Peran Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Kejahatan Narkoba di Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran
Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor
yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini,
harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang
mempunyai peran tertentu misalnya sebagai pengacara, dokter, guru, orangtua, anak,
wanita, pria, dan lain sebagainya, diharapkan agar seorang tersebut berperilaku sesuai
dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah
seorang dokter.
Kamus bahasa Indonesia (2001:585) menegaskan bahwa peran adalah bagian
dari tugas utama yang harus dilaksanakan, jadi peran adalah suatu perilaku seseorang
yang diharapkan dapat membuat suatu perubahan serta harapan yang mengarah pada
kemajuan, meskipun tidak selamanya sesuai dengan yang di harapkan.
Pengertian peran menurut Margono Slamet (1995:15), merupakan tindakan
atau prilaku yang dilakukanoleh seseorang yang menempati posisi di dalam status
sosial Pendapat lain dari Miftah Toha (1985:13) memberikan pengertian peran juga
dapat dirumuskan :
Sebagai suatu rangkaian tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu.

Kepribadian seseorang juga mempengaruhi bagaimana peran itu harus
dijalankan. Peranan yang dimainkan hakekatnya tidak ada perbedaan, baik
yang dimainkan atau diperankan pemimpin di tingkat atas menengah maupun
bawah akan mempunyai peranan yang sama.

9
Universitas Sumatera Utara

10
Menurut Gunawan (2003:369) mengatakan bahwa peran adalah sesuatu yang
jadi bagian satu yang memegang pimpinan yang terutama dalam terjadinya hal atau
peristiwa.
Konsep tentang Peran (role) menurut Komarudin (1994: 768) dalam buku
“ensiklopedia manajemen” mengungkap sebagai berikut :

a. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh manajemen.
b. Pola prilaku yang diharapkan dapat menyertai suatu status.
c. Bagian suatu fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata.
d. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakter istik yang ada
padanya.

e. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab akibat.
Sedangkan pengertian peran menurut Soerjono Soekanto (2002: 243)
merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status) yang dimiliki seseorang, sedangkan
status merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang apabila
orang tersebut melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.
Soerjono Soekanto (2002 : 244) menyatakan bahwa syarat-syarat peran
mencakup tiga hal, yaitu :
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.
b. Peranan adalah suatu konsep prilaku yang dapat dilaksanakan oleh individuindividu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai prilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikatakan peran adalah aspek
dinamis yang berupa tindakan atau prilaku yang dilaksanakan oleh seseorang atau
lembaga yang menempati suatu posisi dalam satu sistem sosial.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

11
2.2 Badan Narkotika Nasional
Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah lembaga pemerintahan non
kementerian yang berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden. Badan Narkotika Nasional sebagai lembaga independen diharapkan dapat
bekerja lebih baik serta transparan dan akuntabel dalam menumpas kejahatan
narkotika. Badan Narkotika Nasional juga diharapkan dapat optimal dalam
memberikan perlindungan kepada masyarakat dan meningkatkan kerja sama
internasional agar jaringan narkotika transnasional dapat dihancurkan. Dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang BNN di daerah, BNN memiliki instansi
vertikal di provinsi dan kabupaten/kota.
Tujuan pembentukan Badan Narkotika Nasional dapat dilihat dalam pasal 3
(tiga) Keppres nomor 17 Tahun 2002 yaitu melakukan 8:
a. pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan
penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan, pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika,
prekursor dan zat adiktif lainnya;
b. pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kebijakan di bidang

ketersedian, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya serta
pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas;
c. pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan,
pengendalian, pengawasan di bidang narkotika, psikotrapika, perkursor dan
zat adiktif lainnya;
d. pengoperasian satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur
pemerintah terkait dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya
sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing;
e. pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan
zat adiktif lainnya melalui satuan tugas-satuan tugas;
f. pelaksanaan kerja sama nasional, regional dan internasional dalam rangka
penanggulangan masalah narkotika, psikotrapika, perkursor dan zat adiktif
lainnya;
g. pembangunan dan pengembangan sistem informasi dan laboratorium
narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya.
a. Isi Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2002

8


Pasal 3 (tiga) Keppres nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

12
Badan narkotika nasional dibentuk oleh Keputusan Presiden nomor 17 tahun
2002, adapun isi pokok Keputusan Presiden itu adalah sebagai berikut:
Susunan Organisasi BNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang beranggotakan 25 (dua puluh lima) badan dan seketaris yang dijabat
oleh Kepala Pelaksana Harian BNN yang juga merangkap sebagai anggota.
Untuk mempelancar pelaksanakan tugas dan fungsi BNN dibentuk pelaksana
harian BNN yang mempunyai tugas memberikan dukungan staf dan administrasi yang
dipimpin oleh Kepala pelaksana harian. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala
Pelaksana Harian BNN dibantu oleh:
a. Wakil Kepala Pelaksana Harian BNN
b. Sekretariat
c. Pusat
d. Satuan Tugas.

Struktur organisasi merupakan kesatuan kerangka organisasi yang ditetapkan
untuk proses manajerial, sistem, pola tingkah laku yang muncul dan terjadi dalam
praktek penyelenggaraan organisasi dan manajemen. Struktur organisasi merupakan
alat untuk membantu manajemen dalam mencapai tujuannya. Struktur organisasi
dapat memiliki pengaruh yang besar pada anggotanya. Struktur organisasi
menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan. Hubungan
diantara fungsi-fungsi, bagian-bagian ataupun posisi maupun orang-orang yang
menunjukkan kedudukan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda
dalam suatu organisasi Kerangka kerja organisasi disebut sebagai desain organisasi
(organizational design).
Apabila dibutuhkan Kepala Pelaksana Harian BNN dapat membentuk
Kelompok Ahli sesuai dengan kebutuhan, yang bertanggung jawab kepada Kepala
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

13
Pelaksana Harian BNN, yang mempunyai tugas memberikan telaahan baik diminta
maupun tanpa diminta sesuai dengan keahliannya masing-masing. Di Propinsi dan
Kabupaten/Kota dibentuk Badan Narkotika Nasional Propinsi dan Badan Narkotika
Kabupaten/Kota. Badan Narkotika Propinsi ditetapkan oleh Gubernur. Badan

Narkotika Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Dalam melaksanakan
tugasnya Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota
berkoordinasi dengan BNN.
BNN mengadakan rapat koordinasi secara berkala sekurang-kurangnya 1
(satu) kali dalam 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Kepala
Pelaksana Harian BNN dan Wakil Kepala Pelaksana Harian BNN diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua BNN. Pejabat-pejabat lain di lingkungan
Pelaksana Harian BNN diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan

Kepala

Pelaksana Harian BNN dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan
fungsi BNN dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sedangkan
biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan dan penyelengaraan tugas dan fungsi Badan
Narkotika Propinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Propinsi dan biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan
fungsi Badan Narkotika Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Rincian tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja Pelaksana Harian BNN

ditetapkan setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri yang
bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur Negara. Dengan berlakunya

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

14
Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999 tentang
Badan Koordinasi Narkotika dinyatakan tidak berlaku.
b. Mekanisme Dalam Organisasi Badan Narkotika Nasional
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Narkotika Nasional Propinsi dan Badan
Narkotika Nasional Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional.
Sedangkan Badan Narkotika Nasional melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan
tugas dan fungsi BNN kepada Presiden secara berkala atau sewaktu-waktu jika
dipandang perlu.

2.3 Upaya Penanggulangan Kejahatan Narkoba
Masalah kejahatan dalam pendekatan reaksi sosial merupakan pendekatan
yang dinamis, di mana kejahatan dimengerti melalui pemikiran sendiri dan merupakan
refleksi dari proses interaksi yang rumit oleh manusia. Menurut Intruksi Presiden

Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 tentang pelaksanaan kebijakan strategi dalam
menangani peredaram Narkotika yaitu:
1. Pencegahan
2. Pemberantasan
3. Penyalahgunaan
4. Peredaran gelap narkoba
Oleh karena itu, akan diuraikan tentang upaya-upaya penanggulangan
kejahatan narkoba, dapat dilakukan dengan cara:
2.3.1 Penanggulangan Kejahatan Narkotika Menurut Undang-Undang
Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan terhadap
penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum dari Undang-undang narkotika
adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

15
a. Undang-undang Dasar 1945.
b. Undang-undang No. 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan.
c. Instruksi Presiden No. 6 tahun 1971

d. Undang-undang No. 13 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kepolisian.
e. Undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kesehatan.
f. Undang-undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
g. Undang-undang No. 3 tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa.
h. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
i. Undang-undang No. 6 tahun 1976 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
j. Undang-undang No. 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961, beserta protokol yang mengubahnya.
k. Undang-undang No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotrapika.
Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang tersebut di atas,
maka pemerintah memutuskan untuk :
a. Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) 1972 No. 278 jo. No. 536
sebagaimana telah diubah dan ditambah.
b. Memperbaharui Undang-undang No. 9 tahun 1976 tentang narkotika (Lembaran
Negara tahun 1976 No. 36 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
c. Menetapkan Undang-undang RepublikIndonesia No. 22 Tahun 1997 Tanggal 1
September 1997 tentang Narkotika. (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3698) 9.


9

Moh. Taufik Makarao, Suhasril, H. Moh. Zakky, A.S., Tindak pidana narkotika, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 2003, hal 9-16

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

16
Akibat adanya Bakolak Inpres No. 6/1971 (Sub Team Narkotika), ini maka
kegiatan penangggulangan bahaya narkotika yang dilakukan oleh Polri, Kejaksaan,
Pengadilan dalam rangka pemberantasan kejahatan, dapat ditingkatkan dengan adanya
Suatu

Badan

Koordinasi

yang

di

dalamnya

terdapat

unsur-unsur

dari

Lembaga/Dinas/Jawatan yang kegiatannya langsung atau tidak lansung ada
hubungannya dengan masalah narkotika seperti bea cukai, pelabuhan laut-udara,
Departemen Pendidikan, pariwisata, agama dan lain-lain; sehingga penanggulangan
narkotika bisa didekatkan dari berbagai aspek, yang diikuti dengan tindakan-tindakan
baik represif maupun preventif.
Secara umum kegiatan-kegiatan dalam penanggulangan penyalahgunaan
narkotika yang telah dilakukan oleh aparatur Pemerintah di antaranya:
a. Mengurangi volume narkotika, yang menjadi tugas alat-alat penegak
hukum, dengan usaha mengurangi volume narkotika, seperti
pembasmian sumber-sumber pengejaran dan penuntutan di Pengadilan
terhadap pegedar-pegedar gelap dan lain-lain.
b. Menghindarkan remaja dari bujukan Narkotika dengan pengawasan dan
disiplin yang ketat dengan kasih sayang baik di rumah maupun di
sekolah, memberikan wadah kegiatan olah raga, rekreasi dan lain-lain.
c. Penerangan dan edukasi oleh para ahli dan para petugas kepada
masyarakat umumnya dan remaja khususnya.
d. Usaha-usaha pengobatan para korban dan rehabilitasi sosialnya.
e. Penyusunan RUU Narkotika yang favourable & up to date. 10
Untuk menghadapi bahaya narkotika Pemerintah beserta aparaturnya (Bakolak
Inpres No. 6/1971 Sub Team Narkotika) berkeyakinan bahwa dalam penanggulangan
bahaya narkotika penyembuhan terhadap korban-korban yang telah

kecanduan,

adalah tidak/kurang artinya dan akan besar resiko serta biaya yang harus dikeluarkan
oleh individu, masyarakat dan negara, oleh karenanya “pencegahan adalah yang
paling baik untuk memerangipenyalahgunaan narkotika”. Beberapa upaya pencegahan
yang effektif di antaranya:

10

Sudjono. D, 1976, Kriminalistik dan Ilmu Forensik, Pengantar Sederhana Tentang Teknik
Dalam Pendidikan Kejahatan, PT Tribinasa Karya, Bandung, hal. 160-161

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

17
1. Pembinaan kesadaran mental.
2. Membangkitkan kesadaraan untuk menanggulangi penyalahgunaan
narkotika secara preventif dalam lingkungan keluarga masing-masing.
3. Mengajak masyarakat membantu pemberantasan penyalahgunaan narkotika
secara represif (membantu penegak hukum dengan melaporkan apalagi ada
sumber- sumber atau pengedar narkotika gelap)
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, maka dibentuklah Badan Narkotika
Nasional (BNN). Dimana salah satu tugasnya adalah member-dayakan masyarakat
dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika. Memberdayakan masyarakat bisa berupa ikut berperannya masyarakat
dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor
narkotika. Peran serta masyarakat dapat dibentuk dalam suatu wadah yang
dikoordinasi oleh BNN Kota Medan
Pemberdayaan masyarakat bertujuan terciptanya lingkungan pendidikan,
lingkungan kerja, masyarakat rentan/resiko tinggi, dan lingkungan keluarga bebas
narkotika melalui peran serta instansi pemerintah terkait, komponen masyarakat,
bangsa, dan negara. Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatnya pelayanan program
terapi dan rehabilitasi penyalahguna dan atau pecandu narkotika dan kapasitas
lembaga

rehabilitasi medis dan sosial dan meningkatnya pelaksanaan pasca

rehabilitasi penyalahgunaan dan/atau pecandu narkotika. Pemberantasan bertujuan
untuk meningkatnya pengungkapan kasus tindak kejahatan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan terungkapnya jaringan sindikat
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika Luar dan Dalam Negeri. Serta
disitanya barang bukti dan aset yang berkaitan tindak kejahatan penyalahgunaan,
peredaran gelap narkotika serta prekursor narkotika. Dalam Pasal 70 UU tentang
Narkotika BNN mempunyai tugas:

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

18
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Selain tugas diatas, dalam Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 pada Pasal
2 ayat (2) dinyatakan bahwa:
“BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif
untuk tembakau dan alkohol.”
Pada poin e dan f adanya pemberdayaan masyarakat serta memantau,
mengarahkan,

dan

meningkatkan

kegiatan

masyarakat

dalam

pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dimana
dalam pemberdayaan masyarakat dipimpin oleh deputi. Deputi Bidang Pemberdayaan
Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan perumusan kebijakan
nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

19
adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN di
bidang Pemberdayaan Masyarakat.
2.3.2 Penanggulangan Kejahatan Secara Represif
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan
cara yang paling tua, setua peradapan manusia itu sendiri. Fungsi primer dari hukum
pidana adalah menanggulangi kejahatan dengan sanksi berupa pidana, yang sifatnya
pada umumnya lebih tajam dari pada sanksi dari cabang hukum lainnya 11. Sanksi
pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 10 KUHP yaitu: 12
1) Pidana pokok yaitu:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda;
2) Pidana tambahan, yaitu:
a. Pencabutan hak yang tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;
c. Pengumuman putusan hakim.
Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, ada yang mempersalahkan apakah
kejahatan perlu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan
sanksi pidana. Ada pendapat bahwa pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada
umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan
peninggalan masa lalu yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan
pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan
penderitaan yang kejam.
Hal ini dapat dimaklumi karena memang sejarah hukum pidana penuh dengan
gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang kejam dan
melampaui batas13. Adanya pendapat pelaku kejahatan tidak perlu dijatuhkan pidana

11

Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal 4
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10
13
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahanya, PT
Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal 154-155
12

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

20
menyebabkan lahirnya paham determinisme yang menyatakan orang tidak mempunyai
kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak
pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya.
Dengan demikian kejahatan merupakan manisfestasi dari keadaan seseorang
yang abnormal. Sehingga si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas
perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat merupakan
jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental, maka
bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah
tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. 14
Penanggulangan secara penal disebut juga dengan tindakan represif, yang
dimaksud dengan tindakan represif ialah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur
penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana 15. Sehingga apabila ada
orang yang melanggar hukum akan dikenakan pidana sesuai dengan sanksi pidana
yang berlaku. Termasuk tindakan represif adalah penyidikan, penyidikan lanjutan,
penuntutan dan seterusnya sampai dilaksanakannya pidana. 16
Menurut H.L Packer di dalam bukunya “The limits of criminal sanction”,
menyimpulkan antara lain sebagai berikut:
a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang
maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita
miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera
serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama/terbaik” dan
suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia.
Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa. 17
14
15

, Ibid, hal. 150-151
Sudarto, 1973, Hukum Pidana, Jilid IA, Badan Penyedaan Kuliah, FH-UNDIP, Semarang,

hal 118.
16

Ibid, hal 118
Barda Nawawi Arief dan Muladi, 1998, Pidana dan Pemidanaan. Semarang: Fakultas
Hukum UNDIP, hal 155-156
17

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

21

2.3.3 Penanggulangan Kejahatan Secara Prevensi
Alasan mengapa mencurahkan perhatian pada pencegahan sebelum kejahatan
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Tindakan pencegahan lebih baik daripada tindakan represif dan koreksi. Usaha
pencegahan lebih ekonomis,tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang rumit,
dapat dilakukan secara perorangan dan tidak memerlukan keahlian seperti tindakan
represif dan koreksi.
2. Pencegahan tidak menimbulkan akibat yang negatif seperti stigmatisasi,
pengasingan, penderitaan dalam berbagai bentuk, pelanggaran hak asasi, permusuhan
terhadap satu sama lain yang dapat menjurus ke arah residivisme.
3. Pencegahan dapat mempererat persatuan, kerukunan, dan meningkatkan rasa
tanggung jawab terhadap sesama anggota masyarakat. 18
Jadi pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau penggimbalan
kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Adapun pembagian prevensi yaitu:
1. Prevensi umum
Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan
kepada khalayak ramai/kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran
ketertiban

masyarakat.

Prevensi

umum

dilakukan

dengan

mempertontonkan

pelaksanaan pidana di depan umum agar masyarakat tidak berani lagi melakukan
kejahatan lagi. Jadi agar anggota masyarakat lain takut, perlu diadakan pelaksanaan
pidana yang menjerakan dengan pelaksanaan di depan umum.
2. Prevensi khusus

18

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Ibid, hal 154-155

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

22
Prevensi khusus mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah si penjahat/
terpidana tidak mengulangi lagi kejahatan, yang berarti agar ia berubah menjadi orang
yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Van Hammel menunjukan bahwa
prevensi khusus suatu pidana adalah:
a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat
yang mempunyai kesempatanuntuk tidak melaksanakan niat buruknya.
b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.
c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin
diperbaiki.
d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum. 19
Pada kasus narkotika prevensi khusus, dapat dilihat pada rehabilitasi
terhadap korban narkotika. Dalam pasal 1 Undang-undang nomor 22 tahun 1997
tentang narkotika, rehabilitasi di bedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 20
1. Rehabilitasi medis, adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
2. Rehabilitasi sosial, adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu
baik fisik, mental sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai
dengan pasal 48 ayat (1) Undang-undang tentang narkotika yang berbunyi
pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika melalui fasilitas
rehabilitasi. Dalam penjelasan pasal 48 Undang-undang tentang narkotika
rehabilitasi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan
dan/atau mengembangkan kemampuan fisi, mental, dan sosial penderita
yang bersangkutan. Rehabilitasi tersebut dilakukan di rumah sakit yang
ditunjuk oleh Pemerintah baik rumah sakit yang diselenggarakan oleh
Pemerintah maupun masyarakat.
2.4 Narkotika
2.4.1 Pengertian Narkotika
Kata narkotika berasal dari bahasa Yunani narke yang artinya terbius sehingga
tidak merasakan apa-apa. Orang Amerika menyebutnya dengan nama narcotics, dan

19

Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,

20

Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

hal 31

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

23
di Malaysia dikenal dengan istilah dadah, sedangkan di Indonesia disebut narkotika 21.
Menurut vide Keputusan Menteri kesehatan RI No.2882/70, narkotika atau obat bius
diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang umumnya mempunyai efek
kerja bersifat:
a. Membiuskan (dapat menurunkan kesadaran).
b. Merangsang (meningkatkan prestasi kerja).
c. Menagihkan (mengikat/ketergantungan).
d. Menghayal (halunisinasi).
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan. Narkotika dibagi kedalam golongangolongan yaitu golongan I, II, dan III.
2.4.2 Penggolongan Narkotika
Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2), narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga)
golongan besar yaitu:
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
21

Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal 224.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

24

Penggolongan di atas mempunyai konsekuensi/akibat yuridis yaitu, bahwa
penyalahgunaan narkotika golongan I akan memperoleh pidana/ancaman pidana yang
lebih berat daripada penyalahgunaan narkotika golongan II dan III. Di dalam
kenyataan penyalahgunaan narkotika yang terjadi adalah yang menyangkut golongan
narkotika golongan I. Apalagi yang sampai diperdagangkan secara internasional antar
negara. Memang banyak juga yang ditemukan penyalahgunaan yang menyangkut
narkotika golongan II yaitu yang diedarkan di daerah terpencil/oleh kalangan tertentu.
2.4.3 Manfaat dan Kegunaan Narkotika
Narkotika memang diakui merupakan obat mujarab untuk menghilangkan rasa
sakit dan penderitaan pada penyakit tertentudan paling penting bagi keperluan ilmu
pengetahuan. 22 Hal ini dengan jelas tertuang dalam konsiderans Undang-undang
Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika yang mengatakan bahwa untuk meningkatkan
derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan
pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis
tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat, pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun dalam kenyataannya dalam banyak pengunaan narkotika menjadi masalah
karena disalahgunakan.
Uraian di atas menyatakan bahwa narkotika merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan pengembangan ilmu
pengetahuan. Penyalahgunaan sendiri adalah pemakaian di luar pegawasan dan

22

Budarti, Pengaturan Hukum Tindak Pidana Narkotika, Kertas Kerja Pada Pertemuan Ilmiah
tentang Penyitaan Hak Milik Pelaku Tindak Pidana Narkotika, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, 1994, hal. 12

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

25
pengendalian yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik
perorangan maupun masyarakat dan negara. 23
Menurut Kartika Kartono di dalam bukunya yang berjudul “Psikologi
Anak“mengatakan gejala-gejala umum dari remaja yang kecanduan ganja dan bahan
narkotika, antara lain adalah:
1. Jasmaniah : Badan jadi tidak terurus dan semakin lemah, kurus kering,
kumal dan berbau, tidak suka makan, matanya sayu dan menjadi merah.
2. Rohaniah : Pembohong, pemalas dan daya tangkap otaknya makin
melemah. Fungsi inteleknya lama-kelamaan menjadi rusak, tidak bisa
bereaksi dengan cepat, tugas disia-siakan, mudah tersinggung, mudah
marah, sangat eksplosif, hati nuraninya melemah, tingkah lakunya boleh
dikatakan tidak terkendalikan.
Adapun efek bahaya dari penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut:
1. Fisik : Badan jadi ketagihan sistem syaraf jadi lemah atau rusak secara total,
lalu menimbulkan komplikasi kerusakan pada lever dan jantung. Kondisi
tubuh jadi rusak, karena muncul macam-macam penyakit lainnya.
2. Psykhis : Ketergantungan psykis, kemauan melemah atau musnah sama
sekali, daya pikir dan perasaan jadirusak, jiwanya jadi murung, depresif,
aktivitas dan kreativitas intelektualnya hilang sama sekali.
3. Ekonomis : Ganja dan bahan-bahan narkotika harganya sangat mahal,
sedangkan kebutuhan rutin, diperlukan supply yang kontinyu/terus menerus,
dan harus dipenuhi.Oleh karena itu betapa pun besarnya harta kekayaan,
lama kelamaan pasti menjadi jatuh miskin atau bangkrut, akibat dari
kecanduan narkotika yang tidak tertolong lagi.
4. Sosiologis: Bila pecandu tidak mempunyai uang, tetapi terus menerus
ketagihan narkotika, sedangkan minta uang kepada orang tua atau keluarga
lainnya tidak diberi atau harta miliknya sudah habis, maka para pecandu
lalu melakukan macam-macam tindak pidana dan tindakan amoral.
Berkembanglah kemudian gejala-gejala sosial seperti: prostitusi, kenakalan
remaja, kriminalitas, radikalisme ekstrim (pembunuhan, penculikan,
penyanderaan dan lain-lain). Semua ini merupakan masalah sosial yang
mengganggu ketentraman masyarakat dan tidak mudah memberantasnya 24
2.5 Teori Kesejahteraan Sosial
Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial, baik kita suka atau tidak, hampir
semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita berkaitan dengan orang lain (Jones,
2009). Kondisi sejahtera (well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan
23

Soedjono Dirdjosisworo, 1990, Hukum Narkotika Indonesia, PT Citra Aditya, Bandung, hal

24

Andi Hamzah, op cit, hal. 230-231

3.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

26
sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non
material.
Menurut Midgley (2000: xi) mendefinisiskan kesejahteraan sosial sebagai :
“..a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi
manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan
gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi;
serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama
yang mengancam kehidupannya.
Agar dapat memahami lebih dalam apa yang dimaksud dengan kesejahteraan
sosial berikut definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli .
Menurut definisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sosial sebagai suatu
kegiatan atau pelayanan dan kesejahter aan sosial sebagai ilmu (Suud, 2006).
Menurut Suharto ( 2006:3) :
kesejahteraan sosial juga termasuk sebagai suatu proses atau usaha terencana
yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun
badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui
pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai
suatu keadaan adalah sebagai berikut di bawah ini.
Menurut Suparlan dalam Suud (2006:5), kesejahteraan sosial, menandakan
keadaan sejahterah pada umumnya, yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah, dan
sosial dan bukan hanya perbaikan dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja;
jadi merupakan suatu keadaan dan kegiatan. Kesejahteraan sosial menurut Friedlander
dalam Suud (2006:8):
Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisasi dari pelayananpelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan
kesehatan yang memuaskan, dan hubungan-hubungan personal dan sosial yang
memberi kesempatan kepada mereka untuk memperkembangkan seluruh
kemampuannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakatnya.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

27
Sementara itu, menurut Segal dan Brzuzy yang dikutip dalam Suud (2006:5)
Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan
sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat.
Sedangkan menurut Midgley masih dalam Suud (2006:5) :
Kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan sejahtera secara sosial tersusun dari
tiga unsur sebagai berikut. Itu adalah, pertama, setinggi apa masalah-masalah
sosial dikendalikan, kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi dan
terakhir, setinggi apa kesempatan-kesempatan untuk maju tersedia. Tiga unsur
ini berlaku bagi individu-individu, keluarga-keluarga, komunitas-komunitas
dan bahkan seluruh masyarakat.
Definisi-definisi di atas menekankan pengertian kesejahteraan sosial
sebagai suatu keadaan. Setiap kelompok mempunyai definisi yang berbeda dari
berbagai ahli.

2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejahatan Narkoba
Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba Penyalahgunaan narkoba
terjadi berbagai faktor. Menurut Burhan Arifin (2007:26–29) penyebab
penyalahgunaan narkoba terjadi akibat faktor sebagai berikut :
1. Faktor Individual
Penyalahgunaan narkoba umumnya dimulai pada saat remaja, sebab pada saat
remaja sedang mengalami perubahan biologi, psikologi maupun sosial.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik
sekitar rumah, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat.
a. Lingkungan Keluarga
1) Komunikasi orang tua dan anak kurang baik;
2) Hubungan kurang harmonis;

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

28
3) Orang tua yang bercerai atau kawin lagi;
4) Orang tua terlampau sibuk dan acuh;
5) Orang tua otoriter;
6) Kurangnya orang yang menjadi teladan dalam hidupnya;
7) Kurangnya kehidupan beragama.
8) Lingkungan Sekolah
9) Sekolah yang kurang disiplin;
10) Sekolah terletak dengan tempat hiburan;
11) Sekolah kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri secara kreatif dan positif;
12) Adanya murid yang menggunakan narkoba.
b. Lingkungan Teman Sebaya
1) Berteman dengan penyalahguna;
2) Tekanan atau ancaman dari teman.
c. Lingkungan Masyarakat/Sosial
1) Lemahnya penegak hokum
2) Situasi politik, sosial, dan ekonomi yang kurang mendukung.
Faktor-faktor tersebut di atas memang tidak menjadi patokan seseorang
kelak akan menjadi penyalahguna narkoba. Akan tetapi semakin banyak faktorfaktor di atas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna
narkoba. Dari berbagai faktor inilah peneliti ingin meneliti faktor yang paling
sering menjadi penyebab seseorang menyalahgunakan narkoba. Sehingga dapat

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

29
menemukan strategi yang tepat untuk mencegah dan memberantas peredaran
narkoba.

2.7 Kerangka Pemikiran
Penyalahgunaan narkoba yang terjadi di tengah masyarakat dapat
dikategorikan sebagai prilaku menyimpang karena secara sosial ada bentukan
norma yang menganggap bahwa pemakaian narkoba yang dilakukan di luar
kesepakatan masyarakat (seperti untuk alasan medis) dianggap sebagai
pelanggaran norma yang membahayakan masyarakat luas. Seseorang melakukan
perilaku menyimpang bisa disebabkan oleh pengendalian diri yang lemah serta
kontrol masyarakat yang lemah. Di samping secara individu prilaku menyimpang
dapat pula dilakukan secara berkelompok yang disebut dengan subkultur
menyimpang.
Peranan merupakan penelitian sejauh mana peran Badan Narkotika
Nasional Kota Medan dalam menunjang usaha pencapaian suatu tujuan yang
telah ditetapkan.
Peranan disini dikaitkan dimana peranan didalam merehabilitasi pasien
penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan kendala yang di hadapi dalam
proses rehabilitasi. Peneliti menggunakan konsep peranan atau role.
Menurut Soerdjono Soekanto, (1990:244), peranan atau role merupakan
aspek dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiabnnya

sesuai

dengan

kedudukannya,

maka

dia

telah

menjalankan suatu peranan. Suatu peranan mencakup paling sedikit tiga hal
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

30
1. Peranan dapat meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi
atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini
merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang
dalam kehidupan kemasyarakatan.
2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyakat sebagai suatu organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial.
Kerangka berpikir dan perumusan hipotesis merupakan hal penting
dalam penelitian khususnya penelitian kuantitatif. Kerangka berpikir lahir dari
teori. Perpaduan teori dan kerangka berpikir menghasilkan hipotesis. Kerangka
pikir merupakan inti sari dari teori yang telah dikembangkan yang dapat
mendasari perumusan hipotesis. Teori yang telah dikembangkan dalam rangka
memberi jawaban terhadap pendekatan pemecahan masalah yang menyatakan
hubungan antar variabel berdasarkan pembahasan teoritis.
Sedangkan kerangka pemikiran tentang peran Badan Narkotika Nasional
Provinsi Sumatera Utara dalam Penanggulangan Kejahatan Narkoba di Kota
Medan dilihat gambar di bawah ini :
Peranan Badan Narkotika Nasional Dalam Penanggulangan
Kejahatan Narkoba di Kota Medan
PERAN

Peran Badan Narkotika Nasional (BNN)
Provinsi Sumatera Utara

1. Menurunnya Tersangka Kasus Narkoba di Kota Medan
2. Merehabilitasi Kesehatan Fisik dan Psikologis Pengguna Narkoba
3. Pulihnya Fungsi Sosial Pengguna Narkoba di Kota Medan
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Sumber : Data Penelitian Diolah (2015)

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

31
2.8 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional
2.8.1 Definisi Konseptual
Di dalam penelitian ini, penulis merumuskan definisi konsepsional yaitu
sebagai berikut: Secara umum bahwa peran BNN adalah lembaga yang dapat
memberikan perubahan serta harapan agar bebas dari penyalahgunaan narkotika.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010, tentang Pembentukan
Badan Narkotika yang ada di daerah Kabupaten/Kota salah satunya Badan Narkotika
Kabupaten (BNK) Kota Medan yang ditujukan dalam rangka pencegahan,
pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba d isetiap kecamatan di
Kota Medan terutama di Kecamatan Medan Petisah.
2.8.2 Definisi Operasional
1. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan, jadi peran adalah
suatu perilaku seseorang yang diharapkan dapat membuat suatu perubahan serta
harapan yang mengarah pada kemajuan, meskipun tidak selamanya sesuai dengan
yang di harapkan.
2. Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah lembaga pemerintahan non kementerian
yang berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Badan Narkotika Nasional sebagai lembaga independen diharapkan dapat bekerja
lebih baik serta transparan dan akuntabel dalam menumpas kejahatan narkotika.
Badan Narkotika Nasional juga diharapkan dapat optimal dalam memberikan
perlindungan kepada masyarakat dan meningkatkan kerja sama internasional agar
jaringan narkotika transnasional dapat dihancurkan.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

32
3. Penanggulangan Kejahatan
Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya
tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan terhadap orang dewasa. Di
dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan,
dalam arti:
1. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial
2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal maupun non
penal
Kebijakan

penanggulangan

kejahatan

merupakan

cara/upaya

untuk

menanggulangi kejahatan baik dengan penerapan sistem pemidanaan (kebijakan
pidana/penal) maupun tanpa sistem pidana (non penal).
4. Narkotika, menurut vide Keputusan Menteri kesehatan RI No.2882/70, narkotika
atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang umumnya
mempunyai efek kerja bersifat:
a. Membiuskan (dapat menurunkan kesadaran).
b. Merangsang (meningkatkan prestasi kerja).
c. Menagihkan (mengikat/ketergantungan).
d. Menghayal (halunisinasi).

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara