Desain DNA Probe Secara In Silico Sebagai Pendeteksi Daerah RRDR Gen rpOB Mycobacterium tuberculosis Untuk Metode Real-Time Polymerase Chain Reaction.
i
DESAIN DNA
PROBE
SECARA
IN SILICO
SEBAGAI
PENDETEKSI DAERAH RRDR GEN
rpoB
Mycobacterium tuberculosis
UNTUK METODE
REAL-TIME
POLYMERASE CHAIN REACTION
Skripsi
DEK PUETERI DEWI SURYANI
1208505085
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA
(2)
(3)
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “DESAIN DNA PROBE SECARA IN SILICO SEBAGAI PENDETEKSI DAERAH RRDR GEN rpoB Mycobacterium tuberculosis UNTUK METODE REAL-TIME POLYMERASE CHAIN REACTION” tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak berhasil tanpa dukungan, bantuan, serta bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu memberikan anugerah, tuntunan dan kekuatan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M. Si., selaku Dekan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana
3. Dr. rer. nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., Apt., selaku Ketua Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
4. Putu Sanna Yustiantara S.Farm., M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing I yang telah membantu dalam membimbing serta tak hentinya memberikan semangat dan dukungan hingga akhir penyusunan skripsi ini.
(4)
iv
5. Dr. Sagung Chandra Yowani, S.Si., Apt., M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah membantu dalam membimbing serta tak hentinya memberikan semangat dan dukungan hingga akhir penyusunan skripsi ini.
6. Rasmaya Niruri, S.Si., M. Farm. Klin., Apt., L. P. Mirah Kusuma Dewi, S. Farm., M.Sc., Apt. dan Ni Kadek Warditiani, S. Farm., M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah banyak membantu dalam membimbing penulis hingga akhir penyusunan skripsi ini.
7. Seluruh dosen pengajar beserta staf/pegawai di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis, terutama para staf yang telah banyak membantu dalam hal pengurusan surat dan kelengkapan administratif lainnya.
8. Kedua orang tua penulis, Putu Eka Winarsa dan Wahyu Hariyani, kakak sekaligus panutan bagi penulis, Gede Bagues Guna Harimbawan WB (Mas Rian), serta adik tercinta Sri Wisnu Opi Wulandari (Opik) yang tak pernah henti selalu mengingatkan, memberi dukungan, doa dan semangat hingga akhir penyusunan skripsi ini.
9. Keluarga besar Nengah Bendesa dan Soehari tersayang yang selalu mendukung dan memberikan semangat bagi penulis hingga akhir penyusunan skripsi ini.
10. Nenek penulis, Widyawati Bendesa dan Mulyati tersayang yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan semangat bagi penulis hingga akhir penyusunan skripsi ini.
(5)
v
11. Bibi tersayang penulis, alm. Nyoman Yudi Deli Astini “Bik Tini” yang tidak pernah lelah untuk selalu memotivasi penulis semasa hidupnya.
12. Sahabat seperjuangan penulis yaitu Masmitha, Dein, Pebri, Utik, Rika, Ayuk, Tata, Wichy, Krisnawan, Dewa, Sugi dan Lanang yang telah berjuang bersama sejak awal menginjakkan kaki di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
13. Tim TB, Rai, Ratih, Linda, Ebi dan Widya yang telah menjadi teman diskusi dan berbagai suka duka selama penyusunan skripsi.
14. Teman terdekat sekaligus panutan bagi penulis, Gede Agastya Aparigraha yang selalu mengingatkan dan memberi motivasi untuk mengerjakan skripsi ini sampai pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
15. Seluruh Mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana, khususnya Dioscuri Hygeia yang telah berjuang bersama penulis.
16. Semua Pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Jimbaran, Mei 2016
(6)
vi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
DAFTAR SINGKATAN SECARA UMUM ... xii
DAFTAR SINGKATAN ASAM AMINO ... xiii
DAFTAR ISTILAH ... xiv
ABSTRAK... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Tuberkulosis (TB) ... 9
2.2 Genomik M. Tuberculosis ...10
(7)
vii
2.4 Strategi Terapi Pasien dengan Resistensi Rifampisin ... 14
2.5 Mutasi Gen ... 17
2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 18
2.7. Real-Time Polymerase Chain Reaction (Real-Time PCR) ... 21
2.8 DNA Probe ... 21
2.9 Label TaqMan probe ... 26
BAB III METODE PENELITIAN... 29
3.1 Rancangan Penelitian ... 29
3.2 Batasan Operasional Penelitian ... 29
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30
3.4 Bahan Penelitian... 30
3.5 Alat Penelitian ... 31
3.6 Prosedur Penelitian ... 31
3.6.1 Pemilihan Sekuens Target Rancangan DNA Probe... 32
3.6.2 Perancangan DNA Probe ... 33
3.6.3 Analisis Hasil Rancangan DNA Probe ... 33
3.7 Penyimpulan Hasil Penelitian ... 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1 Pemilihan Sekuens Target Rancangan DNA Probe... 36
4.2 Hasil Perancangan DNA Probe Secara In Silico ... 37
4.3 Hasil Analisis Rancangan DNA Probe ... 40
4.3.1 Hasil Analisis Urutan DNA Probe ... 40
(8)
viii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
(9)
ix
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Terapi Penggunaan OAT Pasien dengan MDR-TB ... 15 Tabel 2.2 Tipe label Reporter dan Quencher untuk TaqMan probe ... 27
Tabel 3.1 Data Kriteria Primer yang Telah Didesain Secara In Silico
dengan Clone Manager Suite 6 ... 31
Tabel 3.2 Hasil Analisis Tahap Awal Desain DNA Probe Wild-type
Sensitif ... 34 Tabel 4.1 Hasil Rancangan DNA Probe Wild-type Sensitif Tahap Awal... 41
Tabel 4.2 Empat Sekuens DNA ProbeWild-Type Sensitif Terpilih dari
Analisis Tahap Awal ... 49 Tabel 4.3 Sekuens TaqMan probe Terpilih untuk Tahap Pelabelan ... 50
(10)
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Genom Lengkap M. tuberculosis H37Rv ... 11
Gambar 2.2 Diagram Skematik Prinsip Kerja Real-time PCR
Menggunakan TaqMan probe ... 24
Gambar 3.1 Pemetaan Urutan Nukleotida Daerah RRDR Gen rpoB M. tuberculosis yang Menjadi Target Perancangan DNA
Probe ... 33
Gambar 4.1 Contoh Analisis Run dan Repeats Pada Software
Clone Manager Suite 6... 43
Gambar 4.2 Analisis Struktur Hairpin (A) dan Gambar Hairpin yang
Terbentuk Pada ∆G Berbeda dengan Suhu yang Berbeda
(B dan C) ... 44 Gambar 4.3 Analisis Struktur Hairpin yang Sesuai dengan Kriteria
Berdasarkan Suhu Annealing Secara Eksperimental (A)
dan Hairpin Tidak Terbentuk Pada Suhu Annealing
60ºC (B) ... 46 Gambar 4.4 Contoh Analisis Dimer Pada Salah Satu Sekuens DNA
Probe ... 47
Gambar 4.5 Daerah Penempelan 4 sekuens DNA Probe yang Telah
Memenuhi Kriteria nilai TmºC untuk TaqMan probe ... 49
Gambar 4.6 Daerah Penempelan dan Pelabelan TaqMan probe WT
(11)
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Peta Urutan Nukleotida Gen rpoB Mycobacterium
tuberculosis H37Rv RNA-Polymerase Beta Subunit ... 63
Lampiran 2. Skema Kerja Prosedur Penelitian Desain DNA
Probe dan Analisis Hasil Rancangan ... 65
Lampiran 3. Rincian Data Rancangan DNA TaqMan probe
WT RRDR-24 Pada Software Clone Manager Suite 6 ... 67
(12)
xii
DAFTAR SINGKATAN SECARA UMUM
∆G : Energi Bebas bp : Base Pairs
DNA : Deoxyribonucleic Acid
dNTPs : Deoxynucleotide Triphosphates
HEX : 6-carboxy-2’,4,4’,5’,7,7’-hexachlorofluorescein
JOE : 6-carboxy-4’,5’-dichloro-2’,7’-dimethoxyfluorescein
MDR : Multi-Drug Resistant
mRNA : Messenger Ribonucleic Acid
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
pb : Pasang Basa
PCR : Polymerase Chain Reaction
PNA : Peptida Nucleic Acid
Q : Quencher
R : Reporter
RNA : Ribonucleic acid
RRDR : Rifampicin Resistant – Determining Region
TB : Tuberkulosis
TET : 6-carboxy-2’,4’,7,7’-tetrachlorofluorescein
TmºC : Temperature Melting
WHO : World HealthOrganization
(13)
xiii
DAFTAR SINGKATAN ASAM AMINO
A : Alanin C : Sitosin
D : Asam Aspartat F : Fenilalanin G : Guanin H : Histidin I : Isoleusin L : Leusin M : Metionin N : Asparagin P : Prolina S : Serin Q : Glutamin R : Arginin T : Treonina V : Valin W : Triptofan Y : Tirosin
(14)
xiv
DAFTAR ISTILAH
Amplifikasi DNA : Perbanyakan DNA Amplikon : Produk amplifikasi DNA
Asam Amino : Unit monomer penyusun protein yang dihubungkan melalui ikatan peptide
DNA Template : DNA untai ganda yang membawa urutan basa
fragmen atau gen yang akan digandakan Gen : Urutan DNA yang menyandi suatu protein
Kodon : Deret nukleotida pada mRNA yang terdiri atas kombinasi tiga nukleotida berurutan yang menyandi suatu asam amino tertentu
Mutasi : Terjadinya perubahan basa dari urutan nukleotida yang lazim dari suatu sekuens DNA organisme yang dapat menyebabkan perubahan sifat fenotip
Nukleotida : Unit monomer pembentuk DNA
PCR : Teknik amplifikasi sekuens DNA dengan
menggunakan reaksi enzimatis
Primer : Oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan
nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA template
Probe : Molekul asam nukleat yang memiliki afinitas kuat
(15)
xv RNA sekuens
Resistensi : Hilangnya kepekaan bakteri terhadap obat yang sebelumnya dapat membunuh bakteri
RNA Polimerase : Enzim yang diperlukan dalam proses sintesis RNA dari DNA
Sekuens Nukleotida : Urutan nukleotida
Transkripsi : Proses pembentukan RNA dengan menggunakan DNA sebagai templat
Wild-type : Bakteri yang tidak mengalami mutasi dan digunakan
sebagai sekuens pembanding terjadinya mutasi
(16)
xvi ABSTRAK
Mutasi pada rifampisin ditemukan sebanyak 96,1% pada daerah RRDR (kodon 507-533). Deteksi secara molekuler adanya mutasi dapat dilakukan dengan metode real-time PCR menggunakan DNA probe spesifik. Penelitian ini
bertujuan untuk mendesain DNA probe yang mampu mendeteksi urutan wild-type
yang dapat didesain secara in silico dan dilabel dengan metode TaqMan. Desain
DNA probe dilakukan dalam dua tahap analisis. Pertama, analisis DNA probe
berdasarkan kriteria DNA probe secara umum. Kedua, analisis DNA probe
berdasarkan kriteria TaqMan probe.
Hasil dari penelitian ini, diperoleh 27 sekuens yang memenuhi kriteria DNA
probe secara umum. Dari 27 sekuens tersebut diperoleh 4 sekuens berdasarkan
seleksi kriteria nilai TmºC yang dipersyaratkan TaqMan probe. Empat sekuens
tersebut yaitu WT RRDR-18 (5'-AG CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG AAC A-3'), WT RRDR-19 (5'-G CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG AAC AA-3'), WT RRDR-23 (5'-G CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG AAC AAC-3') dan WT RRDR-24 (5'-CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG AAC AAC C-3'). Dari keempat sekuens tersebut, diperoleh satu sekuens terpilih yaitu WT RRDR-24. Sekuens yang terpilih memiliki posisi basa G yang berada pada urutan basa ke-3 dari ujung 5’ serta memiliki jumlah basa C lebih banyak dibandingkan basa G. Hal tersebut akan memudahkan proses pelabelan, karena memberi kesempatan bagi reporter (FAM) dapat ditempelkan pada ujung 5’ dan quencher (TAMRA)
pada ujung 3’.
Kesimpulan dari penelitian ini, telah diperoleh 4 sekuens DNA probe yang
memenuhi kriteria nilai TmºC untuk TaqMan probe. Dari keempat sekuens
tersebut diperoleh satu sekuens terbaik yang telah sesuai dengan kriteria TaqMan probe, yaitu desain probe WT RRDR-24 yang dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya mutasi pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis untuk metode real-time PCR.
(17)
xvii ABSTRACT
Mutations in rifampicin was found 96.1% in the area of RRDR (codons 507-533). Molecular detection of mutation can be performed by real-time PCR using
specific DNA probe. The purpose of this research was design a DNA probe by in silico based on TaqMan probe labeling that can detect wild-type sequence. Design
of DNA probe was performed in two step of analysis. The first, analysis of DNA probe based on general criteria of DNA probe. The second, analysis of DNA probe based on TaqMan probe criteria.
The results of this study, were 27 sequences of DNA probe obtained. All of
sequences were meet to general criteria of DNA probe. There were 4 sequences of
27 sequences which were based on TmºC value meet the TaqMan probe criteria.
The probe were WT RRDR-18 (5'-AG CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG
AAC A-3'), WT RRDR-19 (5'-G CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG AAC AA-3'), WT RRDR-23 (5'-G CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG AAC AA3') and WT RRDR-24 (5'-CTG AGC CAA TTC ATG GAC CAG AAC AAC C-3'). Within 4 sequences, one selected sequences was WT RRDR-24. It had G bases position at 3rd base and the number of C bases more than the G base. It will be easier for labeling process, therefore it allowed reporter (FAM) to be attached
to the 5 'end and quencher (Tamra) at the 3' end.
The conclusion of this study, there were 4 sequences of DNA probe which
were meet to TmºC value of TaqMan probe criteria. Within 4 sequences, one of
the best sequences that meet to criteria of TaqMan probe has been selected. It was
WT RRDR-24, that can be used to detect mutation in the area RRDR of M. tuberculosisrpoB gene for real-time PCR method.
(18)
(19)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pada umumnya menyerang paru-paru
(pulmonary tuberculosis), selain paru-paru bakteri ini juga dapat menyerang
bagian organ lain di dalam tubuh (extrapulmonary tuberculosis). TB dapat
menyebar di udara saat orang yang terjangkit mengalami batuk, sehingga droplet akan mudah terbawa oleh udara (WHO, 2015).
WHO (2015) melaporkan bahwa lima negara yang memiliki jumlah terbesar kasus TB pada tahun 2014 adalah India, Indonesia, Cina, Nigeria dan Afrika Selatan. India, Indonesia dan Cina menyumbang total 43% dalam kasus global pada tahun 2014. Diperkirakan pada tahun 2014 Indonesia mengalami peningkatan jumlah kasus TB dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya, yaitu sekitar 1 juta kasus baru setiap tahunnya.
Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan melakukan pemberian obat antituberkulosis (OAT) yang tepat. Namun saat ini ditemukan adanya galur M. tuberculosis yang resisten terhadap beberapa jenis OAT, galur ini disebut galur Multi Drug Resistant TB (MDR-TB). MDR-TB adalah resistensi yang terjadi
terhadap dua jenis OAT lini pertama yang efektif yaitu isoniazid dan rifampisin (WHO, 2015). WHO memperkirakan pada tahun 2013, di Indonesia terdapat kasus MDR-TB sebanyak 6.800 kasus baru setiap tahun. Diperkirakan 2% terjadi dari kasus TB baru dan 12% dari kasus TB dengan pengobatan ulang, selain itu
(20)
2
lebih dari 55% pasien dengan MDR-TB belum terdiagnosis ataupun mendapat pengobatan yang tepat (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Angka kematian akibat tuberkulosis yang akan berkembang menjadi MDR-TB diperkirakan sejumlah 480.000 kasus, sehingga menjadi masalah serius yang penting untuk ditangani (WHO, 2014).
