Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB I

Bab Satu

Pendahuluan

Papalele
Ibu
Papalele
Ibu
Papalele

:
:
:
:
:

Usi, bali duriang ka? (Usi, mau beli duren?) …
duriang dar mana la? (duren dari mana ya?) …
duriang dari hatalae atas (duren dari desa Hatalae)..
brapa sa buah? (berapa harga sebuahnya?)..
tujuh stenga yang basar, yang kacil ni lima ribu


Ibu
Papalele

(yang besar harganya tujuh ribu lima ratus rupiah,
dan buah yang kecil, harganya lima ribu rupiah)…
: mahal paskali lawang? (mahal sekali ya?)...
: mo, usi mau bali brapa banya?,bisa tawar sadiki
to…(ya, Ibu berkeinginan membeli berapa banyak?
diitawar sedikit bisa!)”.

Penggalan percakapan ini terjadi sekitar bulan Oktober
2006 antara salah seorang papalele yang sementara berkeliling
berjualan dengan istri saya di depan teras rumah kami.
Percakapan yang serupa juga pasti terjadi dengan calon pembeli
lain, di tempat yang lain, bahkan terus berulang sepanjang hari.
Papalele seperti ini telah berlangsung sejak lama bahkan sejak
saya masih kanak-kanak. Mereka yang papalele sering terlihat
1


Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

berkeliling kota, baik di lingkungan perumahan masyarakat,
depan perkantoran hingga pasar-pasar tradisional di kota
Ambon.
Seiring berjalannya waktu, hingga kini orang-orang yang
menjalani hidup sebagai papalele masih terus beraktivitas.
Bahkan umumnya, kehadiran papalele yang menjual buahbuahan dan beberapa jenis bahan lain telah membantu masyarakat memenuhi keperluan rumah tangga. Wajar jika papalele
kadang-kadang ditunggu untuk pemenuhan kebutuhan yang
diperlukan, sehingga papalele semakin mendapat tempat dan
bertahan antar generasi.
Peristiwa di atas mengingatkan saya kembali tentang
pengalaman saat masih kanak-kanak lebih kurang 40-an tahun
lalu, istilah papalele sudah saya ketahui, dapat dikatakan
papalele telah hadir jauh sebelumnya. Pada saat itu, papalele
yang saya ketahui hanya terbatas bahwa papalele adalah orang
atau penjual yang biasanya berjualan berkeliling. Mengetahui
papalele karena sering mendatangi rumah kami, kehadirannya
untuk menawarkan buah-buahan yang dijual. Hal yang sama
juga dilakukan oleh keluarga dan tetangga terdekat untuk

membeli kebutuhan dari papalele. Memang selain papalele,
masih ada juga penjual lain yang juga berkeliling seperti tukang
mie bakso, tukang sate, tukang barang kelontong yang
menggunakan gerobak tertentu, atau tukang buah, dan juga
penjual kue keliling yang menjunjung dagangannya di atas
kepala. Para pedagang ini setiap hari — pagi hingga sore hari,
sering melewati jalan depan rumah.
Sepengetahuan saya, para penjual keliling ini—non
papalele, umumnya adalah warga pendatang yang berasal dari
berbagai kota di Pulau Jawa dan di Pulau Sulawesi dari luar

2

Pendahuluan

daerah Maluku. Ada juga tukang loakan1 yang berkeliling
mencari barang-barang rumah tangga bekas pakai atau barang
yang sudah rusak untuk dibeli, seperti baskom, kompor dan
sebagainya. Pada masa itu, ada juga tukang loakan yang
dilakukan orang lokal yang berasal dari Pulau Haruku, seperti

Desa Pelauw, Desa Kailolo dan Desa Kabauw di Kabupaten
Maluku Tengah. Tukang loak lokal pada masa itu sering disebut
dengan istilah “botol-karong2”.
Bagi saya dan masyarakat di Ambon secara umum, dengan
mudah dapat membedakan papalele dengan para pedagang
keliling. Secara kasat mata, fungsi berdagang yang dilakukan
keduanya tidak berbeda, sama-sama berjualan. Yang dicari dari
berdagang berkeliling tentu untuk mendapat sedikit keuntungan dari barang yang dijual. Tetapi perbedaan yang saya maksudkan lebih berkaitan dengan atribut yang dikenakan seperti
pakaian dan peralatan penunjang untuk berjualan. Saya sebagai
seorang yang terlahir di Ambon, pun masyarakat lainnya, tentu
lebih mengenal papalele sebagai penjual lokal. Artinya mereka
adalah orang-orang yang berasal dari desa-desa sekitar kota
Ambon dan bahkan dari desa-desa di Pulau Ambon dan Pulau
Saparua. Penggunaan pakaian dan peralatan berjualan secara
tegas membedakan papalele dan pedagang lain. Papalele
umumnya para ibu yang selalu mengenakan pakaian kebaya,
menjunjung di atas kepala, sejenis keranjang warna coklat
1 Di Pulau Jawa pada umumnya, para pedagang ini dikenal dengan istilah
“tukang roso”. Mereka biasanya mencari barang-barang rongsokan yang tidak
terpakai oleh rumah tangga.

