Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara

(1)

FUNGSIONALISASI BADAN NARKOTIKA PROPINSI

DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

VICTOR KEENAN BARUS 057005023/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

FUNGSIONALISASI BADAN NARKOTIKA PROPINSI

DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

VICTOR KEENAN BARUS 057005023/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

Judul Tesis : FUNGSIONALISASI BADAN NARKOTIKA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Victor Keenan Barus Nomor Pokok : 057005023

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Chainur Arrasyid, SH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 05 Februari 2008

PANITIA UJIAN TESIS

KETUA

: Prof. Chainur Arrasyid,SH

ANGGOTA

: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

Prof.

Dr.

Syafruddin Kalo, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Perkembangan kejahatan narkotika sudah mengkhawatirkan karena tidak hanya secara kuantitas tapi juga secara kualitasnya. Secara kuantitas dapat dilihat dari maraknya kejahatan narkotika hal ini dapat kita lihat dari pemberitaan di media. Secara kualitas dapat dilihat dari alat dan cara yang digunakan pelaku dalam menjalankan aksinya. Sehingga mendorong pemerintah untuk membentuk Badan Narkotika Nasional untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika.

Dengan dibentuknya Badan Narkotika Propinsi, adakah perubahan terhadap jumlah penyalahgunaan narkotika di Propinsi Sumatera Utara dan Bagaimana koordinasi Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara dengan badan yang terkait dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika di Propinsi Sumatera Utara?

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan secara sistematis fakta-fakta terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Sumber Data Penelitian; Dilihat dari sudut informasi, penelitian kepustakaan (library research), dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Keputusan Presiden No. 116 tahun 1999 Tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional, Keputusan Presiden No. 17 tahun 20002 Tentang Badan Narkotika Nasional.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti data-data dari Badan Narkotika Propinsi Sumuatera Utara, hasil-hasil seminar, buku-buku ilmiah, hasil penelitian para ahli dan sebagainya.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang dapat mendukung bahan-bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, majalah, jurnal ilmiah dan sebagainya.

Fungsionalisasi adalah upaya membuat dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika dibagi atas: Penanggulangan kejahatan secara represif dan Penanggulangan kejahatan secara preventif. Narkotika menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan yaitu golongan-golongan I, II, dan III. Penggolongan-golongan ini mempunyai konsekuensi/akibat yuridis bahwa penyalahgunaan narkotika golongan I akan memperoleh pidana/ancaman pidana yang lebih berat daripada penyalahgunaan narkotika golongan II dan III. Di Sumatera Utara, permasalahan narkoba tidak hanya merebak di kota besar tetapi telah menjalar sampai ke daerah pedesaan. Meningkatnya peredaran gelap yang disertai dengan penyalahgunaan narkoba ini


(6)

merupakan suatu masalah yang harus ditanggulangi secara bersama-sama. Untuk menanggulangi permasalahan ini, pemerintah propinsi Sumatera Utara membentuk Badan Narkotika Propinsi, Kabupaten dan Kota se Sumatera Utara, yang mempunyai tugas mengkoordinasikan permasalahan narkoba dan melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Narkotika mempunyai indikasi peningkatan setiap tahun di popinsi Sumut dimana pada tahun 2004 ada 1.303 kasus penyalahgunaan narkotika yang terjadi dengan 1.757 pelaku, tahun 2005 ada 2.089 kasus penyalahgunaan narkotika yang terjadi dengan 2.992 pelaku, tahun 2006 ada 3.207 kasus penyalahgunaan narkotika yang terjadi dengan 4.692 pelaku dan pada tahun 2007 (hingga bulan Juni) ada 1.678 kasus penyalahgunaan narkotika yang terjadi dengan 2.314 pelaku.

Kesimpulan: Pembentukan Badan Narkotika Propinsi Sumut menyebabkan ada perubahan yang signifikan terhadap jumlah pelaku peyalahgunaan narkotika di propinsi Sumut dan Hubungan Badan Narkotika Propinsi Sumut dengan badan terkait dalam pencegahan penyalahgunaan penyalahgunaan narkotika di propinsi Sumut belum maksimal karena masih ada rangkap jabatan para anggota BNP Sumut. Saran: anggota BNP Sumatera Utara tidak ada rangkap jabatan sehingga mereka bekerja secara maksimal dan secepatnya membangun fasilitas untuk rehabilitasi pengguna narkotika yang mau bertobat karena mayoritas adalah kaum muda yang masih dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat dan negara, serta melakukan penggalangan dana yang rasional.

Kata Kunci: Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika


(7)

ABSTRACT

Growth narcotic criminal have worries have isn’t because do not only by quantity but also quality. By quantity can be seen from the histories of badness of this matter narcotic eam us see from news in media. By quality can be seen from tool and how to advantage the crime. So that pushes the government to make national narcotic agency to overcoming of illegal circulating of narcotic.

With forming of province narcotic agency, there any changes to the amount abuse of narcotic in province of North Sumatra and how province narcotic agency coordinate with related organization in prevention of abuse of narcotic of North Sumatra.

This research is research of normative law that is research which only depicting systematically the fact to problems which have been told as mean to limit study framework to analysis or classification without directly aim to test hypothesizing or theory-theory. Data research sources, based on the aspects of information, library research can be divided to the group, that is:

1. Primary law materials that is criminal law book-criminal law book, narcotic law no. 22 year 1997 concerning narcotic, decision of President No. 116 year 1999 about coordination narcotic national agency, decision of President No. 17 year 2002 about narcotic agency.

2. Secondary law materials that are materials giving explanation concerning materials punish primary like the data of agency of narcotic province North Sumatra, seminar pickings, erudite books, research result (all) experts and etc. 3. Tertiary law materials that is materials able to support primary law materials and

secondary law materials, for example legal dictionary, erudite books, Indonesian dictionary, magazine, erudite journal etc.

