EFEKTIFITAS POLA PENDIDIKAN KEMANDIRIAN BAGI MASYARAKAT GOLONGAN EKONOMI LEMAH: Identifikasi Karakteristik Proses dan Hasil Pendidikan Nanny and Governess yang Dikembangkan oleh Lembaga Pendidikan Keterampilan Citra Bunda Jakarta.

(1)

viii DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pokok Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Hasil Penelitian ... 18

E. Asumsi-asumsi ... 19

F. Kerangka Berpikir Penelitian ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

H. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 23

I. Batasan Konsep dan Definisi Operasional ... 24

BAB II MAKNA PENDIDIKAN KEMANDIRIAN ... 29

A. Manusia dan Kebutuhannya ... 29

B. Makna Pendidikan dan Kemandirian ... 45

C. Teori Kemandirian Stepen R. Covey ... 62

D. Kedudukan Pendidikan Kemandirian dalam Pendidikan Umum ... 69


(2)

ix

F. Kajian tentang Pendidikan Kemandirian ... 100

G. Profil LPK Citra Bunda ... 106

BAB III METODE PENELITIAN ... 111

A. Lokasi Penelitian ... 111

B. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 115

C. Instrumen Penelitian ... 117

D. Peluang Generalisasi ... 123

E. Sumber Data dan Subyek Penelitian ... 123

F. Tahapan Pengumpulan Data Penelitian ... 124

G. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ... 129

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 133

A. Hasil Penelitian ... 133

1. Peraturan dan Tata Tertib di LPK Citra Bunda .……133

2. Alasan Subyek Didik Memasuki LPK Citra Bunda ... 135

3. Strategi Kurikuler LPK Citra Bunda dalam Menginternalisasikan Nilai-nilai Kemandirian Kepada Peserta Didik ... 138

4. Keberhasilan LPK Citra Bunda Menginternalisasikan Nilai Kemandirian Kepada Peserta Didik ... 154

5. Persepsi Pengguna Jasa terhadap Kinerja Lulusan LPK Citra Bunda ... 156

6. Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi dan Kesempatan Melanjutkan Pendidikan ... 162

7. Persepsi Masyarakat terhadap Lembaga dan Lulusan LPK Citra Bunda ... 163


(3)

x

8. Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Hambatan

Pelaksanaan Pendidikan di LPK Citra Bunda ... 168

9. Temuan Penelitian ... 173

B. Analisis Berdasarkan Hasil Penelitian ... 177

C. Analisis dalam Perspektif Pendidikan Umum ... 250

D. Implikasi Penelitian terhadap Pengembangan Pendidikan Umum... 262

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 266

A. Kesimpulan ... 266

B. Rekomendasi ... 269

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 276


(4)

xi

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

1. Struktur Kebutuhan Galtung ... 39

2. Nama Siswa dan Asal Daerah ... 136

3. Distribusi Kurikulum LPK Citra Bunda ... 143


(5)

xii

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman 1. Paradigma Studi Pendidikan Kemandirian Bagi Masyarakat

Golongan Ekonomi Lemah di LPK Citra Bunda Jakarta ... 21 2. Input Pendidikan, jumlah jam belajar, dan tugas pengasuhan ... 169 3. Efektifitas Pola Pendidikan Kemandirian pada

Lembaga Pendidikan Citra Bunda... 248 4. Kontribusi Makna-Makna Esensial terhadap

Perwujudan Manusia Mandiri ... 255 5. Kontribusi Mata Pelajaran terhadap Perwujudan Siswa yang Mandiri ... 256


(6)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 283

2. Surat Keterangan Melaksanakan Penelitian ... 284

3. Dokumen Visual Kegiatan di LPK Citra Bunda ... 285


(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG 1. Dimensi Krisis Pendidikan

Dalam hubungan dengan lingkungan dan kehidupan masyarakat, pendidikan mengemban tiga sifat penting. Ketiga sifat tersebut, dirinci antara lain oleh Nana Syaodih Sukmadinata (1997:30) sebagai berikut: pertama, pendidikan mengandung dan memberikan pertimbangan nilai, yang diarahkan pada pengembangan pribadi anak, agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat, menyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan berlangsung.

Dari sudut pandang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, ketiga sifat penting pendidikan itu harus diwujudkan dalam bentuk kualifikasi keluaran pendidikan sebagaimana yang dirangkum dalam istilah manusia Indonesia seutuhnya, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada


(8)

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab” (Pasal 3 UU No.20 tahun 2003).

Dari perspektif pendidikan umum, manusia yang dicita-citakan sejalan dengan hal tersebut di atas, Sikun Pribadi (1971: 41) menyatakan bahwa: “Pendidikan umum berawal dari pandangan adanya dalil kesatuan dunia, keteraturan dalam kehidupan, dan realitas kompleks yang multi dimensionalitas”. Hal demikian kita pahami pada kepribadian manusia secara umum, yakni sebagai satu kesatuan yang utuh, sebagai suatu sistem yang di dalamnya terjadi proses-proses kontradiktif, seperti: organisasi dan disorganisasi, integrasi dan disintegrasi. Melalui pendidikan umum, keanekaragaman potensi dasar manusia yang mungkin berkembang kurang terarah akan dapat diintegrasikan ke dalam satu tujuan umum pendidikan dengan penyatuan elemen budaya, meluruskan pengembangan kepribadian secara proporsional.

Dalam kaitan pendidikan di negara Indonesia, idealisasi peran pendidikan tersebut memang masih menuntut pembuktian. Apabila digabungkan dengan prestasi peserta didik dan pendidik, serta tingkat baca-tulis penduduk (tenaga kerja) yang relatif rendah, maka menurut Waini Rasyidin (2000: 5), pendidikan dan pengajaran nasional di SD/MI,


(9)

SLTP, dan SM, plus PLS secara makro (di luar Perguruan Tinggi) tampaknya rata-rata hanya meluluskan : (1) sejumlah besar calon tenaga kerja muda yang tak terampil dan relatif belum siap kerja; (2) manusia Indonesia yang berpengetahuan tetapi kurang sadar nilai; dan (3) tenaga kerja terampil yang jumlahnya terbatas dalam masyarakat yang dilanda krisis dan dililit utang luar negeri.

Sejauh yang menyangkut pendidikan formal, Zamroni (2000: 3) menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesenjangan okupasional berupa kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja yang bukan semata-mata disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri, melainkan juga ada faktor yang datang dari dunia kerja, sedangkan kesenjangan kultural ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan-persoalan yang sedang dan akan dihadapi bangsanya di masa depan.

2. Dimensi Krisis Kemandirian

Sebenarnya telah lama disadari tentang dimensi krisis pendidikan yang lebih terfokus pada krisis kemandirian peserta didik maupun keluaran sekolah, mahasiswa dan bahkan lulusan perguruan tinggi.


(10)

Mencermati hasil penelitian dari McKinnon dan Renner (1971) serta Schwebel (1975) yang dikutip Konstance Kamii (Kaswardi, 1993: 65) dapat disimpulkan bahwa “para siswa sekolah menengah sebelumnya tidak belajar berfikir logis, dan kalau seorang mahasiswa tersebut tidak dapat berfikir logis pada taraf formal-operasional, tentu saja ia tidak dapat berfikir kritis dan mandiri”.

Tidak jauh berbeda dengan salah satu temuan hasil penelitian Sunaryo Kartadinata (1988: 195) yang menyimpulkan bahwa “pengambilan keputusan bertindak oleh mahasiswa belum dilakukan secara mandiri”.

Menurut Constance Kamii (Kaswardi, 1993:65) “dalam bidang moral pun ada kemungkinan sekolah memperkuat ketergantungan anak kepada orang lain dan secara tidak sengaja menghalangi mereka menumbuhkan kemandirian dengan menggunakan tingkatan dan hukuman untuk memaksakan standar dan aturan orang dewasa”. Pendidikan semacam ini masih sangat dipengaruhi iklim pendidikan tradisional, sebab secara sengaja maupun tidak sengaja, sasaran yang tersirat dan tersurat dalam pendidikan tradisional adalah ketergantungan kepada orang lain dengan membuat peserta didik mengingat banyak hal, tanpa memahami maknanya, hanya sekedar untuk melewati ujian demi ujian.


(11)

Secara lebih sadar Soemantri Brodjonegoro (Fasli Jalal, 2001: 369), menyatakan bahwa: “Salah satu kritik yang ditujukan kepada dunia pendidikan nasional adalah sistem dan proses pendidikannya kurang memperhatikan pembentukan kepribadian yang mandiri, kreatif, inovatif, dan demokratis”. Namun demikian, kenyataan menunjukkan pendidikan di Indonesia belum dapat beranjak dari persoalan klasik tersebut, sehingga keadaan lama tetap berjalan sebagaimana biasanya.

Demikian pula pernyataan Ahmad Sanusi (1998:561) bahwa “Aktif belajar mandiri dan aktif berfikir mandiri sebagai kegiatan esensial siswa, masih jauh dari tercapai dan siswa masih belajar di bawah potensinya”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu persoalan krisis dalam dunia pendidikan adalah belum mampunya sekolah memberikan bekal yang memadai bagi peserta didik untuk dapat bekerja, dan sekaligus meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Di kalangan masyarakat pemakai jasa pendidikan, terutama mereka yang menyadari keterbatasan kemampuan ekonomi dan kemampuan akademiknya, cenderung memilih pendidikan yang praktis dan menjanjikan penghidupan mereka yang layak di kemudian hari. Wawancara awal yang penulis lakukan kepada sejumlah anggota masyarakat (orangtua siswa SLTP dan SLTA), pada umumnya ingin


(12)

memberikan kelanjutan pendidikan anak-anak mereka, melalui pendidikan yang menjamin pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan lebih layak serta mampu bergaul dengan orang-orang dari beragam lapisan.

Dengan demikian, suatu pendidikan alternatif yang secara cepat dapat mengantarkan lulusannya ke dunia kerja, menjadi pilihan masyarakat yang berlatar belakang ekonomi lemah. Sebagaimana yang dipersepsikan oleh kelompok masyarakat tersebut, pendidikan alternatif itu hendaknya membekali pengetahuan dan keterampilan praktis untuk perbaikan taraf hidup, memberikan rasa percaya diri dan harga diri, mendatangkan penghasilan yang menjamin pendidikan lanjutan.

