Development Of Community Participation In Land And Forest Rehabilitation Movement; Case In sub District Of Layana East Palu And Sub District Of Lambara North Palu In Palu Regency, Central Sulawes

(1)

LAHAN (GN-RHL)

(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara

Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)

HASRIANI MUIS

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GN-RHL): Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Hasriani Muis NIM E051050061


(3)

HASRIANI MUIS. Development of Community Participation in Land and Forest Rehabilitation Movement: Case in District of Layana East Palu and Sub-District of Lambara North Palu in Palu Regency, Central Sulawesi. Under the direction of NURHENI WIJAYANTO and LETI SUNDAWATI

This research generally aimed to study the level of community participation on GN-RHL programs, relations among factors that influencing participation with level of community participation, and also making the strategy of development of community participation in GN-RHL. Method which applied is consisting of descriptive-quantitative and descriptive-qualitative by using Spearman Rank test, and SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). In both reaserch location, Layana and Lambara, level of participation at evaluation and planning phase pertained is low, while at execution phase, pertained height. Community participation in both location of admission in passive participation, where community only receiving notification of result which have been decided by the side of program executor, regardless of community comments as programs targets, and interchangeable information limited to outsider group. Strategy development of community participation in GN-RHL programes to be done with strategy WO (Weakness - Opportunitiess) that is to improve internal weakness and exploiting opportunity from external environment. Keyword: Community participation, forest and land rehabilitation, GN-RHL


(4)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(5)

LAHAN (GN-RHL)

(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)

HASRIANI MUIS

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

Judul Tesis : Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)

(Kasus di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah)

Nama : Hasriani Muis NIM : E 051050061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga saya dapat merampungkan tesis ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya selama perkuliahan dan penyusunan disertasi ini.

Ucapan terima kasih saya haturkan kepada yang terhormat Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku pembimbing utama dan Dr. Ir. Leti Sundawati MSc selaku pembimbing anggota. Beliau-beliau telah mengarahkan, membukakan pikiran, dan meluangkan waktunya untuk membimbing saya melalui pertanyaan-pertanyaan kritis dan saran-saran yang diajukan kepada saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Dudung Darusman MA, yang telah bersedia sebagai dosen penguji pada ujian tesis saya.

Terimakasih saya kepada Rektor, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua Jurusan Manajemen Hutan, Universitas Tadulako (Bapak Ir. H. Akhbar Zain MT), atas izin dan dorongannya sehingga saya dapat melanjutkan studi pada program Magister di IPB. Kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa yang diberikan, saya ucapkan banyak terimakasih.

Kepada Ketua Kelompok Tani Kelurahan Layana, Bapak Hasyim dan Ketua Kelompok Tani Kelurahan Lambara, Bapak Nasruddin, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Palu, Pimpinan Proyek Program GN-RHL, Pimpinan Pelaksana kegiatan GN-RHL dan semua pihak yang telah banyak membantu selama penelitian ini dilakukan diucapkan banyak terimakasih. Demikian halnya dengan rekan: Mbak Vanny, Mbak Mely, Pak Sedek, Pak Ajun, Urip dan rekan-rekan yang lain, serta kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya yang telah diberikan kepada saya selama ini.

Terakhir, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya haturkan kepada ayahanda saya H. Abdul Muis dan ibunda saya Hj. Rahmawati, yang selama ini tak putus-putusnya selalu memanjatkan doa untuk kebahagian saya, dan berharap agar saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Juga kepada Suami saya tercinta, Golar dan kedua anak saya Misykah Aulia Golar dan


(8)

Ahmad Fadlan Golar, yang selalu mendampingi dalam suka dan duka, dan memberikan semangat kepada saya saat menempuh studi ini. Semoga Allah SWT membalasnya lebih baik. Saya berharap tesis ini merupakan amalan sholeh, amin.

Bogor, Agustus 2007 Hasriani Muis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Walenrang Kabupaten Luwu pada tanggal 11 Desember 1976 dari ayah H. Abdul Muis dan ibu Hj. Rahmawati. Penulis merupakan anak ke delapan dari tigabelas bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Walenrang Kab. Luwu. Penulis kemudian melanjutkan studi program sarjana pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus pada Tahun 2001. Pada tahun 2004 sampai sekarang, penulis diterima sebagai dosen pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.

Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.


(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan Indonesia saat ini sebagian besar dalam kondisi rusak. Di sisi lain, kebutuhan akan keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan kualitas yang baik, yang dapat menopang seluruh kehidupan di muka bumi ini, masih cukup tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa terlepas dari wujud biofisik lahan saat ini, apabila sesuai dengan karakteristik biofisiknya, sebidang lahan harus berwujud dan berfungsi sebagai hutan. Dengan demikian, peruntukan lahan tersebut harus dipertahankan sebagai hutan. Artinya, jika hutan tersebut dalam kondisi baik maka harus tetap dipertahankan, dipelihara, dan dimanfaatkan secara lestari. Sebaliknya, jika dalam kondisi rusak maka harus direhabilitasi (Suhendang 2004). Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2006), luas kawasan hutan Indonesia ± 126,8 juta ha. Kawasan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (23,2 juta ha), kawasan lindung (32,4 juta ha), kawasan produksi terbatas (21,6 juta ha), kawasan produksi (35,6 juta ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha). Dari total luasan tersebut, kawasan yang telah terdegradasi sampai dengan tahun 2004 mencapai luas 59,17 juta ha. Sementara itu, lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan tercatat ± 41,47 juta hektar. Sebagian dari lahan-lahan tersebut tersebar di 282 Daerah Aliran Sungai (DAS).

Laju deforestasi menunjukkan angka yang berubah-ubah, dan cenderung menurun bukan karena berhasilnya kegiatan rehabilitasi, namun lebih dikarenakan semakin sulitnya bahan baku kayu dijangkau oleh penebang liar. Bila pada tahun 2003 diperkirakan laju kerusakan sebesar 3,2 juta hektar, pada tahun 2005 diperkirakan laju kerusakan hutan mencapai angka ± 2,4 juta hektar (WALHI 2004). Situasi tersebut terjadi pula di kawasan hutan dan DAS di Propinsi Sulawesi Tengah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas pembalakan komersial, baik secara illegal maupun legal, konversi hutan untuk perkebunan skala besar maupun kecil, dan pemungutan hasil hutan secara serampangan.


(11)

Penggundulan hutan di Sulawesi Tengah saat ini telah mencapai luasan ± 625.257 ha. Sekitar 35,25% atau seluas 220.288 ha kerusakan terjadi di dalam kawasan hutan. Selain menimbulkan dampak ekologis, kerusakan hutan tersebut berpengaruh terhadap kualitas kehidupan masyarakat pedesaan, terutama mereka yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan, dan menjadikan hutan sebagai bagian dari sumber pendapatan keluarga (YBAHL 2004).

Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam meredam laju degradasi hutan, utamanya melalui kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan. Namun, upaya tersebut hingga saat ini belum juga mampu memberikan hasil nyata. Hal ini disebabkan karena pemerintah masih memandang masalah deforestasi sebagai masalah fisik semata, sehingga pendekatan teknologi selalu diandalkan untuk memecahkannya.

Kegagalan tersebut di atas dapat dilihat dari dua sisi, pertama: deforestasi hanyalah gejala dari masalah lain, baik dibidang ekonomi, sosial, politik, dan kebijakan. Tanpa upaya untuk memecahkan masalah yang sebenarnya, kegiatan rehabilitas akan terus mengalami kegagalan; kedua: kegiatan rehabilitasi tidak menarik (atraktif) bagi masyarakat pengguna lahan untuk berpartisipasi, karena tidak mampu memecahkan masalah mereka secara langsung, misalnya: meningkatkan pendapatan atau mengurangi resiko kegagalan panen (Kartodihardjo 2006).

Upaya terkini yang ditempuh pemerintah dalam meredam laju degradasi hutan, yang sekaligus mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, adalah melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Namun demikian, setelah lebih dari empat tahun pelaksanaannya, keberhasilan kegiatan ini masih tergolong rendah. Hal ini terindikasi melalui banyaknya keluhan terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut di daerah-daerah. Salah satu faktor yang menjadi keluhan penerapan kegiatan GN-RHL adalah ”rendahnya tingkat partisipasi masyarakat”.

Terdapat sejumlah kajian terdahulu yang menjelaskan hubungan antara tingkat partisipasi masayrakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan, diantaranya: Pujo(1998), Sunartana (2003), Safei (2003), Trison (2005). Namun demikian, belum dijumpai kajian yang secara khusus menjelaskan faktor-faktor


(12)

dominan apa saja, baik internal maupun eksternal, yang meyebabkan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, serta strategi apa yang dapat diupayakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitas hutan, utamanya dalam kegiatan GN-RHL.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengetahui tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL

2. mengetahui hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL.

