Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati
Lampiran 1
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI
di MALUKU
Pengantar
Fenomena Orang Bati di Maluku tergolong sangat khas. Ketika nama
Orang Bati untuk pertama kali peneliti pertanggungjawabkan secara ilmiah
melalui ujian terbuka Program Doktor Studi Pembangunan di Universitas
Kristen Satya Wacana-Salatiga, menandai 27 tahun (1985-2012) adalah perjalanan waktu yang dibutuhkan untuk menelusuri, menemukan, dan menulis
secara ilmiah mengenai Orang Bati di Maluku. Tema utama Diserta ini adalah
Esuriun Orang Bati (Esu = Hutan dan Riun = Ribuan), adalah kisah turunnya
leluhur Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae
yeisa tua ukara) untuk melindungi hak milik (mabangat nai tua malindung)
seluruh hak milik yang berharga meliputi manusia, tanah, hutan, identitas,
adat, budaya, sumber daya alam, dan lainnya yang berada dalam etar (wilayah
milik marga) dan terdapat dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) orang
Bati untuk bertahan hidup (survival strategy).
Penelitian ilmiah untuk mengungkap fenoeman Orang Bati dengan
menggunakan metode kualitatif bersumber pada pengalaman lapangan dari
peneliti sendiri. Bersumber pada pengalaman empirik ketika pertama kali
peneliti memperoleh informasi awal, perjumpaan tidak sengaja, pengenalan
ceritera ke minat, menelusuri Pulau Seram, studi budaya tutur, mencari dan
menemukan tokoh kunci, menjalani inisiasi, mencari Negeri Orang Bati,
perjumpaan pertama kali dengan Orang Bati, negosiasi meneliti dan menulis,
survai (penjajakan awal) ke lokasi pe-nelitian, masuk lapangan untuk mendalami dunia dunia Orang Bati. Kondisi yang berlangsung demikian membutuhkan langkah tepat untuk melakukan penelitian ilmiah secara mendalam,
sebab sampai masa kini fenomena Orang Bati di Maluku belum dijumpai
informasi ilmiah yang benar.
Sampai saat ini informasi yang berkembang di kalangan Orang Maluku
mengenai Orang Bati berupa penuturan (ceritera lisan) secara turun-temurun.
Persoalan yang muncul kemudian yaitu, ceritera tentang Orang Bati yang berkembang di kalangan Orang Maluku berbeda-beda, karena pengalaman
masing-masing anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku ketika berjumpa, bergaul, dan sebagainya dengan Orang Bati tidak sama. Sebagian besar
Orang Maluku yang berceritera mengenai Orang Bati mengadung stigma
416
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
(anggapan negatif) sehingga informasi mengenai Orang Bati terus mengalami
paradoks (bertentangan) di kalangan Orang Maluku.
Perdebatan yang berlangsung di kalangan Orang Maluku mengenai
fenomena Orang Bati tidak pernah berakhir. Orang Bati distigma sebagai
orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), misteri, jahat, dan sebagainya.
Penelitian ilmiah untuk memahami dan menjelaskan tentang fenomena yang
dialami Orang Bati oleh peneliti dengan mengembangkan metode penelitian
kualitatif yang dinamakan Studi Etnografi Orang Bati di Maluku dimaksudkan
bahwa melalui pendekatan kebudayaan secara holistik dapat mengungkap
persoalan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa, serta
kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) pada Orang Bati secara
individu maupun kelompok melalui cara menelusuri informasi awal melalui
cara yang dilakukan khusus oleh peneliti dalam menghadapi kasus seperti
Orang Bati di Maluku.
Informasi Awal
Pertama kali peneliti memperoleh informasi awal mengenai Orang Bati
yang lahir dari pengalaman empirik yaitu melalui informasi secara lisan berupa ceritera (penuturan) orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani, Kecamatan
Saparua, Kabupaten Maluku Tengah pada bulan Mei tahun 1973. Negeri Siri
Sori Serani berada di Pulau Saparua, adalah pulau yang terletak di bagian selatan Pulau Seram. Orang-orang yang mendiami Pulau Saparua, Haruku, dan
Nusa Laut dinamakan Kepulauan Lease, yang berasal dari nama Uliaser. Secara umum dapat dikemukakan bahwa penduduk atau orang-orang yang
mendiami setiap negeri adat di Pulau Saparua memiliki wilayah kekuasaan
atau petuanan sendiri-sendiri.
Orang asli yang mendiami negeri adat tertentu menyebut diri sebagai
“anak negeri”, sedangkan orang lain yang datang maupun menetap di suatu
negeri adat dinamakan “orang dagang”. Secara struktural, setiap negeri adat di
Pulau Saparua memiliki ciri sebagai Orang Pata Siwa dan Orang Pata Lima.
Stuktur sosial paling dasar dalam kehidupan orang-orang yang men-diami
negeri adat di Pulau Saparua yaitu “mata-rumah” dan soa. Mata-rumah
senantiasa terikat dalam soa sebagai struktur yang lebih besar dari “matarumah”. Pada setiap negeri adat memiliki jumlah soa yang tidak sama, dan memiliki nama soa yang berbeda-beda. Solidaritas sosial dalam lingkungan soa
pada umumnya sangat kuat, dan informasi awal mengenai nama Orang Bati
peneliti peroleh dari orang tua-tua yang berada dalam lingkungan Soa Hawoni
di Negeri Siri Sori Serani.
Negeri Siri Sori Serani merupakan salah satu negeri adat yang terdapat
di Pulau Saparua. Kisah yang dialami peneliti saat itu di Negeri Sori Serani
417
Esuriun Orang Bati
ketika memperoleh informasi awal mengenai nama Orang Bati yaitu; (1) Pada
bulan Mei 1973. Waktu itu pagi hari, peneliti sedang membersihkan rumput
di halaman rumah atau kintal 1). Tiba-tiba berdatangan beberapa orang tua-tua.
Jumlah orang tua-tua saat itu sebanyak enam orang. Ketika enam orang tuatua ini berkumpul, kemudian salah seorang dari mereka mulai berceritera
(menutur) tentang peristiwa atau kejadian yang berlangsung pada malam hari
sebelumnya di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Peristiwa yang
diceriterakan yaitu berkaitan dengan aktivitas warga yang mengejar sosok
manusia atau orang yang diduga hendak mencuri (maling). Ada dugaan kuat
dari orang tua-tua bahwa kehadiran orang yang tidak dikenal tersebut berkaitan dengan isu serangan pemenggalan kepala manusia (potong kepala), atau
orang tersebut bermaksud mencuri, dan berbagai dugaan lainnya; (2) Setelah
warga melakukan pengejaran, ternyata orang yang dikejar pada malam hari
tersebut tidak ditemukan. Bahkan orang yang dikejar secara tiba-tiba dapat
menghilang secara cepat, dan jejaknya tidak bisa ditemukan; (3) Orang tua-tua
menyimpulkan bahwa fenomena itu ada hubungan dengan kehadiran orang
atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang) dalam wilayah petuanan (daerah kekuasaan) Negeri Siri Sori Serani; (4) Isu mengenai kehadiran orang atau
manusia ilang-ilang (hilang-hilang) terus bergulir sehingga warga lainnya
perlu mewaspadai situasi yang lagi genting.
Fenomena yang dialami oleh warga menurut ceritera (penuturan) orang
tua-tua, kemudian mereka mulai mengkaitkannya dengan nama Orang Bati.
Sebab menurut anggapan mereka semua yang terlibat dalam berceritera
bahwa orang yang dapat menghilang secara cepat ketika dilakukan pengejaran
oleh warga adalah Orang Bati. Diskusi orang tua-tua makin seru namun alot.
Mereka mulai mengkaitkan persoalan tersebut dengan waktu yang tepat
(tanoar) di mana saat itu di Negeri Siri Sori Serani mulai bertiup angin timur 2).
Setelah muncul nama Orang Bati, kemudian ceritera (penuturan) tentang
maling, orang ilang-ilang (hilang-hilang), dan sebagainya menjadi tidak terarah. Ketika awal peneliti memperoleh informasi mengenai nama Orang Bati,
sama sekali tidak ada gambaran seperti apa orang yang sedang dibicarakan
oleh orang tua-tua. Peneliti tidak bertanya pada mereka, sebab kalau bertanya
mereka pasti marah karena ceritera yang berlangsung di antara mereka masih
1)Pekarangan rumah milik marga, adalah bidang tanah yang dapat digunakan sebagai
tempat menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan lainnya. Kintal juga terdiri dari
tanah kosong yang dijadikan sebagai tempat bermain bagi anak-anak, dan sebagainya.
2)Kebiasaan orang tua-tua kalau sudah bertiupnya angin yang kencang dari arah timur
mereka sering menghubungkannya dengan kedatangan Orang Bati. Sebab ceritera
turun-temurun yang masih dipercaya oleh mereka bahwa Orang Bati biasanya datang
dengan cara terbang ketika angin timur mulai bertiup sangat kencang, dan Orang Bati
akan kembali ke negeri asalnya ketika angin barat mulai bertiup sangat kencang. Atau
pada saat matahari sedang cerah tiba-tiba turun hujan (hujan-panas) biasanya Orang
Bati sedang ke luar, dan lainnya.
418
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
seru. Semua yang diceriterakan oleh orang tua-tua tersebut, peneliti berusaha
untuk mengingatnya secara baik.
Pada tempat yang lain, ternyata ceritera seperti ini juga berkembang di
kalangan orang tua-tua yang berbeda. Bahkan di negeri-negeri lain peneliti
sering mendengar ceritera yang sama. Biasanya cerita (penuturan) orang tuatua mengenai Orang Bati berhenti apabila di antara mereka tidak ada kata
sepakat. Setelah kelompok orang tua-tua yang berceritera tadi bubar, kemudian timbul berbagai macam pertanyaan dalam pikiran dan hati peneliti.
Tetapi pertanyaan mendasar yang muncul saat itu pada peneliti, apakah benar
itu Orang Bati? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh peneliti sebagai dugaan
sementara bahwa kalau itu benar, berarti Orang Bati itu adalah manusia yang
sangat hebat. Apabila dugaan peneliti ini salah, maka ada sesuatu yang tidak
benar dan secara sengaja informasi mengenai ceritera orang tua-tua mengenai
Orang Bati ada yang disembunyikan. Dalam perjalanan waktu cukup panjang,
peneliti berasumsi atau menduga bahwa; (1) Semua ceritera yang berkembang
di kalangan Orang Maluku mengenai Orang Bati belum tentu benar; (2)
Ceritera Orang Maluku mengenai Orang Bati ada unsur kesengajaan dan mengandung rahasia tertentu yang tidak diceriterakan; (3) Orang Maluku yang
berceritera mengenai Orang Bati tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui
dan memahami persoalan Orang Bati yang sesungguhnya, tetapi berusaha
menjelaskan sehingga informasi tersebut menjadi paradoks.
Informasi lisan yang berkembang dalam masyarakat mengenai Orang
Bati terus menimbulkan pertanyaan dalam hati dan pikiran peneliti bahwa apa
sebenarnya yang harus dilakukan oleh seorang peneliti kualitatif dalam
menghadapi persoalan seperti dihadapi oleh Orang Bati di Maluku? Jawaban
terhadap pertanyaan ini adalah seorang peneliti kualitatif harus siap menghadapi berbagai resiko studi. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah; (1)
Memiliki idealisme dan beusaha untuk menguasai seluk-beluk keadaan
lapangan yang menjadi objek studinya; (2) Memiliki kepekaaan terhadap
informasi yang berkembang dalam masyarakat; (3) Menguasai cara dalam
mengembangkan teknik pendekatan personal dan pendekatan sosial terhadap
situasi sosial secara benar; (40 Melakukan proses seleksi untuk menentukan
informan kunci yang tepat ketika merencanakan, menyusun, dan melaksanakan penelitian ilmiah; (5) Melakukan pemetaan wilayah penelitian
secara tepat sehingga persiapan untuk memulai penelitian kualitatif dapat
dilakukan secara baik; (6) Menguasai keadaan lapangan secara benar sehingga
data strategi pengumpulan data lapangan dapat dilakukan secara baik dan
benar; (7) Dalam melakukan penelitian kualitatif yang di-perlukan adalah
proses yang dimulai dari cara pengamatan, pengumpulan data lapangan,
menyusun transkrip data, interpertasi data, dan analisis data; (8) Memiliki
semangat untuk bekerja keras, pantang mundur, dan kerjalah dengan kesungguhan hati (nurani) yang bersih dan diwujudkan melalui “niat” untuk
419
Esuriun Orang Bati
me-mahami dan menjelaskan suatu isu, maupun fenomena sosial yang dihadapi oleh masyarakat untuk menemukan solusi yang benar; (9) Menguasai
teknik verifikasi data lapangan secara benar karena setiap kondisi sosial
senantiasa berbeda, sehingga tidak boleh mengabaikan tempat, waktu, dan
biaya; (10) Memiliki kejujuran untuk mengungkap realitas seperti apa adanya,
dan bukan apa maunya peneliti; (11) Memegang teguh etika penelitian
kualitatif sehingga menjaga sikap dan perilaku pada seorang peneliti kualitatif
selalu berada pada posisi indenpenden untuk menyuarakan kebenaran yang
ditemukan; (12) Posisi seorang peneliti kualitatif yaitu ia datang untuk belajar
dari masyarakat, dan bukan mengajarkan masyarakat; (13) Sikap dan perilaku
dari seorang peneliti kualitatif adalah menghormati tradisi, adat-istiadat,
kebudayaan, dan lainnya pada lingkungan masyarakat yang diteliti; (14)
Untuk mendukung aktivitas di lapangan maka seorang peneliti kualitatif perlu
mengembangkan metode berlajar bersama masyarakat (informan) sehingga
informasi yang diperoleh dari lapangan dapat menjawab tujuan penelitian,
sehingga informasi mengenai Orang Bati yang terus mengalami paradoks
dalam masyarakat dapat ditelusuri, ditemukan, serta diungkapkan secara benar
sesuai keadaan apa adanya, dan bukan apa maunya peneliti.
Paradoks Orang Bati
Sampai masa kini informasi mengenai Orang Bati di Maluku sungguh
paradoks (bertentangan) karena setiap anggota maupun kelompok masyarakat
di Maluku yang memiliki pengalaman berjumpa, bergaul, dan sebagainya
dengan Orang Bati tetapi sering dirahasiakan pada orang lain. Pengalaman
setiap anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku yang berbeda-beda
menyebabkan informasi yang benar mengenai Orang Bati sulit ditemukan.