2 Tukang “botol-karong” adalah orang yang berkeliling mencari dan membeli
barang bekas tidak terpakai. Barang yang dibeli khusus hanya ‘botol’ bekas
berbagai ukuran dan ‘karung’ goni atau plastik bekas. Sejauh yang saya masih
ingat, pada masa itu, harga satu buah botol dibeli dengan harga antara Rp25,
atau Rp50 per botol. Sementara harga karung bekas bervariasi antara Rp75,
sampai dengan Rp100. Para pedagang ini, sejauh yang saya ketahui, kegiatan
ini oleh orang asli di Maluku sudah tidak ditemui lagi.

3

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

kehitaman yang disebut ‘atiting’ atau ‘dulang3’—terbuat dari
bambu dan kayu. Sementara yang laki-laki biasa mendampingi,
berkaos dan bercelana pendek. Dengan demikian, pakaian dan
peralatan seperti inilah yang membedakan papalele dan
pedagang lain.
Rasa ingin tahu mengapa orang-orang yang menjalani
papalele masih ada dan aktif melakukan kegiatan seperti ini.
Pertimbangan ini yang menjadi dasar untuk mengetahui lebih

lanjut, mengapa mereka masih tetap bertahan berjualan. Yang
begitu mengherankan bagi saya adalah, kemampuan papalele
untuk bertahan dan eksis, sepertinya telah menjadi tradisi
dalam masyarakat. Kita bisa merasakan situasi ekonomi masa
kini yang penuh persaingan usaha tetapi dibarengi dengan
kemudahan-kemudahan yang difasilitasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Produk barang dan segala-galanya telah memanjakan konsumen. Tidak sesulit masa lalu, karena konsumen
sekarang mudah untuk menjumpai produk yang diinginkan.
Apalagi kekuatan ekonomi global dengan segala kemewahan
tawaran barang ekonomis mempengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat. Orang dengan mudah bisa mengakses pasar-pasar
modern, mendapatkan berbagai kebutuhan konsumsi secara
instan dan nyaman ketika berada dalam satu pasar modern.
Bukan tidak mungkin, ketika tawaran modernitas tersebut,
nilai-nilai ekonomi lokal akan terancam dan bahkan tersingkir
secara alami.
Pengalaman yang diceritakan di atas sesungguhnya merupakan salah satu contoh bahwa papalele masih beraktivitas.
Papalele menjalani kehidupan melalui berjualan berkeliling
tentu tidak tanpa alasan. Pasti terdapat pertimbangan yang
melandasi semangat mereka untuk berkeliling berjulan hanya
3


Atribut pakaian dan peralatan jualan akan dibahas pada bab-bab selajutnya.

4

Pendahuluan

untuk mencari tambahan penghasilan. Rumah tangga dan
keluarga adalah salah satu dari sekian alasan lainnya yang
mengharuskan mereka bekerja sebagai papalele.
Usaha papalele di Ambon dan Maluku pada umumnya,
baru mendapat sedikit perhatian melalui beberapa penelitian.
Karena itu sebelum saya lebih jauh membahas tentang konsep
penelitian ini, ada baiknya saya menyampaikan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hemat saya, berbagai
kajian atau penelitian telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, baik yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan
tentang adanya penelitian lain tentang papalele yang telah
dilakukan sebelumnya, tetapi terbatas untuk diakses. Namun,
secara umum beberapa penelitian yang diungkapkan di sini
dianggap cukup mewakili untuk menguraikan dan mendiskripsikan tentang papalele dan dinamikanya. Pengungkapan beberapa penelitian sebelumnya, bermaksud untuk menentukan
bahwa posisi penelitian yang saya lakukan berbeda dengan

penelitian sebelumnya.
Salah satu penelitian papalele di Kota Ambon dilakukan
oleh Souisa (1999) yang menyoroti aspek teologi perempuan
papalele. Oleh Souisa, penelitian ini difokuskan pada proses
berteologi secara kontekstual sebagai bagian dari pemaknaan
kehidupan komunitas papalele yang berdomisili di jemaat pinggiran Kota Ambon, dengan mencoba untuk mengerti berbagai
hal kehidupan para papalele. Proses aktualisasi pada kaum
perempuan pada dasarnya menuntut adanya solidaritas kaum
perempuan secara khusus. Pada bagian lain, Souisa (1999: 119122) melihat bahwa papalele merupakan bentuk wiraswasta
perempuan Ambon. Bentuk wiraswasta ini dilakukan melalui,
menjual buah yang alami dan seleksi yang ketat terhadap bahan
5

