Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB III

Bab Tiga

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di
Seram-Maluku
Bumi Seram di Maluku
Pembahasan tentang eksistensi sukubangsa di Seram-Maluku dimaksudkan untuk menjelaskan tentang eksistensi Orang Bati atau Suku
Bati sebagai salah satu sukubangsa di Pulau Seram-Maluku yang selama
ini distigma orang luar sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilanghilang). Orang Bati atau Suku Bati memiliki identitas maupun teritorial
di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam deretan suku-suku di Pulau
Seram, Orang Bati atau Suku Bati belum diakui sebagai salah satu
sukubangsa karena Orang Bati dianggap sebagai manusia ilang-ilang
(hilang-hilang). Studi tentang Esuriun Orang Bati dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan
hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan,
dijumpai dalam mekanisme integrasi kultural yang dicapai oleh kelompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati untuk mewujudkan integrasi eksistensial sehingga Orang Bati memiliki jati diri atau
identitas sebagai manusia maupun sukubangsa dan tidak terbedakan
dari sukubangsa lainnya di Pulau Seram maupun Maluku.
Kalimat kunci yang digunakan Orang Bati kalau tetap bersatu
katong tetap kuat (kal ta buik tetap kuat). Dalam pandangan Orang Bati
bahwa, membangun Maluku tanpa membangun Seram berarti tidak
ada artinya. Sebab Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) yaitu ale

deng beta (kamu dengan saya) berasal dari sana. Selama ini kehidupan
dari suku-suku tertentu di Pulau Seram yang mendiami wilayah pegunungan atau wilayah pedalaman masih jauh dari sentuhan pembangunan sehingga kehidupan mereka benar-benar terabaikan dari
pelayanan umum, termasuk Orang Bati atau Suku Bati di Pulau Seram
Bagian Timur. Untuk memahami tentang posisi di mana suku-suku
67

Esuriun Orang Bati

tersebut berada di wilayah Pulau Seram, berikut ini dikemukakan
tentang keadaan geografis.

Kondisi Geografis
Pulau Seram merupakan pulau terbesar di wilayah Kepulauan
Maluku. Pulau Seram terdiri dari wilayah pegunungan maupun dataran
rendah. Wilayah pegunungan yang cukup tinggi berada di wilayah
Seram Timur sampai dengan Seram Tengah bagian Selatan, sedangkan
di wilayah bagian Barat terdapat pegunungan yang tidak begitu tinggi
seperti di Seram bagian Timur maupun Seram Tengah. Sebutan
Seram! 1). Seperti itu adalah persepsi sebagian besar Orang Maluku (terutama Orang yang mendiami negeri-negeri adat di Pulau Ambon,
Saparua, Haruku, dan Nusa Laut (Kepulauan Lease). Pulau Seram sebagai pulau terbesar di Kepulauan Maluku yang terletak di sebelah

utara Pulau Ambon, Pulau Tiga (Nusa Lain, Nuasa Hatala, Nusa Ela),
Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut), sebelah Timur dari
Pulau Buru, Manipa, Kelang, dan Buano, dan sebelah Barat dari Pulau
Geser, Gorom, Keving, Seram Laut, Varan dan Akad.
Secara geografis, bagian barat Pulau Seram dikelilingi oleh Laut
Seram dan Laut Buru. Di sebelah utara terdapat Laut Seram yang menyambung dengan Samudera Pasifik. Di sebelah selatan dikelilingi oleh
Laut Banda yang menyambung dengan Samudera Hindia (Samudera
Indonesia), dan bagian timur dikelilingi oleh Laut Seram yang menyambung dengan Laut Arafura dan Samudera Hindia (Samudera
Indonesia). Keadaan Pulau Seram di Kepulauan Maluku dapat dilihat
pada peta 1 berikut ini:

1)Katong taku pi ka sana (kami takut untuk datang ke sana). Ungkapan ini sering
muncul di kalangan Orang Ambon dan Orang Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut)
ketika berinteraksi. Makna dari ungkapan tersebut yaitu Seram dan Manusianya
menakutkan, menyeramkan. Melalui ungkapan seperti ini Orang Ambon dan Orang
Lease bisa melupakatan bahwa leluhur mereka berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina
(Pulau Ibu) yaitu tempat asal dari anak cucu keturunan Alifuru (Manusia Awal).

68


Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Peta 1

Pulau Seram
Pengelompokan Patasiwa dan Patalima di Maluku
Pengelompokan berbasis asal-usul dan budaya tersebut di
Maluku Utara dinamakan Urisiwa dan Urilima, di Maluku Tengah
(Ambon, Lease, dan Seram) dinamakan Patasiwa dan PataLima, dan di
wilayah Maluku Tenggara dinamakan Ursiu dan Lorlim. Arti dari
Patasiwa (Pata = Bagian dan Siwa = Sembilan), (Pata = Bagian dan Lima
= lima). Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima dapat dijumpai pada
masyarakat yang mendiami negeri-negeri (adat) di Pulau Seram
maupun wilayah Maluku Tengah secara umum.
Sejak masa lampau kehidupan Alifuru Seram terdapat kelompok
sosial Patasiwa dan Patalima. Kelompok sosial Patasiwa terdiri dari
Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) dan Patasiwa Putih. Kelompok
Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) menempati wilayah Seram sebelah
barat Sungai Mala, sedangkan Patasiwa Putih menempati daerah
sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur Sungai Mala, se-


69

Esuriun Orang Bati

panjang Teluk Teluti (Cooley, 1961 : 119). Masing-masing kelompok
pata mendiami teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan,
dan lainnya yang berbeda-beda. Dalam kehidupan Alifuru Seram, kedua kelompok pata tersebut selalu bermusuhan karena pada zaman itu
sangat kuat tradisi mengayau. Untuk itu pada masa lampau serangan
pemenggalan kepala manusia (mengayau) atau potong kepala manusia
yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain yang
berbeda untuk memenuhi kebutuhan ritual adat tertentu yang dilakukan pada rumah adat atau Baileu atau Baileo. Aktivitas mengayau
tidak ditujukan pada kelompok sosial yang sama, tetapi ditujukan pada
kelompok sosial yang berbeda. Untuk itu keberadaan (eksistensi)
rumah adat (baileu) sebagai simbol pemersatu kelompok sangat penting
dalam kehidupan kelompok Patasiwa maupun Patalima sejak masa
lampau sampai saat ini, dan simbol tersebut dapat dijumpai pada semua
negeri adat di Maluku Tengah atau Ambon, Lease, dan Seram maupun
tempat lainnya yang diwujudkan melalui suatu bangunan sakral yang
di tempatkan pada di tengah-tengah negeri atas desa. Baileu sebagai

tempat sakral benar-benar dijaga dan dilindungi oleh pendukung
tradisi dan kebudayaan.
Pada umumnya rumah adat (baileu) pada Orang Patasiwa dan
Patalima berupa bangun fisik yang berada di tengah-tengah negeri.
Rumah adat atau baileu benar-benar dilindungi karena memiliki nilai
kesakralan, dan digunakan untuk maksud-maksud tertentu dalam
ritual adat. Colley (1961 : 113) mengemukakan bahwa baileu itu
disebut atau dilihat sebagai rumah adat. Baileu adalah manifestasi fisik
dari desa sebagai persekutuan adat. Baileu merupakan rumah tua desa,
rumah pusaka dari klen sebagai tempat untuk menyimpan semua
pusaka dan alat-alat yang mereka percaya memiliki arti dan kekuatan
khusus (gaib) karena pusaka dan alat-alat tersebut ada kaitannya
dengan para leluhur, dan tempat orang membicarakan, memutuskan,
dan melaksanakan hal-hal yang ada kaitannya dengan kesejahteraan
klan atau pribadi di dalam kelompok.
Dalam tradisi Alifuru Seram konsep baileu sebagai rumah adat
agar tetap hidup maka manusia harus mati. Hal ini mengandung makna
bahwa “kehidupan setelah kematian” adalah suatu keharusan sehingga

