Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB VI
Bab Enam
Awal Mula Menjadi Papalele
Pengantar
Bab ini menggambarkan proses seorang papalele saat
pertama kali memutuskan memulai dan menjalankan usaha.
Saat pertama kali seseorang mulai menjalakan kegiatan usaha,
ada alasan dan pertimbangan yang mendasarinya. Usaha yang
dilakukan tentu tidak muncul dengan sendirinya tanpa motif
yang menyertainya. Dengan pertimbangan dan alasan tertentu
muncul keputusan yang mendukung keduanya. Demikian
halnya dengan keputusan dari delapan belas informan dalam
penelitian ini saat mereka akan memulai papalele. Keputusan
memulai papalele didasari oleh alasan dan pertimbangan yang
berbeda-beda satu dengan yang lain. Namun alasan dan pertimbangan yang disampaikan lebih terfokus dan berititk-tolak dari
kondisi ekonomi keluarga.
155
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Motif dan alasan di balik keputusan 18 informan menjadi
papalele, saling berbeda satu sama lain. Kondisi ekonomis
keluarga mendominasi alasan menjadi papalele. Sepuluh atau
55,5% informan memutuskan menjadi papalele setelah menikah
dan anak mulai bersekolah. Alasan ini disebabkan oleh karena
tidak ada pilihan pekerjaan lain untuk penghasilan keluarga.
Sementara enam informan atau 33,3% sudah sejak remaja
menjadi papalele karena turun-temurun dari orang tua. Artinya
keterlibatan mereka tidak dapat dipungkiri bahwa kesejarahan
orang tua sebagai papalele, berpengaruh terhadap keputusan
mereka menjadi papalele. Satu informan atau 5,5% memutuskan
menjadi papalele setelah suami meninggal dunia. Keluarga
kehilangan sumber penghasilan, sehingga untuk melanjutkan
hidup, papalele menjadi satu-satunya pilihan. Pada sisi lain,
informan ini, tidak bisa menafikan bahwa sang ibu juga pernah
menjadi papalele. Terakhir, satu informan: papalele laki-laki
(5,55%) memutuskan menjadi papalele setelah tidak lagi
mendapat pekerjaan. Dia menjadi papalele bersama dengan sang
istri. Klasifikasi ini sesungguhnya menyajikan kombinasi antara
kebutuhan ekonomi 61% dan latar belakang sejarah orang tua
yang pernah menjadi papalele sebesar 39%.
Keputusan menjalani Papalele
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa kehidupan
ekonomis rumah tangga informan yang serba terbatas mengakibatkan mereka harus memilih menjalani papalele. Pilihan
tersebut merupakan keputusan awal para informan menjadi
seorang papalele. Para informan dalam penelitian ini berkisah
tentang pertimbangan dan keputusan pada saat mereka pertama
kali mengawali usaha sebagai papalele. Kisah yang dituturkan
pada dasarnya merupakan pengalaman pertama mereka menekuni papalele mencari penghasilan tambahan bagi keluarga.
156
Awal Mula Menjadi Papalele
Sembilan informan memutuskan menjadi papalele setelah
menikah dan saat ketika anak mulai bersekolah. Sebelum
menikah ‘tante Evie mungkin tidak terlalu merasa memiliki
tanggungan yang berat, karena apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhan secara pribadi masih bergantung pada orang tua.
Tidak ada beban dan tanggung jawab yang harus diatasi. Namun
ketika memasuki dan memulai rumah tangga, maka perkawinan
telah menjadi ikatan tanggung jawab. Saat itu pula mulai dirasakan bahwa keluarga memerlukan perhatian dan harus dinafkahi. Perhatian itu merupakan wujud rasa tanggung jawab yang
harus dilakukan dan tidak akan mungkin untuk dihindari.
Apalagi dengan hadirnya anak dari buah perkawinan semakin
menegaskan pentingnya tanggung jawab itu.
Papalele dimulai saat usia 28 tahun dan ketika anak
sulung masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Usia ‘tante
Evie’ sudah menginjak 49 tahun, saat saya mewawancarai
beliau 1 . Menurut-nya tanggal 15 November nanti usianya genap
50 tahun. Tidak banyak perubahan fisik yang nampak di raut
wajahnya, terutama bagi perempuan seperti dia yang sudah
mencapai usia sekitar itu. Biasanya di usia seperti itu tandatanda penuaan sangat nampak pada bagian wajah seperti kulit
yang mulai berkeriput atau kondisi fisik tubuh yang terlihat
mulai melemah. ‘Tanta Evie’ masih terlihat segar secara fisik
layaknya perempuan muda yang masih agresif dalam bekerja.
Padahal kini ia telah mempunyai empat orang cucu dari empat
orang anaknya. Menurut ‘tanta Evie’ papalele yang dia tekuni
sebetulnya masih tergolong baru dimulai sekitar tahun 1980.
Sebelum menekuni papalele dia lebih banyak mengurus keluarga dan menghabiskan waktu membantu suami mengurus kebun.
Karena suaminya petani, maka perawatan hingga memanen
hasil kebun selalu dilakukan bersama-sama, termasuk berusaha
1
Wawancara tanggal 8 November 2008.
157
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
menjual hasil panen kepada tetangga dan sebagian untuk
konsumsi keluarga. Setelah anak yang pertama lulus Sekolah
Dasar (SD) di Hatalai dan harus masuk Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Ambon, keinginan menjadi papalele semakin
menguat di hatinya. Maklum saja anaknya yang akan
melanjutkan sekolah harus tinggal di Ambon karena di Hatalai
saat itu belum terdapat SMP. Dengan demikian tidak ada
pilihan lain kecuali menjadi papalele untuk tambahan
penghasilan keluarga.
Desakan kebutuhan biaya hidup merupakan pertimbangan untuk menjadi papalele. Rupanya pertimbangan ‘tanta Evie’
untuk menjadi papalele dilandasi oleh pertimbangan kebutuhan
keluarga yang semakin meningkat. Situasi semakin mendesak
tatkala anak-anak mulai membutuhkan biaya ke jenjang sekolah
lanjutan setelah selesai di Sekolah Dasar (SD). Bagi ‘tanta Evie’,
papalele bukan sekedar keinginan pribadi, tetapi karena
pertimbangan kebutuhan keluarga. Artinya kebutuhan makan,
minum, pakaian bagi keluarga harus dicukupi dan pentingnya
biaya sekolah bagi anak-anak mutlak harus tetap dipenuhi.
Sehingga bagi ‘tanta Evie’ dengan bertambahnya biaya seperti
itu, sudah sepatutnya dicari jalan keluar untuk mengatasinya.
Desakan kebutuhan inilah yang menjadi dasar memulai
papalele.
158
Awal Mula Menjadi Papalele
Gambar 5.
Salah satu papalele (Piso.doc.2008)
Berjualan sebagai seorang papalele terlihat sederhana,
namun memerlukan proses belajar. Baik dilakukan secara
mandiri ataupun belajar dari orang tua dan dari rekan-rekan.
Pada dasarnya semua informan mengakui bahwa mereka
menjadi papalele tanpa belajar dan melihat pengalaman dari
orang tua atau sesama rekan yang telah lebih duluan menjadi
papalele. Sebagaimana diungkapkan salah satu informan sebagai
pengalaman pertama kali memulai papalele.
…beta blajar sandiri sa pa, mo kan orang Hatalae banya
papalele, ia artinya beta ajar bajual jua, bajual-bajual lalu
ada tamang panggel-panggel, artinya pi par batamangbatamang lalu su jadi par biasa lalu terus ni, ao mulai
deng bajual yang didusun punya saja pa”
(saya belajar sendiri, mengingat orang Hatalai juga
banyak yang menjadi papalele. Selain belajar sendiri,
159
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
saya juga diajak dan kadang teman-teman mengajak dan
ditemani berjualan akhirnya menjadi terbiasa hingga
saat ini, yang diawali dengan menjual hasil dusun) 2 .
Pengalaman pertama papalele dimulai dengan menjual
hasil kebun sendiri yang dipanen. Pengalaman pertama berusaha, tanpa menggunakan modal uang. Hasil kebun adalah modal
usaha pertama kali. Bagi tanta Evi, hasil kebun merupakan
produk unggulan yang dijadikan sebagai bahan jualan. Berbekal
hasil kebun, mereka mencoba mencari tambahan penghasilan
sekaligus mengatasi kebutuhan keluarga. Karena itu di antara
papalele pengalaman pertama berusaha berbeda satu dengan
yang lain. Ada papalele yang memulai dengan langsung membeli dari orang lain; pedagang atau sesama papalele, tetapi ada
juga yang mengawalinya dengan menjual hasil dusun sendiri.
Cara menjual dengan mengambil buah-buahan dari hasil dusun
sendiri merupakan cara ‘tanta Evie’ mengawali papalele.
Sebagaimana yang dituturkan berikut ini:
…ao mo mulai tu beta seng bali, ia kalo ada dusun punya
katong su pi bajual katong kasih orang borong akang lalu
katong bali laeng katong pi jual lae... ia setiap hari
katong pi bali di sana di pante Losari
(pada saat pertama kali berjualan saya tidak membeli
dari orang lain, buah-buah dari hasil dusun saja yang
dijual. Buah itu dijual secara borongan. Setelah buah
terjual, saya beli buah yang lain lagi untuk dijual. Setiap
hari saya selalu pergi membeli di tepi pantai Losari).
Mulai belajar dari mencari buah-buahan yang bentuk dan
kualitasnya baik, melakukan tawar menawar saat membeli,
menentukan jumlah kelompok buah yang dijual, hingga saat
2
Wawancara dengan tanta Evi, tanggal 8 November 2008
160
Awal Mula Menjadi Papalele
menentukan harga jual. Itulah tahap belajar papalele pertama
kali yang dilakukan tanta Evi. Pada awalnya buah yang dijual
hanya dari hasil dusun dan kemudian bisa membeli buah yang
lain dari pedagang lain untuk dijual. Bagi dia, buah hasil dari
dusun sendiri merupakan modal awal untuk membeli buah lain
yang bentuk kualitas yang baik. Setiap buah yang dibeli diatur
lagi sesuai jumlah tertentu yang dinginkan. Kemudian dijual
lagi ke konsumen. Akhirnya terbiasa hingga saat ini. Pengalaman ini disertai kemauan yang kuat dan saling melengkapi
sehinga membentuknya menjadi papalele sampai saat ini.
Buah-buahan dari hasil panen dusun yang dimiliki dibawa
ke pasar Ambon lalu dijual secara borongan kepada pedagang.
Setelah keuntungan dari penjualan buah-buahan diperoleh, ia
tidak segera pulang, tetapi ia mencari dan membeli buah-buah
lagi untuk selanjutnya dijual kembali.
Umur Memulai Papalele
Informan pada saat memulai papalele memiliki usia yang
berbeda satu dengan yang lain. Ada yang mulai papalele pada
usia remaja antara 15-25 tahun dan ada juga yang memulainya
setelah berusia di atas 25 tahun. Usia saat memulai papalele ini
mungkin dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk melihat pengalaman dan daya tahan usaha dari lamanya bekerja.
Terlepas dari pertimbangan apa yang menyebabkan mereka
mau menekuni pekerjaan ini sebagaimana telah diuraikan pada
bab dan bagian sebelumnya.
161
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Tabel 1.
Agihan Perbedaan Umur
Informan
Mike’1
Umur disaat…(thn)
mulai
sekarang
30
50
Lamanya
papalele (thn)
20
Tine’2
22
68
46
Evie’3
28
50
22
Lae’4
24
79
54
Rina’5
35
48
13
Anto’6
24
55
31
Le’7
39
52
13
Ting’8
20
70
50
Bae’9
25
60
35
Emi’10
26
53
27
Habsah’11
20
57
37
Tata’12
40
61
21
Joke’13
38
54
16
Jackia’14
38
53
15
Anci’15
32
58
26
Welly’16
27
61
34
Mien’17
14
52
38
Cum’18
23
55
32
Sumber: Penelitian lapangan; data diolah tahun 2008-2009
Delapan informan memutuskan menjadi papalele saat usia
mereka masih remaja. Masa remaja mungkin dianggap sebagai
usia yang masih tergolong belum cukup matang untuk bekerja.
