Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB III

Bab Tiga

Pengalaman Penelitian
Bersama Informan

Pengantar
Isi bab ini akan menjelaskan seluruh proses pengalaman
penelitian yang berlangsung di lokasi penelitian. Sejak korespondensi hingga proses pengambilan data lapang dipersiapkan
sebaik mungkin sesuai dengan tahapan-tahapan baku penelitian. Sehingga seluruh proses tersebut dapat dinarasikan untuk
mengkonstruksi kembali kehidupan keseharian papalele sebagai
satu fenomena dalam masyarakat. Dilanjutkan dengan pembahasan seputar proses, tahapan pengumpulan data penelitian.
Bagi sebagian orang, pengalaman dalam meneliti
mungkin telah dianggap sebagai hal yang tidak terlalu sulit
karena rutin telah dijalani. Sebaliknya bagi sebagian orang lain,
proses penelitian tidaklah mudah untuk menemukan dan memunculkan keunikan (unigueness) untuk menghasilkan karya
penelitian yang baru (new idea) terkait konstruksi dan fenomena kehidupan masyarakat. Saya nampaknya sependapat
dengan pandangan yang terakhir. Sehingga bagian ini akan
menjelaskan seluruh proses dan pengalaman selama penelitian
berlangsung.
53


Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Penelitian di Desa (Negeri) Hatalae
Lokasi (locus) penelitian sangat menentukan proses dan
hasil yang akan dicapai. Penentuan lokasi penelitian seharusnya
tidak sekedar asal memenuhi syarat ‘tertentu’. Lokasi penelitian
wajib memenuhi kriteria sesuai dengan konteks dan perspektif
subjek yang akan diteliti berdasarkan metode penelitian. Lokasi
harus memiliki pertimbangan dan argumentasi yang dapat
diterima secara logis dan relevan. Atas dasar itu ada tiga
pertimbangan pokok yang layak menjadikan Hatalae sebagai
lokasi penelitian; pertama, di Ambon terdapat lima kecamatan
dengan 19 kelurahan dan 31 negeri 1 (Kota Ambon dalam
Angka, 2007). Hatalae dengan luas 5.965 ha, adalah salah satu
desa di Kecamatan Leitimur Selatan 2 kota Ambon (Perda No. 6
Tahun 2006), yang memiliki jumlah papalele jauh lebih banyak
dibandingkan dengan negeri-negeri lainnya. Kurang lebih
terdapat 35 orang yang berprofesi sebagai papalele. Selain
jumlah papalele yang signifikan, juga tingkat dinamisasi papalele di negeri ini sangat variatif. Tingkat variasi ini terkait
dengan pola aktivitas yang berbeda satu dengan yang lainnya,

baik secara berkelompok ataupun secara individu. Kedua,
umumnya mereka yang menjadi papalele dari sini agak berbeda
1 ‘Negeri’ adalah nama lain untuk ‘Desa’. ‘Negeri’ dipimpin dan perintah oleh
Raja yang dipilih oleh rakyat. Sejak penerapan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Sistim Pemerintahan di daerah, ‘Negeri’ diganti dengan
‘Desa’. Kepala Desa tidak dipilih oleh rakyat tetapi ditunjuk oleh pimpinan
setingkat di atasnya. Seiring dengan ‘reformasi’ di Indonesia, dalam perspektif
Otonomi Daerah dengan munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, perubahan pun terjadi.
Pemerintah kota Ambon melakukan penyesuaian dengan realitas kehidupan
masyarakat, di mana wilayah-wilayah adat setiap desa/negeri dikembalikan
sesuai asalnya. Kemudian ‘Desa’ diganti dan dikembalikan lagi ke kata ‘Negeri’
2 Kecamatan Leitimur Selatan adalah salah satu kecamatan hasil pemekaran
dari kecamatan Sirimau dan kecamatan Teluk Ambon Baguala. Luas wilayah
kecamatan ini 50,50 km2 dengan jumlah penduduk pada saat dibentuk
sebanyak 9.110 jiwa. Dalam kecamatan ini juga terdapat delapan Negeri yaitu:
Negeri Hatalai, Kilang, Ema, Naku, Hukurila, Leahari, Rutong dan Negeri
Hutumuri (Perda kota Ambon No 2 Tahun 2006).

54


Pengalaman Penelitian bersama Informan

dengan desa lain. Perbedaannya pada aktivitas mereka saat
berkelompok dan ketika bergerak dan memobilisasi produk
yang akan dijual. Walaupun memang ada juga yang bergerak
secara individu. Ketiga, jarak yang ditempuh dari negeri Hatalae
ke pusat kota Ambon atau sebaliknya ± 13,80 km, mengingat
Hatalae terletak di jazirah Leitimor arah pantai selatan kota
Ambon, dan menempati posisi di atas puncak gunung. Sehingga
menurut saya lokasi ini sangat strategis terkait dengan jarak
tempuh serta akan melewati beberapa desa lain yang umumnya
masyarakat di sekitar desa ini memiliki profesi yang sejenis.

Pengamatan awal
Pengamatan (observasi) awal terhadap papalele dilakukan
untuk mematangkan penelitian. Setelah tema penelitian tentang
papalele diterima dan disetujui, tanpa membuang kesempatan
peneliti bergegas kembali ke Ambon untuk melakukan pengamatan tahap awal pada akhir minggu pertama Januari sampai
dengan akhir Maret 2008. Setibanya, peneliti mulai berkeliling

di beberapa lokasi pasar seperti, pasar Mardika, pasar lama,
pasar Batu Merah-Mardika, pasar Batu Meja 3 dan depan
Swalayan Citra. Lokasi ini merupakan tempat yang biasanya
papalele menjajakan barang dagangan. Peneliti bertemu beberapa di antara mereka yang sedang asyik melakukan tawar
menawar dengan pembeli, bahkan beberapa di antaranya juga
sementara bercengkerama dengan pedagang lain sambil me3 Pasar Batu Meja merupakan pasar alternatif bagi umat Kristen yang masih
bertahan sejak 1999 hingga awal tahun 2008. Kira-kira beberapa bulan kemudian, oleh Pemerintah kota Ambon pasar ini ditertibkan. Mengingat situasi
keamanan sejak akhir konflik sudah kondusif, sehingga kota harus ditata
kembali seperti sebelum konflik. Pertimbangannya adalah pasar Mardika yang
selama ini terbakar dan hancur saat konflik telah direnovasi dan bisa
ditempati lagi, selain itu diharapkan kedua komunitas yang bertikai dapat
menyatu kembali.