3. Menyusun strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL

Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Peserta kegiatan GN-RHL memiliki tingkat partisipasi yang rendah

2. Terdapat hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL

Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini dapat diketahui tingkat partisipasi masyarakat di setiap tahapan kegiatan dan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat, sehingga dapat diupayakan pengembangan terhadap partisipasi masyarakat.


(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). RHL mengambil posisi dalam mengisi kesenjangan, ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi lahan. RHL juga sangat berperan dalam meningkatkan luas areal bertegakan hutan dan bangunan konservasi tanah; memulihkan fungsi hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; memulihkan fungsi perlindungan tanah dan stabilitas iklim mikro; meningkatkan produksi Oksigen (O2) dan penyerap gas-gas pencemar udara; memulihkan dan melestarikan sumberdaya plasma nutfah; membuka peluang kesempatan berusaha dan kesejahteraan masyarakat; membuka peluang untuk pengembangan ekowisata; memulihkan citra negara, bangsa, pemerintah, dan masyarakat di mata dunia (WALHI 2004).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki beberapa prinsip, di antaranya: (a) meminimumkan kegagalan kebijakan (policy failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (government failure) dan kegagagalan pasar (market failure). Arahnya adalah mewujudkan good policy, good implementation, good performance; (b) RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; (c) RHL menggunakan DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; (d) adanya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; (e) memanfaatkan potensi masyarakat lokal (f) tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran rehabilitasi; (g) perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan/ kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; (h) kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat; dan (i) adanya penguatan kelembagaan (Timpakul 2004). Upaya-upaya RHL yang telah dilakukan selama ini disajikan pada Tabel 1.


(14)

Tabel 1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) selama Periode (1951 – 2004)

No Tahun Kegiatan

1 1951 – 1960 Penanaman karangkitri pada tanah-tanah pekarangan/tegalan melalui kegiatan Rencana Kesejahteraan Indonesia

2 1967-1970 Proyek Deptan 001 s/d 037 (penghijauan sektoral belum berbasis DAS)

3 1970-1976 Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP/world food program ( hasil kurang memadai) 4 1973-1979 Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland

Development /TA. INS/72/006 di Solo bantuan FAO/UNDP, mulai dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)

5 1981-1989 Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/ model farm.

6 1976/1977– 1996/1997

INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek2 di daerah (P3RPDAS), reboisasi dilaksanakan pemda propinsi dan penghijauan oleh pemda kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah – sedang

7 1990/1991– 1997/1998

Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhasilan: 57% realisasi pengembalian kredit)

8 2000 – 2004 RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Dephut (keberhasilan : rendah/bermasalah)

9 2000–2004 RHL DR (60 %) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan : rendah-cukup)

10 2003–2007 GN-RHL di DAS-DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPT nya, penyediaan bibit oleh BP DAS, penanaman/ konservasi tanah oleh Pem. Kab/Kota dan BKSDA/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat

Sumber : DEPHUT 2006

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah merehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ± 469.256 ha, dan penghijauan, termasuk hutan rakyat seluas ± 1.785.149 ha. Selain itu, di tahun


(15)

tahun 2003 pemerintah melului Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) telah mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas 3 juta ha, dengan sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Selain itu direncanakan pula pembangunan hutan tanaman seluas 5 juta ha dan hutan rakyat seluas 2 juta ha. Gerakan tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002, dengan tema: ”Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan”, sebagai komitment bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat (WALHI 2004).

Lingkup kegiatan GN-RHL terdiri atas: (a) Kegiatan pencegahan perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan (b) Kegiatan penanaman hutan dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi, dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan teras (terasering), sumur resapan (grass barrier), dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat 2003).

GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien. Tugas Kementerian/ Departemen/Non-Departemen/Lembaga dilaksanakan dalam rangka mensukseskan penyelenggaraan GN-RHL (Hidayat 2003).

Secara garis besar peran masing-masing stakeholder adalah sebagai berikut :

(a) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang perekonomian, dan Kementerian Bidang Politik dan Keamanan bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan GN-RHL.


(16)

(b) Departemen Kehutanan bertugas menyiapkan perencanaan dan pembibitan, pembinaan teknis dalam penanaman dan pemeliharaan, serta sebagai koordinator dalam pelaksanaan GN-RHL.

(c) Departemen Keuangan bertugas menyiapkan anggaran dan pendanaan bagi pelaksanaan GN-RHL.

(d) Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah bertugas memilih prioritas DAS yang kritis untuk ditangani dan menyiapkan peta DAS bagi dasar perencanaan.

(e) Departemen Pertanian bertugas pembinaan pemeliharaan tanaman pertanian/perkebunan yang ditanam dalam kegiatan GN-RHL.

(f) Departemen Dalam Negeri bertugas menggerakkan jajaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan penanaman bibit dan pemeliharaan tanaman, serta melaksanakan sosialisasi.

(g) Departemen Pendidikan Nasional bertugas mengerahkan siswa/mahasiswa untuk terlibat aktif dalam upaya GN-RHL, dan meningkatkan kepedulian siswa/mahasiswa terhadap kelestarian lingkungan.

(h) Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia bertugas melaksanakan penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan.

(i) Kementerian Lingkungan Hidup bertugas melakukan pemantauan pelaksanaan perkembangan perbaikan lingkungan serta sebagai koordinator dalam pencegahan perusakan lingkungan.

(j) Kementerian Riset dan Teknologi bertugas menyediakan informasi dan evaluasi tentang perbaikan kondisi lingkungan yang diperoleh dari citra satelit. (k) Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas menggerakkan personil/anggotanya untuk melaksanakan upaya-upaya penanaman bersama-sama masyarakat.

(l) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) bertugas mengamankan pelaksanaan kegiatan GN-RHL.


(17)

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bentuk Partisipasi

Partisipasi memiliki arti yang luas. Sebagian ahli mendefenisikan partisipasi sebagai keikutsertaan masyarakat, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan terbentuk sebagai akibat dari terjalinnya interaksi sosial antar individu atau kelompok masyarakat yang lain (Wardoyo 1992). Demikian halnya Davis (1967) menyebutkan partisipasi sebagai keterlibatan mental, pemikiran, dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok, yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan bersama, dan turut bertanggung jawab terhadap usaha bersangkutan.

Mubyarto (1984) mengartikan partisipasi sebagai suatu bentuk kesediaan membantu berhasilnya setiap kegiatan, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap individu tanpa mengorbankan diri sendiri. Lebih jauh, Slamet (2003) memaknai partisipasi masyarakat sebagai wujud keikutsertaan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Jadi, bukan hanya menyumbangkan input ke dalam pembangunan, namun lebih jauh ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

Sementara itu, Oakley (1991) lebih memandang partisipasi sebagai wujud perbaikan sistem atau sebagai suatu proses, yang dimaksudkan untuk memberi penguatan pada kemampuan masyarakat desa, agar mereka berinisiatif terlibat secara langsung dalam pembangunan. Sejalan dengan itu, Soetrisno (1995) mengemukakan bahwa defenisi partisipasi adalah kerjasama antar rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan. Dalam konteks ini diasumsikan bahwa rakyat mempunyai aspirasi dan nilai budaya, yang perlu diakomodasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan.

Derajat Partisipasi

Tjokroamidjojo (1991) menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat meliputi tiga tahap, yakni (1) keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan


(18)

kebijaksanaan pembangunan, (2) keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan (3) keterlibatan dalam memetik hasil dalam pembangunan secara berkeadilan. Lebih jauh, Ndraha (1987) mengemukakan enam tahapan partisipasi, di antaranya: (a) partisipasi dalam menerima dan memberikan informasi; (2) partisipasi dalam memberikan tanggapan dan saran terhadap informasi yang diterima, baik yang bersifat “mengiyakan“ atau yang menerima dengan syarat; (3) partisipasi dalam perencanaan pembangunan; (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; (5) partisipasi dalam menerima kembali hasil-hasil pembangunan dan (6) partisipasi dalam menilai pembangunan.

Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, Borrini-Feyerabend (2000) mengemukakan bahwa partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan, dan sumberdaya lainnya digerakkan dan dilaksanakan secara totalitas. Partisipasi berarti bahwa masyarakat lokal diberdayakan untuk menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola sumberdaya, membuat keputusan, dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Cernea 1985).

Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Wilcox (1994) telah mengembangkan partisipasi ke dalam lima tahap yakni: informasi, konsultasi, keputusan bersama, bekerja sama, dan mendukung kepentingan masyarakat (lihat Gambar 1).

Degree of control

Supporting

Acting together

Deciding together Consultation

Information

Substantial Participation


(19)

Menurut model Wilcox, tingkatan yang paling rendah dalam mengontrol sumber daya alam secara keseluruhan adalah tingkatan ”informasi”, di mana masyarakat diberitahu apa yang direncanakan dengan maksud untuk mendidik partisipan. Tingkatan selanjutnya dari partisipasi adalah ”konsultasi” yang berarti menawarkan beberapa opsi atau pilihan dan menerima masukan. Selanjutnya, ”keputusan bersama” berarti masyarakat didorong untuk memberikan beberapa ide, dan memutuskan bersama sebagai jalan terbaik ke depan. Tingkatan partisipasi yang lebih tinggi adalah ”bertindak secara bersama-sama”, untuk mencapai keputusan yang terbaik di antara kepentingan yang beragam atau berbeda kemudian melaksanakannya. Tahapan yang tertinggi dari kontrol adalah ketika masyarakat ”mendapatkan bantuan” berdasarkan apa yang mereka inginkan, berupa dukungan dari pemegang otoritas sumberdaya.

Secara lebih rinci, Nanang dan Devung (2004) mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa item, di antaranya:

Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya; pihak luar memfasilitasi mereka.

Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu Ini disebut “partisipasi interaktif.”

Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll. Tingkat 3. Perundingan (consultation): pihak luar berkonsultasi dan berunding

dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan.


(20)

Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar.

Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.

Tingkat-tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Peningkatan partisipasi merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan dan mengembangkan kekuatan lokal. Partisipasi masyarakat dapat dipandang pula sebagai satu kekuatan penting dan menentukan keberhasilan proses pembangunan dan hal yang penting adalah pemberdayaan ataupun partisipasi masyarakat hendaknya berjalan dengan sukarela, tanpa paksaan (Mubyarto1994). Keuntungan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan hutan di antaranya: (a) sasaran-sasaran lokal, pengelolaan lokal dan keuntungan-keuntungan lokal. Penduduk akan lebih antusias, tentang suatu rencana seperti miliknya sendiri, dan mereka akan lebih berkeinginan berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengawasannya; (b) mereka akan lebih sadar akan permasalahan dan peluang-peluang penggunaan dan pengelolaan sumberdaya hutan; (c) rencana dapat memberikan perhatian yang dekat pada desakan-desakan lokal, meskipun ini dikaitkan dengan sumberdaya alam dan masalah-masalah sosial-ekonomi dan budaya; dan (d) informasi yang lebih baik akan memberi sumbangan pada tingkat perencanaan yang lebih tinggi (Pujo1998).

Ada dua sumber yang menyebabkan munculnya partisipasi, yaitu: partisipasi yang muncul dari dalam diri manusia itu sendiri dan partisipasi karena dorongan dari luar. Kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi. Partisipasi dari luar dapat berupa paksaan atau rangsangan dari luar. Masyarakat dengan kesadaran sendiri melaksanakan pembangunan (Koentjaraningrat 1980). Namun demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan


(21)

sering dijumpai berbagai hambatan, di antaranya; pertama, belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksanan pembangunan. Di lingkungan aparat perencana dan pelaksanaan pembangunan, partisipasi merupakan kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak kegiatan-kegiatan pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Hambatan kedua yang ditemukan di lapangan adalah lemahnya kemauan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya peraturan/ perundang-undangan, yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi (Soetrisno 1995).

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan partisipasi. Lapisan penduduk yang berstatus sosial lebih tinggi biasanya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelasa sosial menegah lebih banyak terlibat dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelasa sosial yang lebih rendah lebih banyak hanya dalam proses pemanfaatan.

Sallatang (1986), menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan atau pelaksanaan proyek, di antaranya:

(1) Proyek-proyek yang dilaksanakan sebelumnya tidak dibicarakan secara tuntas dengan masyarakat. Masyarakat merasakan sekedar diminta dan diharapkan menerima dan melaksanakan saja. Sehingga, proyek-proyek yang dilaksanakan tidak atau kurang merupakan hasil kesepakatan (commitment) di antara para pelaku. Karenanya, masyarakat kurang memiliki rasa tanggung jawab.

(2) Tidak atau kurang diikutsertakannya masyarakat berpartisipasi dalam tahap perencanaan sebagai tahap pertama dalam menyelenggarakan suatu proyek, yang justru dalam penilaiannya merupakan suatu rangkaian kegiatan penting dirasakan oleh masyarakat. Demikian, masyarakat kurang ikut serta dalam proyek atau sedikitnya mereka merasa tidak diperhatikan.

(3) Di antara proyek-proyek yang dilaksanakan, banyak yang dirasakan oleh masyarakat tidak atau kurang menyentuh kebutuhan terasa (felt need) nya.


(22)

(4) Para warga masyarakat sukar mengambil atau memainkan peranan dalam berbagai kegiatan proyek, karena mereka tidak atau kurang mengetahui aturan-aturan teknis operasional dan prosedurnya.

(5) Pengorbanan yang dilepaskan ataupun keuntungan yang diperoleh berkenaan dengan pelaksanaan proyek-proyek, acapkali kurang berimbang dan kurang memenuhi rasa keadilan khususnya di kalangan mereka yang terkena langsung oleh proyek-proyek yang bersangkutan.

Hal tersebut sejalan dengan Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa setiap individu dapat mengalihkan partisipasinya dari suatu sistem ke sistem yang lain karena: (1) tingkat keuntungan (imbalan) yang diperoleh tidak ada atau rendah, (2) tidak adanya kesesuaian terhadap nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan dalam lingkungan kehidupan seseorang dan kelompok yang lebih mengandung harapan dan keuntungan lebih besar.

Partisipasi muncul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu yang disebut faktor intrinsik dan faktor dari luar diri disebut faktor lingkungan. Faktor intrinsik meliputi; umur, ukuran keluarga, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan (dari dalam dan luar kegiatan), luas lahan milik, kekosmopolitan, pendapatan rumah tangga, dan kepahaman kontrak. Sedangkan untuk faktor lingkungan meliputi; aksesibilitas lahan andil, peran pembinaan teknis, peran penyuluh, peran kelembagaan formal, peran kelembagaan informal, peran petugas lapangan dan luas lahan andil.

Slamet (1980) menyatakan bahwa dalam usaha menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi dipengaruhi beberapa hal yaitu: (1) adanya kesempatan untuk ikut dalam kegiatan, (2) ada kemauan untuk berpartisipasi dan (3) ada kemauan untuk memanfaatkan kesempatan. Iqbal (1988) dalam Sunartana (2003) menambahkan bahwa faktor-faktor yang termasuk dalam kesempatan yaitu peluang petani untuk menjadi peserta kegiatan, status keanggotaan, sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kemampuan yaitu pendidikan formal dan non formal, pengalaman petani dalam berusaha tani, usia petani, dan luas lahan. Sementara untuk faktor yang termasuk dalam kemauan yaitu motivasi petani dan jarak tempat tinggal petani dengan lokasi kegiatan.


(23)

Tingkat partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh dua faktor; yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu, meliputi; umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, pendapatan, motivasi, persepsi, jumlah tenagah kerja, status petani, dan kekosmopolitan. Sementara itu, faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik individu meliputi; ketersediaan saprodi, intensitas penyuluhan, dukungan pemerintah, dukungan lingkungan fisik, dukungan kelembagaan sosial, daya tarik kerjasama, kepadatan penduduk, dan jarak lahan garapan (Trison 2005). Demikian halnya Sunartana (2003) yang menjelaskan bahwa faktor internal meliputi: umur, tingkat pendidikan, status sosial, kekosmopolitan, pengalaman berorganisasi, pendapatan rumah tangga, motivasi, luas lahan garapan, dan persepsi. Untuk faktor eksternal meliputi; peran pendamping, peran pemerintah, kejelasan hak dan kewajiban, dan aspek sosial budaya masyarakat.

Analisis SWOT

Rangkuti (2005) menyatakan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi suatu rencana kegiatan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknes) dan ancaman (Threats), sehingga proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan.

Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001) kekuatan (Strengths) adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan (Weakness) merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang (Opportunities) merupakan situasi yang menguntungkan perusahaan, berbagai kecenderungan adalah salah satu peluang seperti peraturan-peraturan, dan perubahan teknologi. Sedangkan ancaman (Threaths) adalah situasi yang tidak menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan teknologi dan peraturan baru atau perubahan yang direvisi. Analisis Swot


(24)

didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimumkan kelemahan dan ancaman kemudian dilakukan pembandingan antar unsur-unsur SWOT maka perlu diketahui nilai masing-masing unsur SWOT tersebut.