Improving of the effort to make can function, operating of work and be formed by concret. The overcoming of abuse of narcotic divide of: repressive criminal overcoming and preventive criminal overcoming. According to section 1 number 1 narcotic law No.22 year 1997 narcotic is medicines or drugs that coming from crop or not good crop of synthesis and flourish synthesis able to cause degradation or change of awareness, loss of taste, reduce felt pain in bone, and can generate depended, which differentiated into factions that is faction of ill. This classification has consequence effect that is abuse of narcotic class I will obtain crime threat which heavier than abuse of narcotic class II and III. In North Sumatra, narcotic problems not only circulating in metropolis but circulates to rural area. The increasing of circulating of illegal accompanied with abuse of this narcotic is one problem which must solve by together. For overcoming of this problems, government of North Sumatra province, to perform the narcotic agency in each Regency and Towns in North Sumatra area, that has duty coordination problem of narcotics and execute prevention overcoming of illegal circulating of narcotics.

Narcotic has indication improvement every year, in North Sumatra province year 2004 there are 1.303 cases abuse of narcotic that happened by 1.757 perpetrator, year


(8)

2005 there are 2.089 cases abuse of narcotic that happened by 2.992 perpetrator, year 2006 there are 3.207 cases abuse of narcotic that happened by 4.692 perpetrator and in the year 2007 (until month of June) there are 1.678 cases abuse of narcotic happened by 2.314 perpetrator.

Conclusion: forming of narcotic Narcotic North Sumatra Province Agency causes there are change which it to amount isn’t perpetrators of abuse of narcotic in Province of North Sumatra and the relation Narcotic North Sumatra Agency with related/relevant assembly in prevention of abuse of narcotic in Province of North Sumatra not maximal yet because still there any double position/function all members Narcotic North Sumatra Province Agency or BNP Sumut. Suggestion: members Narcotic North Sumatra Province Agency or BNP Sumut have to avoid for doubling position/function so that they can work maximally and also soon as him develop the facilities for the rehabilitation of consumer of narcotic which will ask apology because majority of them are young generation that they can give the best ness for state and society, and also do rational fund graving.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Fungsionalisasi Badan Narkotika Prooinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara”.

Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik bimbingan maupun arahan selama studi maupun dalam proses penyelesaiannya, Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Ucapan terimakasih ini ditujukan kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc., atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Seketaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Chainur Arrasyid, S.H., selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., serta Bapak Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan banyak arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.


(10)

4. Bapak Drs. Sobirin S.H., selaku Kabag Perlengkapan BNP SUMUT dan staf Binsos Sumatera Utara yang meluangkan waktu untuk wawancara dengan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak AKP., J. Silaban, Anggota Bidang Penegakan Hukum BNP SUMUT dan

rekan-rekan yang meluangkan waktu untuk wawancara dengan penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Ayah, Ibu, Adik tersayang yang memberikan dorongan semangat.

7. Para sahabat dan kawan seperjuanganku antara lain: Ifransko, Arifuddin, Zefri, Belink, Yahya Purba, Prima Peranging-angin, M. Safuddin Ginting, Darma Tarigan S.T, serta kawan-kawan lain yang mungkin lupa disebutkan.

8. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu penulis dalam perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

Penulis menyadari tesis ini telah diupayakan untuk mencapai hasil yang maksimal, oleh karena itu kepada pembaca yang berminat harap memaklumi jika masih banyak terdapat kekurangan, dan semoga tesis ini berguna bagi ilmu hukum dan pihak yang peduli terhadap masalah narkotika dan “Say no to Narcotic and Drugs!”

Medan, Februari 2008 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Victor Keenan Barus

Tempat/Tgl. Lahir : Pancurbatu, 20 Februari 1981 Jenis kelamin : Pria

Agama : Kristen Protestan Pekerjaan : -

Pendidikan :

- Sekolah Dasar Swasta Bakti Pancurbatu (Lulus Tahun 1993)

- Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pancurbatu (Lulus Tahun 1996)

- Sekolah Menengah Umum Budi Murni-2 Medan (Lulus Tahun 1999)

- Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Lulus Tahun 2005)

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2008)


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penulisan... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 8

G. Metode Penelitian... 23

1. Tipe atau Jenis Penelitian... 23

2. Sumber Data Penelitian... 24

3. Tehnik Pengumpulan Data... 25


(13)

BAB II : BADAN NARKOTIKA PROPINSI DAN HUBUNGANNYA DENGAN UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA... 27

A. Tinjauan Umum Tentang Narkotika ... 27

1. Pengertian Narkotika... 27

2. Penggolongan Narkotika... 28

3. Akibat Penyalahgunaan Narkotika... 51

B. Tinjauan Umum Tentang Badan Narkotika Nasional ... 55

1. Tujuan Pembentukan Badan Narkotika Nasional ... 55

2. Organisasi Badan Narkotika Nasional ... 56

3. Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional ... 58

4. Pembiayaan dan Tata Kerja ... 60

5. Fungsionalisasi Keputusan Presiden nomor 17 Tahun 2002 61 C. Penanggulangan Kejahatan ... 73

1. Penanggulangan Kejahatan Secara Represif... 73

2. Penanggulangan Secara Prevensi... 81

D. Kejahatan Narkoba di Propinsi Sumut... 84

BAB III: KOORDINASI BADAN NARKOTIKA PROPINSI DENGAN BADAN TERKAIT DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA... 91


(14)

1. Latar Belakang Pembentukan Badan Narkotika Propinsi

Sumut ... 91

2. Maksud dan Tujuan Pembentukan Badan Narkotika Propinsi Sumut ... 96

3. Tugas Pokok dan Fungsi BNP Sumut... 97

4. Strategi BNP Sumut ... 99

5. Program BNP Sumut... 101

6. Rencana Kegiatan BNP Sumut 2003 – 2008 ... 103

B. Susunan Kepengurusan Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara ... 111

BAB IV: PENUTUP... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 117


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Data Jumlah Kasus dan Tersangka Narkoba