3. Dimensi Krisis Ekonomi dan Lapangan Kerja

Saat ini Indonesia masih didera berbagai krisis, khususnya dalam bidang ekonomi. Lebih dari empat tahun perekonomian bangsa Indonesia ambruk, dan sampai saat ini belum dapat pulih kembali. Keadaan ini menurut Sudijarto (1998: 112) disebabkan karena lemahnya infrastruktur ekonomi sebagai masalah yang paling mendasar yang ditandai oleh (1) ketidakmampuan kita dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam; (2) rapuhnya sistem perbankan nasional; (3) ketergantungan bahan


(13)

dasar pada luar negeri; (4) rendahnya kemampuan menghasilkan barang dan jasa yang mampu bersaing dengan produksi luar negeri; dan (5) lemahnya sistem perdagangan.

Selain itu, masalah yang merisaukan adalah semakin meningkatnya pengangguran baik yang terdidik maupun kurang terdidik. Oleh Boomer Pasaribu (1997: 15) dinyatakan bahwa tahun 1996 tingkat pengangguran terbuka masih 7,7%; tahun 1999 diperkirakan membengkak menjadi 11%- 12% dari 90 juta tenaga kerja produktif. Pada tahun 2001 jumlah pengangguran di Indonesia telah mencapai 40 juta orang. Jika bangsa Indonesia tidak mampu mengembangkan nilai-nilai kemandirian, khususnya dalam hal berusaha, maka kecenderungan meningkatnya jumlah pengangguran di masa mendatang bukan hal yang mustahil. Pada saat ini lapangan kerja menjadi sesuatu yang langka bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan plus.

Dari kondisi tersebut, dampak berikutnya adalah masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah yang kompleks, bagaikan lingkaran setan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Terlalu rumit untuk mengurai simpul-simpul mana yang harus dibenahi, dan dari mana akan memulainya. Selain itu, kemiskinan yang ada di Indonesia merupakan kemiskinan struktural, yang tentu saja memerlukan


(14)

berbagai upaya mendasar di samping butuh waktu yang panjang untuk sekedar menguranginya. Mereka sulit memperoleh pendidikaan yang berkualitas, dikarenakan tidak dapat mengenyam sekolah yang berbiaya tinggi.

4. Kemandirian sebagai Tujuan Pendidikan

Menyinggung tujuan akhir pendidikan yang penting, maka aspek kemandirian merupakan salah satunya. Piaget (1948), Jhon Chon (Sikun Pribadi, 1971: 29), dan Konstance Kamii dalam Kaswadi (1993: 56), yang pada intinya mereka menyatakan bahwa tujuan pendidikan untuk memandirikan peserta didik merupakan tujuan pendidikan yang bersifat modern, tidak bersifat tradisional yang menuntut anak patuh dan mengikuti apa yang diajarkan.

Bahkan oleh Kelompok Kerja Filosofi, Kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional (Fasli Jalal, 2001: 44), dinyatakan bahwa kemandirian dipandang sebagai nilai inti pendidikan nasional. Nilai inti kemandirian tampil sebagai proses pemberdaya, artinya, dengan berbagai pembekalan isi dan wawasan yang dikembangkan memalui pendidikan, kreativitas individu dan satuan sosial ditumbuhkan sehingga secara jeli dan cerdas mampu mensinergikan lingkungan. Oleh karena itu dalam


(15)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pun, kemandirian merupakan salah satu aspek penting dalam rumusan tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa kita.

Anak sebagai peserta didik yang memiliki potensi sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya setelah melalui proses pendidikan. Adapun keberdayaan bercirikan kesadaran akan kemampuan diri, pemahaman yang sehat terhadap kenyataan kehidupan, pola kehidupan yang sehat, bebas dari perasaan takut dari mana pun datangnya, keberanian untuk berfikir dan bertindak, memiliki informasi yang memadai untuk menjalani kehidupan, dan memiliki keteguhan pendirian.

Kemandirian sebagai salah satu tujuan pendidikan bukannya sesuatu yang dipilih menurut selera pribadi. Ia didasarkan pada konstruktivisme, suatu teori ilmiah. Kemandirian bukan sekedar pengkhususan kualitas tertentu, melainkan untuk membantu masing-masing orang memilih atau menolak hal-hal yang ada dihadapannya. Constance Kamii dalam Kaswardi( 1993: 69) menyatakan bahwa “kemandirian intelektual dan moral adalah arah yang pasti dituju oleh tiap orang, yang mengkoordinasikan pandangan-pandangan”. Hal ini berkaitan dengan kemandirian sebagai esensi kehidupan yang berkualitas merefleksikan integritas nilai-nilai hidup. Tingkat kualitas dan martabat


(16)

hidup manusia berkaitan erat dengan bagaimana dan ke arah mana dia berorientasi, yang pada akhirnya orientasi nilai ini akan menjadi cara hidup (way of life).

Perkembangan kemandirian merupakan proses yang berkaitan dengan unsur-unsur normatif, yang berarti merupakan perkembangan yang sejalan dengan hakikat manusia, dan hal tersebut menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan dalam kaitannya dengan kualitas kepribadian manusia. Oleh karena itu, arah dan perkembangan sejalan dengan dan bertolak dari tujuan hidup manusia. Hal inilah yang selalu dijadikan acuan pokok dalam merumuskan tujuan pendidikan.

5. Lembaga Pendidikan Nanny & Governess School Citra Bunda Jakarta sebagai Latar Penelitian

Kehidupan masyarakat kelas menengah dan atas di perkotaan dicirikan oleh tingkat kesibukan yang tinggi. Tuntutan perbaikan karir dan kesejahteraan material, mengharuskan mereka berkompetisi dan memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk mengejar peluang dan menjalani berbagai urusannya. Salah satu akibat dari keadaan tersebut ialah terhambatnya pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga atau orang tua terutama sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak di rumah.


(17)

Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, dan unsur yang sangat penting dalam masyarakat (Soedjito, 1986: 18), keluarga merupakan tempat utama dan pertama terselenggaranya pendidikan (M.I. Soelaeman, 1985: 44). Dinyatakan oleh Duval (1962: 29), “Family are the nurturing center for human personality”. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan informal yang diselenggarakan dalam keluarga (UU No.20 Tahun 2003 Pasal 27) yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, moral, dan keterampilan.

Fungsi pendidikan keluarga sesungguhnya tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang lain, kecuali orang itu mampu menghayati dengan baik fungsi pendidikan keluarga. Meskipun demikian, saat ini tumbuh gejala baru, tidak sedikit keluarga kelas menengah ke atas di kota-kota besar yang mempercayakan pelaksanaan fungsi pendidikan keluarga kepada nanny atau governess.

Nanny adalah perawat dan pengasuh bayi di bawah tiga tahun yang dipekerjakan oleh sebuah keluarga, baik tinggal di dalam atau di luar rumah keluarga tersebut untuk mengerjakan semua tugas yang berhubungan dengan perawatan anak. Sedangkan governess adalah pendidik anak-anak yang dipekerjakan oleh sebuah keluarga baik secara full time maupun part time, dengan tugas sebagai guru di rumah.


(18)

Lembaga pendidikan keterampilan perawat dan pendidik anak dirintis serta diselenggarakan antara lain oleh Citra Bunda Nanny & Governess School yang beralamat di Perkantoran Plaza Pasifik blok B-1/11 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara, yang secara operasional bertumpu pada konsep “mencipta insan mandiri “.

Dari sudut pandang Pendidikan Umum, lembaga tersebut mengembangkan nilai kemandirian bagi para peserta didik dan lulusannya. Pendidikan umum dalam pengertian Liberal Education, bertujuan antara lain mendorong kemandirian peserta didik, sebagaimana dikemukakan oleh Glyer and Week dalam Djahiri (2004:94) “…foster independence or interdependence, look to the past or future, develop national identity or global citizenship”.

Demikian pula pendidikan umum dalam pengertian General Education yang dikembangkan oleh Western Carolina University bahwa tujuan akhir pendidikan umum adalah: belajar menjadi mandiri dan bertanggung jawab dalam berfikir serta berperilaku (Nursyid Sumaatmadja, 2002:19). Secara kebetulan peserta didik Citra Bunda Nanny and Governess School umumnya berlatar belakang ekonomi lemah, dan datang dari berbagai daerah pedesaan.


(19)

Dari paparan tersebut di atas, menjadi jelaslah bahwa kemandirian dalam penelitian ini diadopsi dari kata independence karena memiliki tafsiran lebih luas yang dalam perkembangan kematangannya terus meningkat pada interdependence. Dalam kata interdependence pun menurut Sunaryo Kardadinata (1988 :54) mesti ditafsirkan lebih luas, bukan berarti ketergantungan antar manusia (saja) melainkan ketergantungan antar berbagai motif dan nilai yang melandasi perilaku yang tampil dalam interaksi dengan orang lain. Demikian pula pendidikan umum dalam kajian ini melandaskan pada pengertian pendidikan umum sebagai general education yang memiliki salah satu tujuan pentingnya yakni memandirikan peserta didik dalam berfikir dan berperilaku.

Pemilihan Citra Bunda Nanny & Governess School sebagai setting penelitian ini didasarkan atas berbagai alasan. Pertama, Citra Bunda Nanny

& Governess School merupakan lembaga pendidikan yang mewakili model

wahana internalisasi nilai kemandirian kepada peserta didik, sekaligus merefleksikan ketetapan titik temu antara konsep pendidikan dengan momentum perkembangan kebutuhan masyarakat pemakai keluaran pendidikan, dan aspirasi masyarakat yang menghendaki pendidikan praktis untuk kemandirian penghidupan lulusan.


(20)

Kedua, dalam pelaksanaan dan penilaian pendidikan Citra Bunda Nanny & Governess School lebih menitikberatkan aspek-aspek sikap dan keterampilan, seperti: tanggung jawab, kejujuran, etika, kerajinan, inisiatif, komunikasi, kedisiplinan, keramahan, kerjasama, kebersihan, kerapian, dan kemauan belajar, serta sikap mental kerja, dan akhirnya memiliki kemandirian yang memadai. Proporsi pendidikan yang mengarah pada aspek sikap dan keterampilan dibanding aspek pengetahuan adalah 60%:40%.

Ketiga, selama ini lulusan SLTA di Indonesia khususnya perempuan lebih banyak memilih profesi buruh pabrik, sehingga terjadi over supply tenaga kerja pabrik, yang mengakibatkan penghasilan menjadi sangat rendah. Citra Bunda Nanny & Governess School telah mencarikan solusi dengan memberi kesempatan kepada perempuan lulusan SLTA untuk menjadi Governess atau Nanny yang memiliki penghasilan dan status lebih baik dibanding buruh pabrik.