70


Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

baileu tetap hidup. Dalam realitasnya setiap kelompok pata memiliki
rumah adat atau baileu sendiri-sendiri. Agar baileu tetap hidup, dan
manusia ada yang meninggal (mati) maka serangan pemenggalan
kepala manusia untuk kebutuhan ritual, harta kawin, dan sebagainya
yang harus dipersembahkan di baileu menyebabkan kedua kelompok
pata tersebut sering terlibat dalam konflik maupun pertikaian, sehingga
kedua kelompok pata (Patasiwa dan Patalima) selalu hidup dalam
permusuhan.

Struktur Sosial Masyarakat Maluku
Dalam kehidupan Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai saat
ini masih teridentifikasi berbagai stuktur sosial. Keragaman struktur
sosial dapat dikemukakan sebagai berikut:

Rumatau atau Lumatau (Mata Rumah)
Rumatau atau lumatau (mata rumah) merupakan ciri umum yang
dapat dijumpai pada setiap lingkungan masyarakat negeri (adat) di

Maluku. Dalam rumatau atau lumatau (mata rumah) terdapat keluarga
sebagai unit terkecil dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan
sebagai struktur sosial dasar. Oleh Effendi (1987 : 25) rumatau atau
lumatau adalah kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah
keluarga. Kata pokoknya adalah “ruma atau rumah”. Sebutan untuk
rumah ini berbeda di beberapa tempat, sesuai dengan dialek setempat.
Menurut dialek Saparua disebut lumal, dialek Nusalaut rumah, dialek
Haruku ruma, dialek Hila dan Asilulu luma. Sebutan luma juga dikemukakan oleh Streseman. Dalam bahasa daerah asli atau “bahasa
tanah” huruf “r” dibaca “l”. Secara harfiah, ruma berarti “rumah dan
tau berarti isi”. Rumatau berarti rumah yang didiami bersama-sama
oleh orang-orang yang seketurunan dan keanggotaannya tersusun
menurut garis bapak. Nama lain yang populer di kalangan rakyat untuk
rumatau ini adalah mata-mata. Mata berarti “asal” atau “induk”.

Rumatau atau lumatau terdiri atas beberapa keluarga dengan
kepala keluarganya masing-masing, dan merupakan struktur dasar bagi
pembentukan struktur sosial di kalangan masyarakat Ambon dan Lease
71

Esuriun Orang Bati


(Saparua, Haruku, dan Nusalaut), karena setiap orang mesti berada
dalam salah satu rumatau. Orang yang tergabung dalam rumatau adalah orang asal, yang lawannya adalah orang dagang atau bukan orang
asli yang berasal dari salah satu rumatau. Dikemukakan lebih lanjut
oleh Effendi (1987 : 26) bahwa setiap orang senantiasa tergabung ke
dalam salah satu rumatau. Mereka yang tidak tergabung ke dalam salah
satu rumatau sukar untuk turut serta di dalam lalu lintas hukum dan
kurang mendapat perlindungan hukum, karena tidak masuk hitungan
sebagai orang asli dari negeri yang bersangkutan. Rumatau adalah
kebanggaan dari anggotanya, dan berada di luarnya berarti kehilangan
kebanggaan dan martabat serta lain-lain hak yang dapat dibanggakan
sebagai orang asli. Untuk mengatur suatu rumatau, baik dalam hubungan ke dalam rumatau, maupun terhadap pihak luar seperti rumatau lain, maka diangkatlah salah seorang dari anggota rumatau yang
bersangkutan menjadi pemimpin dengan gelar “upu”. Biasanya dipilih
yang tertua atau yang dituakan di antara anggota rumatau itu. Senioritas generasi seseorang memegang peranan penting untuk dapat diangkat menjadi upu. Ini dimaksudkan supaya diperoleh seorang
pemimpin yang berwibawa.

Uku
Perkembangan yang terus berlangsung dalam kehidupan rumatau antara lain pertambahan anggota karena kelahiran sehingga jumlah
mereka makin banyak. Anggota-anggota keluarga yang berasal dari
rumatau yang jumlahnya besar kemudian mendirikan rumah disekitar

rumatau induk dan terus mengalami perkembangan sehingga menjadi
banyak sehingga terbentuk pesekutuan hidup yang lebih besar yang
dinamakan Uku atau Huku. Oleh Effendi (1987 : 28) bahwa uku atau
huku itu merupakan suatu persekutuan genealogis. Dalam perkembangannya, uku sebagai persekutuan genealogis berganti dengan
persekutuan teritorial atau teritorial genealogis. Namun yang terjadi
kemudian yaitu uku tersebut hanya tinggal nama saja. Riedel menyamakan uku ini dengan soa.

72

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Soa
Persekutuan dalam soa lebih luas. Suatu soa biasanya terdiri dari
mata rumah atau rumatau (lumatau). Artinya di dalam satu soa
terdapat marga-marga atau fam (family) yang berbeda-beda. Effendi
(1987 : 29) mengemukakan bahwa soa adalah suatu persekutuan
teritorial genealogis. Di dalam administrasi pemerintahan, sekarang ini
soa merupakan suatu wilayah yang menjadi bagian dari suatu petuanan
atau negeri. Dalam kenyataannya rumatau-rumatau dalam soa tidak
seketurunan. Mereka berasal dari keturunan yang berbeda, yang secara

kebetulan menempati wilayah yang sama. Unsur teritorial yang
menyebabkan mereka bergabung, dan bukan unsur genealogis.
Dalam suatu soa terdapat satu rumatau asli, tetapi dapat dijumpai
juga bahwa dalam satu soa terdapat beberapa rumatau, maupun margamarga pendatang. Pada umumnya pemimpin yang terdapat dalam satu
soa berasal dari rumatau asli yang dinamakan “Kepala Soa”, dan memiliki fungsi dan peran untuk mengkoordinir seluruh anggota yang
terdapat dalam soa tersebut. Nama soa yang terdapat dalam suatu
negeri berbeda-beda, serta jumlah soa pada setiap negeri tidak sama.
Anggota yang terdapat dalam soa tersebut dinamakan “Anak Soa”.

