Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB VII

Bab Tujuh

Pengelolaan Usaha Papalele

Pengantar
Pada bab ini akan dijelaskan proses usaha papalele dan
pengelolaannya serta upaya yang dilakukan untuk membentuk
dan membangun jejaring. Diawali dengan proses yang terkait
dengan aktivitas papalele. Penjelasan di sini lebih dikaitkan
dengan jejaring dengan sesama papalele dan dengan pedagang
sebagai mitra usaha. Jejaring yang dibangun merupakan salah
satu strategi usaha yang telah terbina sejak lama. Kekuatan
saling percaya (trust) dalam kemasan ‘janji’ merupakan pokok
kelanggengan usaha.
Pada umumnya usaha ini tidak membutuhkan curahan
modal yang besar. Bagi para informan, modal uang sebesar
Rp.150.000 s.d Rp.200.000 misalnya sudah dianggap cukup
untuk berjualan. Modal kecil seperti itu, akan mendapatkan
keuntungan yang sedikit, tetapi berkelanjutan. Pada sisi lain,
183


Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

mereka juga pantang menyerah dan tetap bertahan. Sementara,
peralatan jualan dan kelengkapannya hanya mengandalkan
peralatan atiting sejenis bakul dan alat-alat dapur bekas pakai.
Bagi mereka peralatan jualan itu sudah cukup untuk
menampung dan menyimpan buah-buahan yang akan dijual,
baik secara menetap atau pun berkeliling menjajakan jualan.
Memang terkadang uang awal modal usaha selalu menjadi
alasan klasik bagi setiap orang atau kelompok orang saat akan
mengawali menjalankan satu kegiatan usaha. Tanpa kecukupan
modal yang besar dan kuat usaha seakan tidak mampu dijalankan. Karena itu sering kecenderungan orang awam berusaha
harus dimulai dengan modal besar yang cukup tersedia meskipun kemungkinan bertahan lama agak sulit. Papalele tumbuh,
bertahan dan berkelanjutan hanya dengan modal sangat kecil,
tetapi dilandasi dengan semangat, tekad, komitmen dan solidaritas antar mereka. Keterbatasan modal bagi mereka bukan
alasan, dan untuk tetap bertahan dengan merawat kelanggengan
usaha dengan pedagang lain. Hubungan keduanya dibentuk
oleh aturan-aturan tertentu yang disepakati.
Selain menjalin hubungan dengan pedagang lain (non


papalele), kebersamaan dan tenggang rasa antar papalele selalu
dikedepankan dalam berjualan. Tindakan ini merupakan salah
satu cara agar konflik tidak terjadi antar mereka. Keunikan para
informan antar mereka saat papalele, terbentuk dalam tiga hal,
saat akan memulai berjualan. Tahap pertama, ketika buah yang
akan dijual harus dicari ke pasar secara bersama. Kedua, saling
memperhatikan satu dengan yang lain seandainya pilihan membeli buah kemungkinan sama, maka salah satu dari mereka akan
mencari buah yang berbeda. Ketiga, setelah buah yang dicari
selesai dan hendak dijual, harga jual ditentukan secara bersamasama agar tidak ada di antara mereka yang menjual lebih murah
184

Pengelolaan Usaha Papalele

atau sebaliknya. Ketiga ciri keunikan tersebut merupakan
bentuk tindakan yang mengutamakan kebersamaan dan adanya
rasa keadilan di antara mereka.
Hal lain yang diperhitungkan para papalele untuk menjaga keberlanjutan usaha tetap berjalan adalah dengan membina
hubungan harmonis dengan pihak lain: pemilik toko/swalayan
dan lembaga keuangan non bank. Jalinan dengan pemilik
toko/swalayan menjadi perhatian mereka karena lokasi berjualan berada tepat di depan toko/swalayan. Pelataran tempat

berjualan merupakan lokasi strategis yang dipertahankan. Jika
hubungan baik tidak terjalin, bukan tidak mungkin mereka
akan tersingkir dari lokasi itu. Demikian halnya dengan
lembaga keuangan (koperasi), pinjaman kembali tepat waktu
dan kewajiban dipenuhi, memungkinkan pinjaman berikut
berlangsung. Kepercayaan antar mereka menumbuhkan
semangat untuk menjaga keberlangsungan usaha masing-masing
pihak.

Proses Menjalankan Usaha

• Modal Awal Berusaha

Rata-rata para informan menggunakan hasil tabungan
sendiri sebagai modal awal memulai berjualan. Sedikit demi
sedikit uang dikumpulkan dan dijadikan modal usaha, karena
untuk papalele tidak membutuhkan modal yang besar. Dengan
uang Rp100.000 sudah cukup untuk memulai papalele. Hal ini
dapat dimengerti karena pada umumnya informan memiliki
latar belakang keuangan yang terbatas dan pas-pasan, sehingga

modal seadanya sudah bisa dipakai untuk membeli bahan yang
hendak dijual. Sebut saja mama Tine, salah satu informan yang
menuturkan bahwa:
185

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

ya bali, paling sadiki tu saratus lima pulu, la banya tu
dua-dua ratus...jang talalu banya bali iko uang saja.
(buah yang dibeli, uang yang diperlukan paling sedikit
Rp150.000 dan paling banyak Rp200.000, jangan terlalu
banyak membeli, disesuaikan dengan uang yang dimiliki).

Untuk menanggulangi kekurangan modal, terkadang
tanggung-renteng mengumpulkan uang bersama sang anak
untuk membeli buah. Keterbatasan modal bukan halangan
untuk tidak papalele, dan saat modal terbatas, mengumpulkan
uang dengan sang anak menjadi alternatif. Kondisi ini terjadi di
saat buah di pasaran mengalami kelangkaan dan harga jual di
tingkat pedagang mengalami kenaikan.

mo kalo dua-dua ratus bali, barang mo mangga mahal
nih, ‘skarang maeng deng satu kilo 15 ribu, satu kilo
salak, mana mangga lai, satu karton sa bisa ampa-ampa
ratus ribu.. skarang ini 1 ...jadi katong bali iko uang saja...
bale jual nanti kalo abis nanti bale lai”
(kalau harga dua ratusan ribu tetap dibeli, karena buah
mangga; harga bisa mencapai Rp15.000 per kilo, sama
juga dengan buah salak. Apalagi sekarang buah mangga
dibeli bisa mencapai harga sampai empat ratus ribu
rupiah. Karena itu kami membeli disesuaikan dengan
jumlah uang yang dimiliki, kalau terjual habis dapat
dibeli lagi).

Setelah berjualan, keuntungan yang diperoleh dari hasil
penjualan dibagi merata dengan sang anak. Mahalnya harga
buah di pasaran mengakibatkan mereka harus menggabungkan
modal agar dapat membeli buah untuk dijual. Selama menjual

1


Wawancara 13 November 2008. 

186

Pengelolaan Usaha Papalele

mama Tine ‘baronda’ ke berbagai lokasi, dan anaknya hanya
‘tandeng’ di terminal angkutan kota dan pasar. Bagi mereka jika
buah mangga dalam satu karton yang dibeli dari pedagang
pengecer terjual habis, hari itu adalah satu keberuntungan,
tetapi sebaliknya jika tidak terjual, maka sisanya akan dijual hari
berikutnya. Keuntungan kemudian akan dibagi secara merata
dengan anaknya.
mo untung to barang 200 ribu dar satu karton mangga
tuh, lalu beta deng eda itu bage saorang saratus-saratus,
snang suda voor blanja…
(satu karton buah mangga mendapat keuntungan dua
ratus ribu, maka dibagi berdua dengan anaknya: Eda.
Keuntungan seperti itu sudah menyenangkan karena bisa
dipakai untuk membeli lagi).