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

yang akan dijual. Lebih lanjut dikatakan bahwa di dalam
papalele terdapat usaha yang dimulai dari kecil, menggunakan
modal pribadi, memerlukan prinsip-prinsip tertentu seperti
inovasi dilakukan oleh individu yang berani menanggung
resiko, ulet, dan sebagainya. Bagi Souisa ini adalah bentuk

wiraswasta yang telah berkembang dalam masyarakat yang
sebagian besar diperani oleh kaum perempuan. Karena kondisi
yang serba terbatas itulah mereka berjuang untuk hidup melalui
papalele.
Penelitian yang dilakukan Sihasale (2003) menekankan
pada aspek jaringan dan ketahanan papalele dalam melakukan
distribusi dari desa ke kota dan antar pulau. Mengingat papalele
yang menjadi fokus penelitian berada pada wilayah pulau-pulau
di Maluku, khususnya pulau Saparua dan Lease. Guna menjaga
keberlanjutan usaha papalele, para aktor berani menantang
kondisi alam yang sering tidak kompromi terutama pada saat
mereka menggunakan transportasi laut pada musim gelombang
dan hujan. Kemampuan bertahan mereka karena terbangunnya
jaringan distribusi barang yang akan diperdagangkan ke kota.
Pada sisi lain, Sihasale berpendapat bahwa papalele tidak
hanya sebatas mendistribusikan barang dari desa ke kota, tetapi
juga membawa masuk berbagai barang kebutuhan dari kota
pasca penjualan. Barang yang dibeli di kota, biasanya dibawa
masuk ke desa. Baik untuk keperluan dan konsumsi keluarga,
tetapi juga barang yang kemudian akan dijual lagi di desa dan

desa sekitarnya.
Lebih lanjut dalam kajiannya Sihasale (2003: 48), disimpulkan bahwa jaringan perdagangan antar pulau dari para
papalele bertumpu pada dua aspek utama yakni ekonomi dan
aspek kultural. Aspek ekonomi, jaringan yang terbentuk adalah
sistem mata rantai proses perdagangan sederhana dan tidak
panjang. Gambaran mata rantai tersebut digambarkan bahwa:
6

Pendahuluan

petani atau nelayan membawa hasil dan dibeli oleh pembeli
lokal desa, selanjutnya dijual ke pasar tradisional desa dan
kemudian dibeli oleh para papalele, kemudian papalele
menjualnya di pasar kota kecamatan, kabupaten atau pun pasar
di pusat provinsi. Setelah papalele menjual hasil-hasil tersebut,
mereka kemudian membeli berbagai barang-barang kebutuhan
industri rumah tangga untuk dijual lagi sekembalinya di desa.
Masih menurut Sihasale, jaringan ini pada akhirnya
menjadi semacam saling ketergantungan antar mereka. Aspek
kedua adalah aspek kultural yakni jaringan dan hubungan yang

dijalin bersifat internal antar kelompok papalele karena faktor
kekerabatan. Multiplikasi kelompok papalele berada dalam lingkaran hubungan kekerabatan (hubungan darah) karena regenerasi yang terjadi. Hal ini untuk menjaga integritas klan mereka,
baik lingkaran keluarga terdekat maupun keluarga luas.
Sementara untuk aspek ketahanan Sihasale (2003: 49) menguraikan menurut aspek waktu. Lamanya seseorang menjadi
papalele dan terus bertahan merupakan satu bentuk ketahanan
atau daya tahan terutama saat krisis.
Penelitian yang tidak berbeda, dilakukan oleh Soselisa
(2008) yang mencoba mengungkap tentang papalele sebagai
budaya dan sistem ekonomi masyarakat di Maluku. Dalam
pembahasannya, ternyata hanya menggambarkan secara umum
papalele dan aktivitas ekonominya tanpa mengungkapkan
secara rinci temuan penelitiannya. Simpulan secara umum dari
hasil penelitian, menjelaskan bahwa papalele di Maluku
berbeda dengan daerah lain. Sistem ekonomi tradisional ini
dibedakan karena tiga hal. Yakni pertama, karena aspek geografis dan antar pulau, kedua, sarana transportasi darat dan laut
yang sering digunakan, dan ketiga, aspek budaya masyarakat
yang berada di pualu-pulau. Dari hasil penelitian yang dilaku7

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

kan Soselisa, sesungguhnya belum ditemukan pikiran-pikiran
utama yang secara rinci melandasi aktivitas papalele. Sekali lagi
apa yang diungkapkan Soselisa merupakan gambaran umum
yang terjadi di masyarakat Maluku dengan cara papalele sebagai
kegiatan ekonomi untuk kehidupan keluarga. Jika diperhatikan,
sesungguhnya kajian Soselisa cenderung tidak berbeda dengan
apa yang diungkapkan oleh Sihasale pada bahasan sebelumnya.
Indrawasih Ratna (1993) meneliti tentang peranan ekonomi wanita nelayan di Maluku. Alasan membantu suami
mencari tambahan penghasilan bagi keluarga merupakan alasan
umum para wanita dalam penelitian ini. Tiga desa menjadi
tujuan penelitian ini, yakni Desa Hitu Kabupaten Maluku
Tengah, Desa Sathean Kei Kecil Maluku Tenggara dan Desa
Nolloth Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Namun
kajian Indrawasih terfokus pada dua desa yakni Desa Hitu dan
Desa Sathean untuk melihat peran wanita mengupayakan
tambahan ekonomi keluarga. Mata pencaharian penduduk di
kedua desa ini berbeda. Desa Hitu penduduk umumnya mata
pencaharian sebagai petani. Saat lahan pertanian mereka selesai
panen, laut menjadi tujuan mencari tambahan penghasilan.
Sementara di Desa Sathean, umumnya mata pencaharian
penduduk sebagai nelayan. Walaupun demikian penduduk di
kedua desa tersebut melakukan pekerjaan sebagai nelayan telah
turun-temurun. Para wanita di kedua desa ini turut serta
bersama suami mencari tambahan penghasilan keluarga. Lebih
lanjut Indrawasih mengatakan bahwa bagi wanita di Desa Hitu,
menjual ikan secara berkeliling atau langsung ke pasar desa atau
pusat kota disebut "jibu-jibu”. Sementara wanita di Desa
Sathean peran wanita tidak berbeda dengan Desa Hitu. Mereka
pun menjual ikan di sekitar desa atau ke pusat kota secara
berkeliling. Sebutan untuk wanita penjual ikan di desa Sathean
disebut "papalele". Baik "jibu-jibu" maupun "papalele" selalu
8

