjaga, melindungi hak milik
mereka yang berharga seperti manusia, tanah, dan sebagainya. Strategi

ini dilakukan oleh Orang Bati ketika jumlah keturunan Alifuru Ina
yang mendiami Gunung Bati ini makin hari makin bertambah banyak
karena proses kelahiran. Kekuatan mereka yang mendiami wilayah
hutan (esu) di Samos di sekitar Gunung Bati makin hari makin bertambah banyak sehingga jumlah Alifuru Bati atau Orang Bati makin
4)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun), Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri Kian
Darat, di Geser, tanggal 5 November 2009.

228

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

besar (riun = ribuan orang). Dinamika yang berlangsung kemudian
yaitu mereka semua sepakat (mafakat sinabu) agar seluruh keturunan
Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami Samos turun dari hutan
dan gunung untuk menempati wilayah kekuasaan (ruang hidup)
masing-masing sesuai dengan pembagian (tabagu) yang telah dilakukan
saat itu oleh leluhur mereka.
Ruang hidup yang dipahami sebagai wilayah kekuasaan milik
marga (etar), terdapat dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang
Bati. Kisah Esuriun Orang Bati adalah strategi turun dari hutan dan
gunung untuk menjaga, melindungi seluruh hak milik yang berharga
seperti manusia, tanah, dan lainnya yang berada di gunung sampai
dengan pesisir pantai. Namun sebelum dilakukan Esuriun Orang Bati
pertama Alifuru Bati ini berusaha menyatukan (mengintegrasikan)
kekuatan mereka dengan sebutan Anak Esuriun atau Orang Esuriun.
Ketika keturunan Alifuru Bati masih berada di Samos sekitar Gunung
Bati telah dilakukan adat Esuriun Orang Bati. Pelaksanaan adat Esuriun
dengan berbagai upacara adat khas Orang Bati seperti tarian Lidi,
Bungkure, dan lainnya merupakan awal kesuksesan dari kelompok
Patasiwa (Sembilan Bagian) dan Kelompok Patalima (Lima Bagian)
menjadi Siwa-Lima.
Usaha nyata Orang Bati untuk menyatukan kekuatan mereka
sebagai anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Bati dengan sebutan
Orang Gunung Bati (Mancia Atayesu), dan kemudian menamakan diri
sebagai Orang Bati adalah identitas yang senantiasa dipertaruhkan
ketika berhadapan dengan orang lain. Peristiwa yang berlangsung penyatuan kekuatan dari anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Bati
atau Orang Gunung Bati melalui Esuriun Orang Bati adalah khas dalam
tradisi Alifuru Seram yang saat ini sudah terlupakan pada suku-suku
lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Adat Esuriun Orang Bati
masih terpelihara secara baik, dan memiliki kekhasan 5). Adat-istiadat
Dikatakan khas karena pada suku-suku lainnya di Maluku, kelompok Pata Siwa
(Sembilan Bagian) dan Kelompok Pata Lima (Lima Bagian) hidup dengan tradisi, adatistiadat, bahasa, dan teritorial sendiri. Di Tana (Tanah) Bati, kelompok Pata Siwa
(Sembilan Bagian) dan kelompok Pata Lima (Lima Bagian) hidup dengan tradisi, adatistiadat, bahasa minakesi, dan menempati teritorial yang sama. Uraian lebih rinci dapat
5)

229

Esuriun Orang Bati

yang tidak dijumpai dalam kehidupan kelompok Patasiwa (Sembilan
Bagian) dan kelompok Patalima (Lima Bagian) pada lingkungan
kehidupan suku-suku lainnya di Pulau Seram maupun Kepulauan
Maluku adalah identitas, maupun dunia Orang Bati yang sesungguhnya.
Strategi menempati dan menguasai seluruh wilayah kekuasaan
(watas nakuasa) Orang Bati melalui Esuriun Orang Bati adalah integrasi
yang final karena dilakukan secara adat. Penghuni hutan di pegunungan ini melakukan upacara adat Esuriun Orang Bati, kemudian mereka
menyebar turun secara bersama-sama untuk menempati wilayah kekuasaan yang terdapat di pantai maupun lereng-lereng bukit. Tetapi
ada di antara mereka yang tetap mendiami wilayah pegunungan, dan
keturunan mereka ada sampai saat ini. Realitas yang dialami oleh
masyarakat Bati dapat dikatakan bahwa mereka termasuk kategori
masyarakat heterogen karena berasal dari subsuku bangsa yang berbeda-beda, tetapi mereka senantiasa menyadari ada kaitan langsung
dengan keturunan suku Alifuru Ina di Pulau Seram. Realitas ini menunjukkan bahwa, keturunan dari Alifuru di Pulau Seram adalah satu
saja, tetapi peristiwa evolusi yang ber-langsung dalam wilayah ini
membuat mereka terbentuk dalam ke-lompok subsuku bangsa yang
sangat banyak, dan masing-masing subsuku bangsa hidup dengan
bahasa, tradisi dan adat istiadat yang dianut, serta teritorial sendirisendiri.

