Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dengan Adanya Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar) Pada PT. Victory International Futures.

(1)

i

DENGAN ADANYA KLAUSULA EKSONERASI

DALAM PERJANJIAN BAKU (STANDAR) PADA

PT. VICTORY INTERNATIONAL FUTURES

NI KADEK ANINDYA ANGGITA SARY

NIM. 1203005181

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

DALAM PERJANJIAN BAKU (STANDAR) PADA

PT. VICTORY INTERNATIONAL FUTURES

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI KADEK ANINDYA ANGGITA SARY

NIM. 1203005181

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii Pembimbing I

Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum NIP. 19590114 198601 1 001

Pembimbing II

A.A. Sri Indrawati, SH., MH NIP. 19571014 198601 2 001


(4)

iv

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor 205/UN14.1.11/PP.05.02/2016 Tanggal 21 Juni 2016

Ketua : Dr. Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum ( )

Sekretaris : A.A. Sri Indrawati, SH., MH ( )

Anggota : 1. Dr, I Ketut Westra, SH., MH. ( )

2. Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH ( )


(5)

v

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas Rahmat dan Karunia- Nya tugas akhir berupa skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dengan Adanya Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar) Pada PT. Victory International Futures” dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam rangka memperoleh gelar Kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam usaha merampungkan skripsi ini tidak sedikit hambatan yang dialami dan tidak akan berhasil dengan banyak pihak yang ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dorongan, motivasi, bantuan dan fasilitas, sehingga kepada mereka terucapkan terima kasih sedalam – dalamnya atas bantuan materiil dan moril terutama kepada yang tehormat :

1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH. Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;


(6)

vi

Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana;

7. Bapak Dr Dewa Gde Rudy, SH., M.Hum. Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan dan saran yang berguna dalam penyusunan tugas akhir ini;

8. Ibu A.A. Sri Indrawati, SH., MH. Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu untuk mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyusun tugas akhir ini;

9. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH. Pembimbing Akademik yang selalu memberikan arahan dan saran dalam setiap tindakan yang penulis lakukan pada saat menempuh studi;

10. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu dan didikan selama proses perkuliahan;

11. Bapak/Ibu pegawai tata usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

12. Bapak/Ibu pegawai perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam peminjaman literatur selama proses perkuliahan berlangsung;

13. Para Staf Kesbangpol Kota Denpasar dan Provinsi Jawa Timur yang telah melancarkan jalannya penelitian ini;


(7)

vii

15. Bapak Ericsson Dhanuarta. Manager Marketing PT. Victory International Futures yang telah memberikan informasi sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan;

16. Keluarga penulis Bapak (I Made Darma), Ibu (Winda Sary), Kakak penulis (I Gede Bagus Angga Pradana) dan Adik penulis (Ni Komang Nadia Eprillia Sary) yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang serta memberikan dukungan tanpa henti demi menyelesaikan studi ini;

17. Bapak dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, Sp.Pd Khom dokter penulis yang telah memberikan dorongan dan dukungan untuk sembuh dari penyakit yang penulis alami agar bisa terus melanjutkan penyusunan skripsi ini; 18. Sahabat – sahabat penulis yang tercinta yaitu Arista Rahayu, Bulan

Dwigitta, Anggiana Dwi Cahyani, Ayu Ananda, Pranasari Tanjung, Ida Ayu Gd. Padmayoni, Decky Indrashwara, David P. Putra, Andhika Yuna, Avina Rismadewi, Vivi Viharani, Reza Swandira, dan Wisnu Kiwil yang telah memberikan masukan, nasehat, dorongan dan selalu ada untuk menemani penulis dikala penulis sakit, sedih dan bahagia selama proses penyelesaian skripsi ini;

19. Sahabat – sahabat seperjuangan yaitu Catur Adnyana, Dewa Arie, Ardi Rastiawan, Dimitri Noor, Ari Mahartha yang telah memberikan motivasi, nasehat dan bantuannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini;


(8)

viii

21. Rekan – rekan angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Udayana serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis berusaha dengan segenap kemampuan dan pengetahuan agar dapat memaparkan permasalahan yang diangkat secara terarah dan sistematis. Namun karena kemampuan penulis yang terbatas, penulis menyadari bahwa hasil tugas akhir ini jauh dari sempurna baik dari materi yang dikaji maupun dalam teknis penulisan, oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tugas akhir ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi kepentingan akademik dan dapat dijadikan bahan kajian yang berarti.

Denpasar, 28 April 2016


(9)

(10)

x

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

HALAMAN KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 13

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 14

1.4. Orisinalitas Penelitian ... 14

1.5. Tujuan Penelitian ... 17


(11)

xi

1.6.1. Manfaat teoritis ... 18

1.6.2. Manfaat praktis ... 18

1.7. Landasan Teoritis ... 18

1.7.1. Teori Perlindungan Hukum ... 18

1.7.2. Teori Pertanggungjawaban Hukum ... 20

1.7.3. Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian ... 22

1.7.4. Prinsip Keterbukaan ... 23

1.8. Metode Penelitian ... 25

1.8.1. Jenis penelitian ... 25

1.8.2. Jenis pendekatan ... 26

1.8.3 Sifat penelitian ... 26

1.8.4 Data dan sumber data ... 27

1.8.5. Teknik pengumpulan data ... 27

1.8.6. Teknik penentuan sampel penelitian ... 29


(12)

xii

2.1. Perlindungan Hukum ... 31

2.1.1. Pengertian Perlindungan Hukum ... 31

2.1.2. Jenis – Jenis Perlindungan Hukum ... 33

2.2. Nasabah ... 35

2.2.1. Pengertian Nasabah ... 35

2.3. Perjanjian Baku (Standar) ... 39

2.3.1. Pengertian Perjanjian Baku (Standar) ... 39

2.3.2. Bentuk dan Karakteristik Perjanjian Baku (Standar) ... 42

2.4. Klausula Eksonerasi ... 53

2.4.1. Pengertian Klausula Eksonerasi ... 53

2.4.2. Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar) .. 55

BAB III AKIBAT HUKUM KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU (STANDAR) ANTARA NASABAH DENGAN PT. VICTORY INTERNATIONAL FUTURES 3.1. Gambaran Umum PT. Victory International Futures ... 60


(13)

xiii

3.3. Akibat Hukum Adanya Klausula Eksonerasi Di dalam Suatu Perjanjian Baku (Standar) yang melibatkan Nasabah dengan PT. Victory International Futures ... 81

BAB IV PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH DALAM PERJANJIAN BAKU (STANDARD)

ANTARA NASABAH DENGAN PT. VICTORY

INTERNATIONAL FUTURES

4.1. Pertanggungjawaban PT. Victory International Futures Kepada Nasabah ... 89

4.2. Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Perjanjian Baku (Standar) Antara Nasabah dengan PT. Victory International Futures ... 94

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 104

5.2. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN


(14)

xiv

Perjanjian Baku (Standar) pada PT. Victory International Futures yang mengakibatkan hilangnya tanggung jawab PT. Victory International Futures terhadap hak yang dimiliki oleh nasabah. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah akibat hukum yang terjadi dengan adanya klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian baku (standar) yang melibatkan nasabah dengan PT. Victory International Futures dan perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah dalam suatu perjanjian baku (standar) dengan PT. Victory International Futures. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum adanya klausula eksonerasi di dalam perjanjian baku (standar), mengetahui perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan dan untuk mengetahui pertanggungjawaban perusahaan yang telah mengakibatkan adanya nasabah yang merasa dirugikan.

Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode penelitian hukum yang bersifat empiris dengan pendekatan perundang – undangan dan pendekatan fakta.

Akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian baku (standar) yang melibatkan nasabah dengan PT. Victory International Futures adalah batal demi hukum, karena salah satu syarat objektif dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak terpenuhi. Perlindungan hukum terhadap nasabah dalam perjanjian buku (standar) yang melibatkan nasabah dengan PT. Victory International Futures adalah belum terlaksanakan dengan maksimal karena nasabah belum mendapatkan haknya yaitu perlindungan hukum secara preventif dan represif dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Saran yang diberikan kepada nasabah adalah untuk lebih teliti dalam membaca perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan dan kepada Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi serta Bursa Berjangka Jakarta untuk membuat aturan pelaksana terkait perlindungan hukum sehingga nasabah mendapatkan perlindungan hukum yang jelas.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Perjanjian Baku (Standar), Klausula Eksonerasi


(15)

xv

disappearance of responsibility from PT. Victory International Futures toward rights that possessed by customer. The issues shall be presented in this research are legal effect occur with existence of exoneration clause in standard contract that involve the costumer with PT. Victory International Futures and legal protection provided to customers in a standard contract in the agreement of PT. Victory International Futures. The purposes of this research are to know legal effect from exoneration clause in standard contract, to know legal protection provided to those who feel disadvantage and to know responsibility of the companies that induce the costumers feel disadvantaged.

The method of this research is used legal research method of empirical legal study with uses statute approach and fact approach.

The legal effect of exoneration clause existence in the standard contract that involves the customer with PT. Victory International Futures is null and void, because one of the objective condition in Article 1320 Civil Code is not fulfilled. Legal protection toward customers in a standard contract that involve the costumer with PT. Victory International Futures is have not maximum implemented because the customer not yet obtained the rights form of preventive legal protection and repressive legal protection from Otoritas Jasa Keuangan as defined in Article 28 and Article 29 Act Number 21 Of 2011 On Otoritas Jasa Keuangan. Advices for the customer are to be more conscientious in reading the contents of the agreement offered by the company and to Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi along with Bursa Berjangka Jakarta to create the implementing rules related to legal protection so that customers obtain an evident legal protection.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara berkembang yang kaya akan sumber daya alamnya yang melimpah dan berusaha untuk membangun serta meningkatkan kualitas negara terutama dalam sektor perekonomian. Pemerintahan Indonesia dalam upaya meningkatkan kualitas negara dalam sektor ekonomi tersebut, yaitu dengan menghimpun dana sebesar-besarnya baik pada masyarakat Indonesia maupun pada negara-negara asing. Sebagai salah satu wujud nyata dalam meningkatkan perkembangan perekonomian negara, maka dibentuklah suatu pasar ekonomi yang lebih dikenal dengan sebutan Pasar Modal.

Pasar modal di Indonesia masih tergolong baru sebagaimana umumnya pasar modal pada negara yang sedang berkembang apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah maju. Dimana dibentuknya pasar modal ini dimaksudkan untuk menjadi wahana dalam memenuhi pembiayaan pembangunan tersebut. Fungsi strategis dan pentingnya pasar modal tersebut membuat pemerintah semakin mengedepankan perkembangan pasar modal, karena memiliki potensi yang besar dalam menghimpun dana secara massif, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbesar volume kegiatan pembangunan.

Pasar modal, dalam pengertian klasik diartikan sebagai suatu bidang usaha perdagangan surat-surat berharga seperti saham, sertifikat saham, dan obligasi atau


(17)

efek-efek pada umumnya. Pengertian pasar modal sebagaimana pasar umum yaitu merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli, tetapi pasar modal berbeda dengan pasar konkret. Dalam pasar modal yang diperjualbelikan adalah modal atau dana.1

Hugh T. Patrick dan U Tun Wai, sebagaimana dikutip Abdulbasith Anwar membedakan tiga arti pasar modal, yaitu pasar modal dalam arti luas, dalam arti menengah dan dalam arti sempit:

”Pasar modal dalam arti luas adalahkeseluruhan sistem keuangan yang terorganisir, termasuk bank-bank komersil dan semua perantara di bidang keuangan, surat berharga/klaim panjang pendek primer dan yang tidak langsung. Pasar modal dalam arti menengah adalah semua pasar yang terorganisir dan lembaga-lembaga yang memperdagangkan warkat-warkatkredit (biasanya berjangka lebih dari satu tahun) termasuk saham, obligasi, pinjaman berjangka, hipotik tabungan dan deposito berjangka. Pasar modal dalam arti sempit adalah tempat pasar uang terorganisir yang memperdagangkan saham dan obligasi dengan menggunakan jasa makelar dan Underwriter”.2

Adapun pengertian Pasar Modal menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasal 1 angka 13 adalah ”kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.” Dengan demikian Undang-undang Pasar Modal dalam memberi artipasar modal tidak

1Sumantoro, 1990, Pengantar tentang Pasar Modal di Indonesia, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 9.

2 Hugh T. Patrick, U Tun Wai, Stock and Bond Issues and Capital Market in Less Developed Countries, dalam Abdulbasith Anwar, 1990, Pasar Modal, artikel bonus pada Manajemen dan Usahawan Indonesia, No. 9 Tahun XIX, September, h.12.


(18)

memberi suatu definisi secara menyeluruh melainkan lebih menitikberatkan kepada kegiatan dan para pelaku dari suatu pasar modal.3

Dalam perjalanannya, pasar modal Indonesia sempat mengalami pasang surut. Bahkan, Pemerintah Indonesia juga sempat membekukan kegiatan pasar modal dikarenakan Perang Dunia I dan II, kebijakan nasionalisasi Pemerintah Indonesia pada tahun 1956. Pembekuan terhadap kegiatan pasar modal di Indonesia cukup lama yaitu sampai dengan pada tahun 1977, dimana kegiatan pasar modal tersebut baru dibuka kembali setelah perancangan orde pembangunan. Seiringan dengan kian gencarnya pemerintah dalam melakukan pembangunan, keberadaan pasar modal kini dirasakan sebagai suatu kebutuhan. Diperkirakan pertumbuhan tersebut akan terus meningkat dan dianggap menjadi suatu momentum yang tepat untuk menghidupkan kembali pasar modal. Dengan menghidupkan kembali pasar modal tersebut, maka diharapkan dapat menggerakan potensi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan sekaligus dapat menciptakan pemerataan pendapatan dan demokratisasi ekonomi.4

Dari tahun ke tahun pemerintah Indonesia terus mendorong peningkatan kemajuan pasar modal yang modern dan setara dengan yang ada di negara-negara lain, dan pasar modal mencapai perkembangan puncaknya pada awal tahun 1990-an. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin me mbaik dengan berkembangnya pasar modal yang terus meningkat, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi. Namun

3 Munir Fuady, 2001, Pasar Modal Modern: Tinjauan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.11. 4 M. Irsan Nasarudin, Indra Surya, Ivan Yustiavandana, Arman Nefi dan Adiwarman, 2011, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Cetakan Ketujuh, Kencana, Jakarta, h. 2.


(19)

saat ini pasar modal Indonesia diharapkan mampu memainkan perannya secara optimal sebagai alternatif pembiayaan bagi dunia usaha dan sebagai wahana investasi bagi masyarakat5.