Diagram SWOT merupakan perpaduan antar perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Penempatan selisih nilai S (kekuatan) – W (kelemahan) pada sumbu (x) dan penempatan selisih nilai antara O (peluang) – T (ancaman) pada sumbu (y) maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan menentukan arah strategi yang akan digunakan dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL).

Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2005)

Pada sel 1 (support an agresive strategy) merupakan situasi yang paling menguntungkan. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL memiliki peluang dan kekuatan. Jika rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL pada sel 2 (support a diversification strategy), meskipun menghadapi berbagai macam ancaman, namun masih memiliki kekuatan. Apabila rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam


(25)

kegiatan GN-RHL berada pada sel 3 (support a turnaround oriented strategy) berarti rencana tersebut mempunyai peluang tetapi dihambat oleh adanya kelemahan-kelemahan internal. Sedangkan jika rencana pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL berada pada sel 4 (support a difensive strategy) berati rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap sel pada diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda suatu unit usaha, sehingga diperlukan strategi yang berbeda dalam penanganannya.

Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2005) mengemukakan bahwa alat yang dapat dipakai untuk menyusun faktor-faktor perusahaan adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Keunggulan matrik SWOT adalah dapat mempermudah dalam memformulasikan strategi berdasarkan gabungan antara faktor internal dan eksternal.


(26)

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003, dalam penerapannya dijumpai berbagai kendala dan hambatan. Kehadiran kegiatan tersebut cenderung “bernuansa proyek” semata, lebih bersifat sentralistik, dan tidak partisipatif. Masyarakat hanya dijadikan obyek pelaksana teknis di lapangan, sehingga cukup beralasan bila dijumpai beberapa kasus penerapan kegiatan GN-RHL yang cenderung “gagal”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah hingga saat ini masih belum memahami ”makna sebenarnyadari konsep partisipasi (la. Soetrisno 1995; Setyarso 2004). Pemahaman partisipasi yang berlaku di lingkungan aparat perencana adalah "kemauan masyarakat untuk mendukung secara mutlak kegiatan-kegiatan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah”. Kegiatan GN-RHL diistilahkan sebagai proyek pembangunan kehutanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga “harus dilaksanakan”. Kondisi tersebut menyebabkan respon dan partisipasi masyarakat bersifat semu terhadap kegiatan . Prasyarat agar suatu partisipasi dapat disebut sebagai “partisipasi yang sesungguhnya” sedikitnya memiliki enam tolak ukur (Ostrom et a.l 1993), di antaranya: (a) adanya akses dan kontrol (penguasaan) atas lahan dan sumberdaya hutan oleh warga, (b) adanya keseimbangan kesempatan dalam menikmati hasil-hasil dari hutan, (c) adanya komunikasi (tukar wacana) yang baik dan hubungan yang konstruktif (saling menopang) antar pihak yang berkepentingan terhadap hutan, (d) adanya keputusan kampung yang dibuat oleh warga kampung tanpa tekanan dari luar (masyarakat tidak didikte saja oleh pihak luar), dan prakarsa-prakarsa dilakukan sendiri oleh warga kampung tanpa tekanan pihak manapun, (e) adanya pengaturan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan kepentingan yang berkaitan dengan sumberdaya hutan, dengan cara yang mengarah pada penghindaran terjadinya perselisihan dan pengadaan penyelesaian perselisihan secara adil, dan (f) adanya kemampuan teknis warga kampung dalam mengelola hutan.


(27)

Dari uraian tersebut nampak bahwa tinggi-rendahnya partisipasi masyarakat ditentukan pula oleh seberapa jauh kegiatan tersebut mampu melembaga dan memenuhi kebutuhan masyarakat, serta memberikan jaminan atas kepastian hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian, partisipasi masyarakat harus dipandang sebagai bentuk ”kerjasama” antara pemerintah dan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan.

Kajian terkini tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terkait pengelolaan sumberdaya hutan, mengklasifikasikannya ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal di antaranya: umur, tingkat pendidikan formal dan informal, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, pendapatan dari dan di luar kegiatan, pengalaman berorganisasi, pekerjaan sampingan, status sosial petani, kepahaman kontrak, kekosmopolitan, peranan kelembagaan informal, persepsi, dan motivasi. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas: peran pemerintah, peran pendamping lapangan, kejelasan hak dan kewajiban, serta aspek sosial budaya masyarakat (Pujo 2003; Sunartana 2003; Trison 2005).

Lebih jauh, Slamet (1989) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempegaruhi tahapan partisipasi, di antaranya adalah status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan). Lapisan sosial penduduk yang berstatus lebih tinggi umumnya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah lebih banyak dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih rendah biasanya terlibat pada proses pemanfaatan.

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menggunakan konsepsi pemikiran dan temuan di atas sebagai landasan analisis terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL di Propinsi Sulawesi Tengah. Faktor-faktor yang dianalisis terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan yang dikuasai, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan, kekosmopolitan, persepsi, dan motivasi yang dimiliki. Faktor eksternal meliputi; intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping lapangan, dan kejelasan hak dan kewajiban. Secara skematis disajikan pada Gambar 3.


(28)

Gambar 3 Kerangka PemikiranPenelitian Partisipasi masyarakat Program GN-RHL Tahap Perencanaan (Y1) Tahap Pelaksanaan (Y2) Tahap Pemanfaatan (Y4) Tahap Evaluasi (Y3) Strategi Pengembangan Partisipasi masyarakat

- Umur peserta (X1.1) - Tingkat pendidikan (X1.2) - Jumlah anggota keluarga

(X1.3)

- Luas lahan garapan (X1.4) - Tingkat pendapatan (X1.5) - Kekosmopolitan (X1.6)

- Pekerjaan sampingan (X1.7)

- Persepsi (X1.8)

- Motivasi instrinsik (X1.9) - Motivasi Ekstrinsik

(X1.10) F a k to r In te r n a l

- Intensitas sosialisasi

program (X2.1) - Peran pendamping

lapangan (X2.2) - Kejelasan hak dan

kewajiban (X2.3) F a k to r E sk te r n a l Unsur Kekuatan Unsur Kelemahan Peubah Internal Unsur Peluang Unsur Ancaman Peubah Eksternal


(29)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Layana Kecamatan Palu Timur Kotamadya Palu dan Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, Sulawesi Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan utama bahwa kedua lokasi tersebut merupakan eks-lokasi kegiatan pembuatan tanaman GN-RHL tahun 2004. Pertimbangan lainnya adalah kedua lokasi ini memiliki tipologi hutan dan sistem penerapan GN-RHL yang berbeda, sehingga baik untuk dibandingkan. Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan mulai dari Bulan Januari 2007 – Juni 2007.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, yang mendeskripsikan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nasir 1993). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara terbuka, penyebaran kuesioner, wawancara mendalam, dan diskusi pakar. Tenik-teknik tersebut digunakan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam menjelaskan hubungan di antara peubah-peubah yang telah ditetapkan sebelumnya, serta menyusun strategi pengembangan partisipasi masyarakat (Singarimbun dan Effendi 1995).

Metode Pengambilan Contoh

Responden yang terpilih adalah responden yang terlibat langsung (peserta) dalam kegiatan GN-RHL. Pemilihan responden dilakukan dengan metode sensus. Untuk Lambara, responden yang diambil adalah sebanyak 45 orang, sedangkan untuk Layana sebanyak 50 orang. Mengacu pada pendapat Arikunto (1993) dalam Safei (2005), bahwa apabila subyeknya kurang dari 100 orang, sebaiknya diambil secara keseluruhan.

Selain itu, ditetapkan pula 5 orang responden ahli, yang diambil dari perwakilan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan GN-RHL, baik yang berinteraksi langsung dengan GN-RHL maupun tidak, namun masih memiliki keterkaitan dengan kegiatan GN-RHL. Responden ahli terdiri atas: 1 orang dari


(30)

unsur perguruan tinggi, 2 orang dari dinas kehutanan propinsi dan kabupaten, 1 orang dari penyuluh lapangan, 1 orang dari lembaga swadaya masyarakat yang terlibat.