Harga beli buah-buahan di pasaran tidak selamanya stabil,
harga akan meningkat saat musim buah belum berlangsung dan
pasokan buah dari daerah lain terbatas. Sehingga untuk tetap
bertahan papalele, tindakan antisipasi terhadap keterbatasan
modal harus dilakukan. Antisipasi dapat dilakukan dengan cara
tanggung-renteng, atau dengan cara membeli sesuai jumlah
uang yang dimiliki. Membeli dan berjualan lagi dapat dilakukan
manakala jualan sebelumnya terjual habis.
Sulit untuk menentukan secara rutin besar modal setiap
hari selama berjualan. Modal secara harian memang tidak dapat
ditentukan secara pasti mengingat kemampuan para informan
pada umumnya disesuaikan dengan jumlah modal setiap harinya. Bagi mereka jika tersedia Rp100.000 atau Rp150.000 sudah
terasa cukup untuk diputar lagi. Kemampuan membeli sangat
disesuaikan dengan jumlah uang yang mereka miliki. Kondisi
ini terjadi pada semua papalele termasuk juga mama Tine yang
187

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon


selalu menegaskan hal sama bahwa: “…jadi katong bali iko uang
saja...bale jual nanti kalo abis nanti bale bali lai” (kami hanya
bisa membeli disesuaikan dengan jumlah uang yang ada, kalau
terjual habis nanti beli lagi). Pengakuan ini sesungguhnya
mengindikasikan bahwa uang yang tersedia untuk berusaha,
adalah bentuk kemampuan dia.
Berbeda dengan informan ‘mama Tine’ saat kesulitan
modal, maka bersama sang anak bisa menggabungkan modal
untuk membeli buah. Sementara Tanta Mike harus berupaya
sendiri agar modal tetap tersedia jika sewaktu-waktu kesulitan
modal. Untuk mengantisipasi kekuarangan modal, sedapat
mungkin setiap hari tanta Mike harus memisahkan Rp.50.000
sebagai tabungan modal hari berikutnya. Mengingat setiap hari
tidak kurang ia memerlukan modal sampai dengan Rp.300.000
untuk membeli aneka buah yang akan dijual. Dengan modal
uang sebesar itu keuntungan minimal setiap hari kurang lebih
Rp.110.000. Bagi dia, uang tabungan yang disisihkan, tidak
digunakan, kecuali dalam kondisi yang mendesak. Untuk
konsumsi keluarga biasanya dialokasikan sebanyak Rp.40.000,
dan untuk keperluan sekolah anak sehari-hari, terutama

transport Rp.15.000.
• Peralatan Jualan
Peralatan untuk menampung jualan merupakan alat
pendukung yang sangat diperlukan untuk aktivitas berjualan.
Umumnya peralatan yang digunakan sangat sederhana yang
terbuat dari bahan lokal pelepah bambu yang mudah diperoleh
di sekitar desa atau peralatan dapur yang tidak layak pakai
seperti nyiru dan waskom. Peralatan ini dipakai untuk menampung buah-buahan saat mereka berjualan tandeng dan baronda.
Khusus peralatan jualan dari bahan lokal dibuat oleh pengrajin
188

Pengelolaan Usaha Papalele

setempat yang dianyam dari bambu kemudian dinamakan
atiting 2 , demikian juga yang disebut dulang 3 terbuat dari kayu
pohon duren. Kedua peralatan merupakan ciri khas pada masa
lalu yang senantiasa digunakan oleh para papalele saat
berjualan. Bahkan hingga kini ada di antara para papalele yang
masih menggunakan peralatan tersebut.


Gambar 6.
Bentuk peralatan jualan: Dulang dan Atiting yang masih bertahan

(Piso.doc.2008)

Dalam perkembangannya dulang mulai tidak digunakan
lagi. Sementara atiting hingga kini masih bertahan digunakan
oleh beberapa orang papalele. Dulang dan atiting sebagai
peralatan jualan telah menjadi ciri khas papalele terutama yang
“Atiting” adalah bakul/keranjang yang terbuat dari pelepah bambu yang
telah diasapi hingga berwarna coklat kehitam-hitaman. “Atiting” memang
adalah peralatan utama khas para papalele di Maluku. Alat ini mampu menampung beban antara sepuluh hingga dua belas kilogram dan atau lebih.
Lihat juga Mailoa, (2006:6) “Kamus Bahasa – Harian Dialek Orang Ambon”.
Atiting adalah bakul atau keranjang yang dibuat dari irisan kulit bambu atau
kulit pelepah daun enau dengan tujuan untuk menampung hasil kebun. 
3 Dulang terbuat dari kayu pohon duren dan bentuknya bundar berdiameter
sekitar 30cm dengan ketebalan sekitar 2cm. 
2

189


Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

berasal dari daerah pegunungan. Hal ini bisa dimaklumi
mengingat pada umumnya papalele di pegunungan lebih
berorientasi untuk menjual buah-buahan. Dengan dukungan
tipologi wilayah pegunungan sebagai satu daerah yang banyak
menghasilkan buah-buahan, maka fungsinya sebagai wadah
penampung buah-buahan di dalamnya sangat membantu. Tidak
diketahui secara pasti kapan pertama kali kedua peralatan ini
mulai dibuat, dipakai dan dikenal secara luas. Seiring dengan
perkembangan produksi peralatan rumah tangga sejenis dan
fungsi yang sama saat ini, maka berangsur-angsur peralatan ini
mulai tidak digunakan dan diganti dengan peralatan dapur
seperti nyiru dan keranjang yang berbahan bambu atau plastik
serta waskom.
Berkurangnya bahan baku lokal untuk membuat peralatan
jualan, mengakibatkan pengalihan peralatan lokal ke peralatan
modern. Para informan mulai mengalihkan fungsi penggunaan
peralatan jualan disebabkan oleh bahan dasar pembuat dulang
dan atiting tidak lagi tersedia dan sulit untuk ditemukan. Pada
sisi lain pengrajin yang bisa membuat kedua peralatan ini di
Hatalai sebagian besar telah meninggal dunia, dan hanya tersisa
satu orang pengrajin yang masih hidup tetapi sudah lanjut usia
dan tidak bisa berproduksi 4 . Yang paling menyedihkan adalah
keterampilan yang dimiliki pengrajin sebelumnya tidak sempat
pengetahuannya dialihkan kepada generasi mereka, sehingga
praktis peralatan ini mulai punah.
Kondisi di atas mengakibatkan para papalele harus mencari peralatan pengganti. Barang yang diganti paling tidak
memiliki fungsi yang sama untuk menampung barang jualan.
Hal ini dimungkinkan karena saat ini sudah banyak peralatan

4

Wawancara tanggal 16 November 2008 Sekretaris Desa Hans. D. Alfons.

190

Pengelolaan Usaha Papalele

rumah tangga berukuran besar yang telah beredar luas sehingga
bisa menampung buah-buahan yang jauh lebih banyak dari
dulang dan atiting. Biasanya untuk mengganti dulang dipakai
nyiru yang terbuat dari bahan anyaman bambu atau plastik
dengan pilihan aneka warna. Nyiru yang dipakai berukuran
garis tengah antara 30 sampai 60 sentimeter. Sementara untuk
mengganti atiting dipakai baskom atau keranjang plastik dengan
ukuran tengah kurang lebih 60 sentimeter. Volume dan daya
tampung kedua peralatan ini disesuaikan dengan banyak-nya
buah yang dibeli untuk dijual. Karena peralatan tersebut sangat
praktis penggunaannya sehingga kemampuan dan daya
tampung bisa mencapai sepuluh kilogram atau lebih.
• Mekanisme Baronda dan Tandeng
Masyarakat Ambon terbiasa mengenal pola papalele
dalam menjual buah-buahan dan atau bahan kebutuhan dapur
dan sayuran. Para papalele biasanya akan menjumpai pembeli
dan pelanggannya dari rumah ke rumah. Bagi warga yang tidak
sempat ke pasar akan menunggu papalele yang lewat di setiap
rumah. Cara baronda atau berkeliling ini masih tetap bertahan,
walapun banyak di antara papalele lebih memilih tidak lagi
baronda. Mereka yang tetap eksis dengan ‘baronda’ lebih pada
pertimbangan antara lain: relasi dengan pembeli telah terjalin
sudah sejak lama, menjaga agar hubungan itu tetap terpelihara,
tidak ingin kehilangan relasi – pelanggan, dan berkeliling
memiliki peluang yang besar untuk jualan cepat terjual. Saat
baronda biasanya di atas kepala dijunjung bakul atau keranjang
yang dialasi kain melingkar. Menjunjung barang di kepala lebih
dikenal oleh masyarakat dengan istilah ‘keku’ 5 .
5 “Keku” adalah istilah lokal yang artinya kurang lebih ‘menjunjung di
atas kepala (Mailoa Jan Piet, 2006:54). 

191

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

• ‘Baronda’
Dari delapan belas informan, ada empat orang yang tetap
bertahan dengan cara baronda. Baronda dan tandeng sebetulnya
adalah pilihan atas cara berjualan para papalele. Karena pilihan
itulah ada empat belas informan lain yang memilih tandeng.
Pada umumnya alasan mereka untuk tandeng lebih pada pertimbangan lebih mudah dan tidak memerlukan tenaga yang
banyak untuk mengelilingi kota. Meskipun pada awalnya
mereka juga baronda, namun seiring dengan perkembangan
pasar yang semakin baik mereka kini terpusat pada satu lokasi
dengan ketersediaan fasilitas perdagangan – pasar telah disediakan dan dibenahi oleh pemerintah kota, sehingga cara tandeng
yang dipilih.
Sejak usia muda (22) baronda menjadi pilihan yang
dijalani papalele. ‘Mama Tine’ adalah salah satu informan yang
telah berusia 68 tahun 6 . Usia yang mungkin sudah tidak lagi
produktif, tetapi nyatanya ia masih produktif berjualan. Secara
rutin setiap hari ia berjualan dengan cara baronda. Sejak pertama kali memulai usaha papalele, cara baronda telah menjadi
pilihannya.
Pagi itu ‘mama Tine’ terlihat segar, persiapan untuk
berangkat memulai papalele. Dengan kebaya rapi bercorak
kotak warna putih bergaris merah di bagian atas, dan bagian
bawah kain sarung warna merah kotak serta di kepalanya ada
atiting yang masih kosong. Seperti biasanya sejak pagi ia sudah
harus tiba di pasar tempat anaknya yang juga papalele
(tandeng). Saya pun menyapa sambil menghampirinya. Hari itu,
saya bersama beliau bertemu di terminal desa sekitar pukul
06.30 pagi. Tidak seperti biasanya ia keluar rumah dua atau tiga
6

Wawancara 13 November 2008. 

192

Pengelolaan Usaha Papalele

jam sebelumnya. Keterlambatan ini karena beberapa tugas
rumahan menumpuk yang harus diselesaikan, akunya. Walapun
demikian, keterlambatan pergi papalele tidak berpengaruh
terutama untuk mendapatkan buah yang hendak dijual, karena
sang anak telah mendahului berangkat sejak subuh pagi. Kami
berangkat menggunakan mobil angkutan umum jurusan
Hatalai-Kota. Sekitar tiga puluh menit perjalanan, kami tiba di
pasar Mardika Ambon langsung menuju tempat sang anak yang
telah menunggu.
Hari itu, buah yang telah dibeli antara lain, buah mangga
harum manis, salak dan buah langsat. Dari tiga jenis itu, buah
mangga harum manis yang dibeli sebanyak satu peti (diperkirakan satu peti berisi kurang lebih 200 buah mangga). Satu peti
seharga Rp 400.000. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan
dengan beberapa hari sebelumnya, akunya. Lebih lanjut dikatakan bahwa ia membeli dalam jumlah itu, dengan tujuan akan
dijual untuk beberapa hari ke depan. Jika lebih cepat terjual
habis, akan lebih baik, harapnya. Satu per satu mangga dimasukkan ke dalam atiting. Daya tampung atiting bisa mencapai
lima puluh buah – setara enam belas kilogram. Satu kilogram
antara dua sampai tiga buah mangga. Jumlah itu tergolong
sangat berat dan harus keku baronda.

193

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Gambar 7.
Informan “baronda” dengan Atiting di atas kepala
(Piso.doc.2008)

Setelah buah mangga selesai dimasukkan ke atiting, kami
siap baronda. Sementara buah salak dan langsat tidak disertakan. Kedua buah tersebut dijual sang anak. Untuk melihat
lamanya waktu perjalanan, saya memperhatikan jarum jam,
tepat pukul 08.30 kami mulai melakukan perjalanan. Sambil
berjalan satu per satu toko, rumah makan, rumah penduduk
disinggahi untuk menawarkan buah. Bahkan sempat pula dalam
perjalanan, ada beberapa orang buruh bangunan yang sementara bekerja, berteriak memanggil untuk melihat buah yang
dijualnya. Mungkin karena berkeinginan untuk makan buah
mangga, satu di antara mereka kemudian membeli tiga buah
mangga dengan harga Rp15.000. Selama perjalanan setiap
tempat yang disinggahi, ia harus menurunkan atiting dari kepalanya. Jika atiting diturunkan terjadi transaksi, sangat menyenangkan baginya. Tetapi jika tidak terjadi pembelian, baginya
hal biasa.

194

Pengelolaan Usaha Papalele

Berhenti, turun-naikkan barang, tawar-menawar dengan
calon pembeli menjadi hal rutin. Kondisi itu terus berlangsung
dan berulang sepanjang perjalanan tiada hentinya. Kadangkadang ada beberapa toko atau rumah penduduk yang sengaja
tidak dihampiri. Saya sempat bertanya mengapa toko atau
rumah tersebut tidak disinggahi?. Menurut mama Tine, toko
atau rumah yang dilewatinya tidak mengkonsumsi buah
mangga, mereka lebih menyukai buah yang lain seperti duren,
manggis, pisang atau yang lain. Jawaban ini setidaknya
menunjukkan bahwa Mama Tine sudah mengetahui dan
mengidentifikasi selera setiap pembeli pada buah yang akan
mereka konsumsi. Baginya, setiap hari jalur jalan selalu berganti
dan disesuaikan dengan buah yang di keku. Rupanya buah turut
menentukan arah dan jalur jalan yang akan dilalui, sebagaimana
penyesuaiannya dengan selera pembeli.
Pukul 12.15, setelah mama Tine keluar dari salah satu
rumah, terlihat isi atiting telah terjual habis. Berarti lebih
kurang empat jam menempuh perjalanan barulah buah yang
dijajakan habis terjual. Setelah semua buah di atiting terjual
tidak berarti ia langsung pulang ke rumah tetapi sebaliknya Ia
kembali ke tempat semula untuk mengambil buah untuk
melanjutkan perjalanan lagi dengan menyusuri jalur jalan yang
berbeda. Ketika akan baronda lagi, dia sempat menanyakan
kepada saya ‘pa masi mau iko bajalang deng beta ka seng?
(apakah bapa masih ingin melanjutkan perjalanan dengan
saya?)’. Pertanyaan ini mungkin saja karena saya dianggap tidak
lagi sanggup melanjutkan perjalanan baronda. Terhadap pertanyaannya, saya pun tetap menyanggupinya, sambil menawarkan waktu istirahat makan siang. Beliau tidak keberatan, tetapi
menurutnya makan siang baru dapat dilakukan setelah pukul
13.00.

195

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Sekitar tiga puluh menit kami beristirahat di salah satu
rumah makan berukuran kecil untuk makan siang. Rumah
makan ini sepertinya merupakan tempat yang biasanya ia
mampir untuk beristirahat, karena saya sengaja mengikuti apa
pun yang dilakukannya. Hidangan makan siang yang kami
pesan cukup sederhana, masing-masing terdiri dari sepiring nasi
dengan lauk-pauk ikan dan sayur gado-gado, dilengkapi dengan
minuman teh manis dan sedikit es. Sambil menunggu pesanan
makanan, saya menyempatkan diri untuk bertanya kepadanya
tentang daya tahan fisiknya selama kami baronda di tengah
panas terik matahari. ‘Mama Tine’ dengan gaya yang khas suka
tersenyum ia menjawab pertanyaan saya: ‘ao mi beta su biasa te,
akang seng biking beta lala lai’ (saya sudah terbiasa, papalele
seperti ini tidak lagi membuat saya kelelahan). Selang beberapa
menit kemudian pelayan menyajikan pesanan makanan kami,
dan dengan doa masing-masing kami pun menikmati makanan
itu hingga selesai. Setelah selesai makan, saya bergegas ke kasir,
dengan maksud mendahuluinya untuk membayar. Tindakan
yang saya lakukan itu, ditanggapainya dengan senyum, sambil
berkata ‘pa dangke banya lai su traktir katong’ (bapa terima
kasih banyak sudah membayar).
Tepat pukul 13.25 kami kembali melanjutkan baronda.
Hari semakin siang, teriknya matahari diperkirakan mencapai
32 derajat celcius. kami tetap berjalan seperti dilakukan sebelumnya. Jalan yang akan kami lalui disampaikan kepada saya,
dan rupanya jalur jalan ini akan kami lalui hingga tiba lagi di
pasar. Cepat atau lambat tiba di pasar sangat tergantung dari
buah yang masih berada di atiting. Sepanjang buah masih ada ia
akan menawarkan ke berbagai tempat yang dilalui. Jarak jalur
jalan kedua ini menyusuri jalan utama pusat pertokoan dan
sering pula melewati gang perumahan penduduk. Waktu

196

Pengelolaan Usaha Papalele

tempuh pada jalur perjalanan ini mungkin mencapai tiga sampai
empat jam atau diperkirakan kurang lebih tiga kilometer.
Mengingat setiap kali harus mampir di rumah atau toko menawarkan jualan sehingga membutuhkan waktu kurang lebih tiga
hingga lima menit. Jika terjadi transaksi waktu yang diperlukan
bisa lebih banyak.
Masuk-keluar toko, warung makan, rumah penduduk,
dan atau menawarkan buah kepada orang yang ditemui selama
berjalan terus berlangsung dan berulang. Ada orang yang membeli, tetapi ada juga yang hanya sekedar melihat dan menanyakan buah yang dijual atau bertanya harga buah. Jika ada
keinginan calon pembeli untuk membeli maka tawaran harga
dari mereka variatif. Bahkan ada calon pembeli yang menawar
hingga di bawah harga pokok. Namun, sebagai penjual mama
Tine tetap tenang menanggapi dan merespons setiap sapaan itu.
Sampai akhirnya barang yang dijual dalam atiting tersisa tiga
buah. Bersamaan dengan itu, saya memperhatikan jarum jam
yang telah menunjukkan pukul 17.00. Akhirnya kami balik lagi
ke tempat tandeng sang anak. Ketika tiba, mama Tine dan
anaknya saling bercerita tentang hasil yang diperoleh. Bahkan
Ia sempat mengemukakan bahwa hari ini buah yang dijual laris
manis, tidak seperti hari sebelumnya.
Buah mangga yang dibawa baronda hari itu terjual sebanyak 80 buah. Dengan harga jual Rp.5.000 per buah diperoleh
hasil Rp.400.000. Pada rute perjalanan pertama, buah mangga
yang dibawa sebanyak 50 buah dan rute kedua sebanyak 40
buah. Hasil penjualan yang diperoleh dibagi berdua dengan
sang anak Rp.100.000. Modal Rp.200.000 disisihkan untuk
penggunaan hari lain. Sementara buah yang tersisa di karton
dititipkan di salah satu toko relasi mereka. Sisa buah mangga
tersebut akan dijual hari berikutnya.
197

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

• ‘Tandeng’
Selain ‘baronda’, ada juga cara ‘tandeng’ atau menetap
pada satu lokasi tertentu. Bagi mereka ‘tandeng’ adalah posisi
dalam menempati satu tempat pada satu lokasi tertentu jauh
lebih mudah dibandingkan dengan baronda. Lokasi tandeng
tergantung tingkat keramaian dan kemungkinan banyak pembeli seperti di depan toko swalayan, emperan terminal angkutan, halaman pelabuhan motor laut atau di pasar di depan
pertokoan. Bagi papalele yang tandeng biasanya untuk mendapatkan tempat tidak juga memerlukan ijin resmi pihak
tertentu layaknya sebuah warung, kios atau toko. Dengan seijin
dan kesediaan pemilik warung atau toko yang terdapat lahan
agak luas di depannya, tandeng sudah bisa dilakukan sepanjang
tidak mengganggu arus hilir mudik pembeli pada warung atau
toko yang bersangkutan.
Salah satu informan ‘Mama Le’, adalah informan yang
saya dampingi selama seharian tandeng. Sebelum kami berjualan tandeng saya sempat bertemu di rumahnya. Rumah yang
beliau tempati bersama suami dan ketiga anaknya sangat
sederhana. Sebetulnya keluarga ini memiliki empat anak, tetapi
salah satu anak meninggal dunia pada tahun 1995. Rumah
sederhana itu dengan ukuran kurang lebih 5x7 M2. Terlihat atap
rumah sedang direnovasi (diperbaiki) digantikan dengan zink.
Sementara dinding rumah juga dalam proses diperbaiki dengan
meng-gunakan batu-bata (sejenis kon-blok) tetapi belum selesai
dilapisi semen (plester). Lantai pun masih terlihat gumpalan
tanah di sana-sini yang belum ditutupi dengan keramik atau
mungkin juga hanya dengan semen.
Setiap malam, kesibukan terus dilakukan menjelang jualan keesokan harinya. Mama Le menuturkan bahwa setiap
malam ia sudah menanak nasi, menyajikan sampai membersih198

Pengelolaan Usaha Papalele

kan kembali semua peralatan masak dan makan. Sebelum
berangkat pagi subuh, pembagian tugas dilakukan kepada suami
dan anak-anaknya. Anak-anak diingatkan untuk memanasi
makanan, membersihkan peralatan makan dan mencuci jika ada
pakaian yang harus dicuci. Setelah menikmati makan malam
dan membagi tugas antar anggota keluarga, sebelum istirahat
peralatan pendukung seperti keranjang plastik, nyiru plastik
sudah harus disiapkan lagi. Sebelum saya meninggalkan
rumahnya, kami telah sepakat untuk keesokan harinya berjualan tandeng bersama.
Pagi subuh adalah waktu tetap untuk melakukan perjalanan bersama papalele. Ketika paginya saya dikejutkan dengan
bunyi alarm yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tepat pukul
04.30 pagi, saya terbangun dan mempersiapkan diri. Bersama
dengan Renny 7 ; kami mempersiapkan peralatan dan perlengkapan pendukung penelitian untuk kegiatan sepanjang hari itu.
Tepat pukul 05.00 pagi, kami menuju terminal negeri untuk
berjumpa dengan “mama Le”. Ketika tiba di terminal, ternyata
beliau lebih awal sudah berdiri di situ. Kami pun bertegur sapa,
sambil juga menyapa beberapa papalele lain, pegawai bahkan
ada juga beberapa anak-anak yang akan berangkat sekolah lebih
awal ke kota pagi itu. Kami kemudian menunggu keberangkatan mobil angkutan umum jalur Hatalai-kota. Mobil yang setiap
hari ditumpangi jenis mini bus, merek Mitsubishi berbahan
bakar solar dan berwarna oranye (orange). Kebetulan memang,
mobil sudah terparkir sebelumnya karena sang sopir menetap di
negeri ini. Pukul 05.10 pagi, mobil membawa semua penumpang menuju terminal Mardika di pusat kota. Perjalanan dengan
mobil kami tempuh kurang lebih dua puluh lima menit.
Renny adalah seorang pemuda desa Hatalai yang menjadi pendamping
peneliti. 
7

199

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Berkeliling mencari buah untuk dijual. Pukul 05.35 pagi
kami tiba di terminal pusat kota. Setibanya, kami berkeliling
mencari bahan yang akan dijual. Pada hari itu, memang buahbuahan yang akan dijual agak sulit ditemui. Menurutnya,
pedagang pemasok telah memberitahukan sebelumnya tentang
kapal yang akan memasok buah-buah dari Makassar dan
Surabaya belum tiba di pelabuhan Ambon. Informasi itu cukup
baginya untuk mencari buah seadanya. Beruntung ia telah
memiliki langganan tetap yang sudah mempersiapkan beberapa
buah baginya. Bersamaan dengan itu, kebetulan persediaan
modal cukup sehingga “mama Le” bisa membeli secara tunai.
Buah yang dibeli mangga 4 kg seharga Rp.75.000, jeruk 4 kg
Rp.60.000, dan pisang 4 sisir Rp.25.000. Pagi itu hanya ada tiga
jenis buah yang berhasil dibeli. Satu jenis lainnya yang rutin
dijual adalah telur ayam negeri lalu dibeli sebanyak 30 butir
seharga Rp.30.000. Total modal hari itu dikeluarkan sebesar
Rp.190.000.
Tidak selamanya pembayaran dengan cara tunai, pembayaran pun dapat dilakukan pada sore harinya sesuai kesepakatan
bersama. Kebiasaan antara papalele dan pedagang dalam
transaksi adalah bayar tunai. Jika papalele terbatas untuk modal
dan atau tidak tersedia, pedagang akan memberikan kesempatan
untuk mengambil dulu, dan sore hari dibayar. Bahkan kadangkadang bisa terjadi dibayar selama dua atau tiga hari lebih
setelah semua barang terjual. Untuk hal yang terakhir ini jika
papalele mengambil buah dalam jumlah yang besar seperti satu
atau dua karton buah tertentu. Cara ini telah dilakukan sejak
lama oleh “mama Le” bersama teman-temannya dengan para
pedagang langganan. Saling percaya di antara mereka sudah
terbangun lama, dan belum pernah ada yang lalai (ingkar)
terhadap kesepakatan ini.

200

Pengelolaan Usaha Papalele

Kurang lebih satu jam waktu yang diperlukan untuk
mengumpulkan semua jenis yang akan dijual. Setelah semua
terkumpul, kemudian bahan-bahan tersebut dibawa menuju
tempat tandeng. Lokasi tandeng berada di depan salah satu
swalayan di kota Ambon yang jaraknya kurang lebih empat
ratus meter dari pasar. Kami pun menuju ke lokasi dimaksud.
Waktu masih pagi swalayan tersebut belum dibuka. Biasanya
swalayan baru dibuka sekitar pukul 08.00. Sambil menunggu
swalayan dibuka Ia manfaatkan waktu untuk mengatur tempat
dan menata buah yang akan dijual. Caranya, buah-buah dibuat
per kelompok, sesuai dengan jenis. Satu kelompok mangga
berjumlah dua buah dengan harga Rp.15.000. Satu kelompok
buah lainnya yakni salak yang berjumlah lima buah dengan
harga Rp.10.000. Satu kelompok ini disebut ‘sa tampa’. Semuanya diletakkan di atas satu nyiru plastik. Begitu pun dengan
kedua teman yang lain. Mereka membagi dua lokasi tandeng,
“mama Le” mengambil posisi pada bagian kiri depan swalayan,
sementara kedua teman berada pada bagian kanan. Tempat ini
memang telah diijinkan oleh pemilik swalayan kepada mereka,
sejak terjadi kerusuhan di Kota Ambon 1999.
Mereka menawarkan buah yang dijual kepada orangorang yang lalu-lalang masuk dan keluar swalayan. Terdengar
suara tawaran dari “mama Le” dan teman-temannya “ibu, beli
mangga”, atau sesekali terdengar “pak beli pisang ka?“. Tawaran
mengajak untuk membeli sering diucapkan dan terus berulang.
Ada yang datang hanya sekedar bertanya harga, atau saling
tawar-menawar, tetapi ada pula yang langsung membeli.
Beberapa di antaranya terlihat membeli ‘sa tampa’ mangga, dan
juga pisang.

201

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Gambar 8.
Dua informan (posisi tandeng bagian kiri dan kanan)
depan Swalan Citra Ambon (Piso.doc.2008)

Kira-kira pukul 13.00 siang kami beristirahat sejenak di
salah satu rumah makan. Rumah makan tempat kami beristirahat hanya bersebelahan dengan swalayan tempat ia tandeng.
Tempat ini sudah sering bagi mereka yang tandeng di situ untuk
makan siang. Makanan yang kami pesan hanya nasi, ikan dan
sayur dilengkapi dengan minuman air putih. Bentuk pesanan
makanan ini tergolong sederhana, karena masih ada beberapa
menu lain seperti ayam goreng, daging rendang, daging
panggang dan kuah sup. Makanan yang kami pesan disesuaikan
dengan kebiasaan makanan yang pada hari lainnya dimakan
beliau. Saat kami istirahat makan, teman-temannya bertugas
202

Pengelolaan Usaha Papalele

menunggu dan mengawasi jualan “mama Le”, pun sebaliknya.
Saling bergantian mengawasi jualan bukan hanya untuk
istirahat makan, tetapi juga jika salah satu di antara mereka sakit
atau ada keperluan mendesak. Cara ini sudah sejak lama dilakukan dan mereka saling bergantian. Setelah berjualan, baru
kemudian hasilnya akan diserahkan ketika sudah kembali ke
rumah.
Hari itu matahari cukup terik sehingga mereka harus
berlindung dan berteduh dengan payung yang dipasang di
depan jualan. Mereka berjualan hingga sore hari sekitar pukul
16.30. Karena cara tandeng yang dipakai, maka terlihat “mama
Le” dan juga teman-temannya duduk terus-menerus di tempat
jualan masing-masing. Sesekali mereka berdiri untuk melepaskan kelelahan setelah duduk, atau sesekali berputar, maju di
depan jualan. Saya yang mendampingi sejak pagi turut merasakan hal serupa, sama seperti mereka, sambil tetap memperhatikan perilaku mereka selama berjualan.
Setelah berjualan mereka membereskan dan membersihkan tempat berjualan. Peralatan jualan seperti meja kecil,
waskom atau nyiru mulai dirapikan. Buah-buah yang tidak
terjual dimasukkan kembali ke dalam keranjang. Tidak lupa
mama Le mengambil sapu untuk membersihkan sampah yang
berada di sekeliling tempat mereka berjualan. Cara ini adalah
bentuk tanggung jawab mereka kepada sang pemilik swalayan,
sehingga kebersihan tetap terjaga dan mereka tetap bisa menempati lokasi jualan. Sementara peralatan yang telah dibereskan, tidak dibawa pulang, tetapi dititipkan di bagian belakang
swalayan itu.
Sebelum pulang, hasil berjualan dihitung dan modal awal
dipisahkan. Mama Le terlihat antusias menghitung hasil penjualan yang diperoleh hari itu. Seharian ia bisa mendapat hasil
203

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Rp.265.000, kemudian modal awal Rp.190.000 dipisahkan dan
keuntungan bersih diperolehnya sekitar Rp.75.000. Keuntungan
ini kemudian dibagi lagi untuk membeli kebutuhan sehari-hari
antara lain beras satu kilogram, masing-masing dua potong
sabun mandi, sabun cuci, dua kilogram gula, dan ikan secukupnya. Guna keperluan sekolah anak-anak rata-rata ia keluarkan
Rp.35.000 sehari dan jika ada kelebihan ia manfaatkan untuk
ditabung.
• ‘Tandeng dan Baronda’
Melakukan Tandeng dan Baronda secara bersama untuk
menghindari kerugian. Kisah ‘mama Tine’ dan ‘mama Le’ secara
tegas memilih cara baronda atau tandeng. Kedua cara tersebut
dalam persepsi mereka masing-masing sangat menguntungkan.
Berbeda dengan persepsi ‘tanta Evi’ satu dari delapan belas
papalele yang justru menggunakan baronda dan tandeng secara
bersamaan. Menurut ‘tanta Evi’ setelah tandeng, buah tersisa
akan dibawa baronda dijual kepada pelanggannya. Bahkan
kadang-kadang, walaupun kemungkinan buah yang dijual bisa
habis terjual, ia akan menyisihkan beberapa buah untuk
pelanggannya. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara hubungan dengan pelanggan, sebagaimana kisahnya yang saya ikuti
seharian.
Sambil mengamati, saya mendampingi salah satu informan ‘tanta Evi’ seharian berjualan. Cara ini agak unik sehingga
untuk mengetahui lebih dalam, saya harus terlibat dan ikut
berjualan bersamanya. Sebelumnya saya telah mendapat persetujuan ketika saya berkunjung ke rumahnya. Tepat pada hari
yang disepakati, kami pun menuju terminal Hatalai. Rupanya
sudah seperti biasanya, sejak pukul 05.00 subuh sudah terlihat
beberapa papalale lainnya bergegas hendak ke kota. Namun,
204

Pengelolaan Usaha Papalele

pada hari itu kami ternyata terlambat tiba di terminal negeri,
hanya selang beberapa menit. “Tanta Evie” telah mendahului
keberangkatan dengan trip mobil pertama menuju kota.
Informasi ini disampaikan oleh salah satu papalele lain, yang
kebetulan kami tanyakan. Tidak ada pilihan lain untuk secepat
mungkin mengikutinya sambil menunggu trip mobil berikutnya. Pagi subuh di Hatalai memang kendaraan angkutan sangat
terbatas. Termasuk kendaraan ojek yang biasanya juga sering
dipakai sebagai angkutan saat mobil angkutan tidak ada.
Angkutan umum di Hatalai semakin ramai setelah pukul 06.00
pagi, saat pegawai negeri, karyawan swasta dan anak-anak akan
berangkat kerja dan sekolah di kota.
Terlambat bertemu di terminal dengan ‘tanta Evi’, sehingga harus mengejarnya ke pasar. Keterlambatan ini karena kami
keliru waktu yang disepakati. Walaupun tidak bertemu di
terminal angkutan, kami harus tetap mencarinya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kami mendapat giliran mobil
trip kedua menuju kota. Sambil mobil berjalan saya menggunakan kesempatan bertanya jalur perjalanan “tanta Evie” kepada
beberapa rekannya. Hal ini agar setibanya di kota, kami tidak
salah arah mencari dan kehilangan jejaknya. Beberapa di antara
papalele menjelaskan posisi dan lokasi ‘tanta Evi’ setiap pagi saat
mencari buah-buah yang akan dibeli. Rupanya mereka setiap
pagi pasti bertemu di lokasi yang dijelaskan. Penjelasan ini
membantu mempermudah kami mencarinya. Dugaan saya ada
benarnya karena informasi dari beberapa rekannya yang membenarkan bahwa mereka seringkali bertemu dengan pedagang
pemasok yang sama. Umumnya pedagang pemasok langganan
mereka, berasal dari suku Buton dan Makassar beragama Islam.
Tempat berjualan para pedagang menjadi titik perjumpaan antar