Hena dan Aman
Hena dan Aman merupakan persekutuan hidup yang lebih besar
dari soa. Artinya gabungan dari beberapa soa kemudian terbentuknya
Hena atau Aman. Menurut G A Wilken dan van Ossenbruggen dalam
Effendi (1987 : 30) menuliskan Hena dengan “Henna” yang bentuknya
sama dengan yang di Pulau Buru “Fenna”. Henna atau Fenna berarti
daerah atau wilayah (landstreek) atau daerah suatu suku (stamgebied).
Dalam arti terbatas bisa berarti “kampung” (dorp). Jadi Hena adalah
suatu kesatuan masyarakat yang berunsurkan teritorial. Menurut dialek
Saparua disebut “Amanno”, dialek Nusalaut Amanyo, dialek Hila
Amano dan amane, dan dialek Asilulu “Hena”. Di Ambon Lease, Hena

aslinya adalah sebuah persekutuan yang lebih besar dari Uku. Sebuah
Hena bisa terdiri atas beberapa Uku. Pada mulanya mungkin saja suatu
73

Esuriun Orang Bati

Hena terbentuk oleh Uku-Uku, dan Uku-Uku ini adalah kesatuankesatuan genealogis, namun sudah harus diperhitungkan unsur teritorialnya oleh Uku-Uku yang bersangkutan karena sudah menempati
daerah yang luas. Hena itu dinyatakan sebagai suatu persekutuan
“genealogis teritorial” yang lebih menitik beratkan kepada unsur
genealogisnya atau di mana unsur genealogis yang dominan. Jadi
kebalikan dari soa di mana unsur teritorial yang dominan atas
rumatau-rumatau yang berunsurkan genealogis itu dan bersama-sama
membentuk sebuah persekutuan genealogis teritorial.

Negeri
Negeri merupakan penamaan yang saat ini umumnya digunakan
oleh Orang Maluku untuk mengidentifikasi tempat asal-usul, tanah kelahiran, tampa putus pusa, dan lainnya yang identik dengan itu pada
seseorang. Menurut Effendi (1987 : 31) istilah negeri bukan berasal dari
bahasa asli daerah ini atau bahasa tanah. Suatu negeri adalah persekutuan teritorial yang terdiri atas beberapa soa yang pada umumnya
berjumlah paling sedikit tiga. Kepala Negeri yang disebut Pamerentah
dan sehari-hari dipanggil “Raja”. Dalam Ordonansi S. 1824-19a disebut
regent. Sekarang ini susunan wilayah pemerintahan negeri adalah
wilayah yang membentuk negeri. Di bawahnya terdapat wilayahwilayah soa yang terbentuk dari beberapa rumatau sebagai persekutuan genealogis.

Uli dan Pata
Penamaan Uli dan Pata dapat dijumpai pada Orang-Orang yang
mendiami Ambon, Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut), dan Seram.
Mengenai pengertian Uli itu sendiri menurut Effendi (1987 : 31)
adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa
Hena atau Aman. Uli adalah lembaga masyarakat yang khusus terdapat
di Ambon Lease. Walaupun di daerah sekitarnya terdapat lembaga
yang sama dengan Uli ini, tetapi tidaklah serupa, misalnya di Pulau
Seram. Mengenai arti Uli itu sendiri terdapat perbedaan pendapat
74

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

diantara para penulis. Selanjutnya menurut Effendi, mengenai arti Uli
itu sendiri terdapat perbedaan pendapat di antara para penulis.
Valentijn mengartikannya dengan “persekutuan” (gespanschap).
Holleman mengartikan Uli adalah “perikatan atau gabungan sukusuku” (stammenbond) yang terdiri atas lima atau sembilan aman, hena
atau soa. Dalam uraian selanjutnya Holleman menyebutkan Uli adalah
“Volk”. Melihat kepada terbentuknya Uli ini, maka volk di sini bukan
berarti bangsa atau nation, tetapi sebagai kelompok rakyat yang terikat
satu sama lainnya karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, kebiasaankebiasaan dan wilayah pemukiman yang sama. Jansen sebagai Residen
terakhir dari pemerintahan penjajahan Belanda di Maluku sampai
datangnya kekuasaan Jepang, tidak memberikan pengertian mengenai
Uli, dan beliau kurang setuju kalau Uli diartikan dengan perikatan
(gespanschap) atau bangsa (volk).
Namun di dalam realitasnya, cara pengelompokan sosial di
Ambon Lease banyak berpengaruh dari konsep Uli karena sistem ini
membagi masyarakat ke dalam kelompok Ulisiwa dan Ulilima. Artinya,
Orang Ambon Lease mesti berada dalam satu Uli tertentu. Kalau tidak
Ulisiwa tentu Ulilima. Di Pulau Seram untuk Uli dikenal istilah Pata.
Patasiwa untuk Ulisiwa, dan Patalima untuk Ulilima. Menurut Effendi
(1987 : 32) walaupun antara Uli dan Pata terdapat kesamaan, namun
ada perbedaannya yaitu Uli lebih cenderung bersifat genealogis,
sedangkan Pata lebih cenderung kepada pengertian teritorial. Uli
sebagai persekutuan yang murni atau secara menyeluruh genealogis
dapat dikatakan tidak ada. Kalau disebut cenderung genealogis
bukanlah berarti bahwa seluruh anggota atau rakyat yang tergabung di
dalam Uli itu berasal dari satu moyang atau satu leluhur, karena Uli
dibentuk oleh beberapa kelompok orang di mana masing-masing
kelompok merupakan kesatuan yang berdiri sendiri dan berasal dari
leluhur yang berbeda. Uli adalah tempat mereka bergabung dibawah
satu pimpinan. Unsur teritorial juga terdapat di dalamnya, karena
wilayah pemukiman mereka bertetangga. Contoh yang kuat tentang ini
adalah Uli Helawan sendiri yang kelompok-kelompok anggotanya
bukan saja tidak seketurunan, tetapi juga berasal dari daerah yang
berbeda-beda.
75

Esuriun Orang Bati

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan mengenai penamaan
Uli tampak bahwa ciri yang terdapat pada Uli yaitu berupa sistem
pengelompokan sosial berdasarkan teritorial, dan bukan genealogis
karena orang-orang yang tergabung dalam satu Uli belum tentu
memiliki asal-usul leluhur yang sama. Orang-orang yang tergabung
dalam satu Uli memiliki hena atau aman, atau saat ini dinamakan
negeri yang bertetangga pada satu pulau tertentu, tetapi bisa berbeda
pulau. Misalnya sebutan Orang Uliaser (Uliasa) atau saat ini dikenal
dengan nama Lease ditujukan pada orang-orang yang mendiami negeri
atau Hena atau Aman yang terdapat di Pulau Saparua, Haruku, dan
Nusalaut. Sistem pengelompokan sosial tersebut dapat dijumpai pada
orang-orang yang mendiami negeri-negeri (adat) di Ambon Lease yang
menampakan ciri sebagai Ulisiwa maupun Ulilima. Ada juga yang menyebut Patasiwa dan Patalima yang memiliki ciri khas berbeda pada
bentuk kedudukan negeri, rumah adat (baileu), perahu, lilitan rotan
pada parang (golok) dan sebagainya. Artinya orang-orang yang tergabung dalam satu Uli tertentu (Ulisiwa maupun Ulilima) menyebut
diri sebagai Orang Patasiwa atau Negeri Patasiwa maupun Orang
Patalima atau Negeri Patalima.
Menurut Effendi (1987 : 32) Uli terbagi atas dua macam atau jenis
yaitu Ulisiwa dan Ulilima. Siwa berarti sembilan dan Lima adalah lima.
Bagaimana asal mulanya sampai ada yang sembilan dan ada yang lima
ini tidaklah jelas. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terbentuknya
Uli yang berbeda itu berdasarkan jumlah Hena atau Aman atau
kampung yang membentuk Uli itu, pada Ulisiwa jumlahnya sembilan
dan pada Ulilima jumlahnya lima. Apakah benar-benar dasar perbedaannya itu adalah jumah Hena atau Aman yang sekarang menjadi
Soa yang tergabung ke dalam suatu Uli masih diragukan. Setidaktidaknya masih harus dibuktikan lagi2). Keragu-raguan itu timbul sebab

2)

Mengenai makna sembilan dan lima dapat dilihat dalam bahasan pada Bab Empat
pada sub pokok bahasan tentang Kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati tentang SiwaLima.