Pendahuluan

menjual ikan hasil tangkapan para suami mereka, dan atau
membeli dari nelayan lain.
Masih menurut Indrawasih, khusus untuk Desa Sathean,
papalele bukan hanya menjadi pekerjaan wanita, tetapi laki-laki
merupakan orang pertama yang melakukannya. Sehingga kemudian papalele menjadi ciri pekerjaan yang dilakukan wanita
maupun laki-laki. Lebih lanjut dikatakan bahwa kata "papalele"
yang digunakan di Desa Sathean sesungguhnya berasal dari kata
"babudin". Menurut sejarahnya, kata babudin diambil dari nama
seorang laki-laki di desa itu yang pertama kali memulai usaha
sebagai seorang penjual. Dia kemudian menjadi inspirasi bagi
penduduk lainnya untuk melakukan pekerjaan yang sama. Baik
jibu-jibu di Desa Hitu maupun di Desa Sathean, perjumpaan
mereka dengan nelayan untuk membeli ikan dan kemudian
dijual lagi mempunyai ciri yang sama. Ikan yang akan dibeli,
harus menunggu kedatangan para nelayan saat pagi subuh. Hasil
tangkapan nelayan kemudian diambil untuk dijual dan pembayaran akan dilakukan pada sore hari. Bahkan tidak jarang,
jika para papalele tidak berhasil menjual ikan tersebut, maka
ikan akan ditukar dengan barang lain, seperti buah kelapa,
pisang atau patatas (potatos) kepada pemiliknya.
Kajian Indrawasih terhadap jibu-jibu di Desa Hitu dan

papalele di Desa Sathean sebetulnya merupakan bagian dari
proses perdagangan. Ketergantungan pada musim dan hasil
tangkapan ikan para nelayan membuat mereka tidak dapat
bertahan sepanjang tahun dalam proses ini. Penghasilan dari
hasil berjualan sangat ditentukan oleh musim. Hasil tangkapan
ikan yang banyak akan mempengaruhi penghasilan para jibujibu dan papalele.
Terkait istilah dan penamaan terhadap aktivitas papalele,
ada beberapa penelitian lain yang menyinggung tentang peran
9

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

papalele dalam masyarakat, khususnya di luar daerah Maluku.
Ketiga penelitian itu yakni Alimudin Ridwan (2005) di Mandar
Sulawesi Selatan, Cunningham Clark (Koenjaraningrat, 1984) di
Soba Timor Barat Nusa Tenggara Timur dan Lawang Roberth
(1995) di Cancar Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur. Ketiga
peneli-tian ini menjelaskan bahwa dalam masyarakat lokal
ketiga daerah tersebut, sebutan papalele digunakan bagi pelaku
ekonomi lokal.
Penelitian yang dilakukan Alimudin (2005) tentang
Orang laut orang Mandar Sulawesi Selatan lebih dititik-beratkan pada budaya orang mandar sebagai pelaut. Kemampuan
orang-orang sebagai pelaut tidak diragukan lagi oleh karena
keberanian mereka mengarungi laut dengan kapal-kapal yang
dibuat secara tradisional. Kehidupan mereka hanya di laut. Laut
menjadi ladang pekerjaan dan sumber penghasilan bagi kehidupan keluarga. Pengelolaan potensi hasil laut secara optimal
dimanfaatkan. Setelah mendapat hasil laut selama seharian,
nelayan Mandar akan menggunakan pa[p]palele untuk menjualnya. Pappalele4 dalam kajian Alimudin merupakan orang atau
kelompok orang yang turut memberikan kontribusi penghasilan
bagi nelayan-nelayan Mandar. Pappalele Mandar tidak menjadi
perhatian dan kajian utama. Tetapi dalam pandangan Alimudin,
pappalele Mandar menjadi sentra yang sudah sangat paham
waktu-waktu saat-saat kedatangan nelayan dengan hasil ikan
selesai melaut. Mereka akan menunggu berkelompok sesuai
waktu kedatangan. Sebelum ikan diserahkan ke para pappalele,
4 Makna kata papalele ada sedikit perbedaan antara kata papalele di Maluku
dan di Sulawesi Selatan, khususnya Mandar. Di sini kata pa[p]palele menggunakan dua huruf yang sama 'p'. Namun sesungguhnya fungsi dan peran tidak
berbeda. Alimudin (2005:139) kemudian menjelaskan bahwa kata pa[p]palele
bagi orang mandar memiliki arti. Kata pa[p]palele terdiri dari kata 'lele' yang
berarti pindah, dan mappalele berarti memindahkan. Jadi arti harafiah
pappalele adalah orang yang memindahkan. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh istri nelayan atau orang dari luar komunitas.