205

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

mereka untuk saling berkomunikasi dan membeli buah-buah
yang hendak dijual.
Bagi para papalele tiba secepatnya di pasar harus lebih
pagi agar mudah mendapat buah yang akan dibeli. Mobil yang
kami tumpangi akhirnya tiba di terminal kota. Kami bergegas
mencari ‘tanta Evie’ sebagaimana petunjuk yang diberikan
sebelumnya. Kurang lebih lima belas menit mencari, akhirnya
kami bertemu. Tanpa merasa ragu, ia mengatakan bahwa ketika
tiba tadi di terminal Hatalai ia tidak melihat kami sehingga
langsung pergi dengan mobil trip pertama. Baginya lebih cepat
tiba di pasar, akan memudahkan untuk mendapatkan bahanbahan yang akan dijual, karena jika terlambat tiba, buah yang
dicari sudah tidak lagi ditemukan. Kami sangat menghargainya.
Pagi itu kami melihat “tanta Evie” telah mengumpulkan
beberapa bahan yang akan dijual: buah mangga, salak, pisang
dan telur ayam negeri. Menurutnya buah kenari yang masih
harus dicari dan kami bersama mencari. Sambil berjalan, dalam
benak saya terbayang buah kenari yang masih utuh. Ternyata
ketika kenari diperoleh, hanya isi buah kenari yang telah dilepas-pisahkan dari kulitnya yang keras oleh sang pedagang
penjual.
Hari itu semua buah yang terkumpul dibeli secara tunai
karena beliau memiliki modal yang cukup. Buah yang dibeli
masing-masing 20 buah mangga golek, 30 buah salak, 700 biji
kenari, dua tandan pisang – satu tandan terdiri dari kurang
lebih empat sampai lima sisir, dan 120 butir telur ayam negeri.
Jumlah bahan sebanyak itu dibeli dengan modal Rp.175.000.
Setelah semua bahan yang akan dijual terkumpul, ia segera menuju ke tempat berjualan dengan menggunakan becak.
Becak digunakan untuk mengangkut bahan jualan karena jarak
dari pasar ke tempat berjualan kurang lebih satu kilometer.
206

Pengelolaan Usaha Papalele

Biaya sebesar Rp5.000 dikeluarkan untuk membayar ongkos
becak. Ternyata lokasi yang setiap hari ditempati adalah di
depan halaman Planet 2000, salah satu supermarket di jalan
utama pusat kota. Sepanjang lokasi jalan ini berderet berbagai
kantor bank pemerintah dan bank swasta nasional, restoran,
pertokoan dan sekolah. Bagi masyarakat jalan utama ini dikenal
sebagai salah satu pusat aktivitas yang ramai.

Gambar 9.
Informan saat ‘tandeng’ depan Supermarket
(Piso.doc.2008)

Membersihkan lokasi berjualan di depan Supermarket
Planet 2000 dan mengatur serta menata buah yang akan dijual.
Setibanya di depan Supermarket, ‘tanta Evie’ harus menunggu
karena Supermarket belum dibuka. Pukul 07.30 pagi, barulah
terlihat salah satu karyawan keluar membuka pintu seraya
mengajak dia menempati tempatnya. Tanpa menunggu ia segera
membawa masuk barangnya. Kemudian tempat jualan diatur
dan ditata dalam beberapa tumpukan buah. Kenari dikelompokkan dengan jumlah antara 15 sampai 20 biji per tumpukan.

207

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Telur dimasukan per kantong plastik putih sebanyak 10 butir.
Mangga diletakkan per dua buah dan ada yang hanya satu buah,
demikian halnya pisang diletakkan per satu sisir. Setelah semua
siap, ia duduk di belakang jualannya.
Mengajak dan menawarkan buah kepada setiap orang
yang masuk keluar supermarket. Selama saya mendampingi
beliau sesekali ia berkata ‘ibu beli mangga? atau; ‘bapa beli
mangga?’. Ucapan itu berulang hampir setiap ada pengunjung
yang lewat. Ajakan membeli kadang tidak sia-sia, karena ada
yang membeli. Beberapa pembeli di antaranya membeli kenari,
pisang dan juga mangga. Tawaran kepada pembeli sama seperti
perilaku informan sebelumnya.
Akrab membina relasi dengan karyawan toko adalah
bentuk kompensasi menempati tempat tersebut. Menjelang
waktu istirahat makan siang, saya sempat bertanya kepada
‘tanta Evi’ kalau waktunya istirahat makan siapa yang akan
mengawasi jualan? Mengingat tidak ada papalele lain di situ.
Menurutnya, istirahat makan siang hampir jarang dilakukan,
karena sebelum berjualan, makanan disiapkan dari rumah
berupa satu atau dua potong kue dan sebotol air. Jika harus
mencari makan, ia akan meminta satu karyawan untuk mengawasi dan jika dimungkinkan mereka akan menjual. Bentuk
perhatian ini telah terbangun di antara mereka sejak ia
menempati lokasi itu.
Mendapatkan tempat tandeng karena kepedulian sang
pemilik toko. Kira-kira pukul satu siang kami beristirahat untuk
makan siang bersama. Di sela-sela istirahat makan, ia bercerita
bahwa sebelum tandeng, ia selalu baronda. Suatu saat —
beberapa bulan setelah kerusuhan di Kota Ambon 1999, ketika
sementara baronda’ ia melintas di depan supermarket dan
sempat berteduh karena hari itu matahari terlalu terik.
208

Pengelolaan Usaha Papalele

Kebetulan saja bersamaan dengan itu sang pemilik super-market
keluar lalu menemuinya dan meminta agar ia menempati pojok
kosong di depan Supermarket. Lebih lanjut dituturkan bahwa,
mungkin saja pemilik supermarket merasa iba melihat ia
berjualan berkeliling di tengah panas. Tawaran sang pemilik
Supermarket tidak ditolak sehingga tempat itu akhirnya ditempati hingga kini. Setelah selesai istirahat kami kembali berjualan.
Berkeliling untuk menjual buah yang belum habis terjual
saat tandeng. Setelah kurang lebih dua jam tandeng tepat pukul
15.00, kami mulai baronda. Sebelum berjualan mangga, salak
dan telur yang tersisa dimasukkan ke dalam keranjang plasik.
Pisang diletakkan di nyiru plastik bagian atas dari keranjang.
Tanta Evie pun pamit dari sang pemilik supermarket, lalu saya
mulai mengikuti dari belakang. Sepanjang kami jalan, ada enam
toko dan dua rumah makan yang disinggahi untuk menawarkan
buah. Kalau saat ia memasuki salah satu toko atau rumah, dan
agak lama keluar berarti terjadi transaksi dan sebaliknya.
Perjalanan terus dilakukan, masuk dan keluar toko, rumah
penduduk, lorong dan gang pun dilalui. Sambil berjalan ia
sempat mengatakan kepada saya bahwa jalur jalan yang dilalui
ia lakukan secara rutin setiap hari. Menurutnya, pelanggan
harus tetap dikunjungi, karena mereka akan bertanya jika tidak
dikunjungi agar komunikasi tidak terputus.
Menjelang kembali ke terminal dan pulang ke rumah, ia
sempat menggunakan waktu beberapa menit istirahat untuk
menghitung keuntungan dari hasil berjualan. Setelah beberapa
waktu baronda akhirnya kami menuju kembali ke terminal dan
pasar. ‘Baronda’ ternyata membutuhkan waktu kurang lebih
dua setengah jam perjalanan hingga tiba di terminal dan pasar.
Sempat kami beristirahat sejenak di salah satu sudut jalan di
209

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

bawah pohon mangga. Istirahat itu digunakan untuk menghitung keuntungan yang diperoleh. Kebetulan memang, semua
yang dijual hari itu habis terjual. Seluruh hasil penjualan hari
itu diperoleh Rp.345.000. Modal awal Rp.175.000 dipisahkan
terlebih dahulu. Kemudian dia menghitung pengeluaran antara
lain, biaya transport Hatalai-Kota pergi pulang Rp.7.600, biaya
becak Rp.5.000, dan retribusi Rp.2.000. Total Pengeluaran Rp.
Rp.14.600. Keuntungan bersih yang diperoleh sebesar
Rp.155.400. Hasil itu kemudian dibagi menjadi dua bagian
dengan alokasi Rp.50.000 ditabung sebagai modal, sisanya
digunakan membeli bahan kebutuhan dapur. Jika masih ada sisa
lebih, maka digunakan lagi untuk membeli keperluan lain
sewaktu di rumah. Anak-anak yang bersekolah rata-rata ia
siapkan Rp.20.000 per hari.
Mengacu pada diskripsi pengelolaan usaha papalele,
terlihat pola pemanfaatan modal, dan keuntungan yang
diperoleh. Tabel berikut menyajikan sepintas gambaran
sederhana perhitungan penjualan.
Tabel 2.
Perhitungan rata-rata modal dan keuntungan informan
per hari (dalam rupiah)
Informan
Le’
Tine’
Mike’
Evi’

Modal
190.000
200.000
300.000
175.000

Penerimaan
265.000
400.000
410.000
345.000

Sumber: data primer (diolah) 2008-2009.

