Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB IV

Bab Empat

Pembangunan Kota Ambon
dan Papalele

Pengantar
Bab ini akan menguraikan tentang konteks papalele dalam
pembangunan daerah dan kemajuan pembangunan di Kota
Ambon. Sebagai kota perdagangan dan jasa, Kota Ambon terus
membenahi diri terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir. Perbaikan berbagai sarana dan prasarana publik, berkaitan dengan situasi pada saat konflik yang terjadi pada masa
lalu, mengakibatkan kota Ambon mengalami kehancuran.
Dalam proses pembangunan di Kota Ambon, papalele termasuk
bagian dari multi persoalan pembangunan. Kontribusi papalele
tidak serta-merta dinafikan, karena secara langsung maupun
tidak langsung ada kontribusi yang diberikan bagi daerah. Apa
saja kontribusi papalele dalam proses pembangunan daerah, bab
ini akan menguraikannya.
Sebelum lebih jauh menjelaskan posisi papalele dan
kontribusi bagi pembangunan daerah, terlebih dahulu akan
diuraikan tentang sekilas sejarah dan istilah papalele. Sekilas

sejarah dan istilah papalele tentu saja penting mengawali bahas83

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

an ini karena akan mudah dipahami perkembangan pembangunan yang terjadi di Kota Ambon. Mengingat papalele
sebagai satu istilah, telah menjadi simbol bagi masyarakat,
khususnya mereka di wilayah perdesaan.
Sejarah penggunaan istilah papalele untuk pertama kalinya nampaknya belum tersedia cukup data. Mengingat pada
masa lalu, berbagai penulisan penelitian sejarah tidak menyentuh secara langsung dinamika papalele dalam masyarakat. Pada
beberapa tahun terakhir ini, baru kemudian bermunculan
penelitian tentang papalele. Namun, tidak terdapat penulisan
sejarah yang valid tentang asal-muasal kehadiran papalele.
Namun demikian, patut diapresiasi bahwa ternyata, papalele
memiliki sumber daya dan berkontribusi langsung pada sektor
publik.
Di sisi lain, data statistik tidak mengakomodir papalele
sebagai salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang turut
memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah. Data statistik hanya memuat katagori sektor Perdagangan; Perdagangan
Lokal dari Pedagang Kecil, Pedagang Menengah dan Pedagang
Besar (Kota Ambon Dalam Angka, 2007:195-200). Meskipun

tidak ada statistik yang tersedia untuk mengkonfirmasi klaim
tersebut, tetapi fakta membuktikan bahwa papalele berkontribusi langsung kepada daerah melalui retribusi yang dikenakan
kepada mereka.

Makna dan Perkembangan Papalele
Mencari asal dan awal mula perjalanan sejarah papalele di
Maluku, hingga saat ini belum ditemukan. Bukti ilmiah penelitian publikasi atau yang tidak terpublikasi tidak tersedia.
Terutama yang berkaitan dengan awal mula perjalanan sejarah
dan terbentuknya lembaga papalele di masyarakat. Baik itu
84

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

dalam berbagai tulisan – penelitian sejarah dan hikayat Maluku
yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi. Hal ini
hanya diperkuat tutur (oral) dan dukungan pendapat atau
argumentasi dari pengungkapan sejarah perdagangan cengkih
dan pala sebagai satu komoditas unggulan masa lalu.
Kesulitan pengungkapan asal-muasal istilah papalele
hanya didasarkan pada pengetahuan para informan yang

diperkuat oleh pendapat beberapa pihak tentang papalele. Pada
awalnya konsep papalele lebih menitik-beratkan pemahaman
pada “pas par makang” (cukup untuk makan) 1 . Pemahaman ini
lebih dimaksudkan untuk menggambarkan suatu keadaan
tentang kelebihan hasil panen kebun (kabong) milik sendiri.
Jika panen hasil kebun tersebut berlebihan, maka kami (katong)
jual sadiki (sedikit). Karena itu, penjualan atas hasil kebun tidak
dimaksudkan untuk mencari keuntungan semata. Tetapi
penjualan kelebihan dari hasil kebun, maknanya untuk menjaga
kekerabatan, antar keluarga terdekat, dan antar keluarga besar
dan tetangga se desa dan atau antar desa bertetangga. Makna
penjualan hasil kebun yang dilakukan agar hasil usaha berkebun
dapat dinikmati oleh pihak lain, walaupun dijual dengan harga
murah. Selain hasil kebun, kadang-kadang juga pembagian hasil
kepada keluarga atau tetangga terdekat dari hasil tangkapan
ikan laut yang berasal dari bubu 2 -manjala-tutup jaring 3 , atau
hasil memancing pada saat air laut surut (meti).
1 Wawancara dengan P.J. Pelupessy, dosen Jurusan Sosiologi Fakultas ISIP
Universitas Pattimura Ambon. Tanggal 12 November 2009.
2 Alat penangkap ikan di Makassar yang sejenis ini disebut Roppong. Roppong

merupakan alat penangkap ikan khas nelayan Mandar - Makassar.
(Alimuddin, 2005: 80-94).
3 Sejenis rumpon yang dipasang ditengah laut untuk melokalisir ikan pada satu
lokasi. Demikian halnya dengan manjala-tutup jaring, merupakan cara yang
dilakukan masyarakat pada satu lokasi tertentu di pesisir pantai dengan
menggunakan jala agar ikan mudah ditangkap. Nama yang berbeda terhadap
jenis alat tangkap ikan seperti ini ada juga pada nelayan Jawa Timur sekitar
Selat Madura yang disebut dengan istilah ‘sero’. Di luar Pulau Jawa seperti

85

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Menjual hasil kebun kepada tetangga se-desa dengan
harga murah sebagai bentuk kemandirian keluarga. Karena
hubungan persaudaraan dan kekerabatan yang kuat pada warga
desa, kadang-kadang kelebihan hasil dibagi secara cuma-cuma
ke sanak saudara dan tetangga. Pembagian itu tidak dilakukan
secara terus menerus, sesuai dengan hasil panen pada jenis
tanaman tertentu seperti sagu atau buah-buahan. Artinya kalau

kelebihan hasil kebun diberikan begitu seterusnya, maka orang
lain akan bersifat malas dan hanya menunggu pemberian (harap
gampang). Nilai dasarnya, katong sama-sama rasa (kami samasama merasakan). Walaupun hasil pemberian itu sifatnya terbatas dan sedikit tetapi “beta seng skakar par ale” (saya tidak
pelit untuk kamu). Pihak yang diberi dan yang membeli juga
tidak terus-menerus hanya meminta dan menunggu pemberian,
sehingga menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada
kedua pihak.
Keadaan tersebut yang kemudian membuat papalele tidak
dapat berkembang. Karena mengutamakan dan mempertimbangkan nilai kemanusiaan dalam lingkungan kekerabatan. Dari
konsep ini, baru kemudian nilai-nilai papaplele mulai bergeser,
dari beli barang dari orang lain dan jual kembali kepada pihak
lain. Setelah itu, kembali dengan membawa barang lain, untuk
dijual di sekitar lingkungan negeri dan negeri-negeri tetangga.
Demikian terus papalele berkembang. Uraian ini setidaknya
menggambarkan bahwa papalele yang pada awalnya hanya
untuk membangun hubungan kekerabatan, bergeser pada
kegiatan berjualan yang bersifat ekonomis. Orang-orang atau
kelompok orang yang berjualan ini kemudian menjadi sapaan
tradisi masyarakat dengan sebutan papalele.


Sulawesi Selatan disebut ‘bila’, dan di Kalimantan Barat alat ini disebut ‘belat
jawa’ (Masyuri, 1995: 49-51).

86

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

Masyarakat berupaya untuk saling membantu memenuhi
kebutuhan dengan cara barter. Barter adalah cara tradisional,
saling menukar kebutuhan pokok (Souisa, 2001:67). Pertukaran
in ditandai dengan saling memberikan hasil kebun seperti ubi
atau buah-buahan antar keluarga. Dalam perkembangan sejarah
itulah, terbukti bahwa kedua komoditas (cengkih dan pala)
sebagai komoditas unggulan ini dijadikan sebagai sarana dan
alat dalam kerangka membangun kekuatan politik ekonomi
untuk menghegemoni masyarakat yang memang terkenal kaya
dengan kedua sumber alam ini. Karena itulah banyak penelitian
sejarah yang lebih difokuskan pada bagaimana peran negara
ketika itu (penjajah) mendominasi seluruh proses perdagangan
yang terjadi dalam masyarakat Maluku. Begitu kuat

ketertarikan pada kedua hasil bumi ini, mengkibatkan proses
aktivitas transaksi ekonomi – relasi sosial masyarakat ketika itu,
luput dari perhatian berbagai pihak. Dalam posisi ini, rujukan
pada sejarah kedatangan bangsa asing di Maluku untuk
mengeksploitasi cengkih dan pala nampaknya dapat
berkontribusi menguraikan tentang bagaimana dinamika
ekonomi masyarakat terjadi ketika itu. Rujukan ini setidaknya
dapat dijadikan sebagai penjembatanan kehadiran papalele dan
sekaligus pintu masuk (entry point) memahami papalele pada
aras masyarakat.

Konsep Papalele: Pengaruh Portugis dan Belanda
Sejarah papalele kemungkinan diawali dengan suasana
kira-kira pada permulaan abad 16 ketika Maluku memiliki daya
tarik pada hasil bumi melalui kepemilikan dan keberadaan
cengkih dan pala. Pada abad ini kedatangan penjajah yang ingin
menguasai hasil-hasil bumi di seluruh tanah Maluku tidak
terelakkan lagi. Kepentingan penjajah tidak hanya untuk
menguasai hasil bumi tetapi juga terselip di dalamnya untuk
87


Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

melakukan ekspansi dan penyebaran ideologi (keagamaan).
Kedatangan bangsa asing (penjajah) untuk mengusai hasil bumi
di kepualuan Maluku yang dijelaskan oleh Ruhulessin (1993:3650) dalam tiga skenario besar. Skenario pertama, permulaan
sejarah Ambon pada permulaan abad itu memasuki suatu fase
baru yang disebut sebagai arena ekspansi Portugis di kepulauan
Maluku. Pada tahap ini, sejarah Ambon ditandai oleh
perubahan-perubahan sosial yang signifikan, baik politik,
ekonomi, keagamaan, dan kultural. Skenario ini diperlihatkan
melalui bagaimana perjuangan untuk survive, menancapkan
hegemoni di antara kesultanan Ternate dan Tidore, pedagangpedagang Melayu, Jawa dengan para pedagang Eropa (Portugis)
untuk menguasai perdagangan dan produksi cengkih. Skenario
kedua dimulai pertengahan abad ke 17 dan selama abad 18
dimana pada fase ini bagaimana masyarakat mengalami masa
kesulitan yang sangat mencemaskan. Periode ini ditandai
dengan masuknya era sistem monopoli VOC yang sangat
mendominasi itu. Skenario ketiga yang disebut sebagai suatu
masa yang ditandai dengan semakin jelasnya penetrasi dan

kepentingan pedagang Eropa mulai mengkombinasikan antara
kepentingan ekonomi – pengusaan hasil bumi dan kepentingan
politik ekonomi.
Sementara itu, Leirissa (1973:84-85) juga menjelaskan
bahwa untuk kepentingan perdagangan di Asia, pedagangpedagang VOC mau tidak mau harus pula menghadapi orangorang Portugis yang telah seabad sebelumnya berdagang di
sana. Orang-orang Portugis pun telah mencoba cara perdagangan monopoli tetapi sepertinya kehilangan daya. Pada kondisi
kedatangan armada VOC yang dipimpin oleh Admiral Steven
van der Haughen berhasil merebut benteng pertahanan
Portugis, dan kemudian berupaya untuk menciptakan kekuatan
baru melalui sebuah perjanjian – persekutuan dengan penduduk

88

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

lokal (negeri Hitu) pada tahun 1605. Leirissa kemudian
menjelaskan pula bahwa perjanjian 1605 itu, hak monopoli
VOC dirumuskan sebagai berikut; penjulan cengkeh oleh
penduduk kerajaan Hitu hanya boleh dilakukan kepada VOC
saja yang akan menempatkan agen-agennya di sana. Pedagangpedagang lainnya dilarang campur tangan dalam perdagangan

ini dan ditentukan bahwa penduduk tidak diperkenankan menjualnya kepada mereka.
Yang dimaksud dengan pedagang-pedagang lain itu
adalah mereka yang berasal dari Jawa, Sumatera, Semenanjung,
Cina, Gujarat dan lain-lain. Mereka-mereka inilah yang telah
lama berusaha di Maluku dan berdagang bersama-sama dengan
orang Portugis. Oleh karenanya, Leirissa kemudian mengidentifikasi bahwa sebetulnya sebelum kedatangan orang-orang
Portugis mereka telah mengunjungi kepulauan rempah-rempah
ini. Perdagangan mereka biasanya merupakan perdagangan
barter; bahan-bahan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan
penduduk di Maluku mereka angkut dari pelabuhan-pelabuhan
lainnya di luar Maluku untuk ditukarkan dengan cengkih di
Hitu atau pun di pelabuhan-pelabuhan di kerajaan-kerajaan di
Maluku Utara. Sehingga dalam proses ini kemudian nilai
ekonomis dari cengkih dan pala mulai mendapat tempat melalui
perdagangan ini.
Bukti tentang eksploitasi tenaga masyarakat setempat
terlihat pada pola kompensasi dari penugasan kepada setiap
rumah tangga melalui raja negeri setempat mengatur hak-hak
atas tanah pada setiap negeri. Pembagian dan pemanfaatan
tanah tersebut terbagi ke dalam dati-dati. Menurut F. Valentijn

yang adalah seorang misionaris (Ziwar, 1987:11) dati adalah
hofdienst atau pada bulan-bulan dilaksanakannya pelayaran
hongi setiap ‘rumah tangga’ diwajibkan menyerahkan seorang
anak laki-laki selama kurang lebih satu bulan mengikuti
89

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

maskapai VOC melakukan tugas hongi. Alat kekuasaan VOC ini
dikenal dengan nama armada kora-kora (Leirissa, 2004:58), atau
yang dikenal dengan nama “hongitochten” (hongi = perang,
tochten = ekspedisi). Masih menurut Leirissa, pengerahan
tenaga laki-laki dari setiap keluarga untuk menjadi awak korakora untuk berperang, maka kompensasinya setiap keluarga
mendapat sebidang tanah untuk mengusahakan makanannya
(tanah dati). Kepergian laki-laki pergi berperang, mengakibatkan kaum perempuan harus berperan mengolah lahan
(kebun) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga bukan
tidak mungkin, pada saat terjadi kelangkaan bahan makanan,
barter antar keluarga atau tetangga mulai terjadi.
Pada bagian lain, Leirissa (2004: 65) sempat menyinggung
tentang peran pedagang kecil yang dilakukan orang Cina di
Ambon. Menurut Leirissa, perdagangan di Maluku Tengah pada
umumnya dilakukan oleh warga kota keturunan Cina pada
masa VOC. Baik pedagang kelontong maupun pedagang besar.
Sehingga pemerintah saat itu mengangkat para pemimpin
masyarakat Cina dari kalangan pedagang besar yang disebut
Capitein der Chinesen dan Luitenant der Chinesen. Lebih lanjut
Leirissa membahas bahwa pada umumnya orang Cina yang
berdagang secara kelontong, berjalan kaki atau menggunakan
perahu untuk mendatangi negeri-negeri, sambil menjajaki
berbagai barang keperluan sehari-hari yang diimpor dari
Batavia. Sebaliknya, mereka juga membeli berbagai barang
dagangan yang laku di Kota Ambon, seperti sagu. Mungkinkah
ini awal kehadiran papalele yang diadopsi dari pedagang Cina?.
Sementara itu, Souisa (1999:38-43) mencoba mengungkap
asal muasal kemunculan papalele yang digambarkan sejarah
papalele dalam tiga alur. Pertama, pada awalnya melalui
mekanisme barter, kedua, kelompok perempuan yang disebut

90

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

jojaro 4 melakukan perjalanan jauh secara bersama ke pasar, dan
ketiga, akibat ketimpangan sosial, budaya, ekonomi dan muncul
identitas diri sebagai papalele.
Lintasan gambaran sejarah ini, jelas terlihat bahwa
papalele atau pedagang kecil saat itu tidak dibicarakan secara
tuntas. Pembicaraan diarahkan lebih kepada kondisi sosial
politik serta kondisi perekonomian masyarakat secara umum.
Fokus pembicaraan juga diarahkan pada taktik dan strategi
pemerintahan penjajah dalam bidang politik ekonomi. Sekali
lagi, masyarakat dan kegiatan berusahanya tidak mendapat
perhatian.
Luputnya perhatian pada kehidupan ekonomi masyarakat,
memungkinkan gambaran sejarah belum bisa menjelaskan
tentang kehadiran awal mula berlangsungnya proses papalele
dalam masyarakat. Situasi dan tekanan politik dan ekonomi
model pemerintahan ketika itu, mengakibatkan masyarakat
akan berupaya mencukupi kebutuhan ekonomisnya dengan
berbagai cara, termasuk berdagang. Apakah itu secara terbuka
dan atau secara tersembunyi untuk melindungi diri dari
penjajah. Terlepas dari pandangan berbeda tentang awal mula
kehadiran papalele, namun agaknya cukup untuk menjelaskan
kehadiran awal papalele dalam masyarakat.

Berdagang Menurut Pemahaman Lokal
Pada umumnya istilah dan kata ‘papalele’ itu sendiri tidak
banyak diketahui asal-usulnya. Pelaku papalele, dan masyarakat
pada umumnya hampir tidak mengetahui secara pasti istilah ini
pertama kali digunakan. Tetapi bagi masyarakat di Maluku
istilah ini merupakan istilah lokal yang telah dikenal untuk
mereka yang berusaha dengan cara menjajakan barang dagang4

Jojaro artinya anak perempuan yang masih usia muda (Mailoa, 2006:45)

91

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

an. Suatu bentuk perjumpaan antara penjual yang menjajakan
barang-barang kebutuhan keseharian – biasanya dalam bentuk
buah-buahan di wilayah pesisir Kota Ambon dan pembeli
dengan berkeliling (baronda). Menjajakan barang tidak hanya
secara berkeliling tetapi juga yang bersifat menetap pada satu
lokasi tertentu. Pengistilahan ini sangat kuat melekat di masyarakat yang kemudian dipahami bahwa yang melakukan pekerjaan ini adalah orang-orang yang asalnya dari wilayah
perdesaan. Pada umumnya masyarakat dan para papalele itu
sendiri, ketika ditelusuri asal mula kata ini tidak mengetahuinya
secara pasti. Apakah ini adalah berasal dari bahasa-bahasa lokal
ataukah merupakan kata yang diserap melalui bahasa dari
bangsa Portugis dan atau Belanda yang ketika itu hadir dan
mengapresiasi dan membentuk tatanan keseharian sosial
ekonomi masyarakat ketika itu.
Dalam perkembangannya, papalele adalah orang-orang
yang melakukan aktivitas ekonomi jual-beli kebutuhan tertentu
bagi masyarakat 5 . Papalele selalu hadir dalam ruang publik
(public sphere) dan wilayah pasar (market sphere) 6 , yang pola
dan skala ekonomi yang masih bersifat tradisional. Aktivitas
keseharian mereka memang hanya difokuskan pada bidang
perdagangan (jual-beli) yang dijalankan dengan cara membeli
suatu barang dan kemudian menjual kembali untuk mendapat
keuntungan. Kalau kemudian sebagai istilah lokal ini, papalele
ditinjau dari etimologi, maka ia terdiri dari dua kata yaitu papa
yang berarti ‘membawa atau memikul’ dan lele yang berarti
‘keliling’. Jadi papalele berarti “berkeliling membawa atau
Papalele sebetulnya dalam keseharian, mereka tidak bedanya sebagai pedagang perantara bagi pembeli (konsumen).
6 Thomas Janoski dalam bukunya “Citizhenship and Civil Society” (1998:1114; Wiloso, 2009:34-36), mengkonseptualisasi dan membagi dunia kehidupan
masyarakat dalam empat komponen interaktif yakni ruang negara (state
sphere), ruang publik (public sphere), wilayah pasar (market sphere) dan
ruang pribadi (private sphere).
5

92

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

memikul” (Souisa, 1999:38-39). Papalele juga dapat diartikan
sebagai “melakukan kegiatan membeli barang, sesudah itu dijual
lagi untuk mendapatkan sedikit keuntungan” (Mailoa, 2006:75).
Tidak cukup istilah ini berhenti sampai di situ, karena ada
juga pandangan pihak lain yang mengatakan bahwa istilah
papalele merupakan satu kata yang nampaknya dan mungkin
pada mulanya berasal dari bahasa Portugis. Kehadiran bangsa
Portugis ketika itu, yang hanya kurang dari seratus tahun dan
digantikan dengan Belanda yang jauh lebih lama memang
sangat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi dan budaya
masyakarat setempat (Cooley, 1973:122). Pergaulan dalam
kurun waktu seperti itu, turut berpengaruh terhadap bahasa dan
penggunaanya dalam pergaulan sehari-hari dan dalam berbagai
bidang lain antara orang Portugis dan penduduk lokal.
Pergaulan ini telah membawa dampak perubahan dan akibat
masuknya unsur-unsur kebudayaan. Bahkan telah menciptakan suatu ikatan psikologis yang terus bertahan dalam
masyarakat hingga saat ini 7 (Abdulrahman, 1973: 45-79).
Pandangan tentang istilah papalele yang berasal dari serapan bahasa Portugis. Perbincangan tentang asal-muasal istilah
‘papalele’ itu sendiri masih saling berbeda. Ada pandangan lain
7 Hubungan-hubungan dan penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh
hubungan geologis (klan) dan pengaruh lainnya sehingga terserap dari bahasa
Portugis dapat disebutkan antara lain; Marga keluarga (Family name): Alfons
(‘Alfonso’), Kastanya (‘Gastanha’), Joris (‘Jorge’), Parera (‘Peirera’), Muskita,
(‘Musquita’), Piris (‘Pires’), Soisa (‘de-souza’), Warela (‘Varella’), Lopies
(‘Lopez’), de Fretes (‘de-Freytas’), de Lima (‘de-Lima’), Gomies (‘Gomez’).
Istilah keluarga: ibu (‘Mai’), ayah (‘pai’), kunyado - ipar (‘cunhado’). Peralatan
sehari-hari; kadera – kursi (‘cadeira’), meja (‘mesa’), garpu (‘garfo’), pekarangan – halaman (‘kintal’). Cara pengawaten makanan: asapan (‘assar’). Yang
berhubungan dengan aspek keagamaan: tempat khotbah (‘altar’), kain pikol –
kain hitam-hitam (‘bandolir - bandoleira’). Nama-nama desa/wilayah: Hatiwe
(‘Atuy’), Tawiri (‘Taury’), Kilang (‘Cuilan’), Soya (‘Soua’), Naku (‘Nacu’),
Hatalai (‘Atala’), Seri (‘Puta-Sery’), Hutumury (‘Anthomori’), Rutong
(‘Routon’), Halong (‘Ale’), Baguala (‘Baguelo’), Suli (‘Soul’) Waay (‘Vay’) dan
lainnya (Abdulrahman 1973:45-79).

93

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

yang mengatakan bahwa istilah yang unsur kata serapan dari
bahasa Portugis 8 . Terhadap kata ini sendiri, memang terdapat
beberapa pendapat yang mengakuinya sebagai bagian dari
bahasa Portugis. Namun pendapat ini belum dapat dipastikan
kebenarannya. Kalau kemudian anggapan ini benar, apakah
dapat diterima bahwa kata papalele ini berasal dari serapan
bahasa. Ternyata dalam kamus bahasa Portugis yang ditelusuri,
tidak terdapat kata papalele, tetapi hanya kata ’papalvo’ dalam
bahasa Portugues yang, artinya ‘individu yang sederhana’
(2000) 9 .
Istilah papalele mengalami pergeseran ‘ucapan’, karena
sifat usaha yang sederhana. Sebagaimana dalam praksis sosial
masyarakat Maluku ketika berinteraksi dan menerima unsurunsur Portugis dalam kesehariannya yang sebelumnya telah
diuraikan, maka bukan tidak mungkin papalele bisa dapat
diartikan pula sebagai “suatu usaha individu yang sederhana”.
Penggunaan ini sangat terkait dengan kondisi dan pola perilaku
ekonomi yang sangat sederhana dalam berusaha. Kesederhanaan itu nampak pada bahan yang dijual merupakan hasil kebun
milik sendiri atau yang dibeli dari tetangga, kemudian dijual ke
pihak lain. Bahan yang dibeli dan dijual dalam kuantitas yang
kecil.
Selain itu sumber dana yang digunakan juga disesuaikan
dengan kemampuan kepemilikan, dan peralatan pendukung
sederhana. Sehingga dengan kesederhanaannya itu, mereka
tetap eksis berjuang bagi kepentingan kesejehteraan ekonomi
keluarga. Dalam perkembangannya secara sosial ekonomi yang
terus berlajut hingga kini, mungkin juga terjadi pergeseran
pemaknaan atas istilah yang digunakan. Pergeseran pemaknaan
Wawancara dengan Prof. J. Ayawaila, M.Dea. Guru Besar Antropologi
Fisipol Universitas Pattimura Ambon. Tanggal 28 November 2009.
9 Dicionario Da Lingua Portuguesa – Porto Editora Lda. 2000)
8

94

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

istilah itu, tidak lagi dilihat pada ‘kesederhanaan’ itu, tetapi
lebih dititik beratkan pada fungsi ekonomi dan sosialnya.
Jika menggunakan rujukan pengalaman sejarah dan dialek
bahasa tersebut, maka paling tidak dapat dipahami bahwa
memang di dalam masyarakat terjadi suatu dialetika sosial.
Perjumpaan itu harus dilakukan dengan begitu kerasnya demi
dan untuk mempertahankan kehidupan setiap keluarga. Bentuk
perjuangan itu merupakan upaya yang didominasi kaum perempuan guna pemenuhan ekonomi. Betapa tidak ketika orang lakilaki harus dipaksa bekerja keras untuk kepentingan penjajah,
maka untuk menghidupi keluarga peran perempuan (ibu;
mama) sangat menentukan. Mereka harus berjuang menafkahi
anak dan keluarga sekaligus untuk mempertahakan kelangsungan kehidupan. Sehingga papalele banyak dipahami sebagai
pelaku ekonomi yang berkarakter feminism.

Mama, Tanta dan Papalele
Papalele adalah bentuk dari kegiatan ekonomi yang
berfokus pada pola beli-jual. Perilaku ini memiliki keterkaitan
yang signifikan dalam mengupayakan tambahan penghasilan
bagi ekonomi rumah tangga. Aktor-aktor ekonomi ini hampir
sebagian besar diperankan oleh kaum perempuan, sehingga
mereka dengan mudah dikenali dalam ruang publik. Mudahnya
masyarakat mengenal papalele, didukung pula oleh interaksi
bersama mereka.
Panggilan dan sebutan akrab yang melekat pada mereka
dalam keseharian telah terbiasa dipanggil dengan istilah
“mama” yang mendahului nama asli mereka ataupun sapaan
nama. Sebutan “mama” memang telah menjadi ciri khas bagi
perempuan papalele. Kalau tidak ingin dipanggil papalele secara
langsung, maka panggilan “mama” mendahului nama atau tidak
95

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

mendahului nama terkesan lebih dekat sebagai suatu bentuk
kekerabatan dalam hubungan sosial. Kadang-kadang juga istilah
“mama” bisa diganti dengan sapaan lain seperti “tanta” (tente).
Suatu istilah panggilan dalam masyarakat bagi orang yang
dianggap lebih dituakan, walaupun tidak terdapat hubungan
keluarga (genealogis).
Konstatasi di atas juga dilihat oleh Julia Mosse (2007:3839) yang mendalami sapaan (panggilan) dan pekerjaan serupa
pada perempuan di Matabeleland Afrika bagian selatan. Baginya
akal sehat tentu mengatakan bahwa menjadi “ibu” adalah
alami 10 . Istilah “ibu” itu sendiri adalah istilah sosial sebagai
nama. Nama itu milik bahasa, sebuah hasil konstruksi manusia.
Sebagai bentuk perilaku, menjadi ibu sangat variasi sehingga
sangat sulit menentukan komponen terpenting dari pesan
tersebut. Di Metabeleland, kata “ibu” tidak mesti berlaku
semata-mata bagi satu ibu biologis. Paling tidak sapaan ini
mengantar pemahaman kita bahwa peran perempuan tidak
hanya sebatas pada lingkungan keluarga dalam proses pengasuhan keluarga, tetapi juga melakukan pekerjaan keras lainnya
(bekerja) di luar keluarga.

Sejarah Pembangunan di Kota Ambon
Sub bagian ini akan mengantarkan kita untuk melihat
deskripsi lintasan sejarah Kota Ambon dalam beberapa dekade
terakhir. Paling tidak dengan selintas melihat sejarah Kota
Ambon, dapat diketahui dinamika pembangunan yang telah,
sedang dan akan terus berlangsung. Dinamika pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya akan turut mewarnai peran berbaJulia Mosse (2007:38-39) menjelaskan tentang istilah ibu sebagai konstruksi
sosial sama seperti; Mama, Mae, Mutter, Moeder, Amma, Mere, Madre,
Matka, Makuahine, Ibu, Mamae, Ema, Aiti, Mor, Ame adalah frasa kata dunia
untuk ibu.

10

96

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

gai usaha ekonomi rakyat di dalamnya. Apakah itu tentang
pedagang kecil, pedagang menengah maupun pedagang yang
berkategori besar. Mereka semua merupakan bagian yang turut
memberikan kontribusi bagi proses pembangunan di Kota
Ambon.
Kota Ambon memiliki sejarah yang cukup panjang.
Diawali pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng Portugis di
Pantai Honipopu, yang disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi,
kelompok-kelompok masyarakat kemudian mendiami sekitar
benteng. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian
dikenal dengan nama soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative,
Urimessing dan sebagainya (Leirissa, 2004:226-227). Kelompokkelompok masyarakat inilah yang pertama kali mulai menjadikan cikal bakal Kota Ambon terbentuk. Dalam perkembangannya, menurut Leirissa, kelompok-kelompok masyarakat ini
telah berkembang menjadi masyarakat genealogis territorial
(Leirissa, 2004: 228).
Tanggal 7 September 1575 diputuskan sebagai hari
lahirnya Kota Ambon, melalui suatu seminar di Kota Ambon 11 .
Atas inisiatif Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon
Alm. Letnan Kolonel Laut Matheos H. Manuputty 12 , dibentuklah Panitia Khusus 13 Sejarah Kota Ambon dengan tugas utama
11

www.ambon.go.id. Dikunjungi tanggal 20 November 2010.

Merupakan Walikotamadya ke-9. Sebelum dam sesudahnya urutan
Walikota Ambon sejak Tahun 1964 sampai saat ini masing-masing: F.H. Pieter
(1946-1950), E.J. Rehatta (1950-1953), W. Tutupoly (1953-1954), Z.M.
Sitanala (1954-1956), C.K. Soselissa (1956-1957), Z.M. Sitanala (1957-1962),
Drs. J.M.E. Soukotta (1962-1966), Drs. A. Malawat (1966-1969),M.H.
Manuputty (1969-1975), Drs. S Assagaf (1975), A. Porwayla (1975-1986), J.D.
Wattimena (1986-1991), J. Sudiono (1991-1996), Ch. Tanasale (1996-2001),
Drs. H. Tuhumury (2001), Drs. M.J. Papilaja, MS dan Syarif Hadler, BA (20012006), Drs. M.J. Papilaja, MS dan Dra. Olivia Latuconsina (2006-2011).
13 Fakultas Keguruan Universitas Pattimura dipercayakan untuk membentuk
panitia melalui Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan Universitas
Pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972 tentang pembentukan

12

97

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka
penentuan hari lahir Kota Ambon. Panitia tersebut dilegitimasi
dengan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah tingkat
II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor 25/KPTS/1972 yang
diubah pada tanggal 16 Agustus 1972. Diperkuat pula dengan
suratnya tertanggal 24 Oktober 1972 nomor PK. I/4168
(Leirissa, 2004: 227).
Lebih lanjut dalam tulisan tentang sejarah kota Ambon
menurut Leirissa (2004:228 dan Perda No 4 tahun 2004:9) ada
tiga pertimbangan yang dipakai. Pertama, tentang penetapan
tanggal 07 September didasarkan pada peninjauan fakta sejarah
bahwa pada tanggal 07 September 1921, masyarakat Kota
Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial
Belanda sebagai hasil manifestasi perjuangan Rakyat Indonesia
asal Maluku di bawah pimpinan Alexander Yacob Patty untuk
menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakil
dalam Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan
Gubernur Jenderal tanggal 07 September 1921 nomor 07
(Staatblad 92 Nomor 524). Kedua, ditinjau dari segi politik
Nasional, momentum ini merupakan saat pengakuan dari
Pemerintah Kolonial Belanda atas segala perjuangan rakyat
Indonesia di Kota Ambon, yang sekaligus merupakan salah satu
momentum kekalahan politis dari bangsa penjajah. Ketiga, bila
Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini berlangsung dari
tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972. Susunan Panitia Seminar dicatat
sebagai berikut; Ketua: Drs. John Sitanala, Wakil Ketua Drs. John A.
Pattikayhatu, Sekretaris Drs. Z. J. Latupapua, Seksi Persidangan yang terdiri
dari tiga kelompok. Kelompok I diketuai Thos Siahay, BA, kelompok II
diketuai Yoop Lasamahu, BA, kelompok III diketuai Ismail Risahandua, BA.
Panitia Pengarah/Teknis Ilmiah diketuai oleh Drs. J.A. Pattikayhatu, dan
anggota-anggota masing-masing: Drs. Tommy Uneputty, Drs. Mus Huliselan,
Drs. John Tamaela, Dra. J. Latuconsina, Sam Patty, BA, dan I. A. Diaz. Pemakalah terdiri dari 7 orang, 3 dari Pusat dan 4 dari daerah, masing-masing: Drs.
Moh. Ali, Drs. Z. J. Manusama, Drs. I. O. Nanulaita, Drs. J. A. Pattikayhatu,
Drs. T. J. A. Uneputty, Drs. Y. Tamaela dan, Dra. J. Latuconsina (Leirissa,
2004, dan www.ambon.go.id. Dikunjungi, 20 November 2010).

98

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

ditinjau secara yuridis formal, tanggal 07 September merupakan
hari mulainya Kota Ambon memainkan peranannya di dalam
pemerintahan dewasa itu.

Pembangunan di Kota Ambon
Secara geografis letak dan batas wilayah Kota Ambon
berada pada sebagian besar dalam wilayah pulau Ambon, dan
secara geografis terletak pada posisi: 3o-4o Lintang Selatan dan
128o-129o Bujur Timur, di mana secara keseluruhan Kota
Ambon berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah (Kota
Ambon Dalam Angka, 2007). Sementara batas wilayah Sebelah
Utara, dengan Desa Hitu, Hila, Kaitetu, Kecamatan Leihitu,
Kabupaten Maluku Tengah, Sebelah Selatan dengan Laut Banda,
Sebelah Timur dengan Desa Suli, Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah, dan Sebelah Barat, dengan Desa Hatu,
Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Sementara luas
Kota Ambon mencapai 377 km2, luas daratan 359,45 km2
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979 (Kota
Ambon Dalam Angka 2007 dan Pariela, 2008:78).
Ukuran luas wilayah darat yang tersaji di atas menunjukkan bahwa ruang pemukiman dan aktivitas kegiatan
masyarakat tentu sangat terbatas. Penduduk Kota Ambon dari
tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami pertumbuhan signifikan
sebesar 16,06 persen. Tahun 2008, penduduk Kota Ambon
berjumlah 302.095 jiwa, dan pada tahun berikutnya 2009
meningkat menjadi 350.604 jiwa 14 . Jumlah penduduk Kota
Laporan Walikota Ambon pada Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota
Ambon Dalam Rangka Penyampaian Pokok-Pokok Pikiran DPRD Dalam
Bentuk Rekomendasi Terhadap Laporan Keterangan Pertangungjawaban
(LKPJ) Walikota Ambon Tahun 2009. (Sumber:http://ambon.go.id/

14

index.php?option=com_content&view=article&id=112%3Aatasi-masalahpenduduk-perlu-dukungan-dprd&Itemid=23. Dikunjungi, 7 Januari 2011).

99

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Ambon merupakan daerah penduduk terbanyak di Provinsi
Maluku. Tahun 2006 jumlah penduduk Provinsi Maluku
sebanyak 1.384.585 15 jiwa, dan Kota Ambon 25,32% dari total
tersebut.
Secara administatif Kota Ambon memiliki tiga kecamatan,
30 Desa dan 20 Kelurahan (Kota Ambon Dalam Angka 2007).
Pada tahun 2006 Pemerintah Kota Ambon telah melakukan
pemekaran terhadap tiga kecamatan tersebut, sebagai akibat
dari berkembangnya kebutuhan masyarakat akan layanan
publik. Untuk membantu masyarakat, maka Pemerintah Kota
Ambon melakukan penambahan dua kecamatan baru, masingmasing Kecamatan Leitimur Selatan dan Kecamatan Teluk
Ambon Baguala. Dengan demikian Kota Ambon hingga saat ini
memiliki lima kecamatan masing-masing: Kecamatan
Nusaniwe 16 , Kecamatan Sirimau 17 , Kecamatan Baguala 18 ,
Kecamatan Teluk Ambon Baguala 19 dan Kecamatan Leitimur
Selatan 20 (Perda No. 6 Tahun 2006).

Sumber: http://maluku.bps.go.id/?pilih=mal. Dikunjungi, 7 Januari 2010.
Kecamatan Nusaniwe, terdiri dari: Kelurahan Silale, Kelurahan Urimessing,
Kelurahan Benteng, Kelurahan Wainitu, Kelurahan Kudamati, Kelurahan
Waihaong, Kelurahan Mangga Dua, Kelurahan Nusaniwe, Desa Amahusu,
Desa Nusaniwe, Desa Urimessing, Desa Latuhalat dan Desa Seilale.
17 Kecamatan Sirimau, terdiri dari: Kelurahan Waihoka, Kelurahan Amantelu,
Kelurahan Rijali, Kelurahan Karang Panjang, Kelurahan Batu Meja, Kelurahan
Batu Gajah, Kelurahan Ahusen, Kelurahan Honipopu, Kelurahan Uritetu,
Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Galala, Desa Hative Kecil, Desa Batu Merah
dan Desa Soya.
18 Kecamatan Baguala, terdiri dari: Desa Waiheru, Desa Nania, Desa Negeri
Lama, Desa Passo, Kelurahan Lateri, Desa Latta dan, Desa Halong.
19 Kecamatan Teluk Ambon, terdiri dari: Desa Laha, Desa Tawiri, Desa Hative
Besar, Desa Wayame, Desa Rumah Tiga, Kelurahan Tihu, Desa Poka dan Desa
Hunuth/Durian Patah.
20 Kecamatan Leitimur Selatan, terdiri dari: Desa Hatalai, Desa Naku, Desa
Kilang, Desa Ema, Desa Hukurila, Desa Hutumuri, Desa Rutong dan Desa
Leahari.
15

16

100

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan di Provinsi
Maluku, memiliki kedudukan yang vital. Sehingga Pemerintah
Kota Ambon meletakkan dasar pembangunan dalam Dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Ambon (RPJP)
2006-2026 pada dua point utama yakni, pertama, Kota Ambon
merupakan gerbang utama dari masuk keluarnya orang, barang,
dan jasa ke seluruh Provinsi Maluku, kedua, Kota Ambon
merupakan pusat aktivitas sosial budaya, ekonomi dan politik di
Provinsi Maluku, sehingga kota ini menempati posisi sebagai
trend setter bagi perkembangan wilayah-wilayah lainnya di
Provinsi Maluku (Pariela, 2008:78-79).
Gambaran pembangunan Kota Ambon dalam beberapa
tahun belakangan ini telah mengalami perkembangan yang
signifikan. Dinamika pembangunan Kota Ambon semakin bergeliat dengan berbagai sarana prasarana publik yang disediakan
dan difasilitasi oleh pemerintah Kota Ambon untuk menunjang
aktivitas masyarakat dapat diuraikan antara lain sebagai berikut.
Sebagai kota pulau, Kota Ambon memiliki potensi dan
peluang pada bidang perikanan. Wilayah perairan Kota Ambon
memiliki sumberdaya perikanan yang sangat potensial ditinjau
dari besaran stok maupun peluang pemanfaatan dan pengembangannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dan
analisis terhadap kelimpahan stok potensi lestari. Untuk jenis
ikan pelagis kecil kelimpahan stoknya adalah sebesar 1.470,7
ton per bulan dengan potensi lestari sebesar 735,4 ton per
bulan, sementara pemanfaatannya sebesar 232 ton per bulan.
Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang memiliki potensi untuk
dimanfaatkan dan dikembangkan adalah Stolephorus spp,

Sardinela spp, Decapterus spp, Restrelliger spp serta Cypselurus
spp.
Ikan pelagis besar tersebar pada wilayah ekologis pantai
selatan Kota Ambon dengan kelimpahan stok sebesar 620,6 ton
101

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

per bulan dengan Maksimum Tangkap Lestari (maximum
sustainable yield/MSY (Kahn, 2005:375), sebesar 310,3 ton per
bulan dimana pemanfaatannya telah mencapai 127,1 ton per
bulan atau sebesar 41% dari MSY. Ikan pelagis besar didominasi
oleh Cakalang (Skipjack Tuna) dan Tatihu (Yellow Fin Tuna).
Perkembangan potensi perikanan ini memberikan peluang pengembangan di masa mendatang. Investasi untuk sektor
perikanan dapat dalam bentuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Untuk perikanan tangkap, pada bagian hulu dapat
dikembangkan usaha pengadaan kapal, pasokan es dan Colt
Strorage, sedangkan pada bagian hilir dapat dikembangkan
usaha pengolahan komoditas ikan kaleng, komoditas ikan beku,
dan komoditas ikan segar. Di samping adanya kegiatan pengasapan ikan yang dapat dipasarkan untuk memasok kebutuhan
lokal, regional (intra wilayah Maluku) dan nasional, selain itu
juga dapat dikembangkan usaha rumah makan/restoran. Untuk
perikanan budidaya usaha yang potensial dikembangkan adalah
kolam pancing dan ekowisata.
Bidang Perdagangan dan jasa juga memiliki potensi dan
peluang di masa mendatang. Sampai dengan tahun 2008 ada tiga
usaha yang menonjol yaitu, Usaha Kecil dan Menengah sebanyak 876 buah yang tersebar di Wilayah Kota Ambon, Perdagangan dan Jasa sebanyak 949 buah serta Industri sebanyak 87
buah (Kota Ambon Dalam Angka, 2007). Di samping itu juga
untuk menunjang aktifitas perekonomian masyarakat, telah
tersedia satu buah Pusat Perbelanjaan Ambon Plaza, tujuh pasar
tradisional dan satu kawasan baru untuk pengembangan pusat
aktifitas perekonomian. Dengan adanya pengembangan kawasan Passo sebaggai kota orde kedua, maka peluang investasi
pembangunan kawasan perdagangan dan jasa sangat menjanjikan (Perda Nomor 4 Tahun 2006).

102

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

Sejalan dengan pengembangan Kawasan Passo sebagai
Kota Orde Kedua memiliki akses yang sangat besar untuk
menciptakan peluang bagi investor mengembangkan sektor
perdagangan dan jasa. Karena kawasan ini akan didukung
dengan ketersediaan terminal transit serta adanya alokasi ruang
yang cukup serta potensial bagi pengembangan permukiman
baru sehingga peluang investasi yang memiliki prospek adalah
pembangunan kawasan perdagangan dan jasa 21 .
Bidang pariwisata juga menjadi sumber pendapatan ekonomi kota Ambon. Pemerintah Kota Ambon terus mengupayakan peningkatan sarana dan prasarana wisata dalam rangka
menarik wisatawan domestik maupun international berkunjung
ke Ambon. Potensi wisata yang tersedia, lima wilayah ekologis
perairan pesisir Kota Ambon memiliki potensi wisata bahari
yang potensial. Dengan kondisi dan bentangan biofisik yang ada
maka berbagai paket wisata bisa dirancang dan direncanakan
untuk dikembangkan meliputi ekowisata, wisata pantai, wisata
renang dan selam, serta wisata pancing. Hal ini turut didukung
oleh kondisi alam pantai dengan panorama yang indah baik
pada daerah pesisir pantai maupun daerah bawah laut yang
memiliki beraneka ragam ikan hias dan terumbu karang yang
langka di dunia.
Sampai dengan akhir tahun 2008, di Kota Ambon terdapat
39 objek wisata, berupa objek wisata alam 24 dan budaya 15
dengan penyebarannya yaitu untuk Kecamatan Nusaniwe 12
objek wisata alam (Laut 10, Darat 2) dan dua objek wisata
sejarah serta budaya Kecamatan Sirimau, tiga objek wisata alam
(darat) serta delapan objek budaya dan sejarah. Kecamatan
Baguala objek wisata alam laut enam, darat satu lokasi dan
budaya, serta sejarah empat objek lokasi. Sejumlah objek wisata
21

www.ambon.go.id. Dikunjungi tanggal 21 April 2011.

103

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

di dua Kecamatan yaitu di Kecamatan Teluk Ambon dan
Kecamatan Leitimur Selatan, belum dikembangkan. Karena itu,
potensi pengembangan cukup terbuka. Usaha pariwisata yang
memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai investasi pada
sektor hulu adalah pengembangan delapan potensi pariwisata di
Kota Ambon yang belum dikembangkan dan pada bagian hilir
adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha perdagangan
produk-produk cenderamata. Skala usaha yang cocok
dikembangkan adalah usaha kecil dan menengah, pembangunan
hotel berbin-tang, usaha jasa perjalanan wisata serta
pengembangan wisata bahari.
Untuk meningkatkan arus transportasi manusia, barang
dan jasa, pemerintah Kota Ambon terus berupaya meningkatkan sarana dan prasarana jalan. Jalan Raya: Jalan di Kota
Ambon, terdiri dari jalan Negara yaitu: ruas jalan Ambon-Laha
sepanjang 38 km, jalan Provinsi yaitu ruas jalan PassoHutumuri, Ambon-Air Besar dan Ambon-Soya serta AmbonLatuhalat dengan panjang 46,31 Km, Sedangkan jalan Kota
Ambon sepanjang 169,992 Km. Lapisan permukaan jalan terdiri
dari jalan aspal 242,555 Km (95,38%) dan sisanya jalan kerikil
dan tanah, dengan kondisi 28,26% tergolong baik 68,66 tergolong rusak ringan dan 3,08% rusak berat, sedangkan jangkauan
pelayanan telah menghubungkan semua kelurahan dan desa di
Kota Ambon (Kota Ambon Dalam Angka, 2007).
Pemerintah Kota Ambon, pasca konflik terus bekerja
keras bersama masyarakat menata pusat terminal angkutan
darat. Mengingat semasa konflik, sarana dan prasarana yang
tersedia pada terminal angkutan umum tersebut, hancur dan
terbakar. Di Kota Ambon, untuk tahun 2007-2008, terdapat dua
buah terminal yang berlokasi di kompleks pertokoan Mardika
dan Batu Merah. Jumlah mobil angkutan umum, adalah
sebanyak 1.117 kendaraan yang melayani 61 trayek.
104

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

Karena Kota Ambon dalam beberapa tahun belakangan
ini mulai dipadati dengan kenderaan, maka Passo akan
dikembangkan sebagai kota ordo kedua. Untuk menampung
jumlah kenderaan angkutan umum yang terus meningkat. Oleh
karena itu, Pemerintah Kota Ambon telah melakukan studi
kelayakan untuk pembangunan terminal transit pada kawasan
Passo, di atas lahan sekitar lima hektar. Terminal ini nantinya
akan difungsikan untuk melayani kebutuhan angkutan
penumpang dari Jezirah Leihitu dan Jezirah Salahutu, Maluku
Tengah 22 .
Sebagai kota Transit Bisnis dan Perdagangan, Pemerintah
Kota Ambon memfasilitasi bertambahnya sarana hotel dan
penginapan di Kota Ambon. Jumlah Hotel di Kota Ambon
tercatat 33 buah terdiri dari Hotel Bintang III sebanyak tiga
buah dengan 197 kamar dan 251 tempat tidur, Hotel Bintang II
sebanyak dua buah dengan 65 kamar dan 87 tempat tidur,Hotel
bintang I sebanyak lima buah dengan 154 tempat tidur,
sedangkan Hotel Non Bintang sebanyak 23 buah dengan 400
kamar dan 628 tempat tidur (Kota Ambon Dalam Angka, 2007).
Dilengkapi dengan sarana-sarana Restaurant atau Rumah
Makan dan Tempat Hiburan. Jumlah Restaurant dan Rumah
Makan sebanyak 129, Rumah kopi 29, Cafe 24, Warung 36, dua
Restauran Fried Chicken dan 26 hiburan Karaoke, sedangkan
untuk tempat hiburan lainnya sebanyak 42 buah.
Untuk memperlancar arus transportasi antar provinsi di
Indonesia, Kota Ambon memiliki satu Bandar Udara
International Pattimura. Bandara Udara di Kota Ambon yaitu
Bandara Udara Pattimura dengan fungsi sebagai Bandara
Internasional, telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas sesuai
dengan peruntukannya sebagai Bandara Internasional. Beberapa
22

www.ambon.go.id. Dikunjungi tanggal 21 April 2011.

105

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Maskapai penerbangan yang telah melayani penerbangan ke
dan dari Ambon antara lain Maskapai Perbangan Garuda
Indonesia Airlines, Lion Air, Sriwijaya Air, Batavia Air, Trigana
Air. Lokasi Bandara berlokasi di Desa Laha Kecamatan Teluk
Ambon, berjarak 36 Km dari pusat Kota Ambon.
Demikian halnya dengan sarana dan prasarana transporttasi laut. Kota Ambon berada di antara pulau-pulau yang tersebar di Provinsi Maluku. Tingkat kedatangan dan keberangkatan
orang ke dan dari pulau-pulau meningkat. Kota Ambon telah
tersedia Pelabuhan Laut. Pelabuhan (Dermaga) Nusantara Yos
Soedarso tipe kelas 4, difungsikan sebagai Pelabuhan utama
untuk kegiatan eksport dan import serta penumpang, sedangkan
untuk mendukung kegiatan pelayaran antar pulau tersedia
Pelabuhan Gudang Arang dan Pelabuhan Slamet Riyadi yang
berfungsi sebagi pelabuhan lokal yang dikelola oleh PT.
PELINDO.
Dari rangkaian gambaran pembangunan Kota Ambon
dengan berbagai sarana dan prasarana publik yang telah
tersedia, patut juga dikemukakan sejumlah sarana peribadahan
di kota ini. Sebagai masyarakat plural, masyarakat di Kota
Ambon terkenal sebagai kota yang damai dalam keberagamaan.
Walaupun sempat dalam beberapa tahun lalu, Kota Ambon
diliputi kerusuhan berbau suku dan agama. Namun, masa itu
telah hilang dihancurkan oleh semangat ‘orang basudara’ atas
dasar ‘pela-gandong’.
Berdasarkan data yang tersedia (Kota Ambon Dalam
Angka, 2007), jumlah sarana rumah ibadah bagi kelima agama
Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan Budha bervariasi. Secara
keseluruhan jumlah rumah ibadah sebanyak 342 unit. Masingmasing terdiri dari, Gerja Protestan 209 unit, Gereja Katolik 7

106

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

unit, Kapel 10 unit, Masjid 85 unit, Langgar 7 unit, Mussalah 18
unit. Pura dan Wihara masing-masing tersedia tiga unit.
Berdasarkan data yang tersedia pada Badan Pusat Statistik
(BPS), Kota Ambon memberikan kontribusi terbesar pada
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku selama
periode tahun 2002-2006 (BPS, 2007). Selama tahun 2006,
Ambon yang merupakan satu-satunya Kota di Maluku itu
menghasilkan kontribusi sebesar 40,89% bagi PDRB. Sedangkan
dua kabupaten lainnya yakni Maluku Tengah (Malteng) dan
Maluku Tenggara Barat (MTB) berada di urutan kedua dan
ketiga dengan kontribusi masing-masing yakni 14,74% dan
11,69%. Total kontribusi Kota Ambon serta Maluku Tengah dan
Maluku Tenggara Barat (MTB) yakni 67,32%, sedangkan sisanya
32,68% disum-bangkan lima kabupaten lainnya, dan yang
terkecil yaitu Seram Bagian Timur (SBT) dengan 3,68% 23 . Data
yang tersaji ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa sebagai
pusat pemerintahan dan perdagangan, pertumbuhan ekonomi
Kota Ambon jauh lebih tinggi dibanding tujuh kabupaten
lainnya di Maluku. Mengingat ekonomi non primer sebagai
aspek utama penopang pertumbuhan. Sedangkan tujuh
kabupaten lainnya masih mengandalkan sektor primer
khususnya pertanian sebagai andalan utama pertumbuhan
ekonomi. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
laju pertumbuhan ekonomi kota Ambon di tahun 2009
mencapai 5,33 persen. Angka ini, lebih tinggi dari seluruh
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku, bahkan lebih
tinggi dari pertumbuhan ekonomi provinsi Maluku sendiri 24 .
Dari sederatan angka-angka tersebut patut dicatat bahwa peran
23

http://www.kapanlagi.com/h/old/0000172444.html. dikunjungi pada 02

Oktober 2010.

http://ambon.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=236:di
targetkan-apbd-kota-ambon-tahun-2011-alami-surplus-rp-10 miliar&catid=
1:latestnews. Dikunjungi 11 Januari 2011.
24

107

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

pedagang kecil, menengah dan besar, sebagai basis kewirausahaan turut berkontribusi di dalamnya (Baumol et.al, 2010:1314).
Salah satu aspek penting dalam menunjang proses pembangunan dan pembiayaan program pembangunan adalah sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk mendukung PAD tentu
masyarakat sebagai unjung tombak pembangunan sangat diperlukan untuk mencapai kesamaan gerak dan irama dengan pihak
swasta maupun pemerintah 25 . Sebagai bagian dari masyarakat,
pedagang kecil—papalele turut berkontribusi secara langsung.
Kontribusi mereka melalui pembayaran retribusi yang dikenakan setiap hari sebagai bentuk kompensasi penggunaan fasilitas
publik yang disiapkan pemerintah daerah, seperti pasar, dan
lokasi-lokasi perekonomian lainnya 26 . Lebih lanjut dikatakan
Walikota, semua pelaku ekonomi yang menggunakan fasilitas
publik, tidak dilakukan diskriminasi, semua komponen pelaku
ekonomi sama derajatnya dalam proses pembangunan. Retribusi
yang dikenakan kepada para pedagang kecil per hari sebesar
Rp2000 27 , sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun
2001 tentang Pajak dan Retribusi.
Terkait dengan sumber pendanaan pembangunan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Ambon tahun 2009 tercatat
sebesar Rp.26.365.910.330 28 . Kontribusi retribusi sebesar 46,
67% atau senilai Rp 12.305.442.200. PAD mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar Rp.47.385.642.860 29 , retribusi
Koran Suara Maluku, Rabu 30 Agustus 2006.
Wawancara dengan Walikota Ambon: Drs. M.J. Papilaja, MS, tanggal 7
Oktober 2009, dan wawancara dengan Sekretaris Kota Ambon: Dra. H.J.
Hulisselan, M.Kes, tanggal 9 Oktober 2009.
27 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2003, tentang Retribusi
Pelayanan Pasar, tertanggal 06 Maret 2003, dan Wawancara dengan Kepala
Dinas Pendapatan Daerah Kota Ambon, tanggal 10 Oktober 2009.
28 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2008, tanggal 27 Desember 2008.
29 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2010, tanggal 27 Januari 2010.
25

26

108

Pembangunan Kota Ambon dan Papalele

daerah
berkontribusi
sebesar
36,17%
atau
senilai
Rp.17.140.821.160. Pertanyaannya kemudian, apa hubungannya
dengan papalele?.

Papalele sebagai pedagang kecil yang beraktivitas pada
ruang publik, tidak ada dokumen—penelitian atau data statistik
untuk mengidentifikasi keberadaannya. Selama ini belum ada
satu pun data terkait jumlah papalele di Kota Ambon. Keterbatasan ini mengakibatkan kesulitan dalam mengidentifikasi
apakah papalele sejak lama semakin bertambah atau sebaliknya
semakin berkurang. Namun demikian, tidak adanya data tersebut tidak berarti sulit untuk memperhitungkan secara matematis kontribusi papalele bagi pembangunan. Secara umum,
semua desa di Kota Ambon memiliki anggota masyarakat yang
menjadi papalele. Desa Hatalai sebagai lokasi penelitian, terdapat lebih kurang 35 orang yang bekerja sebagai papalele. Jika
kita menghitung secara rata-rata di Kota Ambon ada 20 papalele
per desa, maka terdapat sekitar 600 orang papalele. Dalam
setahun kontribusi papalele untuk pemerintah Kota Ambon
melalui retribusi daerah sebesar Rp.438.000.000. Dengan
merujuk pada data retribusi tahun 2010, artinya papalele turut
serta memberikan kontribusi senilai 2,6%. Prakiraan angka ini
mungkin tergolong kecil, tetapi ses