Pada awal tahun 1995 mulai muncul peraturan yang mengatur mengenai pasar modal, dimana peraturan pertama pasar modal yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dalam peraturan tersebut terdapat suatu Badan yang memiliki kewenangan yang multifungsi, yaitu sebagai regulator, pengelola bursa efek, pengawas pihak-pihak yang terlibat dan pelaksana kegiatan di bidang pasar modal, melakukan pemeriksaan, penyidikan, dan menjatuhkan sanksi. Badan tersebut di dalam Undang-Undang Pasar Modal disebut sebagai Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). 6

Bapepam sebagai suatu badan dalam pasar modal pada awalnya merupakan badan tertinggi yang mana seluruh kewenangan dalam penyelenggaraan, pengawasan dan pertanggungjawaban mengenai pasar modal berada di bawah kewenangannya. Namun dalam perkembangannya saat ini munculah suatu Lembaga yang memiliki fungsi serta kewenangan yang melebihi dari Bapepam dalam memberikan pengawasan terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor pasar modal. Lembaga tersebut dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

5 Herwidayatmo, 2000, Dampak Krisis Ekonomi Bagi Perkembangan Pasar Modal Indonesia, makalah disampaikan pada Stadium Generale Magister Manajemen Universitas Sahid, Jakarta, 20 Maret , h. 4


(20)

Peraturan OJK diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut Undang-Undang OJK). Dengan lahirnya peraturan mengenai OJK ini maka kewenangan Bapepam tidak lagi menjadi lembaga tertinggi dalam sektor pasar modal. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 6 Undang-Undang OJK yang mana menyatakan :

“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya”.

Ketentuan dari Pasal 6 huruf b tersebut dengan jelas dapat dilihat bahwa, OJK merupakan lembaga yang bertugas dalam memberikan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. Oleh karena itu lembaga OJK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan dengan Bapepam. Meskipun demikian, keberlakuan OJK sebagai suatu lembaga yang memberikan pengawasan terhadap seluruh kegiatan di sektor pasar modal tidak membuat fungsi Bapepam dalam pasar modal menjadi lebih sempit dan terbatas.

OJK memang memiliki tugas untuk mengawasi seluruh kegiatan jasa keuangan di pasar modal, namun tidak hanya sebatas itu saja karena OJK juga bertugas untuk memberikan pengawasan pada seluruh kegiatan di dalam sektor keuangan. Hal tersebut didukung dengan adanya ketentuan Pasal 55 UU OJK yang menyatakan bahwa, tugas, wewenang, pengaturan dan pengawasan keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan lembaga keuangan ke OJK. Meskipun demikian Bapepam sebagai suatu badan masih memiliki


(21)

fungsi yang sama yaitu memberikan pengawasan berjalannya kegiatan pasar modal, namun pertanggunggajawabannya tetap ditujukan pada OJK.

Pasar modal di Indonesia dapat berupa Bursa Efek, dimana dalam pengertiannya tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Pasar Modal yang menyatakan :

“Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak - Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka”.

Dalam pengertian bursa efek tersebut terdapat hal-hal yang digunakan sebagai alat atau barang untuk melakukan penawaran jual beli yang memiliki dampak positif untukt meninggatkan perekonomian negara. Dimana hal tersebut disebut dengan Efek. Efek dalam pengertiannya dicantumkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Pasar Modal yang menyatakan, “Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial , saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek”.

Selain memberikan dampak positif dalam perekonomian, pasar modal juga menimbulkan dampak negatif seperti adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam kegiatan pasar modal tersebut. Dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat menimbulkan kerugian-kerugian yang mungkin dialami oleh beberapa pihak.

Dalam melakukan suatu kegiatan di bidang pasar modal ini terdapat suatu perjanjian dimana perjanjian tersebut merupakan suatu kontrak yang dilakukan oleh perusahaan dengan calon nasabahnya. Perjanjian merupakan hal yang sangat penting


(22)

yang harus dilakukan sebelum terjadinya suatu kesepakatan. Pengertian perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tercantum pada ketentuan Pasal 1313 menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu persetujuan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.

Kontrak adalah bagian dari bentuk suatu perjanjian. Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa pengertian perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1313 KHUPdt adalah sangat luas, maka kontrak dapat menjadi bagian dari suatu perjanjian. Akan tetapi yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah sifatnya dan bentuknya. Kontrak lebih besifat untuk bisnis dan bentuknya perjanjian tertulis. Kontrak memiliki suatu hubungan hukum oleh para pihak yang saling mengikat, maksudnya adalah antara pihak yang satu dan dengan yang lainnya saling mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut, pihak yang satu dapat menuntut sesuatu kepada pihak yang lain, dan pihak yang dituntut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut apabila melakukan suatu pelanggaran yang tidak sesuai dengan isi dari kontrak tersebut.

Adanya isu di dalam masyarakat yang mana menyebutkan banyaknya terjadi tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak perusahaan penyelenggara pasar modal dalam menjalankan usahanya. Tindakan tersebut merupakan suatu dalih bagi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan membuat perusahaan tersebut dapat bertahan, meskipun banyak menimbulkan adanya pihak-pihak yang dirugikan.

Perusahaan-perusahaan penyelenggara pasar modal yang melakukan suatu pelanggaran dalam menjalankan usahanya yang tidak jarang melakukan kejahatan


(23)

seperti misalnya, penipuan, manipulasi pasar, bahkan adanya kejahatan insider trading. Namun pada pelaksanaan kegiatan pasar modal tersebut dengan adanya kejahatan-kejahatan yang terjadi, pihak perusahaan yang mana merupakan perusahaan yang dapat memberikan suatu penawaran umum dalam melakukan transaksi antara pihak perusahaan dengan calon nasabah mengantisipasi apabila terjadinya suatu pelanggaran atau kejahatan yang disebabkan oleh orang dalam ataupun pihak perusahaan itu sendiri baik diketahui maupun tidak diketahui oleh calon nasabah dengan membuat suatu perjanjian tersebut.

Suatu perjanjian yang dilakukan dan ditawarkan oleh pihak prusahaan publik tersebut kepada calon nasabahnya biasanya merupakan suatu kontrak yang diberikan dengan bentuk perjanjian baku (standart contract) yang mana pada jenis kontrak tersebut terdapat suatu klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi merupakan suatu klausula dalam perjanjian yang dapat membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab. Secara sederhana, klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula pengecualian kewajiban atau tanggung jawab dalam perjanjian.

Adanya suatu perjanjian baku yang mengandung adanya klausula eksonerasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh pihak perusahaan untuk tetap melakukan kegiatan dalam pasar modal meskipun terdapat kecurangan atau kejahatan-kejahatan yang dilakukan baik diketahui maupun tidak diketahui oleh calon nasabah. Dengan adanya klausula eksonerasi ini maka dapat menghilangkan hak dari nasabah dan lebih


(24)

menguntungkan pihak perusahaan yang merupakan pembuat dari adanya suatu perjanjian tersebut.

Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya perjanjian atau kontrak yang telah dilakukan, yaitu dengan uang nasabah yang hendak ditanamkan dalam perusahaan pasar modal, akan tetapi uang nasabah tersebut tidak benar-benar digunakan sebagaimana mestinya, melainkan perusahaan mengontrol segala sesuatunya agar terlihat bahwa perusahaan memang benar-benar menjalankan kegiatan pasar modal yang mana pada kenyataannya perusahaan tersebut memanipulasi keadaan sehingga uang yang tadinya ditanamkan oleh nasabah hanya berputar di dalam perusahaan semata dan transaksi yang dilakukan tersebut hanyalah transaksi semu.