Hal ini juga terjadi pada para remaja yang umumnya berdiam di
kota. Pada usia seperti ini biasanya masih digunakan untuk
menghabiskan waktu bergaul bersama teman-teman. Tetapi
bagi mereka yang di perdesaan atau yang mengalami kehidupan
ekonomi sangat terbatas, usia seperti ini sudah menjadi usia
162
Awal Mula Menjadi Papalele
yang harus menghasilkan sesuatu atau pekerjaan. Demikian
halnya dengan informan dalam penelitian ini, masa remaja
sudah terpakai untuk melaksanakan tanggung jawab mencari
penghasilan. ‘Tanta Mien’ (52 tahun) misalnya, satu dari tujuh
informan yang di usia remaja sudah harus menjadi papalele
(lihat tabel). Menurutnya, di masa lalu ketika papalele harus ia
jalani lebih pada pertimbangan untuk membantu membiayai
kedua adiknya yang masih bersekolah. Karena kondisi keuangan orang tua yang terbatas, sehingga tidak ada pilihan lain
kecuali harus menjadi papalele. Perjuangan bersama sang ibu,
dia lakukan agar kedua saudaranya tetap bisa dibiayai bersekolah. Jerih payah dari perjuangannya tidak sia-sia, sehingga
kedua adiknya bisa menyelesaikan sekolah dan kini telah sukses
bekerja di luar daerah; Timika dan Fak-Fak Papua. Setelah
kedua adiknya sukses menamatkan pendidikan kini ‘tanta Mien’
tidak lagi menjadi papalele tetapi telah mengalihkan pekerjaannya sebagai ‘dukun bayi’ (bidan desa) di Hatalai.
Sepuluh informan mulai menjadi papalele usia produktif.
Umur rata-rata informan pada saat pertama kali mulai menekuni papalele antara 26-40 tahun (tabel 6). Terlepas dari pertimbangan dan alasan yang diajukan, seperti alasan ekonomi untuk
bekerja tetapi pada dasarnya usia seperti itu memang berada
pada posisi ketika seseorang masih mampu bekerja dan sedapatnya turut menghasilkan sesuatu. Bahwa kemudian informan
memiliki tanggung jawab yang harus dilakukan kepada anggota
keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari tanggung jawab
sosial yang diembannya (lihat bab lima).
Bertahan selama 55 tahun menjadi papalele demi untuk
keluarga. Perjalanan panjang menjadi papalele lamanya waktu
menjadi papalele dari para informan ini terlihat pada informan
‘mama Lae’. Sejak tahun 1954 ia sudah memulai menjalani
papalele, saat umurnya baru 24 tahun. Pada saat penelitian ini
163
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
mulai dilakukan, ‘mama Lae’ dalam satu tahun terakhir tepatnya di tahun 2007 baru saja berhenti menjadi papalele 3 . Menurut ‘mama Lae’, sebetulnya ia masih ingin tetap menjalani
papalele, tetapi anak-anaknya meminta agar ia berhenti menjadi
papalele. Anak-anaknya telah sukses dengan pekerjaan dan
keluarga mereka masing-masing, saatnya ia dan suaminya untuk
beristirahat di rumah sambil menikmati sisa hidupnya. Itulah
alasan yang dikemukakan anak-anaknya saat keluarga besar
mereka berkumpul. Walaupun demikian, meski tidak lagi
menjadi papalele, tetapi di Hatalai ‘mama Lae’ masih tetap aktif
terlibat dalam kegiatan organisasi keagamaan di lingkungan
jemaatnya.
Di antara papalele hanya satu informan yang tergolong
baru menjalani pekerjaan ini. Menjadi papalele 13 tahun lalu,
tetapi dianggap sebagai orang baru dalam pekerjaan ini. Semua
papalele di Hatalai juga sangat mengakui bahwa ia adalah salah
satu orang yang baru saja memulai papalele. Pernyataan itu
adalah pengakuan yang disampaikan ‘tanta Rina’. Bagi papalele
di Hatalai, ‘tanta Rina’ memang baru saja memulai papalele. Saat
ini umurnya baru 48 tahun, dan mulai menjadi papalele di
tahun 1996 saat usianya genap mencapai 35 tahun. Walaupun
pada kenyataanya mungkin pula di Hatalai masih ada juga orang
yang masih lebih baru menggeluti papalele.
Ketidaksetaraan Gender
Dalam masyarakat kita, pendidikan formal tidak sebatas
kebutuhan, melainkan telah menjadi kewajiban. Namun dalam
masyarakat tertentu seperti Hatalai pada tahun-tahun sekitar
1950, pendidikan hanya dipahami sebagai satu identitas sosial
yang hanya boleh diakses oleh kaum laki-laki, dan kalangan
3
Wawancara tanggal 8 November 2008.
164
Awal Mula Menjadi Papalele
keluarga yang tergolong mapan secara ekonomi, termasuk
keluarga-keluarga yang diakui memiliki strata sosial tertentu
seperti anggota keluarga raja dan keluarga pejabat pemerintahan
saat itu.
Anak laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan berbeda untuk sekolah. Terdapat tujuh belas informan yang harus
meninggalkan bangku sekolah. ‘Mama Ting’, ‘mama Yoke’ dan
‘tanta Rina’, adalah tiga informan dari tujuh belas informan
tersebut. Mereka tidak lagi bisa menikmati sekolah dan dengan
terpaksa ditinggalkan hanya karena keterbatasan biaya. Orang
tua tidak lagi bisa menyediakan biaya sekolah karena penghasilan mereka yang sangat terbatas. Selain alasan itu, sebetulnya
masih terdapat alasan dan pemahaman lain yang masih kuat
dalam masyarakat Hatalai bahwa anak laki-laki yang lebih
diutamakan untuk mengikuti pendidikan, sementara anak
perempuan dibatasi. Pada masa lalu memang di Hatalai anak
perempuan masih dianggap tidak memiliki peluang dan kemungkinan untuk berkembang dibandingkan dengan anak lakilaki. Pemahaman masyarakat seperti itu yang justru menekan
dan membatasi peran serta mereka mendapatkan pendidikan.
Pertimbangan orang tua seperti itu yang kemudian harus
diterima oleh anak perempuan. Sebagaimana yang terucap dari
informan:
…katong ni cuma sampe di skolah rayat (SR) sa; barang
dong sandiri seng mau beta skolah lanjut. Kata; ana yang
parang-puang tua mau pi kamana la?, padahal nama su
tagantung mau pi ujian, kurang 3 hari lai e, la beta mara
sampe saat ini su mati sampe di seberang sana beta tetap
mara, kalau inga nasib. Beta mara sbab beta pung nasib
bagus, mar dong sandiri seng mau”. 4
4
Wawancara dengan Christina Alfons (70 tahun), tanggal 20 April 2009.
165
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
(kita ini hanya sampai pada Sekolah Rakyat saja; karena
orang tua sendiri tidak mau saya bersekolah lanjut.
Menurut mereka (orang tua) anak perempuan yang
sulung itu mau pergi kemana? Padahal nama saya sudah
diumumkan untuk mengikuti ujian, kira-kira kurang
tiga hari saja. Akibatnya saya sampai saat ini masih
sangat marah, walaupun orang tua sudah meninggal
dunia. Kalau mengingat lagi nasib saat itu. Saya marah
karena saat itu nasib dan peluang saya sangat baik, tetapi
orang tua tidak memberi kesempatan).
Gagal mewujudkan cita-cita melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi. Alasan ekonomis selalu menjadi yang
utama pada setiap keluarga, wajar saja kalau kemudian anakanak tidak dapat melanjutkan sekolah. Dalam kasus ini, ‘mama
Ting’ tidak sendiri mengalami nasib seperti itu, beberapa informan yang lain juga harus menerima nasib yang sama. Andai saja
mereka bisa melanjutkan sekolah, bukan tidak mungkin
keadaan seperti sekarang ini tidak akan terjadi.
Peran orang tua mempersiapkan anak perempuan memasuki rumah tangga. Orang tua ‘mama Ting’ dan juga yang lain,
masih mempuyai pemahaman bahwa anak perempuan tidak
akan mungkin mengalami nasib yang lebih baik jika mengikuti
pendidikan yang lebih tinggi. Mereka masih beranggapan
bahwa sekali-pun anak perempuan mengikuti pendidikan yang
lebih tinggi dan mendapatkan gelar pendidikan, pada saatnya
juga akan tetap menjadi ibu rumah tangga dan kembali mengurusi dapur. Karena itu bagi orang tua pendidikan untuk anak
perempuan bukanlah yang utama, tetapi anak perempuan bisa
dipersiapkan untuk berperanserta dalam memperhatikan saudara-saudaranya. Perempuan hanya diberi kesempatan tetap
berada di rumah dan berkewajiban melayani kebutuhan orang
tua dan keluarga. Selain itu, perempuan disiapkan menunggu
pinangan pihak laki-laki untuk menikah dan memulai rumah
166
Awal Mula Menjadi Papalele
tangga. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan anak lakilaki yang diberikan peluang dan kesempatan untuk lebih jauh
menikmati pendidikan. Laki-laki di Hatalai menjadi simbol
keluarga, yang terwujud melalui tingkat pendidikan yang
diperoleh, sehingga laki-laki dianggap mampu mengangkat
derajat sosial keluarga di lingkungannya.
Lingkungan sosial budaya yang cenderung kuat memposisikan perempuan secara lemah untuk mendapatkan akses
pendidikan, tentu memberikan resiko keterbatasan terhadap
pandangan yang lebih luas. Tekanan nilai-nilai itu kemudian
didukung oleh aspek ekonomis dan latar belakang kehidupan
orang tua yang serba terbatas secara ekonomis mengakibatkan
anak perempuan serba terbatas mengakses pendidikan dan
pekerjaan yang lebih layak.
Kebaya sebagai Pakaian Khas Papalele
Bagi anak perempuan di Hatalai setelah lulus Sekolah
Dasar (SD) dan tidak melanjutkan sekolah wajib menggunakan
kebaya. Anak perempuan di Hatalai yang melanjutkan sekolah
ke jenjang yang lebih tinggi seperti Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diperlakukan berbeda dengan anak perempuan yang hanya Sekolah Dasar (SD).
Pembeda perlakuan ini pada pakaian yang dikenakan, blus dan
rok bagi mereka yang melanjutkan sekolah, kebaya bagi mereka
yang tidak melanjutkan sekolah.
Penggunaan kebaya menjadi kewajiban dan tradisi masyarakat setempat. Orang tua telah menjustifikasi anak perempuan
yang tidak lagi dapat melanjutkan sekolah harus berkebaya,
seperti halnya kebaya yang dikenakan ‘mama Welly’ 5 (61
5
Wawancara tanggal 19 April 2009
167
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
tahun). Menurutnya sejak dulu di bawah tahun 1950, setiap
anak yang tidak mendapat kesempatan bersekolah, diwajibkan
mengenakan kebaya. Saat itu orang tua selalu beranggapan
bahwa anak perempuan hanya bisa tinggal dan menetap di
rumah. Tamat Sekolah Dasar hanya bisa dicapai ‘mama Welly’
di usia 12 tahun. Masih menurut ‘mama Welly’, setelah selesai
Sekolah Dasar, sekitar dua sampai tiga tahun hanya bisa bermain menghabiskan waktu. Saat usia sudah mencapai 15 tahun
orang tua mewajibkan ia memakai kebaya, sebagai prasyarat
untuk mulai memikul bakul untuk berjualan.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh ‘mama Bae’ 6 (60
tahun) sebagai berikut:
…beta mulai pake kabaya dari mulai Getsasi tahun 1965
la 1968 beta sidi, pake kabaya seng pake sandal. Mo
mama yang suru te, barang waktu itu, nona-nona yg
seng skolah tarus tu pake kabaya. ..katong pake kabaya
tu voor pi bajual atau kalau umpama mau jadi ibu rumah
tangga, pake kaeng deng kabaya, tapi yang skolah tu
pake baju deng spatu. Mama antua su seng mau beta
skolah tu, la pi bajual te...
(saya mulai memakai kebaya saat mulai mengikuti
Katekisasi 7 tahun 1965, kemudian tahun 1968 saya di
Tabiskan sebagai anggota Sidi Gereja. Biasanya kalau
memakai kebaya tidak menggunakan sandal; kaki tanpa
alas. Kebaya ini disuruh oleh ibu, karena pada waktu itu,
anak perempuan (nona-nona) yang tidak bersekolah lagi
Wawancara tanggal 23 April 2009
Katekisasi adalah pendidikan Formal Gerejawi di lingkup Gereja Protestan
Maluku. Murid atau peserta Katekisasi disebut Katekisan. Pendidikan selama
Katekisasi berlangsung pada awalnya kurang lebih tiga tahun. namun saat ini
hanya dilakukan satu tahun. Akhir Katekisasi dilakukan secara serominial
gerejawi yang disebut Sidi Gereja. Mereka yang telah lulus pendidikan Katekisasi diperbolehkan mengikuti Sakramene Perjamuan Kudus Gereja Protestan
Maluku. Tentang Katekisasi juga dibahas oleh Cooley Frank. L, (1961) “Altar
and Throne in Central Moluccan Society”. Disertasi Ph.D Yale University.