10

Pendahuluan

istri dari para nelayan akan menentukan harga jual untuk
kemudian diserahkan kepada para pappalele.
Bagi Alimudin (2005:140), pappalele Mandar sangat
menguntungkan nelayan. Nelayan tidak perlu memasarkan
hasil tangkapannya ke pasaran. Pappalele memiliki peran
penting dalam proses distribusi ikan dari nelayan ke penjual
ikan di pasar untuk kemudian ke konsumen. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pappalele Mandar ada dua jenis. Pertama,
pappalele yang terikat dengan punggawa posasi (nakhoda
perahu). Keduanya bermodalkan kepercayaan dan hubungan
kekerabatan. Ikan hasil tangkapan diambil sebagai pinjaman
dan akan dibayar setelah ikan tersebut terjual. Kedua, pappalele
yang memiliki modal cukup kuat untuk berusaha sendiri.
Semua hasil tangkapan punggawa atau sawi (anak buah perahu)
dibeli secara tunai. Sepintas jika mengkaji posisi pappalele
Mandar, sebetulnya peran mereka sebagai perantara. Hubungan
mereka dengan pemilik kapal atau nelayan yang lain hanya
untuk membeli ikan hasil tangkapan. Pappalele tidak langsung
berhubungan dengan konsumen. Pappalele akan menjual lagi
kepada penjual (pedagang) ikan di pasar-pasar tujuan.
Kajian lain dilakukan oleh Cunningham Clark tahun 1967
(Koentjaraningrat, 1984: 101-108) tentang Soba sebuah Desa
Atoni di Timor Barat. Cunningham lebih terfokus pada
kehidupan masyarakat di Desa Soba. Desa Soba merupakan
salah satu dari kira-kira 775 desa orang Atoni Pah Meto (Rakyat
Tanah Kering). Masyarakat desa Soba memiliki mata
pencaharian sebagai petani peladang. Tanaman pertanian yang
diusahakan seperti pinang, kacang area, pisang dan kelapa.
Selain kebun, halaman rumah dimanfaatkan juga untuk
menanam tanaman sayur seperti tomat, bawang merah dan ubi
kayu. Lebih lanjut, Cunningham (Koentjaraningrat, 1984: 109)
11

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

menguraikan tentang perjumpaan petani Soba dengan papalele
untuk tujuan menjual hasil pertanian mereka. Pada hari pasar
— Senin, hasil kebun dijual diangkut dengan kuda ke pasaran
oleh kaum laki- laki, wanita dan anak-anak. Di Pasar mereka
memamerkan bahan-bahan hasil bumi kepada tengkulaktengkulak dari Kupang. Para tengkulak inilah yang disebut
papalele. Semua hasil dijual kepada para papalele. Jika ada hasil
kebun yang tidak terjual habis, mereka akan menjualnya
langsung kepada konsumen atau pedagang lain seperti orang
Baun dan Tionghoa.
Bagi Cunnningham (Koentjaraningrat, 1984: 109), papalele pada umumnya terdiri dari orang-orang Rote atau Sabu.
Penampilan para papalele nampak dari pakaian yang mereka
pakai yang bergaya kota, ialah celana panjang, hem, sepatu dan
topi. Mereka umumnya terdiri dari orang-orang muda yang
berumur di antara dua-puluh sampai tiga-puluh tahun lebih
sedikit. Banyak di antara mereka yang belum kawin dan yang
telah kawin dibantu istri mereka. Kedatangan papalele di Baun
tak ada tujuan lain kecuali mencari uang sebanyak-banyaknya,
sikapnya sering sombong, mereka memandang rendah terhadap
penduduk desa, dan pada umumnya mereka tidak mengetahui
bahasa Atoni. Cunningham pun menjelaskan bahwa situasi
tersebut membuat orang desa, terutama kaum tua tidak simpatik
terhadap para papalele. Kaum tua membenci sikap papalele
yang "sok-kekota-kotaan". Kondisi sebaliknya bagi kaum muda
desa. Bagi kaum muda, sikap papalele merupakan contohcontoh bagi orang muda tentang dunia luar desa; dunia yang
telah mulai mendapat perhatian mereka, terdorong oleh
pendidikan sekolah mereka.
Kajian Cunningham (Koentjaraningrat, 1984) ini mengisyarakatkan perbedaan stratifikasi sosial antara masyarakat
Desa Soba dengan papalele. Pada masyarakat Soba, penampilan
12