Pada kenyataannya hal tersebut tentu hanya diketahui oleh pihak perusahaan dan tidak diberitahukan oleh calon nasabahnya, maka dari itu dengan adanya perjanjian atau kontrak baku yang mengandung suatu klausula eksonerasi tersebut sangat dimanfaatkan oleh pihak perusahaan untuk melepas tanggung jawab apabila terjadinya suatu kerugian terhadap nasabah.

PT. Victory International Futures merupakan perusahaan yang bergerak di bidang investasi dengan fokus produk investasi di forex, index futures, dan precious metal, dengan dukungan dan pemanfaatan media internet sebagai jalur transaksi yang berkantor pusat di Surabaya, Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 2003, yang mana perusahaan tersebut juga berfokus pada layanan keuangan bagi nasabah internasional yang mengharapkan layanan nasabah secara personal dan luar biasa dengan peralatan dan perangkat lunak perdagangan yang tidak tertandingi. PT.


(25)

Victory International Futures memiliki izin usaha yang legal dimana perusahaan ini juga berada dalam pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi yang selanjutnya disebut Bappebti, PT. Bursa Berjangka Jakarta yang selanjutnya predisebut BBJ, PT. Kliring Berjangka Indonesia yang selanjutnya disebut KBI, PT. Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia, dan yang terakhir adalah ISI Clearing House.7

Bappebti dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, merupakan satu unit Eselon I di bawah Kementerian Perdagangan. Bappebti bertugas melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan perdagangan berjangka serta pasar fisik dan jasa sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Kementerian dan badan hukum lainnya. Selanjutnya, BBJ memiliki tugas utama yaitu menjadi fasilitator bagi para anggotanya agar dapat bertemu dan bertransaksi dalam kontrak berjangka. Harga ditentukan melalui metode elektronik, berdasarkan interaksi efisien antara permintaan dan persediaan dalam sebuah sistem perdagangan. Dilanjutkan dengan KBI, dimana KBI adalah perusahaan milik pemerintah. KBI menjalankan kliring, penjaminan penyelesaian transaksi kontrak berjangka, dan kontrak derivatif lain yang didaftarkan anggotanya yang terdapat di Foreign Exchange Futures, dan menangani fungsi administrasi atas resi gudang dan derivatifnya.

7 Victory International Futures, 2014, “Victory International Futures”, URL : http://www.vifcorps.com/, diakses tanggal 20 Januari 2016


(26)

Selanjutnya, PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia yang hadir untuk melayani kepentingan ekonomi regional yang mendasari pusat perdagangan global untuk berbagai komoditi lokal termasuk Minyak Kelapa Sawit Mentah, Batubara, Gas Alam, Kopi dan Timah. Visi PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia adalah untuk menyediakan tempat bagi para pelaku pasar memperdagangkan produk komoditi global dan regional dalam wilayah waktu Asia, sekaligus memperbolehkan pelaku pasar untuk mengurangi risiko dan memfasilitasi proses pembentukan harga secara efisien, dan yang terakhir adalah ISI Clearing House. ISI Clearing House ditunjuk sebagai lembaga penjamin kliring untuk Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia dan bertanggung jawab atas semua aktivitas kliring dan penyelesaian aset. ISI Clearing House beroperasi di bawah standar internasional untuk manajemen risiko, pembatasan, dan penyelesaian aset.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa PT. Victory International Futures merupakan perusahaan yang bergerak di bidang investasi yang mana perusahaan tersebut juga dapat disebut sebagai Perusahaan Pialang. Perusahaan Pialang atau dapat disebut Broker Anggota Bursa (AB), adalah pihak yang membantu nasabah untuk melakukan pembelian atau penjualan efek di bursa.8 Berkaitan dengan kegiatan usaha pada PT. Victory International Futures ini maka nasabah tersebut merupakan subjek yang sangat penting dalam berlangsungnya kegiatan investasi pada perusahaan.

8 Bappebti, 2012, “Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi)”, URL : http://www.bappebti.go.id/id/home#, diakses tanggal 21 Januari 2016


(27)

Nasabah sesungguhnya lebih dikenal sebagai pengguna jasa yang terkait dengan lembaga perbankan, namun dalam hal ini nasabah juga dapat diartikan berbeda selain sebagai pengguna jasa pada lembaga perbankan yaitu seperti pengguna jasa pada perusahaan pialang seperti PT. Victory International Futures. Istilah nasabah yang digunakan pada PT. Victory International Futures juga dapat diartikan sebagai investor, dimana seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa PT. Victory International Futures ini bergerak di bidang investasi.

Dalam PT. Victory International Futures, seseorang dikatakan sebagai nasabah apabila seseorang telah melakukan pemembelian atau penjualan produk-produk investasi di forex, index futures, dan precious metal, sehingga pada PT. Victory International Futures nasabah merupakan subjek yang sangat penting dalam berlangsungnya kegiatan investasi di dalam perusahaan. Dalam PT. Victory International Futures ini apabila seseorang telah melakukan pembelian produk-produk investasi tntunya akan terikat pada suatu perjanjian. Perjanjian yang dikeluarkan dari PT. Victory International Futures kepada nasabahnya merupakan suatu perjanjian baku (standar) yang mana di dalamnya mengandung klau sula eksonerasi.

Klausula eksonerasi tersebut dapat ditemui didalam perjanjian nasabah yang dibuat oleh PT. Victory International Futures yang bergerak dalam kegiatan perdagangan berjangka Didalam perjanjian nasabah tersebut, terdapat klausula-klausula yang melepas tanggungjawab perusahaan ketika pihak nasabah mengalami kerugian, sebagai contoh apabila perdagangan sewaktu-waktu dihentikan oleh pihak


(28)

yang memiliki otoritas seperti Bappebti, BBJ, KBI, PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia, dan ISI Clearing House tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada nasabah atas posisi terbuka yang masih dimiliki oleh nasabah pada saat perdagangan tersebut dihentikan, maka akan diselesaikan berdasarkan pada peraturan yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pihak otoritas tersebut, dan semua kerugian serta biaya yang timbul sebagai akibat dihentikannya transaksi oleh pihak otoritas perdagangan tersebut, menjadi beban dan tanggung jawab nasabah sepenuhnya. Sehingga dari klausula tersebut dapat terlihat apabila adanya kerugian yang timbul menjadi tanggungjawab nasabah.

Berdasarkan latar belakang tersebut, akan dilakukan suatu penelitian hukum dengan mengambil judul “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dengan Adanya Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar) Pada PT. Victory International Futures” dalam bentuk skripsi.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun premasalah yang akan peneliti bahas dalam karya ini, diantaranya adalah :

1. Bagaimanakah akibat hukumnya dengan adanya klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian baku (standar) yang melibatkan nasabah dengan PT. Victory International Futures?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap nasabah dalam perjanjian baku (standar) yang melibatkan nasabah dengan PT. Victory International Futures?