Sejarah Singkat Kedatangan Leluhur Orang Bati dari
Tanjung Sial ke Soabareta
Berdasarkan sejarah singkat tentang kehidupan awal dari keturunan Alifuru Ina di Samos sekitar Gunung Bati, perlu dikemukakan
juga bahwa ada leluhur Orang Bati yang bermigrasi dari Tanjung Sial di
Seram Barat ke Seram Timur, kemudian menurunkan mata rumah Raja
(Mata Lean) atau Jou di wilayah adat Kian Darat sebagai berikut:
dilihat pada bab VII tentang Sistem Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati,
halaman 191-228.

230

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

Asal-Usul Mata Rumah Raja (Mata Lean)
Asal-usul mata rumah Raja (Mata Lean) atau Jou di Tana (Tanah)
Bati merupakan bagian dari dinamika kehidupan Orang Bati yang dimulai dari pemahaman terhadap proses kedatangan leluhur Orang bati
dari tempat bernama Tanjung Sial yang terdapat di Seram Barat. Kedatang leluhur mereka ke wilayah Seram Timur dijelaskan sebagai berikut:
Perjalanan dari anak cucu keuturunan Alifuru Ina menuju
Seram Timur dipimpin oleh Ratu (Latu) Wawina (Raja Perempuan) dengan suaminya Kapitan Pattinama. Mereka datang
membawa rombongan Alifuru yang berhasil mereka kumpulkan
sepanjang perjalanan menuju Seram Timur. Rombongan ini tiba
pada tempat yang dinamakan Soabareta (tanjung kering pertama) yang dijumpai, atau wilayah di mana merupakan batas
ombak pukul-pukul. Ketika rombongan Alifuru ini tiba, ternyata di sekitar Samos yang berada sekitar Gunung Bati, sudah ada
Alifuru yang mendiami lokasi tersebut. Rombongan ini menjalin hubungan kerjasama dengan kelompok yang berada di
Samos, kemudian mereka memilih pemimpin (Latu atau Raja).
Kelompok Soabareta kemudian dipercaya untuk menjadi pimpinan atau Raja (Latu). Pemerintahan Latu atau Ratu Wawina
(Raja Perempuan) merupakan awal muncul pemerintahan
tradisional di Tana (Tanah) Bati, kemudian menjadi mata rumah
yang menurunkan Raja-Raja di Negeri Kian Darat 6).

Ketika rombongan ini tiba di soabareta, di sekitar Gunung Bati
yaitu pada tempat bernama Samos sudah ada Alifuru yang hidup dalam
kelompok-kelompok kecil. Mereka terdiri dari dua kelompok besar yaitu Alifuru dari kelompok Patasiwa 7) (Sembilan Bagian) dan Patalima
Wawancara dengan bapak AWe (58 Tahun), Mata Lean (Raja) atau Jou Negeri Kian
Darat, pada tanggal 13 Maret 2010.
7)Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan Pata Lima (Lima Bagian) yang terdapat dalam
kehidupan berbagai sukubangsa maupun sub sukubangsa di Pulau Seram adalah sistem
pengelompokan sosial khas Alifuru Seram atau berasal dari Pulau Seram yang sudah
dijumpai sejak masa lampau. Kelompok Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan Pata Lima
(Lima Bagian) terdapat pada lingkungan suku-suku besar seperti Suku Alune maupun
Suku Wemale. Kelompok Pata Siwa (Sembilan Bagian) terdiri dari Pata Siwa Mete
(Pata Siwa Hitam) yang dijumpai pada suku-suku yang mendiami wilayah Seram Barat.
Kelompok ini pada masa lampau sangat kuat mempertahan Kakehan (Organisasi
Rahasia Seram). Dewasa ini Kakehan sebagai institusi, kepercayaan, telah hilang karena
pengaruh misi agama (Kristen maupun Islam) di wilayah Seram Barat ketika masuknya
bangsa-bangsa asing (Belanda) sebagai kolonial, dan misi penyebaran agama. Para
6)