Selain itu, Citra Bunda Nanny& Governess School merupakan lembaga pendidikan nanny dan governess terbesar dan terbaik di Indonesia, dan satu-satunya sekolah nanny dan governess di Asia Tenggara yang diakui oleh International Nanny Assocation (INA) di Amerika Serikat. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor: KEP-71/BPPP/1997 Dirjen Binalattas Depnaker


(21)

Republik Indonesia, Citra Bunda Nanny& Governess School memperoleh status Pembina. Sampai dengan tahun 2001 telah memiliki 10.000 alumni yang bekerja di kota-kota besar, khususnya Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan 5% lulusannya telah menjelajah kerja ke Australia, Singapura, Brunei, Taiwan, Hongkong, dan Amerika Serikat, sebagai pengasuh dan pendidik anak dalam rumah keluarga orang Indonesia yang berada di luar negeri.

Keempat, Citra Bunda Nanny & Governess School memenuhi syarat sebagai lembaga pendidikan bermutu, yang indikatornya tercermin dari kemampuan pribadi lulusannya, yakni: (1) kemampuan untuk survive dalam kehidupan; (2) kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, khususnya dalam segi sosial-ekonomi; dan (3) kemampuan untuk menempuh pendidikan lanjutan.

Kelima, proses pendidikan yang relatif singkat, tetapi melalui proses tersebut harus terjadi perubahan sikap, nilai-nilai sosial budaya, dan kepribadian yang mendasar, merupakan bahan kajian yang penulis anggap sangat menarik. Sejauh ini, observasi awal terhadap berlangsungnya proses pendidikan, wawancara terhadap pendidik, pelatih, peserta didik, lulusan, dan para pemakai jasa nanny dan governess di Jakarta khususnya, serta penelaahan dokumen di lembaga tersebut


(22)

yang mendeskripsikan keberhasilan, menguatkan niat penulis untuk mengidentifikasi nilai-nilai kemandirian dan pemberdayaan yang dikembangkan melalui lembaga tersebut. Dengan hasil identifikasi tersebut, penulis berharap akan diperoleh suatu konsep mengenai pola pendidikan kemandirian yang mewakili kebutuhan masyarakat/peserta didik lapis bawah.

B. POKOK PERMASALAHAN DAN PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang sebagaimana penulis uraikan di muka, dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah karakteristik efektivitas pola pendidikan Nanny & Governess School dalam membangun kemandirian bagi peserta didik dan lulusannya? Untuk memperoleh penjelasan di tingkat empirik, pokok permasalahan tersebut dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Alasan-alasan apakah yang memotivasi peserta didik memasuki lembaga Citra Bunda Nanny & Governess School?

2. Seperti apakah strategi kurikuler yang dipilih dan dilaksanakan oleh lembaga tersebut dalam menginternalisasikan nilai-nilai kemandirian kepada peserta didik?


(23)

3. Seperti apakah wujud keberhasilan LPK Citra Bunda dalam menginternalisasikan nilai-nilai kemandirian kepada para peserta didik?

4. Bagaimana pandangan masyarakat pengguna jasa terhadap kinerja keluaran lembaga tersebut?

5. Dengan cara bagaimana para lulusan LPK Citra Bunda meraih peningkatan kesejahteraan ekonomi dan memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi ?

6. Bagaimana persepsi masyarakat, khususnya aparat terkait terhadap keberadaan lembaga penyelenggara, pendidikan yang diselenggarakan, dan lulusan yang dihasilkan ?

7. Apa sajakah yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatan pelaksanaan pendidikan di LPK Citra Bunda dalam rangka mencipta insan mandiri?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini ada empat tujuan pokok yang hendak dicapai sebagai produk penenlitian ini yaitu: (1) memperoleh gambaran efektiftas pola pendidikan kemandirian yang diselenggarakan oleh Citra Bunda Nanny and Governess School Jakarta yang mengusung visi mencipta


(24)

insan mandiri; (2) untuk memperoleh gambaran karakteristik pendidikan kemandirian yang dikembangkan melalui pendidikan alternatif berupa pendidikan perawat batita dan pendidik anak di rumah, dengan mengambil situs Citra Bunda Nanny & Governess School di Jakarta; (3) menemukan prinsip-prinsip pendidikan kemandirian.

D. MANFAAT HASIL PENELITIAN

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Secara praktik, hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan

praktis mengenai pola pendidikan kemandirian, sekaligus umpan balik bagi Citra Bunda Nanny & Governess School, dan lembaga pendidikan lain yang sejenis, untuk lebih memantapkan konsep dan program.

2. Secara teoretik (1) hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dalam rangka memperkaya khasanah ilmu pengetahuan pendidikan umum maupun untuk kajian lebih lanjut terutama bagi para peminat pendidikan kemandirian dan pendidikan alternatif, (2) menjadi landasan filosofi, visi, pendekatan, strategi, metode pembelajaran, dan


(25)

evaluasi pendidikan umum, (3) masukan bagi dunia pendidikan secara umum.

D. ASUMSI-ASUMSI

Dari hasil pemahaman peneliti dan kajian pustaka, maka beberapa asumsi yang diajukan sebagai berikut:

Pertama, bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kemandirian sebagai salah satu fitrah manusia, setelah fitrah baik dan ruh yang menyatu dengan raga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Kahfi ayat 29 yang artinya, “Dan katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah beriman, dan siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir” (Oemar Bakry, 1988: 569). Menurut Abdur Rahman Shalih Abdullah (1991: 93), manusia memiliki kehendak bebas. Kehendak inilah yang membuatnya mampu melakukan seleksi terhadap elemen-elemen yang bakal berinteraksi dengan fitrahnya.

Kedua, manusia lahir dalam keadaan penuh ketergantungan, karena waktu dan pendidikan, berkembanglah potensi kemandirian, dan


(26)

keduanya akan tetap berkaitan. Menurut Maslow (1970: 165) perkembangan kemandirian dan ketergantungan merupakan dua hal yang berhubungan, dan lambat laun ketergantungan makin berkurang. Bukhari meriwayatkan sabda Rasulullah yang artinya: “Tiada seseorang manusia dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikan yahudi, nasrani, atau majusi (H.R. Bukhari). Untuk itu perlu dipahami kontrol diri tanpa kehilangan harga diri dan kehormatan (Erikson, 1994: 70-71), agar semua potensi dapat berkembang secara baik dan maksimal.

Ketiga, kemandirian dapat dikembangkan secara baik hanya melalui proses pendidikan, sebagaimana terdapat dalam bab VI, pasal 13 ayat 1 UU Sisdiknas, sehingga lembaga pendidikan hendaknya memberikan materi pendidikan yang sesuai dengan latar belakang, tingkat perkembangan, tingkat kemampuan, dan kebutuhan peserta didik.

Keempat, mengembangkan dan mematangkan kemandirian peserta didik, selayaknya tidak sekedar pembinaan lewat aktivitas kurikuler saja, namun berbagai aktivitas yang menunjang kemampuan untuk survive dalam kehidupan, kualitas hidup dan kemampuan untuk terus belajar.


(27)

E. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN

Secara skematik, kerangka berpikir penelitian ini penulis ringkas dalam gambar di halaman berikut:

-

KONDISI EMPIRIK LEMBAGA PENDIDIKAN

INTERNALISASI KEMANDIRIAN

PROSES KELUARAN DAMPAK

TEMUAN PENELITIAN:

•PRINSIP-PRINSIP INTERNALISASI KEMANDIRIAN

•KARAKTERISTIK, DAN EFEKTIVITAS POLA PENDIDIKAN KEMANDIRIAN

REKOMENDASI PRAKTIK:

•LEMBAGA PENDIDIKAN •LEMB.KETENAGAKERJAAN •PENGAMBIL KEBIJAKAN

REKOMENDASI TEORETIK

PENGGUNA KELUARGA MASYARAKAT

MASALAH PENELITIAN

• PENDIDIKAN UMUM • KEMANDIRIAN


(28)

Gambar 1

Studi Pendidikan Kemandirian bagi Masyarakat Golongan Ekonomi Lemah di Lembaga Pendidikan Keterampilan Citra Bunda Jakarta

F. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan naturalistik, karena masalah yang dikaji menyangkut hal-hal yang sedang berlangsung dalam lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, khususnya di Lembaga Pendidikan Citra Bunda, di samping lebih banyak menyangkut perbuatan dan kata-kata yang bersifat apa adanya.

Dijelaskan oleh Nasution (1996:67) bahwa pendekatan ini untuk mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha untuk memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Oleh karena itu, peneliti berlaku sebagai instrumen penelitian, artinya peneliti menjadikan diri sendiri sebagai alat atau sarana penelitian.

Untuk menghimpun data atau keterangan, baik yang berkategori primer maupun sekunder, penulis menggunakan teknik wawancara terbuka, pengamatan nonsistematis, dan penelaahan dokumen, sedangkan untuk mengecek kesahihan data yang meliputi derajat


(29)

kepercayaan, kebergantungan, dan kepastian, penulis menggunakan teknik triangulasi dan audit trail.

Sebagaimana lazimnya penelitian naturalistik, data diolah dan dianalisis sepanjang penelitian. Teknik analisis yang disarankan oleh Lincoln dan Guba (1984: 40) adalah: “Characteristic inductive data analysis. N Prefers inductive (to educative) data analysis because that process is more likely to identify the multiple realities to be found in those data”. Menurutnya sifat naturalistik lebih sesuai dianalisis secara induktif daripada deduktif. Karena dengan cara tersebut konteksnya lebih mudah dideskripsikan.

G. LOKASI DAN SUBYEK PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini mengambil lokasi di Lembaga Pendidikan Keterampilan Citra Bunda yang berada di Perkantoran Plaza Pasifik Blok B-1/11 Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara, yang secara khusus menyiapkan tenaga-tenaga pengasuh bayi dan pendidik anak di rumah dengan motto “Mencipta Insan Mandiri”.

Adapun yang menjadi subyek penelitian meliputi: (1) Unsur Pimpinan; (2) Staf Pengajar; (3) Karyawan; (4) Peserta Didik; (5) Keluaran; (6) Pengguna Jasa; (7) Pejabat Instansi terkait; dan (8) Tokoh masyarakat atau organisasi sosial.


(30)

H. BATASAN KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

Agar awal penjelajahan penelitian ini memiliki gambaran yang jelas, dan untuk menghindari kesalahan dalam pemaknaan konsep-konsep yang terdapat dalam judul, maka penulis mendefinisikan secara operasional terhadap istilah-istilah: (1) efektifitas pola pendidikan; (2) nilai kemandirian; dan (3) ekonomi lemah.