(29)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Didalam penelitian suatu karya tulis yang bersifat ilmiah maka diperlukan batas dalam bahasan masalahnya agar dalam proses penelitiannya materi yang diuraikan tersebut dapat terurai dengan alur yang runtut dan sistematis, sehingga jawaban dari pemecahan masalahnya dapat bersifat efektif dan efisien. Hal ini bertujuan agar nantinya memudahkan para pembaca untuk mengetahui maksud dari dibuatnya karya tulis ini, serta maksud yang dimiliki oleh peneliti agar tetap dapat tersampaikan secara jelas.

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah peneliti paparkan sebelumnya, maka obyek kajian penelitian ilmiah ini yaitu mengenaiakibat adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian dan perlindungan hukum terhadap nasabah yang mengalami kerugian serta pertanggungjawaban perusahaan pialang terhadap nasabah.

1.4 Orisinalitas

Sejuah ini penelitian tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dengan Adanya Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar) Pada PT. Victory International Futures” belum pernah dilakukan, fakta ini diperoleh dengan observasi di ruang koleksi skripsi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana, secara spesifik tidak ada penelitian yang mengangkat mengenai Pasar Modal.


(30)

Untuk penelitian sejenis yang serupa dengan penelitian yang diajukan, akan peneliti jabarkan dalam tabel berikut ini :

NO. PENULIS JUDUL RUMUSAN

MASALAH

KETERANGAN

1. Sri Agustina Rejeki Silalahi Skripsi : Perlindungan Hukum Terhadap Investor Akibat Prospektus Yang Menyesatkan Dalam Transaksi Efek Di Pasar Modal

1. Bagaimana

Peranan Prospektus dalam Transaksi Efek di Pasar Modal? 2. Bagaimana Prospektus yang Menyesatkan di Pasar Modal? 3. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Investor akibat Prospektus yang Menyesatkan dalam Transaksi Efek di Pasar

Ditulis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Sumatra Utara, pada tahun 2008, yang mana pada intinya skripsi ini menulis mengenai

perlindungan hukum terhadap investor akibat prospectus yang menyesatkan dalam transaksi Pasar Modal.


(31)

Modal? 2. Made Dwi

Juliana, S.H. Tesis : Perlindungan Hukum Bagi Investor Terhadap Tindakan Tippee Yang Melakukan Insider Trading Dalam Perdagangan Saham 1. Bagaimanakah tindakan tippee dalam insider trading pada perdagangan saham di Indonesia? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi

investor bila terjadi insider trading oleh tippee dalam kegiatan pasar modal? Ditulis untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan

(M.Kn.) di Magister Kenotariatan

Universitas Udayana, pada tahun 2015, yang mana pada intinya tesis ini menulis mengenai perlindungan hukum bagi investor terhadap tindakan tippee yang melakukan insider trading


(32)

1.5 Tujuan Penelitian

Dalam setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian dan perlindungan hukum serta pertanggung jawaban perusahaan pialang terhadap nasabah yang merasa dirugikan. 1.5.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan penelitian yang hendak peneliti capai adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui akibat adanya klausula eksonerasi di dalam perjanjian

baku (standar).

2. Untuk mengetahui apa saja perlindungan hukum yang didapat atau diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban perusahaan yang telah mengakibatkan adanya nasabah yang merasa dirugikan.

1.6 Manfaat Penelitian

Dengan penelitian mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan dan pertanggungjawaban yang diberikan akibat terjadinya pelanggaran dalam pasar


(33)

modal sebagaimana telah disinggung di atas, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang lebih baik kepada seluruh masyarakat di Indonesia bahwa untuk masalah yang terjadi dalam kegiatan pasar modal di Indonesia.

1.6.2 Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum, pemerintah, OJK, Bapepam, Bappebti serta para pelaku kegiatan pasar modal dan seluruh masyarakat Indonesia agar dapat mewujudkan harapan semua pihak, khususnya bagi para pihak yang merasa dirugikan dalam kegiatan pasar modal.

1.7 Landasan Teori

1.7.1 Teori Perlindungan Hukum

Teori Perlindungan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234, selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) yang menentukan bahwa :


(34)

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Pengertian perlindungan hukum dikaitkan dengan asas-asas materi muatan perundang-undangan melekat dalam asas pengayoman. Hal ini disebabkan karena kata perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga Negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain Teori Perlindungan Hukum menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pemahaman mengenai Teori Perlindungan hukum menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra yang berpendapat


(35)

bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.9

Dengan demikian menurut Teori Perlindungan hukum ini bahwa perlindungan hukum harus bersifat adaptif dan fleksibel serta adaptif dan antisipatif. Adaptif dan fleksibibel berarti harus selalu sesuai dengan perkembangan kondisi dan situasi. Adaptif serta fleksibel mengandung arti bahwa hukum harus dapat membuka kemungkinan akan dapat memberikan perlindungan apabila timbul tindakan yang merugikan pihak-pihak tertentu.

1.7.2 Teori Pertanggunngjawaban Hukum

Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subyek resposibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility)10. Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak

9Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, h. 118.

10 Hans Kelsen, 1967, Pure Theory Of Law. Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition. Translated by: Max Knight. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, h. 119.


(36)

memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau di-lakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak relevan. Adalah cukup bahwa perbuatannya telah membawa efek yang dinyatakan oleh legislator sebagai harmful, yang berarti menunjukkan hubungan eksternal antara perbuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku dan efek dari perbuatan ter-sebut. Pertanggungjawaban semacam ini disebut dengan pertanggungjawaban absolut. Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika tindakan individu telah direncanakan dan dimaksudkan untuk efek tertentu dari per-buatan tersebut dan kasus ketika tindakan seorang individu membawa akibat harmful tanpa direncanakan atau dimaksudkan demikian oleh pelaku. Ide keadilan indi-vidualis mensyaratkan bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada tindakan individu hanya jika harmful effect dari perbuatan tersebut telah direncanakan dan dimaksudkan demikian oleh individu pelaku, dan maksud tersebut merupakan perbuatan terlarang. Akibat yang oleh legislator dianggap sebagai harmful mungkin secara sengaja di-lakukan oleh individu tanpa maksud menyakiti individu lain. Sebagai contohnya, seorang anak mungkin membunuh ayahnya yang sakitnya tidak sembuh-sembuh dengan tujuan untuk menghentikan penderitaan. Maka maksud anak atas kematian ayahnya tersebut adalah bukan tindakan yang terlarang (malicious). 11 Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan individu hanya karena akibat perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang salah tidak sepenuhnya diterima dalam

11 Kelsen, Hans, 1961, General Theory of Law and State. Translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, h. 65.


(37)

hukum modern. Individu secara hukum bertanggungjawab tidak hanya jika secara obyektif harmful effect dilakukan secara terlarang, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya maksud atau direncanakan oleh individu pelaku. Namun sanksinya mungkin berbeda dalam kasus yang berbeda-beda.

Suatu sikap mental deliquent tersebut, atau disebut mens rea, adalah suatu elemen delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault) (dalam arti lebih luas disebut dolus atau culpa). Ketika sanksi diberikan hanya terhadap delik dengan kualifikasi psikologis inilah disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on fault atau culpability). Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan (negligance). Kealpaan adalah suatu delik omisi, dan per-tanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan perper-tanggungjawaban absolut dari pada culpability.

1.7.3 Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini, terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan “ persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Artinya sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu


(38)

seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan. Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatuhan, yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan.