76

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

berdasarkan kenyataan yang ada sekarang ini pada tiap-tiap negeri di
Ambon Lease, tidak satu negeri yang Ulisiwa mempunyai atau terbentuk atas 9 Soa atau lebih, tetapi sebaliknya ada negeri yang Ulilima
mempunyai lebih dari 5 Soa, bahkan ada yang lebih dari 9 Soa. Negerinegeri Ulisiwa jumlah soa tidak sampai 9 diantaranya Negeri Nalahia di
Pulau Nusalaut hanya mempunyai empat Soa yaitu Soa Lewerissa,
Rikumahu, Leiwakabessy, dan Berhitu. Negeri Hatiwe Besar di Pulau
Ambon terdiri dari 3 Soa yaitu Soa Lata, Batulubang, dan Masing.
Negeri Asilulu di Pulau Ambon mempunyai 4 Soa yaitu Soa Ely,
Kalauw, Mahu, dan Moni.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Effendi (1987 : 35-37) Berbagai

Uli yang terdapat di Ambon antara lain di Jazirah Hitu terdapat 7 Uli
yaitu Uli Helawan di Negeri Hitumesing, Uli Seilessy di Negeri
Mamala, Uli Sawani di Negeri Wakal, Uli Hatunuku di Negeri Kaitetu,
Uli Ala di Negeri Seith, Uli Nau Bainau di Negeri Lima, dan Uli
Solemata yang meliputi Negeri Tulehu, Tial, dan Tenga-Tenga. Ketujuh
Uli tersebut membentuk lagi Uli gabungan bernama Uli Hitu, dan Uli
Yala Hitu Hua Barkate yang menundukan diri kepada Uli Helawan.
Selanjutnya di Jazirah Leitimor terdapat empat Uli yaitu Uli Nusaniwe
di Negeri Latuhalat, Uli Urimesing di Negeri Urimesing, Uli
Terangbulan meliputi Negeri Kilang, Hatalai, dan Naku, dan Uli
Sirimau di Negeri Soya. Di Pulau Haruku terdapat 2 Uli yaitu Uli
Hatuhaha di pantai utara dan barat dari Pulau Haruku, dan Uli
Buangbessy di pantai selatan. Uli Hatuhaha adalah Uli yang masih
hidup dan paling menonjol dari semua Uli di Ambon Lease sekarang
ini. Uli Hatuhaha berpusat di Negeri Pelauw dan anggota-anggotanya
adalah Negeri Hulaliu, Rohomoni, Kailolo, dan Kabau. Di Pulau
Saparua Uli ini hampir tidak bisa dikesani. Walaupun ada disebutsebut Uli Hatawano dan Uli Honimua. Uli Hatawano meliputi daerah
Teluk Hatawano di pantai utara Pulau Saparua, dan Uli Honimua
meliputi daerah selatan di Pulau Saparua. Di Pulau Nusalaut terdapat 2
Uli yaitu Uli Inahaha di bagian atas yang terbentuk oleh Hena-hena
Lesinusa, Kakerisa, Henasiwa, dan Hatalepa-pawae, dan Uli Inaluhu
yang berarti bagian bawah yang dibentuk oleh Hena-Hena Samasuru,
Risapori, Henalatu, dan Tounusa.
77

Esuriun Orang Bati

Alifuru Patasiwa dan Patalima di Seram-Maluku
Sebutan Suku Alifuru atau Orang Alifuru tidak populer di
Maluku, karena selama ini sebutan tersebut dipersepsikan oleh orang
luar (Maluku) sendiri sebagai kehidupan manusia yang primitif, kotor,
jahat, dan sebagainya. Untuk itu dalam interaksi sosial sebutan Alifuru
senantiasa dianggap berkonotasi negatif. Dalam kehidupan sehari-hari
di kalangan Orang Maluku, teristimewa dalam ritual adat untuk
maksud tertentu yang berkaitan dengan adat dalam upacara pelantikan
Raja (Latu), mengerjakan rumah adat (baileu), upacara adat panas
gandong, pela, dan lainnya selalu menggunakan adat-istiadat khas
Alifuru seperti tarian adat cakalele. Dalam kehidupan Alifuru di Pulau
Seram, ternyata mereka terdiri dari berbagai kelompok yang menganut
tradisi, adat-istiadat, bahasa, identitas, kebudayaan, teri-torial, dan
lainnya yang berbeda-beda. Sejak awal kelompok Patasiwa dan
Patalima selalu bersaing. Bahkan kedua kelompok pata tersebut sering
terlibat dalam konflik dan pertikaian.
Kedua kelompok sosial tersebut sering hidup bermusuhan.
Struktur sosial Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai sekarang
masih teridentifikasi dalam sistem pengelompokan sosial yang berbasis
Patasiwa (sembilan bagian) dan Patalima (lima bagian ) dapat dijumpai
pada berbagai tempat. Menurut Colley (1961 : 118-122) kata pata
berasal dari bahasa asli seperti juga kata setaraf uli, dan keduanya
berarti kelompok atau bagian. Siwa berarti sembilan dan Lima berarti
lima. Jadi Patasiwa atau Ulisiwa berarti kelompok sembilan, sedangkan Patalima atau Ulilima adalah kelompok Lima. Tiap desa di Maluku
Tengah tergolong ke dalam salah satu kelompok, dan biasanya para ahli
dalam soal adat akan mengetahui pada kelompok mana sesuatu desa
tergolong. Lebih lanjut dikemukakan Colley bahwa Patasiwa-Patalima
nampaknya menunjukkan bahwa seluruh desa yang tergolong pada
kelompok sembilan mempunyai sistem adat yang serupa dalam segisegi tertentu. Tergolongnya sesuatu desa ke dalam kelompok sembilan
atau kelompok lima, hal ini tampak mempunyai akibat-akibat tertentu.
Adapun susunan sosial dari desa-desa yang tergolong pada kelompok
sembilan dikatakan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil.
Artinya, secara umum mereka mengetahui tergolong pada Patasiwa
78