231

Esuriun Orang Bati

(Lima Bagian). Pada awalnya leluhur Orang Bati mendiami wilayah
sendiri-sendiri. Saat itu belum terlaksana pemerintahan secara teratur.
Kelompok Orang Bati yang mendiami lokasi kediaman awal di Samos
sekitar Gunung Bati yang terdiri dari suku-suku kecil dipimpin oleh
orang tertua yang bergelar Kapitan sebagai pemimpin pada marga atau
klen yang luas. Hubungan sosial sebagai roina kakal mulai dibina secara
bersama antara anak cucu keturunan Alifuru Ina di Pulau Seram
Bagian Timur. Kebersamaan hidup yang dijalani Orang Bati pada saat
itu kemudian mereka berhasil memilih pemimpin atau Latu atau Raja
(Mata Lean) atau Jou yang pertama untuk me-mimpin mereka semua
yang berada dalam kawasan hutan. Setelah itu mereka mulai melakukan perundingan (mabuluk) secara bersama sebagai roina kakal
untuk memilih pemimpin yang bisa memimpin mereka semua. Kerja
sama untuk menjaga, melindungi seluruh hak milik terutama manusia
dan tanah dan kesepakatan mata rumah Weurartafela 8) dipercaya
untuk memimpin mereka semua.
Kekuasaan Raja (Mata Lean)
Kekuasaan Raja (Mata Lean) atau Jou di gunung setelah Esuriun
Orang Bati berkedudukan di Watu Raita (Batu Raja) yang berada sekitar kawasan Dusun Bati Kilusi (Bati Awal). Raja (Mata Lean) atau Jou
yang berkuasa di gunung kemudian diserahkan untuk memerintah dari
pantai sampai dengan gunung yang berkedudukan di Negeri Kian
Darat. Raja (Mata Lean) atau Jou di pantai kemudian menempati wilayah adat di kampung (wanuya) Kian Darat yang kemudian berubah
Ulama dan Mubalik yang berasal dari Arab serta tempat-tempat lain di Nusantara
untuk menyebarluaskan Agama Islam, terutama wilayah Pulau Seram yang dikuasai
oleh Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore, maupun bagian wilayah yang mudah
dijangkau oleh Mubalik dari Hitu, Banda, dan lainnya. Kelompok Kakehan pada Orang
Pata Siwa Hitam memiliki tanda atau ciri khusus yang dikenal melalui berbagai jenis
tatto (tatowe) pada bagian badan atau wajah tertentu dari orang laki-laki maupun
perempuan yang memiliki hubungan dengan Organisasi Kakehan, dan masing-masing
simbol tatto memiliki makna khusus. Selain itu juga ada kelompok Pata Siwa Putih
yang terdapat pada suku-suku di wilayah Pulau Seram Tengah bagian Selatan yang
tidak memiliki organisasi Rahasia Seram (seperti Kakehan). Orang Bati merupakan
kelompok Pata Siwa Putih, karena selama studi di wilayah Orang Bati, peneliti tidak
menjumpai tanda-tanda atau ciri Kakehan pada lingkungan mereka.
8)Weurartafela terdiri dari dua kata yaitu Weur = Air Ke luar, dan Artafela = Tempat
yang ada sumber air.

232

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

nama menjadi Negeri Kian Darat. Jadi secara adat, Mata Lean (Raja)
yang berkuasa dalam wilayah Orang Bati harus memperoleh pengukuhan dari Orang Adat di Tana (Tanah) Bati yang mendiami wilayah pegunungan yang berada di kampung atau dusun (wanuya) yaitu
Dusun Rumbou (Bati Tengah).