Terjemahan (1987), halaman 289-293. Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
6
7
168
Awal Mula Menjadi Papalele
harus memakai kebaya. Pakai kebaya menurut ibu,
untuk pergi berjualan atau kalau saatnya akan menjadi
ibu rumah tangga. Sementara yang masih sekolah pakai
baju dan sepatu. Karena ibu tidak mau saya bersekolah,
akhirnya harus berjualan).
Kebaya menjadi identitas dan ciri papalele. Uraian di atas
sesungguhnya lebih menekankan penggunaan kebaya karena
alasan akses pendidikan bagi anak-anak perempuan. Pada sisi
lain kebaya menjadi penegasan untuk perempuan yang menjadi
papalele di pasar. Bentuk dari pekerjaan yang harus ditekuni
karena tidak lagi ada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan
lain yang lebih baik. Mungkin akan timbul pertanyaan lain
berkenaan dengan anak perempuan yang tidak sekolah lanjut
tetapi telah mengenakan pakaian biasa misalnya blus dan rok?.
Kasus seperti ini terjadi pada salah satu informan ‘mama Yoke’
yang sempat bersekolah sampai kelas dua di Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Karena kesempatan sekolah itu, dia telah
terbiasa mengenakan baju. Rupanya kebaya telah menjadi ciri
dari papalele sebagaimana yang dikemukakannya seperti
berikut:
Kasus:
‘Mama Yoke’ mulai melakoni papalele sekitar 17 tahun
lalu. Pertimbangan ekonomis menjadi alasannya karena
sang suami telah meninggal dunia di tahun 1993 bersamaan dengan itu anak nomor dua mulai masuk Sekolah
Menengah Atas di Ambon. Dia sendiri hanya bisa menempuh pendidikan sampai di kelas dua SMP dengan
alasan yang sama; ekonomi orang tua. Ayahnya hanya
pekerja bangunan dan ibu hanya papalele.
Sebagaimana anak-anak perempuan lainnya di Hatalai,
‘Mama Yoke’ masih beruntung bersekolah hingga SMP
walaupun tidak diselesaikan. Namun dalam situasi dan
cara pandang masyarakat (orang tua) yang masih beranggapan bahwa anak perempuan yang tidak sekolah
harus mengenakan kebaya, ‘Mama Yoke’ memiliki
169
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
pengecualian. Orang tua tidak mewajibkan ia mengenakan kebaya, mengingat ia sempat melanjutkan sekolah.
Hingga saat ia mulai kawin dan berumah tangga pun ia
tidak mengenakan kebaya.
Setelah kawin hingga suami meninggal ia akhirnya
memutuskan menjadi papalele. Mengingat keluarga dan
anak-anak harus tetap nifakahi. Papalele menjadi keputusan dan tekadnya serta ketersediaan hasil di dusun
yang juga banyak. Setelah memutuskan menjalani
papalele, ia sempat berpikir apakah tetap memakai baju
atau kebaya. Dari kedua pertanyaan itu akhirnya ia
memutuskan untuk mengenakan kebaya. Menurut
‘Mama Yoke’ kalau harus ke pasar papalele dengan
memakai baju terasa rasa aneh. Baginya sebagai orang
desa rasa-rasanya dengan memakai baju tidaklah cocok
untuk berjualan. Terlebih lagi kalau harus keku
(memikul di kepala) bakul sangat tidak sesuai.
Kebaya adalah pakaian yang sangat cocok untuk berjualan. Ia pun sempat bertanya kepada sang ibu tentang
pakaian yang akan dikenakan. Ibunya tidak mewajibkan
dan memaksa untuk menggunakan kabaya. Akhirnya
sejak menjadi papalele, kebaya baru ia kenakan, itu pun
terbatas untuk papalele. Menurut ‘Mama Yoke’ penggunaan kebaya lebih dekat dengan papalele. Kebaya hanya
digunakan dan dipakai kalau akan berjualan. Sementara
kegiatan rutin di rumah dan kegiatan lainnya, ia tetap
menggunakan pakaian biasa.
Pengetahuan Berdagang: Bisnis Turun-temurun
Papalele tidak hanya dilakukan oleh generasi sebelumnya
(orang tua), tetapi sampai kini terus ditekuni. Sepertinya bagi
sebagian masyarakat Hatalai, papalele masih dianggap sebagai
salah satu pekerjaan yang bisa membantu mengatasi persoalan
keuangan keluarga. Papalele dianggap sebagai katup pengaman
dan media mengatasi ekonomi keluarga sehingga keluarga tidak
mengalami kemiskinan. Walaupun hasil keuntungan dari usaha
170
Awal Mula Menjadi Papalele
ini tidak pasti, tetapi cukup untuk membiayai kebutuhan rutin
keluarga. Tujuh informan ternyata belajar papalele dari orang
tua (ibu) dan telah turun-temurun. Karena sifatnya yang turuntemurun sejak orang tua sebelumnya, maka dapat dikatakan
sebagai keluarga papalele. Secara umum papalele terus
melembaga namun tidak terbentuk secara formal. Proses pelembagaan ini sangat mungkin dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, dan ajakan orang tua. Berikut penuturan salah satu informan:
…beta inging sandiri to, barang katong biking apa di
rumah, dong jual katong lia, supaya dapa pengalaman,
katong tar karja katong mau dapa uang dar mana, antua
su seng mau beta skolah tu, la pi bajual, antua biasa
tandeng-tandeng jualan la katong lia, kalau musing buah
katong buah paling banyak… dusun banya, durian
banya-banya, langsa banya-banya, manggustang banyabanya, hala sampe karong-karong ka seng keku bawa,
cuma beta lia la beta iko sandiri… katong tandeng…
kalau durian deng manggustang tu katong jalan ronda….
nanti besok ada lai, jadi musti jalan ronda, tanya-tanya
di rumah-rumah orang Cina 8 . –
(saya berkeinginan sendiri, karena dirumah mau
mengerjakan apa. Mereka jual kita melihat dan belajar
supaya bisa mendapat pengalaman, apalagi kita tidak
bekerja mau mendapatkan uang dari mana. Orang tua
tidak mau saya bersekolah, lalu pergi berjualan saja. Ibu
biasanya menetap (‘tandeng’) lalu kita melihat. Karena
dusun/kebun banyak yang menghasilkan buah, duren,
langsat, manggis hasilnya harus dipikul hingga
berkarung-karung, terkadang juga harus ‘keku’ (menjunjung di kepala). Semua itu cuma dari pengalaman
melihat sendiri, kemudian kita ‘tendeng’. Khusus untuk
buah manggis atau duren harus ‘baronda’, karena buah
masih tersedia banyak. Sehingga harus ‘baronda’ ke
rumah orang-orang Cina (Tionghoa)).
8
Wawacara dengan Bae Kastanya (60 thn), 23 April 2009.
171
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Pengalaman yang serupa juga dikemukakan oleh Lae
Parera 9 (79 tahun) yang memiliki pengalaman yang sama sejak
berusia muda.
…jadi sewaktu muda itu lai beta pung mama mencari di
pasar par kasih piara katong ana 11, lalu beta kaweng itu
lalu langsung papalele te kira-kira umur 24 taong lai su
papalele iko dari beta mama. jadi kalo macam seng
musim buah-buah beta harus papalele. ...lalu antua ajar
beta tuh, antua ajar cuma katong lia antua biking toh....
seng carita lai tu e, sampe di Ambon bali jualan bale
jual.... tar ajar hitong... tar ajar lai... jadi antua bajual
bagini, lalu harus papalele jadi papalele tarus sah. Beta pi
pasar bali buah-buah tu…jadi maksud beta antua
papalele par piara katong... sakarang dari antua lalu beta
papalele te.... papalele toh, kalo seng ada musim buahbuah. kalo musim buah-buah beta jual katong pung
sandiri, jadi seng bali lai, tapi kalo seng ada musim beta
musti pi di Ambon bali jualan....bali langsa dari orang
Hative itu bali karong-karong.... dolo itu kan pante pasar
..itu turun dalam air masing, par dong sandar deng parao
pake semang tuh baru angka ka dara….... la kalo bali
salak dari orang Amahusu, buah basar tawar kalo akang
jatuh harga tawar bagini...lansa-lansa dari Hative
tuh...saratus barapa sah... bali karong-karong... bali riburibu... jadi sampe beta su kaweng lama baru antua mati.
(sewaktu saya masih berusia muda, ibu saya bekerja;
papalele untuk memelihara dan memberi hidup untuk
kita sebelas bersaudara. Saya kawin dan langsung menjadi papalele kira-kira umur 24 tahun, mengikuti ibu.
Pada saat tidak musim buah, saya harus papalele. Lalu
ibu mengajarkan saya, tapi hanya dengan mengikuti dan
melihat tanpa mengajari melalui cerita atau mengajari
cara menghitung. Menuju ke Ambon membeli dan lalu
menjual lagi. Akhirnya saya papalele seterusnya. Bisanya
kalau musim buah dari dusun/kebun, saya menjualnya
9
Wawancara 8 November 2008.
172
Awal Mula Menjadi Papalele
tanpa harus membeli lagi. Tetapi kalau tidak musim,
saya harus ke Ambon untuk mencari dan membeli buah.
Biasanya kami membeli dalam jumlah yang banyak,
berkarung-karung di penjual salak dari Amahusu atau
buah langsat negeri Hative. Saya menjalani papalele
cukup lama bersama ibu, lalu beberapa waktu kemudian
Ia meninggal dunia).
Kepedulian orang tua karena anak tidak memiliki pekerjaan. Pada saat orang tua mengajak anaknya untuk turut serta
menjadi papalele, sesungguhnya memiliki pertimbangan
khusus. Mungkin saja mereka sangat menyadari bahwa anak
mereka tidak lagi bisa bekerja di bidang formal karena
pendidikan yang terbatas. Ajakan mereka merupakan bentuk
tanggung jawab yang mulai dialihkan dengan harapan bahwa
dalam keterbatasan anak-anaknya mereka tetap bisa memiliki
penghasilan untuk menghidupi keluarga kelak. Apa yang
dilakukan ‘mama Tine’ dan ’mama Lae’, adalah satu-satunya
pilihan, karena mereka pun menyadari bahwa hidup masa
depan harus terus diperjuangkan, baik sebelum dan sesudah
memiliki keluarga.
Proses Adaptasi Menjadi Papalele
Papalele secara turun-temurun tidak hanya sebatas pada
ikatan keluarga inti, tetapi berpengaruh pula pada keluarga
besar. Sub tema sebelumnya menegaskan tentang proses
papalele yang berlangsung secara turun-temurun pada beberapa
keluarga inti. Kuatnya pengaruh dan daya tarik orang tua
sebagai papalele memberi dampak ikutan bagi generasi berikutnya. Anak-anak akan turut berperan serta mengikuti sang orang
tua dengan alasan yang sama yakni alasan ekonomi keluarga.
Namun demikian, tidak berarti bahwa proses demikian hanya
dapat berlangsung dalam lingkup keluarga, tetapi pelembagaan
173
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
tersebut bisa saja terjadi dalam keluarga yang lebih besar.
Termasuk mereka yang kawin dan menyatu dan menjadi bagian
dari keluarga itu.
Empat informan adalah pendatang yang berasal dari desa
lain kemudian kawin dan menjadi papalele. Mama Le, Mike,
Anto dan Rina, adalah empat informan yang bukan orang yang
terlahir dan dibesarkan di Hatalai. Mereka berempat berasal
dari desa berbeda dan kawin lalu menetap menjadi orang
Hatalai. Mama Le berasal dari desa Naku yang berjarak sekitar
enam kilometer dari Hatalai. Mike berasal dari desa Kilang yang
bisa ditempuh dalam jarak sekitar tiga hingga empat kilometer
dari Hatalai. Dua desa tersebut masih satu kecamatan dengan
Hatalai. Mama Anto berasal dari dusun Tuni desa Urimessing
yang paling dekat dengan Hatalai dan berjarak hanya sekitar
dua kilometer. Walaupun jarak desa ini sangat dekat dengan
Hatalai tetapi berbeda wilayah kecamatan yakni Kecamatan
Sirimau. Sementara tanta Rina berasal dari dusun seri Desa
Airlow di Kecamatan Nusaniwe. Jarak antara Hatalai dengan
dusun ini diperkirakan bisa mencapai 26 kilometer atau lebih
yang jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan angkutan
umum harus dua kali berganti jalur trayek kendaraan.
Menikah dan menetap dengan keluarga suami dan menjadi bagian dari keluarga besar. Tanta Mike (50) semasa muda
atau bujangan tinggal bersama orang tua di Desa Kilang, desa
tetangga Hatalai sama seperti halnya mama Le, Anto dan Rina.