Pendahuluan

papalele lebih menonjolkan sikap kemewahan sebagai pedagang
yang memiliki kemampuan keuangan yang membentuk
karakter diri. Sementara masyarakat desa tidak mengalami
situasi tersebut karena kehidupan yang sederhana dan apa
adanya. Papalele sebagai pedagang perantara memunculkan
perbedaan strata sosial yang berbeda.
Sementara penelitian yang dilakukan Robert Lawang 1989
di Cancar Manggarai Barat, tertuju pada stratifikasi sosial
masyarakat. Tiga dimensi stratifikasi sosial: privilesse, prestise
dan kekuasaan saling memiliki korelasi dan keeratan hubungan,
terutama yang berkaitan dengan ekonomi. Dalam kajian itu,
Lawang (2004:312-313) menunjukkan contoh bahwa pada
masyarakat terdapat jiwa wiraswasta, walaupun harus dimulai
dengan pekerjaan yang kecil sifatnya. Dengan berusaha secara
kecil-kecilan maka mobilitas sosial akan mengalami pergeseran
karena ada kemauan keras dalam mengelola usaha. Papalele
adalah contoh kasus yang ditunjukkan. Papalele merupakan
proses perdagangan yang diambil dari toko orang Tionghoa di
Ruteng dan dijual kembali kepada konsumen secara kredit.
Hasil penjualan diserahkan kepada pemilik barang, dan sisanya
merupakan keuntungan bagi papalele yang nilainya cukup
besar.
Ketiga penelitian tersebut di atas, sesungguhnya memiliki
perspektif berbeda yakni papalele sebagai bentuk pemaknaan
teologis (Souisa, 1999), dari ketahanan dan sistem ekonomi
masyarakat lokal secara umum (Sihasale, 2003; Soulissa, 2008,
dan Indrawasih, 1993). Secara spesifik ketiga penelitian tersebut
belum memunculkan kontribusi atas peran ekonomis di ruang
publik dan relasi dalam jaringan yang terbangun antar pedagang
lintas suku dan agama. Pada sisi lain, ketiga penelitian tersebut
tidak secara tegas menunjukkan pencapaian dan orientasi masa
13

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

depan sebagai bentuk implementasi hasil usaha. Sementara
penelitian yang dilakukan oleh Alimudin (2005), Cunningham
(Koentjaraningrat, 1984) dan Lawang (1989), sesungguhnya
menegaskan bahwa papalele dalam perspektif masing-masing
daerah tidak jauh berbeda peran yang dilakukan yakni sebagai
wiraswasta.
Tidak mudah untuk memahami eksistensi papalele ketika
berhadapan dengan tekanan ekonomi modern dewasa ini.
Sebagai pedagang kecil—papalele, peran dan kontribusi mereka
seakan terlupakan. Papalele seperti yang akan dijelaskan lebih
jauh, merupakan orang atau sekelompok orang yang berasal dari
daerah perdesaan, yang bermata-pencaharian dengan berjualan.
Posisi berjualan, biasanya dilakukan di pasar tradisional secara
menetap dan berkeliling dari rumah ke rumah dan dari satu
lingkungan pemukiman ke lingkungan pemukiman lainnya.
Usaha yang selama ini dilakukan tidak mengalami perubahan
dan perkembangan. Baik dari kuantitas maupun kualitasnya.
Pada sisi lain, dalam keterbatasan sebagai usaha, mereka
membuktikan diri bahwa proses berjualan masih tetap eksis dan
terus bertahan. Berbagai tantangan dan kendala serta tekanan
perubahan kondisi ekonomi keluarga dan maraknya proses
ekonomi modern tidak menggoyahkan usaha mereka.
Situasi yang telah dikemukakan, membuat munculnya
satu topik pertanyaan umum. Apa sesungguhnya kekuatan
papalele sebagai pedagang kecil (petty traders) sehingga mampu
bertahan dalam aktivitas ekonomi pasar?. Untuk menjelaskannya lebih lanjut secara kualitatif, maka beberapa pertanyaan
empirisnya adalah: (a) Bagaimana kondisi keseharian kehidupan
papalele dan rumah tangga? (b) Bagaimana proses menjadi papalele?, (c) Bagaimana pola pengelolaan usaha papalele? (d) Bagaimana dinamika usaha papalele selama masa konflik di Kota
Ambon?
14

Pendahuluan

Pertanyaan di atas menjadi acuan untuk menggambarkan
dan menjelaskan seluruh proses dan tujuan papalele. Pembahasannya diawali dengan deskripsi terhadap kondisi keseharian
kehidupan papalele dan rumah tangga. Dilanjutkan dengan
menjelaskan tentang keputusan individu menjadi papalele
sebagai pilihan terbaik bagi mata pencaharian rumah tangga.
Pada bagian akhir, akan dijelaskan tentang tujuan perjumpaan
papalele dan pedagang di tapal batas konflik ketika kondisi
keamanan yang belum benar-benar kondusif saat suasana
konflik di Ambon. Dalam suasana ketidak-stabilan karena
konflik, papalele tetap memberanikan diri untuk berjumpa dan
bertransaksi dengan pedagang di simpul perbatasan.
Dalam penelitian ini, akan saya uraikan benang merah
antara kemampuan bertahan usaha papalele dengan orientasi
masa depan dan status sosial. Bagi suatu usaha, satu hal yang
sesungguhnya sering didekatkan dengan berbagai pandangan
ilmu ekonomi, adalah setiap usaha sedapat mungkin harus
diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha
tersebut. Terutama pemupukan modal—investasi usaha di masa
depan (Hisrich et.al, 2008:520). Namun, bagi papalele, pencapaian ekonomi bukan tujuan utama. Tujuan utama papalele
adalah orientasi masa depan dalam bentuk jaminan hari tua dan
peningkatan status sosial keluarga. Atas dasar itu, temuan tersebut akan saya pumpunkan dalam konsep besarnya yang saya
sebut, kolaborasi usaha pedagang kecil.
Konsep kolaborasi atau kerjasama papalele adalah salah
satu bentuk daya tahan untuk melanggengkan usaha. Artinya
dalam usaha papalele, kolaborasi atau kerjasama merupakan
pilihan rasional yang memungkinkan papalele dapat bertahan.
Pengertian istilah kolaborasi atau kerjasama, secara umum
sering dikenal sebagai salah satu istilah yang digunakan dalam
15

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

dunia usaha. Intinya untuk menjelaskan pola hubungan kerjasama antara satu pihak dengan pihak lain. Kerjasama tersebut
dilakukan secara informal maupun formal. Dalam kerangka
kerjasama informal, biasanya tidak dalam ikatan tertentu,
sementara yang sifatnya formal, kerjasama diatur dengan seperangkat aturan. Kerjasama yang saling menguntungkan antara
produsen dan pembeli (Pinar dan Saneril, 2008:516).
Kolaborasi sebagai sebuah konsep, berhubungan dengan
kemampuan pelaku untuk membangun dan mengelola hubungan jaringan berdasarkan saling berkomunikasi, saling percaya
dan saling berkomitmen (Kirsimarja dan Levy, 2006:31). Pada
masa kini banyak contoh kasus yang menjelaskan tentang tujuan kolaborasi perusahaan-perusahaan besar dalam memasarkan
produk. Contohnya termasuk kolaborasi bisnis yang melibatkan
industri berbeda, atau kolaborasi antara perusahaan swasta dan
pemerintah (Mandeville, 2005:170). Termasuk kolaborasi strategis yang dilakukan antar mitra usaha, dengan sungguh-sungguh
dapat melaksanakan dan mengimplementasikan perencanaan
kegiatan bisnis dengan tujuan bersama meningkatkan kesejahteraan perusahaan untuk jangka panjang (Kim, 2010).
Sebelum lebih jauh membahas tentang dinamika papalele
itu sendiri, perlu ditegaskan terlebih dahulu penggunaan istilah
papalele. Penggunaan istilah papalele secara rinci akan dibahas
pada bab empat, namun demikian sebutan papalele digunakan
dalam setiap bahasan kadang mengandung dua pengertian yang
berbeda. Pengertian pertama berkaitan dengan atribut ‘orang’
yang melakukan kegiatan, dan kedua, berkaitan dengan fungsi
papalele itu sendiri yakni suatu aktivitas berjualan. Sehingga
dalam disertasi ini, penggunaan kata papalele akan dipakai
secara bergantian.
Hasil penelitian dalam bentuk disertasi ini akan menyajikan secara rinci tahapan dan proses yang diorganisasikan secara
16

Pendahuluan

berbeda pada setiap bab. Bab dua, akan saya fokuskan pada
tinjauan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Tujuan dari tinjauan literatur ini untuk memotret dan menjelaskan tentang empat konsep yang digunakan dalam penelitian,
masing masing mata pencaharian dan ekonomi rumah tangga
(livelihood and household economic), kewirausahaan (enterprenuership), identitas (identity), dan konsep tentang modal
sosial (social capital).
Bab tiga merupakan rangkaian penjelasan tentang metode
dan pengalaman saya selama penelitian berlangsung. Tentu,
untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid harus merujuk
pada seperangkat aturan metodologi. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan penelitian yang baik, memungkinkan
pengumpulan data dan informasi tidak diragukan. Lebih lanjut,
dalam bab ini akan saya uraikan pengalaman dan liku-liku
pengumpulan data. Mulai dari tahap memasuki lapangan
penelitian, melakukan proses wawancara hingga pengumpulan
data dan pengorganisasian data. Pengalaman yang tidak kalah
menarik adalah, ketika saya harus mendampingi empat orang
papalele untuk berjualan, sejak subuh hingga sore menjelang
malam baru kembali ke rumah. Secara rinci akan diulas semua
pengalaman lapangan pada bab ini.
Bab empat, secara umum akan membahas tentang konteks
papalele. Pada bagian awal dari bab ini, saya akan menguraikan
tentang istilah papalele dan sejarahnya. Kehadiran papalele
dalam masyarakat, pasti melalui suatu masa, sehingga kemudian
istilah papalele menjadi tradisi dan simbol bagi pedagang lokal
Ambon. Selain itu, seperti dipahami bahwa papalele dalam
aktivitasnya selalu berada dalam ruang publik. Sebagai warga
kota, papalele merupakan salah satu usaha yang turut berperan
serta dalam pengembangan ekonomi lokal di Kota Ambon.
17