210

Keuntungan
75.000
200.000
110.000
155.400

Pengelolaan Usaha Papalele

• Menghindari Pinjaman
Mengindari pinjaman uang dari pihak lain untuk usaha.
Bagian sebelumnya telah dijelaskan kondisi keuangan papalele
yang terbatas terutama untuk modal usaha. Dengan modal
usaha yang terbatas, dapat dipahami jika mereka menolak
tawaran pihak lain yang datang menawarkan pinjaman atau
kredit sejumlah uang tertentu. Tanta Mike misalnya, kredit dari
berbagai pihak selalu ditolak karena beban pembayaran kembali
dirasakan cukup memberatkan walaupun cicilan pembayaran
dilakukan setiap hari dan jumlah pengembaliannya tidak terlalu
besar. Pada sisi yang lain, ia tidak ingin dibebani dengan tagihan
setiap hari yang bukan tidak mungkin tidak bisa dibayar.
Bahkan menurutnya kedatangan penagih setiap hari, akan
sangat mengganggu aktivitasnya. Dengan modal seadanya akan
jauh terasa lebih bebas dibandingkan resiko pinjaman. Kalaupun harus meminjam untuk usaha, maka keluarga terdekat yang
dihubungi untuk maksud tersebut.
Hal yang hampir serupa juga dilakukan mama Yoke, salah
satu informan. Banyak pihak yang selalu menawarkan pinjaman
kredit, tetapi selalu ditolak dengan alasan kemampuan pengembalian takut tidak dapat dipenuhi. Jangankan menerima tawaran
pinjaman kredit, tawaran dari pedagang yang sudah dikenal
juga ditolak. Penolakan yang dia lakukan terhadap pedagang
kenalannya disampaikan sebagai berikut:
…parna, dong bilang ibu ambil dolo nanti baru bayar.
Beta seng parna mau bagitu, beta paleng taku, beta pikir
di beta pung kantong jang sampe seng cukup untuk
bayar, jadi macam buah salak bagitu beta bali seadanya
sesuai deng beta pung dalam kantong ada brapa… seng
brani ale, taku jang sampe beta jual akang la seng bale
modal, la beta musti bayar deng apa. Mo ada yang
kadang-kadang katong rugi, modal jua tar bale. Kalo

211

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

yang tar laku lai, la beso baru katong jual lai to. Resiko
katong punya te, katong tanggung sandiri, mo barang
tiap hari tu tar sama 8 ”
(pernah pedagang katakan ‘ibu silahkan mengambil
buah dulu, bayarnya kemudian’. Saya tidak akan melakukan itu, saya sangat takut, saya juga berpikir jangan
sampai uang yang ada di saku saya tidak mencukupi
untuk membayarnya nanti. Karena itu seperti buah salak
saya membeli seadanya sesuai dengan uang yang saya
miliki. Saya tidak berani berhutang, takut jangan-jangan
saat menjual uang modal tidak kembali, akhirnya
membayar tidak dapat dipenuhi. Buah yang kita beli dan
tidak terjual, masih bisa dijual lagi keesokan harinya.
Resiko harus kita tanggung karena setiap hari hasilnya
pun tidak sama).

Keterbatasan modal dan keterbatasan jumlah bahan yang
dijual merupakan ciri usaha yang tidak berani mengambil
resiko usaha. Berbagai tawaran perkuatan modal usaha sering
tidak direspon oleh pelaku usaha seperti ini. Menghindari
resiko (avoiding risk) pinjaman merupakan kesadaran akan
keterbatasan kemampuan yang dimiliki.

Mekanisme Mengelola Usaha
Pengetahuan yang cukup terbatas, kalau tidak ingin
dikatakan rendah, tidak menjadi penghalang dalam usaha.
Pengetahuan dari pendidikan formal sering dijadikan ukuran
untuk memahami seseorang saat berusaha. Karena masyarakat
umum selalu beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang semakin baik kegiatan usaha yang dibuat,
dan sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berlaku pada para papalele,
8

Wawancara tanggal 21 April 2009. 

212

Pengelolaan Usaha Papalele

dengan ketiadaan pengetahuan yang memadai ternyata mereka
mampu mengelola dan meng-identifikasi usaha. Kemampuan
ini ditandai dengan mekanisme papalele yang sangat sederhana.
Ciri kesederhanaan itu diawali dengan mencari dan membeli
buah yang akan dijual, melakukan tawar menawar, kemudian
menentukan harga jual hingga membangun relasi dengan
pedagang.
• Produk yang Diperdagangkan
Para papalele tidak selalu mengandalkan buah hasil
kebun, tetapi juga membeli dari pedagang untuk dijual. Bagian
sebelumnya telah menegaskan tentang pengalaman pertama
seorang memulai papalele. Buah hasil kebun atau dusun merupakan produk unggulan yang dijual, kemudian dari hasil menjual mereka mendapatkan keuntungan yang dijadikan sebagai
modal untuk diputar hari berikutnya. Walaupun keuntungan
tidak terlalu besar tetapi sudah cukup untuk membeli buah
yang lain. Tujuannya jelas melanjutkan dan mempertahankan
usaha untuk mendapatkan penghasilan.
Buah hasil kebun bukan satu-satunya andalan untuk dijual sebagai penghasilan. Walaupun para papalele selalu sangat
mengharapkan buah dari kebun atau dusun sendiri yang dipanen pada waktunya atau membeli dari tetangga. Hasil kebun
itulah yang dijual ke pasar, namun mereka sering berhadapan
dengan musim yang telah berubah. Ada buah seperti rambutan,
pepaya dan salak dalam setahun bisa dua kali panen, tetapi buah
seperti manggis, duren, kecapi hanya panen sekali setahun.
Ketidak-stabilan hasil panen membuat mereka tidak hanya bergantung dan mengharapkan hasil kebun, tetapi harus membeli
buah dari pedagang untuk dijual.

213

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Saat musim panen tiba, papalele sangat diuntungkan
terutama bagi mereka yang kebunnya banyak menghasilkan
buah karena tidak perlu lagi mencari buah ke pasar. Demikian
pun bagi mereka yang kebun dan dusun tidak menghasilkan
dapat membeli dari tetangga terdekat. Seperti mama Le dan
tanta Evi tidak perlu direpotkan dengan mencari buah ke pasar
Ambon, mereka bisa dengan mudah membeli dari tetangga
sekitar rumah atau tetangga se-desa. Bahkan