Fenomena Orang Bati di Maluku terus mengalami paradoks karena sampai
masa kini belum ditemukan studi ilmiah mengenai mereka. Untuk itu sebagian anggota maupun kelompok masyarakat yang mendiami negeri-negeri
adat di Maluku beranggapan bahwa Orang Bati adalah manusia atau orang
ilang-ilang (hilang-hilang), manusia atau orang terbang-terbang, manusia atau
orang jahat, dan sebagainya. Persepsi dari sebagian orang luar (Orang Maluku)
terhadap Orang Bati seperti ini sebenarnya adalah stigma (anggapan negatif).
Penuturan orang luar (Orang Maluku) mengenai Orang Bati sangat
kontroversial, dan hal ini sebenarnya telah berlangsung ratusan tahun. Setelah
fenomena Orang Bati tersebut dicermati oleh peneliti sejak awal melalui cara
menutur di kalangan Orang Maluku tertentu, timbul ide bahwa mesti ada
sesuatu yang disembunyikan atau dirahasikan melalui ceritera tersebut.
Sebelum penelitian ilmiah dilakukan oleh peneliti pada lokasi Orang Bati di
Pulau Seram Bagian Timur, pada awalnya telah diupayakan untuk menghimpun informasi dari tokoh masyarakat yang mendiami negeri-negeri adat di
420
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
Maluku. Aktivitas ini mulai dilakukan peneliti sejak bulan Oktober 1985.
Tetapi belum ditemukan pintu masuk yang tepat oleh peneliti karena informasi yang berasal dari masyarakat mengenai keberadaan tokoh kunci yang
sedang dicari oleh peneliti masih simpang-siur. Kondisi tersebut makin berat
ketika daerah atau lokasi yang ditunjuk oleh masyarakat pada peneliti untuk
mencari keberadaan tokoh kunci masih sulit sarana transportasi darat dan
laut. Selain itu juga keadaan geografis maupun sarana jalan dan jembatan yang
tidak memadai karena terdapat sungai-sungai besar di Pulau Seram sehingga
langkah ke lapangan dilakukan secara bertahap. Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan studi ilmiah bertema Studi Budaya Tutur Orang AmbonMaluku Tentang Orang Bati tahun 2005.
Ternyata isu Orang Bati terus berkembang dalam berbagai ceritera oleh
anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku terus mengalami paradoks,
terutama yang berkaitan dengan isu Orang Bati pada lingkungan masyarakat
adat di Maluku. Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri adat menjadikan
isu Orang Bati sebagai ceritera turun-temurun, tanpa ada kejelasan. Ceritera
atau penuturan sebagian besar Orang Maluku mengenai Orang Bati sampai
saat ini terus krusial, dan informasinya makin paradoks 3). Fenomena yang menimbulkan pertentangan pendapat di kalangan sebagian besar Orang Maluku
mengenai Orang Bati terutama berkaitan dengan eksistensi Orang Bati sebagai
manusia maupun sukubangsa (ethnic group) atau kelompok etnik. Hal ini
dapat saja terjadi karena setiap anggota maupun kelompok masyarakat di
Maluku memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda.
Pikiran peneliti pada saat memperoleh informasi mengenai nama Orang
Bati melalui ceritera orang tua-tua mengisyaratkan bahwa ada sisi kehidupan
dari Orang Maluku atau Manusia Maluku yang belum diketahui. Fenomena
Orang Bati yang paradoks ke-mudian menimbulkan idealisme yang kuat pada
diri peneliti untuk mengetahui dan menjelaskannya secara benar kepada
publik. Bertolak dari konsep orang yang dugunakan dalam interaksi sosial di
kalangan Orang Maluku terdapat makna khas dan telah memberi dorongan
kuat yang didasarkan pada motivasi awal adalah keingintahuan berdasarkan
kepastian. Bagi peneliti sendiri, usaha menelusuri fenomena Orang Bati di
Maluku tidak dapat dilakukan secara instan, tetapi perlu dilakukan melalui
suatu proses yang secara bertahap. Ada apa sebenarnya yang terdapat di balik
konsep orang yang ditujukan pada Orang Bati sehingga persoalan tersebut
terus mengalami paradoks (bertentangan)?.
3)Pertentangan pendapat yang muncul dalam setiap perdebatan dari sebagian besar
Orang Maluku mengenai Orang Bati itu ada dan Orang Bati itu tidak ada, Orang Bati
itu manusia dan Orang Bati itu bukan manusia seperti kita, dan sebagainya sehingga
pertentangan yang berada pada dua kutub yang berbeda tersebut tidak pernah
berakhir.
421
Esuriun Orang Bati
Paradigma mengenai sebutan orang yang digunakan dalam interaksi
sosial di kalangan Orang Maluku memiliki makna berbeda-beda sehingga
menimbulkan niat yang kuat bagi peneliti untuk menemukan siapa sebenarnya yang dimaksudkan dalam konsep Orang Bati. Apa beda antara penggunaan sebutan orang yang ditujukan pada Orang Bati dengan sebutan Orang
Ambon, Orang Saparua, Orang Haruku, Orang Nusa Laut, Orang Buru, dan
lainnya di Maluku. Sebutan yang ditujukan pada Orang Bati senantiasa dikaitkan dengan nama Orang Seram, dan selama ini dimaknai negatif atau
stigma 4). Berkaitan dengan paradoks Orang Bati melalui ceritera (penuturan)
orang tua-tua yang senantiasa berputar-putar dengan makna ceritera yang
sama dan tidak pernah tuntas. Idealisme peneliti untuk menelusuri fenomena
Orang Bati secara mendalam karena nama Orang Bati seringkali menimbulkan
rasa takut pada sebagian besar Orang Maluku.
Kisah ini terus berlangsung sampai dengan saat di mana peneliti berjumpa secara tidak sengaja dengan orang tua bernama bapak DaKe yang
memiliki pengalaman hidup dan bergaul dengan Orang Seram di Pulau Seram
selama 39 tahun. Waktu ini cukup lama bagi peneliti untuk menilai bapak
DaKe sebagai sosok Orang Maluku yang memiliki pengalaman berharga dan
bisa dijadikan sebagai titik star untuk menelusuri fenomena Orang Bati di
Maluku. Perjumpaan pertama kali yang berlangsung secara tidak sengaja
antara peneliti dengan Orang Ambon-Maluku yang bernama bapak DaKe.
Pengalaman hidup dan bergaul antara bapak DaKe dengan Orang Seram,
termasuk Orang Bati dipandang berharga oleh peneliti untuk menelusuri,
memahami, dan menjelaskan secara benar mengenai fenomena yang
sementara ini dialami oleh Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa.
Kisah perjumpaan tidak sengaja antara peneliti dengan bapak DaKe sejak
bulan September 1976 dapat dikemukakan lebih lanjut.
Perjumpaan Tidak Sengaja
Waktu itu bapak DaKe baru datang dari Seram. Pengalaman merantau
yang dimiliki oleh bapak DaKe kemudian diceriterakan pada peneliti.
Penuturan bapak DaKe waktu itu menurut peneliti bahwa maknanya sangat
berbeda dengan penuturan orang tua-tua yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman merantau. Pada waktu itu dalam hati dan pikiran peneliti terus
bertanya-tanya setelah mendengar ceritera (penuturan) bapak DaKe mengenai
kehidupan Orang Seram, terutama kehidupan yang ia jalani dengan teman-
4)Anggapan umum orang luar (Orang Maluku) ketika menyebut nama Orang Bati
sebagai Orang Seram mengandung makna sebagai orang yang me-nyeramkan,
menakutkan, jahat, kasar, dan sebagainya. Lebih dari itu sebutan yang ditujukan pada
Orang Seram termasuk Orang Bati yaitu “orang atau manusia belakang tanah”.
422
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
temannya yang disapa dengan nama Orang Bati. Pengalaman peneliti ketika
berjumpa dengan bapak DaKe 5) sebagai Orang Ambon-Maluku yang memiliki
informasi mengenai Orang Bati yang diceriterakan pada tanggal 26 September
1976 ketika kami berjumpa pertama kali memiliki kesan kuat bahwa Orang
Bati itu ada, terus bagaimana cara bapak DaKe bisa berjuma, bahkan bergaul
dengan Orang Bati. Jawaban bapak DaKe pada peneliti bahwa, ceritera
tersebut cukup panjang. Tetapi hal yang pasti bahwa perjumpaan antara bapak
DaKe dengan Orang Bati bukan suatu kebetulan karena ia berusaha sendiri
untuk datang dan menemui Orang Bati di tempat kediamannya di Pulau
Seram.
Waktu itu bapak DaKe mengatakan pada peneliti bahwa ia telah berusia
58 tahun. Ia mendiami Pulau Seram selama 39 tahun, berarti pada usia 19
tahun bapak DaKe hidup terpisah dari keluarganya. Sewaktu kami berjumpa,
bapak DaKe sering menceriterakan kehidupannya di Pulau Seram. Terutama
yang berkaitan dengan pergaulan hidup yang ia jalani dengan Orang Seram,
termasuk Orang Bati. Ketika bapak DaKe menyebut nama Orang Bati, kemudian peneliti membandingkan cara penuturannya dengan cara penuturan
dari orang tua-tua mengenai kehidupan Orang Seram terutama Orang Bati
terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam hati dan pikiran peneliti yaitu
mesti penuturan dari bapak DaKe lebih masuk akal karena ia lama tinggal di
Pulau Seram. Artinya menurut peneliti bahwa kaitan antara pengalaman yang
dijalani oleh bapak DaKe sendiri ketika hidup dengan Orang Seram mesti
berbeda dengan Orang Ambon Maluku yang sama sekali tidak memiliki pengalaman bergaul Orang Seram, khususnya Orang Bati.
Melalui perjumpaan tidak sengaja dengan bapak DaKe, motivasi peneliti
makin kuat untuk me-nelusuri kehidupan Orang Bati yang dianggap oleh sebagian besar Orang Maluku sebagai sosok kehidupan manusia yang penuh
dengan misteri, maupun sebutan terhadap mereka sebagai manusia ilang-ilang
(hilang-hilang). Masih segar dalam ingatan peneliti tentang perjumpaan tidak
sengaja yang berlangsung antara peneliti dengan bapak DaKe pada tahun 1976.
Waktu itu bapak DaKe mengatakan pada peneliti bahwa ciri-ciri fisik,
kehidupan sosial, dan lainnya dari Orang Bati itu identik dengan kehidupan
Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri maupun kampung-kampung di
wilayah Maluku. Pernyataan seperti ini terus menguatkan pendirian peneliti
untuk bertemu dengan Orang Bati.
5)Waktu kami bertemu tahun 1976, bapak DaKe sudah berumur 58 tahun. Pada saat itu
ia baru datang dari Puau Seram. Menurut informasi yang disampaikan bahwa ia
berdiam di Pulau Seram 39 tahun pada saat itu, dan baru datang pertama kali ke Negeri
Siri Sori Serani pada tahun 1976. Pada waktu itu sebagian besar Orang Siri Sori Serani
tidak mengenal bapak DaKe karena mereka tidak melihatnya cukup lama, tetapi
keluarga dekat masih mengenalnya secara baik.
423
Esuriun Orang Bati
Sebagai orang tua yang memiliki pengalaman merantau ke Pulau Seram,
pada saat itu bapak DaKe cukup disegani oleh orang tua-tua di Negeri Siri Sori
Serani, karena nama Seram yang menakutkan, menyeramkan tetapi bapak
DaKe pergi ke sana dan bisa kembali dengan selamat dan utuh. Dalam pandangan orang tua-tua bahwa kondisi yang dijalani oleh bapak DaKe di Seram
mesti berbeda dengan kondisi di Negeri Siri Sori Serani. Kalau bapak DaKe ini
tidak hebat berarti ia tidak mungkin kembali. Berdasarkan penuturan orang
tua-tua di Negeri Siri Sori Serani pada peneliti saat itu bahwa bapak DaKe
pergi ke Seram karena ada masalah dengan saudaranya bernama bapak JaKe.
Itu berarti bapak DaKe ketika berada di Seram, mesti ia banyak belajar tentang
ilmu-ilmu yang dimiliki Orang Seram. Sebab waktu 39 tahun lamanya bapak
DaKe berada di Pulau Seram, mesti banyak sekali yang dipelajarinya. Apalagi
bapak DaKe sering menyebut bahwa teman-temannya yang berasal dari Bati
atau Orang Bati cukup banyak.
Selama beberapa hari bapak DaKe berada dengan keluarga kami di
Negeri Siri Sori Serani, kemudian peneliti berusaha menanyakan pengalaman
hidupnya dengan Orang Seram, karena penuturan orang tua-tua tentang
kehidupan Orang Seram senantiasa menakutkan, maupun menyeramkan
terutama mengenai Orang Bati yang disebut sebagai orang ilang-ilang (hilanghilang)? Bapak DaKe menjawab secara singkat pada peneliti bahwa jangan
cepat percaya dulu pada semua penuturan (ceritera) orang tua-tua karena hal
itu belum tentu benar. Mereka yang seringkali berceritera mengenai Orang
Seram, tetapi tidak tinggal di Seram. Bahkan ada di antara mereka yang belum
pernah ke Pulau Seram. Menurut bapak DaKe bahwa cara penuturan orang
tua-tua tentang Orang Seram mau-pun Orang Bati sama dengan ungkapan
umum Ambon-Maluku menyebutnya yaitu informasinya tersebut berasal dari
telepon tali hulaleng 6). Ada juga istilah khas yang digunakan Orang AmbonMaluku yaitu dorang (mereka) kalau tidak paham secara baik kemudian cara
menutur mulai berkembang tidak terarah, tidak jelas, atau dong sinoli atau
kewel.
Penuturan bapak DaKe bahwa Orang Seram sebenarnya tidak menakutkan, atau tidak menyeramkan. Informasi lisan yang disampaikan bapak
DaKe pada peneliti waktu itu bahwa Orang Bati itu sebenarnya ada. Tetapi
untuk menjumpai mereka cukup sulit. Artinya, mereka dapat dijumpai,
namun perlu mencari waktu dan saat yang tepat. Ketika memperoleh penuturan bapak DaKe muncul dalam hati dan pikiran peneliti waktu itu bahwa tampaknya penuturan bapak DaKe lebih masuk akal. Peneliti makin yakin bahwa
bapak DaKe tidak mungkin membohongi peneliti. Peneliti makin percaya
6)Jenis tali hutan yang digunakan untuk mengikat sesuatu barang. Jadi talinya ada tetapi
tidak dapat menyampaikan bunyi suara. Makna dari sinoli atau kewel yaitu penuturan
yang tidak benar.