Strategi Menguasai Wilayah Kekuasaan (Watas Nakuasa)
untuk Memerintah
Esuriun Orang Bati dapat dikatakan merupakan cikal bakal
penyelenggaraan pemerintahan di mana Raja (Mata Lean) atau Jou
berusaha melindungi ruang hidup atau wilayah kekuasaan (watas
nakuasa) yang dianggap sebagai hak milik yang berharga. Mengapa cara
seperti ini dilakukan Orang Bati? Sebaba dahulu oyang-oyang
(moyang-moyang) atau leluhur tidak meletakan batas wilayah itu dengan batu, sungai, papan, kayu, tembok, kawat duri, dan sebagainya
tetapi batas wilayah kekuasaan (watas nakuasa) ditentukan oleh batas
manusia. Hal ini lebih lanjut dikemukakan Orang Bati bahwa:
Mancia Batu damian nai tana eya bukan tua watu, fafan, kay,
tapi watas nakuasa tua ni mancia (Orang Bati tidak menempatkan batas wilayah dengan batu, papan, pohon, dan sebagainya,
tetapi batas wilayah ditempatkan orang atau manusia). Artinya,
di mana ada orang atau manusia yang berbicara dengan bahasa
yang sama pada tempat ke-diamannya, maka di situ merupakan
batas wilayah. Hal itu berlaku untuk Orang Bati yang berada
dalam wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat. Sebab
Orang Bati tidak pernah berpindah-pindah tempat. Mereka
adalah penghuni menetap sejak dilakukan Esuriun Orang Bati
pada masa lampau. Untuk itu sekali Orang Bati mendiami lokasi
kediaman, sampai sekarang tetap mereka ada di situ saja. Itu
adalah cara dari leluhur kami menempatkan batas wilayah kekuasaan atau watas nakuasa sejak masa lampau, dan hal ini secara adat diakui dan selalui ditaati, dan dijunjung tinggi oleh
kami sebagai generasi penerus tradisi Bati sampai sekarang 9)”.

Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian
Darat, di Geser, pada tanggal 27 Mei 2010.

9)

233

Esuriun Orang Bati

Wilayah Pemerintahan Adat di Pulau Seram Bagian Timur
Dalam wilayah Seram Timur di Pulau Seram Bagian Timur terdapat tiga wilayah adat yang besar yaitu wilayah adat Weurartafela di
Negeri Kian Darat, Kelbarin di Negeri Waru, dan Kwairumaratu di
Negeri Kelimuri. Wilayah adat ini memiliki batas-batas wilayah pemerintahan yang terkait langsung dengan teritorial adat sebagai berikut:
1) Wilayah adat Kelbarin memiliki batas wilayah adat dari Sungai
Matakabu (Alsul Matakabu) sampai dengan Sungai Masiwang (Alsul
Masiwang); 2) Wilayah adat Weurartafela memiliki batas wilayah adat
dari Sungai Masiwang (Alsul Masiwang) sampai dengan Mising;
3) Wilayah adat Kwairumaratu memiliki batas wilayah adat mulai dari
Mising sampai dengan Sungai Bobot (Alsul Bobot).
Tiga wilayah adat yang besar di daratan Seram Timur ini
hubungan roina kakal karena leluhur mereka berasal dari tempat yang
sama di Gunung Bati. Apabila ada persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat, maka dua Raja (Mata Lean) berperan sebagai saksi untuk
penyelesaian masalah. Sebagai contoh. Apabila terjadi ada persoalan
tanah yang terjadi di Kelimuri maka Raja (Mata Lean) Negeri Kian
Darat dan Raja (Mata Lean) Negeri Waru berperan sebagai saksi, dan
sebaliknya. Tatanan adat itu sudah ada (berupa aturan-aturan) umum
yang tidak tertulis dan telah disepakati sejak zaman leluhur mereka
mendiami lokasi masing-masing, dan hal ini juga turut berperan dalam
penyelenggaraan pemerintahan adat. Khususnya kondisi lokal yang
teridentifikasi dalam kehidupan Orang Bati dapat dikatakan bahwa
peran adat masih sangat kuat dan berpe-ngaruh langsung terhadap
pelaksanaan pemerintahan sampai saat ini.

Penyelenggaraan Pemerintahan Tradisional
Pelaksanaan pemerintahan tradisional di wilayah Tana (Tanah)
Bati berawal dari gunung. Watu Raita (Batu Raja) merupakan salah
satu tempat yang sakral oleh Orang Bati karena pada tempat tersebut
merupakan awal pemerintahan tradisional dalam wilayah adat
Weurartafela mulai berlangsung. Awal pemerintahan berlangsung
234

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

ketika Orang Bati berada di gunung, kemudian melalui Esuriun Orang
Bati baru penyelenggaraan pemerintahan berlangsung di Negeri Kian
Darat yang terdapat di pesisir pantai. Sampai saat ini kekuasaan Raja
(Mata Lean) atau Jou yang berada di pantai berasal dari gunung karena
itu proses pelantikan Raja (Mata Lean) atau Jou secara adat dilakukan
oleh orang adat yang berkedudukan di gunung. Pemerintahan tradisional di Tana (Tanah) Bati merupakan pemerintahan berdasarkan keturunan (raja turun-temurun) dari mata rumah perintah yaitu dari
marga Weurartafela, dan mengikuti garis keturunan laki-laki seperti
dikemukakan oleh tokoh adat dan tokoh agama bahwa:

Tawei adat esuriun ne lua, baru tadudu la karajaan nai
Weurartafela. Adat esuriun ne ka baru ratu adat (Mata
Lean). Artinya, tata kelola pemerintahan adat di Tana
(Tanah Bati) adalah pemerintahan menurut adat. Kedudukan pemimpin atau Raja (Mata Lean) atau Jou adalah
Raja Adat dan dilakukan oleh orang adat yang berkedudukan di gunung yaitu Rumbou (Bati Tengah) 10).
Penyelenggaraan pemerintahan tradisional di Tana (Tanah) Bati
telah berlangsung sejak Esuriun Orang Bati. Pada lokasi di mana terdapat Batu Raja (Watu Raita) dan Pohon Pakis Hutan sebagai simbol di
mana pada tempat ini merupakan awal penyelenggaraan pemerintahan
tradisional di Tana (Tanah) Bati. Tempat ini merupakan salah satu
lokasi yang dianggap sakral yang terdapat wilayah Dusun Bati Kilusi
(Bati Awal) dapat dilihat pada gambar 21 a dan 21 b berikut ini:

Wawancara dengan bapak SaRum (64 Tahun), Tokoh Adat dan Tokoh Agama Dusun
Rumbou (Bati Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 15 Juli 2010.

10)

235

Esuriun Orang Bati

Gambar 21 a

Watu Raita (Batu Raja)

Gambar 21 b
Pohon Pakis Hutan Sebagai Tempat Bermusyawarah
Perlu dikemukakan tentang pelaksanaan pemerintahan adat di
Tana (Tanah) Bati bahwa seorang Raja (Mata Lean) atau Jou harus
memegang teguh adat sebagai urat nadi kehidupan bermasyarakat. Bagi
Orang Bati, sumber adat terdapat pada institusi Esuriun. Apabila Raja
(Mata Lean) atau Jou melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Adat. Artinya secara adat Orang Bati melakukan pe236

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

ngawasan secara langsung dalam pelaksanaan pemerinatahan. Raja
(Mata Lean) atau Jou yang memerintah dalam wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat harus menjunjung tinggi adat sebagai
aturan main yang selama ini dipegang oleh Orang Bati. Apabila terjadi
pelanggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka Orang Bati
yang mendiami wilayah pegunungan tidak segan-segan melakukan larangan adat terhadap Raja (Mata Lean) atau Jou yang sedang berkuasa
berupa noma 11) (larangan adat). Sebagai contoh noma (larangan adat)
atau sasi yang dilakukan Orang Bati pada Raja (Mata Lean) atau Jou
yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan Pemerintahan
Adat dapat dilihat pada gambar 22 berikut ini:

Artinya larangan adat tersebut dilakukan Orang Bati pada Raja atau Mata Lean pada
bulan Oktober 2011. Sasi (larangan adat) di Tana (Tanah) Bati merupakan tradisi
Alifuru Seram yang telah dilembagakan dalam hukum adat sejak masa lampau dan
sampai saat ini masih dipraktekan. Pada lingkungan Orang Bati, Sasi (larangan adat)
dilakukan apabila ada warga yang melakukan pelanggaran adat, penyalahgunaan
kekuasaan pelaksanaan pemerintahan. Sebab Raja (Mata Lean) atau Jou di Tana (Tanah
Bati) merupakan Kepala Pemerintahan Desa yang menyelenggarakan pemerintahan
sesuai Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Raja (Mata
Lean) atau Jou adalah Kepala Persekutuan Hukum Adat. Pada lingkungan masyarakat
adat lainnya di Pulau Seram, sasi (larangan adat) dilakukan di darat untuk melindungi
hasil dari tanaman produksi seperti sagu, cengkih, pala, kelapa, dan lainnya milik
penduduk, sedangkan sasi yang dilakukan sekitar wilayah laut untuk melindungi ikan,
lola, teripang, dan lainnya yang dapat di temui pada lingkungan masyarakat adat di
Seram, Ambon, Lease (Saparua, haruku, Nusa Laut) dan wilayah lainnya dalam wilayah
Kepulauan Maluku. Sasi memiliki manfaat besar bagi kelestarian lingkungan. Hakikat
sasi (larangan adat) memiliki kekuatan dalam pengendalian sosial pada diri (individu)
maupun masyarakat untuk tidak melakukan hal yang melanggar adat. Pada lingkungan
masyarakat adat tertentu di Maluku yang menganut Agama Kristen, pelaksanaan sasi
(larangan adat) turut diperkuat oleh institusi Gereja melalui doa.
11)

237

Esuriun Orang Bati

Gambar 22
Tanda Sasi (Datal Noma atau tanda Larangan Adat) yang diletakkan Orang
Bati di Negeri Kian Darat untuk Raja (Mata Lean) atau Jou karena Melakukan
pelanggaraan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Adat

Tanda sasi (datal noma atau larangan adat) sebanyak empat tiang
yang berada pada arah timur, barat, utara, dan selatan agar Raja (Mata
Lean) atau Jou tidak boleh melakukan aktivitas apapun di Negeri Kian
Darat, dalam wilayah adat Weurartafela. Lambang adat sasi atau datal
noma tersebut dapat dicabut (diangkat) kembali apabila dalam tenggang waktu yang ditentukan Raja (Mata Lean) atau Jou telah mengikuti
sidang adat yang dilakukan Orang Bati di Gunung, dan kesalahan yang
dilakukan oleh Raja (Mata Lean) atau Jou telah dipertanggungjawabkan
di depan tokoh adat dan warga. Apabila dalam tenggang waktu yang
ditentukan, Raja (Mata Lean) atau Jou tidak memenuhi tuntutan adat,
maka ia tidak boleh menginjak kaki di Negeri Kian Darat dalam
wilayah adat Weurartefela.
Perspekti berupa sangksi adat yang dilakukan Orang Bati terhadap pemimpin mereka (Raja atau Mata Lean atau Jou) menurut pendapat peneliti yaitu sangat baik, karena seorang pemimpin tidak dapat

238

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

bertindak semena-mena menurut kehendak hatinya dalam melaksanakan tugas. Realitas ini menunjukkan bahwa, fungsi kontrol sosial yang
dilakukan Orang Bati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Adat
masih efektif. Hal seperti ini jarang dijumpai dalam penyelenggaraan
pemerintahan di tempat lainnya, terutama yang berkaitan dengan
Pemerintahan Desa. Sebab pemahaman Orang Bati bahwa, taat pada
adat berarti taat pada leluhur mereka, dan taat pada Tuhan Yang Maha
Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia.

Raja (Mata Lean) yang Memerintah di Negeri Kian Darat
dalam Wilayah Adat Weurartafela
Raja (Mata Lean) atau saat ini dinamakan Jou yang pernah memerintah dalam wilayah adat Kian Darat yaitu:
1) Ratu Wawina (Raja Perempuan) yang memerintah sampai ia
meninggal dunia; 2) Raja (Mata Lean) Abdulrahman
Weurartafela. Ia memerintah di wilayah ini sampai meninggal
dunia; 3) Raja (Mata Lean) Saijudin Weurartefela. Ia juga menyelenggarakan pemerintahan sampai meninggal dunia; 4) Raja
(Mata Lean) Jamaludin Weurartafela. Ia memerintah sampai ia
meninggal dunia; 5) Raja (Mata Lean) di Negeri Kian Darat
dilanjutkan adalah Ema Weurartefela. Ia adalah Raja (Mata
Lean) perempuan, karena saat itu tidak ada anak laki-laki dari
mata rumah perintah untuk melanjutkan pemerintahan di
Negeri Kian Darat; 6) Raja (Mata Lean) Dahlan Weurartafela;
7) Raja (Mata Lean) berikutnya adalah Usman Weurartafela
sehingga Pemerintahan Adat telah kembali pada mata rumah
Raja (Mata Lean). Ia memerintah sampai meninggal dunia;
8) Raja (Mata Lean) yang memerintah selanjutnya yaitu
Abdulrajad Weurartafela. Pelaksanaan pemerintahannya masih
berlangsung sampai saat ini 12).

Perlu dikemukakan bahwa, pada masa pemerintahan Raja Kian
Darat yang keempat karena Raja (Mata Lean) atau Jou yang ketiga
meninggal dunia belum ada anak laki-laki, maka Pemerintahan Adat
dilaksanakan oleh sepupu dari Raja (Mata Lean) atau Jou di Negeri

12)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) Negeri Kian Darat di
Geser, pada tanggal 5 November 2009.

239

Esuriun Orang Bati

Kian Darat yang ketiga. Tetapi saat ini Pemerintahan Adat telah kembali menurut garis keturunan raja-raja mengikuti garis lurus dari mata
rumah perintah. Makna Raja (Mata Lean) atau Jou yaitu mengikuti
garis lurus dari keturunan raja-raja, sedangkan kerabat raja tidak memiliki gelar tersebut.
Semua Orang Bati yang berada dalam wilayah adat Weurartefala
di Negeri Kian Darat mengakui bahwa pada awalnya, di Tana (Tanah)
Bati ini Raja (Mata Lean) atau Jou yang pertama adalah seorang perempuan yang bernama Ratu Wawina (Raja Perempuan) yang bergelar Raja Tongkat Emas. Ia menyelenggarakan pemerintahan sejak
mereka mendiami wilayah pegunungan pada tempat yang bernama
Soabareta. Sampai saat ini di Tana (Tanah) Bati masih terdapat lokasi
bekas kekuasaan Ratu Wawina (Raja Perempuan) yaitu pohon pakis
hutan dan Watu Raita sebagai bukti dari takhta raja yang berkuasa
pada masa awal. Tempat ini oleh Orang Bati dianggap sakral.
Selain itu juga perlu dikemukakan bahwa dewasa ini marga
Weurartefela yang bukan turunan raja cukup banyak. Namun mereka
tidak bisa disebut sebagai Mata Lean atau Jou karena sebutan Mata
Lean atau Jou adalah Raja yang berasal dari mata rumah perintah dan
mengikuti garis lusur dari keturunan Raja-Raja (Mata Lean) atau Jou
Negeri Kian Darat. Faktor utama sebagai penentu dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negeri Kian Darat dalam wilayah adat
Weurartafela mulai berlangsung karena syarat sudah terpenuhi. Menurut Orang Bati syarat yang ditetapkan saat itu sesuai adat yaitu:
1) Negeri atau kampung atau dusun (wanuya) jadi atau
terbentuk; 2) Bahasa sudah ada yaitu bahasa Minakesi; 3) Raja
(Mata Lean) yang memerintah sudah ada 13)”.

Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa, pemerintahan awal
di Tana (Tanah) Bati oleh seorang perempuan yang bernama Ratu
Wawina (Raja Perempuan) yang bergelar Raja Tongkat Emas. Keturunan Ratu Wawina merupakan mata-rumah yang menurunkan rajaraja di Tana (Tanah) Bati. Mereka memiliki hubungan dengan ke13)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian
Darat, di Geser, tanggal 5 November 2009.

240

Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati

turunan Raja Besi (besi diperas dan airnya diminum), Raja Waraka
(kasih makan dengan keladi hutan atau Wirakay), dan Raja Tobo (peras
air dan kasih minum). Aktivitas pemerintahan tradisional terus berlangsung sampai kedatangan bangsa-bangsa asing di sekitar Pulau
Seram, terutama di Waru Seram Timur.