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

atau Patalima. Kedua sistem adat seperti ditemukan di desa-desa di
Ambon dan Lease dapat dihubungkan dengan daerah asalnya atau
daerah-daerah adat di Pulau Seram.
Dalam hal ini ada persesuaian pendapat bahwa pembagian
Patasiwa-Patalima pada mulanya ditentukan di Seram, juga mengenai
cara memberikan garis pembatasannya. Patasiwa adalah kelompok
Alifuru yang menghuni bagian Pulau Seram, yang sebagian terletak di
sebelah barat dari Sungai Mala yang bermuara ke dalam Teluk
Elpaputih di sebelah selatan. Orang-Orang Patalima menghuni daerah
yang terletak di sebelah timur perbatasan Sungai Mala. Kelompok
Patasiwa terdiri dari dua subkelompok yaitu kelompok Patasiwa Hitam
(Patasiwa Mete) yang menempati wilayah Pulau Seram bagian barat
dengan batas di Sungai Mala, dan Patasiwa Putih yang menempati
daerah sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur Sungai Mala,
sampai dengan wilayah sepanjang Teluk Teluti.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Colley (1961) bahwa terdapat
pandangan lain yang mengatakan bahwa kelompok siwa (sembilan)
dan kelompok lima (lima) itu sesungguhnya bukan asli Seram, tetapi
berasal dari Kesultanan Tidore dan Ternate. Patasiwa ada pertaliannya
dengan Ternate dan Patalima dengan Tidore. Alasan yang dikemukakan untuk pembagian itu dengan maksud dari Sultan Ternate untuk
memecah-belah Orang-Orang Seram, sehingga lebih mudah menaklukan mereka. Banyak contoh dalam sejarah bahwa Kesultanan
Ternate dan Tidore terus-menerus bersaing, paling tidak semenjak
tahun 1450. Juga diketahui perluasan kekuasaan politik ke selatan
setelah pendirian kesultanan-kesultanan yang kuat di Ternate dan
Tidore, terjadi dalam paruh kedua abad ke-15. Bahwa kelompokkelompok Patasiwa dan Patalima saling bermusuhan, itu sesuai dengan
pendapat bahwa pengelompokan itu adalah pengaruh dari kekuatankekuatan yang saling bersaing di sebelah utara.
Dapat dikemukakan bahwa pergolakan politik untuk kepentingan penaklukan wilayah suku menyebabkan pergolakan politik
yang makin hebat, sehingga timbul persaingan yang menjadi penyebab
terjadinya pertikaian antar suku, kelompok, dan sebagainya. Hal ini

79

Esuriun Orang Bati

dikemukakan lebih lanjut oleh Colley (1961) terdapat data yang harus
diperhatikan dalam hubungan ini yaitu tentang pembagian kelompok
penduduk di Seram yang berasal dari zaman sebelum pengelompokan
Patasiwa dan Patalima itu diperkenalkan. Di Seram Barat sebelum abad
ke-15 terdapat dua golongan Suku Alifuru yaitu Pata Aloene (Halune)
dan Pata Wemale (Memale). Aloene menghuni daerah Sungai
Sapalewa, sedangkan Wemale menempati daerah selatan di sekitar
Sungai Tala dan terus ke arah timur. Wemale tampaknya terpencar
lebih luas ke daerah yang kemudian diduduki oleh Patalima. Ada perbedaan-perbedaan kebudayaan tertentu di antara kedua kelompok
suku ini akibat pengaruh Kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi
penyebab dari pengelompokan kembali Orang-Orang Seram yang lebih
besar akhirnya dinamakan Patasiwa dan Patalima.
Memasuki abad ke-17 keadaan berubah akibat tekanan-tekanan
“Hongi” yang dilancarkan Belanda menjelang tahun 1655 telah
mengosongkan penduduk daerah Hoamual, Seram Barat, yaitu daerah
milik kelompok Patasiwa. Mereka yang tidak gugur dalam seranganserangan itu melarikan diri ke Seram Selatan dan pasti banyak dari
antara mereka yang sampai ke Ambon-Lease. Melalui cara ini
pengaruh Patasiwa (dari Seram Barat) tertanam pada kebudayaan, terutama pada adat Ambon-Lease, sementara pengaruh itu adalah kebudayaan yang telah diwarnai oleh kebudayaan dari utara. Perubahanperubahan yang terjadi menjelaskan adanya kenyataan bahwa pengetahuan tentang Patasiwa-Patalima pada saat ini hanya terdapat
garis-garis besar yang kabur sehingga pemahaman pengertiannya sudah
hampir hilang sama sekali.
Suku Alune atau Orang Alune di Seram-Maluku
Orang Alune atau Suku Alune merupakan salah satu suku terbesar di Pulau Seram-Maluku. Alune adalah sebutan dalam bahasa
Alune yang artinya Manusia Gunung. Maksud dari manusia gunung
yaitu, pada awalnya leluhur Orang Alune atau Suku Alune mendiami
wilayah pegunungan. Untuk itu kehidupan sebagai manusia gunung.
Proses migrasi yang dilakukan oleh leluhur Orang Alune atau Suku
Alune, baik dalam wilayah Pulau Seram maupun di luar wilayah Pulau
80

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Seram seperti Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Buru, Manipa,
Kelang, Buano, dan lainnya kemudian muncul sub sukubangsa lainnya
dengan sebutan nama masing-masing.
Untuk itu pada saat ini Pulau Seram terdapat berbagai subsukubangsa baik itu suku-suku asli maupun suku-suku pendatang. Selain itu
juga telah terjadi perkawinan campur antara suku asli dan suku-suku
pendatang. Proses ini telah berlangsung cukup lama. Dapat dikemukakan bahwa suku-suku pendatang yang saat ini terdapat di Pulau Seram
antara lain Suku Tobelo, Jailolo, Ternate, Tidore, Bacan, Taliabu,
Sanana, Obi, Kei (Kai), Buton, Bugis, Makasar, Bone, Jawa, Padang,
Papua, Arab, Cina, dan lainnya 3. Umumnya suku-suku pendatang
mendiami pesisir pantai. Suku asli Pulau Seram adalah keturunan Suku
Alifuru atau Orang Alifuru yang mendiami tempat-tempat di sekitar
pegunungan (Jansen, 1948; Mausa, 1987; Matulessy, 1988; Sachse,
2002).
Sampai saat ini sebutan Alifuru masih dianggap negatif di
kalangan Orang Maluku sendiri karena menunjukkan kehidupan pada
orang liar, kotor, bodoh, menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya.
Sebutan ini sering dihindari ketika berlangsungnya interaksi di kalangan masyarakat Maluku. Untuk itu sebutan suku Alune atau Orang
Alune atau Pata Halune dan suku Wemale atau Orang Memale atau
Pata Wemale menjadi populer dalam interaksi sosial dikalangan Orang
Seram dan Orang Maluku (Subiyakto dalam Koentjaraningrat, 1999).
Selain itu juga masih terdapat suku-suku lainnya seperti Suku Nuaulu
di Seram Selatan (Ellen, 2002), Suku Huaulu di Seram Utara (Valeri,
1988; Panjaitan dan Topatimasang, 1993). Tradisi, adat, bahasa, maupun kehidupan sosial dari suku-suku tersebut di atas pada hakikatnya
berbeda-beda namun kebiasaan makan sirih, pinang, tembakau, kapur,
kemudian memiliki adat istiadat yang berbasis pada suku Alifuru
seperti tarian adat Cakalele Alifuru terdapat pada semua suku, sehingga
3)Saat ini sebutan Orang Seram telah digunakan oleh suku-suku pendatang maupun
suku asli di Pulau Seram. Tetapi dalam persepsi Orang Maluku yang dimaksud dengan
sebutan Orang Seram ditujukan pada penduduk asli, baik yang mendiami wilayah
pegunungan maupun pesisir pantai yang awalnya adalah Orang Gunung kemudian
melakukan migrasi ke luar dari tempat kediaman dan mendiami wilayah pesisir pantai.

81

Esuriun Orang Bati

dapat dipastikan bahwa suku-suku tersebut baik langsung maupun
tidak langsung memiliki hubungan dengan Suku Alifuru di Pulau
Seram. Berkaitan dengan keadaan dari suku-suku yang mendiami
Pulau Seram, dikemukakan tentang profil dari suku-suku dimaksud
pada gambar 1 dan 2 berikut ini:

Gambar 1
Profil Laki-laki Suku
Alune atau Orang Alune
di Seram
Sumber: Janse, doc,1948.

Gambar 2
Profil Perempuan Suku Alune
atau Orang Alune di Seram
Sumber: Jansen, doc, 1948.