Tanta Mike menikah tahun 1984 saat usianya 26 tahun dengan
pemuda Hatalai bermarga Loppies. Sewaktu bujangan di desanya tidak pernah terbayang sedikipun kalau akhirnya setelah
menikah akan menjadi papalele membantu menopang hidup
keluarga. Mengingat sejak muda ketika masih menetap bersama
orang tua tidak ada satu pun keluarganya yang menekuni atau
menjadi papalele. Demikian halnya dengan masyarakat di desa
174
Awal Mula Menjadi Papalele
asalnya yang pada umumnya saat itu tidak ada yang menjadi
papalele. Walaupun kemudian dalam perkembangannya di desa
tersebut sudah banyak ditemui papalele di sana, sebagaimana
diungkapkan 10 ;
…dari rumah bujang seng ada papalele, beta itu seng
tahu, katong samua seng, cuma sampe di sini (Hatalae)
baru terbiasa disini. Seng la barang di rumah di Kilang tu
toh...katong orang Kilang tuh toh...dolo-dolo seng tahu
papalele, mo blakangan ini baru ada, su banya lae, tapi di
Hatalae seng, mo orang sini dong dari dolo paskali su
papalele tuh.
(…dari rumah kami semasa bujang tidak ada yang
menjadi papalele, bahkan saya sendiri tidak tahu cara
papalele. Kita semua sekeluarga tidak papalele, hanya
ketika tiba di sini (Hatalai) baru terbiasa menjadi
papalele. Karena rumah bujang di Kilang, kita orang
negeri Kilang itu sejak dulu tidak pernah papalele. Baru
pada tahun belakangan ini sudah ada yang papalele.
Sebaliknya bagi orang-orang di negeri Hatalai ini sudah
sejak dahulu menjadi papalele).
Menyatu dengan suami serta keluarganya dan menjadi
papalele. Karena menikah tanta Mike harus mengikuti suami
dan menetap di Hatalai. Sebagai anggota keluarga besar dari
sang suami, ia harus sedapat mungkin menyesuaikan diri
dengan keluarga suami. Sebelum kawin sebagai orang bujangan
yang tidak memiliki pekerjaan tetap, waktu lebih banyak hanya
dihabiskan di rumah membantu pekejaan orang tua. Sejak
menikah dan mengikuti suami kebiasaan masa mudanya pun
hilang karena tanggung jawab sebagai istri mendampingi suami.
Ia sendiri saat itu tidak bekerja mengingat pendidikan hanya
sampai Sekolah Dasar. Pendidikan rendah seperti itu sulit untuk
10
Wawancara dengan Mike Loppies tanggal 7 November 2008.
175
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Karena itu pilihan
menjadi papalele mungkin merupakan cara terbaik untuk
membantu suami mencari tambahan penghasilan. Kebetulan
saja saat ibu mertunya juga adalah papalele. Setiap hari mertuanya selalu harus pergi papalele mencari penghasilan guna
membiayai kehidupan yang masih ditanggung oleh sang
mertua. Keadaan demikian membuat dia merasa tidak nyaman
sehingga ia pun berusaha agar beban berkurang dan jalan
keluarnya adalah menjadi papalele bersama mertua.
Mulai mendalami dan belajar menjadi papalele dari ibu
mertua. Pertama kali saat menjadi papalele, tanta Mike mengikuti sang mertua dengan membawa hasil kebun keluarga sendiri
ketika musim buah tiba. Mengingat dusun dan kebun milik
suami mempunyai banyak tanaman buah dan hasil panen juga
banyak. Aneka buah seperti manggis, duren, dan salak selalu
dibawa untuk dijual ke pasar. Tidak hanya menjual hasil kebun
milik sendiri tetapi manakala buah hasil kebun telah habis
terjual, dia membeli buah dari orang lain lalu dijual lagi.
Keadaan itu terus berlangsung sebagaimana yang disampaikannya: 11
…seng, ini dong pung Oma ni, mulai-mulai iko antua
dong toh, biasa tuh deng hasil sendiri dolo, mo kalo
musim hasil, musim duriang, manggustang, kalo punya
sandiri, bawa jual sandiri… iya kalo buah dusung su
abis disini bagitu, seng ada buah lai la mulai iko-iko
orang Hatalae toh, bali-bali, bali baru bale jual..lalu
terbiasa-terbiasa, mo bali di pasar-pasar sa, dari orang
apa saja.
(Neneknya anak-anak papalele, awalnya belajar ikut
Nenek, dengan membawa dan menjual hasil kebun
sendiri, biasanya kalau musim buah duren manggis. Saat
hasil kebun sudah habis dan tidak ada lagi di Hatalai,
11
Wawancara dengan Mike Loppies tanggal 7 November 2008.
176
Awal Mula Menjadi Papalele
saya mulai mengikuti teman-teman membeli buah di
pedagang pasar kemudian menjual lagi dan akhirnya
terbiasa hingga saat ini).
Papalele: Profesi Tanpa Batas Umur
Masih produktif papalele di usia yang sudah semakin
tidak lagi produktif. Ukuran kerja seseorang dalam menghasilkan sesuatu sering dilihat dari umur yang mungkin saja mencerminkan kemampuan menghasilkan sesuatu. Di saat umur seseorang telah mencapai 60 tahun ke atas mungkin telah dianggap
sebagai golongan usia yang tidak lagi bisa bekerja untuk menghasilkan sesuatu. Walaupun kadang-kadang pada pekerjaan
tertentu usia 60 tahun ke atas masih berkesempatan bekerja,
tetapi pekerjaan papalele mungkin masih bisa kita maklumi saat
di usia seperti ini mereka masih tetap bekerja. Alasan dan motif
terhadap usia yang terus bertambah bagi mereka yang masih
menjadi papalele ternyata juga berbeda. Salah satu di antara
alasan itu adalah fisik yang dianggap masih bisa bekerja dan
perasaan kejiwaan yang telah menyatu dengan pekerjaan ini.
Tekad dan komitmen telah menjadi jiwa papalele. Mama
Tine, Ting dan Welly adalah tiga dari enam informan yang
telah berusia di atas 60. Memang satu di antara mereka yakni
‘Mama Lae’ baru saja berhenti menjadi papalele di usia 78
tahun, dan di kalangan mereka, ‘mama Lae’ yang dianggap
paling senior dalam papalele. Sementara ‘mama Ting’ saat ini
sudah berusia 71 tahun tetapi masih aktif papalele. Walaupun
usia mereka sudah mencapai angka seperti itu tetapi bagi
mereka papalele adalah segalanya. Papalele dianggap telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas keseharian.
Sehingga kadang-kadang papalele bisa dijadikan semangat
177
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
seperti yang disampaikan ‘mama Welly 12 ’ 61 tahun: ‘sampe beta
ni ada badang tar sadap; saki jua mar beta ada pigi ni, seng pi
tambah saki, mo dari pada katong tinggal dudu di rumah mo
labe bae pi jua (walaupun saya sementara kondisi badan tidak
terasa enak; sakit, tetap saja pergi papalele, kalau tidak pergi
semakin tambah sakit, karena itu dari pada hanya di rumah saja
duduk lebih baik pergi papalele).
Dukungan Keluarga Menjadi Papalele
Kesediaan dan mendukung istri menjadi papalele. Sikap
permisif suami terhadap pekerjaan istri karena sebagian waktu
dihabiskan di luar rumah tidak bisa dianggap hal biasa. Suami
sebagai pimpinan keluarga memberikan kesempatan kepada
istri mencari penghasilan tambahan bagi keluarga yang didasari
oleh pertimbangan bahwa penghasilannya tidak mencukupi.
Kesedian tersebut harus diikuti pula dengan kesediaan suami
mengatur dan mengurusi keluarga. Mengingat masih kuatnya
pemahaman dalam masyarakat bahwa laki-laki sebagai kepala
keluarga adalah pemberi dan pencari nafkah sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya mengatur segala
urusan dalam keluarga.
Saling berkomunikasi dan meminta persetujuan menjadi
kunci untuk saling mendukung. Wajar saja kalau suami dan istri
ketika akan memutuskan sesuatu selalu terjadi komunikasi di
antara keduanya. Dapat dibayangkan seandainya komunikasi
tersebut tidak terjadi maka bukan tidak mungkin akan muncul
masalah dalam keluarga. Apalagi ditambah dengan penghasilan
rutin yang diperoleh perempuan setiap waktu selalu ada dan
bahkan lebih dari yang dicari laki-laki. Maka secara psikologis,
sang suami akan merasa tersaingi bahkan bisa menimbulkan
12
Wawancara tanggal 19 April 2009
178
Awal Mula Menjadi Papalele
pertengakaran yang bisa berakibat pada hal yang tidak diinginkan. Untuk menghindarinya maka harus ada pembicaraan dan
saling mendukung di antara keduanya sebagaimana dituturkan
oleh ‘mama Le 13 ’:
…katong bicara la paitua seng kabaratang mar antua
dorong pa, antua bilang karena dasar gaji akang kacil, la
dia tanya to kalo se bisa bajual ka seng? gampang sa,
padahal katong kalo di Naku-Kilang malu kalo bajual
bagini-samua malu kalo bajual-bajual bagini. Tapi
karena dukong dari paitua sandiri tolong bisa ka seng,
supaya gaji tu katong bisa biking apa kah, apakah, bagitu
pa...la beta jua setuju akang, deng tarnyata bajual ni enak
lai”.
(kami berdua saling berdiskusi kemudian suami tidak
keberatan, malahan turut mendorong. Suami mengatakan karena kondisi dasar gaji yang kecil, maka beliau
bertanya dan meminta kesediaan saya untuk berjualan
seperti ini. Bagi saya itu mudah saja, padahal ketika kita
masih di negeri Naku sangat merasa malu kalau berjualan. Negeri Naku-Kilang semua orang pasti malu. Tetapi
dukungan penuh suami saya setuju. Ini agar penghasilan
dari gaji bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain dan
ternyata papalele itu enak).
Proses komunikasi menjadi andalan yang terbangun di
antara suami dan istri, bahkan dari pernyataan ini terkesan
bahwa tawaran itu muncul dari pihak laki-laki sebagai kepala
keluarga. Pengakuan dan keterbukaan karena penghasilan yang
terbatas menjadi keprihatinan bersama, sehingga diperlukan
jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Kesetujuan dan
kesediaan menerima dukungan juga menjadi dasar bahwa
masalah keluarga harus ditanggung bersama. Bahkan budaya
‘malu’ yang selama ini kuat melekat pada sang istri ketika masih
13
Wawancara tanggal 8 November 2008
179
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
bujangan di desa sendiri harus ditinggalkan. Kesepakatan
keduanya tidak hanya terbatas pada kesediaan berjualan saja,
tetapi juga kesediaan menerima tanggung jawab yang sama
untuk keluarga.
Kesimpulan
Secara umum dalam bab ini terlihat secara jelas dua alasan
utama informan menjadi papalele. Alasan pertama berkaitan
dengan meningkatnya kebutuhan keluarga sebagai akibat dari
kesepakatan informan memasuki rumah tangga dan hadirnya
anak dengan kebutuhan yang semakin meningkat. Alasan kedua
yang tidak kalah penting adalah keikutsertaan informan menjadi papalele karena aspek sejarah dari orang tua yang sebelumnya telah menjadi papalele.
Kedua alasan tersebut, merupakan bagian dari strategi
rumah tangga untuk pemenuhan kebutuan hidup (livelihood
strategy). Sebagai orang desa, keterbatasan mendapat pekerjaan
yang lebih baik sangat terbatas, karena tingkat pendidikan ratarata informan hanya tamatan Sekolah Dasar (SD). Bagi informan menjadi papalele, dan bekerja keras mencari penghasilan,
kebutuhan hidup keluarga yang serba terbatas dapat terpenuhi.
Dari delapan belas informan, hanya satu di antara mereka yang
pada akhirnya keluar dari pekerjaan ini. Alasan keluar dari
pekerjaan papalele karena kedua adiknya telah menamatkan
pendidikan. Pekerjaan baru yang ditekuni adalah sebagai dukun
bayi (biang bayi). Dengan demikian secara keseluruhan nampaknya dapat dipahami bahwa menjadi papalele adalah pekerjaan pokok para informan.
Hal menarik lain yang patut disimpukan bahwa pekerjaan
pokok sebagai papalele dan sebagai sumber mata pencaharian
melalui simbol tertentu. Papalele terindentifikasi melalui
180
Awal Mula Menjadi Papalele
busana dan peralatan jualan yang masih tradisional dan apa
adanya. Busana ‘kebaya’ telah menjadi simbol bagi para informan sebagai akibat ketidak-setaraan gender dalam masyarakat
ketika itu. Ketidak-setaraan gender nampak pada kesempatan
pendidikan hanya diprioritaskan bagi anak laki-laki. Sehingga
anak perempuan dengan terpaksa harus menerima keberadaan
mereka dalam status sosial yang terpinggirkan. Papalele adalah
mata pencaharian—pekerjaan pokok sebagai satu-satunya pilihan bekerja.