Tahun 2004 s/d 2007 Sejajaran Polda Sumut ... 85 2. Data Tersangka Tahun 2004 s/d Juni 2007 Menurut Umur Pelaku 86 3. Data Tersangka tahun 2004 s/d Juni 2007 Menurut Status Pelaku. 87 4. Data Jumlah Barang Bukti Ganja Tahun 2004 s/d Juni 2007

Sejajaran Polda Sumut ... 88 5. Data Jumlah Barang Bukti Kasus Putauw

Tahun 2004 s/d Juni 2007 Sejajaran Polda Sumut... 88 6. Data Jumlah Barang Bukti Kasus Shabu

Tahun 2004 s/d Juni 2007 Sejajaran Polda Sumut... 89 7. Data Jumlah Barang Bukti Ecstasy


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan kejahatan sudah pada taraf mengkhawatirkan karena berkembang tidak hanya secara kuantitasnya tapi juga secara kualitasnya. Secara kuantitas dilihat dari maraknya pemberitaan tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat dan secara kualitas dilihat dari alat dan cara yang digunakan oleh pelaku kejahatan dalam menjalankan aksinya. Secara kualitas dilihat dari modus operandi dan teknologi yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Begitu juga dengan kejahatan narkotika, secara kualitas kejahatan narkotika dilihat dari modus operandi dan teknologi yang dipergunakan untuk memasukkan atau menyalurkan narkotika tersebut, baik yang dijual untuk dikonsumsi di Indonesia maupun untuk dijual keluar Indonesia, dan secara kuantitas dilihat dari perkembangan jenis-jenis narkotika yang semakin bertambah dan jumlah narkotika yang ada.

Terjadinya tindak kejahatan yang semakin tinggi di masyarakat akhir-akhir ini bukan hanya dipengaruhi oleh karena keinginan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang sulit sekarang ini, namun juga karena dipengaruhi oleh penggunaan obat-obat terlarang, dan sikap hedonisme yang semakin menjamur dalam masyarakat Indonesia. Dalam pemberitaan media sering kita membaca, mendengar dan melihat penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap pengedar dan pemakai narkotika yang sering meresahkan masyarakat. Namun, tetap saja para pengedar dan


(17)

pemakai narkotika tidak habis-habisnya kita jumpai. Bahkan anak-anak kecil juga banyak yang menjadi sasaran peredaran dan menjadi pengguna narkotika tersebut. Akibatnya masyarakat yang bukan sebagai pengguna akan terus merasa terganggu dan resah. Keresahan yang terjadi di masyarakat ini sudah sepatutnya menjadi perhatian yang serius oleh aparat pemerintah untuk dapat memberantas pengedar dan pengguna narkotika.

Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan yang korbannya adalah diri sendiri, yang berbahaya bagi kesehatan, dan apabila telah ketergantungan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Tetapi bahaya yang paling mengancam adalah hilangnya para kaum muda bangsa Indonesia yang sangat penting bagi pembangunan Negara, berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) lebih dari 15.000 orang usia muda tewas akibat narkoba1, dan negara mengalami kerugian Rp 65 milyar per hari atau sekitar Rp 23,6 trilyun per tahun dari jumlah total kerugian tersebut, sebanyak Rp 11,3 trilyun merupakan biaya ekonomi untuk konsumsi narkoba dan Rp12,3 trilyun sisanya adalah biaya sosial, yakni munculnya dampak kriminalisasi akibat penyalahgunaan narkotika2.

Masalah narkotika di Indonesia bukanlah hal baru, dan telah dicoba untuk diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, hal ini terbukti di Indonesia telah diatur masalah narkotika sejak jaman Hindia Belanda yaitu Verdoovende Middelen

1

Harian Analisa, Senin, 19 Juni 2006, Narkoba Tewaskan 15 Ribu Generasi Muda, No. 12007: Hlm 1.

2

Harian Analisa, Rabu, 31 Mei 2006, Negara Rugi Rp 65 Milyar/Hari Akibat Narkotika, No. 11988: Hlm 1.


(18)

Ordonatie Stbl no.278 jo no.536 yang telah diubah dan ditambah yang dikenal dengan Undang-Undang Bius (V.M.O). Peraturan ini telah diganti dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika, karena sudah tidak mengikuti perkembangan kejahatan narkotika dan teknologi. Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang narkotika tidak berlaku lagi sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika. Namun dalam kenyataannya penyalahgunaan narkotika tidak pernah surut sehingga mendorong pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu badan penanggulangan yang khusus menangani narkotika.

Dalam pasal 54 Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika berbunyi:

Ayat 1: Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertangggungjawab langsung kepada Presiden.

Ayat 2: Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Ayat 3: Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

Dalam penjelasan pasal 54 ayat (2) menyatakan penanganan masalah narkotika pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab berbagai instansi Pemerintah di samping keikutsertaan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, agar penanganan masalah narkotika


(19)

dilakukan secara terpadu dan mencapai hasil yang maksimal, perlu dilakukan koordinasi dalam menetapkan kebijaksanaan nasional di bidang narkotika. Pelaksanaan koordinasi ini sama sekali tidak mengurangi tugas dan tanggung jawab instansi Pemerintah tersebut.

Akibat peningkatan penyalahgunaan narkotika dan sesuai dengan keinginan Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika untuk membentuk badan koordinasi narkotika tingkat nasional, maka Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 116 tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional yang bertugas membantu tugas Presiden melaksanakan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan peyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika3, yang kemudian diganti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional yang bertugas membantu Presiden dalam:

1. Mengkoordinasi instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaanya di bidang ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan peyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika dan zat adiktif lainnya.

2. Melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya dengan membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi

3


(20)

Pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing4.

Akibat meningkatnya kejahatan tindak pidana narkotika khususnya di Propinsi SUMUT menimbulkan pertanyaan bagi peneliti pada masalah tersebut. Pertama, apakah hal ini disebabkan oleh penduduknya yang mayoritas kaum muda yang memang menjadi sasaran para pegedar narkotika? Hal ini dapat saya tarik karena para pelaku kejahatan narkotika di Medan mayoritas adalah para pelajar dan mahasiswa yang rata-rata usianya 15 sampai 25 tahun. Kedua, apakah disebabkan karena tidak adanya pengaturan yang ketat terhadap lalu lintas penduduk sehingga orang dapat berpindah tempat semaunya/dengan mudah? Ketiga, apakah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya narkotika? Sehingga peran serta masyarakat tidak maksimal atau tidak ada sama sekali dalam memberantas tindak kejahatan narkotika. Keempat, apakah strategi penanggulangan yang kurang optimal atau tidak tepat dari aparat penegak hukum, sehingga tidak tepat pada sasaran? Kelima, apakah disebabkan oleh putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang tidak maksimal sehingga tidak membuat pelaku atau pelaku pontensial lainnya jera/takut?

Dalam kesempatan ini, peneliti akan mencoba mengkaji apakah apakah strategi penanggulangan yang kurang optimal atau tidak tepat dari aparat penegak hukum mempunyai pengaruh atau kaitan terhadap perkembangan kejahatan narkotika di Kota Medan, berkaitan dengan pasal 11 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional yang berbunyi:

4


(21)

Ayat 1: Di propinsi dan Kabupaten/Kota dapat dibentuk Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota.

Ayat 2: Badan Narkotika Propinsi ditetapkan oleh Gubernur.

Ayat 3: Badan Narkotika Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka penulis mengajukan usul penelitian dengan judul “FUNGSIONALISASI BADAN NARKOTIKA PROPINSI DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Dengan dibentuknya Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara, adakah perubahan terhadap jumlah penyalahgunaan narkotika di Propinsi Sumatera Utara?

2. Bagaimana hubungan Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara dengan badan yang terkait dalam pencegahan penyalahgunaan narkotika di Propinsi Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(22)

1. Untuk mengetahui adakah perubahan yang signifikan terhadap jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika di Propinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui koordinasi yang dilakukan oleh Badan Narkotika Propinsi dengan badan yang terkait dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika di Propinsi Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberi pemahaman yang benar tentang Badan Narkotika Propinsi.

2. Untuk menambah pengetahuan dalam bidang hukum pidana khususnya yang menyangkut hubungan antara Badan Narkotika Propinsi dengan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika.

3. Bagi para peneliti dapat diambil manfaat dari penelitian ini sebagai dasar penelitian lebih lanjut ataupun sebagai dasar perbandingan.

E. Keaslian Penelitian

Dengan ini peneliti menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini merupakan hasil asli peneliti, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Jika Penulisan Hukum ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain, maka peneliti bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.


(23)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Fungsionalisasi

Fungsionalisasi dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia adalah teori yang menekankan bahwa unsur-unsur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan saling bergantung dan menjadi satu kesatuan fungsi. Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret5. Jadi fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi dapat diartikan sebagai upaya membuat Badan Narkotika dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika.

2. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika

Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara:

a. Penanggulangan Kejahatan Secara Represif

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradapan manusia itu sendiri. Fungsi primer dari hukum pidana adalah menanggulangi kejahatan dengan sanksi berupa pidana, yang sifatnya pada umumnya lebih tajam dari pada sanksi dari cabang hukum lainnya6. Sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 10 KUHP yaitu:

1. Pidana pokok yaitu:

5

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal 157.

6


(24)

a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; d. Pidana denda;

2. Pidana tambahan, yaitu:

a. Pencabutan hak yang tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman putusan hakim.

Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, ada yang mempersalahkan apakah kejahatan perlu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana. Ada pendapat bahwa pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan peninggalan masa lalu yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Hal ini dapat dimaklumi karena memang sejarah hukum pidana penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang kejam dan melampaui batas7.

Adanya pendapat pelaku kejahatan tidak perlu dijatuhkan pidana menyebabkan lahirnya paham determinisme yang menyatakan orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi

7

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm 149-150.


(25)

oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan merupakan manisfestasi dari keadaan seseorang yang abnormal. Sehingga si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki8.

Pandangan atau alam pemikiran untuk menghapuskan pidana dan hukum pidana seperti dikemukan di atas menurut Prof. Roeslan Saleh adalah keliru, dengan alasan:

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara lain dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi siterhukum; dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

8


(26)

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada sipenjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.

Menurut Alf Ross ide-ide dasar dari kampanye anti pidana tidak dapat dipertahankan, karena:

a. Merupakan asumsi yang tidak benar bahwa pencelaan moral dan pidana (yang merupakan perwujudan dari pencelaan moral itu) adalah bertentangan atau tidak cocok dengan pemikiran ilmiah yang didasarkan pada determinisme; hal ini merupakan suatu kekeliruan yang disebabkan karena pandangan filsafat yang kacau.

b. Merupakan asumsi yang tidak benar bahwa pencelaan moral dan pidana tidak ada hubungaannya dengan tujuan preventif dari pidana; hal ini merupakan suatu kekeliruan yang timbul dari kebingungan konseptual bahwa pencegahan dan pembalasan merupakan tujuan-tujuan dari pidana.

c. Merupakan asumsi yang tidak benar bahwa tidak mungkin merumuskan atau menerapkan suatu kriteria mengenai pertanggungan jawab mental; hal ini merupakan suatu kekeliruan yang berasal dari tuntutan ilmu pengetahuan yang dilebih-lebihkan yang diperlukan untuk membuat penilaian moral dan penilaian hukum9.

9


(27)

Penanggulangan secara penal disebut juga dengan tindakan represif, yang dimaksud dengan tindakan represif ialah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana10. Sehingga apabila ada orang yang melanggar hukum akan dikenakan pidana sesuai dengan sanksi pidana yang berlaku. Termasuk tindakan represif adalah penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya sampai dilaksanakannya pidana11. H.L PACKER di dalam bukunya “The limits of criminal sanction”, menyimpulkan antara lain sebagai berikut:

a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.

b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa12.

10

Sudarto, op cit., hlm 118.

11

Ibid, hlm 118.

12


(28)

b. Penanggulangan Kejahatan Secara Prevensi

Alasan mengapa mencurahkan perhatian pada pencegahan sebelum kejahatan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Tindakan pencegahan lebih baik daripada tindakan represif dan koreksi. Usaha pencegahan lebih ekonomis, tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang rumit, dapat dilakukan secara perorangan dan tidak memerlukan keahlian seperti tindakan represif dan koreksi.

2. Pencegahan tidak menimbulkan akibat yang negatif seperti stigmatisasi, pengasingan, penderitaan dalam berbagai bentuk, pelanggaran hak asasi, permusuhan/kebencian terhadap satu sama lain yang dapat menjurus kearah residivisme.

3. Pencegahan dapat mempererat persatuan, kerukunan, dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama anggota masyarakat13.

Jadi pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau penggimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Adapun pembagian prevensi yaitu:

1. Prevensi umum

Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai/kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran ketertiban masyarakat. Prevensi umum dilakukan dengan

13

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahanya, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 154-155.


(29)

mempertontonkan pelaksanaan pidana didepan umum agar masyarakat tidak berani lagi melakukan kejahatan lagi. Jadi agar anggota masyarakat lain takut, perlu diadakan pelaksanaan pidana yang menjerakan dengan pelaksanaan didepan umum.

2. Prevensi khusus

Prevensi khusus mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah sipenjahat/terpidana tidak mengulangi lagi kejahatan, yang berarti agar ia berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

Van Hammel menunjukan bahwa prevensi khusus suatu pidana adalah:

a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.

b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.

c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.

d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum14. Pada kasus narkotika prevensi khusus, dapat dilihat pada rehabilitasi terhadap korban narkotika. Dalam pasal 1 Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika, rehabilitasi dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

14

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm 31.


(30)

1. Rehabilitasi medis, adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

2. Rehabilitasi sosial, adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Hal ini sesuai dengan pasal 48 ayat (1) Undang-undang tentang narkotika yang berbunyi pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika melalui fasilitas rehabilitasi. Dalam penjelasan pasal 48 Undang-undang tentang narkotika rehabilitasi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisi, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Rehabilitasi tersebut dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Pemerintah baik rumah sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.

3. Tinjauan Umum Tentang Narkotika a. Pengertian Narkotika

Kata narkotika berasal dari bahasa Yunani narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang Amerika menyebutnya dengan nama narcotics, dan di Malaysia dikenal dengan istilah dadah, sedangkan di Indonesia disebut narkotika15.

15

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 1986, hlm 224.


(31)

Menurut vide Keputusan Menteri kesehatan RI No.2882/70, narkotika atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang umumnya mempunyai efek kerja bersifat:

a. Membiuskan (dapat menurunkan kesadaran). b. Merangsang (meningkatkan prestasi kerja). c. Menagihkan (mengikat/ketergantungan). d. Menghayal (halunisinasi).

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan. Narkotika dibagi kedalam golongan-golongan yaitu golongan-golongan I, II, dan III.

b. Penggolongan Narkotika

Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2), narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan besar yaitu:

a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau


(32)

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Penggolongan di atas mempunyai konsekuensi/akibat yuridis yaitu, bahwa penyalahgunaan narkotika golongan I akan memperoleh pidana/ancaman pidana yang lebih berat daripada penyalahgunaan narkotika golongan II dan III.

Didalam kenyataan penyalahgunaan narkotika yang terjadi adalah yang menyangkut golongan narkotika golongan I. Apalagi yang sampai diperdagangkan secara internasional antar negara. Memang banyak juga yang ditemukan penyalahgunaan yang menyangkut narkotika golongan II yaitu yang diedarkan di daerah terpencil/oleh kalangan tertentu.

c. Manfaat dan Kegunaan Narkotika

Narkotika memang diakui merupakan obat mujarab untuk menghilangkan rasa sakit dan penderitaan pada penyakit tertentu dan paling penting bagi keperluan ilmu pengetahuan16. Hal ini dengan jelas tertuang dalam konsiderans Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika yang mengatakan bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan

16

Budarti, Pengaturan Hukum Tindak Pidana Narkotika, Kertas Kerja Pada Pertemuan Ilmiah tentang Penyitaan Hak Milik Pelaku Tindak Pidana Narkotika, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1994, hlm 12.


(33)

pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat, pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam kenyataannya dalam banyak pengunaan narkotika menjadi masalah karena disalahgunakan.

Uraian di atas menyatakan bahwa narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan pengembangan ilmu pengetahuan. Penyalahgunaan sendiri adalah pemakaian di luar pegawasan dan pengendalian yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara17. Menurut Dra. Kartika Kartono di dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Anak“mengatakan gejala-gejala umum dari remaja yang kecanduan ganja dan bahan narkotika, antara lain adalah:

1. Jasmaniah : Badan jadi tidak terurus dan semakin lemah, kurus kering, kumal dan berbau, tidak suka makan, matanya sayu dan menjadi merah.

2. Rohaniah : Pembohong, pemalas dan daya tangkap otaknya makin melemah. Fungsi inteleknya lama-kelamaan menjadi rusak, tidak bisa bereaksi dengan cepat, tugas disia-siakan, mudah tersinggung, mudah marah, sangat eksplosif, hati nuraninya melemah, tingkah lakunya boleh dikatakan tidak terkendalikan.

Adapun efek bahaya dari penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut:

17

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, PT Citra Aditya, Bandung, 1990, hlm 3.


(34)

1. Fisik : Badan jadi ketagihan sistem syaraf jadi lemah atau rusak secara total, lalu menimbulkan komplikasi kerusakan pada lever dan jantung. Kondisi tubuh jadi rusak, karena muncul macam-macam penyakit lainnya. 2. Psykhis : Ketergantungan psykis, kemauan melemah atau musnah sama

sekali, daya pikir dan perasaan jadi rusak, jiwanya jadi murung, depresif, aktivitas dan kreativitas intelektualnya hilang sama sekali.

3. Ekonomis : Ganja dan bahan-bahan narkotika harganya sangat mahal, sedangkan kebutuhan rutin, diperlukan supply yang kontinyu/terus menerus, dan harus dipenuhi.Oleh karena itu betapa pun besarnya harta kekayaan, lama kelamaan pasti menjadi jatuh miskin atau bangkrut, akibat dari kecanduan narkotika yang tidak tertolong lagi.

4. Sosiologis: Bila pecandu tidak mempunyai uang, tetapi terus menerus ketagihan narkotika, sedangkan minta uang kepada orang tua atau keluarga lainnya tidak diberi atau harta miliknya sudah habis, maka para pecandu lalu melakukan macam-macam tindak pidana dan tindakan amoral. Berkembanglah kemudian gejala-gejala sosial seperti: prostitusi, kenakalan remaja, kriminalitas, radikalisme ekstrim (pembunuhan, penculikan, penyanderaan dan lain-lain). Semua ini merupakan masalah sosial yang mengganggu ketentraman masyarakat dan tidak mudah memberantasnya18.

18


(35)

4. Tinjauan Umum Tentang Badan Narkotika Nasional

Tujuan pembentukan Badan Narkotika Nasional dapat dilihat dalam pasal 3 (tiga) Keppres nomor 17 Tahun 2002 yaitu melakukan:

a. pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya;

b. pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kebijakan di bidang ketersedian, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas;

c. pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, pengawasan di bidang narkotika, psikotrapika, perkursor dan zat adiktif lainnya;

d. pengoperasian satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah terkait dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing;

e. pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya melalui satuan tugas-satuan tugas;


(36)

f. pelaksanaan kerja sama nasional, regional dan internasional dalam rangka penanggulangan masalah narkotika, psikotrapika, perkursor dan zat adiktif lainnya;

g. pembangunan dan pengembangan sistem informasi dan laboratorium narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya.

a. Isi Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2002

Badan narkotika nasional dibentuk oleh Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2002, adapun isi pokok Keputusan Presiden itu adalah sebagai berikut:

Susunan Organisasi BNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang beranggotakan 25 (dua puluh lima) badan dan seketaris yang dijabat oleh Kepala Pelaksana Harian BNN yang juga merangkap sebagai anggota.

Untuk mempelancar pelaksanakan tugas dan fungsi BNN dibentuk pelaksana harian BNN yang mempunyai tugas memberikan dukungan staf dan administrasi yang dipimpin oleh Kepala pelaksana harian. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Pelaksana Harian BNN dibantu oleh:

a. Wakil Kepala Pelaksana Harian BNN b. Sekretariat

c. Pusat

d. Satuan Tugas.

Apabila dibutuhkan Kepala Pelaksana Harian BNN dapat membentuk Kelompok Ahli sesuai dengan kebutuhan, yang bertanggung jawab kepada Kepala Pelaksana Harian


(37)

BNN, yang mempunyai tugas memberikan telaahan baik diminta maupun tanpa diminta sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Di Propinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk Badan Narkotika Nasional Propinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Badan Narkotika Propinsi ditetapkan oleh Gubernur. Badan Narkotika Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan BNN. BNN mengadakan rapat koordinasi secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.

Kepala Pelaksana Harian BNN dan Wakil Kepala Pelaksana Harian BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua BNN. Pejabat-pejabat lain di lingkungan Pelaksana Harian BNN diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Kepala Pelaksana Harian BNN dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNN dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sedangkan biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan dan penyelengaraan tugas dan fungsi Badan Narkotika Propinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi dan biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Narkotika Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.


(38)

Rincian tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja Pelaksana Harian BNN ditetapkan setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggungjawab di bidang pendayagunaan aparatur Negara.

Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Narkotika dinyatakan tidak berlaku.

b. Mekanisme Dalam Organisasi Badan Narkotika Nasional

Dalam melaksanakan tugasnya Badan Narkotika Nasional Propinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional. Sedangkan Badan Narkotika Nasional melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNN kepada Presiden secara berkala atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.

G. Metode Penelitian

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan secara sistematis fakta-fakta terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan,


(39)

menginventarisasikan dan menganalisa teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data Penelitian

Dilihat dari sudut informasi, penelitian kepustakaan (library research), dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Keputusan Presiden No. 116 tahun 1999 Tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional, Keputusan Presiden No. 17 tahun 20002 Tentang Badan Narkotika Nasional. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti data-data dari Badan Narkotika Propinsi Sumatera Utara, hasil-hasil seminar, buku-buku ilmiah, hasil penelitian para ahli dan sebagainya.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang dapat mendukung bahan-bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, majalah, jurnal ilmiah dan sebagainya.

3. Tehnik Pengumpulan Data


(40)

a. Studi dokumen, yaitu: membaca, mempelajari, meneliti literatur, dokumen-dokumen tertulis serta dokumen-dokumen-dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan kerangka dasar penelitian.

b. Wawancara, yaitu: dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang bertujuan untuk memperoleh data yang lebih mendalam berkaitan dengan masalah yang diteliti. Adapun yang menjadi responden adalah:

1. Polisi dari PolDa Sumatera Utara yang menjadi anggota BNP SUMUT 2. Pegawai Pemprovsu yang menjadi anggota BNP SUMUT

3. Beberapa individu yang dianggap dapat mewakili yaitu: para pelaku penyalahgunaan narkotika baik yang sedang menjalani hukuman maupun yang telah tobat.

4. Metode Analisis Data

Analisis dalam penelitian merupakan bagian dalam proses penelitian yang sangat penting, karena dengan analisis inilah data yang ada akan nampak manfaatnya terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif yaitu data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran, sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada. Sedangkan metode berpikir yang digunakan adalah


(41)

metode induktif yaitu dari hasil penelitian yang khusus dicoba untuk digeneralisasikan.


(42)

BAB II

BADAN NARKOTIKA PROPINSI DAN HUBUNGANNYA DENGAN UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA DI PROPINSI SUMATERA UTARA

A. Tinjauan Umum Tentang Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Kata narkotika berasal dari bahasa Yunani narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Orang Amerika menyebutnya dengan nama narcotics, dan di Malaysia dikenal dengan istilah dadah, sedangkan di Indonesia disebut narkotika19.

Menurut vide Keputusan Menteri kesehatan RI No.2882/70, narkotika atau obat bius diartikan secara umum sebagai semua bahan obat yang umumnya mempunyai efek kerja bersifat:

a. Membiuskan (dapat menurunkan kesadaran). b. Merangsang (meningkatkan prestasi kerja). c. Menagihkan (mengikat/ketergantungan). d. Menghayal (halunisinasi).

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari

19

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 1986, hlm 224.


(43)

tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan. Narkotika dibagi kedalam golongan-golongan yaitu golongan-golongan I, II, dan III.

2. Penggolongan Narkotika

Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2), narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan besar yaitu:

a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yang digolongkan dalam golongan I menurut lampiran Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah:

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.


(44)

a. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.

5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.

8. Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.

9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.


(45)

10. Delta 9 tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya.

11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno- oripavina

12. Acetil-alfa-metilfentanil: N-[1-(a-metilfenetil)-4-piperidil] setanilida 13. Alfa-metilfentanil: N-[1(a-metilfenetil)-4- piperidil] propionanilida

14. Alfa-metiltiofentanil: N-[1-]1-metil-2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida

15. Beta-hidroksifentanil: N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida

16. Beta-hidroksi-3-metil-: N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4-fentanil piperidil] propionanilida.

17. Desomorfina: dihidrodeoksimorfina

18. Etorfina: tetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,14-endoeteno-oripavina

19. Heroina: diacetilmorfina

20. Ketobemidona: 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4- propionilpiperidina 21. 3-metilfentanil: N-(3-metil-1-fenetil-4- piperidil) propionanilida

22. 3-metiltiofentanil: N-[3-metil-1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida

23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)

24. Para-fluorofentanil: 4'-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida 25. PEPAP: 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester)


(46)

26. Tiofentanil: N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida

b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk golongan II menurut Lampiran Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah:

1. Alfasetilmetadol: Alfa -3-asetoksi-6-dimetil amino- 4,4-difenilheptana 2. Alfameprodina: alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina 3. Alfametadol: alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3- heptanol

4. Alfaprodina: alfa-1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksipiperidina

5. Alfentanil: N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-1H- tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-piperidinil]-N-fenilpropanamida

6. Allilprodina: 3-allil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina

7. Anileridina: asam 1-para-aminofenetil-4- fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester

8. Asetilmetadol: 3-asetoksi-6-dimetilamino-4,4- difenilheptana

9. Benzetidin: asam 1-(2-benziloksietil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

10. Benzilmorfina: 3-benzilmorfina

11. Betameprodina: beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina 12. Betametadol: beta-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3- heptanol


(47)

14. Betasetilmetadol: beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4- difenilheptana 15. Bezitramida:

1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina

16. Dekstromoramida: (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil) butil]- morfolina

17. Diampromida: N-[2-(metilfenetilamino)- propil]propionanilida 18. Dietiltiambutena: 3-dietilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1- butena

19. Difenoksilat: asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

20. Difenoksin: asam 1-(3-siano-3,3- difenilpropil)-4- fenilisonipekotik 21. Dihidromorfina

22. Dimefeptanol: 6-dimetilamino-4,4-difenil-3- heptanol

23. Dimenoksadol: 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1- difenilasetat 24. Dimetiltiambutena: 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1- butena 25. Dioksafetil butirat: etil-4-morfolino-2,2- difenilbutirat

26. Dipipanona: 4,4-difenil-6-piperidina-3-heptanona 27. Drotebanol: 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol

28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.

29. Etilmetiltiambutena: 3-etilmetilamino-1,1-di-(2'- tienil)-1-butena

30. Etokseridina: asam 1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester


(48)

31. Etonitazena: 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-nitrobenzimedazol 32. Furetidina: asam

1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)

33. Hidrokodona: dihidrokodeinona

34. Hidroksipetidina: asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil ester

35. Hidromorfinol: 14-hidroksidihidromorfina 36. Hidromorfona: dihidrimorfinona

37. Isometadona: 6-dimetilamino-5-metil-4,4-difenil-3-heksanona 38. Fenadoksona: 6-morfolino-4,4-difenil-3-heptanona

39. Fenampromida: N-(1-metil-2-piperidinoetil)- propionanilida 40. Fenazosina: 2'-hidroksi-5,9-dimetil-2-fenetil-6,7- benzomorfan 41. Fenomorfan: 3-hidroksi-N-fenetilmorfinan

42. Fenoperidina: asam 1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

43. Fentanil: 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina

44. Klonitazena: 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil 5- nitrobenzimidazol 45. Kodoksima: dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima

46. Levofenasilmorfan: (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan

47. Levomoramida: (-)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil] morfolina


(49)

49. Levorfanol: (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan

50. Metadona: 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona

51. Metadona intermediat: 4-siano-2-dimetilamino-4, 4- difenilbutana 52. Metazosina: 2'-hidroksi-2, 5, 9-trimetil-6, 7- benzomorfan

53. Metildesorfina: 6-metil-delta-6-deoksimorfina 54. Metildihidromorfina: 6-metildihidromorfina 55. Metopon: 5-metildihidromorfinona

56. Mirofina: miristilbenzilmorfina

57. Moramida intermediat: asam (2-metil-3-morfolino-1, 1- difenilpropana karboksilat

58. Morferidina: asam 1-(2-morfolinoetil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester.

59. Morfina-N-oksida

60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida

61. Morfina

62. Nikomorfina: 3, 6-dinikotinilmorfina

63. Norasimetadol: (±)-alfa-3-asetoksi-6- metilamino-4, 4- difenilheptana 64. Norlevorfanol: (-)-3-hidroksimorfinan

65. Normetadona: 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heksanona 66. Normorfina: dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina


(50)