Pemerintahan Modern
Secara khusus dalam wilayah adat Kian Darat, Raja (Mata Lean)
yang memerintah di wilayah ini terus mengalami proses pergantian.
Tetapi tatanan adat dan pemerintahan terus dipertahankan. Wilayah
Tana (Tanah) Bati yang tidak terjamah oleh orang luar, termasuk
Portugis, Belanda, Jepang, bahkan pada saat Pemerintahan Republik
Indonesia saat ini Orang Bati masih seperti dahulu saja. Dalam diskusi
dengan Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat dikemukakan
bahwa, mengapa sampai saat ini informasi ilmiah tentang Orang Bati
atau masyarakat Bati belum ditemukan ? Ia mengemukakan bahwa ada
dua hal yang menyebabkan informasi mengenai Orang Bati tidak
pernah diungkapkan yaitu:
(1) Bomai Tata Nusu Si Mancia Batu dafawoto nai mancia won
nai Batu teifua, karena ngasan Mancia Batu woi menurut tata
habom si oi ngasan galotak (Pada masa lampau leluhur Orang
Bati tidak pernah menceritrakan hal ini kepada siapapun juga
karena nama Bati oleh Orang bati adalah sakral dan tidak boleh
disebut-sebut secara sembarangan); (2)Atau bomai masa Belanda

tua Jepang si dalatan nai tana eya dakutan tana eya nai
memamam si teifua (Atau pada masa Belanda dan Jepang berada
di wilayah Waru mereka tidak pernah menanyakan hal ini pada
orang-orang tua di Tana atau Tanah Bati) 14).

Kondisi yang dialami Orang Bati seperti ini menyebabkan
informasi mengenai mereka timbul dan tenggelam dalam mitos pada
orang luar di Maluku. Informasi mengenai Orang Bati terus berputar14)Dalam penjelasannya, bapak AWe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian
Darat mengemukakan bahwa baru pertama kali ini dari zaman Raja-Raja Negeri Kian
Darat beliau yang pertama kali ditanyakan mengenai fenomena Orang Bati. Selama ini
belum ada peneliti ilmiah yang melakukan penelitian dan menanyakan sedetail ini
pada seorang Raja (Mata Lean) atau Jou di Tanah (Tanah) Bati.

241

Esuriun Orang Bati

putar dalam penuturan oleh anggota maupun kelompok masyarakat di
Ambon-Maluku, dan tidak pernah tuntas. Persoalan lain yang menyebabkan informasi mengenai Orang Bati terus mengalami paradoks
karena sampai sekarang belum ditemukan informasi ilmiah yang benar
mengenai mereka. Pengalaman orang lai ketika berjumpa, bergaul, dan
sebagainya selalu dirahasiakan sehingga fenomena Orang Bati di
Maluku terus berada dalam anggapan negatif (stigma) dan menimbulkan rasa takut di kalangan Orang Ambon-Maluku sendiri sampai saat
ini. Dalam realitas, peneliti seringkali berjumpa dengan Orang Bati di
berbagai tempat dalam wilayah Kepulauan Maluku.
Mereka sering datang ke rumah peneliti di Negeri Passo, tetapi
tidak ada orang lain seperti tetangga yang mengetahuinya. Data yang
berkaitan dengan tata kelola pemerintahan di Tana (Tanah) Bati
menunjukkan bahwa pemerintahan di Tana (Tanah) Bati saat ini belum
dapat menyesuaikan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang diberlakukan oleh Pemerintah. Kenyataan bahwa Pemerintahan
pada tingkat desa masih meng-gunakan Undang Undang Nomor 5 1979
tentang Sistem Pemerintahan Desa, sedangkan pemerintahan pada
tingkat negeri mengadopsi struk-tur pemerintah menurut Undang
Undang Nomor 5 1979 tentang Sis-tem Pemerintahan Desa, tetapi
penamaan pada pimpinan negeri yaitu Raja.
Pada hakikatnya jiwa Pemerintahan Adat di Tana (Tanah) Bati
masih sangat kuat sampai saat ini. Artinya Raja memiliki posisi yang
kuat sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala persekutuan adat.
Raja berasal dari mata-rumah perintah yaitu marga Weulartafela dan
mengikuti garis keturunan lurus atau garis keturunan laki-laki yang
dipilih dari lingkungan kerabat untuk diajukan sebagai calon raja
untuk memeperoleh persetujuan masyarakat dan lembaga-lembaga
adat yang terdapat di Tana (Tanah) Bati atau wilayah adat
Weulartafela. Pengukuhan raja sebagai kepala persekutuan adat
dilakukan oleh tokoh adat adat yang berada di Kampung atau Dusun
Rumbou (Bati Tengah), dan pelantikan Kepala Desa dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten atau Bupati. Adat memiliki peran penting
dalam kehidupan pemrintahan maupun ekonomi.

242