181
Awal Mula Menjadi Papalele
Pengantar
Bab ini menggambarkan proses seorang papalele saat
pertama kali memutuskan memulai dan menjalankan usaha.
Saat pertama kali seseorang mulai menjalakan kegiatan usaha,
ada alasan dan pertimbangan yang mendasarinya. Usaha yang
dilakukan tentu tidak muncul dengan sendirinya tanpa motif
yang menyertainya. Dengan pertimbangan dan alasan tertentu
muncul keputusan yang mendukung keduanya. Demikian
halnya dengan keputusan dari delapan belas informan dalam
penelitian ini saat mereka akan memulai papalele. Keputusan
memulai papalele didasari oleh alasan dan pertimbangan yang
berbeda-beda satu dengan yang lain. Namun alasan dan pertimbangan yang disampaikan lebih terfokus dan berititk-tolak dari
kondisi ekonomi keluarga.
155
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Motif dan alasan di balik keputusan 18 informan menjadi
papalele, saling berbeda satu sama lain. Kondisi ekonomis
keluarga mendominasi alasan menjadi papalele. Sepuluh atau
55,5% informan memutuskan menjadi papalele setelah menikah
dan anak mulai bersekolah. Alasan ini disebabkan oleh karena
tidak ada pilihan pekerjaan lain untuk penghasilan keluarga.
Sementara enam informan atau 33,3% sudah sejak remaja
menjadi papalele karena turun-temurun dari orang tua. Artinya
keterlibatan mereka tidak dapat dipungkiri bahwa kesejarahan
orang tua sebagai papalele, berpengaruh terhadap keputusan
mereka menjadi papalele. Satu informan atau 5,5% memutuskan
menjadi papalele setelah suami meninggal dunia. Keluarga
kehilangan sumber penghasilan, sehingga untuk melanjutkan
hidup, papalele menjadi satu-satunya pilihan. Pada sisi lain,
informan ini, tidak bisa menafikan bahwa sang ibu juga pernah
menjadi papalele. Terakhir, satu informan: papalele laki-laki
(5,55%) memutuskan menjadi papalele setelah tidak lagi
mendapat pekerjaan. Dia menjadi papalele bersama dengan sang
istri. Klasifikasi ini sesungguhnya menyajikan kombinasi antara
kebutuhan ekonomi 61% dan latar belakang sejarah orang tua
yang pernah menjadi papalele sebesar 39%.
Keputusan menjalani Papalele
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa kehidupan
ekonomis rumah tangga informan yang serba terbatas mengakibatkan mereka harus memilih menjalani papalele. Pilihan
tersebut merupakan keputusan awal para informan menjadi
seorang papalele. Para informan dalam penelitian ini berkisah
tentang pertimbangan dan keputusan pada saat mereka pertama
kali mengawali usaha sebagai papalele. Kisah yang dituturkan
pada dasarnya merupakan pengalaman pertama mereka menekuni papalele mencari penghasilan tambahan bagi keluarga.
156
Awal Mula Menjadi Papalele
Sembilan informan memutuskan menjadi papalele setelah
menikah dan saat ketika anak mulai bersekolah. Sebelum
menikah ‘tante Evie mungkin tidak terlalu merasa memiliki
tanggungan yang berat, karena apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhan secara pribadi masih bergantung pada orang tua.
Tidak ada beban dan tanggung jawab yang harus diatasi. Namun
ketika memasuki dan memulai rumah tangga, maka perkawinan
telah menjadi ikatan tanggung jawab. Saat itu pula mulai dirasakan bahwa keluarga memerlukan perhatian dan harus dinafkahi. Perhatian itu merupakan wujud rasa tanggung jawab yang
harus dilakukan dan tidak akan mungkin untuk dihindari.
Apalagi dengan hadirnya anak dari buah perkawinan semakin
menegaskan pentingnya tanggung jawab itu.
Papalele dimulai saat usia 28 tahun dan ketika anak
sulung masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Usia ‘tante
Evie’ sudah menginjak 49 tahun, saat saya mewawancarai
beliau 1 . Menurut-nya tanggal 15 November nanti usianya genap
50 tahun. Tidak banyak perubahan fisik yang nampak di raut
wajahnya, terutama bagi perempuan seperti dia yang sudah
mencapai usia sekitar itu. Biasanya di usia seperti itu tandatanda penuaan sangat nampak pada bagian wajah seperti kulit
yang mulai berkeriput atau kondisi fisik tubuh yang terlihat
mulai melemah. ‘Tanta Evie’ masih terlihat segar secara fisik
layaknya perempuan muda yang masih agresif dalam bekerja.
Padahal kini ia telah mempunyai empat orang cucu dari empat
orang anaknya. Menurut ‘tanta Evie’ papalele yang dia tekuni
sebetulnya masih tergolong baru dimulai sekitar tahun 1980.
Sebelum menekuni papalele dia lebih banyak mengurus keluarga dan menghabiskan waktu membantu suami mengurus kebun.
Karena suaminya petani, maka perawatan hingga memanen
hasil kebun selalu dilakukan bersama-sama, termasuk berusaha
1
Wawancara tanggal 8 November 2008.
157
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
menjual hasil panen kepada tetangga dan sebagian untuk
konsumsi keluarga. Setelah anak yang pertama lulus Sekolah
Dasar (SD) di Hatalai dan harus masuk Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Ambon, keinginan menjadi papalele semakin
menguat di hatinya. Maklum saja anaknya yang akan
melanjutkan sekolah harus tinggal di Ambon karena di Hatalai
saat itu belum terdapat SMP. Dengan demikian tidak ada
pilihan lain kecuali menjadi papalele untuk tambahan
penghasilan keluarga.
Desakan kebutuhan biaya hidup merupakan pertimbangan untuk menjadi papalele. Rupanya pertimbangan ‘tanta Evie’
untuk menjadi papalele dilandasi oleh pertimbangan kebutuhan
keluarga yang semakin meningkat. Situasi semakin mendesak
tatkala anak-anak mulai membutuhkan biaya ke jenjang sekolah
lanjutan setelah selesai di Sekolah Dasar (SD). Bagi ‘tanta Evie’,
papalele bukan sekedar keinginan pribadi, tetapi karena
pertimbangan kebutuhan keluarga. Artinya kebutuhan makan,
minum, pakaian bagi keluarga harus dicukupi dan pentingnya
biaya sekolah bagi anak-anak mutlak harus tetap dipenuhi.
Sehingga bagi ‘tanta Evie’ dengan bertambahnya biaya seperti
itu, sudah sepatutnya dicari jalan keluar untuk mengatasinya.
Desakan kebutuhan inilah yang menjadi dasar memulai
papalele.
158
Awal Mula Menjadi Papalele
Gambar 5.
Salah satu papalele (Piso.doc.2008)
Berjualan sebagai seorang papalele terlihat sederhana,
namun memerlukan proses belajar. Baik dilakukan secara
mandiri ataupun belajar dari orang tua dan dari rekan-rekan.
Pada dasarnya semua informan mengakui bahwa mereka
menjadi papalele tanpa belajar dan melihat pengalaman dari
orang tua atau sesama rekan yang telah lebih duluan menjadi
papalele. Sebagaimana diungkapkan salah satu informan sebagai
pengalaman pertama kali memulai papalele.
…beta blajar sandiri sa pa, mo kan orang Hatalae banya
papalele, ia artinya beta ajar bajual jua, bajual-bajual lalu
ada tamang panggel-panggel, artinya pi par batamangbatamang lalu su jadi par biasa lalu terus ni, ao mulai
deng bajual yang didusun punya saja pa”
(saya belajar sendiri, mengingat orang Hatalai juga
banyak yang menjadi papalele. Selain belajar sendiri,
159
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
saya juga diajak dan kadang teman-teman mengajak dan
ditemani berjualan akhirnya menjadi terbiasa hingga
saat ini, yang diawali dengan menjual hasil dusun) 2 .
Pengalaman pertama papalele dimulai dengan menjual
hasil kebun sendiri yang dipanen. Pengalaman pertama berusaha, tanpa menggunakan modal uang. Hasil kebun adalah modal
usaha pertama kali. Bagi tanta Evi, hasil kebun merupakan
produk unggulan yang dijadikan sebagai bahan jualan. Berbekal
hasil kebun, mereka mencoba mencari tambahan penghasilan
sekaligus mengatasi kebutuhan keluarga. Karena itu di antara
papalele pengalaman pertama berusaha berbeda satu dengan
yang lain. Ada papalele yang memulai dengan langsung membeli dari orang lain; pedagang atau sesama papalele, tetapi ada
juga yang mengawalinya dengan menjual hasil dusun sendiri.
Cara menjual dengan mengambil buah-buahan dari hasil dusun
sendiri merupakan cara ‘tanta Evie’ mengawali papalele.
Sebagaimana yang dituturkan berikut ini:
…ao mo mulai tu beta seng bali, ia kalo ada dusun punya
katong su pi bajual katong kasih orang borong akang lalu
katong bali laeng katong pi jual lae... ia setiap hari
katong pi bali di sana di pante Losari
(pada saat pertama kali berjualan saya tidak membeli
dari orang lain, buah-buah dari hasil dusun saja yang
dijual. Buah itu dijual secara borongan. Setelah buah
terjual, saya beli buah yang lain lagi untuk dijual. Setiap
hari saya selalu pergi membeli di tepi pantai Losari).
Mulai belajar dari mencari buah-buahan yang bentuk dan
kualitasnya baik, melakukan tawar menawar saat membeli,
menentukan jumlah kelompok buah yang dijual, hingga saat
2
Wawancara dengan tanta Evi, tanggal 8 November 2008
160
Awal Mula Menjadi Papalele
menentukan harga jual. Itulah tahap belajar papalele pertama
kali yang dilakukan tanta Evi. Pada awalnya buah yang dijual
hanya dari hasil dusun dan kemudian bisa membeli buah yang
lain dari pedagang lain untuk dijual. Bagi dia, buah hasil dari
dusun sendiri merupakan modal awal untuk membeli buah lain
yang bentuk kualitas yang baik. Setiap buah yang dibeli diatur
lagi sesuai jumlah tertentu yang dinginkan. Kemudian dijual
lagi ke konsumen. Akhirnya terbiasa hingga saat ini. Pengalaman ini disertai kemauan yang kuat dan saling melengkapi
sehinga membentuknya menjadi papalele sampai saat ini.
Buah-buahan dari hasil panen dusun yang dimiliki dibawa
ke pasar Ambon lalu dijual secara borongan kepada pedagang.
Setelah keuntungan dari penjualan buah-buahan diperoleh, ia
tidak segera pulang, tetapi ia mencari dan membeli buah-buah
lagi untuk selanjutnya dijual kembali.
Umur Memulai Papalele
Informan pada saat memulai papalele memiliki usia yang
berbeda satu dengan yang lain. Ada yang mulai papalele pada
usia remaja antara 15-25 tahun dan ada juga yang memulainya
setelah berusia di atas 25 tahun. Usia saat memulai papalele ini
mungkin dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk melihat pengalaman dan daya tahan usaha dari lamanya bekerja.
Terlepas dari pertimbangan apa yang menyebabkan mereka
mau menekuni pekerjaan ini sebagaimana telah diuraikan pada
bab dan bagian sebelumnya.
161
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Tabel 1.
Agihan Perbedaan Umur
Informan
Mike’1
Umur disaat…(thn)
mulai
sekarang
30
50
Lamanya
papalele (thn)
20
Tine’2
22
68
46
Evie’3
28
50
22
Lae’4
24
79
54
Rina’5
35
48
13
Anto’6
24
55
31
Le’7
39
52
13
Ting’8
20
70
50
Bae’9
25
60
35
Emi’10
26
53
27
Habsah’11
20
57
37
Tata’12
40
61
21
Joke’13
38
54
16
Jackia’14
38
53
15
Anci’15
32
58
26
Welly’16
27
61
34
Mien’17
14
52
38
Cum’18
23
55
32
Sumber: Penelitian lapangan; data diolah tahun 2008-2009
Delapan informan memutuskan menjadi papalele saat usia
mereka masih remaja. Masa remaja mungkin dianggap sebagai
usia yang masih tergolong belum cukup matang untuk bekerja.
Hal ini juga terjadi pada para remaja yang umumnya berdiam di
kota. Pada usia seperti ini biasanya masih digunakan untuk
menghabiskan waktu bergaul bersama teman-teman. Tetapi
bagi mereka yang di perdesaan atau yang mengalami kehidupan
ekonomi sangat terbatas, usia seperti ini sudah menjadi usia
162
Awal Mula Menjadi Papalele
yang harus menghasilkan sesuatu atau pekerjaan. Demikian
halnya dengan informan dalam penelitian ini, masa remaja
sudah terpakai untuk melaksanakan tanggung jawab mencari
penghasilan. ‘Tanta Mien’ (52 tahun) misalnya, satu dari tujuh
informan yang di usia remaja sudah harus menjadi papalele
(lihat tabel). Menurutnya, di masa lalu ketika papalele harus ia
jalani lebih pada pertimbangan untuk membantu membiayai
kedua adiknya yang masih bersekolah. Karena kondisi keuangan orang tua yang terbatas, sehingga tidak ada pilihan lain
kecuali harus menjadi papalele. Perjuangan bersama sang ibu,
dia lakukan agar kedua saudaranya tetap bisa dibiayai bersekolah. Jerih payah dari perjuangannya tidak sia-sia, sehingga
kedua adiknya bisa menyelesaikan sekolah dan kini telah sukses
bekerja di luar daerah; Timika dan Fak-Fak Papua. Setelah
kedua adiknya sukses menamatkan pendidikan kini ‘tanta Mien’
tidak lagi menjadi papalele tetapi telah mengalihkan pekerjaannya sebagai ‘dukun bayi’ (bidan desa) di Hatalai.
Sepuluh informan mulai menjadi papalele usia produktif.
Umur rata-rata informan pada saat pertama kali mulai menekuni papalele antara 26-40 tahun (tabel 6). Terlepas dari pertimbangan dan alasan yang diajukan, seperti alasan ekonomi untuk
bekerja tetapi pada dasarnya usia seperti itu memang berada
pada posisi ketika seseorang masih mampu bekerja dan sedapatnya turut menghasilkan sesuatu. Bahwa kemudian informan
memiliki tanggung jawab yang harus dilakukan kepada anggota
keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari tanggung jawab
sosial yang diembannya (lihat bab lima).
Bertahan selama 55 tahun menjadi papalele demi untuk
keluarga. Perjalanan panjang menjadi papalele lamanya waktu
menjadi papalele dari para informan ini terlihat pada informan
‘mama Lae’. Sejak tahun 1954 ia sudah memulai menjalani
papalele, saat umurnya baru 24 tahun. Pada saat penelitian ini
163
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
mulai dilakukan, ‘mama Lae’ dalam satu tahun terakhir tepatnya di tahun 2007 baru saja berhenti menjadi papalele 3 . Menurut ‘mama Lae’, sebetulnya ia masih ingin tetap menjalani
papalele, tetapi anak-anaknya meminta agar ia berhenti menjadi
papalele. Anak-anaknya telah sukses dengan pekerjaan dan
keluarga mereka masing-masing, saatnya ia dan suaminya untuk
beristirahat di rumah sambil menikmati sisa hidupnya. Itulah
alasan yang dikemukakan anak-anaknya saat keluarga besar
mereka berkumpul. Walaupun demikian, meski tidak lagi
menjadi papalele, tetapi di Hatalai ‘mama Lae’ masih tetap aktif
terlibat dalam kegiatan organisasi keagamaan di lingkungan
jemaatnya.
Di antara papalele hanya satu informan yang tergolong
baru menjalani pekerjaan ini. Menjadi papalele 13 tahun lalu,
tetapi dianggap sebagai orang baru dalam pekerjaan ini. Semua
papalele di Hatalai juga sangat mengakui bahwa ia adalah salah
satu orang yang baru saja memulai papalele. Pernyataan itu
adalah pengakuan yang disampaikan ‘tanta Rina’. Bagi papalele
di Hatalai, ‘tanta Rina’ memang baru saja memulai papalele. Saat
ini umurnya baru 48 tahun, dan mulai menjadi papalele di
tahun 1996 saat usianya genap mencapai 35 tahun. Walaupun
pada kenyataanya mungkin pula di Hatalai masih ada juga orang
yang masih lebih baru menggeluti papalele.
Ketidaksetaraan Gender
Dalam masyarakat kita, pendidikan formal tidak sebatas
kebutuhan, melainkan telah menjadi kewajiban. Namun dalam
masyarakat tertentu seperti Hatalai pada tahun-tahun sekitar
1950, pendidikan hanya dipahami sebagai satu identitas sosial
yang hanya boleh diakses oleh kaum laki-laki, dan kalangan
3
Wawancara tanggal 8 November 2008.
164
Awal Mula Menjadi Papalele
keluarga yang tergolong mapan secara ekonomi, termasuk
keluarga-keluarga yang diakui memiliki strata sosial tertentu
seperti anggota keluarga raja dan keluarga pejabat pemerintahan
saat itu.
Anak laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan berbeda untuk sekolah. Terdapat tujuh belas informan yang harus
meninggalkan bangku sekolah. ‘Mama Ting’, ‘mama Yoke’ dan
‘tanta Rina’, adalah tiga informan dari tujuh belas informan
tersebut. Mereka tidak lagi bisa menikmati sekolah dan dengan
terpaksa ditinggalkan hanya karena keterbatasan biaya. Orang
tua tidak lagi bisa menyediakan biaya sekolah karena penghasilan mereka yang sangat terbatas. Selain alasan itu, sebetulnya
masih terdapat alasan dan pemahaman lain yang masih kuat
dalam masyarakat Hatalai bahwa anak laki-laki yang lebih
diutamakan untuk mengikuti pendidikan, sementara anak
perempuan dibatasi. Pada masa lalu memang di Hatalai anak
perempuan masih dianggap tidak memiliki peluang dan kemungkinan untuk berkembang dibandingkan dengan anak lakilaki. Pemahaman masyarakat seperti itu yang justru menekan
dan membatasi peran serta mereka mendapatkan pendidikan.
Pertimbangan orang tua seperti itu yang kemudian harus
diterima oleh anak perempuan. Sebagaimana yang terucap dari
informan:
…katong ni cuma sampe di skolah rayat (SR) sa; barang
dong sandiri seng mau beta skolah lanjut. Kata; ana yang
parang-puang tua mau pi kamana la?, padahal nama su
tagantung mau pi ujian, kurang 3 hari lai e, la beta mara
sampe saat ini su mati sampe di seberang sana beta tetap
mara, kalau inga nasib. Beta mara sbab beta pung nasib
bagus, mar dong sandiri seng mau”. 4
4
Wawancara dengan Christina Alfons (70 tahun), tanggal 20 April 2009.
165
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
(kita ini hanya sampai pada Sekolah Rakyat saja; karena
orang tua sendiri tidak mau saya bersekolah lanjut.
Menurut mereka (orang tua) anak perempuan yang
sulung itu mau pergi kemana? Padahal nama saya sudah
diumumkan untuk mengikuti ujian, kira-kira kurang
tiga hari saja. Akibatnya saya sampai saat ini masih
sangat marah, walaupun orang tua sudah meninggal
dunia. Kalau mengingat lagi nasib saat itu. Saya marah
karena saat itu nasib dan peluang saya sangat baik, tetapi
orang tua tidak memberi kesempatan).
Gagal mewujudkan cita-cita melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi. Alasan ekonomis selalu menjadi yang
utama pada setiap keluarga, wajar saja kalau kemudian anakanak tidak dapat melanjutkan sekolah. Dalam kasus ini, ‘mama
Ting’ tidak sendiri mengalami nasib seperti itu, beberapa informan yang lain juga harus menerima nasib yang sama. Andai saja
mereka bisa melanjutkan sekolah, bukan tidak mungkin
keadaan seperti sekarang ini tidak akan terjadi.
Peran orang tua mempersiapkan anak perempuan memasuki rumah tangga. Orang tua ‘mama Ting’ dan juga yang lain,
masih mempuyai pemahaman bahwa anak perempuan tidak
akan mungkin mengalami nasib yang lebih baik jika mengikuti
pendidikan yang lebih tinggi. Mereka masih beranggapan
bahwa sekali-pun anak perempuan mengikuti pendidikan yang
lebih tinggi dan mendapatkan gelar pendidikan, pada saatnya
juga akan tetap menjadi ibu rumah tangga dan kembali mengurusi dapur. Karena itu bagi orang tua pendidikan untuk anak
perempuan bukanlah yang utama, tetapi anak perempuan bisa
dipersiapkan untuk berperanserta dalam memperhatikan saudara-saudaranya. Perempuan hanya diberi kesempatan tetap
berada di rumah dan berkewajiban melayani kebutuhan orang
tua dan keluarga. Selain itu, perempuan disiapkan menunggu
pinangan pihak laki-laki untuk menikah dan memulai rumah
166
Awal Mula Menjadi Papalele
tangga. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan anak lakilaki yang diberikan peluang dan kesempatan untuk lebih jauh
menikmati pendidikan. Laki-laki di Hatalai menjadi simbol
keluarga, yang terwujud melalui tingkat pendidikan yang
diperoleh, sehingga laki-laki dianggap mampu mengangkat
derajat sosial keluarga di lingkungannya.
Lingkungan sosial budaya yang cenderung kuat memposisikan perempuan secara lemah untuk mendapatkan akses
pendidikan, tentu memberikan resiko keterbatasan terhadap
pandangan yang lebih luas. Tekanan nilai-nilai itu kemudian
didukung oleh aspek ekonomis dan latar belakang kehidupan
orang tua yang serba terbatas secara ekonomis mengakibatkan
anak perempuan serba terbatas mengakses pendidikan dan
pekerjaan yang lebih layak.
Kebaya sebagai Pakaian Khas Papalele
Bagi anak perempuan di Hatalai setelah lulus Sekolah
Dasar (SD) dan tidak melanjutkan sekolah wajib menggunakan
kebaya. Anak perempuan di Hatalai yang melanjutkan sekolah
ke jenjang yang lebih tinggi seperti Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diperlakukan berbeda dengan anak perempuan yang hanya Sekolah Dasar (SD).
Pembeda perlakuan ini pada pakaian yang dikenakan, blus dan
rok bagi mereka yang melanjutkan sekolah, kebaya bagi mereka
yang tidak melanjutkan sekolah.
Penggunaan kebaya menjadi kewajiban dan tradisi masyarakat setempat. Orang tua telah menjustifikasi anak perempuan
yang tidak lagi dapat melanjutkan sekolah harus berkebaya,
seperti halnya kebaya yang dikenakan ‘mama Welly’ 5 (61
5
Wawancara tanggal 19 April 2009
167
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
tahun). Menurutnya sejak dulu di bawah tahun 1950, setiap
anak yang tidak mendapat kesempatan bersekolah, diwajibkan
mengenakan kebaya. Saat itu orang tua selalu beranggapan
bahwa anak perempuan hanya bisa tinggal dan menetap di
rumah. Tamat Sekolah Dasar hanya bisa dicapai ‘mama Welly’
di usia 12 tahun. Masih menurut ‘mama Welly’, setelah selesai
Sekolah Dasar, sekitar dua sampai tiga tahun hanya bisa bermain menghabiskan waktu. Saat usia sudah mencapai 15 tahun
orang tua mewajibkan ia memakai kebaya, sebagai prasyarat
untuk mulai memikul bakul untuk berjualan.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh ‘mama Bae’ 6 (60
tahun) sebagai berikut:
…beta mulai pake kabaya dari mulai Getsasi tahun 1965
la 1968 beta sidi, pake kabaya seng pake sandal. Mo
mama yang suru te, barang waktu itu, nona-nona yg
seng skolah tarus tu pake kabaya. ..katong pake kabaya
tu voor pi bajual atau kalau umpama mau jadi ibu rumah
tangga, pake kaeng deng kabaya, tapi yang skolah tu
pake baju deng spatu. Mama antua su seng mau beta
skolah tu, la pi bajual te...
(saya mulai memakai kebaya saat mulai mengikuti
Katekisasi 7 tahun 1965, kemudian tahun 1968 saya di
Tabiskan sebagai anggota Sidi Gereja. Biasanya kalau
memakai kebaya tidak menggunakan sandal; kaki tanpa
alas. Kebaya ini disuruh oleh ibu, karena pada waktu itu,
anak perempuan (nona-nona) yang tidak bersekolah lagi
Wawancara tanggal 23 April 2009
Katekisasi adalah pendidikan Formal Gerejawi di lingkup Gereja Protestan
Maluku. Murid atau peserta Katekisasi disebut Katekisan. Pendidikan selama
Katekisasi berlangsung pada awalnya kurang lebih tiga tahun. namun saat ini
hanya dilakukan satu tahun. Akhir Katekisasi dilakukan secara serominial
gerejawi yang disebut Sidi Gereja. Mereka yang telah lulus pendidikan Katekisasi diperbolehkan mengikuti Sakramene Perjamuan Kudus Gereja Protestan
Maluku. Tentang Katekisasi juga dibahas oleh Cooley Frank. L, (1961) “Altar
and Throne in Central Moluccan Society”. Disertasi Ph.D Yale University.