Rifampisin merupakan OAT lini pertama yang bersifat bakterisidal terhadap
M. tuberculosis (Katzung, 2006). Karakteristik penting dari rifampisin yaitu dapat
melawan secara aktif pertumbuhan basil M. tuberculosis dan memperlambat
metabolisme basil (Silva dan Palomina, 2011). Mekanisme rifampisin adalah menghambat sintesis RNA M. tuberculosis dengan cara mengikat sub unit β RNA
polimerase. Jika terjadi perubahan asam amino penyusun protein yang mengkode
sub unit β RNA polimerase, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan
konformasi ikatan obat rifampisin yang dapat mempengaruhi afinitasnya. Hal ini akan menyebabkan proses transkripsi masih dapat berlangsung karena kerja rifampisin menjadi tidak optimal, sehingga M. tuberculosis menjadi resisten
(Katzung, 2006; Silva dan Palomina, 2011).
Dilaporkan dari beberapa penelitian yang dilakukan mengenai resistensi rifampisin, bahwa 90% penderita TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid. Berdasarkan alasan ini, maka resistensi rifampisin merupakan surrogate marker untuk MDR-TB (Lewis et al., 2002; Syaifudin dkk.,
2007; Silva dan Palomina, 2011). Penelitian lain menyatakan bahwa 96,1% mutasi yang terjadi pada rifampisin ditemukan di daerah Rifampicin Resistance Determining Region (RRDR), yaitu pada fragmen 81 pb yang mencakup kodon
(21)
3
507-533 pada gen rpoB (Ramaswamy dan Musser, 1998). Sun et al (2009)
melaporkan bahwa mutasi pada daerah RRDR terjadi perubahan asam amino pada kodon H526D/Y/R/L, S531L, D516V dan L533P. Frekuensi mutasi yang sering terjadi pada RRDR telah dilaporkan sebanyak 46,1% pada kodon 526 dan 38,2 % pada kodon 531, sedangkan sisanya 6,9 % pada kodon 516 dan 2,9 % pada kodon 533 (Sun et al., 2009). Pada studi tersebut disimpulkan bahwa keempat kodon
tersebut merupakan titik mutasi mayor yang sering terjadi pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis untuk resistensi rifampisin.
Penelitian yang dilakukan oleh Titov et al (2006) di Belarus juga melaporkan
bahwa frekuensi mutasi yang terjadi pada kodon 526 sebanyak 45,4%, pada kodon 531 sebanyak 29% dan kodon 516 sebanyak 9,1 %. Penelitian ini membandingkan penelitian yang dilakukan oleh Hirano et al (1999), khususnya
untuk mutasi yang sering terjadi pada kodon 516 dari isolat beberapa negara di Asia. Penelitian ini menyatakan bahwa telah ditemukan mutasi dengan frekuensi tertinggi untuk kodon 516 yaitu sebanyak 14,4% dan merupakan mutasi tertinggi pada kodon 516 untuk beberapa negara di Asia (Hirano et al., 1999).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Yasmin et al (2014), Valim et al (2000)
dan Khosravi et al (2012) beberapa mutasi yang sering terjadi pada daerah RRDR
juga ditemukan pada kodon L511P, S512A/T, Q513P, F514V, M515I, Q517P, L521P, S522L, L524W dan T525P. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Mani et al (2001), mutasi di daerah RRDR juga ditemukan pada kodon N518H
dan pada penelitian Wang et al (2013) juga ditemukannya mutasi baru, yaitu
(22)
4
isolat diketahui terjadi perubahan asam amino pada kodon Q510R, D516Y, H526L dan S531L, (Pradnyaniti, 2013; Rusyanthini, 2013, Wijaya, 2013).
Dalam mengatasi resistensi yang terjadi pada kasus MDR-TB, maka diperlukan metode deteksi yang cepat untuk memberikan terapi yang tepat bagi pasien sesegera mungkin, untuk mendeteksi terjadinya mutasi pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis. Sebelumnya metode yang sering digunakan untuk
melakukan deteksi yaitu metode PCR konvensional. Namun metode PCR konvensional tidak sepenuhnya efisien, maka dari itu diperlukan adanya pengembangan variasi metode PCR untuk meningkatkan efisiensi deteksi, salah satunya yaitu metode real-time PCR (Turner et al., 2005). Menurut penelitiaan
yang dilakukan oleh Siregar et al (2012) mengenai pengembangan real-time PCR,
perbandingan metode real-time PCR dengan metode PCR konvensional
berdasarkan hasil analisis memiliki tingkat kepercayaan 95% dan sensitivitas antara PCR real-time dengan metode konvensional tidak berbeda secara
signifikan. Walaupun demikian, tidak seperti metode PCR konvensional lainnya, metode PCR real-time memiliki keunggulan dapat mendeteksi patogen secara
kualitatif maupun kuantitatif, sedangkan metode PCR konvensional hanya memiliki kemampuan mendeteksi patogen secara kualitatif saja (Ramirez et al.,
2010; Siregar et al., 2012).
Metode real-time PCR menggunakan beberapa komponen seperti halnya PCR
konvensional, salah satu komponen yang membantu proses deteksi yaitu DNA
probe. DNA probe adalah agen pendeteksi dalam real-time PCR, berupa molekul
(23)
5
target DNA atau RNA sekuens (Walker dan Rapley, 2005). Salah satu probe yang
biasanya sering digunakan pada metode real-time PCR yaitu TaqMan probe. TaqMan probe adalah jenis probe hidrolisis, probe ini merupakan oligonukleotida
standar yang dapat berikatan secara kovalen dengan reporter pada ujung 5’ dan quencher pada ujung 3’. TaqMan probe dirancang spesifik untuk mengikat DNA
target dengan reporter pewarna fluoresen di salah satu ujung dan quencher
sebagai pemadam fluoresen pada ujung yang lainnya (Dorak, 2007). Keunggulan dari TaqMan probe yaitu desain dan sintesisnya lebih mudah dibandingkan jenis probe lainnya (Navaro et al., 2015). Pemilihan probe merupakan langkah awal
untuk memperoleh probe terbaik yang digunakan untuk metode real-time PCR,
yakni menggunakan metode in silico dengan bantuan perangkat lunak komputer
yang akan menghasilkan beberapa desain DNA probe (Ram et al., 2008).
Pada penelitian ini difokuskan untuk mendesain atau merancang sebuah DNA
probe wild-type sensitif yang nantinya akan menghasilkan beberapa pilihan DNA probe, sehingga memudahkan untuk memilih DNA probe berdasarkan kriteria probe terbaik secara umum. Hasil rancangan DNA probe akan diseleksi untuk
mendapatkan DNA probe terbaik berdasarkan pustaka yang sesuai dengan kriteria
pelabelan TaqMan probe. TaqMan probe yang terpilih akan digunakan untuk
metode real-time PCR dan diharapkan dapat membantu proses deteksi adanya
mutasi di daerah RRDR pada kasus resistensi gen rpoB M. tuberculosis.
Keuntungan dari desain DNA probe menggunakan metode in silico, yaitu lebih
ekonomis dan cepat (Zhang et al., 2007). Metode in silico dapat digunakan untuk
(24)
6
penempelan primer maupun probe (D’haene et al., 2010). Hal ini akan
memudahkan peneliti untuk mengetahui lebih dini bahwa DNA probe yang
didesain telah memenuhi kriteria probe terbaik dan dapat mendeteksi adanya
mutasi pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis dengan tepat menggunakan
metode real-time PCR.
Daerah mutasi yang dipilih dalam melakukan perancangan DNA probe pada
penelitian ini adalah daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis yang mencakup
kodon 511, 512, 513, 514, 515, 516, 517, 518 dan 519. Pemilihan kodon pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis sebagai target perancangan DNA probe
berdasarkan ditemukannya mutasi dan merupakan kodon yang memiliki frekuensi mutasi yang sering terjadi serta berkaitan dengan beberapa kasus resistensi rifampisin (Valim et al., 2000; Sun et al., 2009; Yasmin et al., 2014).
Perancangan DNA probe dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Clone Manager Suite 6 yang memberikan variasi rancangan DNA probe. Hasil
rancangan akan dianalis berdasarkan kriteria probe terbaik secara umum yang
meliputi, panjang nukleotida DNA probe optimum 18-30 basa dengan kandungan
GC sebesar 40-60%, nilai TmºC probe harus lebih besar dibandingkan dengan
nilai TmºC primer, tidak terdapat daerah yang komplemen terhadap probe yang
menyebabkan terbentuknya struktur hairpin dan struktur dimer, runs dan repeats
disarankan kurang dari 4 basa (Walker dan Rapley, 2005; McPherson dan Moller, 2006). DNA Probe terbaik yang diperoleh pada analisis tahap awal akan dianalisis
kembali berdasarkan kesesuaian DNA probe tersebut dengan kriteria pelabelan TaqMan probe untuk metode real-time PCR, yang meliputi posisi basa G yang
(25)
7
disarankan berada pada urutan basa ke-3 dari ujung 5’ dan jumlah basa C harus
lebih banyak dibandingkan dengan basa G (McPherson dan Moller, 2006; Rychlik, 2010)
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusun beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah urutan DNA probe yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya mutasi yang terjadi pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis?