82

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Dewasa ini kehidupan Orang Alune atau Suku Alune di Pulau
Seram-Maluku telah mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan
karena Orang Alune atau Suku Alune sudah melakukan kontak dengan
orang luar cukup lama sehingga terjadi perubahan dalam berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial yang berlangsung
antara Orang Alune atau Suku Alune makin intensif, dan mereka
sangat mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlangsung
dengan lingkungan sekitarnya.
Suku Wemale atau Orang Wemale di Seram-Maluku
Orang Wemale atau Suku Wemale di Pulau Seram merupakan
salah satu sukubangsa yang besar. Pada hakikatnya Orang Wemale atau
Suku Wemale di Pulau Seram memiliki tingkat perkembangan yang
identik dengan Orang Alune atau Suku Alune karena mereka telah
melakukan kontak dengan orang luar cukup lama. Interaksi sosial yang
berlangsung antara Orang Wemale atau Suku Wemale telah berlangsung cukup lama, dan Orang Wemale atau Suku Wemale memiliki
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sehingga mudah
menyesuaikan diri dengan proses perubahan yang terus berlangsung.
Wemale atau Suku Wemale telah melakukan migrasi cukup lama
dalam wilayah Pulau Seram maupun ke luar wilayah Pulau Seram
seperti Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Buru, Manipa, Kelang,
Buano, dan berbagai tempat dalam wilayah Kepulauan Maluku. Proses
migrasi yang telah berlangsung ratusan tahun kemudian keturunan
mereka memunculkan subsuku lainnya, baik itu yang mendiami Pulau
Seram maupun di luar Pulau Seram seperti gambar 3 berikut ini:

83

Esuriun Orang Bati

Gambar 3
Profil Laki-Laki dan Perempuan Suku Wemale atau Orang Wemale di
Seram
Sumber: dari Jansen, doc,1948, kemudian dilukis ulang

Dapat dikemukakan bahwa Orang Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale sebagai induk dari subsuku
lainnya di Pulau Seram maupun Kepulauan Maluku, dapat teridentifikasi dari cara-cara hidup, adat-istiadat, bahasa, rumah adat, batu
pamali, dan lainnya. Suatu hal yang dapat dikemukakan di sini bahwa
karakteristik, tradisi, adat-istiadat, budaya, dan lainnya dari keturunan
kedua suku ini (Alune dan Wemale) sebagai Orang Gunung masih melekat sangat kuat. Sebagai contoh, kehidupan dari keturunan Orang
Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale
yang telah mendiami pesisir pantai cukup lama, tetapi ketergantungan
84

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

hidup mereka pada wilayah hutan masih sangat kuat. Mereka tidak
dapat dikategorikan sebagai masyarakat nelayan yang profesional,
karena sebagian besar kehidupan mereka lebih mengandalkan pertanian atau membuat kebun.
Perspektif kehidupan yang sangat nyata dari keturunan Orang
Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale
yaitu mengakui diri sebagai Keturunan Alifuru, yang dikenal oleh
Orang Maluku dengan sebutan keturunan Alifiru Ina kemudian menjadi sebutan yang digunakan sampai saat ini adalah Alifuru Seram.
Tradisi Alifuru pada kedua suku ini masih kuat dipertahankan sampai
saat ini seperti dijumpai dalam upacara adat Cakalele (tarian perang).
Menurut peneliti kedua kelompok sukubangsa ini pada awalnya
memiliki asal-usul leluhur yang sama.
Apabila Alifuru merupakan ciri khas yang dimiliki oleh kedua
suku tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari keturunan
Suku Alifuru. Untuk itu studi lebih mendalam mengenai asal-usul
Alifuru Seram perlu didalami sehingga dapat diungkapkan lebih riil
keterkaitan. Selama ini informasi mengenai suku Alifuru berupa
penuturan, sedangkan informasi ilmiah mengenai suku Alifuru sangat
terbatas melalui studi-studi ilmiah yang lebih mendasar.

Bumi Seram Bagian Timur dan Manusianya
Untuk memahami tentang Bumi Pulau Seram Bagian Timur dan
Manusianya, dikemukakan sebagai berikut :

Identifikasi Geografi
Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang terdapat
dalam buku Seram Bagian Timur Dalam Angka 4), terdiri dari pulaupulau yang berjumlah 31 pulau. Pulau yang telah dihuni oleh pendu4)Data tentang identifikasi geografi, luas wilayah, batas wilayah, iklim dan curah hujan

terdapat dalam Seram Bagian Timur Dalam Angka Tahun 2007, Hal 3-44.

85

Esuriun Orang Bati

duk Seram Bagian Timur yaitu 17, sedangkan 14 pulau lainnya masih
kosong karena tidak berpenghuni. Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian
Timur (SBT) adalah Bula yang terdapat di daratan Pulau Seram Bagian
Timur.

Luas Wilayah
Luas wilayah Seram Bagian Timur seluruhnya kurang lebih
15.887,92 km², yang terdiri dari luas wilayah laut yaitu 11.935,84 km²,
dan luas wilayah daratan yaitu 3.952,08 km², dengan perincian sebagai
berikut: (1) Kecamatan Seram Timur yang beribukota di Geser (Pulau
Geser) memiliki luas 603,65 km²; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom
memiliki luas 171,53 km²; (3) Kecamatan Werinama memiliki luas
175,58 Kkm²; (4) Kecamatan Bula memiliki luas 3001,32 km².

Batas Wilayah
Batas wilayah Kabupaten Seram Timur (SBT) yaitu: (1) Di sebelah utara dengan Laut Seram; (2) Di sebelah selatan dengan Laut Banda;
(3) Di sebelah timur dengan Laut Arafura; (4) Di sebelah Barat dengan
Kabupaten Maluku Tengah.

Iklim dan Curah Hujan
Iklim dan curah hujan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT)
adalah iklim laut tropis dan iklim musim.Terjadi iklim tersebut karena
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) dikelilingi oleh laut yang luas.
Kondisi iklim seperti ini sangat dipengaruhi oleh laut yang berlangsung
seirama dengan musim yang ada (musim yang berlangsung setiap saat).
Akibat luas wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini tersebar
dalam pulau-pulau yang berbeda, sehingga iklim di Kabupaten Seram
Bagian Timur (SBT) adalah iklim musim.