55

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

nunggu pembeli. Pada tahap ini, posisi peneliti hanya mengamati perilaku papalele dan belum berkomunikasi, prinsipnya
lebih banyak memperhatikan mereka berinteraksi dengan
sesama papalele, pembeli dan atau pedagang di sekitar lokasi

mereka berjualan.
Tidak terlalu sulit untuk menemukan para papalele di
pasar. Selain itu, umumnya di kelima lokasi pasar tersebut tidak
sulit untuk membedakan antara papalele dan pedagang. Bagi
saya, identifikasi pembeda mereka lebih dititikberatkan pada
pakaian kebaya yang dipakai. Mengingat secara umum masyarakat pun memiliki pemahaman yang sama dalam membedakan
papalele dengan pedagang lain. Untuk identifikasi lanjut pada
tahap ini, peneliti mulai mendekati beberapa papalele dan
bertanya seputar harga buah yang dijual dan desa asal mereka.
Ternyata mereka berasal dari desa berbeda yang menempati
lokasi secara bersama. Di antarnya desa yang mereka sebut,
seperti Desa Hatalae, Naku, Kilang, Soya dan Pulau Saparua di
Maluku Tengah.
Menyapa dengan hangat dan sopan sekalipun mereka
tidak mengenal orang yang mengajak bicara. Sebagai penjual,
ramah terhadap orang lain sangat diperlukan. Sifat ini adalah
cara menarik simpati orang yang mengajak berbicara. Dengan
senyum dan dialek Ambon yang khas mereka menyambut saya
berdiskusi walau sebentar. Seperti papalele yang berlokasi di
depan Swalayan Citra, sambil duduk dekat mereka saya bertanya seputar lamanya usaha, asal buah yang dijual, dan cara

menata buah. Pertanyaan ini bersifat umum dan belum menjadi
bagian dari pokok pedoman wawancara yang akan disusun.
Hanya sekedar untuk menangkap informasi awal yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam pedoman wawancara.
Sambil bercerita dengan mereka sesakali saya berkesempatan
mengambil gambar (memotret) kegiatan yang sementara mere56

Pengalaman Penelitian bersama Informan

ka dilakukan. Hal yang sama juga saya lakukan terhadap beberapa papalele lain di pasar Mardika. Sebelumnya pada masa
konflik di Ambon, pasar Mardika tidak lagi berfungsi karena
ludes terbakar. Namun kini, pasar tersebut telah direnovasi dan
dapat digunakan kembali oleh pedagang dan masyarakat seperti
masa sebelum konflik. Pembangunan kembali pasar Mardika
oleh Pemerintah Daerah merupakan salah satu bentuk membangun kembali persaudaraan antar kelompok masyarakat yang
beberapa waktu lalu berkonflik.
Setelah melakukan pengamatan awal sambil menghimpun beberapa data, peneliti menyusunnya sebagai naskah penelitian pendahuluan. Hasil pengamatan dan pencatatan kecil
yang dibuat, diperhatikan dan dipelajari kembali untuk menyusun pedoman wawancara. Guna memperkuat penyusunan
pedoman wawancara yang akan dipakai nanti, sesekali juga
peninjauan kembali (review) pada beberapa literatur dan berbagai jurnal penelitian dari berbagai sumber yang relevan untuk
menemukan gambaran aktivitas papalele. Namun demikian

tinjauan terhadap buku dan jurnal yang relevan dilakukan tidak
dimaksudkan untuk melandasi dan menjadikannya sebagai
pokok teoritis. Paling tidak dengan cara itu, bisa ditemukan
pintu masuk untuk memahami papalele dan dinamika kehidupan sehari-hari.

Penelitian lapangan
Diskusi bersama Promotor dan co-Promotor dilakukan
untuk mendapatkan perspektif (angle) yang sama. Pada minggu
kedua akhir bulan Oktober 2008, sebelum peneliti kembali ke
Ambon masuk lokasi penelitian, Promotor meminta peneliti
berdiskusi bersama dua co-Promotor yang lain untuk memperjelas pedoman wawancara yang digunakan. Kami melakukan
57

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

diskusi guna persiapan masuk lokasi penelitian untuk menyatukan persepsi yang sama. Hal yang penting adalah data yang
hendak diambil, tidak akan mengalami bias. Diskusi ini berlangsung dua kali setiap hendak masuk lapangan, sehingga
dengan diskusi yang dilakukan akan membantu pengumpulan
data.
Sebelum melakukan kegiatan penelitian, berbagai persiapan sudah harus dilakukan sejak awal. Kesiapan sangat diperlukan sebelum peneliti mulai masuk lokasi penelitian. Semua

kebutuhan terkait secara matang dipersiapkan sehingga tidak
mengganggu jalannya penelitian. Kebutuhan itu seperti pedoman wawancara, korespondensi, buku catatan lapangan, kamera
voice recorder dan external storage hard disk. Kebutuhan akan
peralatan penunjang dan pendukung penelitian setidaknya
jangan terabaikan. Mengingat peralatan penelitian sering tidak
mendapat pehatian serius ketika akan melaksanakan penelitian.
Bahkan dianggap hal sepele karena barang yang diperlukan bisa
didapatkan saat di lapangan. Kedua hal ini peneliti hindari
sehingga saat di lapangan tidak mengalami kendala.
Dukungan peralatan pendukung seperti alat perekam
wawancara dan dokumentasi merupakan penunjang yang vital.
Kedua peralatan ini telah disiapkan sejak awal. Kamera Sonny
tipe DSC-S730 dengan resolusi 7,2 mega pixels dipergunakan
untuk mendokumentasikan suasana saat wawancara berlangsung dan aktivitas informan lainnya. Digital Voice Recorder
merek Xenix tipe VR-W.750 untuk merekam suara informan
(rekaman proses). Hasil rekaman ini setidaknya sangat membantu untuk didengar kembali dan dibuat transkripnya. Rekaman suara dari informan sangat vital, sehingga menghindari
catatan yang terlupakan atau yang tidak sempat terakomodasi.
Computer portable (notebook) Acer Aspire 3684 dan
external storage 2.5 (hard disk) Axio 250 giga bite tipe ESAX
58


Pengalaman Penelitian bersama Informan

2S0250XU merupakan peralatan penunjang untuk mengetik
naskah dan menyimpannya. Kedua alat ini akan digunakan
setiap hari setelah beraktivitas bersama informan, pengetikan
terhadap hasil wawancara dan berbagai pengamatan yang
dilakukan, termasuk setiap tindak-tanduk perilaku informan.
Selain itu pengetikan terhadap hasil wawancara yang diperoleh
setiap hari menjadi transkrip untuk kemudian disimpan dalam
folder. Hal ini dimaksudkan semua yang dilihat, didengar dan
dirasakan tidak terlupakan dalam pengetikan. Semua peralatan
penelitian yang diuraikan ini merupakan kunci penunjang
penelitian (Moleong, 2000: 91).
Korespondensi dan pemantapan lokasi dengan pimpinan
kecamatan dan jajarannya. Perijinan dengan pimpinan kecamatan merupakan tindak lanjut surat ijin yang telah dikeluarkan
oleh Program Pascasarjana UKSW pada minggu kedua bulan
Oktober 2008. Prinsip surat ijin ini untuk memohon kesediaan
(pemberitahuan) kepada pemerintah kota Ambon terhadap
pelaksanaan penelitian sehingga mendapatkan kemudahan

administrasi pemerintahan dan dukungan fasilitas oleh pemerintah kecamatan dan desa. Berbekal surat ijin program studi,
peneliti kemudian melakukan perjalanan ke Ambon. Surat pun
diteruskan kepada pihak Pemerintah Kota Ambon. Tidak memerlukan waktu lama – pagi hari surat dimasukkan ke bagian
pemerintahan pemerintah kota, dua jam kemudian surat pemberitahuan lanjutan kepada Pemerintah Kecamatan Leitimor
Selatan dan Pemerintah Desa Hatalae dikeluarkan.
Sempat peneliti terbantu dengan komunikasi telepon
(hand phone) seluler Kepala Bagian Pemerintahan Kota Ambon
(Drs. Edy Tutupoho) yang menghubungi Kepala Kecamatan
Leitimor Selatan (Drs. Wem Pattiruhu). Melalui sambungan
telepon keduanya membicarakan penelitian yang peneliti akan
59