1.2.2 Bagaimanakah kesesuaian hasil rancangan DNA probe terbaik
berdasarkan kriteria TaqMan probe untuk metode real-time PCR?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mendapatkan urutan DNA probe yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya mutasi yang terjadi pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis.
1.3.2 Untuk mengetahui kesesuaian hasil rancangan DNA probe terbaik
berdasarkan kriteria TaqMan probe untuk metode real-time PCR.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai rancangan DNA probe terbaik yang digunakan untuk mendeteksi adanya mutasi pada daerah
RRDR gen rpoBM. tuberculosis, yang nantinya dapat membantu proses diagnosis
(26)
8
tepat. Selain itu hasil DNA probe terbaikyang dirancang dapat digunakan sebagai
(27)
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil gram-positif yang tahan asam dengan pertumbuhan lamban yaitu Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis sebagian besar (80%) menyerang organ paru-paru
dengan gejala batuk kronis, demam, berkeringat malam, keluhan pernafasan, letih dan berat badan yang terus menurun. Penularan TB dapat melalui udara saat orang yang terjangkit TB mengalami batuk dan mengeluarkan droplet (percikan dahak) mengandung basil sehingga akan dengan mudah ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernafasan. Bakteri M. tuberculosis dapat bertahan beberapa jam
dalam kondisi panas lembab (Tjay dan Rahardja, 2005).
Pengobatan TB pada umumnya dibagi menjadi obat-obatan primer dan sekunder. Adapun obat-obatan primer yang digunakan yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamida, dan etambutol. Obat-obat ini merupakan obat yang paling efektif dengan toksisitas rendah, namun sering kali mengalami resistensi jika diberikan secara tunggal. Maka dari itu dilakukan terapi kombinasi 3-4 obat untuk menghindari terjadinya resistensi (Tjay dan Rahardja, 2005). Sedangkan untuk obat sekunder yaitu streptomisin, klofazimin, fluorkinolon dan sikloserin. Namun obat ini memiliki efek yang lemah dan lebih toksik daripada obat primer, sehingga hanya digunakan apabila terjadi resistensi atau intoleransi terhadap obat-obatan primer pada pasien TB (Tjay dan Rahardja, 2005).
(28)
10
Penggunaan obat yang tidak tepat oleh pasien TB sering kali terjadi, karena mereka merasa telah sembuh dan mengabaikan kewajiban mereka untuk menyelesaikan terapi. Hal ini menyebabkan terapi yang disarankan pada pasien tidak berjalan dengan baik sehingga menyebabkan gagal dalam terapi dan akan memicu terjadinya resistensi (Tjay dan Rahardja, 2005). Multi-Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) merupakan resistensi yang terjadi terhadap OAT lini
pertama yang paling efektif yaitu isoniazid dan rifampisin (WHO, 2015). Pengobatan pada pasien dengan MDR-TB membutuhkan waktu terapi yang lama yaitu 2-3 tahun (Dipiro et al., 2008) dengan menggunakan OAT sekunder seperti
streptomisin, klofazimin, fluorkinolon dan sikloserin (Tjay dan Rahardja, 2005). 2.2 Genomik M. tuberculosis
Genom H37Rv M. tuberculosis terdiri atas 4,4 X 106 bp dan 4000 gen
(Gambar 2.1). Genom M. tuberculosis memiliki fitur yang unik dan lebih dari 200
gen yang menyandi enzim untuk metabolisme lemak yang terdiri atas 6% dari
totalnya. Sekitar 100 diantaranya diperkirakan berfungsi dalam β-oksidasi dari asam lemak, sedangkan untuk E. coli memiliki 50 enzim yang akan terlibat dalam
metabolisme asam lemak. Sejumlah besar enzim M. tuberculosis diduga
menggunakan asam lemak untuk tumbuh di dalam jaringan host yang terinfeksi. Hal ini menyatakan bahwa asam lemak merupakan sumber karbon utama bagi patogen (Smith, 2003).
(29)
11
Gambar 2.1 Genom Lengkap M. tuberculosis H37Rv (Smith, 2003)
2.3 Mekanisme Resistensi Rifampisin (RIF)
Rifampisin merupakan antibiotik semisintetik dari derivat rifamycin yang
diperoleh dari Streptomyces mediterranei. Rifampisin merupakan bakterisidal
yang dapat membunuh mycobacterium. Antibiotik ini cepat berpenetrasi ke dalam
jaringan dan masuk ke dalam sel fagosit. Antibiotik ini juga digunakan untuk membunuh beberapa organisme yang tidak dapat diakses oleh antibiotik lainnya, seperti mikroorganisme intraselular (Katzung, 2006). Berdasarkan hasil uji in vitro yang dilakukan, diketahui bahwa antibiotik ini aktif dalam melawan bakteri
gram-negatif maupun gram-positif, seperti beberapa bakteri tifus, mycobacterium
dan klamidia. Rifampisin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme kurang dari 1 µg/ml dan diperkirakan pada frekuensi 1:106 terjadi resistensi pada semua jenis mikroba (Katzung, 2006).
(30)
12
Rifampisin mampu berikatan dengan subunit β RNA polimerase DNA
-dependent sehingga menghambat sintesis rantai RNA. Resistensi dapat terjadi di
beberapa poin mutasi pada gen rpoB yang merupakan pengkode sub unit β dari
RNA polimerase. Jika terjadi mutasi pada gen ini akan mencegah rifampisin untuk dapat berikatan dengan RNA polimerase (Katzung, 2006). Sebagian besar isolat pada M. tuberculosis resisten pada rifampisin dengan cara menunjukan terjadinya
mutasi pada gen rpoB yang mengkode subunit β dari RNA polimerase. Hal ini
menyebabkan perubahan konformasi ikatan obat yang akan mempengaruhi afinitas dari obat tersebut, sehingga mengakibatkan resistensi menjadi semakin berkembang (Telenti et al., 1993; Silva dan Palomina, 2011). Beberapa penelitian
lain yang berkaitan dengan resistensi rifampisin menyatakan hampir semua strain yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, sehingga resistensi dari rifampisin dapat dikatakan sebagai surrogate marker untuk
MDR-TB (Traore, 2000; Silva dan Palomina, 2011).
Pada resistensi rifampisin, ditemukan lebih dari 95% mutasi pada M. tuberculosis terjadi di daerah 81 pb yang dikenal dengan daerah Rifampicin Resistant Determining Region (RRDR). Mutasi ini menandakan bahwa level
resistensi tertinggi terjadi pada daerah ini (Ramaswamy dan Musser, 1998; Comas
et al., 2012). Wilayah RRDR mencakup kodon 507-533 (Ramaswamy dan
Musser, 1998; Silva dan Palomina, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Sun et al (2009), menyatakan bahwa terjadi perubahan asam amino pada kodon 526, 531,
516 dan 533 yang berkaitan dengan resistensi rifampisin. Telah dilaporkan bahwa keempat kodon tersebut merupakan titik mutasi mayor yang sering terjadi dengan
(31)
13
frekuensi mutasi sebanyak 46,1% pada kodon 526 dan 38,2 % pada kodon 531, sedangkan sisanya pada kodon 516 sebanyak 6,9 % dan 2,9 % pada kodon 533 (Yue, 2004). Beberapa penelitian lain juga menemukan kodon yang sering mengalami mutasi dan berkaitan dengan resistensi rifampisin, yaitu kodon 511, 512, 513, 514, 515, 516, 517, 518, 519, 521, 524 dan 525 (Valim et al., 2000;
Mani et al., 2001; Khosravi et al., 2012; Wang et al., 2013; Yasmin et al., 2014).