Pengumpulan Data

Data primer diperoleh secara langsung dari responden dengan teknik wawancara dan atau mengisi daftar isian (kuesioner) serta pengamatan langsung di lapangan. Data primer meliputi: identitas responden, jenis kegiatan, kelembagaan, dan manfaat kegiatan GN-RHL. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan kajian-kajian penelitian terdahulu melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada, dan dari berbagai instansi terkait (balai pengelolaan daerah aliran sungai, dinas lingkup pertanian dan kehutanan, badan perencana pembangunan daerah, kantor statistik daerah). Data sekunder meliputi keadaan geografis, demografi, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Variabel Pengamatan

Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:

1. Karakteristik individu (faktor internal) meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, tingkat pendapatan, kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, dan motivasi.

2. Faktor eksternal meliputi: intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping kelembagaan dan kejelasan hak dan kewajiban.

3. Tingkat partisipasi masyarakat (keterlibatan peserta dalam kegiatan GN-RHL mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi dan tahap pemanfaatan)

Metode Analisis Data a. Pengolahan Data

Sebelum dianalisis, data terlebih dahulu diedit. Khusus data yang bersifat kuantitatif, proses pengeditan terdiri atas: (a) penghitungan total skor tiap-tiap variabel dan (b) pengelompokan data sesuai dengan variabel masing-masing. Sementara itu, data kualitatif diproses melalui tiga tahap, yaitu (a) tahap


(31)

interpretasi dan penjelasan hasil catatan lapangan serta kategorisasi data, (b) mendeskripsikan kategori-kategori data, dan (c) mengelompokkan data.

b. Analisis Data

Analisis data penelitian digunakan untuk menjawab tujuan dan menguji hipotesis yang telah diajukan. Adapun metode analisis yang digunakan sebagai berikut:

1. Untuk menjawab tujuan pertama, yakni mengkaji tingkat partisipasi masyarakat peserta kegiatan GN-RHL dijelaskan secara deskriptif-kuantitatif. Analisis ini digunakan untuk menghitung jumlah dan persentase dari data-data yang dikumpulkan, melalui cara tabulasi yang selanjutnya disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.

2. Untuk menjawab tujuan yang kedua, yakni mengkaji hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL, dijelaskan secara deskriptif-kualitatif dengan menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji korelasi Spearman Rank, dengan rumus : (Walpole 1992; Sugiyono 2000).

di mana:

ρ = Koefisien korelasi Spearman Rank

bi = Selisih peringkat X dan Y n = Banyaknya sampel

Untuk kemudahan dan ketepatan pengolahan digunakan bantuan komputer dengan program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi 14. 3. Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu menyusun strategi pengembangan

partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL , digunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat). Analisis ini dilakukan dengan melihat kekuatan, peluang, kelemahan dan ancaman. Faktor-faktor tersebut diperoleh dari berbagai informasi, literatur, wawancara pakar dan pihak terkait, sehingga didapatkan sejumlah faktor yang dapat kembali

) 1 ( 6

1 2

2

− −

=

n n

bi


(32)

diajukan sebagai bahan pertanyaan dalam kuisioner, sehingga didapatkan peubah-peubah yang menjadi faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi pengembangan partisipasi masyarakat. Analisis dilakukan ke dalam tiga tahapan pokok, yaitu:

(1) Tahapan identifikasi. Pada tahap ini, terlebih dahulu dibuat Internal Factors Evaluations Matrix (Matriks IFE) dan External Factors Evaluation Matrix (Matriks EFE). Matriks IFE (Tabel 2) digunakan untuk menganalisis peubah-peubah internal dan mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan. Demikian halnya dengan matriks EFE (Tabel 3) digunakan untuk menganalisis peubah-peubah eksternal, dan mengklasifikasikannya menjadi peluang dan ancaman.

Tabel 2 Matriks Internal Factor Evaluation Strategi Internal

(1)

Bobot (2)

Rating (3)

Skor = Bobot x Rating (4)

Kekuatan

1.

... ... ... ... 10. ... ... ...

Kelemahan

1. ... ... ... ... ... ... ... 10. ... ... ...

Total

Sumber: Rangkuti (2000).


(33)

Tabel 3 Matriks EksternalFactor Evaluation Peubah Strategi Eksternal

(1)

Bobot (2)

Rating (3)

Skor = Bobot x Rating (4)

Peluang

1. ... ... ... ... ... ... ... 10. ... ... ...

Ancaman

1. ... ... ... ... ... ... ... 10. ... ... ...

Total

Sumber: Rangkuti (2000).

Terdapat 6 tahapan untuk membuat matrik IFE dan EFE, yaitu:

(a) Pada kolom pertama (1) ditentukan faktor-faktor strategis internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman).

(b) Pada kolom kedua (2) pemberian bobot masing-masing peubah dengan skala mulai dari 1 (paling penting) sampai 0 (tidak penting) berdasarkan pengaruh peubah-peubah tersebut. Metode tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap peubah strategis internal dan eksternal dengan cara membandingkan variabel horisontal terhadap variabel vertikal. Penentuan bobot untuk setiap variabel dilakukan dengan memberikan nilai 1, 2, 3; di mana nilai 1 = jika indikator horisontal kurang penting daripada indikator vertikal, nilai 2 = jika indikator horisontal sama pentingnya dengan indikator vertikal, nilai 3 = jika indikator horisontal lebih penting daripada indikator vertikal.

(c) Pada kolom ke tiga (3) pemberian rating mulai dari nilai 1 – 4 untuk masing-masing peubah dengan pengaruh kecil-sedang-besar-sangat besar. (d) Pada kolom ke empat (4), bobot pada kolom kedua (2) dikalikan dengan

rating pada kolom ketiga (3). Kemudian hasil kali tersebut dijumlahkan bobot skor pada kolom ke empat untuk memperoleh total skor pembobotan.


(34)

(2) Tahapan pemaduan. Tahapan ini berfungsi untuk memadukan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Alat analisis yang digunakan adalah diagram SWOT atau diagram internal-eksternal.

(3) Tahapan perumusan strategi pengembangan partisipasi masyarakat. Tahapan ini digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman seperti disajikan pada matriks SWOT (Tabel 4)

Tabel 4 Matrik analisis SWOT

Faktor Internal Faktor Eksternal

Kekuatan Kelemahan

Peluang Strategi kekuatan-peluang Strategi

kelemahan-peluang

Ancaman Strategi kekuatan-ancaman Strategi

kelemahan-ancaman

Penjelasan:

a. Strategi kekuatan – peluang, strategi ini didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan dari pengembangan partisipasi masyarakat pada kegiatan GN-RHL yang telah dilakukan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

b. Strategi kekuatan – ancaman, strategi ini didasarkan pada pemamfaatan seluruh kekuatan dari pengembangan partisipasi masyarakat yang telah dilakukan untuk mengatasi ancaman yang ada.

c. Strategi kelemahan – peluang, strategi ini didasarkan pada pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan.

d. Strategi kelemahan – ancaman, strategi ini didasarkan pada meminimalkan kelemahan yang ada dalam pengembangan partisipasi masyarakat pada kegiatan GN-RHL serta menghindari ancaman.


(35)

Definisi Operasional

1. Umur adalah usia responden yang dihitung dari tahun lahir sampai saat penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun, di mana pembulatan ke atas bila usia responden 5 bulan keatas dan pembulatan ke bawah bila usia responden kurang dari 5 bulan. Umur responden diukur dalam tahun dan terdiri atas tiga kategori, meliputi : rendah (< 40); sedang (40-55); dan tinggi (>55)

2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh responden yang dinyatakan dengan tidak sekolah dan tidak tamat SD, tamat SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pendidikan diukur berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh dan terbagi atas tiga kategori, meliputi; rendah (<3); sedang (3); dan tinggi (>3).

3. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah keseluruhan anggota keluarga meliputi suami, istri, anak dan keluarga lain yang menjadi tanggungan keluarga. Jumlah anggota keluarga diukur berdasarkan jumlah orang yang terbagi kedalam dikategorikan, meliputi; rendah (<3 orang); sedang (3-4 orang); dan tinggi (>4 orang)

4. Luas lahan garapan adalah keseluruhan luas lahan yang di garap oleh responden, diukur dalam hektar (ha) dan terdiri atas tiga kategori yaitu: kecil (<1 ha); sedang (1-2.5 ha); dan tinggi (>2.5 ha).

5. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang diperoleh dari berbagai sumber dan diukur dalam Rp/bulan. Pendapatan responden terdiri atas tiga kategori, yaitu: rendah (<Rp500.000,-); sedang (Rp500.000,- – 750.000,-); dan tinggi (>Rp750.000,-).

6. Kekosmopolitan adalah sifat responden yang selalu mencari informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan kegiatan GN-RHL, diukur berdasarkan frekuensi dalam kunjungan ke tempat lain, mengadakan kontak dan berdiskusi dengan sumber informasi (teman, tetangga, tokoh masyarakat, pendamping dan lembaga pemerintahan. Kekosmopolitan dikategorikan ke dalam tiga yaitu: rendah (<7); sedang (7-12); dan tinggi (>12).


(36)

7. Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang dilakukan responden di luar pekerjaan utamanya dalam satu tahun terakhir. Pekerjaan sampingan diukur berdasarkan berapa jumlah pekerjaan yang digeluti dan dikategorikan ke dalam: rendah (<2); sedang (2); dan tinggi (>2).

8. Persepsi adalah pandangan dan penilaian responden terhadap tujuan, manfaat dan pelaksanaan kegiatan GN-RHL, diukur berdasarkan penilaian responden terhadap kegiatan GN-RHL yang terdiri atas tiga kategori, yaitu: rendah (<5); sedang (5-8); dan tinggi (>8)

9. Motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam untuk mewujudkan harapan dengan adanya interaksi yang dilakukan. Motivasi instrinsik ini diukur

berdasarkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan di antaranya; 1) Peningkatan pendapatan, 2) Peningkatan pengetahuan, 3) Peningkatan

status sosial, dan dikategorikan ke dalam; rendah (<4); sedang (4-6); dan tinggi (>6).

10.Motivasi ekstrinsik adalah dorongan dari luar untuk mewujudkan harapan dengan adanya interaksi yang dilakukan. Motivasi ekstrinsik, diukur berdasarkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan di antaranya; 1) Ajakan dari tokoh masyarakat, 2)Ajakan anggota keluarga, 3) Penghasilan dan bantuan yang menarik, 4) Ancaman kerusakan hutan dan dikategorikan ke dalam; rendah (<5); sedang (5-8); dan tinggi (>8).

11.Peran petugas lapangan adalah seseorang yang diberikan tugas khusus oleh Dinas Kehutanan Kota Palu terkait pelaksanaan kegiatan GN-RHL, meliputi: penerangan, bimbingan teknis yang diberikan kepada peserta dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan pada satu tahun terakhir. Diukur berdasarkan frekuensi dalam menjalankan tugas dan dikategorikan ke dalam: rendah (<6); sedang (6-10); dan tinggi (>10).

12.Intensitas sosialisasi adalah jumlah kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh pelaksana kegiatan GN-RHL untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta dalam pelaksanaan kegiatan, yang dilaksanakan oleh petugas Dinas Kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Di mana hal ini diukur berdasarkan frekuensi pertemuan, peyuluhan, dan pelatihan, dan dikategorikan ke dalam: rendah (<3); sedang (3-5); dan tinggi (>5).


(37)

13.Kejelasan hak dan kewajiban adalah kejelasan tentang aturan main pelaksanaan kegiatan GN-RHL, yang meliputi kejelasan hak dan kewajiban dalam kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat dan pemerintah dan pengetahuan responden tentang kejelasan batas-batas kewenangan masyarakat dan pemerintah dalam kegiatan ini. Hal diukur berdasarkan pengetahuan dan pemahaman responden tentang aturan main pelaksanaan kegiatan, dan dikategorikan ke dalam: rendah (<3); sedang (3-6); dan tinggi (>6).

14.Partisipasi adalah keterlibatan peserta kegiatan GN-RHL dalam setiap tahapan kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan).

15.Partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan adalah keterlibatan (keikutsertaan) peserta pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan yang rasional pada kegiatan GN-RHL. Hal ini diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi.

16.Partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan adalah keterlibatan (keikutsertaan) peserta dalam tahap pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi.

17.Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi adalah keterlibatan (keikutsertaan) peserta dalam tahap evaluasi kegiatan GN-RHL. diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi.

18.Partisipasi masyarakat pada tahap pemanfaatan adalah keterlibatan (keikutsertaan) peserta pada tahap pemanfaatan hasil kegiatan GN-RHL. diukur berdasarkan tingkat keterlibatan responden pada tahap ini, dan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi.

19.Strategi pengembangan partisipasi masyarakat adalah suatu rencana alternatif yang cermat dan sistematik, terkait dengan pengembangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan GN-RHL dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan serta memanfaatkan peluang yang ada dengan mengatasi ancaman yang datang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.


(38)

Kondisi Biofisik Letak dan Luas

Kelurahan Layana memiliki luas ± 1.779 ha, dan merupakan bagian dari Kecamatan Palu Timur, dan berjarak tempuh 6 km dari Ibukota Kecamatan. Wilayah sebelah Utara Layana berbatasan dengan Kelurahan Mamboro, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tondo, sebelah Barat Laut Sulawesi, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong.

Sementara itu, Kelurahan Lambara memiliki luas ± 1.637,92 ha, dan merupakan bagian dari Kecamatan Palu Utara, berjarak tempuh 10 Km dari Ibukota Kecamatan. Di sebelah Utara wilayahnya berbatasan dengan Kelurahan Baiya, sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Kayu Malue, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi, dan sebelah Timur Kelurahan Nupa Bomba (BPS 2005).

Eksistensi Kegiatan GN-RHL

Pencanangan kegiatan GN-RHL di Sulawesi Tengah, khususnya di kedua lokasi penelitian dilakukan pada tahun 2004. Namun, pelaksanaan kegiatan baru terealisasi pada Oktober 2005. Untuk Layana, kegiatan ini dilaksanakan pada Hutan Rakyat (HR) yang berada di Dusun Layana dan Wintu. Sedangkan di Lambara dilaksanakan pada Hutan Produksi Terbatas (HPT), yang berbatsan dengan Dusun Lulu. Luas areal di kedua lokasi penelitian masing-masing seluas 50 ha.

Jenis tanaman untuk kegiatan ini di Layana terdiri atas: Jati (Tectona grandis. L) dan kemiri (Aleurites moluccana. L. Wild). Sedangkan jenis tanaman di Lambara terdiri atas: Jati (Tectona grandis. L), Nyatoh (Palaquium spp) dan kemiri (Aleurites moluccana. L. Wild). Untuk lebih jelasnya peta lokasi kegiatan penanaman GN-RHL Kelurahan Layana dan Lambara disajikan pada Lampiran 2 dan 3.


(39)

Layana beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata pertahun 3,22 mm dan suhu udara rata-rata 27,2 oC. Demikian pula halnya dengan Lambara yang beriklim tropis, dengan curah hujan rata pertahun 3,22 mm dan suhu udara rata-rata 24,12 oC.

Layana berada pada ketinggian 2,5 m di atas permukaan laut, dengan topografi yang beragam; dataran 50%, perbukitan 45%, dan pegunungan 5%. Berbeda dengan Layana, Lambara berada pada ketinggian 25 m di atas permukaan laut, dan hampir seluruh wilayahnya bertopografi datar (Kantor BPS 2005).

Penggunaan Lahan

Dari total luas lahan Layana (± 1.779 ha), 814 ha (45,76%) merupakan tanah yang belum diolah, seluas 550 ha (30,92%) merupakan hutan, 170 ha (9,56%) merupakan perkebunan, 80 ha (4,50%) merupakan bangunan, dan yang diperuntukkan untuk lainnya seluas 115 (^,46%). Sementara itu, untuk Lambara, dari total luas lahan sekitar 1.637,92 ha, penggunaan lahan terbesar adalah sawah seluas 105 ha (6,41%) dan perkebunan seluas 67 ha (4,09%). Informasi untuk penggunaan lahan selebihnya tidak tersedia, baik dari data monografi Kelurahan Lambara maupun dari data yang tersedia di Kantor Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Struktur penggunaan lahan di lokasi penelitian

No Penggunaan Lahan

Lokasi (Kelurahan)

Layana Lambara Luas (Ha) % Luas (Ha) %

1 Bangunan 80 4,50 - -

2 Sawah 0 0 105 6,41

3 Perkebunan 170 9,56 67 4,09

4 Hutan 550 30,92 - -

5 Hutan Rakyat 50 2,81 - -

6 Tanah yang belum Diolah 814 45,76 - -

7 Lainnya 115 6,46 - -

Jumlah 1.779 100 - -

Sumber : Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah Penduduk dan Golongan Usia


(40)

Jumlah penduduk Kelurahan Layana yang tercatat hingga tahun 2007 adalah sebanyak 3.017 orang, terdiri atas laki-laki sebanyak 1.561 orang dan perempuan sebanyak 1.456 orang, yang tersebar ke dalam 768 KK. Sementara itu, jumlah penduduk Kelurahan Lambara sampai dengan tahun 2007 adalah sebanyak 2.311 orang, terdiri atas laki-laki 1.211 orang dan perempuan 1.100 orang, dan tersebar ke dalam 578 KK (Data Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007).

Sementara itu, jumlah penduduk menurut golongan usia di Layana dan Lambara dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu usia kurang dari 15 tahun (anak-anak atau belum produktif), Usia 15 – 55 tahun (produktif), dan usia di atas 55 tahun (Tidak produktif). Struktur penduduk berdasarkan golongan usia disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi penduduk menurut golongan usia

No Golongan Usia

Lokasi (Kelurahan)

Layana Lambara

Jumlah

(Orang) % Jumlah (Orang) %

1 <15 Tahun 1.002 33,21 741 32,06

2 15 -55 Tahun 1.887 62,55 1.462 63,26

3 >56 Tahun 128 4,24 108 4,67

Jumlah 3.017 100.00 2.311 100,00

Sumber: Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Layana dan Lambara didominasi oleh usia produktif, dengan persentase usia produktif untuk Kelurahan Layana sebesar 62,55% dan Kelurahan Lambara sebesar 63,26%

Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan di Kelurahan Layana masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Lambara. Di Layana, sebagian besar penduduknya (41,76%) hanya mampu menamatkan pendidikan sekolah dasar, dan hanya 25,34% yang berhasil tamat SLTA. Sementara itu di Lambara tergolong sedang, di mana sebagian besar penduduknya mampu menamatkan hingga jenjang SLTA. Tingkat pendidikan yang ditempuh penduduk di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara disajikan pada Tabel 7.


(41)

Tabel 7 Distribusi Penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan

Lokasi (Kelurahan)

Layana Lambara

Jumlah (Orang) % Jumlah (Orang) %

1 Buta Huruf 31 1,55 65 5,79

2 Tidak Tamat SD 58 2,90 104 9,26

3 Tamat SD 834 41,76 217 19,32

4 Tamat SLTP 498 24,94 265 23,60

5 Tamat SLTA 506 25,34 460 40,96

6 Diploma/PT 70 3,51 12 1,07

Jumlah 1.997 100.00 1.123 100,00

Sumber : Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007

Mata Pencaharian

Pada umumnya penduduk di dua lokasi penelitian memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Di Layana, penduduk yang berprofesi petani sebanyak 300 orang (59,06%). Sementara itu di Lambara sebanyak 573 orang (50,18%). Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian di dua lokasi penelitian

No Mata Pencaharian

Lokasi (Kelurahan)

Layana Lambara

Jumlah

(Orang) %

Jumlah

(Orang) %

1 PNS/TNI/POLRI 20 3,94 76 6,65

2 Pegawai Swasta 95 18,70 52 4,55

3 Wiraswasta/Pedagang 75 14,76 172 15,06

4 Tani 300 59,06 573 50,18

5 Nelayan 10 1,97 2 0,18

6 Jasa 3 0,59 8 0,70

7 Lain-lain 5 0,98 259 22,68

Jumlah 508 100,00 1.142 100,00

Sumber : Monografi Kelurahan Layana dan Lambara 2007

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Faktor Internal dan Eksternal Responden

Karakteristik internal dan eksternal responden merupakan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan GN-RHL di


(42)

Sulawesi Tengah, khususnya di Layana dan Lambara. Karakteristik internal dimaksud terdiri atas: umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, tingkat pendapatan, kekosmopolitan, pekerjaan sampingan, persepsi, dan motivasi. Sementara itu, karakteristik eksternal terdiri atas: intensitas sosialisasi kegiatan, peran pendamping lapangan, serta kejelasan hak dan kewajiban.

Karaktersitik Internal Responden a. Umur

Umur merupakan salah satu variabel yang sering digunakan untuk menganalisis berapa besarnya tenaga kerja (manpower), angkatan kerja (labor force) serta proporsi dari penduduk berusia dewasa yang terlibat dalam kegiatan ekonomis secara aktif di suatu tempat. Tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia kerja. Dalam literatur biasanya adalah seluruh penduduk berusia 15-64 tahun. Sementara itu, besarnya angkatan kerja tergantung pada tingkat partisipasi angkatan kerja (labor force participation rate), yaitu berapa persen dari tenaga kerja yang menjadi angkatan kerja (Lembaga Demografi UI 2004). Kategori responden berdasarkan umur disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kategori responden berdasarkan umur di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara

Umur (tahun)

Lokasi (Kelurahan)

Layana Lambara

Jumlah % Jumlah %

Rendah (<40) 13 26,00 32 76,19

Sedang (40-55) 31 62,00 8 19,05

Tinggi ( >55) 6 12,00 2 4,76

Total 50 100,00 42 100,00

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Layana dan Lambara masuk dalam kategori umur produktif / usia tenaga kerja (15-64 tahun), dengan persentase masing-masing sebesar 44 jiwa (88,00%) dan 40 jiwa (95,24%). Di mana, kisaran umur responden di Kelurahan Layana adalah 27-80 tahun, dengan rata-rata umur sekitar 46,66 tahun . Sedangkan di Kelurahan Lambara adalah 19-70 tahun, dengan rata-rata sekitar 33,40 tahun. Namun demikian, bila dibandingkan dengan


(43)

total jumlah tenaga kerja, khususnya di sektor pertanian pada masing-masing lokasi, maka jumlah angkatan kerja yang terserap pada kegiatan GN-RHL masing-masing sebesar 14,67% dan 6,98%.

b. Tingkat Pendidikan

Dalam kajian-kajian sosial kemasyarakatan, diketahui bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu dari tiga komponen sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan), yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang pada setiap tahapan kegiatan. Mereka yang berpendidikan tinggi lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Sebaliknya, bagi mereka yang berpendidikan rendah lebih banyak terlibat pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan (Slamet 1989).

Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan dikategorikan menjadi tiga yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat pendidikan yang tergolong rendah meliputi: tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD. Untuk kategori sedang meliputi: tamat SLTP atau sederajat, sedangkan untuk kategori tinggi meliputi; Tamat SLTA, diploma, dan perguruan tinggi. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Kategori karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara

Kategori Tingkat Pendidikan

Lokasi (Kelurahan)

Layana Lambara

Jumlah % Jumlah %

Rendah (<3) 38 76,00 29 69,05

Sedang (3) 12 24,00 12 28,57

Tinggi (>3) 0 0,00 1 2,38

Total 50 100,00 42 100,00

Tabel 10 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden di kedua lokasi tergolong rendah, masing masing sebesar 76% untuk Layana dan 69,05% untuk Lambara. Kisaran untuk Lambara lebih tinggi dari Layana, di mana untuk Layana berada pada kisaran 1 – 3 (jenjang SD sampai SMP), dengan rata-rata tingkat pendidikan yang ditempuh adalah tamat SD. Sedangkan untuk Lambara pada kisaran 1 – 4 (jenjang SD – SMA), dengan rata-rata pendidikan yang ditempuh responden adalah tamat SD.


(44)

Pengelolaan lahan oleh suatu rumah tangga merupakan bagian dari keseluruhan pengelolaan sumberdaya keluarga atau rumahtangga. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam keluarga, yang secara langsung berpengaruh terhadap pilihannya berpartisipasi dalam suatu kegiatan pengelolaan lahan.

Pada kasus pedesaan di Jawa, diketahui bahwa rumah tangga yang kekurangan tenaga kerja, utamanya pada musim-musim tertentu cenderung membudidayakan lahannya dengan tanaman pohon-pohon karena budidaya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang lebih tinggi (Van Der Poel dan Van Dijk 1987 diacu dalam Suharjito et al. 2003). Jumlah anggota keluarga responden secara rinci disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Kategori karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga di Kelurahan Layana dan Kelurahan Lambara

Jumlah Anggota Keluarga (Orang)

Lokasi (Kelurahan)

Layana Lambara

Jumlah % Jumlah %

Rendah (<3) 3 6,00 11 26,19

Sedang (3-4) 23 46,00 23 54,76

Tinggi (>4) 24 48,00 8 19,05

Total 50 100,00 42 100,00

Jumlah anggota keluarga responden yang masuk kategori sedang dan tinggi cukup berimbang di Layana, masing-masing sebesar 46% dan 48%. Sementara itu, di Lambara didominasi oleh kategori sedang (54,76%), dengan kisaran jumlah anggota keluarga masing-masing adalah 2 - 10 orang (rata-rata 4,48 orang) untuk Layana dan 1 – 8 orang ( rata-rata 3,5 orang) untuk Lambara.

d. Luas lahan garapan

Luas lahan garapan yang dimiliki berpengaruh terhadap pilihan sikap seseorang dalam memutuskan untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk ditanami pohon-pohonan. Hal tersebut berlaku sebaliknya, pemilikan lahan yang sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman


(1)

berskala luas. Untuk mengupayakan hal tersebut, dukungan pemerintah daerah dan instansi terkait sangat dibutuhkan. Komitmen yang diberikan oleh pemerintah daerah dan stakeholder lainnya dapat dijadikan entry point pengembangan GN-RHL yang menggunakan tanaman-tanaman komersil berskala lokal.

Hal penting lain yang juga harus diperhatikan adalah penyiapan jenis tanaman yang betul-betul dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat, sesuai dengan kondisi iklim Kota Palu, serta diupayakan jenis yang dapat pula memberikan nilai tambah ekonomis secara langsung bagi masyarakat. Hal ini penting mengingat permintaan kayu dan hasil hutan non kayu yang cukup tinggi di Sulawesi Tengah. Jenis kayu yang banyak dibutuhkan antara lain: nyatoh, meranti dan palapi. Sedangkan untuk non kayu antara lain: rotan, damar dan aren.

Untuk menunjang hal tersebut, diperlukan peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran. Hal ini penting, sebab tingkat pendidikan peserta kegiatan GN-RHL tergolong rendah dan pelaksanaan kegiatan bimbingan teknis pembuatan dan pemeliharaan tanaman selama ini yang dinilai belum efektif. Agar solusi alternatif yang ditawarkan tersebut dapat memperoleh dukungan nyata dari pihak pelaksana dan stakeholder lainnya, maka perlu memperbaiki rencana strategis pengembangan GN-RHL yang lebih partisipatif, dan mampu mengakomodasi kepentingan publik yang luas.

Masyarakat mempunyai kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan dengan kesejahteraan yang baik maka kesadaran untuk memelihara dan memperbaiki fungsi lahan menjadi semakin tinggi. Pemerintah mempunyai kepentingan untuk memelihara dan meningkatkan kestabilan ekonomi dan sosial, menyediakan infrastruktur sosial ekonomi, dan menjaga ketertiban umum. Kepentingan publik yang luas terletak pada lancarnya dukungan fungsi kehidupan, yakni terjaganya penyediaan dan kualitas air, udara, dan keanekaragaman penunjang kehidupan, termasuk melalui kegiatan GN-RHL ini.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tingkat partisipasi masyarakat, baik di Layana maupun Lambara, pada tahap perencanaan dan evaluasi GNRHL tergolong rendah, dan masuk dalam kategori partisipasi informasi (tingkat 1), sedangkan pada tahap pelaksanaan tergolong tinggi, dan masuk dalam kategori partisipasi partisipasi plakasi/konsiliasi (tingkat 4).

2. Faktor–faktor internal masyarakat yang memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan di Layana adalah: tingkat pendidikan, sifat kekosmopolitan, persepsi, dan motivasi intrinsik, sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: jumlah anggota keluarga, sifat kekosmopolitan, persepsi dan motivasi intrinsik. Adapun faktor eksternal masyarakat yang memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan adalah: intensitas sosialisasi program dan peran petugas lapangan.

3. Faktor–faktor internal masyarakat yang memiliki hubungan nyata dengan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan di Lambara adalah: umur, tingkat pendapatan, sifat kekosmopolitan, persepsi, motivasi intrinsik dan ekstrinsik, sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: umur, sifat kekosmopolitan, persepsi dan motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Adapun faktor eksternal masyarakat adalah: intensitas sosialisasi program dan peran petugas lapangan. Sedangkan pada tahap pelaksanaan adalah: intensitas sosialisasi program,peran petugas lapangan dan kejelasan hak dan kewajiban.

4. Strategi pengembangan partisipasi: masyarakat dalam program GN-RHL sebaiknya difokuskan pada strategi WO (Weakness– Opportunitiess) diantaranya: Peningkatan persen tumbuh tanaman, pembangunan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat, penyiapan bibit tanaman GN-RHL sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan iklim setempat, dan peningkatan peran penyuluh kehutanan lapangan dalam kegiatan sosialisasi dan Bintek GN-RHL yang tepat sasaran.


(3)

Saran

1. Pelaksanaan kegiatan GN-RHL, khususnya di Kota Palu perlu memperhatikan pelibatan aktif masyarakat dan skateholder lainnya secara optimal, utamanya pada tahap perencanaan. Hal ini penting dalam menjamin terciptanya partisipasi yang sesungguhnya terhadap pelaksanaan kegiatan GN-RHL di masa mendatang. 2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan kegiatan GN-RHL, perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut terkait dengan dengan analisis peran stakeholder dan evaluasi keberhasilan kegiatan GN-RHL khususnya di Kota Palu


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-management of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. Heidelberg Germany: GTZ and IUCN, Kasparek Verlag.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Kecamatan Palu Timur dan Palu Utara dalam Angka. Palu: Kantor BPS.

Cernea MM. 1985. Putting People First: Sociological Variables in Rural Development. World Bank, UK: Oxford University Press.

Cohen JM, Uphoff. 1977. Rural Development Participation. New York: Ithaca. Davis LS et.al. 2001. Forest Management To Sustain Ecological, Economic, and

Social Values. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Higher Education.

Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Bogor: Lab Politik Ekonomi Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 – 2025. Jakarta: Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan.

Hanafi A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.

Hidayat N. 2003 Bahan Masukan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Departemen. Jakarta: Sekjen Kehutanan.

http://www.dephut.go.id/email.asp, html [24 Oktober 2006].

Kartodihardjo H. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan: Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Kartodiharjo H et al. 2001. Pengembangan Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan/ Penghijauan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Kartodihardjo H et al. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Bogor: K3SB.

Kementerian Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan No. 03 tahun 2004: Tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota dan Hutan Rakyat Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). http://www.dephut.go.id/email.asp, html [22 Desember 2006].

Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2003. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 18 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. http://www.menlh.go.id. html [22 Desember 2006].

[LDFEUI] Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Arti dan Tujuan Demografi. Di dalam Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


(5)

Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Nanang N, Devung GS. 2004. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Center for Social Forestry (CSF), Universitas Mulawarman Institute for Global Environmental Strategies (IGES), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Nasir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Grahalia Indonesia

Ndraha T. 1987. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakatar: Rineka Cipta.

Oakley P et. al. 1991. Project with People. The Practice of Participation in Rural Development. Genewa: ILO.

Pujo. 2003. Partisipasi Masyarakat pada Program Kehutanan Sosial di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. (Kasus di Desa Cileuya, Kecamatan Cimahi, Kabupaten Kuningan dan Desa Margamukti, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertranian Bogor. Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Safei LM. 2005. Kajian Partisipasi masyarakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove: Studi Kasus Desa Marobo Kecamatan Bone dan Desa Labulu-bulu Kecamatan Parigi Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Setyarso A. 2004. Aktualisasi Nilai dan Manfaat Sosial Ekonomi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jurnal Hutan Rakyat. Pusat Kajian Hutan Rakyat. Jogyakarta. Fakultas Kehutana UGM.

Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Slamet M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press Bogor.

Slamet M. 1980. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Slamet Y. 1989. Konsep-konsep Dasar Partisipasi Sosial. Pusat Antar Universitas Studi Sosial. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Sugiyono. 2000. Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta

Suharjito D, Sundawati L, Suyanto, Utami SR . 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bahan Ajaran Agroforestry. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF): 5.

Sallatang A. 1986. Masyarakat Budaya dan Lingkungan. Makassar:Materi Diklat TMPP Angkatan XXI UNHAS. Makassar: Universitas hasanuddin.

Salusu J. 1999. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Grasindo.

Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian.


(6)

Sunartana YEP. 2003. Partisipasi Anggota Dalam Kelompok Pengelolaan dan Pelestarian Hutan (KPPH). (Kasus di Kawasan Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung Lampung). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sutrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius

Tjokroamidjojo B. 1991. Pengantar Pembangunan dalam Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Pustaka Press.

Trison S. 2005. Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan (Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[WALHI]. 2004. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Butuh Perencanaan yang Matang dan Partisipatif serta Pengawasan Aktif Masyarakat: http://www.walhi.or.id/ . html [12 Agustus 2006].

Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Wijayanto N. 2001. Faktor Dominan dalam Sistem Pengelolaan HKM (Studi Kasus di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wilcox D. 1994. The Guide of Effective Participation. http://www.partnership.org.uk/guide/index.html [22 Desember 2006].

[YBAHL] Yayasan Bina Agro Hutani Lestari. 2004. Rencana Pendampingan dan Pemberdayaan Kelompok Tani Peserta GN- RHL Palu. Palu: Sulawesi Tengah.