1. Efektivitas Pola Pendidikan

Efektivitas pola pendidikan pada dasarnya menunjukkan tingkat kesesuaian antara hasil yang dicapai (achievements, observed outputs) dengan hasil yang diharapkan (objectives, targets, intented outputs) sebagaimana telah diterapkan. Parameternya akan dapat diungkapkan sebagai angka rasio antara jumlah hasil (kelulusan, produk jasa, produk barang, dan sebagainya) yang dicapai dalam kurun waktu tertentu dibandingkan dengan jumlah (unsur serupa) yang diproyeksikan atau ditargetkan dalam kurun waktu tersebut ( Makmun, 1998:45 ).

Efektifitas pola pendidikan berhubungan dengan masalah bagaimana pencapaian tujuan atau hasil yang diperoleh melalui pola tertentu, bagaimana tingkat daya fungsi unsur/komponen dalam


(31)

organisasi pendidikan, dan tingkat kepuasan anggota organisasi yang disebut dengan lembaga pendidikan.

Efektifitas pola pendidikan Citra Bunda Nany & Governess School berkenaan dengan lama pendidikan yang berlangsung selama tiga bulan nonstop (kecuali tidur) dan dengan cara-cara tertentu merupakan proses relatif singkat untuk ukuran pendidikan. Namun, melalui proses tersebut diharapkan terjadi perubahan sikap, keterampilan, dan pengetahuan (kepribadian) yang mendasar, sehingga peserta didik memiliki kemandirian yang memadai untuk bekal memasuki dunia kerja.

Dengan demikian yang dimaksud dengan efektivitas pola pendidikan di sini adalah kemampuan lembaga pendidikan membekali peserta didik dengan berbagai aspek , bukan hanya aspek kognitif, afektif, dan psikomotor saja, tetapi juga memperhatikan aspek fisik dan psikologis sesuai dengan tingkat usia dan perkembangnnya, dengan cara-cara tertentu, pola pikir peserta didik dapat berkembang secara-cara baik dan benar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

2. Nilai Kemandirian

Risieri Frondizi (1963:1) memandang nilai sebagai tema baru dalam filsafat, yang dipelajari oleh aksiologi sebagai cabang filsafat. Nilai sebagai


(32)

kualitas yang independen tidak berbeda dengan benda. Ketidaktergantungan nilai mengimplikasikan ketidak-dapat-berubah-nya; nilai itu tidak berubah, mutlak, tidak dikondisikan oleh perbuatan. Teori relativistis memandang bahwa nilai itu memiliki eksistensi dalam hubungannya dengan manusia dan susunan fisik ataupun susunan psiko-fisiknya. Dalam kaitan ini, yang dimaksud adalah nilai-nilai yang ada dan melekat pada keberadaan kemandirian peserta didik di Lembaga Pendidikan Citra Bunda Nanny & Governess School Jakarta.

Secara filosofis konsep mandiri berarti kekuatan mengatur sendiri; tindakan mengarahkan sendiri; tidak tergantung pada kehendak orang lain; hal untuk mengikuti kemauan sendiri. Diri yang mandiri adalah diri yang berfungsi secara integratif memilih dan mengarahkan aktivitas-aktivitas sesuai dengan kebutuhannya sendiri.

Tinjauan psikologis memandang kemadirian sebagai kedewasaan, kematangan (maturity) atau pribadi yang dewasa. Dewasa memiliki dimensi yang luas, terutama yang berkenaan dengan kemampuan kognitif, moral dan sosial. Jadi, dari perspektif psikologis, kemandirian dapat diartikan sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Kematangan (kemandirian) mengandung unsur kemampuan dan kemauan.


(33)

Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh dari pendidikan, latihan, atau pengalaman.

Salah satu unsur penting, bahkan merupakan faktor yang identik dengan kemandirian adalah kepercayaan diri. Merangkum pendapat sejumlah ahli, Amien (200:45) mempertelakan aspek-aspek sebagai ciri orang yang memiliki kepercayaan diri sebagai berikut:

Pertama, individu merasa adekuat terhadap apa yang dilakukan, hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Individu merasa optimistik, ambisius, dan tidak berlebihan. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu mempercayai kemampuannya sendiri, sanggup bekerja keras, dan mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif, serta bertanggung jawab atas keputusan dan pekerjannya.

Kedua, individu merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang

didasari oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam berhubungan sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan apa yang menjadi kehendaknya atau ide-idenya secara bertanggung jawab, dan tidak mementingkan diri sendiri.

Ketiga, individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Individu merasa tenang dalam menghadapi berbagai situasi.

Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan nilai kemandirian adalah kepercayaan yang melekat untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-hari, karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai nanny atau governess.


(34)

3. Golongan Ekonomi Lemah

Golongan ekonomi sering diistilahkan pada para pelaku usaha berkaitan dengan modal yang dimiliki. Jika diterapkan pada ekonomi keluarga, yang dimaksud adalah pendapatan perkapita. Bagi keluarga yang berpenghasilan di bawah upah minimal regional/kabupaten, maka mereka tergolong ekonomi lemah.

Adapun yang dimaksud dengan golongan ekonomi lemah dalam penelitian ini adalah golongan masyarakat yang karena sesuatu hal tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya ke tingkat perguruan tinggi, bahkan untuk membiayai menyelesaikan pendidikan SLTA pun mengalami kesulitan, sehingga mereka lebih memilih untuk dapat bekerja daripada melanjutkan studi setelah mereka menyelesaikan SLTA, dan sebagian dari mereka bahkan terancam droup out.


(35)

111 BAB III

METODE PENELITIAN

A. LOKASI PENELITIAN

Sebelum menentukan fokus dan lokasi penelitian, terlebih dahulu peneliti mencermati isu-isu yang berkembang di masyarakat, khususnya isu yang berkaitan dengan hasil pendidikan. Ternyata persoalan rendahnya kemandirian, lebih banyak dipandang sebagai salah satu penyebab keterpurukan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang, khususnya bidang ekonomi, dan menjadikan bangsa ini sangat bergantung pada negara-negara donor. Seringkali pendidikan dijadikan sebagai kambing hitam, bahwa pendidikan kita belum mampu menjadikan peserta didik berfikir, bersikap dan berperilaku mandiri. Meskipun banyak dibutuhkan tenaga kerja, tetapi tidak banyak yang dapat memenuhi kriteria yang ditentukan lapangan kerja, sehingga makin banyak pengangguran .

Dari isu dan pemikiran itulah maka peneliti menelusuri lebih jauh dan mengembangkannya dalam tugas-tugas mata kuliah individual, baik dalam bentuk makalah, laporan buku, maupun laporan hasil observasi. Pada awalnya peneliti melakukan berbagai pengamatan di Universitas


(36)

Pancasakti Tegal, dengan alasan akan mudah melakukan penelitian lebih lanjut, karena sebagai lokasi tempat peneliti bekerja. Selain itu juga menengok Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Bandung, dengan alasan sistem pendidikan yang diterapkan semi militer, sehingga perilaku kemandirian mendapat porsi yang cukup.

Perkembangan berikutnya, secara tidak sengaja peneliti diperkenalkan dengan serombongan orang yang tergabung dalam Asosiasi Pengelola Perawat Bayi Indonesia (APERBI) di sebuah rumah makan di Tegal. Mereka sedang mensosialisasikan program-program kerja di berbagai sekolah lanjutan tingkat atas se-Jawa Tengah. Dari beberapa brosur yang peneliti pelajari, ada satu di antaranya yang menggunakan motto “Mencipta Insan Mandiri”, yakni LPK Citra Bunda, yang kemudian menggunakan nama Citra Bunda Nanny & Governess School.

Setelah mempelajari brosur, mewawancarai direktur, dan pengurus APERBI, peneliti tertarik untuk melanjutkan berkunjung ke kampus Citra Bunda Nanny & Governess School di Perkantoran Plaza Pasifik B1/11 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara. Kunjungan dilakukan untuk kali pertama pada tanggal 4 Mei 2001, dan setelah melakukan kunjungan yang


(37)

ketujuh dengan lebih mendalami fokus penelitian, maka diputuskan untuk memilih Citra Bunda sebagai lokasi penelitian.

Tahap selanjutnya melaporkan hasil penelitian pendahuluan kepada para pembimbing dalam bentuk proposal lengkap, terutama yang berkaitan dengan fokus dan lokasi penelitian. Setelah memperoleh dukungan para pembimbing untuk segera terjun ke lapangan, maka peneliti menyerahkan surat Ijin penelitian dari Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Bandung Nomor 221/K04.7/PP.03.05/2002 tertanggal 12 Maret 2002.

Setelah memperoleh balasan surat ijin penelitian dari Direktur Citra Bunda Nanny & Governess School Nomor: 006/CB-0bs/03.2002 tertanggal 21 Maret 2002, mulailah penelitian yang sesungguhnya dilakukan dan berakhir pada tanggal 16 Juni 2002, meskipun setelah itu peneliti secara tidak formal masih sering melakukan pengecekan pendalaman melalui telepon maupun bertemu langsung dengan direktur Citra Bunda dan stafnya.

Sehubungan dengan kegiatan dan waktu, maka dapat dijabarkan pentahapan sebagai berikut: (1) fokus masalah dari tanggal 31 Agustus 1998 sampai dengan 10 September 1998, (2) disain penelitian dari tanggal 10 September 1998 sampai dengan 4 September 1999, (3) proposal dari


(38)

tanggal 6 Januari 2000 sampai dengan 22 Mei 2000, (4) bimbingan bersama tanggal 9 Juni 2000, (5) persetujuan proposal menyeluruh tanggal 21 Mei 2001, (6) pra-survey bulan Mei 2001-Pebruari 2002 dilakukan sebulan sekali kunjungan ke lokasi, (7) pelaksanaan penelitian bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2002. Meskipun setelah itu peneliti masih tetap berkomonukasi, baik dengan staf maupun pimpinan Citra Bunda. Karena sesuatu hal, penulisan bab IV terhenti, dengan tetap menyesuaikan dengan perkembangan yang ada, baru pada bulan Agustus 2004 dilanjutkan hingga selesai.

Pemilihan lokasi ini didasarkan atas keberadaan lembaga Citra Bunda yang dipandang dari pendidikan umum memiliki aspek-aspek penting dalam implementasi konsep pendidikannya. Pertama, dilihat dari segi tujuan yang hendak dicapai, lembaga pendidikan tersebut diarahkan kepada perwujudan insan mandiri, yaitu orang yang memiliki kemandirian dalam hidup dan kehidupan sehingga tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Manusia mandiri merupakan salah satu bagian kepribadian penting yang menjadi tujuan pendidikan umum. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan pada lembaga ini merupakan wilayah kajian pendidikan umum.


(39)

Kedua, dari segi kelembagaan, penelitian ini sesuai dengan kajian pendidikan umum karena secara kelembagaan sekolah ini merupakan implementasi dari konsep pendidikan umum yang mendidikkan nilai-nilai dan makna-makna dalam membekali peserta didik untuk hidup secara wajar dalam masyarakat.

Ketiga, dari segi proses terdapat kegiatan belajar mengajar pada pembentukan sikap-sikap, nilai-nilai, dan kebiasaan yang mengarah kepada penghayatan dan penyadaran terhadap nilai dan sikap. Meskipun keterampilan profesional diajarkan dan dilatihkan secara sungguh-sungguh, tetapi pembinaan nilai menjadi menonjol sehingga mampu mendorong siswa untuk bekerja keras dan setia kepada profesinya. Dengan demikian, penelitian ini menjadi suatu keniscayaan dalam kajian pendidikan umum.

Berdasarkan analisis di atas maka lembaga ini dipandang sesuai dengan kajian yang dikembangkan oleh peneliti, terutama dalam melihat bentuk, jenis, dan proses pendidikan umum.

B. METODE DAN PENDEKATAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan naturalistik. Sifat deskriptif merujuk kepada: (1) data yang dikumpulkan


(40)

cenderung berbentuk kata-kata atau gambar; dan (2) laporan hasil penelitian berisi kutipan-kutipan dari data sebagai ilustrasi dalam memberikan dukungan terhadap apa yang disajikan. Sedangkan pendekatan naturalistik dipilih karena alasan-alasan berikut ini. Pertama, masalah yang dikaji menyangkut hal-hal yang sedang berlangsung dalam masyarakat, khususnya dalam lembaga pendidikan, dengan harapan data dapat dikumpulkan sebanyak mungkin, dengan tetap memperhatikan kualitas data.

Kedua, gejala-gejala yang diperoleh dari lapangan lebih banyak menyangkut perbuatan dan kata-kata dari responden yang sedapat mungkin tidak dipengaruhi dari luar, sehingga bersifat alami, apa adanya. Subino Hadisubroto (1988:2) berpendapat bahwa data yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata daripada angka-angka. Ketiga, sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985:37) bahwa: (1) realitas yang ada pada dasarnya bersifat ganda, terkonstruksi dan holistik; (2) antara orang yang mengetahui dan apa yang diketahui bersifat interaktif dan tidak terpisahkan; (3) hanya waktu dan konteks yang memungkinkan berkaitan dengan hipotetis kerja; (4) semua entitas yang ada dalam kondisi saling simultan sehingga hampir-hampir tidak


(41)

mungkin membedakan antara sebab dengan akibat; dan (5) penelitian pada dasarnya tidak bebas nilai.

Keempat, pendekatan kualitatif lebih bersifat natural, induktif, dan menemukan makna dari suatu fenomena (Bogdan dan Biklen, 1992:29-31; Moleong, 1996:4-8; Muhajir, 1990:28;Nasution, 1988:12).

Kelima, jika berhadapan dengan kenyataan ganda, pendekatan kualitatif lebih mudah disesuaikan, dapat menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan subyek penelitian, lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1996:4).

C. INSTRUMEN PENELITIAN

Dalam kegiatan pengumpulan data, ada beberapa hal yang terkait, yaitu sarana dan prasarana yang diperlukan, instrumen yang digunakan, jenis data yang dikumpulkan, teknik pengumpulan data yang digunakan, dan subyek-subyek yang terkait dalam proses pengumpulan data.

Sarana dan prasarana yang diperlukan di antaranya alat tulis, buku catatan lapangan, alat perekam suara, tustel, dan alat transportasi. Karena peneliti juga diberi kesempatan untuk mengisi suatu acara, maka peneliti


(42)

menggunakan alat transparansi, overhead projector, dan alat mengajar lainnya.

Dalam kegiatan penelitian ini, peneliti sendiri berlaku sebagai instrumen penelitian. Artinya peneliti sekaligus menjadikan diri sendiri sebagai sarana dan alat. Keterlibatan peneliti dengan obyek penelitian dirasa cukup memadai, dengan alasan informan telah secara sadar memahami makna penelitian ini, sehingga mereka bersedia membantu sepenuhnya.

Peneliti terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam pengumpulan data peneliti berusaha maksimal bersikap responsif, adaptif, ekspansif, partisipatif, dan menekankan holistisitas, memproses data secepatnya, mengklarifikasi, dan meningkatkan kemampuan peneliti dalam pengumpulan data. Sikap-sikap ini menurut Moleong (1988:121-125), Ranidar Darwis (1993:79), dan Lincoln dan Guba (1981:128-150) sangat penting dalam pengumpulan data penelitian kualitatif. Sebab menurut Bogdan & Biklen (1982:27) melepaskan tindakan, ucapan atau gerak isyarat dari konteksnya berarti kehilangan makna penting. Demikian juga sebagaimana ditekankan oleh Brannen (1997:11) peneliti bersikap fleksibel dan reflektif, dengan tetap mengambil jarak agar


(43)

pelibatan peneliti tidak larut dalam latar penelitian, tetapi tetap mengamati berbagai hal yang sifatnya fenomenologis.

Penggunaan teknik pengumpulan data dilakukan sesuai dengan situasi yang ada. Tidak jarang peneliti masuk pada latar penelitian dengan melakukan observasi, kemudian hasil observasi diperdalam dan dipertajam dengan wawancara dan dokumentasi. Kadang-kadang juga dimulai dari studi dokumentasi, kemudian diperjelas dengan wawancara dan observasi. Sering juga hasil wawancara dipertajam dengan observasi dan dokumentasi.

Teknik observasi secara intensif dan partisipatif digunakan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan pendidikan di LPK Citra Bunda. Observasi partisipatif merupakan pengamatan terhadap perilaku seseorang dan pengamat memainkan peran aktif dan berarti dalam situasi atau konteks disaat suatu perilaku direkam (Shaughnessy & Zechmeister, 1992:78). Observasi digunakan untuk menangkap makna, yakni memotret praktek pendidikan yang dilakukan oleh latar penelitian yang mencakup pendekatan dalam pendidikan, metode pembelajaran, materi yang diberikan, media yang dugunakan, sistem evaluasi, manajemen, dan lainnya. Juga dipergunakan untuk menangkap pola-pola pikir,


(44)

sikap, dan perilaku yang menggambarkan perilaku kemandirian subyek penelitian.

Observasi dilakukan sejak peserta didik datang ke kampus Citra Bunda, dalam berpakaian termasuk asesorisnya, bersikap, raut wajah, sarana prasarana yang ada, gambar dan foto-foto baik di dinding maupun dalam album. Selanjutnya secara seksama diikuti dalam proses pembelajaran, hingga mereka selesai, dan akhirnya sampai pada acara pelepasan.

Jenis observasi yang digunakan adalah observasi non sistematis, yakni tidak menggunakan pedoman yang berisi sebuah daftar kegiatan yang mungkin dilakukan oleh responden, tetapi pengamatan dilakukan spontan, terhadap apa saja yang terjadi pada saat responden melaksanakan kegiatan wajar atau natural. Dengan observasi diharapkan peneliti lebih dapat memahami apa-apa yang mereka telah lakukan dan apa-apa yang sedang dikerjakan serta mendengar langsung hal-hal yang diucapkan. Selanjutnya, agar data diperoleh memiliki makna, setiap informasi dikaitkan dengan konteksnya.

Peneliti sadar bahwa tidak semua data dapat diperoleh dengan hanya mengandalkan metode observasi, karena pada dasarnya observasi juga mengandung beberapa kelemahan. Untuk mengantisipasi kelemahan


(45)

tersebut dan sekaligus untuk memperkuat data yang diperoleh melalui teknik observasi, maka peneliti juga menggunakan teknik wawancara. Wawancara adalah upaya mendapatkan keterangan secara lisan dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan responden.

Penggunaan teknik wawancara lebih menekankan pada bentuk wawancara terbuka (semi terstruktur), sebagaimana layaknya dialog, sehingga diharapkan data yang dikumpulkan sebanyak mungkin, terfokus dan memiliki makna. Menurut Hitchock dan Hughes (1992:83) wawancara semi terstruktur merupakan salah satu jenis wawancara yang baik dalam penelitian pendidikan karena memungkinkan adanya pendalaman, penelitian lebih jauh, dan memperluas respons orang yang diwawancarai. Dengan wawancara, peneliti menelusuri pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan responden yakni dengan cara menginterpretasikan apa yang dikatakan dengan apa yang diperbuat mereka. Menurut Nasution (1988:73) “Dengan teknik ini terkandung maksud untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hati responden”. Sebagaimana juga dinyatakan oleh Lincoln dan Guba (1985:266) dan Moleong (1996:135) wawancara dimaksudkan antara lain untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan yang


(46)

dialami masa lalu, sekarang dan yang diproyeksikan untuk masa mendatang.

Untuk memperkuat dan melengkapi data yang diperoleh dari teknik observasi dan wawancara, maka digunakan juga teknik dokumentasi, yakni menyangkut bukti-bukti tentang hal-hal yang bisa memperjelas keadaan responden maupun hal-hal yang telah dilakukan atau diucapkan responden.

Menurut Moleong (1996:161) dan Lincoln & Guba (1981:228) dokumen adalah setiap bahan tertulis atau film yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti. Adapun dokumen yang ada menyangkut peraturan-peraturan yang ada di LPK Citra Bunda, bulletin, brosur, famlet, foto berbagai kegiatan, video film, surat-surat yang masuk, baik dari alumni, pengguna jasa, maupun siswa, laporan kegiatan tahunan, dan mas media yang memuat berita tentang LPK Citra Bunda.

Dari penggunaan ketiga teknik pengumpulan data tersebut di atas, maka pedoman yang dipegang dalam menjaring data penelitian sebagai berikut:

1. Peneliti mengumpulkan aneka ragam data sekaligus


(47)

3. Peneliti mengaitkan keadaan dan lingkungan sekitar responden dengan peristiwa yang terjadi

4. Agar data yang diperoleh merupakan data yang valid, maka peneliti berusaha memahami segala sesuatunya secara teliti.

D. PELUANG GENERALISASI

Dari masalah yang ditelaah dalam “kasus” penelitian ini, menggambarkan keberadaan dengan makna-maknanya pada latar penelitian. Namun demikian bukannya tidak mungkin bahwa hasil temuan penelitian ini dapat diangkat esensinya yang berlaku umum, selanjutnya disingkap maknanya, sehingga memberi peluang untuk digeneralisasikan dan diterapkan pada kasus lain yang memiliki koneks dan setting yang hampir sama, meskipun barangkali di sana sini ada perbedaan yang tidak dieliminir sedemikian rupa.