86

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Suhu dan curah hujan berdasarkan perhitungan klimatologi pada
Stasiun Meteorologi Geser menunjukkan bahwa iklim di Kabupaten
Seram Bagian Timur adalah: (1) Geser dalam tahun 2006 Kecamatan
Seram Timur temperatur rata-rata 27,5ºC, di mana temperatur
maksimun rata-rata 31,40C dan minimum rata-rata 230C. Jumlah curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni yaitu 632,8 mm, kemudian pada
bulan Pebruari 229,9 mm. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada
Juni sebesar 26 hari, dan bulan Januari 19 hari. Rata-rata hari hujan
selama tahun 2006 sebanyak 14 hari. Penyinaran matahari rata-rata
67,3% dengan tekanan udara rata-rata dalam satu tahun yaitu 1011,2
milibar, dan kelembaban nisbi rata-rata 81,2%.
Kecepatan angin di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ratarata 6,4 knot, dengan arah angin terbanyak dari arah selatan. Kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan Januari dan bulan Desember
sebesar 30 knot. Arah angin terbanyak pada saat kecepatan angin
terbesar adalah dari arah Tenggara. Lokasi Kabupaten Seram Bagian
Timur dapat dilihat pada peta 2 berikut ini:

Peta 2
Kabupaten Seram Bagian Timur

87

Esuriun Orang Bati

Keadaan Penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur
Jumlah penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) berdasarkan data tahun 2007 sebanyak 117.142 jiwa yang terdiri dari
pendu-duk laki-laki sebanyak 55.983 jiwa, dan penduduk perempuan
seba-nyak 61.159 jiwa. Perincian penduduk di Kabupaten Seram
Bagian Timur (SBT) menurut kecamatan yaitu; (1) Kecamatan Seram
Timur yaitu 40.141 jiwa yang terdiri dari laki-laki 18.907 jiwa dan
perempuan 21.234 jiwa; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom jumlah
penduduk sebanyak 46.362 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki
23.440 jiwa dan perempuan 23.433 jiwa; (3) Kecamatan Werinama
jumlah penduduk sebanyak 12.36 jiwa yang terdiri dari penduduk lakilaki 6.129 jiwa dan perempuan 6.233 jiwa; (4) Kecamatan Bula jumlah
penduduk sebanyak 17.766 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki
7.507 jiwa dan perempuan 10.259 jiwa.
Apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dan luas wilayah
daratan yaitu 3.952,08 km2 di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT)
maka kepadatan penduduk yaitu sebanyak 21 jiwa, dan jumlah ratarata anggota rumah tangga yaitu lima orang. Untuk itu dapat dikatakan
bahwa penyebaran penduduk di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT)
tidak merata, baik dari kepadatan dan rata-rata penduduk per rumah
tangga 5).
Perlu dikemukakan bahwa Kecamatan Seram Timur yang berkedudukan di Geser, dan Kecamatan Pulau-Pulau Gorom yaitu berkedudukan di Pulau Gorom dengan Ibukota Kecamatan di Kataloka
berada pada pulau tersendiri dan terpisah dari daratan Pulau Seram.
Kecamatan Bula dengan Ibukota Kecamatan yaitu Bula, dan Kecamatan
Werinama dengan Ibukota Kecamatan yaitu Werinama adalah kecamatan yang berada di daratan Pulau Seram Bagian Timur. Setelah pemekaran Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2002, telah
dimekarkan Kecamatan Tutuk Tolo dari Kecamatan Seram Timur.
Secara geografis, Kecamatan Tutuk Tolo dengan Ibukota Kecamatan
5)Data tentang identifikasi geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini
bersumber dari buku tentang Seram Bagian Timur Dalam Angka tahun 2007,
BAPPEDA dan BPS Seram Bagian Timur, No 1403.8107, halaman 3-44.

88

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

berada Tutuk Tolo yang terletak daratan Pulau Seram Bagian Timur,
atau dikenal dengan nama Daratan Hunimua.

Tana (Tanah) Bati di Kabupaten Seram Bagian Timur
Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur
menyebut daerah kediamannnya dengan nama Tana (Tanah) Bati yang
terletak di wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat, Kecamatan
Seram Timur dan Desa Kilimoi, Kecamatan Tutuk Tolo, Kabupaten
Seram Bagian Timur (SBT). Berikut ini dikemukakan aspek terkait
yaitu:

Identifikasi Geografis
Tanah Bati terdapat di Kecamatan Seram Timur, Kabupaten
Seram Bagian Timur (SBT). Secara geografis Tanah Bati ini berada di
daratan Pulau Seram Bagian Timur yang terbentang dari wilayah
pesisir pantai sampai dengan wilayah pegunungan. Wilayah sekitar
pesisir pantai sudah terdapat jalan penghubung lingkungan yang terbuat dari tanah dengan lebar sekitar 3 m. Selain jalan darat dari tanah,
untuk mencapai desa-desa, dan kampung atau dusun (wanuya) yang
terdapat di Tanah Bati dapat ditempuh dari laut dengan menggunakan
perahu (wona) atau motor tempel (katinting), kecuali kampung atau
dusun-dusun yang terdapat lereng-lereng bukit dan pegunungan hanya
dapat ditempuh melalui jalan setapak dengan cara berjalan kaki. Jarak
antara satu kampung atau dusun dengan kampung atau dusun yang lain
tidak sama. Jarak untuk mencapai kampung atau dusun-dusun yang ditempati oleh Orang Bati (Bati Pantai) berjarak sekitar 4 sampai dengan
5 km, sedangkan jarak untuk mencapai kampung atau dusun-dusun
Bati (Bati Tengah dan Bati Dalam) yaitu sekitar 6 sampai dengan 7 Km.
Jarak tempuh melalui cara jalan kaki untuk mencapai Kampung atau
Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) kurang lebih 13 sampai dengan 14 Km
dari pesisir pantai.

89

Esuriun Orang Bati

Untuk memberikan akses pada Orang Bati yang mendiami
wilayah di lereng-lereng bukit dan pegunungan, maka Pemerintah
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2009 telah membuka
jalan penghubung lingkungan untuk menghubungkan kampung atau
dusun di Tana (Tanah) Bati. Jalan penghubung lingkungan ini arahnya
dari Kampung atau Dusun Aertafela yang letaknya di pesisir pantai,
untuk menuju ke kampung atau dusun yang ditempati Orang Bati di
lereng bukit dan pegunungan. Sejak bulan November 2009 jalan yang
baru dibangun telah mencapai Kampung atau Dusun Rumoga (Bati
Pantai), Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah), dan kampung
atau dusun yang letak paling akhir di pegunungan yaitu Kampung atau
Dusun Bati Kilusi (Bati Awal). Posisi jalan yang baru dibangun tidak
masuk dalam kampung, tetapi berada di pinggiran kampung. Hal ini
dilakukan sesuai dengan etar (wilayah milik marga) dan tempat-tempat
tertentu yang dianggap sakral sehingga tidak merusak lokasi tersebut.
Orang Bati yang termasuk kelompok sosial Bati Dalam mendiami
Kampung atau Dusun Sayei, Tokonakat, dan Aerweur. Untuk menuju
ke lokasi Orang Bati Dalam yang terdapat di pegunungan, masih
menggunakan jalan setapak yang melewati wilayah hutan di lerenglereng bukit. Jalan penghubung lingkungan untuk menjangkau
kampung atau dusun (wanuya) di Tana (Tanah) Bati saat ini baru berada pada tahap awal pekerjaan, sehingga belum di aspal. Untuk itu
sarana transportasi darat (mobil) belum dapat melintasi jalan tersebut
karena permukaan tanah tidak datar. Jalan yang baru dibangun dinamakan jalan Esuriun dan hanya dapat ditempuh dengan cara berjalan
kaki.

Iklim dan Suhu Udara
Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur mengalami tiga musim yaitu musim kemarau (musim barat), musim penghujan (musim timor), dan musim pancaroba (peralihan). Antara musim
penghujan dan musim kemarau berlangsung musim peralihan atau
musim pancaroba. Berdasarkan catatan lapangan yang dilakukan sendiri oleh peneliti bahwa suhu udara di Kampung atau Dusun Bati Kilusi
90

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

(Bati Awal) yang terletak di pegunungan pada pagi hari jam 06.00 WIT
yaitu 19,50 C, siang hari pada jam 12.00 WIT yaitu 220 C, dan malam
hari jam 19.00 WIT yaitu 180 C 6). Curah hujan tertinggi di Tana
(Tanah) Bati berlangsung pada bulan April sampai dengan bulan
Agustus setiap tahun. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli hujan turun terusmenerus. Orang Bati menyebutkan bahwa:
Puncak hari hujan terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Artinya
pada bulan-bulan ini Orang Bati tidak dapat melakukan aktivitas
di luar rumah seperti ladang atau kebun secara leluasa. Orang
Bati beranggapan bahwa pada bulan-bulan ini merupakan masa
yang sangat sulit bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup
bagi rumah tangga 7).

Keadaan Penduduk
Pada saat dilakukan sensus kecil oleh peneliti di lokasi permukiman Orang Bati tahun 2010-2011 berdasarkan hasil sensus kecil yang
dilakukan peneliti yaitu terdapat 8.004 jiwa yang terdiri dari penduduk
laki-laki 4.041 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 3.963 jiwa.
Perincian penduduk yang mendiami kampung atau dusun-dusun di
Tana (Tanah) Bati dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

6)

Data tentang identifikasi geografi, iklim, dan suhu udara di Tana (Tanah) Bati
dilakukan sendiri oleh peneliti berdasarkan pengalaman studi selama 3 musim (musim
kemarau atau musim barat, musim penghujan atau musim timor, dan musim pancaroba
atau musim peralihan) dengan menggunakan peralatan pengukur suhu (termometer).
7)Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Kampung atau Dusun Bati Kilusi
(Bati Awal), Negeri Kian Darat, pada tanggal 3 Mei 2010.

91

Esuriun Orang Bati

Tabel 1
Keadaan Penduduk di Dusun-Dusun Bati Tahun 2011
No

Nama Dusun

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
-

Kilusi
Rumbou
Rumoga
Seyei
Kilaba
Uta
Kelsaur
Aerweur
Tokonakat
Baru
Lamdutu
Kaididia
Kilimoi
Madak
Teun Lu
Sesar Darat
Sesar Tengah
Kufarbolowin
Garigit
Kian
Aertafela
Angar
Watu-Watu
Kilga Keliwou
Kilga Watubau
Rumfakar
Keliser
Total

Kelamin
L
26
115
74
50
225
80
21
22
18
29
14
67
922
101
49
194
80
169
44
216
225
118
156
157
372
254
243
4.041

%
0,3
1,4
0,9
0,6
2,8
1
0,2
0,3
0,3
0,4
0,2
0,8
11,5
1,3
0,6
2,4
1
2,3
0,5
2,6
2,7
1,5
1,9
2
4,5
3,3
3,1
50,5

P
24
45
83
34
219
58
13
18
18
30
16
67
746
119
59
174
93
162
49
221
227
159
114
241
442
256
271
3.963

Jumlah
%
0,3
0,6
1,0
0,4
2,7
0,7
0,1
0,2
0,3
0,4
0,3
0,8
9,3
1,5
0,7
2,2
1,2
2,2
0,6
2,7
2,8
2
1,4
3,0
5,4
3,3
3,4
49,5

L+P
50
160
157
84
444
138
34
40
36
59
30
134
1.668
220
108
368
173
331
93
437
452
277
270
398
814
510
514
8.004

%
0,6
2
1,9
1
5,5
1,7
0,3
0,5
0,6
0,8
0,5
1,6
20,8
2,8
1,3
4,6
2,2
4,5
1,1
5,4
5,5
3,5
3,3
5,0
9,9
6,6
6,5
100,0

Ket
Awal
Tengah
Pantai
Dalam
Pantai
Pantai
Pantai
Dalam
Dalam
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
Pantai
-

Sumber: Data Primer Hasil Sensus Kecil di Tana (Tanah) Bati.

Data penduduk yang terdapat pada tabel di atas menunjukkan
bahwa penduduk laki-laki mempunyai persentase lebih tinggi dari
penduduk perempuan. Keadaan penduduk atau Orang Bati yang berada
di kampung atau Dusun (Wanuya) Kilga Watubau yang termasuk
Orang Bati Pantai mempunyai persentase lebih tinggi dari penduduk di
dusun-dusun lainnya yang berada di Tana (Tanah) Bati, sedangkan
penduduk Orang Bati yang mendiami Dusun Lamdutu mempunyai
persentase terendah atau lebih sedikit jumlah penduduk dari di dusundusun (wanuya) lainnya di Tana (Tanah) Bati.

92

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku

Kondisi Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku
Orang Bati mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur.
Sebagian besar wilayah ini sampai sekarang masih terdiri dari hutan
belantara di mana terdapat pohon-pohon besar yang rindang. Pada
umumnya, wilayah kediaman Orang Bati di Pulau Seram Bgian Timur
belum ditempati oleh manusia (penduduk), tetapi bukan berarti tanah
yang terdapat dalam wilayah tersebut tidak ada pemiliknya. Semua
tanah kosong yang terdiri dari hutan belantara ada pemiliknya yaitu
marga tertentu yang mendiami Tana (Tanah) Bati. Setiap jengkal tanah
di Pulau Seram, dan secara khusus di Pulau Seram Bagian, ada orang
yang menguasai, bahkan memilikinya, termasuk tanah dalam wilayah
kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Orang Bati hidup menyatu
dengan tanah mereka, dan terus dijaga, dilindungi secara baik sampai
saat ini untuk bertahan hidup (survive). Dalam interaksi sosial di
kalangan Orang Bati, sebutan orang yang bermakna manusia dan disapa dengan sebutan mancia atayesu (orang gunung) dan mancia layena
(orang pantai) sesungguhnya mengikat mereka dengan dunia atau teritori di mana mereka berada baik itu secara fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya.
Sebenarnya sebutan mancia 8) yang digunakan dalam interaksi
dikalangan Orang Bati menegaskan tentang eksistensi mereka sebagai
Orang atau Manusia Gunung (Mancia Atayesu) untuk membedakan
diri mereka dengan Orang atau Manusia Pantai (Mancia Layena) baik
yang memiliki pertalian darah dengan Orang Bati, yang kental dengan
tradisi, adat-istiadat, dan budaya Esuriun, maupun mereka yang tidak
memiliki pertalian darah. Relasi sosial yang berlangsung antara Orang
Bati dengan lingkungan berada dalam mata-rantai roina kakal yang
senantiasa menghubungkan mereka dengan dunianya sendiri. Orang
Bati percaya bahwa pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan
budaya, kebutuhan masyarakat, dipastikan dapat menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Bahkan dapat menimbulkan bencana pada

8)Bahasa lokal yang digunakan Orang Gunung (Mancia Atayesu) di Tana (Tanah) Bati
dinamakan Bahasa Minakyesu atau Minakesi.

93

Esuriun Orang Bati

diri mereka sendiri karena kehidupan yang dijalani tidak sesuai dengan
adat maupun keselarasannya dengan kosmos.
Orang Bati adalah penduduk yang mendiami Tana (Tanah) Bati
(Atamae Batu) di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam interaksi sosial,
sebutan Orang Bati sangat jarang ditemukan. Pada umumnya mereka
menyebut diri yaitu Orang Gunung (Mancia Atayesu), untuk membedakan diri mereka dengan penduduk yang mendiami perkampungan
di daerah pantai atau Orang Pantai (Mancia Layena), yang termasuk
saudara (roina kakal) yang memiliki asal-usul yang sama tetapi termasuk dalam kelompok Orang Bati Pantai. Dalam pergaulan hidup
sehari-hari O