1.7.4 Prinsip Keterbukaan

Pengertian Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk pada undang undang nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap putusan pemodal terhadap efek dimaksud dan atau harga dari efek tersebut. Sedangkan informasi atau fakta material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pda bursa efek dan atau keputusan pemodal, calon pembeli atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. Dan mengenai perusahaan terbuka sebagai mana dijelaskan dalam peraturan Bapepam LK nomor IX.H.1 tentang pengambilalihan perusahaan terbuka, angka 1 huruf a. adalah perusahaan publik atau perusahaan yang telah melakukan penawaran umum saham atau efek bersifat ekuitas lainnya.12

Prinsip keterbukaan menjadi persoalan inti dalam pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa dari pasar modal itu sendiri. Keterbukaan informasi merupakan salah

12Pompe, Sebastian & Reksodiputro, Marjono, 2010, Ikhtisar Ketentuan Pasar Modal, The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, h. 25


(39)

satu karakteristik khusus yang dikenal dalam bidang pasar modal. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengamanatkan kepada setiap pelaku kegiatan pasar modal terutama pada Emiten dan/atau Perusahaan Publik agar senantiasa menjalankan prinsip keterbukaan dalam menjalankan kegiatan pasar modal dengan baik. Yang mana pelaksanaan prinsip keterbukaan tersebut dapat diimplementasikan melalui penyampaian informasi atau fakta material terkait usaha atau efeknya. Hal tersebut juga dapat dijadikan suatu pertimbangan bagi nasabah untuk melakukan penanaman modal di suatu perusahaan tertentu, sehingga secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan efek.

Dalam perjalanannya emiten dan atau perusahaan publik pasti melakukan bentuk-bentuk aksi korporasi (Corporate Action). Aksi korporasi tersebut baik berupa pembagian deviden, penerbitan saham bonus, dan lain sebagainya. Bapepam LK dan Bursa Efek telah mengatur agar dalam menjalankan aksi korporasinya emiten dan/atau perusahaan publik tetap memperhatikan prinsip keterbukaan guna mencegah adanya kerugian bagi pemangku kepentingan (stakeholders). Kepatuhan melaksanakan prinsip keterbukaan merupakan kunci utama dalam menciptakan pasar modal yang adil dan efisien. Prinsip keterbukaan menjadi persoalan yang sangat penting di pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa pasar modal itu sendiri.

Penegasan dan pengertian mengenai prinsip keterbukaan juga telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang mana menyatakan :


(40)

“Prinsip keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut.”

Tujuan dari prinsip keterbukaan ini perlu dilakukan untuk menciptakan efisiensi dalam transaksi efek agar dapat memberikan informasi secara transparan, adil, dan bijaksana. Tanpa kewajiban keterbukaan ini mustahil tercipta pasar efisien. Keterbukaan dalam transaksi efek menyangkut seluruh informasi mengenai keadaan usahanya yang meliputi aspek keuangan, hukum, manajemen, dan harta kekayaan perusahaan yang akan melakukan emisi saham di bursa.

1.8 Metode Penelitian

Di dalam melakukan penelitian ilmiah, tentunya harus menggunakan metode-metode ilmiah dalam penelitiannya. Dengan demikian, maka metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah jenis penelitian hukum empiris yang berari penelitian hukum ini akan berdasarkan pada efektifitas hukum di dalam masyarakat13.Dalam penelitian ini yang akan dipelajari dan diteliti secara mendalam adalah bagaimana law in action di dalam perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi. Akibat dari diadakannya penelitian dengan menggunakan jenis penelitian empiris ini yaitu jawaban dari rumusan masalah yang

13Bambang Sunggono, 1996, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 43.


(41)

telah penulis paparkan sebelumnya akan tidak tersedia dalam sumber hukum konvensional seperti bahan-bahan hukum dan studi kepustakaan saja, tetapi ada di dalam kehidupan masyarakat yang penulis teliti langsung.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan PerUndang-Undangan (The Statute Approach) , Pendekatan Fakta (The Fact Approach).Pendekatan PerUndang-Undangan (The Statute Approach), adalah pendekatan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma hukum dalam hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan Pasar Modal.

Pendekatan fakta (The Fact Approach), adalah penelitian dengan mengumpulkan fakta-fakta yang terdapat langsung di lapangan yang penulis cari dan amati sendiri secara metodis untuk dijadikan bahan dalam menunjang penulisan skripsi ini.

1.8.3 Sifat Penelitian

Dikarenakan penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian empiris, maka sifat penelitian karya ilmiah ini adalah deskriptif dan penelitian eksplanatoris, yang mana pada sifat penelitian deskriptif ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik atau faktor-faktor tertentu14. Dan penelitian eksplanatoris yaitu penelitian yang ingin mengetahui


(42)

pengaruh dan dampak suatu variable terhadap variable lainnya atau penelitian tentang hubungan atau korelasi suatu variable15.

1.8.4 Data dan Sumber Data

1. Data Primer, merupakan data yang bersumber dari pengamatan di lapangan, dalam penelitian karya ilmiah ini yaitu pada perusahaan pialang bernama PT. Victory International Futures yang mana dapat melakukan penawaran umum terhadap sautu efek kepada nasabah. Untuk mengetahui bagaimana penerapan teori pada lapangan. Dari pengamatan langsung ke lapangan akan diperoleh data yang relevan yang selanjutnya akan dianalisis.

2. Data Skunder, yaitu merupakan data yang bersifat kepustakaan 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam karya ilmiah ini menggunakan studi dokumen, wawancara.

1. Teknik studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dari penelitian hukum empiris, yang mana pada teknik ini dilakukan penelitian atas bahan-bahan hukum yng relevan dengan permasalahan yang diangkat pada karya ilmiah ini. Studi dokumen dalam hukum dibedakan menjadi tiga, yaitu16 :

15 ibid.

16Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Buku Pedoman Pengenalan Bahan Hukum,


(43)

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan peraturan lain. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan, ialah : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Nasabah

b. Bahan hukum sekunder, bahan-baan yang memberikan penjelasan atas bahan hukum primer, yakni rancangan undang-undang, hasil penelitian, buku dan artikel.

c. Bahan hukum tersier, bahan-bahan yang memberikn penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum

5. Teknik wawancara, adalah teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada yang diwawancarai17. Dalam karya ilmiah ini akan digunakan juga teknik wawancara dalam pengumpulan datanya untuk mendapatkan fakta-fakta yang terdapat pada emiten atau perusahaan pialang yaitu PT. Victory International Futures seputar permasalahn yang diangkat pada penelitian ini.

17 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 57.


(44)

1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik non probality sampling, yang bentuknya adalah quota sampling dan purposive sampling. Quota sampling adalah suatu proses penarikan sampel dengan memperhatikan sampel yang paling mudah untuk diambil dan sampel tersebut telah memenuhi ciri-ciri tertentu yang menarik perhatian peneliti18. Dan purposive samling, yaitu penarikan sampel yang didasarkan pada tujuan tertentu dan sampel ditentukan sendiri yang mana penelitian sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memnuhi kriteria dan karakteristik yang merupakan cirri utama dari populasi19. 1.8.7 Pengolahan dan Analisa Data

Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul, tahap selanjutnya adalah tahap pengolahan data. Data yang telah terkumpul secara lengkap selanjutnya diolah secara kualitatif yang artinya memilih bahan hukum yang relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang diangkat. Tahap selanjutnya adalah mengkualifikasikan dan mengumpulkan data berdasarkan kerangka penulisan secara menyeluruh yang selanjutnya data yang diklasifikasikan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif. Deskriprif kualitatif adalah cara menggambarkan secara tepat tentang hal – hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Setelah data diolah dan dianalisa, maka akan mendapatkan suatu kebenaran yang mempunyai

18 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit, h. 87.


(45)

hubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yang akan disusun secara sistematis untuk mendapatkan suatu kesimpulan.


(46)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, NASABAH, PERJANJIAN BAKU (STANDAR) DAN KLAUSULA EKSONERASI

2.1 Perlindungan Hukum

2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum.Hubungan hukum adalah interaksi antara subjek hukum yang memiliki

relevansi hukum atau mempunyai akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban).20

Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak

yang diberikan oleh hukum.21 Selain itu, Muchsin berpendapat bahwa perlindungan

hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi.22

20Soeroso, 2006, Pengahantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.

21 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53.

22 Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14


(47)

Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip "Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas

hukum (rechtstaaf) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum

dasar)", elemen pokok negara hukum adalah pengakuan & perlindungan terhadap "fundamental rights".

Hubungan hukum tersebut dilakukan antara subyek hukum, baik

manusia (naiurlijke person), badan hukum (Recht Persoon) maupun jabatan (ambt)

merupakan bentuk dari perbuatan hukum, yang mana masing- masing subyek hukum merupakan pemikul hak dan kewajiban dalam melakukan tindakan hukum berdasarkan atas kemampuan dan kewenangan.

Hubungan hukum yang terjadi akibat interaksi antar subyek hukum tersebut secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan adanya relevansi serta adanya akibat-akibat hukum. Sehingga nantinya agar suatu hubungan hukum tersebut dapat berjalan dengan seimbang serta adil dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya serta dapat menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main yang mengatur, melindungi serta menjaga hubungan tersebut.


(48)

Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalme, yaitu menjamin kebebasan/hak warga, maka menaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya imperatif hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Begitu banyaknya hak-hak kita sebagai manusia dan begitu maraknya pelanggaran-pelanggaran serta tindakan-tindakan yang dalam hal ini mengancam hak-hak asasi kita maka pemerintah mengadakan perlindungan hukum dimana itu semua sangat memerlukan perhatian yang tidak biasa karena menyangkut hak-hak kita sebagai manusia.

2.1.2 Jenis – Jenis Perlindungan Hukum

Philipus M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas

dua, yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif. 23

a. Perlindungan Hukum Preventif

Preventif artinya rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan

(inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang

definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan hukum yang preventif ini bertujuan

untuk mencegah terjadinya sengketa.

23 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 3.


(49)

Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati hati dalam mengambil keputusan. Menurut Philipus M. Hadjon preventif merupakan keputusan keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah

yang dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan pencegahan.24

Jika dibandingkan dengan teori perlindungan hukum yang represif, teori perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan, namun akhir-akhir ini disadari pentingnya teori perlindungan hukum preventif

terutama dikaitkan dengan asas freies ermesen (discretionaire bevoegdheid). Asas

freies ermesen, yaitu kebebasan bertindak untuk memecahkan masalah yang

aturannya belum ada, sedangkan masalah itu harus diatasi dengan segera.25

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Perlindungan hukum represif ini

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.26

24 Philipus M. Hadjon, dkk, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the

Indonesian Administrative Law), cetakan kedelapan, Gajah Mada University, Yogyakarta, h. 3.

25Ibid.


(50)

2.2 Nasabah

2.2.1 Pengertian Nasabah

Nasabah pada dasarnya lebih dikenal sebagai pengguna jasa dalam bidang Perbankan. Pengertian nasabah dalam kamus besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa “Nasabah adalah orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi pelanggan bank (Dalam hal keuangan), dapat juga diartikan sebagai orang yang

menjadi tanggungan asuransi, perbandingam pertalian”.27

Dalam peraturan Bank Indonesia No. 7/7/ PBI 2005 jo No. 10/10 PBI/2008 tentang penyelesaian pengaduan nasabah pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan nasabah atau mitra adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan “Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”. Dalam Pasal 1 angka 17 dan angka 18 Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang – Undang Perbankan) dimuat mengenai jenis-jenis nasabah.

Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa “Nasabah penyimpan adalah nasabah

yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan bedasarkan perjanjian

bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Dalam Pasal 1 angka 18 Undang –


(51)

Undang Perbankan disebutkan “Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdsarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.”

Berdasarkan pendapat para ahli yang mengemukakan mengenai pengertian nasabah, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Djaslim Saladin dalam

bukunya ̋Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank ̋ yang dikutip dari ̋Kamus

Perbankan ̋ yang menyatakan bahwa “Nasabah atau mitra adalah orang atau badan

yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank ̋.28

Komaruddin dalam “Kamus Perbankan” menyatakan bahwa “Nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau

tabungan serupa lainnya pada sebuah bank ̋. 29 Sedangkan menurut

Muhammad Djumhana menyebutkan bahwa “nasabah merupakan konsumen dari

pelayanan jasa perbankan”.30

Apabila dilihat dari segi ilmu ekonomi, nasabah merupakan orang yang menggunakan jasa pelayanan pada perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Nasabah adalah orang yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses produksi selesai, karena mereka adalah pengguna produk.

28 Saladin Djaslim, 1994, Dasar-dasar Manajemen Pemasaran Bank, CV Rajawali, Jakarta, h. 84.

29 Komarudin, 1994, Kamus Perbankan, CV Rajawali, Jakarta, h. 102

30 Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 40-41.


(52)

Terdapat beberapa pendapat dari ahli yang mengemukakan mengenai nasabah

sebagai pengguna jasa pada perusahaan. Menurut Webster’s “Nasabah adalah

seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang sama untuk membeli suatu

barang atau peralatan”.31

Menurut Irawan bahwa “Nasabah adalah orang yang paling penting dalam

perusahaan”.32 Sedangkan menurut Rangkuti disebutkan “Nasabah adalah orang yang

mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa. Seseorang bisa disebut nasabah tanpa perlu membeli produk atau jasa, melainkan cukup hanya mengkonsumsi atau

menggunakan produk atau jasa tersebut”.33

Nasabah dari segi ekonomi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Nasabah internal

Nasabah internal atau konsumen internal adalah orang-orang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, penciptaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran dan penjualan dan pengadministrasian.

Mereka itu antara lain adalah jajaran direksi, manajer, pimpinan bagian, pimpinan seksi, penyelia, dan para pegawai organisasi komersial (perusahaan), pengurus dan pegawai organisasi non komersial (nirlaba), pegawai pada instansi pemerintah

2. Nasabah eksternal

31 Lupiyoadi Rambat, 2006, Manajemen Pemasaran Jasa, Cetakan Pertama, Edisi Kedua,

Salemba Empat, Jakarta, h. 143.

32 Irawan Handi, 2004, 10 Prinsip Kepuasan Nasabah, Cetakan Kelima, Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 1.


(53)

Nasabah eksternal atau konsumen eksternal adalah semua orang yang berada di luar organisasi komersil atau organisasi non komersil, yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa dari organisasi (perusahaan). Apabila ditinjau dari sisi kegiatan komersil dan non komersil, nasabah eksternal tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :

a) Kelompok nasabah dalam kegiatan komersil Penerima layanan yang

termasuk kelompok nasabah dalam kegiatan komersil.

b) Kelompok nasabah dalam kegiatan non-komersil Penerima layanan yang

termasuk kelompok nasabah kegiatan non-komersil adalah mereka yang menerima layanan dari penyedia layanan non-komersil yang sifat layanannya cuma-cuma atau dengan mengeluarkan pembayaran yang sepadan dengan manfaat yang diperolehnya.

Sehingga dapat dikatakan bahwa nasabah adalah seorang yang secara kontinu dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan membayar produk atau jasa tersebut

Dari pengertian nasabah yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa pengertian nasabah dari segi ilmu ekonomi dirasa lebih tepat digunakan dalam karya ilmiah ini, dimana pada karya tulis ini membahas mengenai suatu perusahaan yaitu PT. Victory International Futures yang merupakan perusahan yang bergerak di bidang investasi. Jadi pengertian nasabah dari segi ekonomi inilah yang dirasa lebih


(54)

tepat digunakan dibandingkan dengan pengertian nasabah dalam segi ilmu hukum yang lebih menjurus ke dalam ranah hukum perbankan.

2.3 Perjanjian Baku (Standar)

2.3.1 Pengertian Perjanjian Baku (Standar)

Perjanjian Standar dikenal dengan istilah dalam bahasa inggris yakni standar

contract. Dalam bahasa belanda perjanjian standar yaitu standard voorwarden.

Perjanjian ini dikenal juga dengan istiah “take it or leave it contract”. Mariam Darus

Badrulzaman mendifinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan

dan dituangkan dalam bentuk formulir.34

Hondinius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan izin dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian

yang sifatnya tertentu.35

Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang

34 Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank (Selanjutnya disebut dengan

Mariam Darus Badrulzaman I), Alumni, Bandung, h. 48.


(55)

spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan

formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.36

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang – Undang Perlindungan Konsumen) disebutkan bahwa “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh kon4sumen”.37 Dari pengertian

diatas dapat dilihat bahwa perjanjian baku memiliki korelasi dengan konsumen. Dengan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjian tersebut, maka posisi konsumen akan menjadi lemah dibandingkan dengan pelaku usaha yang telah menentukan isi atau klausul-klausul di dalam perjanjian itu secara sepihak. Lemahnya posisi konsumen tersebut dikarenakan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjin baku yang dapat menghilangkan hak konsumen sebagaimana seharusnya di dapatkan atau diterima oleh konsumen, serta menghilangkan tanggungjawab dari pelaku usaha.

Sedikit mengenai konsumen, pengertian konsumen berdasarkan pada Pasal 1 huruf o Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa

36 Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam

Shidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta.


(56)

“konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk

kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain”.38

Beberapa ahli juga mendefinisikan mengenai konsumen, seperti Inosentius Samsul menyebutkan “konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah,

dan undangan”.39 Sedangkan Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen

dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh kepustakaan Belanda,

yaitu: “Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”.40

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali dengan tujuan mencari

38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 1.

39 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab

Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.

40 Mariam Darus Badrulzaman, 1981 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II),


(57)

keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir.

Seperti pengertian yang telah disampaikan diatas, konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh

pengusaha41, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak

untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.

Namun dalam hal ini PT. Victory International Futures yang merupakan

perusahaan yang bergerak di bidang investasi dengan fokus produk investasi di forex,

index futures, dan precious metal ini menggunakan istilah nasabah bagi sesorang

yang menggunakan produk atau jasa pada perusahaan. Apabila dikaitkan dengan konsumen dan nasabah, maka pengertian nasabah yang ada di dalam hal ini merupakan pengguna produk/jasa pada perusahaan dapat dikatakan sebagai konsumen. Hal tersebut disebabkan karena pengertian mengenai konsumen tersebut meskipun secara umum dikatakan sebagai pengguna produk/jasa akhir namun nasabah juga merupakan seseorang yang menggunakan produk/jasa yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut.

2.3.2 Bentuk dan Karakteristik Perjanjian Baku (Standar)

Rumusan mengenai pengertian perjanjian baku seperti yang telah dikemukakan di atas, dimana sebelum perjanjian baku tersebut ditawarkan kepada konsumen (yang dalam hal ini adalah nasabah), para pelaku usaha (yang dalam hal ini

41 Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi


(1)

Sjahdeni menekankan yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul – klausulnya. 51

Rijken memberikan pendapat bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.52

Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa istilah klausul eksonerasi adalah sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggunjawaban dari kreditur, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya.53

Shidarta mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/ penyalur produk (penjual). 54

Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang merugikan konsumen yang pada umumnya memiliki posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan

51 Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta

52 Mariam Daruz Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, h. 47

53 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-3, Sinar Grafika, Jakarta, h. 141


(2)

produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersbeut menjadi beban konsumen.55

2.4.2 Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar)

Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh produsen yang mengandung ketentuan yang berlaku umum, sehingga pihak konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan yaitu menyetujui atau menolaknya. Adanya pilihan tersebut dikatakan bahwa tidak melanggar asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata yang berarti bahwa bagaimana pihak konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave it).

Persyaratan yang terdapat dalam sutau perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Suatu perjanjian standar yang mengandung klasula eksonerasi pada umumnya dikhawatirkan oleh masyarakat karena dapat membatasi bahkan menghapus tanggungjawab yang seharusnya dibebankan kepada produsen.

Klausula eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi antara produsen dan konsumen. Terciptanya keseimbangan antara produsen dan konsumen dengan cara membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula eksonerasi dengan adanya campur tangan pemerintah dalam pembatasan tersebut. Campur tangan pemerintah terlihat dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan

55Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Press, Jakarta. h.114


(3)

Pasal 4 Undang – Undang Perlindungan Konsumen ditentukan secara prinsipnya terdapat hak konsumen terdapat:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Undang – Undang Perlindungan Konsumen tidak mencamkan istilah klausula eksonerasi melainkan klasula baku. Dalam Pasal 1 Undang – Undang Perlidungan Konsumen disebutkan “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat – syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajin dipenuhi oleh konsumen.” Secara sederhana, klausula baku mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang posisi relatif lebih kuat dibandingkan konsumen;


(4)

b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi dari klausula baktu tersebut;

c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan bersifat missal;

d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena di dorong oleh kebutuhan.

Dalam melindungi hak konsumen dari lemahnya kedudukan konsumen, Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen; 4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan secara tindaka sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;


(5)

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; 7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu dimana larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Berlakunya Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan dan menghindarkan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam suatu perjanjain dengan pelaku usaha, sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen. Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula baku yang mengarah kepada klausula eksonerasi.

Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Perlidungan Konsumen diatur secara prinsipnya bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya


(6)

sulit dimengerti. Letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku berkaitan dengan Pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur pada prinsipnya bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.

Pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Perlindungan Konsumen disebutkan “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana diaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai sifat dari batal demi hukumnya perjanjian standar antara produsen dan konsumen apabila dalam perjanjian standar tersbut tercantum mengenai klausula eksonerasi. Dalam Pasal 1266 jo. 1267 KUHPerdata disebutkan secara prinsipnya bahwa pembatalan suatu perjanjian melalui pengadilan dan memiliki kekuatan hukum dalam putusan hakim. Akibat dari batal demi hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang memiliki arti bahwa pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Dari penjelasan tersebut maka ketika perjanjian baku memuat klausula eksonerasi dan diajukan gugatan ke pengadilan, hakim memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian menjadi batal seluruhnya.