424
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
karena bapak DaKe yang memiliki pengalaman hidup selama 39 tahun dengan
Orang Seram, termasuk Orang Bati, adalah sosok orang tua yang berkata jujur.
Waktu itu bapak DaKe mengemukakan bahwa, kalau tidak percaya
nanti suatu waktu ia akan mengantarkan peneliti ke Negeri Orang Bati di
Seram. Ungkapan bapak DaKe pada peneliti seperti itu menimbulkan rasa
percaya diri yang lebih dalam. Kalau ia tidak sempat mengantarkan peneliti,
nanti cari teman dekatnya yang bernama bapak Suriti. Ia tinggal di Seram.
Kalau ketemu teman baik dari bapak DaKe yang bernama bapak Suriti, nanti
minta tolong atau minta bantuan pada orang itu. Kalau kamu datang menemui
dia, dan minta tolong pasti ia akan membantu kamu dengan senang hati untuk
datang ke Negeri Orang Bati. Tetapi kami harus ingat kata-kata kuncinya
yaitu ”Hote-Banggoi-Hatumari-Samaloni-Henaratu-Siwa Lima satu tangkai”.
Perjumpaan dan pertemuan antara peneliti dengan bapak DaKe tidak lama
karena dua hari kemudian ia berpamitan pada keluarga kami di Siri Sori Serani
untuk pergi ke Pulau Ambon.
Setelah bapak DaKe pergi ke Ambon pada tahun 1976, kemudian tahun
1978 bapak DaKe datang lagi ke tempat kediaman kami di Negeri Siri Sori
Serani. Pada saat kedatangan yang ke dua kali ini bapak DaKe tinggal bersama
dengan keluarga kami selama tujuh hari. Selama bapak DaKe berada dengan
keluarga kami tujuh hari, peneliti memanfaatkan waktu tersebut untuk bertanya mengenai banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan Orang Seram.
Peneliti dan bapak DaKe sering berdiskusi tentang banyak hal yang berkaitan
dengan kehidupan Orang Seram, terutama mengenai kehidupan Orang Bati
karena peneliti beranggapan bapak DaKe sangat paham terhadap persoalan
tersebut. Ketika awal peneliti bertanya kepada bapak DaKe tentang alasan
mengapa beliau pergi ke Seram? Mengapa beliau pergi ke Ambon? Untuk
keperluan apa saja? Ia hanya menjawab bahwa ada urusan penting. Nanti pada
suatu waktu kamu akan mengetahuinya sendiri. Jawaban seperti itu membuat
peneliti tidak merasa puas. Pada waktu yang lain peneliti terus bertanya pada
bapak DaKe sampai ia menjelaskan detail mengenai kisah hidupnya di Pulau
Seram maupun di Pulau Ambon. Pada hari ke tujuh di mana kepergian bapak
DaKe peneliti sempat mengantarnya ke perbatasan negeri. Sementara kami
berjalan baru ia mengatakan yang sebenarnya bahwa ia ke Pulau Seram karena
ia tidak senang pada saudaranya yang bernama bapak JaKe, sedangkan ia ke
Pulau Ambon untuk menemui keluarganya yaitu isteri dan dua orang anak
(satu laki-laki dan satu perempuan). Mereka berdiam di Negeri Tuni Pulau
Ambon. Isteri bapak DaKe bernama PaA, dan anak-anak bernama DaA dan
HeA.
Kedatangan bapak DaKe selama tujuh hari di rumah kediaman kami di
Negeri Siri Sori Serani, ia menceriterakan secara rinci pada peneliti tentang
pergaulan hidup dengan Orang Seram, termasuk dengan teman-temannya dari
Tana (Tanah) Bati. Mereka biasanya disapa dengan nama Orang Bati. Pe-
425
Esuriun Orang Bati
nuturan bapak DaKe bahwa; (1) Teman-temannya yang berasal dari Bati
adalah orang baik. Keadaan mereka selama bergaul dengan bapak DaKe tidak
sama dengan ceritera orang tua-tua; (2) Perilaku Orang Bati selama bergaul
dengan bapak DaKe adalah sopan, saling menghormati, toleransi, dan
sebagainya. Informasi yang disampaikan oleh bapak DaKe pada peneliti
ternyata tidak sama dengan ceritera (penuturan) yang berkembang selama ini
di Maluku mengenai Orang Bati. Orang Ambon-Maluku selalu mengatakan
bahwa Orang Bati itu jahat karena suka menyakiti orang lain dengan ilmuilmunya (maksudnya adalah ilmu hitam atau black magic). Mereka itu
sebenarnya sama seperti kita Orang Ambon-Maluku, dan mereka mengetahui
bahwa di luar sana (di luar lingkungan mereka) banyak sekali anggapan
negatif (stigma) dari anggota maupun kelompok Orang Maluku yang ditujukan pada diri mereka sebagai Orang Bati.
Selama ini Orang Bati tidak pernah memberikan tanggapan balik
berupa apa pun apabila mendengar orang lain berceritera tentang diri mereka.
Sebagai Orang Bati, mereka senantiasa memilih untuk diam agar identitasnya
sama sekali tidak diketahui orang luar. Penuturan bapak DaKe mengenai
Orang Bati kali ini makin menarik, jelas, dan seru karena berisi seluruh pengalaman hidupnya. Pada saat bapak DaKe berceritera mengenai Orang Bati,
peneliti berkesempatan untuk bertanya yaitu, apakah benar-benar Orang Bati
itu ada? Bapak DaKe menjawab bahwa Orang Bati itu ada. Pernyataan bapak
DaKe seperti ini memperkuat tekad peneliti untuk datang di Tana (Tanah)
Bati guna bertemu dengan Orang Bati. Lebih lanjut peneliti menanyakan pada
bapak DaKe mengenai ceritera yang pernah peneliti peroleh dari orang tuatua, dan ia kembali bertanya pada peneliti bahwa mengapa bertanya begitu?
Jawaban peneliti bahwa, selama ini penuturan yang peneliti peroleh dari
orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani bahwa Orang Bati adalah orang ilangilang (hilang-hilang), orang yang bisa terbang, orang jahat, dan sebagainya.
Untuk itu Orang Bati sulit, bahkan tidak bisa ditemui begitu saja. Kalau Orang
Bati itu ada, tetapi mereka tidak kelihat-an, dan masih banyak anggapan
lainnya yang berkonotasi negatif.
Bapak DaKe kembali mempertegas jawabannya pada peneliti bahwa
ceritera mengenai Orang Bati yang berkembang seperti itu belum tentu benar
karena tidak sesuai dengan pengalaman hidup yang ia alami sendiri. Sekarang
tinggal percaya yang mana. Jawab sendiri. Pada saat itu peneliti lebih memilih
ceritera yang disampaikan oleh bapak DaKe karena peneliti menilai ia tidak
berbohong, dan memiliki pengalaman bergaul dengan Orang Seram, termasuk
Orang Bati cukup lama. Informasi lisan yang disampaikan oleh bapak DaKe
mengenai Orang Bati yang berkaitan dengan eksistensi mereka sebagai salah
satu sukubangsa di Seram-Maluku, dan telah menjalani hidup bermasyarakat.
Pernyataan seperti makin menarik perhatian peneliti. Namun kawasan Pulau
Seram yang diceriterakan sebagai tempat kediaman Orang Bati benar-benar
426
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
sangat asing bagi peneliti saat itu. Tetapi peneliti makin percaya pada penuturan bapak DaKe karena pengalaman bergaul dengan Orang Seram,
termasuk Orang Bati sejak bertahun-tahun sehingga ia menunjuk lokasi tidak
mungkin salah. Penurutan bapak DaKe mengenai Orang Bati saat itu meliputi
hal yang baik, maupun buruk selama mereka bergaul.
Menyimak semua penuturan bapak DaKe kemudian muncul kesan kuat
pada peneliti bahwa, sebenarnya Orang Bati itu benar-benar ada atau tidak
ada? Apakah benar mereka termasuk manusia yang baik hati. Mengapa orang
lain menceriterakan Orang Bati senantiasa mengkaitkan kehidupan mereka
sebagai orang jahat. Orang lain sering memojokkan Orang Bati pada hal-hal
yang bersifat negatif. Pertanyaan seperti di atas kemudian peneliti mulai mengutarakan niat pada bapak DaKe kalau ada kesempatan apakah peneliti boleh
ikut dengan bapak DaKe di tempat kediamannya di Seram. Bapak DaKe
menjawab bahwa, boleh saja, yang penting kamu benar-benar berkeinginan
atau berniat untuk pergi dengan beta (saya) ke Seram.
Akhirnya kami berdua sepakat bahwa suatu waktu peneliti mesti berusaha untuk datang ke tempat kediaman bapak DaKe di Pulau Seram. Makna
dari penuturan bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Seram, termasuk
Orang Bati dianggap oleh peneliti lebih jelas, riil, dan masuk akal karena
didukung oleh pengalaman hidup yang ia jalani sendiri selama 39 tahun di
Pulau Seram. Pengalaman hidup bapak DaKe dengan Orang Seram, termasuk
Orang Bati sangat berbeda dengan orang lain, sehingga menurut peneliti
bahwa ceritera bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Seram, khususnya
Orang Bati benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Setelah kami berdua
sepakat, kemudian bapak DaKe menyampaikan niat untuk pergi ke Pulau
Ambon. Pengalaman perjumpaan tidak sengaja yang berlangsung antara bapak
DaKe dengan peneliti yang kedua kalinya tahun 1978 telah memberikan
motivasi dan inspirasi yang kuat pada peneliti untuk mencari dan menemukan
Orang Bati. Apa yang terjadi kemudian setelah bapak DaKe berpamitan pada
peneliti dan keluarga untuk pergi ke Ambon? Semuanya bersifat rahasia yang
sama sekali tidak diketahui saat itu.
Kepergian Bapak DaKe
Setelah bapak DaKe berpamitan untuk pergi ke Pulau Ambon pada
minggu ke dua bulan Oktober 1978, dan akhir bulan Oktober kami sekeluarga
di Negeri Siri Sori Serani menerima informasi dari keluarga di Ambon bahwa
bapak DaKe telah meninggal dunia, dan jenazahnya telah dimakamkan di
Negeri Tuni Pulau Ambon. Kepergian bapak DaKe kali ini untuk selamalamanya, dan kami tidak pernah berjumpa lagi. Peristiwa yang menimpa
bapak DaKe kali ini sehingga ia meninggal dunia turut menggoncangkan hati
427
Esuriun Orang Bati
dan pikiran peneliti karena kesepakatan kami untuk datang ke Negeri Orang
Bati tidak mungkin diwujudkan lagi. Bagi peneliti yaitu, niat untuk datang ke
Negeri Orang Bati menjadi putus di tengah jalan. Kesepakatan peneliti dan
bapak DaKe tinggal dalam pesan lisan. Isi pesan lisan yang pernah ditinggalkan bapak DaKe pada peneliti waktu itu adalah “Kalau umur panjang
kita akan datang ke Negeri Orang Bati. Apabila suatu waktu beta (saya) tidak
dapat mengantar kamu ke Negeri Orang Bati, nanti kamu cari saja teman
dekat yang bernama Suriti. Ia tinggal di Seram. Kalau ketemu pasti ia bersedia
mengantar kamu ke atas (maksudnya ke Negeri Orang Bati)”.
Isi pesan tersebut senantiasa peneliti ingat. Setiap saat peneliti terus
berusaha mengingat kembali semua penuturan dan pesan yang pernah bapak
DaKe tinggalkan bagi peneliti selama ia masih hidup, dan nama Seram terus
terbayang dalam ingatan peneliti. Waktu itu dalam pikiran peneliti bahwa
Seram itu adalah suatu negeri atau kampung sehingga kalau ke sana dan menanyakan pada penduduk mesti bisa menemukan bapak Suriti secara mudah.
Ternyata dugaan peneliti itu salah. Setelah peneliti menanyakan hal ini pada
orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani, mereka menjawab bahwa Seram itu
besar, bukan satu kampung tetapi Seram itu adalah suatu pulau. Di Pulau
Seram terdapat banyak sekali kampung atau negeri yang ditempati oleh orang
yang bermacam-macam. Orang tua-tua malah mencegah atau melarang peneliti agar jangan ke Pulau Seram. Ungkapan orang tua-tua pada peneliti yaitu,
ose (kamu) jangan saloro (jangan coba-coba atau jangan main-main) untuk ke
Seram, sebab sampai sekarang ini Seram masih gelap 7).
Kepergian bapak DaKe pada pertengahan bulan Oktober 1978 ke Pulau
Ambon adalah perjalanan yang terakhir kali karena minggu ke tiga bulan
Oktober 1978 kami sekeluarga memperoleh informasi dari saudara di Ambon
bahwa bapak DaKe telah meninggal dunia di Negeri Tuni-Pulau Ambon.
Ketika peneliti memperoleh informasi mengenai kematian bapak DaKe saat
itu, ibarat disambar petir. Makna perjumpaan pertama kali maupun kedua
antara peneliti dengan bapak DaKe terus direnung setiap saat. Walaupun saat
ini bapak DaKe (alm) sudah tidak ada lagi karena ia telah meninggal dunia,
namun perjumpaan dengan bapak DaKe (alm) sungguh bermakna dan bermanfaat untuk mengungkap sisi kehidupan Manusia Seram yaitu Orang Bati
yang selama ini dianggap misteri oleh Orang Ambon-Maluku.
Pengalaman perjumpaan tidak sengaja yang berlangsung antara peneliti
dengan bapak DaKe yang kaya pengalaman bergaul dengan Orang Seram,
khususnya Orang Bati terus membangkitkan minat pada peneliti untuk
mengetahui persoalan tersebut secara lebih mendalam karena dianggap oleh
peneliti bahwa in-formasi yang disampaikan oleh bapak DaKe lebih aktual
7)Makna dari kata gelap yaitu suatu kondisi atau keadaan yang sama sekali belum,
bahkan tidak diketahui secara benar sehingga dapat menyulitkan diri sendiri.
428
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
dan benar apabila dibandingkan dengan ceritera dari orang tua-tua.
Pengalaman hidup yang di-jalani oleh bapak DaKe dengan Orang-Orang
Seram, termasuk Orang Bati yang diceriterakan secara rinci pada peneliti telah
memberikan dorongan kiat dan membangkitkan minat untuk menelusuri
fenomena Orang Bati secara lebih mendalam. Dalam hal ini yang perlu
dicermati oleh seorang peneliti kualitatif yaitu suatu fenomena sosial yang
muncul melalui ceritera atau penuturan ada sisi benar, tetapi ada juga yang
tidak benar, bahkan bisa menyesatkan.