Terjemahan (1987), halaman 289-293. Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
6
7
168
Awal Mula Menjadi Papalele
harus memakai kebaya. Pakai kebaya menurut ibu,
untuk pergi berjualan atau kalau saatnya akan menjadi
ibu rumah tangga. Sementara yang masih sekolah pakai
baju dan sepatu. Karena ibu tidak mau saya bersekolah,
akhirnya harus berjualan).
Kebaya menjadi identitas dan ciri papalele. Uraian di atas
sesungguhnya lebih menekankan penggunaan kebaya karena
alasan akses pendidikan bagi anak-anak perempuan. Pada sisi
lain kebaya menjadi penegasan untuk perempuan yang menjadi
papalele di pasar. Bentuk dari pekerjaan yang harus ditekuni
karena tidak lagi ada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan
lain yang lebih baik. Mungkin akan timbul pertanyaan lain
berkenaan dengan anak perempuan yang tidak sekolah lanjut
tetapi telah mengenakan pakaian biasa misalnya blus dan rok?.
Kasus seperti ini terjadi pada salah satu informan ‘mama Yoke’
yang sempat bersekolah sampai kelas dua di Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Karena kesempatan sekolah itu, dia telah
terbiasa mengenakan baju. Rupanya kebaya telah menjadi ciri
dari papalele sebagaimana yang dikemukakannya seperti
berikut:
Kasus:
‘Mama Yoke’ mulai melakoni papalele sekitar 17 tahun
lalu. Pertimbangan ekonomis menjadi alasannya karena
sang suami telah meninggal dunia di tahun 1993 bersamaan dengan itu anak nomor dua mulai masuk Sekolah
Menengah Atas di Ambon. Dia sendiri hanya bisa menempuh pendidikan sampai di kelas dua SMP dengan
alasan yang sama; ekonomi orang tua. Ayahnya hanya
pekerja bangunan dan ibu hanya papalele.
Sebagaimana anak-anak perempuan lainnya di Hatalai,
‘Mama Yoke’ masih beruntung bersekolah hingga SMP
walaupun tidak diselesaikan. Namun dalam situasi dan
cara pandang masyarakat (orang tua) yang masih beranggapan bahwa anak perempuan yang tidak sekolah
harus mengenakan kebaya, ‘Mama Yoke’ memiliki
169
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
pengecualian. Orang tua tidak mewajibkan ia mengenakan kebaya, mengingat ia sempat melanjutkan sekolah.
Hingga saat ia mulai kawin dan berumah tangga pun ia
tidak mengenakan kebaya.
Setelah kawin hingga suami meninggal ia akhirnya
memutuskan menjadi papalele. Mengingat keluarga dan
anak-anak harus tetap nifakahi. Papalele menjadi keputusan dan tekadnya serta ketersediaan hasil di dusun
yang juga banyak. Setelah memutuskan menjalani
papalele, ia sempat berpikir apakah tetap memakai baju
atau kebaya. Dari kedua pertanyaan itu akhirnya ia
memutuskan untuk mengenakan kebaya. Menurut
‘Mama Yoke’ kalau harus ke pasar papalele dengan
memakai baju terasa rasa aneh. Baginya sebagai orang
desa rasa-rasanya dengan memakai baju tidaklah cocok
untuk berjualan. Terlebih lagi kalau harus keku
(memikul di kepala) bakul sangat tidak sesuai.
Kebaya adalah pakaian yang sangat cocok untuk berjualan. Ia pun sempat bertanya kepada sang ibu tentang
pakaian yang akan dikenakan. Ibunya tidak mewajibkan
dan memaksa untuk menggunakan kabaya. Akhirnya
sejak menjadi papalele, kebaya baru ia kenakan, itu pun
terbatas untuk papalele. Menurut ‘Mama Yoke’ penggunaan kebaya lebih dekat dengan papalele. Kebaya hanya
digunakan dan dipakai kalau akan berjualan. Sementara
kegiatan rutin di rumah dan kegiatan lainnya, ia tetap
menggunakan pakaian biasa.
Pengetahuan Berdagang: Bisnis Turun-temurun
Papalele tidak hanya dilakukan oleh generasi sebelumnya
(orang tua), tetapi sampai kini terus ditekuni. Sepertinya bagi
sebagian masyarakat Hatalai, papalele masih dianggap sebagai
salah satu pekerjaan yang bisa membantu mengatasi persoalan
keuangan keluarga. Papalele dianggap sebagai katup pengaman
dan media mengatasi ekonomi keluarga sehingga keluarga tidak
mengalami kemiskinan. Walaupun hasil keuntungan dari usaha
170
Awal Mula Menjadi Papalele
ini tidak pasti, tetapi cukup untuk membiayai kebutuhan rutin
keluarga. Tujuh informan ternyata belajar papalele dari orang
tua (ibu) dan telah turun-temurun. Karena sifatnya yang turuntemurun sejak orang tua sebelumnya, maka dapat dikatakan
sebagai keluarga papalele. Secara umum papalele terus
melembaga namun tidak terbentuk secara formal. Proses pelembagaan ini sangat mungkin dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, dan ajakan orang tua. Berikut penuturan salah satu informan:
…beta inging sandiri to, barang katong biking apa di
rumah, dong jual katong lia, supaya dapa pengalaman,
katong tar karja katong mau dapa uang dar mana, antua
su seng mau beta skolah tu, la pi bajual, antua biasa
tandeng-tandeng jualan la katong lia, kalau musing buah
katong buah paling banyak… dusun banya, durian
banya-banya, langsa banya-banya, manggustang banyabanya, hala sampe karong-karong ka seng keku bawa,
cuma beta lia la beta iko sandiri… katong tandeng…
kalau durian deng manggustang tu katong jalan ronda….
nanti besok ada lai, jadi musti jalan ronda, tanya-tanya
di rumah-rumah orang Cina 8 . –
(saya berkeinginan sendiri, karena dirumah mau
mengerjakan apa. Mereka jual kita melihat dan belajar
supaya bisa mendapat pengalaman, apalagi kita tidak
bekerja mau mendapatkan uang dari mana. Orang tua
tidak mau saya bersekolah, lalu pergi berjualan saja. Ibu
biasanya menetap (‘tandeng’) lalu kita melihat. Karena
dusun/kebun banyak yang menghasilkan buah, duren,
langsat, manggis hasilnya harus dipikul hingga
berkarung-karung, terkadang juga harus ‘keku’ (menjunjung di kepala). Semua itu cuma dari pengalaman
melihat sendiri, kemudian kita ‘tendeng’. Khusus untuk
buah manggis atau duren harus ‘baronda’, karena buah
masih tersedia banyak. Sehingga harus ‘baronda’ ke
rumah orang-orang Cina (Tionghoa)).
8
Wawacara dengan Bae Kastanya (60 thn), 23 April 2009.
171
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
Pengalaman yang serupa juga dikemukakan oleh Lae
Parera 9 (79 tahun) yang memiliki pengalaman yang sama sejak
berusia muda.
…jadi sewaktu muda itu lai beta pung mama mencari di
pasar par kasih piara katong ana 11, lalu beta kaweng itu
lalu langsung papalele te kira-kira umur 24 taong lai su
papalele iko dari beta mama. jadi kalo macam seng
musim buah-buah beta harus papalele. ...lalu antua ajar
beta tuh, antua ajar cuma katong lia antua biking toh....
seng carita lai tu e, sampe di Ambon bali jualan bale
jual.... tar ajar hitong... tar ajar lai... jadi antua bajual
bagini, lalu harus papalele jadi papalele tarus sah. Beta pi
pasar bali buah-buah tu…jadi maksud beta antua
papalele par piara katong... sakarang dari antua lalu beta
papalele te.... papalele toh, kalo seng ada musim buahbuah. kalo musim buah-buah beta jual katong pung
sandiri, jadi seng bali lai, tapi kalo seng ada musim beta
musti pi di Ambon bali jualan....bali langsa dari orang
Hative itu bali karong-karong.... dolo itu kan pante pasar
..itu turun dalam air masing, par dong sandar deng parao
pake semang tuh baru angka ka dara….... la kalo bali
salak dari orang Amahusu, buah basar tawar kalo akang
jatuh harga tawar bagini...lansa-lansa dari Hative
tuh...saratus barapa sah... bali karong-karong... bali riburibu... jadi sampe beta su kaweng lama baru antua mati.
(sewaktu saya masih berusia muda, ibu saya bekerja;
papalele untuk memelihara dan memberi hidup untuk
kita sebelas bersaudara. Saya kawin dan langsung menjadi papalele kira-kira umur 24 tahun, mengikuti ibu.
Pada saat tidak musim buah, saya harus papalele. Lalu
ibu mengajarkan saya, tapi hanya dengan mengikuti dan
melihat tanpa mengajari melalui cerita atau mengajari
cara menghitung. Menuju ke Ambon membeli dan lalu
menjual lagi. Akhirnya saya papalele seterusnya. Bisanya
kalau musim buah dari dusun/kebun, saya menjualnya
9
Wawancara 8 November 2008.
172
Awal Mula Menjadi Papalele
tanpa harus membeli lagi. Tetapi kalau tidak musim,
saya harus ke Ambon untuk mencari dan membeli buah.
Biasanya kami membeli dalam jumlah yang banyak,
berkarung-karung di penjual salak dari Amahusu atau
buah langsat negeri Hative. Saya menjalani papalele
cukup lama bersama ibu, lalu beberapa waktu kemudian
Ia meninggal dunia).
Kepedulian orang tua karena anak tidak memiliki pekerjaan. Pada saat orang tua mengajak anaknya untuk turut serta
menjadi papalele, sesungguhnya memiliki pertimbangan
khusus. Mungkin saja mereka sangat menyadari bahwa anak
mereka tidak lagi bisa bekerja di bidang formal karena
pendidikan yang terbatas. Ajakan mereka merupakan bentuk
tanggung jawab yang mulai dialihkan dengan harapan bahwa
dalam keterbatasan anak-anaknya mereka tetap bisa memiliki
penghasilan untuk menghidupi keluarga kelak. Apa yang
dilakukan ‘mama Tine’ dan ’mama Lae’, adalah satu-satunya
pilihan, karena mereka pun menyadari bahwa hidup masa
depan harus terus diperjuangkan, baik sebelum dan sesudah
memiliki keluarga.
Proses Adaptasi Menjadi Papalele
Papalele secara turun-temurun tidak hanya sebatas pada
ikatan keluarga inti, tetapi berpengaruh pula pada keluarga
besar. Sub tema sebelumnya menegaskan tentang proses
papalele yang berlangsung secara turun-temurun pada beberapa
keluarga inti. Kuatnya pengaruh dan daya tarik orang tua
sebagai papalele memberi dampak ikutan bagi generasi berikutnya. Anak-anak akan turut berperan serta mengikuti sang orang
tua dengan alasan yang sama yakni alasan ekonomi keluarga.
Namun demikian, tidak berarti bahwa proses demikian hanya
dapat berlangsung dalam lingkup keluarga, tetapi pelembagaan
173
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
tersebut bisa saja terjadi dalam keluarga yang lebih besar.
Termasuk mereka yang kawin dan menyatu dan menjadi bagian
dari keluarga itu.
Empat informan adalah pendatang yang berasal dari desa
lain kemudian kawin dan menjadi papalele. Mama Le, Mike,
Anto dan Rina, adalah empat informan yang bukan orang yang
terlahir dan dibesarkan di Hatalai. Mereka berempat berasal
dari desa berbeda dan kawin lalu menetap menjadi orang
Hatalai. Mama Le berasal dari desa Naku yang berjarak sekitar
enam kilometer dari Hatalai. Mike berasal dari desa Kilang yang
bisa ditempuh dalam jarak sekitar tiga hingga empat kilometer
dari Hatalai. Dua desa tersebut masih satu kecamatan dengan
Hatalai. Mama Anto berasal dari dusun Tuni desa Urimessing
yang paling dekat dengan Hatalai dan berjarak hanya sekitar
dua kilometer. Walaupun jarak desa ini sangat dekat dengan
Hatalai tetapi berbeda wilayah kecamatan yakni Kecamatan
Sirimau. Sementara tanta Rina berasal dari dusun seri Desa
Airlow di Kecamatan Nusaniwe. Jarak antara Hatalai dengan
dusun ini diperkirakan bisa mencapai 26 kilometer atau lebih
yang jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan angkutan
umum harus dua kali berganti jalur trayek kendaraan.
Menikah dan menetap dengan keluarga suami dan menjadi bagian dari keluarga besar. Tanta Mike (50) semasa muda
atau bujangan tinggal bersama orang tua di Desa Kilang, desa
tetangga Hatalai sama seperti halnya mama Le, Anto dan Rina.