Frekuensi mutasi yang terjadi pada masing-masing kodon tersebut yaitu, pada kodon 511 8,06% merupakan mutasi substitusi (Yasmin et al., 2014), kodon 512
6,8% (Titov et al., 2006), kodon 513 5% (Taniguchi et al., 1996), kodon 514 1,2%
yang merupakan mutasi delesi (Valim et al., 2000), kodon 515 1,8 % (Ma et al.,
2006), kodon 516 14,2 % (Hirano et al., 1999), kodon 517 2% yang merupakan
mutasi delesi (Mani et al., 2001), kodon 518 3,22% yang merupakan mutasi delesi
(Yasmin et al., 2014; Mani et al., 2001), kodon 519 merupakan mutasi yang baru
ditemukan dan termasuk dalam mutasi delesi (Wang et al., 2013), kodon 524
1,2% merupakan mutasi titik dan kodon 525 sebanyak 2,2% (Titov et al., 2006).
Studi yang dilakukan oleh Titov et al (2006) di Belarus melaporkan bahwa
jumlah frekuensi mutasi pada kodon 516 lebih kecil dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Hirano et al (1999) untuk isolat di beberapa negara Asia.
Studi yang dilakukan di Belarus didapatkan frekuensi mutasi pada kodon 516 sebanyak 9,1%, sedangkan untuk di negara Asia yaitu 14,4%. Penelitian ini menyatakan bahwa telah ditemukan mutasi dengan frekuensi tertinggi untuk kodon 516 di beberapa negara di Asia (Hirano et al., 1999).
(32)
14
2.4 Strategi Terapi Pasien dengan Resistensi Rifampisin
Implikasi klinis dari resisten pada obat-obat TB bergantung pada agen yang menginfeksi strain tersebut. Resistensi rifampisin terkait dengan hasil klinis yang lebih buruk dan membutuhkan peningkatan durasi terapi dari 6 bulan menjadi 9 bulan, namun beberapa para ahli menyarankan durasi penggunaan obat dilakukan selama 12 bulan. Kehadiran resitensi rifampisin merupakan penanda untuk MDR-TB dengan mayoritas dari beberapa isolat tersebut juga resisten terhadap isoniazid bahkan pada agen lainnya. Selain itu isolat yang resisten dengan rifampisin biasanya juga resisten terhadap rifamycins lainnya seperti rifabutin dan rifapentin (Nachega dan Chaisson, 2003; Sharma dan Mohan, 2004).
Resistensi rifampisin ditemukan lebih dari 95% mutasi terjadi pada area inti 81 pb yang dikenal sebagai daerah RRDR. Daerah ini mencakup kodon 507-533, mutasi yang terjadi pada kodon tersebut menandakan bahwa level resistensi tertinggi pada daerah ini (Ramaswamy dan Musser, 1998; Silva dan Palomina, 2011; Comas et al., 2012). Terjadinya mutasi pada kodon di dalam area ini (81 pb) merupakan mekanisme utama terjadinya resistensi rifampisin sebanyak 90-95% pada strain M. tuberculosis (Ahmad et al., 2012). Selain itu 90% penderita
TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, maka dari itu resistensi rifampisin dapat dikatakan sebagai surrogate marker untuk
MDR-TB (Lewis et al., 2002; Syaifudin dkk., 2007; Silva dan Palomina, 2011).
Terapi obat untuk pasien dengan MDR-TB lebih kompleks dibandingkan dengan pasien TB tanpa resistensi. Terapi penggunaan OAT pasien MDR-TB
(33)
15
yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2014) dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Terapi Penggunaan OAT Pasien dengan MDR-TB
Jenis Sifat Efek Samping
Golongan 1: OAT Lini Pertama Oral
Pirazinamid (Z) Etambutol (E)
Bakterisidal Bakteriostatik
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis
Gangguan penghliatan, buta warna, neuritis perifer
Golongan 2: OAT Suntikan Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal
Km, Am, Cm memberikan efek samping yang serupa seperti pada penggunaan Streptomisin Golongan 3: Fluorokuinolon Levofloksasin (Lfx) Moksifloksasin (Mfx) Bakterisidal Bakterisidal
Mual, muntah, sakit kepala, pusing, sulit tidur, ruptur tendon (jarang)
Mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, nyeri sendi, ruptur tendon (jarang)
Golongan 4: OAT Lini Kedua Oral
Para-aminosalicylic acid
(PAS) Bakteriostatik Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati dan pembekuan darah (jarang), hipotiroidisme yang reversible
Cycloserine (Cs)
Ethionamide (Etio)
Bakteriostatik
Bakterisidal
Gangguan sistem saraf pusat: sulit konsentrasi dan lemah, depresi, bunuh diri, psikosis. Gangguan lain adalah neuropati perifer, Stevens Johnson syndrome
Gangguan gastrointestinal, anoreksia, gangguan fungsi hati, jerawatan, rambut rontok, ginekomasti, impotensi, gangguan siklus menstruasi, hipotiroidisme yang
reversible
Golongan 5: Obat yang masih belum jelas manfaatnya dalam pengobatan TB resisten obat.
Clofazimine (Cfz), Linezolid (Lzd), Amoxicillin/Clavulanate (Amx/Clv), Thioacetazone (Thz), Imipenem/Cilastatin (lpm/Cln), Isoniazid dosis tinggi (H), Clarithromycin (Clr), Bedaquilin (Bdq)
(34)
16
Obat antituberkulosis yang biasanya digunakan dalam terapi pasien TB yang resisten obat di Indonesia terdiri atas OAT lini ke-2 yang biasanya digunakan yaitu kanamisin, kapreomisin, levofloksasin, etionamide, sikloserin, moksifiloksasin dan PAS (p-aminosalicylic acid). Untuk obat lini pertama yaitu
pirazinamid dan etambutol. Saat dilaporkan adanya resistensi obat pada pasien TB, selama fase awal digunakan terapi obat seperti kombinasi ethionamide, fluoroquinolone, obat bakteriostatik lain seperti ethambutol, pirazinamid dan
aminoglikosida (kanamycin, amikacin atau capreomycin) digunakan selama 3
bulan atau sampai konversi sputum. Selama fase lanjutan, digunakan terapi obat seperti ethionamide, fluoroquinolone, obat bakteriostatik lain (ethambutol) yang
harus digunakan selama 18 bulan (Sharma dan Mohan, 2004; Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Pasien yang diterapi untuk obat-obatan MDR-TB harus di terus diawasi secara klinis, seperti demam, batuk, produksi sputum dan peningkatan berat badan. Pada pengawasan secara radiologi contohnya hasil radiografi pada dada, pengawasan hasil laboratorium seperti sedimentasi eritrosit dan pengawasan mikrobiologi pada hasil sputum smear dan kultur (Sharma dan Mohan, 2004).
Maka dari itu deteksi cepat diperlukan untuk mendeteksi mutasi yang menyebabkan resistensi rifampisin, salah satunya yaitu deteksi menggunakan metode real-time PCR dengan bantuan suatu desain DNA probe yang dapat
mendeteksi mutasi secara spesifik pada daerah RRDR gen rpoB M. tuberculosis.
Hal ini dapat membantu pemberian terapi yang tepat bagi pasien TB tanpa atau dengan resistensi rifampisin sesegera mungkin (Espasa, 2005).
(35)
17
2.5 Mutasi Gen
Mutasi merupakan perubahan yang terjadi di dalam urutan basa DNA. Mutasi ini terjadi karena kesalahan spontan dalam replikasi DNA atau rekombinasi miosis. Selain itu perubahan urutan DNA pada suatu organsime yang terjadi juga dapat diakibatkan oleh agen fisika dan kimia (Turner et al., 2005).
Mutasi merujuk pada setiap perubahan genetik yang terjadi pada urutan DNA. Urutan normal DNA yang belum mengalami mutasi dinamakan wild-type. Namun wild-type tidak mudah untuk didefinisikan karena di alam terdapat banyak
individu dalam populasi dan spesies yang sama tetapi memiliki variasi genetik yang signifikan. Maka dari itu wild-type dipilih untuk dapat digunakan sebagai
refrensi dalam menentukan mutasi yang terjadi pada masing-masing individu (Ennis, 2001).
Mutasi dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu point mutations
(mutasi titik) dan rearrangements mutations. Point mutation merupakan mutasi
yang mengalami perubahan urutan DNA dengan melibatkan satu atau beberapa nukleotida, sedangkan rearrangements mutations merupakan mutasi yang lebih
luas dibandingkan point mutations, yaitu terjadi perubahan kromosom yang
melibatkan ratusan segmen atau bahkan jutaan nukleotida (Ennis, 2001).