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

Tentu papalele tidak hanya memanfaatkan sarana dan prasarana
publik yang disiapkan Pemerintah Daerah, tetapi papalele juga
turut berkontribusi bagi pembangunan.
Bab lima akan mendeskripsikan situasi kehidupan keseharian ekonomi rumah tangga para papalele yang serba terbatas.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka mengandalkan keuntungan dari hasil berjualan, meskipun kadangkadang keuntungan tidak sesuai yang diharapkan atau bahkan
keuntungan tidak diperoleh sama sekali. Sementara suami
penghasilan terbatas, dari bekerja sebagai petani atau pegawai
rendahan, sehingga penghasilan tidak banyak membantu.
Belum lagi jumlah anak yang banyak, dan kebutuhan biaya
pendidikan yang terus meningkat. Semua itu mempengaruhi
keuangan keluarga. Sehingga keluarga harus mengatasi kesulitan keuangan keluarga. Agar keluarga dapat bertahan hidup
dan memenuhi segala kebutuhan, papalele harus terus berlangsung, sambil membagi tugas antar anggota keluarga. setidaknya
dengan cara tersebut pengeluaran rumah tangga bisa dikurangi.
Bab enam akan mendeskripsikan proses seorang papalele
memulai dan menjalankan usaha. Menjadi papalele dilandasi
dan berititik-tolak dari motif ekonomis; tekanan kondisi
ekonomi keluarga. Pada umumnya mereka melakoni papalele
setelah menikah dan anak mulai bersekolah, kemudian sejak
remaja telah menekuni papalele karena turun-temurun dari
orang tua. Selanjutnya ada juga dengan alasan karena suami
telah meninggal dunia atau bercerai; dan ada pula yang menjadi
papalele setelah tidak lagi mendapat pekerjaan. Selain motif dan
alasan-alasan ekonomis tersebut, ada juga karena alasan norma
dan status sosial. Norma dan aturan sosial yang mengekang
mereka, sehingga tidak ada peluang mengakses pekerjaan lain.
Norma dan aturan sosial yang diwajibkan merupakan akibat
dari tingkat pendidikan rendah yang diperoleh; tidak tamat
18

Pendahuluan

Sekolah Dasar. Karena itu kepada mereka diwajibkan menggunakan ‘kebaya’ sebagai penanda simbol papalele, karena tidak
bersekolah lanjut.
Bab tujuh akan mendeskripsikan serangkaian proses dan
tindakan yang dilakukan para papalele dalam mengelola usaha
dan penggunaan peralatan yang dipakai, serta upaya mereka
membangun jejaring. Diawali dengan proses dan mekanisme
ketika mereka berusaha mempertahankan dan menjalankan
aktivitas papalele. Modal yang kecil dan keuntungan yang terbatas tidak menjadi penghalang. Sementara peralatan berjualan
yang dipakai sangat sederhana dan seadanya seperti bakul dan
barang dapur bekas pakai. Dengan kemampuan yang ada
mereka juga membangun jejaring dengan pedagang yang lain.
Aspek-aspek tersebut dilakukan agar usaha tetap bertahan
(survive). Sebagai satu entitas kelompok, mereka selalu mengutamakan kebersamaan dan tenggang rasa dalam berjualan agar
konflik tidak terjadi. Keunikan pada mereka diawali dengan
mencari buah ke pasar secara bersama. Selama mencari dan
akan membeli buah, satu dengan yang lain saling memperhatikan, agar kemungkinan membeli buah yang sama tidak terjadi.
Jika buah yang sama akan dibeli, maka salah satu dari mereka
memilih untuk membeli buah yang berbeda. Demikian pula
penentuan harga jual ditentukan secara bersama, agar tidak ada
perbedaan harga jual antar mereka.
Perjumpaan beresiko: transaksi di saat konflik adalah
topik bab delapan yang menguraikan proses-proses papalele
mengalami masa-masa sulit berkomunikasi dan bertransaksi di
sana. Secara khusus pada bab ini akan dijelaskan tentang upaya
dan usaha para papalele untuk tetap berjuang dalam suasana
konflik yang masih dan sementara berkecamuk di Kota Ambon.
Tekanan suasana konflik tidak menyurutkan usaha mereka
19

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

untuk tetap bisa papalele. Suasana konflik juga diabaikan untuk
tetap mempertahankan eksistensi usaha dan menjaga kelanjutan
kehidupan keluarga, sehingga mereka tetap survive.
Bab sembilan merupakan bab sintesis berbagai temuan
lapangan yang telah dipumpunkan ke dalam satu model. Secara
khusus bab ini akan saya tekankan pada interpretasi tentang
pertimbangan papalele memilih kolaborasi dari pada persaingan
sebagai strategi usaha. Model kolaborasi yang akan dideskripsikan merupakan penjabaran tentang proses kolaborasi yang dilakukan papalele. Dalam proses berdagang, papalele menghindari
kompetisi karena kemampuan usaha serba terbatas. Jika pilihan
kompetisi diikuti, sama dengan mengambil resiko—usaha akan
mati. Sebaliknya, papalele justru lebih memilih kolaborasi.
Pilihan ini bagi papalele lebih rasional karena lebih menguntungkan papalele. Dengan kolaborasi, papalele menunjukkan
daya lenting (resilience) untuk mewujudkan orientasi masa
depan bagi anak-anak dan status sosial.
Bab sepuluh merupakan bab terakhir dari rangkaian
disertasi ini. Penyajian isi pada bab ini lebih diarahkan pada
kontribusi hasil penelitian secara teoritis bagi pengembangan
keilmuan. Pada sisi lain, kontribusi hasil penelitian ini sudah
sewajarnya turut mewarnai pembahasan tentang proses pembangunan masa kini. Paling tidak, penelitian yang dihasilkan ini
dapat menunjukkan gagasan-gagasan penting yang dihasilkan
untuk memperkuat pembahasan tentang pembangunan yang
berkelanjutan. Khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pada aras lokal.

20