E. SUMBER DATA DAN SUBYEK PENELITIAN

Peneliti berusaha sedapat mungkin memperoleh data dari sumber primer, yakni orang yang pertama yang mengetahui, mengalami langsung permasalahan yang sedang dikaji, juga dari berbagai literatur yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam rangka mengecek, membandingkan data yang diperoleh, maka dicari data dari


(48)

sumber sekunder. Selain itu data juga diperoleh dari peristiwa-peristiwa dan situasi yang ada dalam latar penelitian. Sumber data tidak ditentukan jumlahnya melainkan berdasar pada snowball sampling, yakni bergulir sesuai kebutuhan sehingga mencapai kecukupan atau kejenuhan.

Meskipun obyek penelitian tidak ditentukan, namun proses bergulirnya berkisar pada lingkup orang-orang yang ada di LPK Citra Bunda dan yang terkait dengan keberadaan lembaga tersebut. Orang-orang yang ada di lembaga antara lain mencakup: (1) para pendiri LPK, (2) unsur pimpinan, (3) para konsultan, (4) staf pengajar, (5) karyawan, (6) peserta didik. Sedangkan yang di luar lembaga antara lain mencakup: (1) keluaran atau ulusan, (2) pengguna jasa, dan (3) aparat terkait yang diperlukan dalam penelitian ini.

F. TAHAPAN PENGUMPULAN DATA PENELITIAN

Secara lengkap data penelitian dilampirkan dalam buku tersendiri sebagai lampiran, sedangkan seluruh data secara garis besar diperoleh melalui lima langkah utama pengumpulan data. Secara berurutan, dari tahap orientasi, eksplorasi, member chek, triangulasi dan audit trail dijelaskan sebagai berikut:


(49)

1. Tahap Orientasi

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap orientasi ini antara lain sebagai berikut:

a. Dimulai sejak perkuliahan studi individual semester III, mencari fokus permasalahan yang sesuai dengan program studi pendidikan umum. Kemudian disusun ke dalam makalah tugas-tugas perkuliahan dengan meninjau dari berbagai sudut pandang, yakni kemandirian.

b. Mencari dan menemukan lokasi yang sesuai dengan temuan permasalahan, dalam hal ini adalah LPK Citra Bunda Jakarta yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon pendidik anak di rumah dan perawat anak di bawah lima tahun, yang menggunakan motto “Mencipta Insan Mandiri”.

c. Setelah mengadakan studi pendahuluan dengan rentang waktu yang cukup lama (7 bulan) tepatnya tanggal 4 Mei 2001 dan kunjungan lebih dari 7 kali, maka disusunlah desain penelitian, yang kemudian memperoleh persetujuan dari para pembimbing pada tanggal 21 Januari 2002.

d. Mengusahakan izin penelitian sesuai prosedur.

e. Mengajukan permohonan pengantar izin kepada Direktur Program Pasca Sarjana UPI.


(50)

f. Meneruskan permohonan izin penelitian kepada pimpinan LPK Citra Bunda Jakarta

2. Tahap Eksplorasi

Pada tahap ini peneliti menggali data dari lapangan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menyusun pedoman umum (bersifat tentativ) cara memperoleh data; b. Memilih sumber data yang sesuai dengan kriteria dan fokus penelitian; c. Mencari data yang sesuai dengan permasalahan penelitian;

d. Menetapkan data yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang sedang dikaji dalam penelitian ini;

e. Mendokumentasikan data yang telah diperoleh dalam buku catatan sebagai berikut:

(1) Catatan lapangan, yaitu catatan yang dibuat saat peneliti berada di lapangan. Selain itu juga digunakan tape rekorder sebagai alat bantu.

(2) Catatan laporan lapangan, yaitu catatan lengkap hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Laporan ini dibuat segera setelah pulang dari lapangan dan selanjutnya di transfer ke dalam disket kerja sebagai data penelitian.


(51)

(3) Buku harian lapangan, yaitu catatan tentang pengalaman, perasaan, kesalahan, kesulitan, pertimbangan, rencana, dan keputusan yang telah dialami penulis.

3. Tahap Member Check

Member check adalah mengecek kebenaran data dengan cara mengembalikan data tersebut kepada sumber data untuk kemudian diperiksa kebenarannya. Member check merupakan uji kritis terhadap data sementara yang telah diperoleh dari lapangan. Setelah peneliti mentranskrip rekaman wawancara atau mencatat hasil pengamatan atau menelaah dokumen kemudian mendeskripsikan, meng-interpretasikan, dan memaknai data secara tertulis selanjutnya tahapan yang ditempuh dengan cara:

a. Meminta tanggapan informan guna mengecek kebenaran data yang telah disusun, kalau perlu ada tambahan data baru.

b. Mengoreksi dan melengkapi hal-hal yang dirasa masih kurang atau tidak sesuai dengan fokus masalah.

c. Setelah draft utuh disusun berdasarkan catatan dari sumber data, maka diberikan kepada komunitas latar penelitian untuk dibaca secara bergantian. Setelah waktu dirasa cukup, maka ditarik dengan sejumlah catatan yang diperlukan untuk penyempurnaan data dan penyusunan.


(52)

4. Tahap Triangulasi

Triangulasi merupakan upaya untuk melihat fenomena dari beberapa sudut, melakukan verifikasi temuan dengan menggunakan berbagai sumber informasi dan teknik. Menurut Moleong (1989:185) tahap ini merupakan tahap pemeriksaan data yang diperoleh dengan memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data itu.

Pada tahap triangulasi ini, peneliti melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. meminta tanggapan peserta didik sehubungan informasi yang diberikan guru tentang pelaksanan pendidikan dalam lembaga.

b. mencocokan dari sumber primer dengan sumber sekunder

5. Tahap Audit Trail

Audit trail merupakan upaya memeriksa kesesuaian data antara temuan penelitian dengan data yang terhimpun melalui pelacakan terhadap catatan-catatan lapangan, teknik pengumpulan dan analisis data. Audit trail dalam penelitian ini terbuka bagi siapa saja, seperti para promotor, pengelola LPK, kelompok belajar peneliti dan lain-lain.


(53)

G. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN

Sebagaimana lazimnya, penelitian naturalistik diolah dan dianalisis sepanjang penelitian berlangsung, sehingga sejak studi pendahuluan dan tahapan pengumpulan data, analisis sudah dilakukan. Kegiatan pengumpulan data dan analisis data merupakan proses siklus dan interaktif (Miles & Huberman, 1984:21) sehingga peneliti bergerak di antara empat sumbu, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan/verifikasi. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah berpikir induktif. Menurut Puspo Prodjo (1988:17) Suatu jalan pikiran disebut induksi manakala berupa penarikan kesimpulan yang utama (berlaku untuk semua/banyak) atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus (beberapa/sedikit).

Salah satu karakter yang dikemukakan oleh Lincoln & Guba (1984:40) adalah Characteristic 6: Inductive data analysis. Naturalistic prefer inductive (to educative) data analysis because that process is more likely to identify the multiple realities to be found in those data. Menurutnya, sifat naturalistik lebih sesuai dianalisis secara induktif daripada deduktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah dideskripsikan. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan lembaga pendidikan terdapat peristiwa induksi, seperti


(54)

dikemukakan oleh Pranjoto Setjoatmodjo (1988:18) bahwa banyak contoh dari peristiwa induksi, baik dalam peristiwa ilmu maupun kehidupan sehari-hari.

Peneliti tidak mencari data untuk membuktikan kebenaran atau menolak hipotesis yang dibuat sebelumnya melainkan membuat abstraksi ketika fakta-fakta khusus terkumpul dan dikelompokkan bersama-sama. Menurut Patton (1987:306) analisis induktif berarti bentuk-bentuk, tema-tema, kategori-kategori suatu anlisis berasal dari data yang ada. Peneliti mencari variasi alami dari data yang ada.

Makna temuan diperoleh dari fenomena pendidikan dan pelatihan di LPK Citra Bunda Jakarta setelah melalui proses pengamatan, berinteraksi dan berdialog dengan orang-orang, memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitar latar penelitian. Agar tidak kehilangan makna, maka dalam menganalisis data sebagaimana disarankan Brannen (1997:11) perlu menggunakan lensa-lensa lebar, mencari pola-pola hubungan antara konsep-konsep yang sebelumnya tidak ditentukan. Pada akhirnya, peneliti berupaya menemukan karakteristik, prinsip-prinsip, dan efektifitas pendidikan kemandirian pada latar penelitian.


(55)

Dalam mengolah data yang dikumpulkan dari lapangan, peneliti menuliskannya dalam bentuk uraian yang terperinci dan membentuk laporan-laporan harian. Mengingat laporan harian itu begitu banyak dan beragam, maka data yang terkumpul dibuat reduksi data, yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi data adalah rangkuman data inti. Kemudian dipilih, dan difokuskan pada hal-hal yang penting dan berkaitan dengan kemandirian yang menjadi fokus penelitian ini. Selanjutnya data dipilih dan dikatagorisasi sambil diberi kode (coding).

Proses katagorisasi dilakukan dengan membuat pemisahan dan penyatuan dari seluruh data yang terkumpul. Dalam menafsirkan data, peneliti melakukan langkah-langkah sebagaimana disarankan Hammersley dan Atkinson (Nasution:139), yaitu:

a. membaca dan memahami data secara mendalam dituntun oleh teori yang dijadikan acuan penelitian hingga peneliti menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip, hubungan-hubungan dari seluruh aktifitas pendidikan di LPK Citra Bunda;

b. mencari hubungan antara konsep-konsep yang ditemukan dan membandingkannya dengan teori yang ditetapkan, baik teori pendidikan, pendidikan nilai, maupun teori pendidikan umum.


(56)

Untuk mendapatkan gambaran teknisnya, maka dapat ditelaah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a. Mencari hubungan antar data yang diperoleh; b. Mereduksi data;

c. Mendisplai data dalam disket kerja lewat layar komputer;

d. Menyusun draf. Pada awalnya secara garis besar dan kasar, meliputi judul dan sub-judul, selanjutnya diperhalus sesuai dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(1) menggolongkan data;

(2) memilah-milah data primer, sekunder, dan lainnya;

(3) memilih data yang tingkat keterhandalannya tinggi dari yang (4) tingkat keterhandalannya rendah;

(5) mencari data pendukung bagi data yang tingkat kehandalannya rendah.

e. menginterpretasikan data yang sudah dikhususkan untuk selanjutnya dimaknakan dengan menggunakan teori-teori yang baku sebagai kesimpulan dan merefleksikannya pada latar penelitian dan yang memiliki setting sejenis.


(57)

266 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan data yang dikumpulkan, dianalisis, dan dibahas pada bab-bab yang lalu, peneliti berkesimpulan bahwa LPK Citra Bunda berdiri dan berkembang karena keuletan pendirinya yang memiliki visi ke depan dan keberanian membuat terobosan untuk memecahkan masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Visi “melahirkan insan mandiri” telah direalisasikan dalam sistem pendidikannya sehingga menghasilkan alumni yang mandiri sebagaimana tercermin dari keberhasilan alumni dalam memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya di berbagai tempat. Kesimpulan berikut ini, merupakan hasil identifikasi dari temuan penelitian, yang sekaligus menjawab pertanyaan penelitian ini.

Pertama, proses pendidikan kemandirian bagi golongan ekonomi lemah yang diselenggarakan oleh LPK Citra Bunda Jakarta yang berlangsung dalam kurun waktu tiga bulan menunjukkan efektifitas yang berpola sebagai berikut:

1. Peserta didik setelah selesai mengikuti pendidikan langsung mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan dengan


(58)

gaji yang memadai, sehingga dengan gaji tersebut alumni mempunyai peluang membiayai pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi. 2. Pembelajaran di samping dilakukan oleh guru dan instruktur juga

oleh antar mereka, dengan cara saling tukar pengalaman langsung sebagai pemahaman baru yang berharga, dengan demikian mereka memiliki keterampilan tambahan untuk menjadi instruktur di kemudian hari.

3. Dengan sarana prasarana yang minim dapat dicapai tujuan secara maksimal sesuai dengan visi dan misi lembaga.

4. Dengan pekerjaan yang sesuai dan gaji memadai alumni memiliki peluang sukses dalam karier, sukses bidang ekonomi, sukses melanjutkan studi, dan sukses keluarga.

5. Dalam kurun waktu tersebut proses pembelajaran berlangsung terus menerus, kecuali tidur, sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma, karena mereka diasramakan, dampak berikutnya mereka dapat menyerap materi pembelajaran secara maksimal.

6. Alumni telah memiliki profil yang memadai dalam hal pengetahuan, ketaerampilam, dan sikap untuk melaksakan tugas sebagai nanny maupun governess.


(59)

7. Untuk kepentingan selama pendidikan subyek didik hanya mengeluarkan biaya yang sangat minim, yakni hanya untuk kepentingan pakaian seragam, sepatu, dan jaket almamater tetapi mereka memiliki kompetensi untuk tugas sebagai nanny atau governess.

Kedua, karakteristik pendidikan kemandirian yang diselenggarakan LPK Citra Bunda Jakarta sebagai berikut:

1. Kurikulum yang mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengarah pada tujuan menjadikan peserta didik sebagai insan yang mandiri.

2. Menyatukan strategi yang terfokus untuk menanamkan kemandirian melalui bahan pelajaran oleh seluruh guru dan instruktur.

3. Menekankan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan dalam melaksanakan profesi sebagai nanny atau governess. 4. Proses internalisasi nilai-nilai kemandirian dilakukan secara bertahap dari pemahaman, penghayatan, kebiasaan, dan penyadaran diri terhadap pola hidup mandiri.

5. Menumbuhkan iklim belajar yang mendorong sikap mandiri dengan cara banyak hal yang harus diurus sendiri oleh siswa dalam keterbatasan tapi terukur.


(60)

Ketiga, prinsip-prinsip pendidikan yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh LPK Citra Bunda Jakarta sebagai berikut:

1. Prinsip integritas, antara kurikulum, guru, metode, bahan ajar, siswa, dan sarana prasarana sebagai suatu system untuk mencapai tujuan mencipta insan mandiri.

2. Prinsip pentahapan secara runtun dan sistematis berdasarkan proses psikologis subyek didik menuju sikap mandiri.

3. Prinsip keterbukaan antar siswa, antara guru dan siswa, antara guru siswa dan pimpinan lembaga yang mengarah pada perilaku mandiri. 4. Prinsip pembinaan yang berlangsung secara terus menerus, meskipun

para alumni telah memperoleh pekerjaan yang sesuai.

B. REKOMENDASI

Berdasarkan kesimpulan dan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka peneliti merekomendasikan hal-hal berikut ini:

1. Rekomendasi bagi Pengembangan Pendidikan Umum

Pendidikan umum sebagai pendidikan yang menekankan kepada pembinaan warga negara yang baik, sekarang ini sedang menghadapi masalah pengangguran. Masalah ini juga dialami oleh sebagian besar


(61)

lulusan lembaga pendidikan, yang masih sangat bergantung pada pihak lain, karena itu upaya pembinaan kemandirian siswa menjadi bagian penting.

Penelitian ini merekomendasikan perlunya pembinaan kemandirian sebagai sasaran yang harus mendapatkan perhatian dalam pengembangan pendidikan umum di berbagai lembaga pendidikan.

Kemandirian sebagai bagian dari pendidikan umum memerlukan proses mengajar yang tidak hanya mentransformasikan pengetahuan tertentu saja, melainkan juga menanamkan nilai kemandirian dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Di sini pendidikan umum memerlukan kekayaan metode pendidikan nilai. Internalisasi nilai-nilai, penghayatan yang mendalam dan penciptaan iklim pendidikan menjadi kunci utama dalam proses pendidikan umum.

Pengembangan kemandirian sebagai pendidikan umum berkaitan dengan kultur budaya masyarakat. Oleh karena itu, kajian budaya dalam pendidikan kemandirian masyarakat perlu mendapat perhatian dalam pendidikan umum. Dengan demikian penelitian ini merekomendasikan perlunya pengembangan pendidikan kemandirian sebagai kajian utama pendidikan umum yang memberi aspek penting dalam mewujudkan salah satu ciri pendidikan umum. Penelitian ini juga memberikan


(62)

kesadaran bahwa kemandirian sebagai pendidikan umum perlu dibina dan dikembangkan mengingat persaingan yang terjadi di tengah pergaulan global akan semakin ketat dan berimplikasi pada nasib bangsa di masa depan.

2. Rekomendasi bagi Pengembangan Institusi

Sekolah sebagai institusi pendidikan yang bertugas membina nilai-nilai seyogyanya memberikan perhatian lebih besar pada pembinaan kemandirian, karena manusia berkepribadian yang menjadi tujuan pendidian nasional, salah satu cirinya adalah mandiri.

Pengembangan kemandirian di lembaga pendidikan pada umumnya tidak ditugaskan kepada salah satu mata pelajaran, melainkan secara implisit dititipkan kepada berbagai mata pelajaran. Hal ini merupakan bukti komitmen institusi pendidikan yang masih rendah terhadap pembinaan kemandirian sebagai sikap dan etos kerja siswa. Padahal tugas yang penting dari institusi pendidikan adalah pengembangan sumber daya manusia yang memiliki sikap mandiri. Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu memiliki visi yang jelas mengenai sikap mandiri yang hendak diwujudkan di kalangan peserta didik. Berdasarkan kajian dalam penelitian ini, rekomendasi yang diajukan pada


(63)

lembaga pendidkan adalah adanya visi, misi, dan strategi yang tepat sesuai dengan potensi yang dimiliki serta tantangan yang dihadapi.

Kemandirian merupakan bagian yang mendasar, oleh karena itu lembaga pendidikan diharapkan mampu menananmkan kemandirian menjadi salah satu ciri kepribadian peserta didik. Kurikulum yang padat hendaknya dapat dikelola dengan pendekatan yang komprehensif dan kreatif. Lembaga pendidikan mengarah kepada otonomi yang ditandai dengan kemandirian dalam pengelolaan kurikulum menjadi peluang yang besar bagi pengembangan nilai kemandirian peserta didiknya. Demikian pula guru sebagai pendidik yang aktif, kreatif, dan inovatif, tidak hanya melihat belajar mengajar sebagai suatu kegiatan rutin saja, melainkan sebagai wahana pengembangan kreatifitas yang selalu memberi peluang bagi idealismenya dalam menata sikap dan perilaku peserta didik. Beragamnya mata pelajaran seyogyanya dihadapi sebagai sarana yang memberikan banyak alternatif bagi lembaga pendidikan untuk memberikan muatan nilai-nilai kemandirian melalui berbagai mata pelajaran.

Pengaitan nilai-nilai kemandirian dengan berbagai mata pelajaran menjadi mendorong kreatifitas guru untuk memasukan misi kemandirian dalam strategi belajar mengajar. Demikian pula pimpinan lembaga


(64)

pendidikan sebagai manajer yang handal, perlu memandang kemandirian sebagai bagian dari tugas idealismenya. Sebagai pimpinan, seyoyanya dapat menggunakan kewenangan secara positif dan kreatif untuk mendorong tumbuhnya budaya mandiri di lingkungannya.

3. Rekomendasi terhadap Sistem Pendidikan

Kemandirian sebagai salah satu ciri dari kepribadian telah disadari pentingnya oleh pemerintah maupun legislatif yang meletakannya sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional. Tujuan yang ideal tersebut ternyata tidak dijabarkan pada pasal dan ayat-ayat yang lebih rinci. Bahkan lebih lanjut pada peraturan pemerintah dan kebijakan-kebijakan lainnya, kemandirian tidak lagi tampil sebagai salah satu tujuan pendidikan. Demikian pula pada tingkat operasional pendidikan seperti dalam kurikulum, baik nasional maupun lokal, kemandirian secara explisit tidak lagi dicantumkan.

Kemandirian sebagi tujuan pendidikan merupakan gambaran jati diri dan ciri utama bangsa yang merdeka, karena itu perhatian terhadap hal tersebut tidak hanya bersifat simbolis atau kata-kata indah yang hanya tercantum dalam undang-undang, tetapi dapat diimplementasikan secara


(65)

operasional di lembaga-lembaga pendidikan. Karena itu, peraturan pemerintah dan kebijakan lain dalam bidang pendidikan seyogyanya dapat menjabarkan amanat tujuan pendidikan tersebut.

Pada tingkat operasional, yakni kurikulum pendidikan hendaknya kemandirian dijadikan bagian yang tidak terpisahkan pada proses belajar mengajar di sekolah. Setiap mata pelajaran selayaknya memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan kemandirian sebagai salah satu tujuan pendidikan.

4. Rekomendasi terhadap Penelitian Lanjutan

Penelitian ini membahas tentang efektifitas pola pendidikan kemandirian di lembaga pendidikan keterampilan merupakan penelitian yang masih bersifat awal. Masalah yang dihadapi sekolah dalam pembinaan pendidikan kemandirian masih merupakan garapan yang luas untuk diteliti, karena tantangan yang dihadapi sekolah dari waktu ke waktu terus bertambah dan berkembang.