Untuk itu mendalami ceritera atau penuturan memiliki berbagai
makna, dan hal ini sangat tergantung pada isu apa yang dianggap relevan dan
layak untuk dilakukan penelitian ilmiah. Sebab semua ceritera atau penuturan
dari masyarakat belum tenttu menjadi isu menarik, maupun menjadi suatu
masalah penelitian kualitatif yang perlu dicari solusinya. Fenomena Orang
Bati di Maluku menurut pandangan peneliti adalah layak untuk dijadikan
sebagai masalah penelitian ilmiah karena sifatnya paradoks antara isu dengan
pengalaman hidup seseorang tentang Orang Bati seperti dijalani oleh bapak
DaKe di Pulau Seram. Oleh peneliti, kehidupan yang dijalani oleh bapak DaKe
dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menelusuri, memahami, dan
menjelaskan fenomena Orang Bati secara baik dan benar apabila fakta tersebut
ditemukan melalui suatu penelitian ilmiah yang mendalam. Kisah ini oleh
peneliti dimaknai sebagai pengenalan ceritera mengenai kehidupan Orang
Seram, khususnya Orang Bati sehingga terus membangkitkan minat pada diri
peneliti untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskannya secara benar
pada publik, terutama yang berkaitan dengan mitos orang atau manusia ilangilang (hilang-hilang), orang atau manusia misteri, dan sebagainya.
Dari Pengenalan Ceritera Orang Bati ke Minat
Setelah melanjutkan studi pada Jurusan Sosiologi Universitas PattimuraAmbon, ternyata peneliti sering mendengar ceritera (penuturan) orang tuatua di Ambon tentang Orang Bati. Bahkan di Ambon, ceritera tersebut lebih
mengemuka, baik pada lingkungan permukiman, pekerjaan, sampai di rumahrumah kopi. Ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun 1984
peneliti mendapat lokasi di Waipia Seram Selatan, Kabupaten Maluku Tengah.
Selama berada di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN), peneliti sering mendengar
informasi yang berkaitan dengan Orang Bati. Orang Waipia tidak menyebut
nama Orang Bati tetapi mereka menyebutnya culet 8). Kesempatan tersebut digunakan oleh peneliti untuk menelusuri informasi mengenai kehidupan
Orang Seram dan khususnya Orang Bati. Namun informasi yang peneliti perMaknanya yaitu sosok orang atau manusia yang sering melakukan serangan
pemenggalan kepala manusia untuk kepentingan ritual adat tertentu pada suku-suku
tertentu di Pulau Seram pada masa lampau.
8)
429
Esuriun Orang Bati
oleh dari masyarakat di sekitar wilayah ini sama sekali belum memberikan
titik terang karena mereka bukan penduduk asli Pulau Seram. Mereka adalah
penduduk yang berasal dari Pulau Teon, Nilai, dan Serua yang dievakuasi oleh
Pemerintah Provinsi Maluku sekitar tahun 1970-an karena bencana alam
gunung berapi.
Setelah peneliti menyelesaikan studi pada Jurusan Sosiologi Universitas
Pattimura bulan September 1985, maka peneliti mengambil keputusan untuk
menelusuri Pulau Seram. Langkah pasti dari peneliti untuk memasuki Pulau
Seram yang sudah dicanangkan kemudian dilaksanakan. Ceritera (penuturan)
dari sebagian besar penduduk yang mendiami Pulau Seram Tengah bagian
selatan yang dijumpai peneliti cukup marak mengenai fenomena Orang Bati.
Anggapan mereka semua yang dijumpai oleh peneliti adalah sama karena
Orang Bati dianggap sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang),
orang jahat, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian peneliti memutuskan untuk kembali menelusuri informasi pada penduduk di
Pulau Seram Tengah bagian selatan.
Langkah Awal Peneliti Menelusuri Pulau Seram
Pada tanggal 15 Oktober 1985 peneliti mulai melangkah menuju Pulau
Seram Tengah bagian selatan dengan tujuan kedatang yaitu Negeri Amahai,
kemudian menuju ke Dusun Yalahatan dan Hatumari di Negeri Tamilou.
Lokasi ini dijadikan tujuan pertama peneliti waktu itu karena selama hidup
dari bapak DaKe ia sering datang ke daerah tersebut. Setelah peneliti datang
ke lokasi tersebut, ternyata informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa
bapak DaKe tidak datang di tempat itu saja. Tokoh adat yang berhasil dijumpai
oleh peneliti di daerah ini menyarankan agar peneliti mencari informasi lebih
jauh pada orang-orang di Negeri Tehoru, Lapa, Laiumu, Werinama, Wahai,
dan juga di wilayah Seram Barat di Negeri Buria, Kairatu, Piru, dan lainnya
sebab bapak DaKe sering datang ke tempat-tempat tersebut.
Pertimbangan untuk datang di Negeri Tamilou karena bapak DaKe
(alm) pernah mengingatkan peneliti bahwa di Pulau Seram ini ada katong
(kita) punya basudara. Masyarakat Tamilou di Pulau Seram memiliki hubungan orang basudara atau orang gandong yang disapa bongso dengan
masyarakat Negeri Siri Sori Serani di Pulau Saparua. Pilihan ini dianggap
mudah untuk dilakukan karena menyapa bongso mesti peneliti bisa dibantu
dengan senang hati tanpa menuntut imbalan. Kondisi kendaraan angkutan
darat di kala itu tergolong masih sangat sulit. Untuk itu perjalanan kaki yang
dilakukan oleh peneliti menuju Negeri Tamilou dimulai dari Negeri Amahai.
Jarak tempuh dari Negeri Amahai menuju Negeri Tamilou kurang lebih 102
km. Pada saat itu peneliti berangkat dari Negeri Amahai sekitar jam 06.30 Wit
430
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
pagi dan tiba di Hatumari (Hatu = batu, dan Mari = panggil atau game) jam
18.00 Wit.
Setelah melewati sore hari di Hatumari, kemudian peneliti kembali di
Dusun Yalahatan. Waktu itu peneliti menyebut diri adalah bongso dari Negeri
Siri Sori Serani, kemudian peneliti diantar oleh bapak IbPa ke rumah Kepala
Dusun Yalahatan. Ketika berada di Dusun Yalahatan, peneliti diminta untuk
menginap di rumah kediaman Kepala Dusun Yalahatan yaitu bongso W
karena hari makin larut malam. Peneliti mengiyakan permintaan bongso W.
Waktu itu hari makin gelap, dan malam segera tiba. Peneliti diundang untuk
makan malam bersama dengan keluarga bongso W. Selesai makan malam,
bongso W menanyakan maksud kedatangan peneliti ke Hatumari di Negeri
Tamilou. Peneliti menjelaskan tentang maksud untuk mencari seorang teman
(sahabat) yang bernama bapak Suriti. Ia berteman baik dengan saudara peneliti yang bernama bapak DaKe (alm). Bongso W menjelaskan kalau nama
bapak DaKe (alm) mereka sangat mengenalnya, karena itu katong pung
basudara (kita punya basudara) dari Siri Sori Serani. Tetapi kalau nama bapak
Suriti, mereka belum mengenal. Tetapi bongso W menyampaikan bahwa
nanti ia tanyakan pada basudara lain di Negeri Tamilou mungkin saja ada
orang yang pernah mengenalnya.
Keesokan harinya peneliti berpamitan untuk datang ke Negeri Tamilou.
Setelah berada di Negeri Tamilou, ternyata nama bapak Suriti juga tidak ada
warga yang mengenalnya. Hanya ada informasi yaitu, tanyakan pada bongso
Asa, sebab ia adalah orang yang sering pergi di tempat-tempat lain di Seram,
mungkin ia bisa membantu. Namun pada saat itu bongso Asa sementara tidak
berada di Negeri Tamilou. Warga di Negeri Tamilou menyebutkan bahwa,
nama ini mesti nama yang dimiliki oleh orang-orang yang mendiami wilayah
pegunungan atau mereka yang mendiami wilayah pedalaman di Pulau Seram
atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Anggota masyarakat di Negeri Tamilou menjanjikan nanti mereka mencari informasi mengenai nama tersebut. Apabila mereka
sudah menemukan orang tersebut baru mereka sampaikan pesannya. Lama
sudah tidak ada berita sama sekali dari basudara di Negeri Tamilou.
Minat peneliti untuk menemui Orang Bati terus bergulir setiap saat
sehingga usaha mengidentifikasi informasi awal dilakukan kembali. Setiap kali
berjumpa dengan basudara atau bongso Tamilou di Ambon, peneliti senantiasa
me-nanyakan informasi tentang keberadaan bapak Suriti. Namun belum ada
informasi lanjut. Sambil menunggu informasi dari basudara di Negeri Tamilou,
peneliti melakukan kegitaan untuk mengidentifikan ulang semua informasi
awal dari masyarakat yang berkaitan dengan fenomena Orang Bati. Perjalanan
peneliti ke Pulau Seram pernah mengalami hambatan cukup lama karena
kondisi sarana perhubungan darat, laut, dan komunikasi waktu itu cukup sulit.
Untuk itu aktivitas mencari tokoh kunci tersebut pernah berhenti cukup lama
431
Esuriun Orang Bati
selain kondisi tersebut di atas, kemudian bertambah berat ketika wilayah
Maluku dilanda konflik sosial yang cukup lama.
Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku Tentang Orang Bati
Usaha melakukan identifikasi informasi awal mengenai fenomena
Orang Bati di Maluku penting dan tergolong krusial. Melalui Studi Budaya
Tutur Orang Ambon-Maluku tentang Orang Bati yang dilakukan oleh peneliti
sejak tahun 2005 pada lingkungan masyarakat adat Ambon-Maluku yang
mendiami Pulau Ambon, Saparua, Nusa Laut, Buru, Banda, dan Seram (Seram
Barat dan Seram Tengah Bagian Selatan). Tokoh spiritual (maweng) yang
dijumpai di Ambon-Maluku maupun Seram sering mencegah peneliti agar
tidak melakukan studi pada Orang Bati. Hal yang sama juga dialami oleh peneliti ketika berkonsultasi dengan Prof. DR. J. W. Ayawaila, DEA (pa Jop)
pada bulan September 2008. Pa Jop (adalah nama inisial) untuk Prof. DR. J. W.
Ayawaila, DEA di mana beliau sendiri menyarankan pada peneliti agar jangan
mengambil tema mengenai Orang Bati. Menurut pak Jop, karena tema itu
sulit, karena ia memiliki pengalaman di mana ada orang yang pernah gagal
ketika melakukan studi ini pada masa lampau. Namun pa Jop tidak
menyebutkan siapa sebenarnya yang pernah gagal menulis ilmiah tentang
Orang Bati.
Kata-kata peneliti yang disampaikan pada pak Jop waktu itu ada-lah
beta (saya) akan berusaha masuk dalam Dunia Orang Bati melalui pintu
rumah, bukan lewat jendela atau tempat lain, pak Jop. Kata pak Jop, ini
pendapat menarik. Pa Jop juga bertanya pada peneliti bahwa, apakah orang
yang pernah gagal menulis tentang Orang Bati masuk melalui jendela Piet.
Peneliti menjawab bahwa, mungkin saja begitu pa Jop, sehingga pemilik
rumah marah tidak memberikan restu, bahkan orang yang bersangkutan bisa
diusir untuk ke luar dari rumah. Waktu itu peneliti belum memberitahukan
pada pa Jop bahwa peneliti sudah bertemu dengan leluhur Orang Bati
(Manusia Batti) maupun dengan Orang Bati yang mendiami Kampung atau
Dusun (Wanuya) Bati Kilusi (Bati Garuda), Rumbou, Rumoga, Kian Darat,
Kufarbolowin, dan Madak.
Unntuk memasuki Dunia Orang Bati di Pulau Seram sesungguhnya
tidak bisa menggunakan surat izin dari instansi pemerintah terkait. Orang Bati
tidak mengenal itu sama sekali. Apalagi “Manusia Batti” tidak mengenal izin
semcam itu. Izin untuk memasuki Dunia Orang Bati yang sesungguhnya yaitu
melakukan ritual atau fakur. Ritual khusus untuk keperluan ini hanya bisa
dilakukan oleh Maweng (ahli spiritual) yang paham tentang dunia riligi
Alifuru Seram. Ingat, tidak semua Maweng mengetahui hal ini. Untuk itu
sekali lagi peneliti ingatkan pada siapa saja bahwa, orang yang memperoleh
432
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
restu untuk masuk dalam Dunia Orang Bati adalah Piet-Bati. Sebab restu ini
diperoleh melalui pertarungan nyawa, dan ada tanda khusus yang dimiliki
oleh Piet-Bati. Untuk itu jangan main-main atau coba-coba menulis mengenai
Orang Bati kalau tidak memiliki restu dari leluhur Orang Bati. Hakikatnya
bisa fatal karena nyawa setiap orang hanya satu, dan tidak bisa tergantikan.
Melalui kesempatan ini peneliti sekali mengingatkan bahwa untuk menemui
Orang Bati itu mudah, tetapi menemui leluhur Orang Bati yang bernama
“Manusia Batti” tidak mudah karena rahasia perjalanannya harus dipahami
secara benar, dan itu hanya ada di Piet-Bati.
Ungkapan pa Jop lebih lanjut yaitu, kalau tekad dan niat Piet sudah
bulat, torang tra bisa bikin apa-apa (kita tidak bisa berbuat apa-apa). Piet
memang wataknya begitu. Mau apa lagi torang. Beta (saya) mendoakan saja
semoga Piet dapat menjalani rencana ini secara baik, tetapi berhasil. Kalau ini
berhasil Piet, ngoni (kamu) terus sekolah sudah Piet. Peneliti menjawab pasti,
yang penting pa Jop bersedia membantu peneliti. Pa Jop menjawab yaitu pasti
saya membantu selama bisa saya bantu. Pertimbangan peneliti untuk melakukan Studi Budaya Tutur sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri
dalam menyiapkan studi yang lebih mendalam. Hasil studi budaya tutur pada
Orang Ambon-Maluku teridentifikasi sebagai berikut; (1) Ada anggota masyarakat yang pernah bertemu dengan Orang Bati secara tidak sengaja; (2) Ada
anggota masyarakat yang pernah datang dan tinggal untuk sementara waktu di
perkampungan Orang Bati, kemudian kembali lagi; (3) Ada anggota masyarakat yang mendengar tentang Orang Bati melalui ceritera secara turuntemurun dari orang tua mereka sendiri; (4) Ada anggota masyarakat yang
memperoleh informasi tentang Orang Bati dari tetangga; (5) Ada anggota
masyarakat yang memperol
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI
di MALUKU
Pengantar
Fenomena Orang Bati di Maluku tergolong sangat khas. Ketika nama
Orang Bati untuk pertama kali peneliti pertanggungjawabkan secara ilmiah
melalui ujian terbuka Program Doktor Studi Pembangunan di Universitas
Kristen Satya Wacana-Salatiga, menandai 27 tahun (1985-2012) adalah perjalanan waktu yang dibutuhkan untuk menelusuri, menemukan, dan menulis
secara ilmiah mengenai Orang Bati di Maluku. Tema utama Diserta ini adalah
Esuriun Orang Bati (Esu = Hutan dan Riun = Ribuan), adalah kisah turunnya
leluhur Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae
yeisa tua ukara) untuk melindungi hak milik (mabangat nai tua malindung)
seluruh hak milik yang berharga meliputi manusia, tanah, hutan, identitas,
adat, budaya, sumber daya alam, dan lainnya yang berada dalam etar (wilayah
milik marga) dan terdapat dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) orang
Bati untuk bertahan hidup (survival strategy).
Penelitian ilmiah untuk mengungkap fenoeman Orang Bati dengan
menggunakan metode kualitatif bersumber pada pengalaman lapangan dari
peneliti sendiri. Bersumber pada pengalaman empirik ketika pertama kali
peneliti memperoleh informasi awal, perjumpaan tidak sengaja, pengenalan
ceritera ke minat, menelusuri Pulau Seram, studi budaya tutur, mencari dan
menemukan tokoh kunci, menjalani inisiasi, mencari Negeri Orang Bati,
perjumpaan pertama kali dengan Orang Bati, negosiasi meneliti dan menulis,
survai (penjajakan awal) ke lokasi pe-nelitian, masuk lapangan untuk mendalami dunia dunia Orang Bati. Kondisi yang berlangsung demikian membutuhkan langkah tepat untuk melakukan penelitian ilmiah secara mendalam,
sebab sampai masa kini fenomena Orang Bati di Maluku belum dijumpai
informasi ilmiah yang benar.
Sampai saat ini informasi yang berkembang di kalangan Orang Maluku
mengenai Orang Bati berupa penuturan (ceritera lisan) secara turun-temurun.
Persoalan yang muncul kemudian yaitu, ceritera tentang Orang Bati yang berkembang di kalangan Orang Maluku berbeda-beda, karena pengalaman
masing-masing anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku ketika berjumpa, bergaul, dan sebagainya dengan Orang Bati tidak sama. Sebagian besar
Orang Maluku yang berceritera mengenai Orang Bati mengadung stigma
416
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
(anggapan negatif) sehingga informasi mengenai Orang Bati terus mengalami
paradoks (bertentangan) di kalangan Orang Maluku.
Perdebatan yang berlangsung di kalangan Orang Maluku mengenai
fenomena Orang Bati tidak pernah berakhir. Orang Bati distigma sebagai
orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), misteri, jahat, dan sebagainya.
Penelitian ilmiah untuk memahami dan menjelaskan tentang fenomena yang
dialami Orang Bati oleh peneliti dengan mengembangkan metode penelitian
kualitatif yang dinamakan Studi Etnografi Orang Bati di Maluku dimaksudkan
bahwa melalui pendekatan kebudayaan secara holistik dapat mengungkap
persoalan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa, serta
kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) pada Orang Bati secara
individu maupun kelompok melalui cara menelusuri informasi awal melalui
cara yang dilakukan khusus oleh peneliti dalam menghadapi kasus seperti
Orang Bati di Maluku.
Informasi Awal
Pertama kali peneliti memperoleh informasi awal mengenai Orang Bati
yang lahir dari pengalaman empirik yaitu melalui informasi secara lisan berupa ceritera (penuturan) orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani, Kecamatan
Saparua, Kabupaten Maluku Tengah pada bulan Mei tahun 1973. Negeri Siri
Sori Serani berada di Pulau Saparua, adalah pulau yang terletak di bagian selatan Pulau Seram. Orang-orang yang mendiami Pulau Saparua, Haruku, dan
Nusa Laut dinamakan Kepulauan Lease, yang berasal dari nama Uliaser. Secara umum dapat dikemukakan bahwa penduduk atau orang-orang yang
mendiami setiap negeri adat di Pulau Saparua memiliki wilayah kekuasaan
atau petuanan sendiri-sendiri.
Orang asli yang mendiami negeri adat tertentu menyebut diri sebagai
“anak negeri”, sedangkan orang lain yang datang maupun menetap di suatu
negeri adat dinamakan “orang dagang”. Secara struktural, setiap negeri adat di
Pulau Saparua memiliki ciri sebagai Orang Pata Siwa dan Orang Pata Lima.
Stuktur sosial paling dasar dalam kehidupan orang-orang yang men-diami
negeri adat di Pulau Saparua yaitu “mata-rumah” dan soa. Mata-rumah
senantiasa terikat dalam soa sebagai struktur yang lebih besar dari “matarumah”. Pada setiap negeri adat memiliki jumlah soa yang tidak sama, dan memiliki nama soa yang berbeda-beda. Solidaritas sosial dalam lingkungan soa
pada umumnya sangat kuat, dan informasi awal mengenai nama Orang Bati
peneliti peroleh dari orang tua-tua yang berada dalam lingkungan Soa Hawoni
di Negeri Siri Sori Serani.
Negeri Siri Sori Serani merupakan salah satu negeri adat yang terdapat
di Pulau Saparua. Kisah yang dialami peneliti saat itu di Negeri Sori Serani
417
Esuriun Orang Bati
ketika memperoleh informasi awal mengenai nama Orang Bati yaitu; (1) Pada
bulan Mei 1973. Waktu itu pagi hari, peneliti sedang membersihkan rumput
di halaman rumah atau kintal 1). Tiba-tiba berdatangan beberapa orang tua-tua.
Jumlah orang tua-tua saat itu sebanyak enam orang. Ketika enam orang tuatua ini berkumpul, kemudian salah seorang dari mereka mulai berceritera
(menutur) tentang peristiwa atau kejadian yang berlangsung pada malam hari
sebelumnya di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Peristiwa yang
diceriterakan yaitu berkaitan dengan aktivitas warga yang mengejar sosok
manusia atau orang yang diduga hendak mencuri (maling). Ada dugaan kuat
dari orang tua-tua bahwa kehadiran orang yang tidak dikenal tersebut berkaitan dengan isu serangan pemenggalan kepala manusia (potong kepala), atau
orang tersebut bermaksud mencuri, dan berbagai dugaan lainnya; (2) Setelah
warga melakukan pengejaran, ternyata orang yang dikejar pada malam hari
tersebut tidak ditemukan. Bahkan orang yang dikejar secara tiba-tiba dapat
menghilang secara cepat, dan jejaknya tidak bisa ditemukan; (3) Orang tua-tua
menyimpulkan bahwa fenomena itu ada hubungan dengan kehadiran orang
atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang) dalam wilayah petuanan (daerah kekuasaan) Negeri Siri Sori Serani; (4) Isu mengenai kehadiran orang atau
manusia ilang-ilang (hilang-hilang) terus bergulir sehingga warga lainnya
perlu mewaspadai situasi yang lagi genting.
Fenomena yang dialami oleh warga menurut ceritera (penuturan) orang
tua-tua, kemudian mereka mulai mengkaitkannya dengan nama Orang Bati.
Sebab menurut anggapan mereka semua yang terlibat dalam berceritera
bahwa orang yang dapat menghilang secara cepat ketika dilakukan pengejaran
oleh warga adalah Orang Bati. Diskusi orang tua-tua makin seru namun alot.
Mereka mulai mengkaitkan persoalan tersebut dengan waktu yang tepat
(tanoar) di mana saat itu di Negeri Siri Sori Serani mulai bertiup angin timur 2).
Setelah muncul nama Orang Bati, kemudian ceritera (penuturan) tentang
maling, orang ilang-ilang (hilang-hilang), dan sebagainya menjadi tidak terarah. Ketika awal peneliti memperoleh informasi mengenai nama Orang Bati,
sama sekali tidak ada gambaran seperti apa orang yang sedang dibicarakan
oleh orang tua-tua. Peneliti tidak bertanya pada mereka, sebab kalau bertanya
mereka pasti marah karena ceritera yang berlangsung di antara mereka masih
1)Pekarangan rumah milik marga, adalah bidang tanah yang dapat digunakan sebagai
tempat menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan lainnya. Kintal juga terdiri dari
tanah kosong yang dijadikan sebagai tempat bermain bagi anak-anak, dan sebagainya.
2)Kebiasaan orang tua-tua kalau sudah bertiupnya angin yang kencang dari arah timur
mereka sering menghubungkannya dengan kedatangan Orang Bati. Sebab ceritera
turun-temurun yang masih dipercaya oleh mereka bahwa Orang Bati biasanya datang
dengan cara terbang ketika angin timur mulai bertiup sangat kencang, dan Orang Bati
akan kembali ke negeri asalnya ketika angin barat mulai bertiup sangat kencang. Atau
pada saat matahari sedang cerah tiba-tiba turun hujan (hujan-panas) biasanya Orang
Bati sedang ke luar, dan lainnya.
418
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
seru. Semua yang diceriterakan oleh orang tua-tua tersebut, peneliti berusaha
untuk mengingatnya secara baik.
Pada tempat yang lain, ternyata ceritera seperti ini juga berkembang di
kalangan orang tua-tua yang berbeda. Bahkan di negeri-negeri lain peneliti
sering mendengar ceritera yang sama. Biasanya cerita (penuturan) orang tuatua mengenai Orang Bati berhenti apabila di antara mereka tidak ada kata
sepakat. Setelah kelompok orang tua-tua yang berceritera tadi bubar, kemudian timbul berbagai macam pertanyaan dalam pikiran dan hati peneliti.
Tetapi pertanyaan mendasar yang muncul saat itu pada peneliti, apakah benar
itu Orang Bati? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh peneliti sebagai dugaan
sementara bahwa kalau itu benar, berarti Orang Bati itu adalah manusia yang
sangat hebat. Apabila dugaan peneliti ini salah, maka ada sesuatu yang tidak
benar dan secara sengaja informasi mengenai ceritera orang tua-tua mengenai
Orang Bati ada yang disembunyikan. Dalam perjalanan waktu cukup panjang,
peneliti berasumsi atau menduga bahwa; (1) Semua ceritera yang berkembang
di kalangan Orang Maluku mengenai Orang Bati belum tentu benar; (2)
Ceritera Orang Maluku mengenai Orang Bati ada unsur kesengajaan dan mengandung rahasia tertentu yang tidak diceriterakan; (3) Orang Maluku yang
berceritera mengenai Orang Bati tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui
dan memahami persoalan Orang Bati yang sesungguhnya, tetapi berusaha
menjelaskan sehingga informasi tersebut menjadi paradoks.
Informasi lisan yang berkembang dalam masyarakat mengenai Orang
Bati terus menimbulkan pertanyaan dalam hati dan pikiran peneliti bahwa apa
sebenarnya yang harus dilakukan oleh seorang peneliti kualitatif dalam
menghadapi persoalan seperti dihadapi oleh Orang Bati di Maluku? Jawaban
terhadap pertanyaan ini adalah seorang peneliti kualitatif harus siap menghadapi berbagai resiko studi. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah; (1)
Memiliki idealisme dan beusaha untuk menguasai seluk-beluk keadaan
lapangan yang menjadi objek studinya; (2) Memiliki kepekaaan terhadap
informasi yang berkembang dalam masyarakat; (3) Menguasai cara dalam
mengembangkan teknik pendekatan personal dan pendekatan sosial terhadap
situasi sosial secara benar; (40 Melakukan proses seleksi untuk menentukan
informan kunci yang tepat ketika merencanakan, menyusun, dan melaksanakan penelitian ilmiah; (5) Melakukan pemetaan wilayah penelitian
secara tepat sehingga persiapan untuk memulai penelitian kualitatif dapat
dilakukan secara baik; (6) Menguasai keadaan lapangan secara benar sehingga
data strategi pengumpulan data lapangan dapat dilakukan secara baik dan
benar; (7) Dalam melakukan penelitian kualitatif yang di-perlukan adalah
proses yang dimulai dari cara pengamatan, pengumpulan data lapangan,
menyusun transkrip data, interpertasi data, dan analisis data; (8) Memiliki
semangat untuk bekerja keras, pantang mundur, dan kerjalah dengan kesungguhan hati (nurani) yang bersih dan diwujudkan melalui “niat” untuk
419
Esuriun Orang Bati
me-mahami dan menjelaskan suatu isu, maupun fenomena sosial yang dihadapi oleh masyarakat untuk menemukan solusi yang benar; (9) Menguasai
teknik verifikasi data lapangan secara benar karena setiap kondisi sosial
senantiasa berbeda, sehingga tidak boleh mengabaikan tempat, waktu, dan
biaya; (10) Memiliki kejujuran untuk mengungkap realitas seperti apa adanya,
dan bukan apa maunya peneliti; (11) Memegang teguh etika penelitian
kualitatif sehingga menjaga sikap dan perilaku pada seorang peneliti kualitatif
selalu berada pada posisi indenpenden untuk menyuarakan kebenaran yang
ditemukan; (12) Posisi seorang peneliti kualitatif yaitu ia datang untuk belajar
dari masyarakat, dan bukan mengajarkan masyarakat; (13) Sikap dan perilaku
dari seorang peneliti kualitatif adalah menghormati tradisi, adat-istiadat,
kebudayaan, dan lainnya pada lingkungan masyarakat yang diteliti; (14)
Untuk mendukung aktivitas di lapangan maka seorang peneliti kualitatif perlu
mengembangkan metode berlajar bersama masyarakat (informan) sehingga
informasi yang diperoleh dari lapangan dapat menjawab tujuan penelitian,
sehingga informasi mengenai Orang Bati yang terus mengalami paradoks
dalam masyarakat dapat ditelusuri, ditemukan, serta diungkapkan secara benar
sesuai keadaan apa adanya, dan bukan apa maunya peneliti.
Paradoks Orang Bati
Sampai masa kini informasi mengenai Orang Bati di Maluku sungguh
paradoks (bertentangan) karena setiap anggota maupun kelompok masyarakat
di Maluku yang memiliki pengalaman berjumpa, bergaul, dan sebagainya
dengan Orang Bati tetapi sering dirahasiakan pada orang lain. Pengalaman
setiap anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku yang berbeda-beda
menyebabkan informasi yang benar mengenai Orang Bati sulit ditemukan.
Fenomena Orang Bati di Maluku terus mengalami paradoks karena sampai
masa kini belum ditemukan studi ilmiah mengenai mereka. Untuk itu sebagian anggota maupun kelompok masyarakat yang mendiami negeri-negeri
adat di Maluku beranggapan bahwa Orang Bati adalah manusia atau orang
ilang-ilang (hilang-hilang), manusia atau orang terbang-terbang, manusia atau
orang jahat, dan sebagainya. Persepsi dari sebagian orang luar (Orang Maluku)
terhadap Orang Bati seperti ini sebenarnya adalah stigma (anggapan negatif).
Penuturan orang luar (Orang Maluku) mengenai Orang Bati sangat
kontroversial, dan hal ini sebenarnya telah berlangsung ratusan tahun. Setelah
fenomena Orang Bati tersebut dicermati oleh peneliti sejak awal melalui cara
menutur di kalangan Orang Maluku tertentu, timbul ide bahwa mesti ada
sesuatu yang disembunyikan atau dirahasikan melalui ceritera tersebut.
Sebelum penelitian ilmiah dilakukan oleh peneliti pada lokasi Orang Bati di
Pulau Seram Bagian Timur, pada awalnya telah diupayakan untuk menghimpun informasi dari tokoh masyarakat yang mendiami negeri-negeri adat di
420
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
Maluku. Aktivitas ini mulai dilakukan peneliti sejak bulan Oktober 1985.
Tetapi belum ditemukan pintu masuk yang tepat oleh peneliti karena informasi yang berasal dari masyarakat mengenai keberadaan tokoh kunci yang
sedang dicari oleh peneliti masih simpang-siur. Kondisi tersebut makin berat
ketika daerah atau lokasi yang ditunjuk oleh masyarakat pada peneliti untuk
mencari keberadaan tokoh kunci masih sulit sarana transportasi darat dan
laut. Selain itu juga keadaan geografis maupun sarana jalan dan jembatan yang
tidak memadai karena terdapat sungai-sungai besar di Pulau Seram sehingga
langkah ke lapangan dilakukan secara bertahap. Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan studi ilmiah bertema Studi Budaya Tutur Orang AmbonMaluku Tentang Orang Bati tahun 2005.
Ternyata isu Orang Bati terus berkembang dalam berbagai ceritera oleh
anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku terus mengalami paradoks,
terutama yang berkaitan dengan isu Orang Bati pada lingkungan masyarakat
adat di Maluku. Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri adat menjadikan
isu Orang Bati sebagai ceritera turun-temurun, tanpa ada kejelasan. Ceritera
atau penuturan sebagian besar Orang Maluku mengenai Orang Bati sampai
saat ini terus krusial, dan informasinya makin paradoks 3). Fenomena yang menimbulkan pertentangan pendapat di kalangan sebagian besar Orang Maluku
mengenai Orang Bati terutama berkaitan dengan eksistensi Orang Bati sebagai
manusia maupun sukubangsa (ethnic group) atau kelompok etnik. Hal ini
dapat saja terjadi karena setiap anggota maupun kelompok masyarakat di
Maluku memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda.
Pikiran peneliti pada saat memperoleh informasi mengenai nama Orang
Bati melalui ceritera orang tua-tua mengisyaratkan bahwa ada sisi kehidupan
dari Orang Maluku atau Manusia Maluku yang belum diketahui. Fenomena
Orang Bati yang paradoks ke-mudian menimbulkan idealisme yang kuat pada
diri peneliti untuk mengetahui dan menjelaskannya secara benar kepada
publik. Bertolak dari konsep orang yang dugunakan dalam interaksi sosial di
kalangan Orang Maluku terdapat makna khas dan telah memberi dorongan
kuat yang didasarkan pada motivasi awal adalah keingintahuan berdasarkan
kepastian. Bagi peneliti sendiri, usaha menelusuri fenomena Orang Bati di
Maluku tidak dapat dilakukan secara instan, tetapi perlu dilakukan melalui
suatu proses yang secara bertahap. Ada apa sebenarnya yang terdapat di balik
konsep orang yang ditujukan pada Orang Bati sehingga persoalan tersebut
terus mengalami paradoks (bertentangan)?.
3)Pertentangan pendapat yang muncul dalam setiap perdebatan dari sebagian besar
Orang Maluku mengenai Orang Bati itu ada dan Orang Bati itu tidak ada, Orang Bati
itu manusia dan Orang Bati itu bukan manusia seperti kita, dan sebagainya sehingga
pertentangan yang berada pada dua kutub yang berbeda tersebut tidak pernah
berakhir.
421
Esuriun Orang Bati
Paradigma mengenai sebutan orang yang digunakan dalam interaksi
sosial di kalangan Orang Maluku memiliki makna berbeda-beda sehingga
menimbulkan niat yang kuat bagi peneliti untuk menemukan siapa sebenarnya yang dimaksudkan dalam konsep Orang Bati. Apa beda antara penggunaan sebutan orang yang ditujukan pada Orang Bati dengan sebutan Orang
Ambon, Orang Saparua, Orang Haruku, Orang Nusa Laut, Orang Buru, dan
lainnya di Maluku. Sebutan yang ditujukan pada Orang Bati senantiasa dikaitkan dengan nama Orang Seram, dan selama ini dimaknai negatif atau
stigma 4). Berkaitan dengan paradoks Orang Bati melalui ceritera (penuturan)
orang tua-tua yang senantiasa berputar-putar dengan makna ceritera yang
sama dan tidak pernah tuntas. Idealisme peneliti untuk menelusuri fenomena
Orang Bati secara mendalam karena nama Orang Bati seringkali menimbulkan
rasa takut pada sebagian besar Orang Maluku.
Kisah ini terus berlangsung sampai dengan saat di mana peneliti berjumpa secara tidak sengaja dengan orang tua bernama bapak DaKe yang
memiliki pengalaman hidup dan bergaul dengan Orang Seram di Pulau Seram
selama 39 tahun. Waktu ini cukup lama bagi peneliti untuk menilai bapak
DaKe sebagai sosok Orang Maluku yang memiliki pengalaman berharga dan
bisa dijadikan sebagai titik star untuk menelusuri fenomena Orang Bati di
Maluku. Perjumpaan pertama kali yang berlangsung secara tidak sengaja
antara peneliti dengan Orang Ambon-Maluku yang bernama bapak DaKe.
Pengalaman hidup dan bergaul antara bapak DaKe dengan Orang Seram,
termasuk Orang Bati dipandang berharga oleh peneliti untuk menelusuri,
memahami, dan menjelaskan secara benar mengenai fenomena yang
sementara ini dialami oleh Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa.
Kisah perjumpaan tidak sengaja antara peneliti dengan bapak DaKe sejak
bulan September 1976 dapat dikemukakan lebih lanjut.
Perjumpaan Tidak Sengaja
Waktu itu bapak DaKe baru datang dari Seram. Pengalaman merantau
yang dimiliki oleh bapak DaKe kemudian diceriterakan pada peneliti.
Penuturan bapak DaKe waktu itu menurut peneliti bahwa maknanya sangat
berbeda dengan penuturan orang tua-tua yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman merantau. Pada waktu itu dalam hati dan pikiran peneliti terus
bertanya-tanya setelah mendengar ceritera (penuturan) bapak DaKe mengenai
kehidupan Orang Seram, terutama kehidupan yang ia jalani dengan teman-
4)Anggapan umum orang luar (Orang Maluku) ketika menyebut nama Orang Bati
sebagai Orang Seram mengandung makna sebagai orang yang me-nyeramkan,
menakutkan, jahat, kasar, dan sebagainya. Lebih dari itu sebutan yang ditujukan pada
Orang Seram termasuk Orang Bati yaitu “orang atau manusia belakang tanah”.
422
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
temannya yang disapa dengan nama Orang Bati. Pengalaman peneliti ketika
berjumpa dengan bapak DaKe 5) sebagai Orang Ambon-Maluku yang memiliki
informasi mengenai Orang Bati yang diceriterakan pada tanggal 26 September
1976 ketika kami berjumpa pertama kali memiliki kesan kuat bahwa Orang
Bati itu ada, terus bagaimana cara bapak DaKe bisa berjuma, bahkan bergaul
dengan Orang Bati. Jawaban bapak DaKe pada peneliti bahwa, ceritera
tersebut cukup panjang. Tetapi hal yang pasti bahwa perjumpaan antara bapak
DaKe dengan Orang Bati bukan suatu kebetulan karena ia berusaha sendiri
untuk datang dan menemui Orang Bati di tempat kediamannya di Pulau
Seram.
Waktu itu bapak DaKe mengatakan pada peneliti bahwa ia telah berusia
58 tahun. Ia mendiami Pulau Seram selama 39 tahun, berarti pada usia 19
tahun bapak DaKe hidup terpisah dari keluarganya. Sewaktu kami berjumpa,
bapak DaKe sering menceriterakan kehidupannya di Pulau Seram. Terutama
yang berkaitan dengan pergaulan hidup yang ia jalani dengan Orang Seram,
termasuk Orang Bati. Ketika bapak DaKe menyebut nama Orang Bati, kemudian peneliti membandingkan cara penuturannya dengan cara penuturan
dari orang tua-tua mengenai kehidupan Orang Seram terutama Orang Bati
terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam hati dan pikiran peneliti yaitu
mesti penuturan dari bapak DaKe lebih masuk akal karena ia lama tinggal di
Pulau Seram. Artinya menurut peneliti bahwa kaitan antara pengalaman yang
dijalani oleh bapak DaKe sendiri ketika hidup dengan Orang Seram mesti
berbeda dengan Orang Ambon Maluku yang sama sekali tidak memiliki pengalaman bergaul Orang Seram, khususnya Orang Bati.
Melalui perjumpaan tidak sengaja dengan bapak DaKe, motivasi peneliti
makin kuat untuk me-nelusuri kehidupan Orang Bati yang dianggap oleh sebagian besar Orang Maluku sebagai sosok kehidupan manusia yang penuh
dengan misteri, maupun sebutan terhadap mereka sebagai manusia ilang-ilang
(hilang-hilang). Masih segar dalam ingatan peneliti tentang perjumpaan tidak
sengaja yang berlangsung antara peneliti dengan bapak DaKe pada tahun 1976.
Waktu itu bapak DaKe mengatakan pada peneliti bahwa ciri-ciri fisik,
kehidupan sosial, dan lainnya dari Orang Bati itu identik dengan kehidupan
Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri maupun kampung-kampung di
wilayah Maluku. Pernyataan seperti ini terus menguatkan pendirian peneliti
untuk bertemu dengan Orang Bati.
5)Waktu kami bertemu tahun 1976, bapak DaKe sudah berumur 58 tahun. Pada saat itu
ia baru datang dari Puau Seram. Menurut informasi yang disampaikan bahwa ia
berdiam di Pulau Seram 39 tahun pada saat itu, dan baru datang pertama kali ke Negeri
Siri Sori Serani pada tahun 1976. Pada waktu itu sebagian besar Orang Siri Sori Serani
tidak mengenal bapak DaKe karena mereka tidak melihatnya cukup lama, tetapi
keluarga dekat masih mengenalnya secara baik.
423
Esuriun Orang Bati
Sebagai orang tua yang memiliki pengalaman merantau ke Pulau Seram,
pada saat itu bapak DaKe cukup disegani oleh orang tua-tua di Negeri Siri Sori
Serani, karena nama Seram yang menakutkan, menyeramkan tetapi bapak
DaKe pergi ke sana dan bisa kembali dengan selamat dan utuh. Dalam pandangan orang tua-tua bahwa kondisi yang dijalani oleh bapak DaKe di Seram
mesti berbeda dengan kondisi di Negeri Siri Sori Serani. Kalau bapak DaKe ini
tidak hebat berarti ia tidak mungkin kembali. Berdasarkan penuturan orang
tua-tua di Negeri Siri Sori Serani pada peneliti saat itu bahwa bapak DaKe
pergi ke Seram karena ada masalah dengan saudaranya bernama bapak JaKe.
Itu berarti bapak DaKe ketika berada di Seram, mesti ia banyak belajar tentang
ilmu-ilmu yang dimiliki Orang Seram. Sebab waktu 39 tahun lamanya bapak
DaKe berada di Pulau Seram, mesti banyak sekali yang dipelajarinya. Apalagi
bapak DaKe sering menyebut bahwa teman-temannya yang berasal dari Bati
atau Orang Bati cukup banyak.
Selama beberapa hari bapak DaKe berada dengan keluarga kami di
Negeri Siri Sori Serani, kemudian peneliti berusaha menanyakan pengalaman
hidupnya dengan Orang Seram, karena penuturan orang tua-tua tentang
kehidupan Orang Seram senantiasa menakutkan, maupun menyeramkan
terutama mengenai Orang Bati yang disebut sebagai orang ilang-ilang (hilanghilang)? Bapak DaKe menjawab secara singkat pada peneliti bahwa jangan
cepat percaya dulu pada semua penuturan (ceritera) orang tua-tua karena hal
itu belum tentu benar. Mereka yang seringkali berceritera mengenai Orang
Seram, tetapi tidak tinggal di Seram. Bahkan ada di antara mereka yang belum
pernah ke Pulau Seram. Menurut bapak DaKe bahwa cara penuturan orang
tua-tua tentang Orang Seram mau-pun Orang Bati sama dengan ungkapan
umum Ambon-Maluku menyebutnya yaitu informasinya tersebut berasal dari
telepon tali hulaleng 6). Ada juga istilah khas yang digunakan Orang AmbonMaluku yaitu dorang (mereka) kalau tidak paham secara baik kemudian cara
menutur mulai berkembang tidak terarah, tidak jelas, atau dong sinoli atau
kewel.
Penuturan bapak DaKe bahwa Orang Seram sebenarnya tidak menakutkan, atau tidak menyeramkan. Informasi lisan yang disampaikan bapak
DaKe pada peneliti waktu itu bahwa Orang Bati itu sebenarnya ada. Tetapi
untuk menjumpai mereka cukup sulit. Artinya, mereka dapat dijumpai,
namun perlu mencari waktu dan saat yang tepat. Ketika memperoleh penuturan bapak DaKe muncul dalam hati dan pikiran peneliti waktu itu bahwa tampaknya penuturan bapak DaKe lebih masuk akal. Peneliti makin yakin bahwa
bapak DaKe tidak mungkin membohongi peneliti. Peneliti makin percaya
6)Jenis tali hutan yang digunakan untuk mengikat sesuatu barang. Jadi talinya ada tetapi
tidak dapat menyampaikan bunyi suara. Makna dari sinoli atau kewel yaitu penuturan
yang tidak benar.
424
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
karena bapak DaKe yang memiliki pengalaman hidup selama 39 tahun dengan
Orang Seram, termasuk Orang Bati, adalah sosok orang tua yang berkata jujur.
Waktu itu bapak DaKe mengemukakan bahwa, kalau tidak percaya
nanti suatu waktu ia akan mengantarkan peneliti ke Negeri Orang Bati di
Seram. Ungkapan bapak DaKe pada peneliti seperti itu menimbulkan rasa
percaya diri yang lebih dalam. Kalau ia tidak sempat mengantarkan peneliti,
nanti cari teman dekatnya yang bernama bapak Suriti. Ia tinggal di Seram.
Kalau ketemu teman baik dari bapak DaKe yang bernama bapak Suriti, nanti
minta tolong atau minta bantuan pada orang itu. Kalau kamu datang menemui
dia, dan minta tolong pasti ia akan membantu kamu dengan senang hati untuk
datang ke Negeri Orang Bati. Tetapi kami harus ingat kata-kata kuncinya
yaitu ”Hote-Banggoi-Hatumari-Samaloni-Henaratu-Siwa Lima satu tangkai”.
Perjumpaan dan pertemuan antara peneliti dengan bapak DaKe tidak lama
karena dua hari kemudian ia berpamitan pada keluarga kami di Siri Sori Serani
untuk pergi ke Pulau Ambon.
Setelah bapak DaKe pergi ke Ambon pada tahun 1976, kemudian tahun
1978 bapak DaKe datang lagi ke tempat kediaman kami di Negeri Siri Sori
Serani. Pada saat kedatangan yang ke dua kali ini bapak DaKe tinggal bersama
dengan keluarga kami selama tujuh hari. Selama bapak DaKe berada dengan
keluarga kami tujuh hari, peneliti memanfaatkan waktu tersebut untuk bertanya mengenai banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan Orang Seram.
Peneliti dan bapak DaKe sering berdiskusi tentang banyak hal yang berkaitan
dengan kehidupan Orang Seram, terutama mengenai kehidupan Orang Bati
karena peneliti beranggapan bapak DaKe sangat paham terhadap persoalan
tersebut. Ketika awal peneliti bertanya kepada bapak DaKe tentang alasan
mengapa beliau pergi ke Seram? Mengapa beliau pergi ke Ambon? Untuk
keperluan apa saja? Ia hanya menjawab bahwa ada urusan penting. Nanti pada
suatu waktu kamu akan mengetahuinya sendiri. Jawaban seperti itu membuat
peneliti tidak merasa puas. Pada waktu yang lain peneliti terus bertanya pada
bapak DaKe sampai ia menjelaskan detail mengenai kisah hidupnya di Pulau
Seram maupun di Pulau Ambon. Pada hari ke tujuh di mana kepergian bapak
DaKe peneliti sempat mengantarnya ke perbatasan negeri. Sementara kami
berjalan baru ia mengatakan yang sebenarnya bahwa ia ke Pulau Seram karena
ia tidak senang pada saudaranya yang bernama bapak JaKe, sedangkan ia ke
Pulau Ambon untuk menemui keluarganya yaitu isteri dan dua orang anak
(satu laki-laki dan satu perempuan). Mereka berdiam di Negeri Tuni Pulau
Ambon. Isteri bapak DaKe bernama PaA, dan anak-anak bernama DaA dan
HeA.
Kedatangan bapak DaKe selama tujuh hari di rumah kediaman kami di
Negeri Siri Sori Serani, ia menceriterakan secara rinci pada peneliti tentang
pergaulan hidup dengan Orang Seram, termasuk dengan teman-temannya dari
Tana (Tanah) Bati. Mereka biasanya disapa dengan nama Orang Bati. Pe-
425
Esuriun Orang Bati
nuturan bapak DaKe bahwa; (1) Teman-temannya yang berasal dari Bati
adalah orang baik. Keadaan mereka selama bergaul dengan bapak DaKe tidak
sama dengan ceritera orang tua-tua; (2) Perilaku Orang Bati selama bergaul
dengan bapak DaKe adalah sopan, saling menghormati, toleransi, dan
sebagainya. Informasi yang disampaikan oleh bapak DaKe pada peneliti
ternyata tidak sama dengan ceritera (penuturan) yang berkembang selama ini
di Maluku mengenai Orang Bati. Orang Ambon-Maluku selalu mengatakan
bahwa Orang Bati itu jahat karena suka menyakiti orang lain dengan ilmuilmunya (maksudnya adalah ilmu hitam atau black magic). Mereka itu
sebenarnya sama seperti kita Orang Ambon-Maluku, dan mereka mengetahui
bahwa di luar sana (di luar lingkungan mereka) banyak sekali anggapan
negatif (stigma) dari anggota maupun kelompok Orang Maluku yang ditujukan pada diri mereka sebagai Orang Bati.
Selama ini Orang Bati tidak pernah memberikan tanggapan balik
berupa apa pun apabila mendengar orang lain berceritera tentang diri mereka.
Sebagai Orang Bati, mereka senantiasa memilih untuk diam agar identitasnya
sama sekali tidak diketahui orang luar. Penuturan bapak DaKe mengenai
Orang Bati kali ini makin menarik, jelas, dan seru karena berisi seluruh pengalaman hidupnya. Pada saat bapak DaKe berceritera mengenai Orang Bati,
peneliti berkesempatan untuk bertanya yaitu, apakah benar-benar Orang Bati
itu ada? Bapak DaKe menjawab bahwa Orang Bati itu ada. Pernyataan bapak
DaKe seperti ini memperkuat tekad peneliti untuk datang di Tana (Tanah)
Bati guna bertemu dengan Orang Bati. Lebih lanjut peneliti menanyakan pada
bapak DaKe mengenai ceritera yang pernah peneliti peroleh dari orang tuatua, dan ia kembali bertanya pada peneliti bahwa mengapa bertanya begitu?
Jawaban peneliti bahwa, selama ini penuturan yang peneliti peroleh dari
orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani bahwa Orang Bati adalah orang ilangilang (hilang-hilang), orang yang bisa terbang, orang jahat, dan sebagainya.
Untuk itu Orang Bati sulit, bahkan tidak bisa ditemui begitu saja. Kalau Orang
Bati itu ada, tetapi mereka tidak kelihat-an, dan masih banyak anggapan
lainnya yang berkonotasi negatif.
Bapak DaKe kembali mempertegas jawabannya pada peneliti bahwa
ceritera mengenai Orang Bati yang berkembang seperti itu belum tentu benar
karena tidak sesuai dengan pengalaman hidup yang ia alami sendiri. Sekarang
tinggal percaya yang mana. Jawab sendiri. Pada saat itu peneliti lebih memilih
ceritera yang disampaikan oleh bapak DaKe karena peneliti menilai ia tidak
berbohong, dan memiliki pengalaman bergaul dengan Orang Seram, termasuk
Orang Bati cukup lama. Informasi lisan yang disampaikan oleh bapak DaKe
mengenai Orang Bati yang berkaitan dengan eksistensi mereka sebagai salah
satu sukubangsa di Seram-Maluku, dan telah menjalani hidup bermasyarakat.
Pernyataan seperti makin menarik perhatian peneliti. Namun kawasan Pulau
Seram yang diceriterakan sebagai tempat kediaman Orang Bati benar-benar
426
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
sangat asing bagi peneliti saat itu. Tetapi peneliti makin percaya pada penuturan bapak DaKe karena pengalaman bergaul dengan Orang Seram,
termasuk Orang Bati sejak bertahun-tahun sehingga ia menunjuk lokasi tidak
mungkin salah. Penurutan bapak DaKe mengenai Orang Bati saat itu meliputi
hal yang baik, maupun buruk selama mereka bergaul.
Menyimak semua penuturan bapak DaKe kemudian muncul kesan kuat
pada peneliti bahwa, sebenarnya Orang Bati itu benar-benar ada atau tidak
ada? Apakah benar mereka termasuk manusia yang baik hati. Mengapa orang
lain menceriterakan Orang Bati senantiasa mengkaitkan kehidupan mereka
sebagai orang jahat. Orang lain sering memojokkan Orang Bati pada hal-hal
yang bersifat negatif. Pertanyaan seperti di atas kemudian peneliti mulai mengutarakan niat pada bapak DaKe kalau ada kesempatan apakah peneliti boleh
ikut dengan bapak DaKe di tempat kediamannya di Seram. Bapak DaKe
menjawab bahwa, boleh saja, yang penting kamu benar-benar berkeinginan
atau berniat untuk pergi dengan beta (saya) ke Seram.
Akhirnya kami berdua sepakat bahwa suatu waktu peneliti mesti berusaha untuk datang ke tempat kediaman bapak DaKe di Pulau Seram. Makna
dari penuturan bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Seram, termasuk
Orang Bati dianggap oleh peneliti lebih jelas, riil, dan masuk akal karena
didukung oleh pengalaman hidup yang ia jalani sendiri selama 39 tahun di
Pulau Seram. Pengalaman hidup bapak DaKe dengan Orang Seram, termasuk
Orang Bati sangat berbeda dengan orang lain, sehingga menurut peneliti
bahwa ceritera bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Seram, khususnya
Orang Bati benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Setelah kami berdua
sepakat, kemudian bapak DaKe menyampaikan niat untuk pergi ke Pulau
Ambon. Pengalaman perjumpaan tidak sengaja yang berlangsung antara bapak
DaKe dengan peneliti yang kedua kalinya tahun 1978 telah memberikan
motivasi dan inspirasi yang kuat pada peneliti untuk mencari dan menemukan
Orang Bati. Apa yang terjadi kemudian setelah bapak DaKe berpamitan pada
peneliti dan keluarga untuk pergi ke Ambon? Semuanya bersifat rahasia yang
sama sekali tidak diketahui saat itu.
Kepergian Bapak DaKe
Setelah bapak DaKe berpamitan untuk pergi ke Pulau Ambon pada
minggu ke dua bulan Oktober 1978, dan akhir bulan Oktober kami sekeluarga
di Negeri Siri Sori Serani menerima informasi dari keluarga di Ambon bahwa
bapak DaKe telah meninggal dunia, dan jenazahnya telah dimakamkan di
Negeri Tuni Pulau Ambon. Kepergian bapak DaKe kali ini untuk selamalamanya, dan kami tidak pernah berjumpa lagi. Peristiwa yang menimpa
bapak DaKe kali ini sehingga ia meninggal dunia turut menggoncangkan hati
427
Esuriun Orang Bati
dan pikiran peneliti karena kesepakatan kami untuk datang ke Negeri Orang
Bati tidak mungkin diwujudkan lagi. Bagi peneliti yaitu, niat untuk datang ke
Negeri Orang Bati menjadi putus di tengah jalan. Kesepakatan peneliti dan
bapak DaKe tinggal dalam pesan lisan. Isi pesan lisan yang pernah ditinggalkan bapak DaKe pada peneliti waktu itu adalah “Kalau umur panjang
kita akan datang ke Negeri Orang Bati. Apabila suatu waktu beta (saya) tidak
dapat mengantar kamu ke Negeri Orang Bati, nanti kamu cari saja teman
dekat yang bernama Suriti. Ia tinggal di Seram. Kalau ketemu pasti ia bersedia
mengantar kamu ke atas (maksudnya ke Negeri Orang Bati)”.
Isi pesan tersebut senantiasa peneliti ingat. Setiap saat peneliti terus
berusaha mengingat kembali semua penuturan dan pesan yang pernah bapak
DaKe tinggalkan bagi peneliti selama ia masih hidup, dan nama Seram terus
terbayang dalam ingatan peneliti. Waktu itu dalam pikiran peneliti bahwa
Seram itu adalah suatu negeri atau kampung sehingga kalau ke sana dan menanyakan pada penduduk mesti bisa menemukan bapak Suriti secara mudah.
Ternyata dugaan peneliti itu salah. Setelah peneliti menanyakan hal ini pada
orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani, mereka menjawab bahwa Seram itu
besar, bukan satu kampung tetapi Seram itu adalah suatu pulau. Di Pulau
Seram terdapat banyak sekali kampung atau negeri yang ditempati oleh orang
yang bermacam-macam. Orang tua-tua malah mencegah atau melarang peneliti agar jangan ke Pulau Seram. Ungkapan orang tua-tua pada peneliti yaitu,
ose (kamu) jangan saloro (jangan coba-coba atau jangan main-main) untuk ke
Seram, sebab sampai sekarang ini Seram masih gelap 7).
Kepergian bapak DaKe pada pertengahan bulan Oktober 1978 ke Pulau
Ambon adalah perjalanan yang terakhir kali karena minggu ke tiga bulan
Oktober 1978 kami sekeluarga memperoleh informasi dari saudara di Ambon
bahwa bapak DaKe telah meninggal dunia di Negeri Tuni-Pulau Ambon.
Ketika peneliti memperoleh informasi mengenai kematian bapak DaKe saat
itu, ibarat disambar petir. Makna perjumpaan pertama kali maupun kedua
antara peneliti dengan bapak DaKe terus direnung setiap saat. Walaupun saat
ini bapak DaKe (alm) sudah tidak ada lagi karena ia telah meninggal dunia,
namun perjumpaan dengan bapak DaKe (alm) sungguh bermakna dan bermanfaat untuk mengungkap sisi kehidupan Manusia Seram yaitu Orang Bati
yang selama ini dianggap misteri oleh Orang Ambon-Maluku.
Pengalaman perjumpaan tidak sengaja yang berlangsung antara peneliti
dengan bapak DaKe yang kaya pengalaman bergaul dengan Orang Seram,
khususnya Orang Bati terus membangkitkan minat pada peneliti untuk
mengetahui persoalan tersebut secara lebih mendalam karena dianggap oleh
peneliti bahwa in-formasi yang disampaikan oleh bapak DaKe lebih aktual
7)Makna dari kata gelap yaitu suatu kondisi atau keadaan yang sama sekali belum,
bahkan tidak diketahui secara benar sehingga dapat menyulitkan diri sendiri.
428
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
dan benar apabila dibandingkan dengan ceritera dari orang tua-tua.
Pengalaman hidup yang di-jalani oleh bapak DaKe dengan Orang-Orang
Seram, termasuk Orang Bati yang diceriterakan secara rinci pada peneliti telah
memberikan dorongan kiat dan membangkitkan minat untuk menelusuri
fenomena Orang Bati secara lebih mendalam. Dalam hal ini yang perlu
dicermati oleh seorang peneliti kualitatif yaitu suatu fenomena sosial yang
muncul melalui ceritera atau penuturan ada sisi benar, tetapi ada juga yang
tidak benar, bahkan bisa menyesatkan.
Untuk itu mendalami ceritera atau penuturan memiliki berbagai
makna, dan hal ini sangat tergantung pada isu apa yang dianggap relevan dan
layak untuk dilakukan penelitian ilmiah. Sebab semua ceritera atau penuturan
dari masyarakat belum tenttu menjadi isu menarik, maupun menjadi suatu
masalah penelitian kualitatif yang perlu dicari solusinya. Fenomena Orang
Bati di Maluku menurut pandangan peneliti adalah layak untuk dijadikan
sebagai masalah penelitian ilmiah karena sifatnya paradoks antara isu dengan
pengalaman hidup seseorang tentang Orang Bati seperti dijalani oleh bapak
DaKe di Pulau Seram. Oleh peneliti, kehidupan yang dijalani oleh bapak DaKe
dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menelusuri, memahami, dan
menjelaskan fenomena Orang Bati secara baik dan benar apabila fakta tersebut
ditemukan melalui suatu penelitian ilmiah yang mendalam. Kisah ini oleh
peneliti dimaknai sebagai pengenalan ceritera mengenai kehidupan Orang
Seram, khususnya Orang Bati sehingga terus membangkitkan minat pada diri
peneliti untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskannya secara benar
pada publik, terutama yang berkaitan dengan mitos orang atau manusia ilangilang (hilang-hilang), orang atau manusia misteri, dan sebagainya.
Dari Pengenalan Ceritera Orang Bati ke Minat
Setelah melanjutkan studi pada Jurusan Sosiologi Universitas PattimuraAmbon, ternyata peneliti sering mendengar ceritera (penuturan) orang tuatua di Ambon tentang Orang Bati. Bahkan di Ambon, ceritera tersebut lebih
mengemuka, baik pada lingkungan permukiman, pekerjaan, sampai di rumahrumah kopi. Ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun 1984
peneliti mendapat lokasi di Waipia Seram Selatan, Kabupaten Maluku Tengah.
Selama berada di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN), peneliti sering mendengar
informasi yang berkaitan dengan Orang Bati. Orang Waipia tidak menyebut
nama Orang Bati tetapi mereka menyebutnya culet 8). Kesempatan tersebut digunakan oleh peneliti untuk menelusuri informasi mengenai kehidupan
Orang Seram dan khususnya Orang Bati. Namun informasi yang peneliti perMaknanya yaitu sosok orang atau manusia yang sering melakukan serangan
pemenggalan kepala manusia untuk kepentingan ritual adat tertentu pada suku-suku
tertentu di Pulau Seram pada masa lampau.
8)
429
Esuriun Orang Bati
oleh dari masyarakat di sekitar wilayah ini sama sekali belum memberikan
titik terang karena mereka bukan penduduk asli Pulau Seram. Mereka adalah
penduduk yang berasal dari Pulau Teon, Nilai, dan Serua yang dievakuasi oleh
Pemerintah Provinsi Maluku sekitar tahun 1970-an karena bencana alam
gunung berapi.
Setelah peneliti menyelesaikan studi pada Jurusan Sosiologi Universitas
Pattimura bulan September 1985, maka peneliti mengambil keputusan untuk
menelusuri Pulau Seram. Langkah pasti dari peneliti untuk memasuki Pulau
Seram yang sudah dicanangkan kemudian dilaksanakan. Ceritera (penuturan)
dari sebagian besar penduduk yang mendiami Pulau Seram Tengah bagian
selatan yang dijumpai peneliti cukup marak mengenai fenomena Orang Bati.
Anggapan mereka semua yang dijumpai oleh peneliti adalah sama karena
Orang Bati dianggap sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang),
orang jahat, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian peneliti memutuskan untuk kembali menelusuri informasi pada penduduk di
Pulau Seram Tengah bagian selatan.
Langkah Awal Peneliti Menelusuri Pulau Seram
Pada tanggal 15 Oktober 1985 peneliti mulai melangkah menuju Pulau
Seram Tengah bagian selatan dengan tujuan kedatang yaitu Negeri Amahai,
kemudian menuju ke Dusun Yalahatan dan Hatumari di Negeri Tamilou.
Lokasi ini dijadikan tujuan pertama peneliti waktu itu karena selama hidup
dari bapak DaKe ia sering datang ke daerah tersebut. Setelah peneliti datang
ke lokasi tersebut, ternyata informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa
bapak DaKe tidak datang di tempat itu saja. Tokoh adat yang berhasil dijumpai
oleh peneliti di daerah ini menyarankan agar peneliti mencari informasi lebih
jauh pada orang-orang di Negeri Tehoru, Lapa, Laiumu, Werinama, Wahai,
dan juga di wilayah Seram Barat di Negeri Buria, Kairatu, Piru, dan lainnya
sebab bapak DaKe sering datang ke tempat-tempat tersebut.
Pertimbangan untuk datang di Negeri Tamilou karena bapak DaKe
(alm) pernah mengingatkan peneliti bahwa di Pulau Seram ini ada katong
(kita) punya basudara. Masyarakat Tamilou di Pulau Seram memiliki hubungan orang basudara atau orang gandong yang disapa bongso dengan
masyarakat Negeri Siri Sori Serani di Pulau Saparua. Pilihan ini dianggap
mudah untuk dilakukan karena menyapa bongso mesti peneliti bisa dibantu
dengan senang hati tanpa menuntut imbalan. Kondisi kendaraan angkutan
darat di kala itu tergolong masih sangat sulit. Untuk itu perjalanan kaki yang
dilakukan oleh peneliti menuju Negeri Tamilou dimulai dari Negeri Amahai.
Jarak tempuh dari Negeri Amahai menuju Negeri Tamilou kurang lebih 102
km. Pada saat itu peneliti berangkat dari Negeri Amahai sekitar jam 06.30 Wit
430
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
pagi dan tiba di Hatumari (Hatu = batu, dan Mari = panggil atau game) jam
18.00 Wit.
Setelah melewati sore hari di Hatumari, kemudian peneliti kembali di
Dusun Yalahatan. Waktu itu peneliti menyebut diri adalah bongso dari Negeri
Siri Sori Serani, kemudian peneliti diantar oleh bapak IbPa ke rumah Kepala
Dusun Yalahatan. Ketika berada di Dusun Yalahatan, peneliti diminta untuk
menginap di rumah kediaman Kepala Dusun Yalahatan yaitu bongso W
karena hari makin larut malam. Peneliti mengiyakan permintaan bongso W.
Waktu itu hari makin gelap, dan malam segera tiba. Peneliti diundang untuk
makan malam bersama dengan keluarga bongso W. Selesai makan malam,
bongso W menanyakan maksud kedatangan peneliti ke Hatumari di Negeri
Tamilou. Peneliti menjelaskan tentang maksud untuk mencari seorang teman
(sahabat) yang bernama bapak Suriti. Ia berteman baik dengan saudara peneliti yang bernama bapak DaKe (alm). Bongso W menjelaskan kalau nama
bapak DaKe (alm) mereka sangat mengenalnya, karena itu katong pung
basudara (kita punya basudara) dari Siri Sori Serani. Tetapi kalau nama bapak
Suriti, mereka belum mengenal. Tetapi bongso W menyampaikan bahwa
nanti ia tanyakan pada basudara lain di Negeri Tamilou mungkin saja ada
orang yang pernah mengenalnya.
Keesokan harinya peneliti berpamitan untuk datang ke Negeri Tamilou.
Setelah berada di Negeri Tamilou, ternyata nama bapak Suriti juga tidak ada
warga yang mengenalnya. Hanya ada informasi yaitu, tanyakan pada bongso
Asa, sebab ia adalah orang yang sering pergi di tempat-tempat lain di Seram,
mungkin ia bisa membantu. Namun pada saat itu bongso Asa sementara tidak
berada di Negeri Tamilou. Warga di Negeri Tamilou menyebutkan bahwa,
nama ini mesti nama yang dimiliki oleh orang-orang yang mendiami wilayah
pegunungan atau mereka yang mendiami wilayah pedalaman di Pulau Seram
atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Anggota masyarakat di Negeri Tamilou menjanjikan nanti mereka mencari informasi mengenai nama tersebut. Apabila mereka
sudah menemukan orang tersebut baru mereka sampaikan pesannya. Lama
sudah tidak ada berita sama sekali dari basudara di Negeri Tamilou.
Minat peneliti untuk menemui Orang Bati terus bergulir setiap saat
sehingga usaha mengidentifikasi informasi awal dilakukan kembali. Setiap kali
berjumpa dengan basudara atau bongso Tamilou di Ambon, peneliti senantiasa
me-nanyakan informasi tentang keberadaan bapak Suriti. Namun belum ada
informasi lanjut. Sambil menunggu informasi dari basudara di Negeri Tamilou,
peneliti melakukan kegitaan untuk mengidentifikan ulang semua informasi
awal dari masyarakat yang berkaitan dengan fenomena Orang Bati. Perjalanan
peneliti ke Pulau Seram pernah mengalami hambatan cukup lama karena
kondisi sarana perhubungan darat, laut, dan komunikasi waktu itu cukup sulit.
Untuk itu aktivitas mencari tokoh kunci tersebut pernah berhenti cukup lama
431
Esuriun Orang Bati
selain kondisi tersebut di atas, kemudian bertambah berat ketika wilayah
Maluku dilanda konflik sosial yang cukup lama.
Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku Tentang Orang Bati
Usaha melakukan identifikasi informasi awal mengenai fenomena
Orang Bati di Maluku penting dan tergolong krusial. Melalui Studi Budaya
Tutur Orang Ambon-Maluku tentang Orang Bati yang dilakukan oleh peneliti
sejak tahun 2005 pada lingkungan masyarakat adat Ambon-Maluku yang
mendiami Pulau Ambon, Saparua, Nusa Laut, Buru, Banda, dan Seram (Seram
Barat dan Seram Tengah Bagian Selatan). Tokoh spiritual (maweng) yang
dijumpai di Ambon-Maluku maupun Seram sering mencegah peneliti agar
tidak melakukan studi pada Orang Bati. Hal yang sama juga dialami oleh peneliti ketika berkonsultasi dengan Prof. DR. J. W. Ayawaila, DEA (pa Jop)
pada bulan September 2008. Pa Jop (adalah nama inisial) untuk Prof. DR. J. W.
Ayawaila, DEA di mana beliau sendiri menyarankan pada peneliti agar jangan
mengambil tema mengenai Orang Bati. Menurut pak Jop, karena tema itu
sulit, karena ia memiliki pengalaman di mana ada orang yang pernah gagal
ketika melakukan studi ini pada masa lampau. Namun pa Jop tidak
menyebutkan siapa sebenarnya yang pernah gagal menulis ilmiah tentang
Orang Bati.
Kata-kata peneliti yang disampaikan pada pak Jop waktu itu ada-lah
beta (saya) akan berusaha masuk dalam Dunia Orang Bati melalui pintu
rumah, bukan lewat jendela atau tempat lain, pak Jop. Kata pak Jop, ini
pendapat menarik. Pa Jop juga bertanya pada peneliti bahwa, apakah orang
yang pernah gagal menulis tentang Orang Bati masuk melalui jendela Piet.
Peneliti menjawab bahwa, mungkin saja begitu pa Jop, sehingga pemilik
rumah marah tidak memberikan restu, bahkan orang yang bersangkutan bisa
diusir untuk ke luar dari rumah. Waktu itu peneliti belum memberitahukan
pada pa Jop bahwa peneliti sudah bertemu dengan leluhur Orang Bati
(Manusia Batti) maupun dengan Orang Bati yang mendiami Kampung atau
Dusun (Wanuya) Bati Kilusi (Bati Garuda), Rumbou, Rumoga, Kian Darat,
Kufarbolowin, dan Madak.
Unntuk memasuki Dunia Orang Bati di Pulau Seram sesungguhnya
tidak bisa menggunakan surat izin dari instansi pemerintah terkait. Orang Bati
tidak mengenal itu sama sekali. Apalagi “Manusia Batti” tidak mengenal izin
semcam itu. Izin untuk memasuki Dunia Orang Bati yang sesungguhnya yaitu
melakukan ritual atau fakur. Ritual khusus untuk keperluan ini hanya bisa
dilakukan oleh Maweng (ahli spiritual) yang paham tentang dunia riligi
Alifuru Seram. Ingat, tidak semua Maweng mengetahui hal ini. Untuk itu
sekali lagi peneliti ingatkan pada siapa saja bahwa, orang yang memperoleh
432
STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI di MALUKU
restu untuk masuk dalam Dunia Orang Bati adalah Piet-Bati. Sebab restu ini
diperoleh melalui pertarungan nyawa, dan ada tanda khusus yang dimiliki
oleh Piet-Bati. Untuk itu jangan main-main atau coba-coba menulis mengenai
Orang Bati kalau tidak memiliki restu dari leluhur Orang Bati. Hakikatnya
bisa fatal karena nyawa setiap orang hanya satu, dan tidak bisa tergantikan.
Melalui kesempatan ini peneliti sekali mengingatkan bahwa untuk menemui
Orang Bati itu mudah, tetapi menemui leluhur Orang Bati yang bernama
“Manusia Batti” tidak mudah karena rahasia perjalanannya harus dipahami
secara benar, dan itu hanya ada di Piet-Bati.
Ungkapan pa Jop lebih lanjut yaitu, kalau tekad dan niat Piet sudah
bulat, torang tra bisa bikin apa-apa (kita tidak bisa berbuat apa-apa). Piet
memang wataknya begitu. Mau apa lagi torang. Beta (saya) mendoakan saja
semoga Piet dapat menjalani rencana ini secara baik, tetapi berhasil. Kalau ini
berhasil Piet, ngoni (kamu) terus sekolah sudah Piet. Peneliti menjawab pasti,
yang penting pa Jop bersedia membantu peneliti. Pa Jop menjawab yaitu pasti
saya membantu selama bisa saya bantu. Pertimbangan peneliti untuk melakukan Studi Budaya Tutur sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri
dalam menyiapkan studi yang lebih mendalam. Hasil studi budaya tutur pada
Orang Ambon-Maluku teridentifikasi sebagai berikut; (1) Ada anggota masyarakat yang pernah bertemu dengan Orang Bati secara tidak sengaja; (2) Ada
anggota masyarakat yang pernah datang dan tinggal untuk sementara waktu di
perkampungan Orang Bati, kemudian kembali lagi; (3) Ada anggota masyarakat yang mendengar tentang Orang Bati melalui ceritera secara turuntemurun dari orang tua mereka sendiri; (4) Ada anggota masyarakat yang
memperoleh informasi tentang Orang Bati dari tetangga; (5) Ada anggota
masyarakat yang memperol