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

lakukan. Beberapa saat kemudian peneliti diminta berbicara
langsung dengan Camat. Kami berdua bersepakat bertemu
keesokan harinya untuk membicarakan tujuan dan lokasi
penelitian yang hendak peneliti laksanakan.
Keesokan hari pada tanggal yang disepakati peneliti dan
Camat bertemu di kantor pemerintah kota Ambon bagian

pemerintahan. Pertemuan itu untuk menyampaikan tujuan
penelitian kepada Kepala Kecamatan Leitimor Selatan. Pembicaraan kami berlangsung sekitar dua jam. Pokok percakapan
seputar rencana penelitian di Desa Hatalae dan keinginan untuk
menetap selama beberapa waktu. Kami berbicara dalam suasana
santai dan tidak bersifat formal. Kesantaian kami bukan tanpa
alasan, mengingat sebelumnya kami sudah saling mengenal 4 .
Singkat pertemuan, prinsipnya Camat akan membantu memfasilitasi komunikasi dengan Pimpinan Desa Hatalae dan membantu semua keperluan selama penelitian berlangsung. Bahkan
Camat pun telah menyiapkan salah satu staf kantornya dengan
dua sepeda motor jenis Honda untuk digunakan ke Hatalae
selama penelitian. Dugaan peneliti sebelumnya terbukti benar,
peneliti difasilitasi. Drs. Agus Rehatta staf pemerintah kecamatan telah dipersiapkan oleh Camat sebagai penghubung dengan
perangkat Desa Hatalae. Tawaran Camat ini lebih karena
pertimbangan angkutan umum yang agak sulit pada sore hari.
Selain keterbatasan itu, sepeda motor tersebut bisa membantu
setiap saat jika harus pergi-pulang kota ke Hatalae dan sebaliknya selama beberapa hari sebelum menetap di sana.
Saya bertemu Sekretaris Desa dan memperkenalkan serta
mensosialisasikan diri dengan masyarakat. Waktu terus berjalan, peneliti tidak mengabaikan sedikit pun waktu. Sejak
Drs. Wem Putiruhu sebelum menjabat sebagai Kepala Kecamatan Leitimor
Selatan, pernah menjadi Kepala Kelurahan Ahusen Kecamatan Sirimau Kota
Ambon. Kelurahan ini merupakan wilayah tempat tinggal kami.

4

60

Pengalaman Penelitian bersama Informan

bertemu Camat, sekitar pukul 08.30 WIT, peneliti menuju
Hatalae didampingi Agus Rehatta mengendarai sepeda motor
Honda yang telah disiapkan. Jarak tempuh dari kota ke Hatalae
sekitar delapan kilometer ke arah pegunungan di sekitar pantai
selatan Ambon dengan waktu tempuh sekitar 30 menit
pejalanan.
Hatalai berada pada wilayah pesisir pantai selatan
dengan ketinggian kurang lebih 300 meter di atas permukaan
laut. Bagi peneliti lokasi Hatalae sangat menarik karena berada
pada posisi lembah, di antara gunung dan bukit sehingga ketika
memasuki negeri ini – dari posisi ketinggian, akan terlihat
bangunan sebuah gereja dan dua gedung: Sekolah Dasar (SD)
dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk sampai ke
pusat desa harus menuruni sekitar 100 anak tangga (stage) dari
semen yang dibuat oleh masyarakat. Pemandangan indah
Hatalae juga terlihat dengan jelas pada latar belakang hamparan
laut Banda yang luas.

Gambar 1. Anak tangga: Jalan masuk Desa Hatalae (doc. 2008) 5
5

Dokumentasi pribadi, tanggal 17 Oktober 2008.

61

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Kesediaan pemerintah desa dengan dukungan staf turut
membantu memperlancar jalannya penelitian. Kami berdua
bertemu dengan Sekretaris Desa Hatalae Hans Dominggus
Alfons (50) dan beberapa staf desa yang kebetulan masih
bekerja. Saat kami bertemu, atap zenk kantor desa sedang
diperbaiki. Bunyi ketokan palu silih berganti menimbulkan
bunyi yang agak mengganggu. Ruang kantor desa tidak terlalu
besar, kira-kira berukuran 5x7 meter persegi. Pergantian zenk
dilakukan karena hujan lebat beberapa hari telah berakibat
ruang kantor tergenang air karena bocor. Suasana perbaikan ini
disampaikan oleh Sekretaris desa yang biasa disapa ‘Buke’,
sambil mohon maaf atas kebisingan bunyi perbaikan kantor.
Agus kemudian membuka pembicaraan sambil memperkenalkan peneliti kepada sang sekretaris desa. Kemudian peneliti juga
menyampaikan hal ikhwal dan rencana penelitian untuk menetap selama beberapa waktu. Pak Buke, mulai membuka pembicaraan tentang informasi yang telah disampaikan Camat kepadanya, bahwa peneliti akan hadir dan berdiam di desa mereka.
Pada prinsipnya pak Buke dan seluruh jajaran desa ‘siap’
menerima dan membantu peneliti selama penelitian di desa
ini 6 . Bahkan menurut beliau, salah satu penduduk desa telah
dihu-bungi dan diminta kesediaan untuk menerima peneliti
mengi-nap dan menetap di situ. Rupanya apa yang disampaikan
ini, telah ditindak-lanjuti dan dikoordinasikan bersama Camat.
Bahkan seluruh pengurus LMD, LKMD, Pendeta dan Majelis
Jemaat setempat juga telah mengkoordinasikan kehadiran saya.
6 Sejak pertama kehadiran saya di Hatalae, tidak bertemu dengan Drs. Arche
Loppies Raja (Kepala Desa) setempat. Beliau dalam beberapa tahun terakhir
sejak menjadi Raja, harus pergi-pulang Ambon-Jakarta karena bekerja. Selain
itu, beliau juga menjadi salah satu fungsionaris dan koordinator Dewan
Pimpinan Pusat salah satu partai politik di Jakarta. Roda pemerintahan lebih
banyak dijalankan oleh Sekretaris Desa bersama perangkat desa lainnya.
Kondisi dan situasi ini juga disampaikan oleh Camat kepada saya.

62

Pengalaman Penelitian bersama Informan

Pihak pemerintah desa mengumumkan kepada masyarakat, kehadiran peneliti di desa melalui ibadah minggu. Koordinasi sekretaris desa dengan staf desa dan perangkat jemaat
setempat cukup solid. Semua perangkat desa dan jemaat telah
mengetahui dan memahami rencana penelitian ini di desa
mereka. Kebetulan memang, pak Buke, juga mempunyai jabatan
rangkap sebagai sekretaris Majelis Jemaat, Gereja di Hatalae.
Dengan jabatan rangkap yang dimiliki tersebut membuat koordinasi tidak terlalu sulit untuk penanganan masalah seperti ini,
dan bahkan mungkin masalah kemasyarakatan yang lain.
Karena koordinasi tersebut, peneliti diberitahu oleh pak Buke
agar hadir dalam ibadah minggu untuk memperkenalkan diri
kepada masyarakat dan jemaat setempat. Peluang ini tidak
peneliti sia-siakan, dan nampaknya cara yang sama dilakukan
juga bagi tetamu yang hadir di desa tersebut.
Saya memperkenalkan diri kepada masyarakat dan jemaat
pada saat ibadah minggu. Setelah usai ibadah minggu di gereja
bersama jemaat, pendeta menuju mimbar kecil dan meminta
jemaat untuk tahan sebentar. Pendeta jemaat kemudian memperkenalkan peneliti dan rencana menetap selama penelitian di
Hatalae. Peneliti kemudian diminta tampil ke depan memperkenalkan diri dan menyampaikan rencana penelitian yang akan
dilakukan. Kesempatan itu peneliti manfaatkan untuk menyampaikan beberapa hal penting antara lain: menetap untuk delapan bulan secara tidak berturut-turut. Termasuk akan menginap
di salah satu rumah papalele selama satu atau dua hari. Akhir
dari perkenalan itu peneliti pun meminta kesediaan dan
kerelaan semua papalele, tokoh agama, tokoh masyarakat dan
berbagai pihak, jika seandainya peneliti akan mendatangi setiap
rumah mereka untuk melakukan wawancara.

63

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Rumah tempat menginap dan menetap ditentukan oleh
pemerintah desa dalam rapat staf desa. Melalui hasil kesepakatan sekretaris desa dan stafnya, memutuskan untuk memberikan
tempat tinggal kepada peneliti selama penelitian di keluarga
Ronald Kastanya, SE (42). Masyarakat setempat sering menyebut dan menyapanya dengan nama ‘Ronny’ 7 . Rumah mereka
cukup sederhana, ukuran rumah sekitar 5x8 meter persegi,
beratap zenk. Di rumah itu Ronny bersama Evie (istri) dan dua
orang anak laki-laki mereka. Kehidupan keseharian mereka
sangat bersahaja dan apa adanya. Ronny adalah salah satu tokoh
pemuda Hatalae yang memiliki ‘cukup’ pengaruh bagi organisasi
kepemudaan desanya. Kebetulan memang dalam tugas-tugas
sosial keagamaan beliau sehari-hari sebagai Majelis Jemaat
Gereja setempat. Selain sebagai Majelis Jemaat, pekerjaan
tetapnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kantor
Pemerintah Kota Ambon. Istrinya Evie tidak bekerja, sementara
kedua anaknya masih bersekolah. Anak laki-laki yang sulung di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 6, dan yang nomor
dua Sekolah Dasar (SD) Negeri 2, sekolah keduanya di kota
Ambon.
Guna mempermudah jalannya penelitian, kepada Ronny
peneliti meminta satu tenaga pendamping penelitian. Sejak
menetap dengan keluarga Kastanya, peneliti meminta kesediaan
Ronny menentukan satu orang pemuda sebagai pendamping.
Kebutuhan tenaga pendamping bukan untuk menjadi asisten
dalam mengumpulkan data dan wawancara, tetapi bantuannya
7 Sebelum menetap di keluarga ini, sesungguhnya kami sudah juga saling
mengenal. Ronny menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu (S1) di
Fakultas Ekonomi Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Kristen
Indonesia Maluku. Dia juga merupakan anak bimbingan saat menulis Skripsi.
Penempatan tempat tinggal ini oleh pemerintah desa, sesungguhnya tanpa
saya sadari. Meskipun demikian, penempatan ini sangat membantu saya
mengenal lebih dekat profil papalele di Hatalae. Pada sisi lain, saya tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk menyesuaikan diri dengan
pihak keluarga dan lingkungan sekitar.

64

Pengalaman Penelitian bersama Informan

lebih bersifat teknis. Ronny kemudian menawarkan salah
seorang keponakannya untuk mendampingi penelitian. Renny
Loppies, pemuda berusia 23 tahun, yang kemudian membantu
peneliti. Tugas utama dan perannya sebagai penunjuk jalan dan
rumah setiap informan yang dituju. Mengingat luasnya desa dan
tempat tinggal informan yang agak berjauhan satu dengan yang
lain. Selain itu, kadang-kadang kami harus bertemu dan mewawancarai informan di malam hari, sehingga jalan menuju ke
rumah informan telah dipahami secara baik. Tugas lain yang
diberikan kepadanya adalah membawa alat-alat pendukung
penelitian, seperti tas penyimpan dokumen dan kamera untuk
pengambilan gambar/foto saat mewancarai informan dan
kegiatan penunjang lainnya.

Proses dan Dinamika Pengumpulan Data
Sebelum melakukan proses pengambilan data, langkah
yang harus dipersiapkan lebih awal adalah memeriksa kembali
pedoman wawancara yang telah disusun. Pedoman wawancara
diperiksa kembali untuk disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Seluruh indikator dan hasil identifikasi informan kunci dalam
pedoman harus secermat mungkin dapat terangkum sehingga
pada waktunya akan menjawab tujuan penelitian. Walaupun
nanti dalam perkembangan wawancara, bukan tidak mungkin
(dan biasanya) ada indikator dan pertanyaan lainnya yang akan
muncul untuk kemudian ditelusuri dalam wawancara 8 . Selain
itu, wawancara terstruktur dimaksudkan agar peneliti tidak
dengan sesukanya mengajukan pertanyaan kepada informan,
tetapi harus disesuaikan dengan tema dan struktur tema yang
telah disusun dalam pedoman wawancara.
8
Proses wawancara seperti ini yang disebut wawancara tidak terstruktur
(Moleong, 2000:138-139).

65

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Memetakan posisi dan jumlah informan berdasarkan
lokasi tempat tinggal untuk mempermudah daya jangkau.
Topografi Hatalae yang menantang karena berada di antara
gunung dan lembah pada posisi kemiringan membuat peneliti
harus memetakan setiap rumah informan secara baik. Mengatur
urut-urutan rumah agar tidak mengakibatkan pengulangan
kunjungan. Hatalae memiliki dua Rukun Warga (RW) dan
enam Rukun Tetangga (RT), setiap RW terdapat tiga RT. Secara
jelas dapat dikemukakan sebagai berikut: Ketua RW 01 Daniel
de Lima (alm), Ketua RT 001/01 Alm Johanis Hehanusa, tugas
dilaksanakan oleh Sekretaris Simon Paays, RT. 002/01 Ketua
Reni Muskita dan Ketua RT. 003/01 Franskois Loppies 9 .
Sementara Ketua RW 02 Simon Loppies, Ketua RT. 001/02
Karel Paays, Ketua RT.002/02 Josias Alfons, dan Wellem
Gomies sebagai Ketua RT. 003/02 10 .
Lima Rukun Tetangga (RT) berada pada pusat desa,
sementara satu RT lain berada agak jauh dari pusat desa, kirakira sekitar setengah kilometer. Bersama dengan pak Buke,
Ronny dan Renny kami memetakan lokasi setiap rumah informan. Baik yang berdekatan tempat tinggal maupun yang berjauhan. Setelah kami menyusun dan mengidentifikasi informan,
daftar disiapkan dan diketik untuk disesuikan pada waktunya.
Renny berperan sebagai penunjuk jalan dan rumah setiap
informan yang dituju. Walaupun semua telah tersusun, kadangkadang kami tidak berjumpa dengan informan, tidak ada pilihan
selain keesokan harinya harus kembali ditemui.
Terlibat sebagai partisipan bersama informan di pasar dan
berkeliling berjualan sejak pagi hingga sore hari. Tidak hanya
9 Pada saat penelitian berlangsung, beberapa bulan sebelumnya Ketua RW 01
dan Ketua RT 001 telah wafat (meninggal dunia) dan belum dilakukan pergantian. Tugas sehari-hari dilaksanakan oleh Sekretaris RT.

10

Wawancara dengan Sekretaris Desa Hatalae, 6 November 2008.

66

Pengalaman Penelitian bersama Informan

wawancara dengan informan, tetapi terlibat bersama mereka
seharian berjualan. Kegiatan bersama ini dilakukan untuk
mengamati secara langsung setiap kegiatan yang dilakukan.
Mengingat pengamatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini, bahkan menjadi kelengkapan dalam
pengumpulan data, terutama yang berkaitan dengan perilaku.
Sehubungan dengan itu maka jenis observasi non-partisipasi
atau pengamatan tidak berperanserta digunakan. Untuk maksud
ini, peneliti hanya bertindak dan melakukan satu fungsi yakni
pengamatan (Maleong, 2000: 126-127). Untuk maksud ini tiga
informan diminta kesediaannya, mereka masing-masing, mama
Le, mama Tine dan tanta Evie. Ketiganya secara sengaja ditentukan sesuai dengan ciri papalele yang dilakukan. Mama Le
dengan ciri tandeng (menetap), mama Tine (baronda), dan tanta
Evie (tandeng-baronda). Sebelum partisipasi bersama ketiga
informan, peneliti harus mengatur waktu bertemu di setiap
rumah untuk wawancara. Semua mekanisme dan tata cara
papalele yang diceritakan, kemudian dipelajari dan didalami,
untuk keesokan harinya peneliti hanya mengamati kebenaran
setiap tindakan seperti yang disampaikan.
Bagi informan keterlibatan peneliti bersama mereka,
nampaknya dianggap sebagai suatu ‘keberanian’. Untuk menjumpai ketiga informan ini (juga yang lain), tidak bisa pagi atau
siang hari. Bertemu mereka setidaknya sore atau malam hari
setelah mereka kembali dari pasar. Mama Le, Mama Tine dan
tanta Evie secara terpisah ditemui di rumah mereka masingmasing. Tentu terlebih dahulu informasi telah peneliti sampaikan kepada anggota keluarganya satu hari sebelumnya. Ketika
saatnya bertemu, mewawancarai dan meminta kesediaan berpartisipasi saat berjualan, mereka agak terkejut. Karena tidak
biasa bagi mereka ada ‘orang lain’ yang ingin terlibat. Karena itu
secara terpisah, mereka mengatakan bahwa mengikuti kegiatan
67

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

papalele sepanjang hari akan sangat melelahkan dan bisa
muncul perasaan ‘malu’ bagi orang yang tidak terbiasa. Pernyataan ini diungkapkan dari ketiga informan tersebut. Karena itu,
peneliti pun mempersiapkan fisik secara baik agar kendala itu
tidak terjadi. Demikian halnya perasaan ‘malu’ sedapat mungkin
dihindari pada saatnya.
Lika-liku menjumpai informan dalam suasana malam hari
di musim penghujan. Kota Ambon, setiap akhir tahun sejak
bulan September hingga Desember selalu diguyur hujan lebat
dan merata di seluruh kota dan desa. Kalaupun ada secercah
cuaca panas, itu pun tidak bertahan lama, kadang setengah hari
dan kadang dapat bertahan sehari. Intensitas hujan mempengaruhi aktivitas masyarakat seperti banjir dan tanah longsor di
beberapa wilayah lain. Namun demikian hujan yang turun tidak
mempengaruhi peneliti dalam pengambilan data. Suatu kesempatan di malam hari bersamaan dengan hujan yang turun sejak
siang, kami bertandang ke rumah informan. Sebelumnya dua
informan sudah berhasil peneliti temui untuk diwawancara.
Target peneliti, untuk malam ini setidaknya ada satu lagi
informan yang harus ditemui. Karena rumah sang informan
agak jauh dari pusat desa dan jalan setapak dari tanah yang
menurun, pasti licin karena guyuran hujan. Rumah mama Le
yang kami tuju.
Dengan payung dan senter batu baterai ukuran sedang,
kami berjalan melewati pepohonan dalam suasana gelap gulita.
Sempat, peneliti tergelincir karena tanah yang licin, demikian
hal yang sama dengan Renny teman pendamping. Kami berdua
hanya bisa saling menertawai satu dengan yang lain. Baju yang
peneliti kenakan sudah basah karena hujan dan terjatuh tadi,
kami tiba di rumah tanta Le. Kami mengetuk pintu, dan suaminya menyambut kami. Sambil mama Le, mengatakan “tuang

68

Pengalaman Penelitian bersama Informan

ampong pa su babasa lai, mari maso (ya ampun, bapa sudah
basah, silahkan masuk)”.
Suguhan kopi panas dan beberapa potong roti disajikan
kepada kami malam itu, mengingat kami sudah basah karena
hujan sehingga sebagian tubuh mulai terasa dingin. Mama Le,
kemudian sebentar ke dapur dan beberapa saat muncul lagi
dengan membawa nampan yang di atasnya telah tersedia
minuman kopi panas dan beberapa potong roti. Perlu
ditegaskan bahwa ‘tindakan’ yang sama dan sering terjadi di
setiap rumah informan lain yang kami datangi. Setiap kali kami
kunjungi, mereka selalu memberikan hidangan ringan seperti
ini. Nampaknya cara ini merupakan satu penghargaan terhadap
‘tamu’ yang berkunjung di rumah mereka. Tanpa menunggu,
tanta Le mempersilakan, kami mencicipi hidangan ringan yang
telah disiapkan. Sambil mencicipi hidangan yang telah
disediakan, peneliti mulai bertanya kegiatan dan pengalaman
papalele yang ditekuninya, sambil peneliti memperhatikan
semua situasi dan keberadaan keluarga mereka. Apa yang
dilakukan ini merupakan bagian untuk mengenal secara lebih
dalam aktivitas kese-harian pada informan tersebut.

Penelitian di Pasar Mardika
Selain Desa Hatalai sebagai lokasi pengambilan data—
pengamatan dan wawancara informan juga dilakukan untuk
beberapa informan lain guna melengkapi keterandalan data.
Para informan yang ditemui, memang tidak menetap pada satu
lokasi desa atau kelurahan, tetapi tersebar. Bahkan ada di antara
mereka—pedagang, yang menetap di kios tempat usaha. Untuk
berjumpa dengan para informan ini peneliti mengalami
kesulitan tersendiri. Selain tempat tinggal yang menyebar,
kesulitan lain adalah komunikasi yang “tertutup”. Terbukti saat
69

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

peneliti pertama kali di tanggal 24 April 2009 masuk Pasar
Mardika Ambon tiga hari berturut-turut untuk mencari
informan sekedar berkomunikasi, tidak banyak komentar atau
respon terhadap pertanyaan yang peneliti ajukan. Komunikasi
hanya sebatas pada tawar-menawar barang yang mereka jual,
walaupun peneliti sempat menyampaikan maksud dan rencana
penelitian. Dugaan peneliti, sepertinya mereka telah terbentuk
dalam satu ‘jaringan’ yang ‘dikendalikan’ sebagai satu kelompok.
Dugaan ini ada benarnya ketika peneliti berupaya mencari alternatif lain untuk berjumpa dengan para informan di pasar
Mardika. Beberapa hari sejak gagal menentukan informan, pada
hari keempat peneliti sempat menghubungi seorang teman—
John Richard 11 (40) untuk berdiskusi mengenai kendala yang
ditemui dan cara mengatasi masalah tersebut. Mengingat kesulitan menemukan informan penelitian, dalam diskusi kami,
sepertinya kami berdua sepaham bahwa untuk menemui dan
mewawancarai informan harus melalui ‘jaringan’ di pasar tersebut, paling tidak melalui salah satu anggota jaringan mereka.
Kepada peneliti, John Richard menyanggupi untuk mencari
informasi siapa yang harus dia hubungi. Singkatnya, melalui
salah seorang teman Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Maluku, John berhasil mendapatkan nama salah
seorang pedagang yang harus kami temui di pasar keesokan
harinya. Kepada peneliti, John menyebut nama pedagang tersebut yakni Jamal. Tanpa menunggu, peneliti meminta kesediaan
John untuk menghubungi si Jamal mengatur waktu bertemu
dengannya untuk menjelaskan tujuan penelitian. Melalui
sambungan telepon seluler—hand phone, John berkomunikasi
Salah satu rekan Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia
Maluku (UKIM) Ambon. Aktivitas lain yang bersangkutan adalah mantan
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI) Provinsi Maluku Periode 2002-2005 dan Pengurus salah satu Partai
Politik di Provinsi Maluku.

11

70

Pengalaman Penelitian bersama Informan

dengan Jamal dan memintakan kesediaanya untuk kami berjumpa. Kesepakan kami dengan Jamal baru terjadi keesokan
harinya.
Pada 27 April 2009 pukul 07.15 pagi, peneliti dan John
menuju pasar Mardika menemui Jamal yang telah dihubungi
sehari sebelumnya. Kios tempat berdagang Jamal berada di
lantai dasar bagian belakang bangunan pasar Mardika. Bangunan pasar Mardika terdiri dari tiga lantai. Lantai satu untuk
pedagang pakaian dan berbagai kebutuhan sandang, lantai dua
untuk sayur-sayuran, bumbu-bumbuan dapur, serta buah-buahan, dan lantai tiga untuk pedagang daging, antara lain: daging
ayam, daging sapi dan daging kambing. Sempat kami kesulitan
menemui kios tempat dagangan Jamal, mengingat di pagi itu
banyak pedagang baru membuka dan memulai menjajakan
barang dagangan mereka. Kepadatan hilir mudik pedagang dan
pembeli meramaikan suasana pasar sehingga kami harus berjalan perlahan-lahan sambil melihat dan memastikan lokasi kios
Jamal. Selain itu, peneliti dan John sebelumnya belum pernah
mengenal Jamal.
Setelah berputar lokasi beberapa kali, akhirnya kami
bertemu dengan Jamal. Postur tubuh Jamal agak tinggi tegap
sekitar 1,80 meter, kulit sawo matang, berambut agak cepak dan
sedikit berjenggot. Hari itu Jamal mengenakan kemeja koko
warna putih, dan bercelana setengah panjang warna putih.
Dilengkapi dengan topi haji khas kaum muslim warna putih.
Jamal menerima kami dengan ramah sambil berkata “dong dari
atas 12 ka? Oh yang abang kontak itu ka?” (kalian dari atas ya,
Kalimat “dari atas” menegaskan segregasi wilayah pasca konflik Ambon.
Pasca konflik Ambon, terjadi pergeseran istilah di kalangan masyarakat terutama di pasar yang menegaskan bahwa “dari atas” untuk pedagang komunitas
beragama Kristen, dan “di bawah” untuk pedagang komunitas beragama Islam.
Istilah ini mirip dengan istilah “obed” untuk kelompok Merah/Kristem dan

12

71

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

yang kemarin abang menelpon saya?). Peneliti dan John membenarkan pernyataannya, sambil John turut menjelaskan, pihak
yang memberikan dan memfasilitasi rencana pertemuan itu.
Jamal juga membenarkan bahwa sebelumnya dia telah dihubungi untuk maksud pertemuan tersebut. Kepada jamal, peneliti
menjelaskan tujuan dan rencana penelitian serta situasi yang
terjadi sebelumnya saat peneliti berinisiatif mewawancarai
beberapa papalele dan pedagang, namun gagal. Dengan senyum,
Jamal menanggapi permintaan peneliti untuk membantu memfasilitasi pertemuan peneliti dengan pedagang. Kesediaan Jamal
mempertemukan peneliti dengan papalele dan beberapa pedagang semakin membuat peneliti yakin dapat mewawancarai
informan.
Setelah percakapan singkat, kami kemudian langsung
diajak Jamal untuk menemui beberapa papalele dan pedagang.
Sambil berjalan, Jamal bercerita bahwa, dia dan beberapa
temannya hanya menjadi koordinator usaha bagi pedagang di
pasar Mardika. Koordinasi yang dilakukan untuk mengatur
tempat dan lokasi para pedagang secara baik, dan mereka tetap
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam menata pasar.
Selain itu, koordinasi terhadap para pedagang sangat diperlukan, mengingat pedagang dari komunitas Kristen yang selama
ini terpisah telah bergabung kembali ke pasar Mardika. Hal ini
dilakukan Jamal dan teman-temannya agar pengaturan lokasi
tidak menimbulkan konflik baru yang dapat mengarah ke halhal yang tidak diinginkan bersama.
Menurut Jamal, pengalaman tahun-tahun sebelumnya
pada masa konflik menjadi pengalaman yang diharapkan tidak
terulang lagi. Jamal juga menyampaikan kepada peneliti, bahwa
pedagang dari komunitas Kristen yang kembali ke pasar
“acang”untuk kelompok Putih/Muslim sebagaimana bahasan pada bab delapan.