Tanta Mike menikah tahun 1984 saat usianya 26 tahun dengan
pemuda Hatalai bermarga Loppies. Sewaktu bujangan di desanya tidak pernah terbayang sedikipun kalau akhirnya setelah
menikah akan menjadi papalele membantu menopang hidup
keluarga. Mengingat sejak muda ketika masih menetap bersama
orang tua tidak ada satu pun keluarganya yang menekuni atau
menjadi papalele. Demikian halnya dengan masyarakat di desa
174
Awal Mula Menjadi Papalele
asalnya yang pada umumnya saat itu tidak ada yang menjadi
papalele. Walaupun kemudian dalam perkembangannya di desa
tersebut sudah banyak ditemui papalele di sana, sebagaimana
diungkapkan 10 ;
…dari rumah bujang seng ada papalele, beta itu seng
tahu, katong samua seng, cuma sampe di sini (Hatalae)
baru terbiasa disini. Seng la barang di rumah di Kilang tu
toh...katong orang Kilang tuh toh...dolo-dolo seng tahu
papalele, mo blakangan ini baru ada, su banya lae, tapi di
Hatalae seng, mo orang sini dong dari dolo paskali su
papalele tuh.
(…dari rumah kami semasa bujang tidak ada yang
menjadi papalele, bahkan saya sendiri tidak tahu cara
papalele. Kita semua sekeluarga tidak papalele, hanya
ketika tiba di sini (Hatalai) baru terbiasa menjadi
papalele. Karena rumah bujang di Kilang, kita orang
negeri Kilang itu sejak dulu tidak pernah papalele. Baru
pada tahun belakangan ini sudah ada yang papalele.
Sebaliknya bagi orang-orang di negeri Hatalai ini sudah
sejak dahulu menjadi papalele).
Menyatu dengan suami serta keluarganya dan menjadi
papalele. Karena menikah tanta Mike harus mengikuti suami
dan menetap di Hatalai. Sebagai anggota keluarga besar dari
sang suami, ia harus sedapat mungkin menyesuaikan diri
dengan keluarga suami. Sebelum kawin sebagai orang bujangan
yang tidak memiliki pekerjaan tetap, waktu lebih banyak hanya
dihabiskan di rumah membantu pekejaan orang tua. Sejak
menikah dan mengikuti suami kebiasaan masa mudanya pun
hilang karena tanggung jawab sebagai istri mendampingi suami.
Ia sendiri saat itu tidak bekerja mengingat pendidikan hanya
sampai Sekolah Dasar. Pendidikan rendah seperti itu sulit untuk
10
Wawancara dengan Mike Loppies tanggal 7 November 2008.
175
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Karena itu pilihan
menjadi papalele mungkin merupakan cara terbaik untuk
membantu suami mencari tambahan penghasilan. Kebetulan
saja saat ibu mertunya juga adalah papalele. Setiap hari mertuanya selalu harus pergi papalele mencari penghasilan guna
membiayai kehidupan yang masih ditanggung oleh sang
mertua. Keadaan demikian membuat dia merasa tidak nyaman
sehingga ia pun berusaha agar beban berkurang dan jalan
keluarnya adalah menjadi papalele bersama mertua.
Mulai mendalami dan belajar menjadi papalele dari ibu
mertua. Pertama kali saat menjadi papalele, tanta Mike mengikuti sang mertua dengan membawa hasil kebun keluarga sendiri
ketika musim buah tiba. Mengingat dusun dan kebun milik
suami mempunyai banyak tanaman buah dan hasil panen juga
banyak. Aneka buah seperti manggis, duren, dan salak selalu
dibawa untuk dijual ke pasar. Tidak hanya menjual hasil kebun
milik sendiri tetapi manakala buah hasil kebun telah habis
terjual, dia membeli buah dari orang lain lalu dijual lagi.
Keadaan itu terus berlangsung sebagaimana yang disampaikannya: 11
…seng, ini dong pung Oma ni, mulai-mulai iko antua
dong toh, biasa tuh deng hasil sendiri dolo, mo kalo
musim hasil, musim duriang, manggustang, kalo punya
sandiri, bawa jual sandiri… iya kalo buah dusung su
abis disini bagitu, seng ada buah lai la mulai iko-iko
orang Hatalae toh, bali-bali, bali baru bale jual..lalu
terbiasa-terbiasa, mo bali di pasar-pasar sa, dari orang
apa saja.
(Neneknya anak-anak papalele, awalnya belajar ikut
Nenek, dengan membawa dan menjual hasil kebun
sendiri, biasanya kalau musim buah duren manggis. Saat
hasil kebun sudah habis dan tidak ada lagi di Hatalai,
11
Wawancara dengan Mike Loppies tanggal 7 November 2008.
176
Awal Mula Menjadi Papalele
saya mulai mengikuti teman-teman membeli buah di
pedagang pasar kemudian menjual lagi dan akhirnya
terbiasa hingga saat ini).
Papalele: Profesi Tanpa Batas Umur
Masih produktif papalele di usia yang sudah semakin
tidak lagi produktif. Ukuran kerja seseorang dalam menghasilkan sesuatu sering dilihat dari umur yang mungkin saja mencerminkan kemampuan menghasilkan sesuatu. Di saat umur seseorang telah mencapai 60 tahun ke atas mungkin telah dianggap
sebagai golongan usia yang tidak lagi bisa bekerja untuk menghasilkan sesuatu. Walaupun kadang-kadang pada pekerjaan
tertentu usia 60 tahun ke atas masih berkesempatan bekerja,
tetapi pekerjaan papalele mungkin masih bisa kita maklumi saat
di usia seperti ini mereka masih tetap bekerja. Alasan dan motif
terhadap usia yang terus bertambah bagi mereka yang masih
menjadi papalele ternyata juga berbeda. Salah satu di antara
alasan itu adalah fisik yang dianggap masih bisa bekerja dan
perasaan kejiwaan yang telah menyatu dengan pekerjaan ini.
Tekad dan komitmen telah menjadi jiwa papalele. Mama
Tine, Ting dan Welly adalah tiga dari enam informan yang
telah berusia di atas 60. Memang satu di antara mereka yakni
‘Mama Lae’ baru saja berhenti menjadi papalele di usia 78
tahun, dan di kalangan mereka, ‘mama Lae’ yang dianggap
paling senior dalam papalele. Sementara ‘mama Ting’ saat ini
sudah berusia 71 tahun tetapi masih aktif papalele. Walaupun
usia mereka sudah mencapai angka seperti itu tetapi bagi
mereka papalele adalah segalanya. Papalele dianggap telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas keseharian.
Sehingga kadang-kadang papalele bisa dijadikan semangat
177
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
seperti yang disampaikan ‘mama Welly 12 ’ 61 tahun: ‘sampe beta
ni ada badang tar sadap; saki jua mar beta ada pigi ni, seng pi
tambah saki, mo dari pada katong tinggal dudu di rumah mo
labe bae pi jua (walaupun saya sementara kondisi badan tidak
terasa enak; sakit, tetap saja pergi papalele, kalau tidak pergi
semakin tambah sakit, karena itu dari pada hanya di rumah saja
duduk lebih baik pergi papalele).
Dukungan Keluarga Menjadi Papalele
Kesediaan dan mendukung istri menjadi papalele. Sikap
permisif suami terhadap pekerjaan istri karena sebagian waktu
dihabiskan di luar rumah tidak bisa dianggap hal biasa. Suami
sebagai pimpinan keluarga memberikan kesempatan kepada
istri mencari penghasilan tambahan bagi keluarga yang didasari
oleh pertimbangan bahwa penghasilannya tidak mencukupi.
Kesedian tersebut harus diikuti pula dengan kesediaan suami
mengatur dan mengurusi keluarga. Mengingat masih kuatnya
pemahaman dalam masyarakat bahwa laki-laki sebagai kepala
keluarga adalah pemberi dan pencari nafkah sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya mengatur segala
urusan dalam keluarga.
Saling berkomunikasi dan meminta persetujuan menjadi
kunci untuk saling mendukung. Wajar saja kalau suami dan istri
ketika akan memutuskan sesuatu selalu terjadi komunikasi di
antara keduanya. Dapat dibayangkan seandainya komunikasi
tersebut tidak terjadi maka bukan tidak mungkin akan muncul
masalah dalam keluarga. Apalagi ditambah dengan penghasilan
rutin yang diperoleh perempuan setiap waktu selalu ada dan
bahkan lebih dari yang dicari laki-laki. Maka secara psikologis,
sang suami akan merasa tersaingi bahkan bisa menimbulkan
12
Wawancara tanggal 19 April 2009
178
Awal Mula Menjadi Papalele
pertengakaran yang bisa berakibat pada hal yang tidak diinginkan. Untuk menghindarinya maka harus ada pembicaraan dan
saling mendukung di antara keduanya sebagaimana dituturkan
oleh ‘mama Le 13 ’:
…katong bicara la paitua seng kabaratang mar antua
dorong pa, antua bilang karena dasar gaji akang kacil, la
dia tanya to kalo se bisa bajual ka seng? gampang sa,
padahal katong kalo di Naku-Kilang malu kalo bajual
bagini-samua malu kalo bajual-bajual bagini. Tapi
karena dukong dari paitua sandiri tolong bisa ka seng,
supaya gaji tu katong bisa biking apa kah, apakah, bagitu
pa...la beta jua setuju akang, deng tarnyata bajual ni enak
lai”.
(kami berdua saling berdiskusi kemudian suami tidak
keberatan, malahan turut mendorong. Suami mengatakan karena kondisi dasar gaji yang kecil, maka beliau
bertanya dan meminta kesediaan saya untuk berjualan
seperti ini. Bagi saya itu mudah saja, padahal ketika kita
masih di negeri Naku sangat merasa malu kalau berjualan. Negeri Naku-Kilang semua orang pasti malu. Tetapi
dukungan penuh suami saya setuju. Ini agar penghasilan
dari gaji bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain dan
ternyata papalele itu enak).
Proses komunikasi menjadi andalan yang terbangun di
antara suami dan istri, bahkan dari pernyataan ini terkesan
bahwa tawaran itu muncul dari pihak laki-laki sebagai kepala
keluarga. Pengakuan dan keterbukaan karena penghasilan yang
terbatas menjadi keprihatinan bersama, sehingga diperlukan
jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Kesetujuan dan
kesediaan menerima dukungan juga menjadi dasar bahwa
masalah keluarga harus ditanggung bersama. Bahkan budaya
‘malu’ yang selama ini kuat melekat pada sang istri ketika masih
13
Wawancara tanggal 8 November 2008
179
Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon
bujangan di desa sendiri harus ditinggalkan. Kesepakatan
keduanya tidak hanya terbatas pada kesediaan berjualan saja,
tetapi juga kesediaan menerima tanggung jawab yang sama
untuk keluarga.
Kesimpulan
Secara umum dalam bab ini terlihat secara jelas dua alasan
utama informan menjadi papalele. Alasan pertama berkaitan
dengan meningkatnya kebutuhan keluarga sebagai akibat dari
kesepakatan informan memasuki rumah tangga dan hadirnya
anak dengan kebutuhan yang semakin meningkat. Alasan kedua
yang tidak kalah penting adalah keikutsertaan informan menjadi papalele karena aspek sejarah dari orang tua yang sebelumnya telah menjadi papalele.
Kedua alasan tersebut, merupakan bagian dari strategi
rumah tangga untuk pemenuhan kebutuan hidup (livelihood
strategy). Sebagai orang desa, keterbatasan mendapat pekerjaan
yang lebih baik sangat terbatas, karena tingkat pendidikan ratarata informan hanya tamatan Sekolah Dasar (SD). Bagi informan menjadi papalele, dan bekerja keras mencari penghasilan,
kebutuhan hidup keluarga yang serba terbatas dapat terpenuhi.
Dari delapan belas informan, hanya satu di antara mereka yang
pada akhirnya keluar dari pekerjaan ini. Alasan keluar dari
pekerjaan papalele karena kedua adiknya telah menamatkan
pendidikan. Pekerjaan baru yang ditekuni adalah sebagai dukun
bayi (biang bayi). Dengan demikian secara keseluruhan nampaknya dapat dipahami bahwa menjadi papalele adalah pekerjaan pokok para informan.
Hal menarik lain yang patut disimpukan bahwa pekerjaan
pokok sebagai papalele dan sebagai sumber mata pencaharian
melalui simbol tertentu. Papalele terindentifikasi melalui
180
Awal Mula Menjadi Papalele
busana dan peralatan jualan yang masih tradisional dan apa
adanya. Busana ‘kebaya’ telah menjadi simbol bagi para informan sebagai akibat ketidak-setaraan gender dalam masyarakat
ketika itu. Ketidak-setaraan gender nampak pada kesempatan
pendidikan hanya diprioritaskan bagi anak laki-laki. Sehingga
anak perempuan dengan terpaksa harus menerima keberadaan
mereka dalam status sosial yang terpinggirkan. Papalele adalah
mata pencaharian—pekerjaan pokok sebagai satu-satunya pilihan bekerja.
181