Penelitian ini belum mencakup semua aspek pendidikan di sekolah, masih banyak aspek yang belum dsentuh. Pendidikan kemandirian yang merupakan pendidikan nilai memerlukan kajian yang mendalam dan


(1)

Citra Umbara, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bandung,

Cochrane, DB., 1979, The Domain of Moral Education, New York.

Covey, Stephen R. , 1989, The 7 Habits of Higly Effective People, New York:: A. Fireside Book.

---, A. Roger Merrill, Rebecca R. Merrill, (alih bahasa Wandi S. Brata), 1995, First Things First, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

---, 1996, Principle Centered Leadership, New York: Covey Leadership Center,

Craig, R. L., 1987, Training and Development Schools, Agenda for Education in a Democracy, California, Jossey-Bass Inc.

Darwis, Ranidar. 1993, “Transformasi nilai-nilai Tradisi Kekeluargaan dalam Pendidikan Kewirausahaan: (Studi Kasus Pengembangan SDM dalam Pengelolaan Rumah Makan Minang), Disertasi, PPS IKIP Bandung.

Departemen Agama R.I., 1989, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang, Toha Putra.

Djahiri, Kosasih, 1985, Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral, Laboratorium Pengajaran PMP-KN IKIP Bandung.

Driyakara, 1980, Kumpulan Karangan Tentang Kebudayaan, Yogyakarta, Yayasan Kanisius.

Durkheim, Emile, Wilson, Everet K. dan Schnurer Herman (trans), 1925/1961, Moral Education: A Study in the Theory and Aplication of the Sociology of Education,New York: TheFree Press

Duval, Evely Millis, 1962, Family Development,, Philadelphia, New York, J.B. Lippin Cott Company.

Erikson, Erik H. 1994, Identity and The Life Cycle, New York-London: W.W. Norton & Company,

Fraenkel, J., 1977, How To Teach About Values: An Analitic Approach, New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Fraenken, Robert, E. 1993, Human Motivation, California: Book/Cole Publishing Company, Pacivic Grave.


(2)

Frondizi, Risieri. (Terjemahan Cuk Ananta Widjaja), 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadisubroto, Subino, 1988, Pokok-Pokok Pengumpulan Data, dan Rekomendasi Data Penelitian Kualitatif, IKIP Bandung.

Haikal 2003, Sejarah Hidup Muhamad, Jakarta, Pustaka Litera antar Nusa. Haris, 1960, Ensiclopedia of Educational Research, New York: The Mac Millan

Company.

Hartoko, Dick, 1985, Memanusiakan Manusia, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Henry, Nelson B., 1952, The Fifty-First Year Book (General Education), New

York, Jhon Willey Son.

Herucahyono C., 1988, Pendidikan Moral Dalam Beberapa Pendekatan, Jakarta: P2LPTK

Hitchcock, Graham and David Hughes, 1992, Reserch and The Teacher: A Qualitative Introduction to School based Research, London: Routledge, Chapman and Hall, Inc..

Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi (editor), 2001, Reformasi Pendidikan dalam Kontek Otonomi Daerah, Depdiknas-Bapenas, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,

Joni, Raka, et al., 1985, Wawasan Kependidikan Guru, Jakarta, P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud.

Kartadinata, Sunaryo, 1988, Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa serta Kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Rujukan Disertasi, FPS IKIP Bandung.

Kaswadi (Editor), 1993, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Knowles, Malcom, 1984, The Adult Learner:A Neglegted Spicies, Gulf Publishing Company Book Devition, Houston.

Knox, Alan B, 1989, Adult Development and Learning, Jossey-Bass Publisher, Sanfransisco.

Koentjaraningrat, 1992, Kebuadayaan dan Mentalitet Pembangunan, Jakarta, Gramedia.

Kupermen, 1983, The Fondation of Morality, London, Josg Aclen & Unrim. Langeveld, M.J., 1969, Beknote Teorische Paedagogiek, Groningen: J.B., Wolters,


(3)

Lickona, Thomas, 1994, Educating For Character, New York: Bantam Books, Linkoln, Yvonna S., & Egon, G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, Beverly

Hills: Sage Publication.

Makmun, Abin Syamsudin, 1996, Analisis Posisi Pembangunan Pendidikan, Depdikbud, Jakarta.

---, 2000, Psikologi Kependidikan, Bandung: Rosda Karya

Mangkunegara, AA., 2000, Menejemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Bandung: Rosda,

Mansoer, Hamdan, 1983, “Fungsionalisasi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Dalam Kurikulum Perguruan Tinggi Indonesia”, Makalah Penataran dalam Suscados Kewiraan.

Maslow, Abraham, 1970, Toword A Psychology of Being, Jakarta: D. Vand Nostrand Co.

Masrun, 1988, “Studi Tentang Kemandirian Sebagai Kualitas Kemandirian”, Makalah Seminar Ilmu-Ilmu Sosial: Mempersiapkan Masyarakat Masa Depan di Ujung Pandang.

Maxwell, JC, 2000, Pintu-pintu Menuju Sukses, Bandung: Nuansa Cendekia Mc. Clelland, David C, John W. Atkinson, Russel A. Clark, Edgar L.

Lowell, 1953, The Achievement Motive, New York, Appleton Century-Crofts, Inc, New York.

Megginson, D. Matthews, J and Banfield, P., 1999, Human Reseource Development, Jakarta, Gramedia.

Miles, Mathew B. and A. Michael Huberman, 1984, Qualitative Data Analysis: A Seurcebook of New Methods, California: Sage Publication, Inc.

Moleong,, Lexy J. 1996, Metodologi Penenlitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya,

Mondy, W., and Noe, R.M., 1996, Human Resouerce Management, Texas Printice Hall, Inc.

Muhajir, Noeng, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Karasin.

Mulyana, Rochmat, 2004, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta


(4)

---, at al, 1999, Cakrawala Pendidikan Umum, Bandung: MAPU, PPS, IKIP Bandung.

Muthahhari, 1990, Manusia dan Agama, Bandung, Mizan.

Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito. ---,1995, Islam Rasional: GagasandanPemikiran Prof.Dr. Harun

Nasution, Bandung: Mizan

Nasution, H., 1989, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press.

Nggermanto, A, 2003, Quantum Quotien: Kecerdasan Quantum, Bandung; Nuansa Cendekia

O’Neil, William, F., 1981, Educational Ideologies, Santa Monica, California, Amerika Serikat.

Pasaribu, Bomar, 1997, Krisis dan Aksi Buruh, Aksi Mogok Buruh Mulai Marak Sementara Pengusaha dalam Posisi Terjepit, Tras No. 43/Thn III/24, Desember 1997.

Patton, Michael Quin, 1987, Qualitative Evaluation Method, Beverly Hills: Sage Publication

Phenix, Philip H., 1964, Realms of Meaning, New York: Mc. Graw Hill Book Company

Piaget, J., 1948, To Understand is to Invent, New York, The Free Press.

Pidartaa, Made, 1997, Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta.

Poespoprodjo, 1988, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya

Pribadi, Sikun, 1971, In Search of A Formulation of The General Aim of Education, Volume III, LPPD IKIP Bandung.

Rahardjo, Dawam., 1987, Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Graffiti pers.

Rasyidin, Waini, 2000, Filosofi dan Teori Pendidikan Untuk Membangun Pendidikan ke Arah Masyarakat Indonesia Baru (Makalah Konaspi IV), Universitas Negeri Jakarta, Jakarta.

Rath, et all, 1986, Values and Teaching, Charles E. Merril Publishing Co, Ohio.


(5)

Sanusi, Ahmad, 1998, Pendidikan Alternatif, PPS IKIP Bandung: PT Grafindo Media Pratama.

Sastrapatedja, 1979, Cultural and Religion: A Study of Given Kaldun Filosophy of Cultural Frame Work for Critical Asessment of Contemporary Islamic Thought in Indonesia, Disertasi, Roma.

Satmoko, Retno Sriningsih, 1999, Landasan Kependidikan (Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Pancasila), Semarang, IKIP Semarang Press.

Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi RI, 2003, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta,

Setjoatmodjo, Pranjoto, 1988, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, PPLPTK Depdikbud.

Shaughnessy, Jhon J, and Eugene B. Zechmeister, 1992, Research Methods in Psychology, New York: Mc. Graw-Hill, Inc.

Sinetar, Marsha, 2001, Spiritual Intelligence (alih bahasa Soesanto Budidarmo), Jakarta: PT. Elek Media Komputindo,

Soedijarto, 1997, Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional Dalam Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki Abad Ke-21, Jakarta: Proyek Perencanaan Terpadu dan Ketenagaan Diklusepora.

Soelaiman, Henni T., 2000, Lahan Basah Jasa Nanny dan Governess, dalam Swasembada, No. 20/XVI/5-18 Oktober 2000.

Soetisna, DA., (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: Kantor Konsultas DAS

Sudjito, 1986, Transformasi Sosial, Yogyakarta: Bayu Grafika.

Sudjono, Ag., 1980, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, Bandung: Gema ilmu.

Sukmadinata, Nana Syaodih, 1997, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung: Rosda Karya, Bandung.

Sulaiman, M.I., 1985, Suatu Upaya Pendekatan Fenomenologis terhadap Sistem Kebudayaan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah, Disertasi, PPS-IKIP Bandung.

Sumaatmadja, Nursid, 2002, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, AlFabeta.


(6)

Surakhmad, W., 1980, Mewujudkan Nilai-Nilai Hidup dalam Tingkah Laku, Bandung: Tarsito,

Susanto, AB, (1998), Visi Global Para Peminpin: Sinkretisme Peradaban, Jakarta: The Jakarta Consulting Group.

Suseno, Magnis, F., 1992, Filsafat Dari Konteks, Jakarta: Gramedia.

Tilaar, HAR, 1997, Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020, Jakarta: Grasindo,

Titus, Harold W., 1959, Living Issues in Philosophy, New York: American Book Company.

Toshihiko, Izutzu, 1964, God and Man in The Quran, Tokyo, The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.

Tuloli, Djasmin, 1991, Tranformasi Potensi Generasi Muda Menuju Insan Mandiri (Menguak Kegiatan Pembinaan Pramuka di Indonesia), Disertasi, FPS IKIP Bandung.

Van, Peursen, C.A. 1983, Tubuh Jiwa Roh, Sebuah Pengantar Dalam Filsafat Mansuia, Jakarta, Gunung Agung.

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing,