STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIRAN WADUK WADASLINTANG KABUPATEN WONOSOBO.

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIRAN

WADUK WADASLINTANG KABUPATEN WONOSOBO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Oleh: Putu Wirabumi NIM 11308144028

PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

i

STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIRAN

WADUK WADASLINTANG KABUPATEN WONOSOBO

HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Oleh: Putu Wirabumi NIM 11308144028

PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(3)

ii


(4)

iii


(5)

iv


(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Tugas Akhir Skripsi ini saya persembahkan teruntuk Ibunda dan Ayahanda serta keluarga besar tercinta, tanpa kasih sayang yang tulus dari mereka saya bukan apa-apa dan tak akan pernah menjadi apa-apa sampai seperti ini tanpa pembelajaran yang selalu

mereka berikan setiap waktu.”

“Keluarga besar Biologi E 2011 Universitas Negeri Yogyakarta dan keluarga besar Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Universitas Gadjah Mada 2012. Semoga apa yang telah kita mimpikan selama ini dapat terwujud dan kelak menjadi

orang yang sukses berguna bagi Agama, Bangsa, Negara, dan Keluarga”

“Teman-teman, kerabat, sahabat yang sudah saya anggap seperti keluarga sendiri” Don’t walk behind me, I may not lead. Don’t walk in front of me, I may not follow. Just walk beside me and be my friend. (Janganlah berjalan di belakangku, karena mungkin

aku tak bisa memimpinmu. Jangan pula berjalan di depanku, mungkin aku tak bisa mengikutimu. Berjalanlah di sampingku dan jadilah sahabatku)

-Albert Camus-

“Someone who has always been a part of my life. I don’t know the end of this journey. As long as I can, our dreams are my priority”-SW-

“Alm. Mbak Endang (Laboran Prodi Biologi UNY)” -Doa kami selalu menyertaimu-


(7)

vi MOTTO

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya.”

(Q.S. Al-Baqarah: 286)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama

kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6)

Seperti pepatah Jawa, “Urip iku mung Sawang Sinawang” yang artinya saling memandang. Kebanyakan kita selalu melihat orang lain selalu lebih nyaman dari kita (kita selalu melihat ke atas), begitu pula orang yang kita lihat, belum tentu dia merasa

lebih beruntung dari kita.

"Kamu tak akan bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan jika kamu terlalu sibuk mengeluhkan apa yang telah kamu miliki, terlalu sibuk melihat apa yang orang lain

miliki. Maka, yang harus kamu lakukan Bersyukurlah" (Anonim)

Do good, and good will come to you. Berperilakulah baik kepada semua orang, niscahya kebaikan itu pasti akan datang kepadamu.


(8)

vii

STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIRAN WADUK WADASLINTANG KABUPATEN WONOSOBO

Oleh Putu Wirabumi

11308144028

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan berdasarkan parameter fisika dan kimia dan struktur komunitas plankton di perairan Waduk Wadaslintang.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan metode observasi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, yaitu dengan mengambil sampel air pada setiap zona yang telah ditentukan. Setiap zona terdiri dari 3 stasiun pengambilan sampel air dan setiap stasiun dilakukan pengulangan pengambilan sampel air sebanyak 3 ulangan. Zona dibagi menjadi 7, yaitu zona outlet, zona outlet dekat keramba, zona outlet jauh keramba, zona tengah, zona barat, zona inlet dalam, dan zona inlet dangkal. Pengambilan sampel air terdiri dari pengambilan sampel air untuk identifikasi plankton dan pengambilan sampel air untuk uji kimia perairan, sedangkan pengukuran fisika dilakukan secara langsung di lapangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan Waduk Wadaslintang berdasarkan parameter fisika dan kimia berada pada golongan baik dengan kriteria air tidak tercemar. Struktur komunitas plankton di perairan Waduk Wadaslintang berdasarkan komposisi jenis plankton terdiri dari 38 jenis yang terbagi menjadi 8 kelas, yaitu 5 kelas dari kelompok fitoplankton

Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Conjugatophyceae, Trebouxiophyceae, dan

Cyanophyceae, sedangkan 3 kelas dari kelompok zooplankton Crustaceae,

Maxillopoda, dan Monogononta. Indeks keanekaragaman per zona dan keseluruhan berada pada tingkat keanekaragaman rendah sampai sedang dengan ekosistem terganggu, indeks dominansi per zona dan keseluruhan berada pada tingkat dominansi rendah, indeks kemerataan per zona dan keseluruhan berada pada tingkat kemerataan cukup merata sampai kurang merata dengan komunitas tertekan, indeks kesamaan per zona berada pada tingkat kesamaan sangat rendah sampai tinggi, dan indeks kekayaan per zona berada pada tingkat kekayaan rendah, namun secara keseluruhan berada pada tingkat kekayaan tinggi.


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya Tugas Akhir Skripsi yang berjudul “Struktur Komunitas Plankton di Perairan Waduk Wadaslintang Kabupaten Wonosobo”

dapat terselesaikan dengan baik. Tugas Akhir Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi serta untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa selama proses penyusunan laporan ini tidak akan pernah lepas dari ridha Allah SWT serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

Ibunda tercinta Sihniyati berkat doa yang tiada hentinya dan kasih sayang yang beliau curahkan kepada penulis. Ayahanda tercinta Eko Murniyanto yang menjadi figur panutan di setiap langkah penulis serta selalu memberikan dukungan moril dan doa. Selain itu, ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Hartono, M.Si selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Slamet Suyanto selaku Wakil Dekan I Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Bapak Dr. Paidi, M.Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

4. Ibu Dr. Tien Aminatun selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

5. Ibu Anna Rakhmawati, M.Si selaku Dosen Penasihat Akademik.

6. Bapak Sudarsono, M.Si selaku dosen pembimbing I Tugas Akhir Skripsi atas segala motivasi, bimbingan, dan saran yang sangat membangun sehingga penulisan tugas akhir skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.


(10)

ix

7. Ibu Dr. Ir. Suhartini, M.S selaku dosen pembimbing II Tugas Akhir Skripsi atas segala bimbingan, saran, koreksi, dan pengarahan dalam penyempurnaan Tugas Akhir Skripsi.

8. Seluruh staf pengajar, dosen, dan karyawan Program Studi Biologi FMIPA UNY yang telah memberikan ilmu, pelayanan, dan bekal selama proses perkuliahan.

9. Sahabat-sahabatku, M.Fajar Hariadi, Fauzan Rizky P, Gana Yuriko P, Ganda Aditya W, Heny Rahma, Rizky Dyah A, Uswatun Hasanah, Tria Septiani S, Harlina Jatiningsih, Aditya Tri A, Amiruddin Latif, Sri Wahyuni, dan lain-lain yang telah memberikan support berupa doa dan bantuan langsung bagi penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi.

10.Hansen Eka Cahya, Berlian Belasuni, Febrian Widhi P, Dhevian Reyza W, Iqbal Dwi S, Anggit Estu N sebagai keluarga kedua penulis di Yogyakarta yang selalu memberikan masukan dan motivasi.

11.Keluarga besar mahasiswa Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta lintas generasi yang sudah memberikan rasa kebersamaan, kekeluargaan, pengalaman, dan canda tawa selama penulis menjalani proses belajar.

Penulis berharap semoga Tugas Akhir Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan Program Studi Biologi FMIPA UNY khususnya, serta bagi negara tercinta Indonesia pada umumnya sehingga dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Yogyakarta, Maret 2017 Penulis


(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHLULAN ... 15

A. Latar Belakang ... 15

B. Identifikasi Masalah... 19

C. Batasan Masalah ... 19

D. Rumusan Masalah ... 19

E. Tujuan Penelitian ... 20

F. Manfaat Penelitian ... 20

G. Definisi Operasional ... 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 22

A. Kerangka Teori ... 22

1. Tinjauan mengenai Ekosistem Perairan Daratan ... 22

2. Tinjauan mengenai Perairan Waduk ... 24

3. Tinjauan mengenai Plankton... 25

4. Tinjauan mengenai Fitoplankton ... 27

5. Tinjauan mengenai Zooplankton ... 33

6. Tinjauan mengenai Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 38

7. Tinjauan mengenai Struktur Komunitas ... 47


(12)

xi

B. Kerangka Berpikir ... 52

BAB III METODE PENELITIAN ... 54

A. Jenis Penelitian ... 54

B. Populasi dan Sampel ... 54

C. Variabel Penelitian... 54

D. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 55

E. Teknik Pengumpulan Data ... 55

1. Instrumen Penelitian ... 55

2. Prosedur Penelitian ... 57

a. Penentuan lokasi pengambilan sampel air ... 57

b. Pengambilan data sampel air di lapangan ... 60

c. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di lapangan ... 61

d. Identifikasi data sampel air untuk Plankton ... 63

F. Teknik Analisis Data ... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

A. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Waduk Wadaslintang ... 69

B. Struktur Komunitas Plankton di Waduk Wadaslintang ... 78

1. Komposisi Jenis ... 78

2. Indeks Biologi ... 83

a. Indeks Keanekaragaman (Diversity Indeks) ... 83

b. Indeks Dominansi (Dominant Index) ... 85

c. Indeks Kemerataan (Evenness Index) ... 87

d. Indeks Kesamaan (Similarity Index) ... 89

e. Indeks Kekayaan (Richness Index) ... 92

f. Indeks Biologi Seluruh Perairan Waduk Wadaslintang ... 94

C. Keterbatasan Penelitian ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia daerah Wadaslintang ... 51

Gambar 2. Diagram Alir Kerangka Berpikir... 53

Gambar 3. Peta pengambilan sampel air di perairan Waduk Wadaslintang ... 59

Gambar 4. Diagram Komposisi Jenis Fitoplankton Berdasarkan Kelas ... 81

Gambar 5. Diagram Komposisi Jenis Zooplankton Berdasarkan Kelas ... 82

Gambar 6. Diagram Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)... 83

Gambar 7. Diagram Indeks Dominansi (C) ... 85

Gambar 8. Diagram Indeks Keanekaragaman dan Indeks Dominansi ... 87

Gambar 9. Diagram Indeks Kemerataan (e) ... 88


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ciri berbagai tipe waduk ... 24 Tabel 2. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ... 43 Tabel 3. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO .... 45 Tabel 4. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD . 46 Tabel 5. Hasil Pengukuran Data Fisik dan Kimia Perairan ... 69 Tabel 6. Plankton yang ditemukan di Perairan Waduk Wadaslintang ... 79 Tabel 7. Persentase Nilai Indeks Kesamaan di Perairan Waduk Wadaslintang ... 90


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN


(16)

15 BAB I

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHLULAN A.Latar Belakang

Salah satu komponen biotik yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan kehidupan di perairan adalah plankton. Plankton merupakan mikroorganisme yang hidup melayang-layang di perairan, mempunyai kemampuan renang yang lemah sehingga gerakannya cenderung dipengaruhi oleh arus air (Odum, 1993:16). Plankton khususnya fitoplankton memiliki peranan penting di dalam suatu ekosistem perairan karena bersifat autotrof, yaitu dapat mengubah unsur hara anorganik menjadi bahan organik yang diperlukan makhluk hidup melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Selain itu, plankton juga dapat menghasilkan oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup pada jenjang trofik yang lebih tinggi. Plankton dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu fitoplankton yang bersifat tumbuhan dan zooplankton yang bersifat hewan.

Fitoplankton mampu berfotosintesis dan berperan sebagai produsen di lingkungan perairan, sedangkan zooplankton berperan sebagai konsumen pertama yang menghubungkan fitoplankton sebagai produsen dengan organisme yang lebih tinggi jenjang trofiknya. Zooplankton juga berperan sebagai bioindikator perubahan kondisi lingkungan. Keanekaragaman zooplankton yang tinggi menyebabkan rantai makanan di suatu perairan semakin kompleks. Kekayaan fitoplankton dan zooplankton dapat menggambarkan kesuburan suatu perairan


(17)

16

dalam kaitannya dengan pemanfaatan potensi sumberdaya hayati di perairan tersebut (Termala, 2001 dalam Hidayat, 2013:67).

BBWS-SO (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak) menjelaskan Waduk Wadaslintang secara administratif merupakan waduk yang terletak di Kabupaten Wonosobo yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen, tepatnya terletak di bagian selatan wilayah Desa Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dan bagian utara wilayah Desa Padureso Kabupaten Kebumen. Waduk Wadaslintang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1982 dan selesai pada tahun 1988 selama lebih kurang 7 tahun. Waduk Wadaslintang dibangun dengan tujuan pokok sebagai penopang kehidupan masyarakat sekitar. Fungsi utama waduk tersebut ialah sebagai irigasi, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pengendali banjir, penampung air, perikanan, dan pariwisata. Usaha perikanan yang ada berupa aktivitas penangkapan ikan dan budidaya keramba jaring apung (KJA). Luas waduk diperkirakan mencapai 2.626 Ha dengan kedalaman berdasarkan tinggi bendungan 116 m, lebar 10 m, dan panjang 650 m dengan volume air yang mampu menampung sebanyak 443 juta m3. Pemanfaatan tambahan dari waduk tersebut ialah mampu mensuplai kebutuhan irigasi bagi areal persawahan di Kabupaten Purworejo dan Kebumen seluas 30.345 Ha sepanjang tahun. Dampak langsung mampu memberikan tambahan hasil sekitar 210.000 ton beras per-tahun (www.kebumenkab.go.id).

Masalah terbesar yang dihadapi oleh sebagian besar waduk khususnya Waduk Wadaslintang ialah penurunan kualitas dan kondisi perairan jika dilihat dari banyaknya manfaat dan kegunaannya sebagai fasilitator sumberdaya air bagi


(18)

17

seluruh komponen makhluk hidup. Perlu adanya suatu langkah untuk mengetahui kondisi perairan waduk tersebut agar tetap mempertahankan esensi dan manfaat waduk, contohnya melalui pendekatan ilmiah seperti fisika, kimia, dan biologi yang dapat dijadikan bahan referensi mengenai permasalahan tersebut. Melalui pendekatan ilmiah tersebut, bukan tidak mungkin biota perairan yang ada di Waduk Wadaslintang akan tetap berperan aktif dan produktif dalam menjaga keseimbangan ekosistem perairan.

Waduk Wadaslintang mendapat aliran air dari inlet sungai yang masuk secara permanen ke waduk yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh aktivitas lahan di daerah tangkapan air sungai-sungai tersebut. Tata guna lahan di daerah tangkapan air yang masuk ke waduk dipergunakan untuk lahan tegalan, persawahan, hutan, dan pemukiman. Tata guna lahan di daerah tangkapan air tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisi fisik kimiawi waduk karena masuknya berbagai bahan organik maupun anorganik melalui erosi atau limpasan. Bahan organik yang masuk berupa limbah domestik atau pertanian yang akan menjadi sumber nutrien bagi waduk. Budidaya KJA juga berpotensi menambah nutrien bagi perairan waduk berkaitan dengan meningkatnya bahan organik yang berupa sisa-sisa pakan yang terbuang dari budidaya KJA yang intensif, baik oleh PT Aquafarm maupun petani setempat (Puji, 2010:2).

Nutrien akan dipergunakan organisme autotrof seperti fitoplankton untuk pertumbuhannya. Peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan karena nutrien yang larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya sehingga


(19)

18

populasinya meningkat. Kekayaan plankton di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi dan kekayaan plankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respons terhadap perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi (Reynolds, 1984 dalam Pratiwi, 2015:3). Peningkatan nutrien yang berkelanjutan dalam konsentrasi yang tinggi pada akhirnya akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik dan menimbulkan gangguan (dampak negatif) bagi badan air tersebut. Pendekatan ilmiah mengenai kajian dan aspek biologi perairan ditunjang dengan kajian fisik dan khemis sangat bermanfaat karena organisme tersebut mampu memperlihatkan adanya perubahan yang disebabkan oleh penurunan kualitas suatu perairan berdasarkan situasi dan kondisi perairan.

Keberadaan plankton di suatu perairan sangat vital terutama di Waduk Wadaslintang jika dilihat dari berbagai aspek kegunaannya. Salah satunya ialah sebagai informasi untuk pengembangan budidaya ikan air tawar mengingat terdapat KJA di perairan waduk tersebut. Kelimpahan ikan dan biota lain tergantung pada sumber makanannya yaitu plankton. Selain itu, dengan mengetahui struktur komunitas plankton dapat menambah inventarisasi data biodiversitas plankton yang belum terungkap sepenuhnya. Keberadaan plankton yang dapat berperan sebagai indikator kondisi perairan di Waduk Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dapat dijadikan objek penelitian. Untuk itu, penting adanya informasi secara ilmiah tentang studi penelitian struktur komunitas plankton di perairan Waduk Wadaslintang Kabupaten Wonosobo.


(20)

19 B.Identifikasi Masalah

1. Pentingnya pendataan mengenai inventarisasi data plankton di perairan Waduk Wadaslintang Kabupaten Wonosobo.

2. Pentingnya diketahui struktur komunitas plankton berdasarkan indeks biologi yang meliputi keanekaragaman, dominansi, kemerataan, kesamaan, dan kekayaan jenis plankton di perairan Waduk Wadaslintang Kabupaten Wonosobo.

3. Aktivitas manusia seperti budidaya keramba jaring apung berpengaruh terhadap kondisi fisik kimia perairan dan kehidupan organisme akuatik di perairan Waduk Wadaslintang Kabupaten Wonosobo.

C.Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi oleh parameter fisika dan kimia perairan serta struktur komunitas plankton di perairan Waduk Wadaslintang.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, maka rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi lingkungan perairan berdasarkan parameter fisika dan kimia perairan di perairan Waduk Wadaslintang?


(21)

20 E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Kondisi lingkungan perairan berdasarkan parameter fisika dan kimia di perairan Waduk Wadaslintang.

2. Struktur komunitas plankton di perairan Waduk Wadaslintang.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti, dapat dijadikan suatu referensi, pustaka ilmiah, dan bahan pertimbangan terkait penelitian yang relevan dan berkelanjutan.

2. Bagi masyarakat, dapat dijadikan bahan informasi mengenai pengetahuan tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem perairan waduk yang terkadang luput dari perhatian masyarakat sebagai pengelola.

3. Bagi instansi terkait, dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan dalam perawatan maupun pelestarian waduk, sebagai contoh dalam merencanakan kesesuaian pembuatan KJA yang ada di waduk.

G.Definisi Operasional

1. Komunitas adalah kumpulan populasi yang saling berinteraksi pada kondisi lingkungan tertentu dan mendiami suatu tempat atau habitat yang sama pada kurun waktu tertentu.


(22)

21

2. Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan atau komposisi jenis di dalam suatu komunitas yang dapat dikaji dengan pendekatan seperti indeks keanekaragaman, indeks dominansi, indeks kemerataan, indeks kesamaan, dan indeks kekayaan untuk menggambarkan struktur komunitas tersebut.

3. Plankton adalah organisme akuatik yang mempunyai kemampuan berenang lemah dan pergerakannya dipengaruhi oleh arus air.

4. Waduk adalah danau buatan atau bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk menampung air dalam jumlah atau volume yang besar baik pada musim kemarau maupun musim hujan.


(23)

22 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori

1. Tinjauan mengenai Ekosistem Perairan Daratan

Ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang tersusun dari bagian-bagian yang hidup dan tidak hidup, yang saling berinteraksi (Nyabakken, 1988:222). Sedangkan menurut Barus (2002:4) ekosistem merupakan satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup (komponen hayati) dengan berbagai komponen nirhayati yang berinteraksi membentuk suatu sistem. Komponen hayati yang dimaksud adalah manusia, hewan, dan tumbuhan sedangkan komponen nirhayati yaitu air, tanah, dan udara.

Ekosistem perairan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni ekosistem air tawar, ekosistem air laut, dan ekosistem air payau. Dari ketiga ekosistem perairan tersebut, air laut dan air payau merupakan bagian yang terbesar, yaitu lebih dari 97% dan sisanya merupakan ekosistem air tawar yang justru digunakan oleh manusia dan banyak jasad hidup lainnya (Barus, 2002:2).

Odum (1998:368) menjelaskan bahwa habitat air tawar atau ekosistem perairan yang terdapat di daratan dapat dibagi menjadi dua seri, yaitu habitat

lentik atau air tergenang dan habitat lotik atau air mengalir. Contoh air tergenang atau lentik adalah danau, waduk, rawa, kolam sedangkan contoh air mengalir atau lotik adalah mata air, aliran air atau sungai. Perbedaan utama


(24)

23

antara perairan lentik dan perairan lotik adalah dalam hal kecepatan arus. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2002:21).

Habitat air tawar menempati daerah relatif kecil pada permukaan bumi, dibandingkan dengan habitat laut dan daratan, tetapi bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Hal tersebut disebabkan karena: (1) habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik dan industri (2) komponen air tawar adalah daerah kritis pada daur hidrologi (3) ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan memadai dan paling murah (Odum, 1998:368).

Dilihat dari efisiensi penggunaan sumberdaya air tawar tersebut, bukan tidak mungkin efek negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan perairan juga begitu besar apabila pemanfaatannya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Akibat dari kegiatan manusia, ekosistem air telah mengalami pencemaran misalnya pembuangan berbagai jenis limbah ke dalam badan air tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai komponen lingkungan yang membentuk suatu ekosistem air dan menyebabkan gangguan pada kehidupan biota air secara keseluruhan (Barus, 2002:11).


(25)

24

2. Tinjauan mengenai Perairan Waduk

Perairan lentik atau menggenang dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yakni rawa, danau, dan waduk. Waduk merupakan perairan menggenang yang terbentuk akibat pembendungan aliran sungai. Berdasarkan tipe sungai yang dibendung dan fungsi air, dikenal dengan tiga jenis waduk, yaitu waduk lapangan (field reservoir), waduk irigasi (irrigation reservoir), dan waduk serbaguna (multipurpose reservoir) (Barus, 2002:100).

Tabel 1. Ciri berbagai tipe waduk

Ciri-ciri Waduk Lapangan Waduk Irigasi Waduk Serbaguna

Sungai asal waduk Episodik Intermiten Permanen Luas perairan (ha) < 10 10 – 500 > 500

Kedalaman max (m) 5 25 100

Masa berair (bulan) 6 – 9 9 - 12 12

Kegunaan (fungsi) Lokal Irigasi Listrik, irigasi, dll Sumber: (Suwignyo, 1990 dalam Barus, 2002:101)

Waduk adalah bangunan untuk menampung air pada waktu terjadi surplus air di sumber air agar dapat dipakai sewaktu-waktu terjadi kekurangan air sehingga fungsi utama waduk adalah untuk mengatur sumber air. Waduk sebagai perairan darat tenang mempunyai ciri khas, yakni arus air yang sangat lambat bahkan tidak ada arus sama sekali. Perbedaan intensitas cahaya dan suhu pada kolom air perairan waduk menggambarkan stratifikasi kualitas air secara vertikal. Stratifikasi kualitas air di perairan waduk dipengaruhi oleh kedalaman air dan musim (Effendi, 2003:31).


(26)

25

Barus (2002:101-102) menjelaskan bahwa daya tembus cahaya matahari ke dalam lapisan air dapat dibedakan menjadi dua, yakni zona fotik dan zona afotik. Zona fotik merupakan zona yang terletak di bagian atas yang dapat ditembus oleh cahaya matahari, sedangkan zona afotik merupakan zona yang terletak di bagian bawah yang tidak dapat ditembus oleh cahaya matahari. Selain fotik dan afotik, juga dikenal dengan nama zona benthal, yaitu zona substrat dasar yang dibagi menjadi zona litoral dan zona profundal. Zona litoral merupakan bagian dari zona benthal yang masih dapat ditembus oleh cahaya matahari, sedangkan zona profundal merupakan bagian dari zona benthal yang terletak di perairan yang dalam dan tidak dapat ditembus lagi oleh cahaya matahari. Pada umumnya, plankton hidup pada zona limnetik yang terletak di zona fotik dimana masih terdapat asupan cahaya matahari yang masuk ke dalam kolom air sampai batas penetrasi cahaya.

3. Tinjauan mengenai Plankton

Definisi plankton secara umum diartikan sebagai hewan dan tumbuhan renik yang terhanyut di suatu perairan. Nama plankton berasal dari akar kata Yunani “plantos” yang mempunyai arti mengembara atau menghanyut. Pada tahun 1887, Victor Hensen selaku direktur Ekspedisi Jerman melakukan ekspedisi yang dikenal dengan “Plankton Expedition” dimana untuk pertama kalinya menerapkan istilah plankton untuk menentukan dan membuat sistematika organisme laut (Nontji, 2008:11). Menurut Odum (1998:374) plankton merupakan organisme mengapung yang pergerakannya kira-kira tergantung pada arus dan secara keseluruhan plankton tidak dapat melawan


(27)

26

arus. Pernyataan Odum mengenai pengertian plankton tersebut diperkuat oleh Nyabakken (1988:36) bahwa plankton mempunyai kemampuan berenang yang lemah sehingga pergerakannya dipengaruhi oleh gerakan-gerakan air.

Istilah plankton yang dikemukakan oleh para ahli tersebut merupakan acuan umum yang digunakan para peneliti dalam menentukan pengertian dari plankton. Menurut Barus (2002:23) yang menjadi penyebab pergerakan plankton sangat terbatas dan dipengaruhi oleh pergerakan arus air adalah alat gerak dari plankton tersebut, yaitu flagella dan cilia. Alat gerak tersebut tidak dapat mengimbangi gerakan arus air sehingga pergerakan plankton akan mengikuti arus air disekelilingnya.

Plankton kerap disangkut-pautkan dengan daur hidup atau siklus hidupnya karena pada saat stadium dewasa sifat planktonik terkadang akan mengalami fase perubahan dan menempuh lebih dari satu cara hidup. Menurut Nybakken (1988:37) plankton dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan daur hidupnya.

1. Holoplankton, yaitu suatu organisme akuatik yang seluruh daur hidupnya mulai dari telur, larva sampai stadium dewasa bersifat planktonik.

2. Meroplankton, yaitu organisme-organisme akuatik yang hanya sebagian daur hidupnya bersifat planktonik dimana pada saat stadium dewasa hidup sebagai bentos atau nekton.

Organisme planktonik biasanya ditangkap menggunakan jaring-jaring yang mempunyai ukuran mata jaring yang berbeda-beda sehingga


(28)

27

penggolongan plankton dapat pula dilakukan berdasarkan ukuran dari plankton (Nybakken, 1988:37). Berdasarkan ukurannya, plankton dapat dibedakan menjadi lima golongan (Barus, 2002:25), yakni:

1. Ultraplankton, dengan ukuran tubuh < 2 µm 2. Nanoplankton, dengan ukuran tubuh 2 – 20 µm 3. Mikroplankton, dengan ukuran tubuh 20 – 200 µm 4. Makroplankton, dengan ukuran tubuh > 500 µm

5. Megaplakton, dengan ukuran tubuh yang sangat besar seperti kelompok medusa, kelompok ini merupakan kelompok plankton yang sangat jarang ditemukan dan umumnya hidup pada habitat laut.

Plankton dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah organisme plankton yang bersifat tumbuh-tumbuhan sedangkan zooplankton adalah organisme plankton yang bersifat hewan. Perbedaan yang paling mencolok dari kedua jenis plankton tersebut adalah kemampuan yang dimiliki oleh fitoplankton yakni dapat melakukan fotosintesis dengan tersedianya klorofil dalam sel-sel organisme. Kemampuan fotosintesis tersebut menjadikan fitoplankton termasuk dalam kelompok produsen. Keberadaan fitoplankton di ekosistem air menjadi sangat penting terutama dalam mendukung kelangsungan hidup organisme air lainnya, seperti zooplankton, bentos, ikan, dsb (Barus, 2004:65).

4. Tinjauan mengenai Fitoplankton

Fitoplankton disebut juga plankton nabati adalah tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang dalam perairan yang mempunyai ukuran sangat


(29)

28

kecil, yaitu berksar antara 2-200µm (1µm = 0,001mm). Fitoplankton umumnya berupa individu bersel tunggal, akan tetapi terdapat juga fitoplankton yang berbentuk rantai (Nontji, 2008:11). Menurut Sachlan (1982:17) fitoplankton merupakan organisme berklorofil yang pertama ada di dunia dan merupakan sumber makanan bagi zooplankton yang berkedudukan sebagai konsumen primer. Populasi konsumer dengan jenjang tropik yang lebih tinggi umumnya mengikuti dinamika populasi plankton.

Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan sangat penting dalam ekosistem air karena mempunyai kandungan klorofil yang berguna untuk proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton yang berperan sebagai produsen merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang berperan sebagai konsumen. Konsumen tersebut dimulai dari zooplankton hingga organisme akuatik lainnya yang membentuk rantai makanan (Barus, 2002:26). Perkembangan fitoplankton pada struktur komunitas komponen biologi bersifat dinamis, artinya dominasi satu spesies dapat diganti dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan dengan kualitas perairan yang tertentu pula (Prabandani, 2007:51).

Barus (2002:27-28) menjelaskan bahwa pada zona limnetik yang terdapat pada daerah temperata, kepadatan populasi fitoplankton akan bervariasi secara musiman. Kepadatan yang sangat tinggi dicapai pada saat musim semi yang terjadi dalam waktu yang singkat dan sering disebut dengan blooming. Kepadatan yang tinggi tersebut dicapai akibat meningkatnya kadar nutrisi pada


(30)

29

saat musim dingin yang tidak digunakan karena intensitas cahaya dan temperatur yang sangat rendah, sehingga laju fotosintesis sangat lambat. Meningkatnya intensitas cahaya pada saat musim semi tiba, diikuti dengan naiknya temperatur air serta ketersediaan nutrisi yang tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan populasi fitoplankton dengan cepat.

Kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan air tawar umumnya terdiri dari diatom dan ganggang hijau serta dari kelompok ganggang biru. Jenis yang umumnya sangat banyak ditemukan pada perairan adalah dari genus

Oscillatoria, Aphanizomenon, Anabaena dan spesies Microcystis aeruginosa

(Barus, 2002:27). Sachlan (1982:12) mengelompokkan fitoplankton menjadi 5 divisi yaitu Chrysophyta, Pyrrophyta, Chlorophyta, Cyanophyta, dan

Euglenophyta (hanya hidup di air tawar) kecuali Euglenophyta semua kelompok fitoplankton ini dapat hidup di air tawar dan air laut. Berikut adalah beberapa fitoplankton yang terdapat di perairan air tawar, yaitu:

a. Divisi Chrysophyta

Divisi Chrysophyta dikelompokkan menjadi tiga kelas, yakni

Xanthophyceae (hijau kekuningan), Chrysophyceae (coklat keemasan), dan

Bacillariophyceae (kuning kecoklatan). Dari beberapa kelas tersebut, fitoplankton yang umum dijumpai di perairan air tawar adalah kelas

Bacillariophyceae (Diatom). Diatom hidup dalam suatu kotak gelas yang unik dan tidak memiliki alat-alat gerak (Nybakken, 1988:37).

Diatomae merupakan jasad renik bersel satu yang masih dekat dengan flagellata dengan bentuk sel yaitu bilateral dan sentrik. Sel diatom mempunyai


(31)

30

inti dan kromatofora berwarna kuning coklat yang mengandung klorofil-a, karotin, santofil, dan karotenoid lainnya yang menyerupai fikosanin, sedangkan beberapa jenis diatom yang tidak mempunyai zat warna hidup sebagai saprofit. Didalamnya terdapat pirenoid namun tidak dikelilingi oleh tepung. Hasil asimilasinya ditimbun di luar kromatofora berupa tetes-tetes minyak dalam vakuola dan terkadang leukosin. Diatomae adalah indikator yang baik untuk menentukan kualitas air (Odum, 1998:380).

Diatom adalah alga bersel satu, umumnya mikroskopik dengan ukuran berkisar 0,01-1,00 mm. Habitat diatomae umumnya di perairan tawar, laut, dan tanah-tanah yang basah dengan cara hidup membentuk koloni ataupun soliter. Menurut Tjitrosoepomo (2001:48) kelompok diatom yang paling banyak ditemui di perairan tawar adalah Asteromella, Melosira, Synendra, Naviculla, Nazchia, dll. Sedangkan Barus (2002:27) mengungkapkan bahwa dari kelompok diatom yang umum dijumpai adalah Stephanodiscus hantzchii, Cyclotella meneghiniana, Melosira granulata, Asterionella formosa, dan Synendra acus.

b. Divisi Chlorophyta (Kelas Chlorophyceae)

Chlorophyta memiliki ciri-ciri berwarna hijau yang disebabkan adanya kloroplas dengan butir-butir pirenoid ditengahnya. Butir-butir pirenoid sendiri berfungsi untuk menghasilkan amilum dalam proses fotosintesis. Warna hijau tersebut juga diakibatkan adanya klorofil-a dan b, karoten (kuning kemerahan), xantofil (kuning) namun kandungan klorofil-a sangat dominan. Dinding sel chlorophyta tersusun atas dua lapisan, yakni lapisan bagian dalam selulosa dan


(32)

31

lapisan bagian luar adalah pektin. Cadangan makanan disimpan dalam bentuk amilum, minyak, dan protein. Chlorophyta termasuk bentuk sel tunggal seperti desmid, bentuk benang yang terapung atau terikat, dan berbagai bentuk koloni yang terapung. Klorofil pada Chlorophyta tidak tertutup oleh pigmen lain sehingga terlihat hijau (Odum, 1998:380).

Chlorophyta bersifat uniseluler atau berkoloni dan multiseluler. Chlorophyta uniseluler memiliki flagella yang bergerak aktif sedangkan chlorophyta multiseluler berbentuk benang lembaran atau seperti tumbuhan tingkat tinggi. Bersel satu (Chlorella), berkoloni (Volvox), dan bersel banyak membentuk benang/spiral (Spyrogyra). Chlorophyta umumnya hidup secara fotoautotrof di perairan tawar dan minoritas hidup di laut sebagai fitoplankton. Beberapa genus memiliki bentuk kloroplas yang berlainan seperti bentuk benang/spiral (Spyrogyra), lembaran (Ulva), rumput (Chara), jala (Hydrodiction), bintang (Zygnema), ladam (Ulothrix), dan butiran klorofil yang tidak teratur. Barus (2002:27) menjelaskan bahwa kelompok Chlorophyta yang sering ditemui adalah Scenedesmus quadricauda, Ankistrodesmus acicularis, Coelastrum reticulatum, Euglena pisciformis, genus Chlamydomonas dan

Pandorina morum.

c. Divisi Chyanophyta (Kelas Chyanophyceae)

Chyanophyta disebut juga dengan ganggang biru atau ganggang belah atau ganggang lendir merupakan golongan ganggang bersel satu yang memiliki struktur tubuh yang sederhana dan berbentuk benang. Ganggang ini memiliki warna biru kehijauan (fikosianin), autotrof, memiliki inti, dan tidak ditemukan


(33)

32

kromatora. Ganggang biru kehijauan ini umumnya terdapat di perairan pantai dan perairan payau. Chyanophyta membentuk koloni dengan klorofil yang tersebar (tidak terpusat pada kromatoplas) tertutup ole pigmen biru-hijau. Kelompok ini penting secara ekologis karena biomas yang besar yang dapat terbentuk pada kolam dan danau yang tercemar (Odum, 1998:380).

Ganggang ini hidup secara soliter atau berkoloni. Individu yang berkoloni biasanya berbentuk benang atau filamen dan memiliki selubung. Ganggang biru kehijauan ini biasa ditemukan di air tawar, air laut, tempat lembab, batu-batuan yang basah, menempel pada tumbuhan atau hewan, kolam yang banyak mengandung bahan organik (nitrogen) di sumber air panas, dan perairan tercemar. Chyanophyta dapat mengikat nitrogen menjadi nitrat, jadi perannya sama seperti bakteri pengikat nitrogen dalam tanah (Odum, 1998:380). Chyanophyta merupakan makhluk hidup pertama yang memberi kemungkinan hidup pada makhluk hidup lain di tempat yang sulit dijadikan tempat hidup karena dapat mengikat bahan organik dan gas nitrogen dari atmosfer (Tjitrosoepomo, 2001:56).

d. Divisi Euglenophyta (Dinoflagellata)

Euglenophyta disebut juga dengan ganggang hijau terang merupakan ganggang uniseluler dengan bintik berwarna merah (stigma), memiliki alat gerak berupa flagella, tidak berdinding sel, dan bergerak aktif seperti hewan namun memiliki klorofil dan berfotosintesis seperti tumbuhan. Filum ini sebagian besar hidup di air tawar dengan banyak terdapat kandungan bahan organik seperti nitrat dan fosfat.


(34)

33

Dinoflagellata dikenal dengan adanya dua flagella yang digunakan sebagai alat gerak, tidak mempunyai kerangka luar tetapi memiliki dinding pelindung yang tersusun atas selulosa. Cara hidup dinoflagellata secara soliter dan bereproduksi dengan membelah diri seperti diatom (Nyabakken, 1988:39-40). Beberapa jenis dari Dinoflagellata dapat menghasilkan toksik yang dapat membahayakan organisme akuatik lain sehingga ketika terjadi blooming

berdampak negatif bagi makhluk hidup lain. Contoh dari dinoflagellata adalah

Ceratium, Nocticula, Gymnodium, Protocentrum, dan Protoperidium (Rachma, 2011:4).

5. Tinjauan mengenai Zooplankton

Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka ragam, dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan (Nybakken, 1988:41). Menurut Sachlan (1978:82) zooplankton terdiri dari holoplankton dan meroplankton. Meroplankton waktu masih dalam stadium telur atau larva dari macam-macam avertebrata maupun vertebrata akan berkedudukan sebagai plankton dan setelah menjadi dewasa tidak berkedudukan sebagai plankton lagi.

Zooplankton dapat berenang dengan melakukan gerakan migrasi vertikal (menuju ke bawah atau dasar perairan) pada siang hari dimana fitoplankton sebagai sumber makanannya berada. Zooplankton bersifat heterotrofik, yaitu tidak dapat memproduksi makanan sendiri atau mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik sehingga kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada produsen primer, yakni fitoplankton (Rachma, 2011:5). Barus (2002:30)


(35)

34

menjelaskan bahwa kepadatan zooplankton di suatu perairan lotik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton, artinya besar kemungkinan kepadatan zooplankton di perairan lentik lebih banyak jika dibandingkan dengan fitoplankton karena zooplankton banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus yang rendah serta kekeruhan air yang sedikit.

Nybakken (1988:41) menjelaskan bahwa dari sudut ekologi hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting, yaitu filum Arthropoda, kelas Crustaceae, sub kelas Copepoda). Copepoda merupakan plankton golongan holoplanktonik yang mendominasi ekosistem perairan yang berperan sebaga mata rantai antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil. Barus (2002:30) juga memperkuat penjelasan Nybakken dimana kelompok zooplankton yang banyak terdapat di ekosistem perairan adalah dari kelas Crustaceae (Copepoda dan Cladocera) serta filum Rotifera.

a. Filum Protozoa

Protozoa dibagi menjadi 4 kelas, yakni Sporozoa, Flagellata, Ciliata, dan Rhizopoda. Kelas Sporozoa tidak ada yang hidup sebagai plankton karena semua jenis Sporozoa merupakan parasit yang hidup di tubuh manusia dan ikan. Kelas Flagellata diklasifikasikan menjadi fitoflagellata dan zooflagellata, namun karena pigmen fotosintesis yang berjumlah sedikit dan makan dengan cara memangsa maka Flagellata dimasukkan kedalam Zooplankton. Zooflagellata yang hidup sebagai plankton (hidup bebas) semuanya termasuk tipe holozoik dari alga yang berflagel, seperti dari Pyrrophyta yaitu Nocticula


(36)

35

sp, Pyrocystus, dll. Sedangkan zooflagellata yang tidak hidup bebas hidup sebagai parasit pada tubuh manusia atau vertebrata lain (Sachlan, 1978:83).

Kelas Ciliata merupakan golongan protozoa yang berperan sebagai spesific consumer dan tidak ada contoh yang jelas bahwa golongan Protozoa ini berasal dari Alga. Ciliata sebagian besar hidup bebas di air tawar dan beberapa hidup di laut. Ciliata memang tidak merupakan zooplankton sejati di air tawar, tetapi banyak hidup diantara Perifiton, didasar sebagai bentos, dimana terdapat banyak detritus yang membusuk. Kelas Rhizopoda mempunyai bentuk seperti kaki-kaki atau akar tumbuhan yang tidak teratur. Rhizopoda mempunyai peranan penting di air tawar maupun air laut karena sebagai makanan bagi organisme trofik jenjang yang lebih tinggi. Rhizopoda terdiri dari dua Ordo, yakni Amoebina Foraminifera-Radiolaria dan Heliazoa (Sachlan, 1978:83-85). b. Filum Coelenterata atau Cnidaria

Filum Coelenterata atau Cnidaria terdiri dari 2 kelas, yakni Hydrozoa-scyphozoa dan Anthozoa. Hanya kelas Hydrozoa-scyphozoa yang berkedudukan sebagai plankton karena bersifat holoplanktonik, seperti ubur-ubur kecil serta koloni-koloni yang kompleks dan aneh yang dikenal sebagai sifonofora. Ubur-ubur kelas Scyphozoa merupakan organisme terbesar dan kadang-kadang terdapat dalam jumlah besar (Nybakken, 1988:45).

c. Filum Ctenophora

Filum Ctenophora secara taksonomik masih dekat dengan filum Cnidaria yang sebagian besar bersifat planktonik, tetapi kemudian dipisahkan karena tidak mempunyai nematocys dan hanya mempunyai struktur-struktur seperti


(37)

36

sisir (Sachlan, 1978:87). Semua filum Ctenophora adalah karnivora yang rakus. Filum ini menangkap mangsanya dengan menggunakan tentakel-tentakel yang lengket atau dengan mulutnya yang sangat lebar. Pergerakan didalam air menggunakan deretan-deretan silia yang besar (Nybakken, 1988:45).

d. Filum Annelida

Filum Annelida cukup banyak terdapat di laut sebagai meroplankton sedangkan di perairan air tawar hanya terdapat lintah (ordo Hirudinae) yang dapat menjadi parasit pada ikan-ikan (Sachlan, 1978:90). Filum Annelida diwakili dalam holoplankton oleh beberapa anggota yang bentuknya telah mengalami spesialisasi yang berjumlah tidak begitu melimpah. Termasuk dalam Annelida adalah berbagai cacing polikaeta dari famili Tomopteridae dan Alciopidae (Nybakken, 1988:45).

e. Filum Mollusca

Filum Mollusca merupakan filum terbesar kedua dalam dunia hewan. Mollusca terdiri dari 4 kelas, yakni Gastropoda, Pelocypoda, Valvae, dan Cephalopoda. Mollusca biasanya dianggap sebagai hewan-hewan bentik yang lamban. Namun, terdapat mollusca yang telah mengalami adaptasi khusus agar dapat hidup sebagai holoplankton. Mollusca planktonik yang telah mengalami modifikasi tertinggi ialah pteropoda dan heteropoda. Kedua kelompok tersebut secara taksonomik dekat dengan siput dan termasuk kelas Gastropoda. Pada perairan air tawar, meroplankton dari kelas Gastropoda dan kelas Valvae tidak begitu mempunyai peranan penting (Sachlan, 1978:99).


(38)

37 f. Filum Arthropoda

Bagian terbesar dari organisme zooplankton adalah anggota filum Arthropoda dan hampir semuanya termasuk kelas Crustaceae (ordo Copepoda). Dari filum Arthropoda tersebut, hanyalah Crustaceae yang dapat hidup sebagai plankton yang merupakan zooplankton terpenting bagi ikan baik di air tawar maupun di air laut. Crustaceae memiliki tempurung yang tersusun dari kitin atau kapur. Crustaceae dibagi menjadi 2 golongan, yakni Entomostraco (udang-udangan tingkat rendah) dan Malacostraco (udang-udangan tingkat tinggi). Golongan Entomostraco terdiri dari beberapa ordo, yakni Branchiopoda, Ostracoda, Copepoda, dan Cirripeda. Sedangkan golongan Malacostraco terdiri dari ordo Mycidacae, Amphipoda, Decapoda, dan Euphausiacea. Kebanyakan Crustaceae yang disebutkan tersebut merupakan hewan-hewan holoplanktonik, mereka makan dengan cara menyaring fitoplankton dan atau hewan-hewan kecil dari air (Nybakken, 1988:45).

g. Filum Echinodermata

Dari Filum Echinodermata hanya larva-larva saja dari beberapa ordo yang merupakan meroplankton. Terdapat beberapa larva-larva dari Chordata dan berhubungdengan bersamaan bentuk larva-larva tersebut sehingga muncul anggapan bahwa Chordata merupakan keturunan dari Filum Echinodermata (Sachlan, 1978:100).

h. Filum Chordata

Filum Chordata mempunyai 4 sub-filum, yakni Entoropneusta, Uro-chodata, cephalo-chordata, dan vertebrata. Dari keempat sub-filum tersebut


(39)

38

hanya Entoropneusta dan Uro-chodata yang hidup sebagai plankton. Kelas dari Filum Chordata yang hanya bersifat planktonik adalah Kelas Thaliacea dan Larvacea, bertubuh seperti agar-agar dan makan dengan cara menyaring makanan dari air laut (Sachlan, 1978:101).

6. Tinjauan mengenai Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Kualitas suatu perairan terutama perairan lentik atau perairan menggenang dapat dilihat dari fluktuasi naik turunnya populasi biota air yang terdapat di perairan tawar terutama plankton (dalam hal ini fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen). Fluktuasi populasi fitoplankton dapat mempengaruhi tingkatan trofik pada jenjang yang lebih tinggi akibat kondisi lingkungan perairan yang dinamis. Faktor lingkungan perairan menjadi sangat penting bagi kehidupan plankton dan biota lainnya. Perubahan berbagai kondisi lingkungan perairan dapat ditentukan berdasarkan kajian mengenai parameter fisika dan kimia perairan.

a. Parameter Fisika Perairan

1. Intensitas Cahaya Matahari

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya plankton dan humin yang terlarut dalam air. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan


(40)

39

mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya (Barus, 2002: 43).

Energi yang diperlukan agar ekosistem bahari di bumi dapat berfungsi hampir seluruhnya bergantung pada aktivitas fotosintesis tumbuhan bahari. Di antara tumbuhan bahari fitoplanktonlah yang mengikat bagian terbesar dari energi walaupun fitoplankton hanya menghuni suatu lapisan air permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari (Nybakken, 1988:58). Menurut Barus (2002:26) fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan fotosintesis. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Nybakken (1988:59) bahwa fotosintesis hanya dapat berlangsung apabila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis.

Fotosintesis oleh fitoplankton bergantung pada adanya cahaya. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas tinggi dan menurun bila intensitas cahaya menurun. Sebaliknya, laju respirasi fitoplankton dapat dikatakan konstan di semua kedalaman. Ini berarti bahwa bila suatu sel alga tenggelam menjauhi permukaan air, laju fotosintesis semakin menurun dengan semakin jauhnya sel alga dari permukaan sehingga di suatu kedalaman tertentu laju fotosintesis sama dengan laju respirasi (Nybakken, 1988:62).


(41)

40 2. Suhu atau Temperatur

Pengukuran temperatur atau suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan pada penelitian ekosistem air. Hal tersebut disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh temperatur atau suhu. Menurut hukum VAN’T HOFFS, kenaikan temperatur sebsar 10oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisma dari organisme 2 - 3 kali lipat. Peningkatan laju metabolisme tersebut menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air akan berkurang (Barus, 2002:44-45).

Nybakken (1988:12) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit, yakni 0-40oC. Tetapi ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas dan sedikit di bawah batas-batas tersebut, misalnya ganggang hijau-biru yang hidup pada suhu 85oC di sumber air panas.

Air mempunyai beberapa sifat unik yang berhubungan dengan panas yang secara bersama-sama mengurangi perubahan suhu sampai tingkat minimal sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahan yang terjadi lebih lambat dari udara. Organisme akuatik sering kali


(42)

41

mempunyai toleransi yang sempit terhadap variasi suhu dalam air (Odum, 1998:369-370).

Kristanto (2002:77) mengungkapkan bahwa naiknya suhu air akan menimbulkan akibat sebagai berikut:

a. Menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air b. Meningkatkan kecepatan reaksi kimia

c. Mengganggu kehidupan biota air

d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, biota air lainnya besar kemungkinan akan mengalami kematian

3. Kekeruhan

Kekeruhan menunjukkan sifat optis air yang mengakibatkan pembiasan cahaya ke dalam air. Kekeruhan membatasi masuknya cahaya ke dalam air. Kekeruhan ini terjadi karena adanya bahan yang terapung dan terurainya zat tertentu, seperti bahan organik, jasad renik, lumpur tanah liat dan benda lain yang melayang atau terapung dan sangat halus sekali. Semakin tinggi daya hantar listriknya dan semakin banyak pula padatannya (Kristanto, 2002:81).

Odum (1998:370) menjelaskan bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman. Kekeruhan, terutama bila disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, seringkali penting sebagai faktor pembatas. Sebaliknya, bila kekeruhan disebabkan oleh organisme, ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktifitas.


(43)

42

Menurut Effendi (2003:60) kekeruhan banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan partikel-partikel halus yang dapat mengendap seperti lumpur. Tingginya nilai kekeruhan tersebut dapat menghalangi penetrasi cahaya yang akan menghambat fitoplankton untuk berfotosintesis.

4. Penetrasi Cahaya

Satino (2010:13) menjelaskan bahwa kedalaman perairan memiliki peranan penting terhadap kehidupan biota pada ekosistem perairan. Suhu, kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya, dan tekanan hidrostatik terbentuk akibat semakin dalamnya suatu perairan. Pembentukan komponen dalam perairan tersebut mengakibatkan respon yang berbeda pula pada biota air yang hidup di dalamnya. Menurut Barus (2002:43) Pada batas akhir penetrasi cahaya, cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan serta konsentrasi karbondiokasida dan oksigen berada dalam keadaan relatif konstan sehingga memungkinkan bahwa keberadaan plankton optimal terdapat pada batas akhir penetrasi cahaya matahari dari suatu perairan.

b. Parameter Kimia Perairan

1. pH

Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yakni 6 sampai 8, sedangkan air tercemar, misalnya limah (buangan) berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya (Kristanto, 2002:73). Organisme air dapat


(44)

43

hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah (Baur 1987, Brehm & Meijering 1990, Brakke et al, 1992 dalam Barus, 2002:61). Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2002:61).

Tabel 2. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan

Nilai pH Pengaruh Umum

6,0 – 6,5

1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun

2. Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas tidak mengalami perubahan

5,5 – 6,0

1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak 2. Kelimpahan total, biomass, dan produktivitas masih belum mengalami

perubahan yang berarti

3. Alga hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral

5,0 – 5,5

1. Penurunan keanekaragaman plankton dan bentos

2. Semakin besar terjadi penurunan kelimpahan total, biomass zooplankton dan bentos

3. Alga hijau berfilamen semakin banyak proses nitrifikasi terhambat

4,5 – 5,0

1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun

2. Penurunan kelimpahan total dan biomass zooplankton dan bentos 3. Alga hijau berfilamen semakin banyak

4. Proses nitrifikasi terhambat Sumber: (Effendi, 2003:73-74)

Nilai pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium yang bersifat toksik


(45)

44

semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik Nilai pH suatu ekosistem air dapat berfluktuasi terutama dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis (Barus, 2002:61-62). 2. Dissolved Oxygen (DO)

DO atau oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air. Berbeda dengan faktor temperatur yang mempunyai pengaruh yang merata terhadap fisiologis semua organisme air, konsentrasi oksigen terlarut dalam air hanya berpengaruh secara nyata terhadap organisme air yang memang membutuhkan oksigen terlarut untuk respirasinya. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur dan jumlah garam terlarut dalam air. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme air (Barus, 2002:56-57).

Konsentrasi oksigen terlarut akan meningkat apabila suhu atau temperatur menurun dan konsentrasi oksigen terlarut akan menurun apabila suhu atau temperatur meningkat. Jika oksigen terlarut terlalu rendah, maka organisme anaerob (organisme yang tidak membutuhkan


(46)

45

oksigen) mungkin akan mati dan organisme aerob (organisme yang membutuhkan oksigen) akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Kehidupan di air dapat bertahan jika terdapat oksigen terlarut minimal sebanyak 5 ppm (5

part per million atau 5 mg oksigen untuk setiap liter air). Selebihnya bergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran bahan pencemar, suhu air, dan sebagainya (Kristanto, 2002:77-78). Pernyataan Kristanto tersebut diperkuat oleh Barus (2002:58) yang menyatakan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya tidak lebih kecil dari 8 mg/l.

Tabel 3. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO

No Golongan Kandungan DO (mg/l) Kualitas Air

1. I > 6,0 Tidak Tercemar

2. II 4,5 – 6,0 Tercemar Ringan

3. III 2,0 – 4,5 Tercemar Sedang

4. IV < 2,0 Tercemar Berat

Sumber: (Lee et al., 1978)

3. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20oC (Forstner, 1990 dalam Barus, 2002:65). Mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanyadalam menguraikan senyawa organik yang terdapat pada limbah rumah tangga secara sempurna. Waktu tersebut dianggap terlalu lama sehingga ketika


(47)

46

pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran secara umum yang dilakukan ialah pengukuran selama 5 hari (BOD5) (Barus, 2002:65).

Tabel 4. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD

No Kandungan BOD (mg/l) Kualitas Air

1. < 3,0 Tidak Tercemar

2. 3,0 – 5,0 Tercemar Ringan

3. 5,0 – 15 Tercemar Sedang

4. 15 Tercemar Berat

Sumber: (Lee et al., 1978)

BOD atau uji kebutuhan oksigen biokimia menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Organisme aerob membutuhkan oksigen untuk proses reaksi biokimia, yaitu untuk mengoksidasi bahan organik, sintesis sel, dan oksidasi sel (Kristanto, 2002:87).

4. Chemical Oxygen Demand (COD)

Uji COD (Chemical Oxygen Demand) yang juga disebut dengan uji kebutuhan oksigen kimia merupakan suatu uji untuk menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikromat


(48)

47

yang digunakan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. COD dapat dijadikan alternatif untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air karena waktu uji yang lebih cepat dari BOD. Selain itu, COD mengacu pada reaksi kimia dari suatu bahan oksidan sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih tinggi dari BOD untuk air yang sama (Kristanto, 2002:88).

Barus (2002:66-67) menyatakan bahwa dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis. Nilai COD dinyatakan dalam mg O2/l. 7. Tinjauan mengenai Struktur Komunitas

Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yang telah ditentukan. Komunitas dibagi menjadi dua, yakni komunitas utama dan komunitas minor. Komunitas utama adalah komunitas dominan yang memiliki kelengkapan organisasi cukup besar dan tidak bergantung pada hasil masukan komunitas didekatnya. Komunitas minor merupakan komunitas yang tidak dominan dan sebagian besar bergantung pada komunitas didekatnya (Odum, 1998:174). Komunitas tidak hanya mempunyai status trofik dan pola arus energi yang khas tetapi juga mempunyai komposisi bahwa jenis-jenis tertentu akan berpeluang hidup secara berdampingan berdasarkan waktu dan ruang sehingga secara fungsional komunitas yang serupa dapat memiliki komposisi jenis yang berbeda.


(49)

48

Odum (1998:180) menjelaskan bahwa komunitas dapat diklasifikasikan menurut (1) bentuk atau sifat struktur utama seperti misalnya jenis dominan, bentuk-bentuk hidup atau indikator-indikator (2) habitat fisik dari komunitas (3) sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional seperti misalnya tipe metabolisme komunitas. Analisis komunitas didasarkan pada dua pendekatan, yakni pendekatan secara zona dan gradien. Pendekatan secara zona dimana komunitas yang terputus-putus dikenal kemudian diklasifikasikan dan didaftarkan, sedangkan pendekatan secara gradien melibatkan penyusunan populasi, persebaran frekuensi, dan koefisien kesamaan atau statistik. Struktur komunitas dapat dipelajari melalui:

1. Komposisi jenis

Komposisi jenis menggambarkan persebaran atau distribusi relatif suatu spesies dalam suatu komunitas.

2. Indeks keanekaragaman jenis (Diversity index)

Indeks keanekaragaman jenis merupakan nisbah-nisbah antara jumlah jenis dan nilai-nilai penting (jumlah, biomas, produktivitas, dll) individu-individu. Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah dalam ekosistem-ekosistem yang secara fisik terkendali dan akan tinggi dalam ekosistem-ekosistem yang diatur secara biologi (Odum, 1998:184).

Keanekaragaman spesies merupakan karakteristik yang unik dari tingkat komunitas dalam organisasi biologi yang diekspresikan melalui struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies


(50)

49

dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata, sebaliknya dikatakan keanekaragaman spesies yang rendah apabila di dalam suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata (Barus, 2002:121).

3. Indeks dominansi (Dominant index)

Komunitas secara trofik mempunyai produsen, makrokonsumen, dan mikrokonsumen, golongan-golongan tersebut yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan mempengaruhi lingkungan secara kuat dari semua jenis lainnya disebut dominan-dominan ekologi. Derajat dimana dominansi dipusatkan dalam satu, beberapa, atau banyak jenis dapat dinyatakan dengan indeks dominansi (Odum, 1998:178).

4. Indeks kemerataan (Evenness index)

Indeks kemerataan menggambarkan persebaran individu setiap jenis. Kemerataan suatu spesies berkaitan dengan diversity dan dominansi jenis dalam suatu komunitas.

5. Indeks kesamaan (Similarity index)

Indeks kesamaan atau indeks similaritas digunakan untuk melihat tingkat kesamaan dari dua sampling area atau zona yang berbeda.

6. Indeks kekayaan (Richness index)

Indeks kekayaan menggambarkan hubungan jumlah spesies dengan jumlah total individu. Secara garis besar indeks kekayaan merepresentasikan jumlah total spesies dalam satu komunitas.


(51)

50 8. Deskripsi Wilayah Waduk Wadaslintang

Waduk Wadaslintang secara geografis terletak pada koordinat 366134 mT; 9158932 mU. Titik koordinat tersebut di plotting dengan menggunakan GPS tepat berada di area tepi perairan waduk bagian pintu masuk sebelah selatan. Waduk Wadaslintang secara administratif terletak di sebelah selatan Desa Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dan sebelah utara Desa Padureso Kabupaten Kebumen. Bendungan waduk atau pintu air waduk terletak di sebelah selatan waduk yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Kebumen.

Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSSO) menjelaskan Waduk Wadaslintang termasuk ke dalam tipe Waduk Serbaguna. Ciri-ciri Waduk Serbaguna yaitu memiliki aliran air yang bersifat permanen dari inlet sungai, luas area waduk >500 Ha (luas area Waduk Wadaslintang mencapai 2.626 Ha), kedalaman perairan waduk maksimal 100 m (berdasarkan tinggi bendungan kedalaman Waduk Wadaslintang mencapai 116 m), dan kegunaan waduk yang banyak, seperti sarana irigasi, PLTA, pengendali banjir, penampung air, perikanan (budidaya KJA), dan pariwisata (pemancingan ikan). Keadaan topografi daerah bagian utara berupa daerah perbukitan yang merupakan daerah kering setengah tandus. Bagian tengah merupakan daratan rendah berupa areal persawahan, sedangkan di bagian selatan merupakan tanah pasir. Tujuan utama pembangunan adalah untuk penyediaan sarana pengairan untuk menunjang peningkatan produksi pangan guna meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran rakyat (http://bbws-so.net).


(52)

51


(53)

52 B.Kerangka Berpikir

Waduk Wadaslintang memiliki fungsi dan pemanfaatan untuk irigasi (pengairan), PLTA, pengendali banjir, perikanan (KJA), dan pariwisata. Dampak negatif dari pemanfaatan irigasi yaitu adanya sedimen yang masuk langsung ke badan air waduk seperti limbah domestik pertanian, PLTA mempunyai dampak negatif pada kekeruhan air yang disebabkan karena sistem kerja dari alat PLTA, pengendali banjir mempunyai dampak negatif pada volume air yang tertampung di waduk, sektor perikanan terutama keramba jaring apung mempunyai dampak negatif yakni nutrien yang masuk ke badan air waduk sehingga dapat menyebabkan eutrofik (pencemaran) di perairan waduk, dan dari sektor pariwisata seperti tempat wisata mempunyai dampak negatif yakni pembuangan limbah ke badan air waduk. Dampak negatif tersebut mengakibatkan kondisi perairan dan terganggunya keseimbangan ekosistem Waduk Wadaslintang.

Pendekatan ilmiah untuk mengkaji kondisi perairan waduk dapat diteliti dengan kajian mengenai fisika perairan (suhu, intensitas cahaya, kekeruhan, dan penetrasi cahaya), kimia perairan (pH, DO, BOD, COD), dan biologi perairan (plankton). Kajian mengenai fisika dan kimia perairan secara langsung akan mempengaruhi kelangsungan hidup plankton yang berperan sebagai bioindikator di perairan Waduk Wadaslintang. Dari kajian ilmiah tersebut, maka dapat ditentukan struktur komunitas plankton di perairan Waduk Wadaslintang berdasarkan indeks keanekaragaman, indeks dominansi, indeks kemerataan, indeks kesamaan, indeks kekayaan, dan komposisi jenis.


(54)

53

Gambar 2. Diagram Alir Kerangka Berpikir Waduk Wadaslintang

Fungsi dan Pemanfaatan Waduk

Irigasi (Pengairan)

PLTA Pengendali

Banjir

Perikanan (KJA) Pariwisata

Kondisi Perairan Waduk

Fisika Perairan Biologi Perairan Kimia Perairan

1. Suhu air 2. Intensitas

cahaya

3. Kekeruhan air 4. Penetrasi Cahaya 1. pH 2. DO 3. BOD 4. COD Perifiton, Plankton, Nekton, Bentos, dll

Plankton

Fitoplankton Zooplankton

Konsumen tingkat I Produsen Primer

Struktur Komunitas 1. Indeks Keanekaragaman 2. Indeks Dominansi 3. Indeks Kemerataan 4. Indeks Kesamaan 5. Indeks Kekayaan 6. Komposisi jenis Sedimen yang

masuk

Kekeruhan air Volume air yang tertampung

Nutrien yang masuk badan air

Pembuangan limbah


(55)

54 BAB III

METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode observasi.

B.Populasi dan Sampel

1. Populasi : Seluruh jenis plankton di perairan Waduk Wadaslintang. 2. Sampel : Plankton yang tertangkap oleh plankton net no.25.

C.Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Zona pengamatan dan stasiun pengambilan sampel:

a. Zona I : daerah zona outlet waduk (selatan waduk) b. Zona II : daerah zona outlet waduk dekat keramba c. Zona III : daerah zona outlet waduk jauh keramba d. Zona IV : daerah zona tengah waduk

e. Zona V : daerah zona barat waduk

f. Zona VI : daerah zona inlet dalam waduk (utara waduk) g. Zona VII : daerah zona inlet dangkal waduk (timur waduk)

2. Struktur komunitas plankton yang meliputi komposisi jenis dan indeks biologi (indeks keanekaragaman, indeks dominansi, indeks kemerataan, indeks kesamaan, dan indeks kekayaan).


(56)

55

3. Parameter fisika perairan yang meliputi suhu, intensitas cahaya, kekeruhan, dan penetrasi cahaya. Parameter kimia perairan yang meliputi pH, DO, BOD, dan COD.

D.Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian:

a. Lokasi pengambilan sampel air dan pengukuran parameter fisika dilakukan di Waduk Wadaslintang, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. b. Lokasi pengujian parameter kimia perairan dilakukan di Balai

Laboratorium Kesehatan Yogyakarta.

c. Lokasi identifikasi dilakukan di Laboratorium Kebun Biologi Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian : November 2016 – Februari 2017.

E.Teknik Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Kapal bermotor digunakan sebagai kendaraan air menuju titik pengambilan sampel air di waduk

b. Pelampung air untuk safety

c. Plankton net nomor 25 beserta tali dan pemberat untuk menyaring sampel air yang diperoleh


(57)

56

d. Botol sampel ukuran ± 30 ml dan botol sampel ukuran 1500 ml yang telah diwarna hitam dengan pylox untuk menyimpan sampel air

e. Termos es untuk menyimpan sampel air f. Termometer air untuk mengukur suhu air

g. Luxmeter untuk mengukur intensitas cahaya matahari h. Turbidimeter portable untuk mengukur kekeruhan air i. Secchi disk untuk mengukur penetrasi cahaya

j. Mikroskop binokuler, opti lab, object glass, dan cover glass untuk mengidentifikasi plankton

k. Pipet tetes untuk mengambil sampel air dari botol flakon l. Kamera digital untuk mendokumentasikan hasil penelitian m. Ember ukuran ±5 liter

n. Alat tulis

o. GPS Handheld untuk mengetahui posisi dan letak titik pengambilan sampel air serta memplotting titik pengambilan sampel air

p. Software DNR-GPS digunakan untuk proses export dan import data titik pengambilan sampel air dari laptop ke GPS maupun sebaliknya

q. Buku identifikasi Freshwater Biology yang disusun Edmonson tahun 1996 dan Illustration of The Freshwater Plankton of Japan yang disusun oleh Toshihiko Mizuno tahun 1964

r. Peta pengambilan sampel air di Waduk Wadaslintang Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:


(58)

57

a. Gel pack untuk diletakkan di dalam termos es sebagai pengawet sampel air pada botol sampel ukuran ± 30 ml

b. Gliserin untuk mengawetkan sampel air yang tersaring oleh plankton net nomor 25 yang dimasukkan ke dalam botol sampel ukuran ± 30 ml

c. Sampel air yang tersaring oleh plankton net nomor 25 yang dimasukkan ke dalam botol sampel ukuran ± 30 ml dan sampel air pada botol sampel ukuran 1500 ml

2. Prosedur Penelitian

a. Penentuan lokasi pengambilan sampel air

Survei lapangan atau pengambilan data sampel air di lapangan dilakukan hanya satu hari. Metode pengambilan sampel air dan penentuan stasiun pengambilan sampel air menggunakan metode purposive sampling. Metode tersebut mengacu pada suatu pertimbangan tertentu yang mempunyai hubungan signifikan terhadap objek penelitian dari suatu populasi. Pertimbangan yang dimaksud adalah perbedaan kondisi lingkungan perairan dari berbagai stasiun pengamatan yang ditentukan. Berdasarkan hal tersebut, maka ditentukan 7 stasiun pengamatan yang direpresentasikan dalam bentuk zona.

Setiap zona dibagi menjadi 3 stasiun pengambilan sampel air, yaitu titik A, titik B, dan titik C. Ketiga stasiun tersebut ditentukan secara menyebar dengan tujuan dapat mewakili setiap populasi yang terdapat pada setiap zona pengambilan sampel air yang telah ditentukan. Dari setiap stasiun pengambilan


(59)

58

sampel air tersebut dilakukan 3 ulangan (A1, A2, A3; B1, B2, B3; C1, C2, C3). Berikut pembagian zona pengambilan sampel air:

1. Zona I : daerah zona outlet waduk (selatan waduk) 2. Zona II : daerah zona outlet waduk dekat keramba 3. Zona III : daerah zona outlet waduk jauh keramba 4. Zona IV : daerah zona tengah waduk

5. Zona V : daerah zona barat waduk

6. Zona VI : daerah zona inlet dalam waduk (utara waduk) 7. Zona VII : daerah zona inlet dangkal waduk (timur waduk)


(60)

59


(61)

60 b. Pengambilan data sampel air di lapangan

Pengambilan data sampel air di lapangan meliputi pengambilan sampel air untuk plankton yang tertangkap pada plankton net nomor 25 dan sampel air untuk uji parameter kimia. Sampel air yang tertangkap dengan menggunakan plankton net dimasukkan ke dalam botol sampel air ukuran ± 30 ml dan pengambilan data sampel air untuk uji parameter kimia dimasukkan ke dalam botol sampel air ukuran 1500 ml yang telah diberi warna hitam pada bagian luar botol secara menyeluruh. Adapun langkah pengambilan data sampel air untuk plankton sebagai berikut:

1. Menurunkan plankton net nomor 25 ke dalam perairan waduk pada kedalaman batas akhir penetrasi cahaya di setiap stasiun pengambilan sampel air (stasiun A, B, dan C) dari setiap zona yang telah ditentukan (zona I, II, III, IV, V, VI, VII) dengan pengulangan sebanyak 3 ulangan setiap stasiun pengambilan sampel air

2. Menarik kembali plankton net tersebut ke permukaan perairan

3. Memasukkan hasil saringan air yang diperoleh dari botol penampung plankton net ke dalam botol sampel air flakon yang telah berlabel sebagai penanda atau identitas tempat pengambilan sampel air

4. Meneteskan gliserin sebanyak 7-10 tetes pada botol flakon yang telah berisi sampel air sebagai pengawet

5. Memasukkan botol flakon tersebut ke dalam termos es yang telah berisi gel pack


(62)

61

6. Memplotting titik pengambilan sampel air dengan menggunakan GPS

Handheld

7. Mengulangi setiap pengambilan sampel air (langkah nomor 1 sampai nomor 5) pada setiap titik sebanyak tiga kali

c. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di lapangan

Pengukuran parameter fisika dan pengambilan sampel air untuk uji parameter kimia perairan waduk dilakukan pada setiap stasiun pengambilan sampel air, yakni stasiun A, stasiun B, dan stasiun C kemudian dilakukan pengulangan sebanyak tiga ulangan di setiap stasiun pengambilan sampel air. Adapun pengukuran untuk parameter fisika meliputi suhu air, intensitas cahaya, kekeruhan air, dan penetrasi cahaya. Sedangkan untuk uji parameter kimia meliputi pH, DO, BOD, COD.

1. Suhu air

Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan termometer air yang indikator penunjuk suhunya berupa air raksa. Pemilihan termometer air dengan indikator air raksa dimaksudkan karena ketelitiannya yang tinggi. Termometer dimasukkan ke dalam air kira-kira selama indikator mulai bergerak stabil. Untuk mengantisipasi gangguan dari faktor luar perairan maka pembacaan hasil skala suhu air yang ditunjukkan berada di dalam perairan.

2. Intensitas cahaya matahari

Pengukuran intensitas cahaya matahari dilakukan dengan menggunakan Lux meter. Alat tersebut terdiri dari rangka, sensor, dan


(63)

62

layar panel berbentuk LCD (terdapat tombol on/off, tombol range, zero adjust VR untuk kalibrasi apabila terjadi eror alat). Cara menggunakan alat tersebut yakni menghidupkan alat dengan menggeser tombol ke arah on, memilih kisaran range yang ada pada tombol range (2.000 lux, 20.000 lux, atau 50.000 lux) dimana pembacaan dikali 1 lux apabila memakai range 2000 lux, dikali 10 lux apabila memakai range 20.000 lux, dan dikali 100 lux apabila memakai range 50.000 lux, untuk pengukuran dengan cahaya dari sumber alami menggunakan kisaran range 2.000 lux, mengarahkan sensor ke arah cahaya dengan posisi sensor menengadah ke arah cahaya matahari kemudian menunggu sampai stabil dengan melihat hasil pengukuran melalui layar panel tersebut lalu mencatat hasil pengukuran. 3. Kekeruhan air

Pengukuran kekeruhan air dilakukan dengan menggunakan alat

Turbidimeter portable. Sebelum menggunakan alat tersebut dilakukan kalibrasi dengan menggunakan aquades atau dengan mencuci ujung elektrode tersebut. Cara menggunakan alat tersebut yakni dengan menyalakan tombol on kemudian mencelupkan ujung elektrode ke permukaan air waduk. Setelah itu, pembacaan hasil pengukuran berupa skala yang tertera dan ditunjukkan pada Turbidimeter portable.

4. Penetrasi Cahaya

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan Secchi disk. Alat ini memiliki bentuk berupa lempengan berwarna putih atau hitam dengan arsiran 4 bagian pada cakram yang dilengkapi dengan tali


(1)

104

11

Chlorococcus sp Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Chlorococcales Familiy : Chlorococcaceae Genus : Chlorococcus Species : Chlorococcus sp

12

Chroococcus sp Kingdom : Plantae Divisi : Cyanobacteria Class : Cyanophyceae Order : Chroococcales Familiy : Chroococcaceae Genus : Chroococcus Species : Chroococcus sp

13

Closteriopsis longissima Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Chlorococcales Familiy : Oocystaceae Genus : Closteriopsis

Species : Closteriopsis longissima

14

Coelastrum reticulatum Kingdom : Protista Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Spaeropleales Familiy : Scenedesmaceae Genus : Coelastrum

Species : Coelastrum reticulatum

15

Crucigenia rectangularis Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Chlorococcales Familiy : Scenedesmaceae Genus : Crucigenia


(2)

105

16

Cyclops sp

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Maxillopoda Order : Cyclopoida Familiy : Cyclopoidae Genus : Cyclops Species : Cyclops sp

17

Cyclotella gamma Kingdom : Plantae Divisi : Chrysophyta Class : Bacillariophyceae Order : Centrales

Familiy : Coscinodiscaceae Genus : Cyclotella Species : Cyclotella gamma

18

Cylindrospermum sp Kingdom : Plantae Divisi : Cyanophyta Class : Cyanophyceae Order : Nostocales Familiy : Nostocaceae Genus : Cylindrospermum Species : Cylindrospermum sp

19

Diaptomus sp Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Crustaceae Order : Maxillopoda Familiy : Calanoida Genus : Diaptomus Species : Diaptomus sp

20

Dispora crucigenoides Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Chlorococcales Familiy : Coccomyxaceae Genus : Dispora


(3)

106

21

Eremosphaera viridis Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Trebouxiophyceae Order : Chlorellales Familiy : Eremosphaeraceae Genus : Eremosphaera Species : Eremosphaera viridis

22

Gloeocystis gigas Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Tetrasporales Familiy : Gloeocystaceae Genus : Gloeocystis Species : Gloeocystis gigas

23

Gloeocapsa sp Kingdom : Plantae Divisi : Schizophyta Class : Cyanophyceae Order : Chroococcales Familiy : Chroococcaceae Genus : Gloeocapsa Species : Gloeocapsa sp

24

Keratella cochlearis Kingdom : Animalia Phylum : Rotifera Class : Monogonanta Order : Ploimida Familiy : Brachionidae Genus : Keratella

Species : Keratella cochlearis

25

Nauplius sp Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Maxillopoda Order : Cyclopoida Familiy : Cyclopoidae Genus : Nauplius Species : Nauplius sp


(4)

107

26

Navicula sp Kingdom : Protista Divisi : Bacillariophyta Class : Bacillariophyceae Order : Pennales

Familiy : Naviculacea Genus : Navicula Species : Navicula sp

27

Nephrocytium agardhianum Kingdom : Plantae

Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Chlorococcales Familiy : Oocystaceae Genus : Nephrocytium

Species : Nephrocytium agardhianum

28

Nitzschia closterium Kingdom : Chromista Divisi : Bacillariophyta Class : Bacillariophyceae Order : Pennales

Familiy : Bacillariaceae Genus : Nitzschia

Species : Nitzschia closterium

29

Nostoc sp

Kingdom : Plantae Divisi : Cyanophyta Class : Cyanophyceae Order : Hormogonales Familiy : Nostocaceae Genus : Nostoc Species : Nostoc sp

30

Oedogonium borisianum Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Oedogoniales Familiy : Oedogoniaceae Genus : Oedogonium


(5)

108

31

Pinnularia sp Kingdom : Plantae Divisi : Chrysophyta Class : Baccilariophyceae Order : Naviculales Familiy : Pinnulariaceae Genus : Pinnularia Species : Pinnularia sp

32

Polyarthra vulgaris Kingdom : Animalia Phylum : Rotifera Class : Monogonanta Order : Ploima Familiy : Synchaetidae Genus : Polyarthra

Species : Polyarthra vulgaris

33

Pompholyx sulcata Kingdom : Animalia Phylum : Rotifera Class : Monogonanta Order : Flosculariacea Familiy : Testudinellidae Genus : Pompholyx Species : Pompholyx sulcata

34

Rhopalodia gibba Kingdom : Chromista Divisi : Bacillariophyta Class : Bacillariophyceae Order : Rhopalodiales Familiy : Rhopalodiaceae Genus : Rhopalodia Species : Rhopalodia gibba

35

Sphaerocystis schroeteri Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Tetrasporales Familiy : Palmellaceae Genus : Sphaerocystis


(6)

109

36

Staurastrum elegantissima Kingdom : Protista

Divisi : Chlorophyta Class : Conjugatophyceae Order : Zygnematales Familiy : Desmidiaceae Genus : Staurastrum

Species : Staurastrum elegantissima

37

Staurastrum tetracerum Kingdom : Protista Divisi : Chlorophyta Class : Conjugatophyceae Order : Zygnematales Familiy : Desmidiaceae Genus : Staurastrum

Species : Staurastrum tetracerum

38

Trichocerca longiseta Kingdom : Animalia Phylum : Rotifera Class : Monogonanta Order : Ploimida Familiy : Trichocercidae Genus : Trichocerca