Beberapa contoh point mutations antara lain mutasi transisi, tranversi, frameshift dan mutasi substitusi yang biasanya disebut silent mutation, missens mutations dan nonsense mutations (Ennis, 2001; Campbell et al., 2002; Turner et al., 2005). Contoh mutasi rearrangements antara lain deletion, inversion, translocation dan dulpications. Berdasarkan klasifikasi mutasi tersebut, mutasi
(36)
18
titik merupakan mutasi yang terjadi pada RRDR (Rifampin Resistance Determining Region) gen rpoB bakteri M. tuberculosis. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa 90% isolat M. tuberculosis dengan rifampisin fenotip terdapat missens mutations yang mengakibatkan substitusi asam amino Ser-531 (41%),
His-526 (40%) dan Asp-516 (5%) (Yue et al., 2003).
2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode untuk membuat
salinan segmen yang spesifik dari suatu untai DNA (Campbell et al., 2002).
Metode ini digunakan untuk mengamplifikasi urutan DNA menggunakan sepasang primer yang masing-masing komplemen pada satu ujung urutan target
DNA (Turner et al., 2005). Metode PCR pertama kali diperkenalkan oleh Karry
Mullis pada tahun 1985 yang digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali dalam waktu beberapa jam saja (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Kelebihan metode ini yaitu lebih cepat dibandingkan pengkloningan gen dengan DNA plasmid ataupun DNA faga yang dilakukan secara in vitro (Campbell et al., 2002), selain itu kelebihan lain yang dimiliki PCR
yaitu dapat bekerja menggunakan komponen dalam jumlah yang sedikit (Novel dkk., 2011).
Metode PCR memerlukan beberapa komponen dalam reaksinya, antara lain
template DNA; sepasang primer; dNTPs (Deoxynucleotida triphosphate); buffer
PCR; magnesium klorida dan enzim DNA polimerase. Enzim yang digunakan yaitu DNA polimerase yang diperoleh dari isolasi bakteri termofilik dan hipertermofilik, maka dari itu enzim ini bersifat termostabil sampai suhu 95ºC
(37)
19
(Handoyo dan Rudiretna, 2001). Enzim yang paling sering digunakan yaitu taq polymerase yang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus, bakteri ini dapat
bertahan pada tahap denaturasi dengan temperatur 95ºC dalam waktu 1-2 menit dan memiliki waktu paruh lebih dari 2 jam pada suhu ini (Turner et al., 2005).
Langkah awal metode PCR yaitu mengisolasi sampel DNA dari bahan klinis atau menggunakan jaringan yang disimpan pada parafin, kemudian dilakukan proses amplifikasi DNA yang telah diisolasi. Pada prinsip kerja teknik PCR terdapat beberapa tahap amplifikasi, antara lain denaturasi, primer annealing dan
elongasi (polimerisasi) (Novel dkk., 2011). Tahap awal amplifikasi yaitu denaturasi, pada tahap ini terjadi proses perubahan untaian DNA ganda menjadi untaian DNA tunggal dengan menggunakan suhu 95ºC dan biasanya dilakukan dalam waktu 60 detik (Turner et al., 2005). Untaian ganda DNA template tersebut
dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian dilakukan pendinginan agar mencapai suhu tertentu yang diinginkan, sehingga memberi waktu untuk primer
dapat menempel (annealing) pada daerah tertentu dari DNA target (Handoyo dan
Rudiretna, 2001). Penempelan primer merupakan tahap kedua dari prinsip kerja
PCR yang dilakukan pada suhu 55ºC dalam waktu 30 detik (Turner et al., 2005).
Suhu penempelan primer bergantung pada kandungan GC dan TmºC dari primer
yang didesain (Borah, 2011). Tahap ketiga yaitu tahap elongasi atau polimerisasi yang dilakukan pada suhu 72ºC dalam waktu 60-90 detik, agar tahap polimerasi dapat berjalan lebih optimal maka digunakan dNTPs dan Mg2+ dalam campuran reaksinya (Turner et al., 2005). Pada tahap elongasi atau polimerisasi digunakan
(38)
20
adanya dNTPs (dATPs, dCTPs, dGTPs dan dTTPs) dan buffer yang sesuai (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Pada teknik PCR umumnya dilakukan dalam siklus 20-45 sesuai kebutuhan. Kemudian diakhir tahap reaksi dilakukan pendinginan pada suhu kamar 4ºC bergantung pada aplikasi dan jenis cycler yang
digunakan (McPherson dan Moller, 2006).
Metode PCR tidak sepenuhnya efisien, maka dari itu perlu dilakukan pengembangan variasi metode PCR untuk meningkatkan efisiensinya. Beberapa modifikasi PCR yang dapat dilakukan untuk pengembangannya antara lain
Multiplex PCR, Nested PCR, Reverse Transcriptase PCR dan Real-time PCR
(Turner et al., 2005). Nested PCR digunakan saat dalam proses deteksi
memungkinkan untuk mengurangi kontaminasi pada produk selama proses amplifikasi berlangsung dari penyatuan primer yang tidak diperlukan. Metode ini
menggunakan dua set primer untuk mendukung proses deteksi (Yusuf, 2010). Reverse Transcriptase PCR digunakan untuk mengkopi RNA menjadi cDNA
menggunakan reverse transcriptase, kemudian mengamplifikasi cDNA dengan
PCR dan primer yang spesifik. Pada multiplex PCR menggunakan beberapa set primer dan penambahan beberapa pasang primer ini dapat mengamplifikasi lebih
dari satu fragmen DNA dan fragmen tersebut akan dengan mudah dibedakan pada gel jika fragmen tersebut memiliki panjang yang berbeda. Multiplex PCR sering
digunakan untuk mendeteksi mikroorganisme yang mengontaminasi air atau makanan dan mikroorganisme yang menginfeksi jaringan (Turner et al., 2005).
(39)
21
2.7 Real-Time Polymerase Chain Reaction (Real-Time PCR)
Real-time PCR merupakan modifikasi atau variasi metode PCR yang
memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan beberapa teknik PCR lain. Real time PCR memberikan keuntungan seperti thermal cycler yang dapat menentukan
jumlah produk hasil reaksi dengan cara mendeteksi peningkatan ikatan dye
dengan DNA sintesis menggunakan fluorometer. Keuntungan lain yang diberikan oleh metode ini antara lain memiliki sensitivitas yang tinggi; reprodusibel menguantifikasi jumlah awal dari template dengan cara memonitoring produk
amplifikasi PCR selama proses berlangsung; proses pendeteksian cepat; menganalisis beberapa gen secara simultan; mudah untuk mengolah banyak sampel dan tidak membutuhkan pengecekan akhir menggunakan gel (Turner et al., 2005; McPherson dan Moller, 2006).
2.8 DNA Probe
Probe adalah molekul asam nukleat yang memiliki afinitas kuat dan dapat
berikatan dengan target DNA secara spesifik atau RNA sekuens. Probe dan
sekuens basa dari target harus komplemen satu sama lain. Probe dapat digunakan
untuk berbagai metode blotting dan teknik in situ untuk mendeteksi sekuens asam
nukleat, selain itu probe juga digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme
dan mendiagnosis terjadinya infeksi atau penyakit lainnya (Walker dan Rapley, 2005). DNA probe merupakan salah satu komponen dari real-time PCR yang
dapat menentukan keberhasilan proses deteksi pada metode real-time PCR.
Kriteria DNA probe yang harus dipenuhi dalam melakukan perancangan, sebagai
(40)
22
a) Panjang Nuklrotida DNA Probe
Panjang nukleotida untuk sebuah DNA probe yang digunakan berkisar
antara 18-30 basa dengan panjang optimal 20 nukleotida. Panjang yang melebihi 30 nukleotida masih dapat digunakan dengan catatan bahwa
quencher fluoresen tidak ditempatkan pada basa paling ujung 3’,
melainkan diposisi tengah dari sekuens DNA probe, Meuer et al., 2001;
McPherson dan Moller, 2006). b) Kandungan GC (%GC)
Kandungan GC yang harus dimiliki DNA probe pada umumnya yaitu
40-60% (Borah, 2011). c) TmºC(Temperature Melting)
DNA probe yang baik harus memiliki TmºC lebih tinggi 5-10ºC
dibandingkan TmºC primer (Anonim c, 2006).
d) Runs
Runs menunjukkan pengulangan basa yang sama berturut-turut pada
untai DNA probe, contohnya AGCGGGGGATGGGG. DNA probe
yang baik seharusnya memiliki runs kurang dari 4 basa (Borah, 2011).
e) Repeats
Repeats menunjukkan pengulangan di nukleotida yang sama
berturut-turut pada untai DNA probe, contohnya ATATATAT. DNA probe
yang baik seharusnya memiliki repeats kurang dari 4 basa (Borah,
(41)
23
f) Struktur Hairpin
Hairpin merupakan struktur sekunder yang terbentuk akibat interaksi
intramolekular, hal ini dapat menghalangi hibridisasi DNA probe
dengan DNA target sehingga sedapat mungkin dihindari (Borah, 2011). Untuk nilai ∆G maksimum terbentuknya struktur hairpin yang masih
dapat ditoleransi yaitu -3 kcals (Anonim g, 2006; Rychlik, 2010 g) Struktur Dimers
Dimers dapat berupa self dimer dan cross dimers, kedua dimer ini
terbentuk karena interaksi intermolekular antara dua jenis primer yang
sama (self dimers) dan interaksi intramolekular antara sepasang primer
(cross dimers) (Borah, 2011).
Pada metode real-time PCR, menggunakan bantuan DNA probe untuk
metode deteksi adanya mutasi (McPherson dan Moller, 2006). Salah satu jenis DNA probe yang digunakan pada metode real-time PCR yaitu TaqMan probe.
Pada metode deteksi TaqMan probe, digunakan tiga nukleotida antara lain primer forward, primer reverse dan probe internal TaqMan. TaqMan probe merupakan
oligonukleotida standar yang berikatan secara kovalen dengan reporter fluoresen
(FAM atau 6-carboxyfluorescein) pada posisi 5’ dan berikatan dengan quencher TAMRA (6-carboxytetramethylrhodamine) pada posisi 3’ (McPherson dan Moller,
2006).
Pada umumnya TaqMan probe harus memiliki jumlah GC antara 40-60%
dan hindari urutan nukleotida identik yang membentang panjang lebih dari 4 pada basa tunggal (Walker dan Rapley, 2005). Jauhkan guanin pada posisi 5’ probe
(42)
24
karena dapat memadamkan fluoresen (McPherson dan Moller, 2006), pastikan bahwa tidak ada daerah yang komplemen dalam probe karena hal ini dapat
menyebabkan pembentukan struktur hairpin yang akan menghambat hibridisasi
pada target DNA (Walker dan Rapley, 2005). Nilai TmºC pada desain probe lebih
tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer, yaitu antara 5-10ºC (Anonim
c, 2006). Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam mendesain probe
yaitu menjauhkan segala mismatches antara probe dengan target DNA
(McPherson dan Moller, 2006). Diagram skematik yang memperlihatkan prinsip
real-time PCR menggunakan TaqMan probe dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Diagram Skematik Prinsip Kerja Real-Time PCR Menggunakan TaqMan probe (McPherson dan Moller, 2006)
Pada Gambar 2.2 dapat dilihat selama proses penempelan kedua primer
(43)
25
pada nukleotida terlalu dekat satu sama lain, sehingga sinyal fluoresen tidak dihasilkan. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap ekstensi, aktivitas
5’→3’exonuclease dari Taq DNA polymerase akan memutuskan 5’-FAM dari probe dengan cara memisahkan reporter dengan quencher sehingga akan
menyebabkan peningkatan fluoresen yang akan diukur selama siklus PCR berlangsung (McPherson dan Moller, 2006). Beberapa kriteria probe harus
diperhatikan jika akan menyusun TaqMan probe, yang meliputi panjang TaqMan probe harus lebih panjang dibandingkan primer, biasanya 18-30 nukleotida.
Selain itu nilai TmºC untuk TaqMan probe sekitar 5-10ºC lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai TmºC primer (Anonim c, 2006). Hal ini dilakukan agar
memungkinkan terjadinya hibridisasi pada gen target selama tahap ekstensi. Berdasarkan beberapa kriteria tersebut dilakukan untuk memastikan apakah emisi fluoresen yang dihasilkan setelah aktvitas 5’→3’ exonuclease berbanding lurus
dengan jumlah target DNA yang diinginkan. Faktor lain yang harus diperhatikan saat mendesain TaqMan probeyaitu menjauhkan G (guanin) pada posisi 5’ karena
dapat menyebabkan pemadaman sinyal bahkan pada saat probe sudah terlepas.
Selain menjauhkan basa G (guanin) pada posisi 5’, pada desain TaqMan probe
juga harus mengandung basa C (sitosin) lebih banyak dibandingkan dengan basa G (guanin) (McPherson dan Moller, 2006). Pada beberapa kasus dinyatakan bahwa quencher fluorescent tidak dianjurkan untuk ditempatkan pada bagian ujung 3’, melainkan harus ditempatkan pada bagian dalam antara nukleotida 18 dan 25 dari posisi 5’ jika panjang sekuens melebihi 30 nukleotida. Hal ini
(44)
26
dapat dipastikan energi yang ditransfer dari reporter fluoresen menuju quencher
fluoresen akan lebih efisien (McPherson dan Moller, 2006).
Pada desain probe, keberadaan struktur sekunder dapat mempengaruhi
spesifisitas rancangan. Keberadaan struktur sekunder disebabkan oleh interaksi intermolekular atau intramolekular, hal ini akan mengakibatkan produk yang dihasilkan hanya sedikit dan bahkan tidak ada. Beberapa struktur sekunder yang dapat menganggu proses penempelan DNA probe antara lain, struktur hairpin; self dimer; cross dimer; repeats; runs; struktur sekunder template dan homolog
silang (Borah, 2011). 2.9 Label TaqMan probe
Beberapa hal penting harus dipertimbangkan dalam pemilihan label yang akan digunakan pada TaqMan probe. Label yang digunakan harus dipastikan
dapat terdeteksi oleh instrumen. Disaat telah menentukan kedua buah label (fluorophor dan quencher) yang akan digunakan, maka pastikan kedua label
tersebut kompatibel satu sama lain (Anonim d, 2008). Beberapa tipe label untuk
(45)
27
Tabel 2.2 Tipe label Reporter dan Quencher untuk TaqMan probe
(Anonim b, 2005)
Pada pemilihan label untuk desain DNA probe singleplax, label FAM
direkomendasikan sebagai label untuk reporter, karena label tersebut mudah
didapatkan, dapat memonitoring amplikon hasil amplifikasi pada setiap siklus PCR, dapat berikatan secara spesifik pada DNA probe dan dapat terdeteksi oleh
semua jenis instrumen (Meuer et al., 2001; Anonim c, 2006). Selain itu FAM juga
memiliki kemampuan dapat menghasilkan fluoresen yang kuat dibandingkan label lainnya (Mackay, 2007). Pada pemilihan label untuk quencher, terdapat beberapa
kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihannya. Maka dari itu direkomendasikan label TAMRA sebagai quencher untuk reporter FAM, karena
(46)
28
kombinasi antara kedua label ini merupakan kombinasi yang dapat bekerja dengan baik pada saat proses PCR berlangsung (Anonim a, 2004; Anonim c, 2006).
Selain pemilihan label, posisi pemasangan kedua label reporter dan quencher
untuk TaqMan probe juga harus dipertimbangkan. Lokasi pemasangan kedua
label disarankan berjarak 25-30 nukleotida dengan jarak maksimum 30 nukleotida atau 100Å. Jika probe yang didesain memiliki panjang nukleotida yang lebih
panjang dari panjang maksimum, maka quencher harus diletakkan pada bagian
tengah dalam untai nukleotida untuk menghasilkan pemadaman yang tepat bagi
reporter (Mackay, 2007). Hal ini akan menyebabkan sebuah fenomena yang
disebut dengan fenomena FRET, fenomena tersebut merupakan fenomena pemadaman sinyal fluoresen yang dilakukan oleh quencher terhadap reporter saat
reaksi belum terjadi, karena sinyal fluoresen yang dihasilkan reporter diserap oleh
quencher (McPherson dan Moller, 2006; Dorak, 2007). Selain jarak dan lokasi pemasangan label, posisi basa G yang berada dekat dengan label reporter (FAM)
harus sedapat mungkin dihindari. Hal ini dilakukan agar basa G tidak menyebabkan reporter mengalami pemadaman sinyal bahkan saat reporter telah
(1)
f) Struktur Hairpin
Hairpin merupakan struktur sekunder yang terbentuk akibat interaksi
intramolekular, hal ini dapat menghalangi hibridisasi DNA probe dengan DNA target sehingga sedapat mungkin dihindari (Borah, 2011). Untuk nilai ∆G maksimum terbentuknya struktur hairpin yang masih dapat ditoleransi yaitu -3 kcals (Anonim g, 2006; Rychlik, 2010
g) Struktur Dimers
Dimers dapat berupa self dimer dan cross dimers, kedua dimer ini
terbentuk karena interaksi intermolekular antara dua jenis primer yang sama (self dimers) dan interaksi intramolekular antara sepasang primer
(cross dimers) (Borah, 2011).
Pada metode real-time PCR, menggunakan bantuan DNA probe untuk metode deteksi adanya mutasi (McPherson dan Moller, 2006). Salah satu jenis
DNA probe yang digunakan pada metode real-time PCR yaitu TaqMan probe.
Pada metode deteksi TaqMan probe, digunakan tiga nukleotida antara lain primer
forward, primer reverse dan probe internal TaqMan. TaqMan probe merupakan
oligonukleotida standar yang berikatan secara kovalen dengan reporter fluoresen
(FAM atau 6-carboxyfluorescein) pada posisi 5’ dan berikatan dengan quencher
TAMRA (6-carboxytetramethylrhodamine) pada posisi 3’ (McPherson dan Moller,
2006).
Pada umumnya TaqMan probe harus memiliki jumlah GC antara 40-60% dan hindari urutan nukleotida identik yang membentang panjang lebih dari 4 pada basa tunggal (Walker dan Rapley, 2005). Jauhkan guanin pada posisi 5’ probe
(2)
karena dapat memadamkan fluoresen (McPherson dan Moller, 2006), pastikan bahwa tidak ada daerah yang komplemen dalam probe karena hal ini dapat menyebabkan pembentukan struktur hairpin yang akan menghambat hibridisasi pada target DNA (Walker dan Rapley, 2005). Nilai TmºC pada desain probe lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer, yaitu antara 5-10ºC (Anonim c, 2006). Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam mendesain probe yaitu menjauhkan segala mismatches antara probe dengan target DNA (McPherson dan Moller, 2006). Diagram skematik yang memperlihatkan prinsip
real-time PCR menggunakan TaqMan probe dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Diagram Skematik Prinsip Kerja Real-Time PCR Menggunakan
TaqMan probe (McPherson dan Moller, 2006)
Pada Gambar 2.2 dapat dilihat selama proses penempelan kedua primer dan penempelan probe pada DNA target, terlihat jarak reporter dan quencher
(3)
pada nukleotida terlalu dekat satu sama lain, sehingga sinyal fluoresen tidak dihasilkan. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap ekstensi, aktivitas 5’→3’exonuclease dari Taq DNA polymerase akan memutuskan 5’-FAM dari
probe dengan cara memisahkan reporter dengan quencher sehingga akan
menyebabkan peningkatan fluoresen yang akan diukur selama siklus PCR berlangsung (McPherson dan Moller, 2006). Beberapa kriteria probe harus diperhatikan jika akan menyusun TaqMan probe, yang meliputi panjang TaqMan
probe harus lebih panjang dibandingkan primer, biasanya 18-30 nukleotida.
Selain itu nilai TmºC untuk TaqMan probe sekitar 5-10ºC lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer (Anonim c, 2006). Hal ini dilakukan agar memungkinkan terjadinya hibridisasi pada gen target selama tahap ekstensi. Berdasarkan beberapa kriteria tersebut dilakukan untuk memastikan apakah emisi fluoresen yang dihasilkan setelah aktvitas 5’→3’ exonuclease berbanding lurus dengan jumlah target DNA yang diinginkan. Faktor lain yang harus diperhatikan saat mendesain TaqMan probe yaitu menjauhkan G (guanin) pada posisi 5’ karena dapat menyebabkan pemadaman sinyal bahkan pada saat probe sudah terlepas. Selain menjauhkan basa G (guanin) pada posisi 5’, pada desain TaqMan probe juga harus mengandung basa C (sitosin) lebih banyak dibandingkan dengan basa G (guanin) (McPherson dan Moller, 2006). Pada beberapa kasus dinyatakan bahwa quencher fluorescent tidak dianjurkan untuk ditempatkan pada bagian ujung 3’, melainkan harus ditempatkan pada bagian dalam antara nukleotida 18 dan 25 dari posisi 5’ jika panjang sekuens melebihi 30 nukleotida. Hal ini dilakukan jika metode deteksi real-time PCR menggunakan TaqMan probe dan
(4)
dapat dipastikan energi yang ditransfer dari reporter fluoresen menuju quencher fluoresen akan lebih efisien (McPherson dan Moller, 2006).
Pada desain probe, keberadaan struktur sekunder dapat mempengaruhi spesifisitas rancangan. Keberadaan struktur sekunder disebabkan oleh interaksi intermolekular atau intramolekular, hal ini akan mengakibatkan produk yang dihasilkan hanya sedikit dan bahkan tidak ada. Beberapa struktur sekunder yang dapat menganggu proses penempelan DNA probe antara lain, struktur hairpin;
self dimer; cross dimer; repeats; runs; struktur sekunder template dan homolog
silang (Borah, 2011).
2.9 Label TaqMan probe
Beberapa hal penting harus dipertimbangkan dalam pemilihan label yang akan digunakan pada TaqMan probe. Label yang digunakan harus dipastikan dapat terdeteksi oleh instrumen. Disaat telah menentukan kedua buah label
(fluorophor dan quencher) yang akan digunakan, maka pastikan kedua label
tersebut kompatibel satu sama lain (Anonim d, 2008). Beberapa tipe label untuk
(5)
Tabel 2.2 Tipe label Reporter dan Quencher untuk TaqMan probe
(Anonim b, 2005)
Pada pemilihan label untuk desain DNA probe singleplax, label FAM direkomendasikan sebagai label untuk reporter, karena label tersebut mudah didapatkan, dapat memonitoring amplikon hasil amplifikasi pada setiap siklus PCR, dapat berikatan secara spesifik pada DNA probe dan dapat terdeteksi oleh semua jenis instrumen (Meuer et al., 2001; Anonim c, 2006). Selain itu FAM juga memiliki kemampuan dapat menghasilkan fluoresen yang kuat dibandingkan label lainnya (Mackay, 2007). Pada pemilihan label untuk quencher, terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihannya. Maka dari itu direkomendasikan label TAMRA sebagai quencher untuk reporter FAM, karena label TAMRA merupakan label yang kompatibel dengan label FAM dan
(6)
kombinasi antara kedua label ini merupakan kombinasi yang dapat bekerja dengan baik pada saat proses PCR berlangsung (Anonim a, 2004; Anonim c, 2006).
Selain pemilihan label, posisi pemasangan kedua label reporter dan quencher untuk TaqMan probe juga harus dipertimbangkan. Lokasi pemasangan kedua label disarankan berjarak 25-30 nukleotida dengan jarak maksimum 30 nukleotida atau 100Å. Jika probe yang didesain memiliki panjang nukleotida yang lebih panjang dari panjang maksimum, maka quencher harus diletakkan pada bagian tengah dalam untai nukleotida untuk menghasilkan pemadaman yang tepat bagi
reporter (Mackay, 2007). Hal ini akan menyebabkan sebuah fenomena yang
disebut dengan fenomena FRET, fenomena tersebut merupakan fenomena pemadaman sinyal fluoresen yang dilakukan oleh quencher terhadap reporter saat reaksi belum terjadi, karena sinyal fluoresen yang dihasilkan reporter diserap oleh quencher (McPherson dan Moller, 2006; Dorak, 2007). Selain jarak dan lokasi pemasangan label, posisi basa G yang berada dekat dengan label reporter (FAM) harus sedapat mungkin dihindari. Hal ini dilakukan agar basa G tidak menyebabkan reporter mengalami pemadaman sinyal bahkan saat reporter telah terlepas dari sekuens (Anonim c, 2006; Mcpherson dan Moller, 2006).