72

Pengalaman Penelitian bersama Informan

Mardika pasca konfik dilindungi jika terjadi keributan atau
pertikaian. Setelah penjelasan singkatnya, kami bertemu dengan
mama Habsah. Jamal kemudian memberitahukan mama Habsah
tentang rencana penelitian ini. Setelah peneliti berkenalan
dengan mama Habsah, kami kemudian berjalan untuk menemui
Thalib pedagang buah. Jamal juga menjelaskan hal yang sama
kepada Thalib, “oe, ose nanti bantu basudara ini e, dong mau
tanya-tanya usaha dari ose, bantu e,e” (hi, nanti kamu membantu saudara ini ya, mereka mau mewawancarai kamu tentang
usaha yang dilakukan, harap dibantu ya!). Kalimat ini terus
berulang diucapkan Jamal setiap kali bertemu beberapa pedagang. Singkatnya, kami berhasil menemui beberapa papalele
dan pedagang untuk diminta kesediaannya diwawancara.
Kesempatan Jamal memperkenalkan kami kepada calon informan, peneliti juga menyempatkan untuk meminta kesediaan
mereka pada waktu yang lain saat peneliti akan datang wawancara. Hari itu, sejak Jamal memfasilitasi pertemuan peneliti
dengan beberapa pedagang, semua proses lanjutan berjalan
tanpa halangan berarti.
Akhirnya peneliti berkesempatan mengagihkan waktu,
disepakati dengan informan untuk proses wawancara. Kelima
informan itu terdiri dari tiga orang papalele, dan tiga orang
pedagang buah. Mereka masing-masing, mama Habsah Tuanaya
(57), diwawancarai di pasar Mardika, mengingat beliau lebih
sering di pasar. Mama Jackia Marasabessy (53) berasal dari
berasal dari Desa Kailolo, peneliti bertandang ke rumahnya di
Kelurahan Hunipopu. Mama Calasum Marasabessy (55) berasal
dari Desa Kabau, diwawancarai di rumahnya di desa Batu
Merah. Sementara tiga pedagang yaitu Thalib (44) berasal dari
desa Kabau Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Adam
(42), berasal dari Desa Manipa Kabupaten Seram Bagian Barat,
sedangkan Umar (67) berasal dari Pulau Buton Sulawesi
73

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Tenggara. Ketiga pedagang tersebut semuanya diwawancarai di
Pasar Mardika Ambon. Proses wawancara ketiga pedagang di
pasar Mardika dengan maksud, peneliti ingin melihat secara
langsung kegiatan antara mereka dengan papalele berlangsung.

Metode Penelitian Kualitatif
Penelitian ini akan menggunakan penelitian kualitatif
dengan model yang dipakai adalah studi kasus 13 . Tentang studi
kasus, berdasarkan Konferensi Cambridge 14 tahun 1976 menyebutkan (Liek Wilardjo, 1994: 4) bahwa:
“…studi kasus ialah istilah umum yang mencakup
serumpun metode penelitian yang sama-sama memumpunkan perhatian pada penelaahan di seputar suatu
kejadian”.

Lebih lanjut Wilardjo menyebutkan bahwa metode ini
berusaha memberikan penjelasan yang jujur dan seksama
tentang kasus tertentu sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pembacanya menembus ke dalam apa yang tampak ke
permukaan dan juga untuk memeriksa kebenaran tafsiran
penulisnya dengan meninjau sejumlah data objektif pilihan
yang sesuai, yang dijadikan tumpuan untuk membangun studi
Strategi-strategi penelitian hanya merupakan perangkat-perangkat;
tanggung jawab peneliti adalah memahami berbagai model yang tersedia dan
tujuan yang berbeda-beda dari masing-masing strategi agar peneliti bisa
menyadari sepenuhnya konsekuensi-konsekuensi yang muncul ketika dia
lebih memilih satu model dari pada yang lainnya, dan agar menjadi tegas dan
akurat dalam memilih satu model dari pada yang lainnya (Morse. Janice.M,
2009: 277).
14 Studi kasus mengalami perubahan istilah pada Konperensi Cambridge kedua
1980. Howard Becker dalam Konperensi tersebut ketika ditanya tentang
istilah yang digunakannya, dia menyebutnya dengan “tugas lapangan” (fieldwork), sambil menandaskan bahwa istilah tersebut hanya sedikit melengkapi
pemahaman tentang apa yang dilakukan seorang peneliti (Stake E. Roberth,
1997:299).
13

74

Pengalaman Penelitian bersama Informan

kasus itu. Pandangan Wilardjo terhadap studi kasus, serupa
dengan yang dikemukakan Yin (2002: 18), bahwa ciri khas
studi kasus dapat dibedakan dari strategi lain, karena studi
kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena
di dalam konteks nyata, bilamana batas-batas antara fenomena
dan konteks tak tampak tegas, dan di mana multi sumber bukti
dimanfaatkan.
Berdasar pada pandangan tersebut, studi kasus pada

papalele dimaksudkan untuk menggambarkan kasus yang diamati apa adanya berdasarkan kenyataan empiris dan menggambarkan apa yang sulit dari subjek, tetapi kenyataannya ada
(Suwondo et.al, 2008: 3; Muhadjir, 2000: 17). Dengan menjelaskan dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari atau
pengalaman subjektif akan memahami realitas kehidupan mereka, akan ditemukan berbagai perspektif pengetahuan (Berger
dan Luckman 1990:29-30).
Selanjutnya jenis penelitian yang digunakan adalah jenis
penelitian ekploratif dan eksplanatoris. Ekploratif dimaksudkan
untuk memahami fenomena yang dilakukan papalele terutama
yang terkait dengan sikap dan perilaku keseharian. Sementara
eksplanatoris dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena dan
realitas objek. Walaupun memang sangat dipahami bahwa
model studi kasus ini memiliki tingkat kesulitan tertentu, maka
untuk memastikannya diperlukan pengamatan secara berulangulang terutama kaitan antara persepsi dan perilaku informan.
Kedua hal ini akan sangat valid dan reliabel jika didukung pula
oleh fakta dan kasus-kasus tertentu yang terjadi.
Data penelitian ini tentu sangat menentukan, terutama
ketika akan mengkonstruksi dan menjelaskan fenomena yang
diamati. Untuk mendukung penelitian ini maka data yang
bersumber dari berbagai literatur perpustakaan dan dokumen75

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

dokumen pendukung sangat diperlukan sebagai data sekunder.
Selain itu informan kunci dijadikan sebagai data primer dalam
penelitian ini. Data primer yang akan gunakan ini hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, tokoh adat (saniri negeri) 15 ,
pemerintah desa yang memiliki pengalaman hidup sesuai
konteks, pedagang, akademisi, dan tokoh-tokoh sejarawan di
Ambon yang secara lengkap memahami akar dan budaya
lokal 16 .
Sementara sumber informasi dalam penelitian ini adalah
para papalele itu sendiri. Mereka akan dimanfaatkan untuk
mengungkapkan makna terkait dengan seluruh kegiatan keseharian yang dilakukan. Makna atas tindakan yang dilakukan
akan diungkapkan, direkonstruksi dan dianalisis untuk kemudian dikembangkan sesuai tujuan penelitian. Selanjutnya untuk
menguraikan bahwa satuan pengamatan (unit of observation)
adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data
dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan satuan analisis
(unit of analysis) dimaksud (Suwondo, 2008: 4; Ihalauw 2004:
178). Terkait dengan hal tersebut maka papalele sebagai sumber
informasi, sekaligus dijadikan unit pengamatan dan unit analisis. Penentuan satuan analisis ini dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Informan ditentukan secara sengaja
(Lin, 1976: 158-159).

Saniri Negeri adalah perangkat pemerintah yang ada di negeri-negeri di
Maluku sejak masa lalu dan hingga kini istilah ini masih digunakan (Mailoa,
2006:86).
16 Sumber-sumber informasi yang disajikan untuk memungkinkan pembaca
melihat bagaimana kesimpulannya dicapai dan juga untuk memungkinkan
dikembangkannya tafsiran-tafsiran alternatif. Walaupun wawancara dan
pengamatan, dan bahkan pemilihan dokumen yang dipakai dalam studi ini,
semuanya cenderung terpengaruh oleh pertimbangan subjektif dan prasangka
pribadi, tokoh sampai derajat tertentu objektivitas dapat dicapai dengan
mengungkapkan prasangka itu secara terbuka. Karena itu asas pemeriksaan
silang atas temuan-temuan dan wawancara dilakukan silang dengan dokumen
yang ada, dan sebaliknya (Wilardjo Liek, 1994:5).
15

76

Pengalaman Penelitian bersama Informan

Pendekatan ini sesungguhnya merupakan cara untuk
membangun dan menciptakan suasana yang lebih dekat dan
lebih bersifat kekeluargaan. Pertimbangan peneliti untuk berdiam dan menetap selama beberapa waktu di negeri Hatalae
didasari atas beberapa hal: (1) dengan menetap maka otomatis
akan merasakan suasana keseharian masyarakat dan akan lebih
dekat dengan aktivitas papalele, selain itu dengan sendirinya
peneliti menjadi subjek penelitian; (2) waktu dan kesempatan
yang akan digunakan untuk melakukan wawancara (indepth
interview) dengan papalele tidaklah terbatas secara formal,
mengingat hampir sebagian besar waktu yang digunakan para
papalele tersita di luar rumah, karena sejak pagi tinggalkan
rumah dan baru kembali setelah sore atau menjelang malam
hari; (3) pengamatan terhadap sikap dan perilaku tidak hanya
dilihat saat wawancara, tetapi harus diamati sejak awal mereka
mempersiapkan diri, memobilisasi sumber-sumber daya, persiapan keberangkatan ke kota, berjualan di kota atau pasar
hingga mereka kembali ke rumah, hal ini harus terus diamati
secara berulang-ulang; (4) pola interaksi sosial kemasyarakatan
dan kehidupan rutinitas di lingkungan tempat tinggal juga
menjadi perhatian peneliti, terutama dalam kaitan dengan
pengungkapan kasus-kasus tertentu yang berhubungan dengan
kegiatan papalele; (5) wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan kunci (key informan), terutama tokohtokoh masyarakat dan aparatur pemerintah negeri setempat
juga tidak terkendala oleh waktu, sehingga pada setiap kesempatan proses wawancara dapat dilakukan baik pada saat kegiatan pemerintahan sedang berlangsung di kantor negeri setempat
ataupun dapat memanfaatkan kesempatan pada saat si informan
telah berada di rumah.
Kelima pertimbangan ini sesungguhnya merupakan rangkaian pengambilan data lapang yang lebih menitikberatkan
77

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

kepada pengenalan peneliti terhadap latar belakang dan riwayat
hidup (life trajectory) papalele. Terutama habitus dari papalele
yang terbentuk melalui sikap dan perilaku dalam memaknai
kegiatan keseharian yang ditekuni dan merespons apa yang
dilakukan (Harker et.al, 1990: 13 dan Pariela, 2008: 293).
Terkait dengan pengambilan data tersebut, yang patut menjadi
perhatian adalah, bahwa memahami teknik-teknik yang tepat
perlu dipertimbangkan dalam pengumpulan data. Pertama,
karena data yang diperlukan harus sesuai dengan fenomena
yang dipermasalahkan; kedua, isue dan perspektif yang berbeda
akan memberikan sumbangan terhadap data; dan ketiga, waktu
digunakan secara efektif untuk mengumpulkan data (Glesne,
1999: 31).

Pengolahan dan Analisis Data
Kebosanan mempelajari, menyusun data dan mengetik
naskah sempat membuat hilangnya motivasi menulis. Situasi
seperti itu, wajar dan sering terjadi dengan kondisi seseorang
saat meneliti dan menulis. Tekun, sabar dan tetap bersemangat
harus menjadi bagian dalam proses ini. Tanpa diduga, situasi
stagnan dan bosan sempat penulis alami sekitar dua minggu,
sehingga penulis sempat tidak mengingat kesepakatan untuk
memasukkan perbaikan naskah kepada Promotor. Namun
demikian, situasi tersebut serta-merta hilang sekejap tatkala
Promotor mendatangi rumah penulis pada malam hari sekitar
pukul 20.30. Tanpa basa-basi beliau menanyakan perkembangan pengolahan data dan penulisan naskah yang sempat
kami sepakati. Kehadiran Promotor membuat penulis
‘terbangun’ dan termotivasi lagi untuk menyelesaikan tugas ini.
Data empiris yang sudah disusun pun didiskusikan
berempat. Kata yang tepat nampaknya harus peneliti arahkan
untuk ketiga pembimbing ini “luar biasa”, mengingat tugas dan
78

Pengalaman Penelitian bersama Informan

fungsi Promotor dan Ko-promotor tidak hanya mengkritisi dan
merevisi isi tulisan, tetapi melampaui semua hal tersebut.
Diskusi yang dilakukan tidak jarang menemukan hal-hal
menarik berupa ide yang tak terduga guna memperkaya isi
tulisan. Proses yang penulis lakukan bersama mereka ternyata
tidak sekedar merapikan dan membenahi isi tulisan, tetapi
suasana yang terbangun memicu peneliti untuk tetap bekerja
keras menyelesaikan tulisan disertasi ini.
Seluruh data primer hasil wawancara dan data sekunder
yang telah dikumpulkan serta catatan hasil pengamatan disusun
dan diolah sesuai peruntukannya. Setiap hasil wawancara
dengan informan dibuat dalam tabel matriks guna mempermudah menentukan tema-tema empiris setiap jawaban informan.
Tema empiris yang telah ditentukan kemudian disusun sesuai
konsepnya sehingga memudahkan memotret pola jawaban
informan. Pada tahap ini memang sangat membutuhkan
kecermatan dan kehati-hatian dalam memeriksa data sehingga
pada akhirnya penyusunan tema-tema tersebut dapat dikategorisasikan sesuai konsep.
Setelah tema-tema empiris tersusun, kemudian dilanjutkan dengan kategorisasi data berdasarkan konsep yang ditemukan. Karena sifat penelitian ini induktif, konsep tidak ditentukan sebelumnya, namun konsep disusun berdasarkan data yang
ditemukan. Keseluruhan tema yang tersusun menghasilkan
empat kategori konsep besar masing-masing. Pertama, kategori
tentang situasi dan kondisi ekonomi keluarga; kedua, asal mula
menjadi dan menjalani kegiatan papalele; ketiga kategori
tentang proses papalele dan jejaring yang dibangun oleh mereka
dalam berjualan; dan keempat, kategori mekanisme papalele
memperhanakan usaha selama masa konflik berlangsung di kota
Ambon. Setelah keempat kategori besar ini tersusun, kemudian
79

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

dilakukan proses analisis sehingga mendapatkan gambaran
tentang dinamika kehidupan informan dengan aktivitas
papalele yang ditekuni.

Penulisan Hasil
Mengkonstruksi kembali kehidupan keseharian papalele
dengan segala dinamikanya dalam bentu