67. Norpipanona: 4, 4-difenil-6-piperidino-3-heksanona 68. Oksikodona: 14-hidroksidihidrokodeinona

69. Oksimorfona: 14-hidroksidihidromorfinona 70. Opium

71. Petidina intermediat A: 4-siano-1-metil-4- fenilpiperidina

72. Petidina intermediat B: asam 4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester 73. Petidina intermediat C: asam 1-metil-4-fenilpiperidina- 4-karboksilat 74. Petidina: asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester

75. Piminodina: asam 4-fenil-1-(3-fenilaminopropil)-piperidina-4-karboksilat etil ester

76. Piritramida: asam 1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-(1-piperidino)-piperidina-4-karboksilat amida

77. Proheptasina: 1, 3-dimetil-4-fenil-4- propionoksiazasikloheptana 78. Properidina: asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilatisopropil ester 79. Rasemetorfan: (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan

80. Rasemoramida: (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina

81. Rasemorfan: (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan

82. Sufentanil: N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil]-4-piperidil] propionanilida

83. Tebaina


(51)

85. Tilidina : (±)-etil-Trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat

86. Trimeperidina: 1, 2, 5-trimetil-4-fenil-4- propionoksipiperidina 87. Garam-garam dari Narkotika dalam Golongan tersebut di atas.

c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk golongan III menurut Lampiran Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah:

1. Asetildihidrokodeina

2. Dekstropropoksifena: a-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionate

3. Dihidrokodeina

4. Etilmorfina: 3-etil morfina 5. Kodeina: 3-metil morfina

6. Nikodikodina: 6-nikotinildihidrokodeina 7. Nikokodina: 6-nikotinilkodeina

8. Norkodeina: N-demetilkodeina 9. Polkodina: morfoliniletilmo rfina

10. Propiram: N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2- piridilpropionamida 11. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas 12. Campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika


(52)

13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika. Penggolongan narkotika mempunyai konsekuensi/akibat yuridis yaitu, bahwa penyalahgunaan narkotika golongan I akan memperoleh pidana/ancaman pidana yang lebih berat daripada penyalahgunaan narkotika golongan II dan III.

Didalam kenyataan penyalahgunaan narkotika yang terjadi adalah yang menyangkut golongan narkotika golongan I. Apalagi yang sampai diperdagangkan secara internasional antar negara. Banyak juga yang ditemukan penyalahgunaan yang menyangkut narkotika golongan II yaitu yang diedarkan di daerah terpencil/oleh kalangan tertentu.

Menurut cara/proses pengolahannya, narkotika dapat dibagi dalam golongan-golongan:

a. Narkotika alam

Narkotika alam adalah narkotika yang berasal dari olahan tanaman yang dapat dikelompokkan dari 3 (tiga) jenis tanaman yaitu:

1. Opium atau candu, yaitu hasil olahan getah dari buah tanaman papaver somniferum. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium masak dan morfin. Jenis opium ini berasal dari luar negeri yang diseludup ke Indonesia karena jenis tanaman ini tidak terdapat di Indonesia.


(53)

2. Kokain, yang berasal dari olahan daun tanaman koka yang banyak terdapat dan diolah secara gelap di Amerika bagian selatan seperti Peru, Bolivia, Kolombia.

3. Cannabis Sativa atau mariyuana atau yang disebut ganja termasuk hashish dan hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara ilegal di Ekuador.

b. Narkotika semi sintesis

Yang dimaksud dengan narkotika golongan ini adalah narkotika yang dibuat dari alkaloidaopium dengan inti panathren dan diproses secara kimiawi untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotika. Contoh yang terkenal dan sering disalahgunakan adalah heroin, codein, puttaw.

c. Narkotika Sintesis

Narkotika golongan ini diperoleh melalui proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek baru narkotika seperti pethidine, metadon, magadon20.

ISTILAH GAUL NARKOBA

Narkoba juga mempunyai beberapa Nama Gaul, biasa nya nama-nama ini digunakan oleh para pemakai pada umumnya. Istilah Gaulnya adalah sebagai berikut:

A

20

M. Wresniwiro (penyunting), Masalah Narkotika dan Obat Berbahaya, Yayasan Mitra Bintibmas, Jakarta, 2000, hlm 16.


(54)

Abes: salah tusuk urat / bengak

Abses: benjolan karena heroin yang disuntik tidak masuk ke dalam urat Acid: LSD, salah satu zat halusinogenika, bila dikonsumsi akan timbul halusinasi Afo: alumunium foil

Alfo: foil; alumunium foil: tempat untuk memakai/bakar shabu Amp/amplop: kemasan untuk membungkus ganja

Amphet: amphetamine

Analgesic: substansi untuk meredakan rasa sakit berhubungan

Antibiotik: sejenis zat antimikroba yang berasal dari pengembangbiakan mikroorganisme dan dibentuk secara semi-sintetis. Zat ini bekerja untuk mematikan atau menghambat perkembangan bakteri dan digunakan untuk mengatasi infeksi.

B

Badai: teler atau mabok Badai; pedaw; High: tinggi

Bahlul: mabuk Bajing: bunga ganja

Bakaydu: bakar ganja; dibakar dulu Barcon; tester: barang contoh (gratis)

Basi-an: setengah sadar saat reaksi drug menurun BB: barang bukti

BD: bandar narkoba


(55)

Beler: mabuk

Berhitung: urunan / patungan untuk beli ganja Betrik: dicolong / nyolong

Bhang: ganja

Bhironk: orang Nigeria atau pesuruh BK (Bung Karno): pil koplo paling murah

BK: sedatin, nama obat tidur, isinya Nitrazepam 5 mgr Black Heart: merk ectasy

Blue ice (BI): salah satu jenis shabu yang paling bagus (no.1) Boat: obat

Bokauw: bau Bokul: beli barang Bokul (Bok’s): beli

Bong: sejenis pipa yang didalamnya berisi air untuk menghisap shabu Bopeng/bogep: minuman alkohol buatan lokal yang dikemas dalam bentuk botol pipih (botol gepeng) misalnya jenis vodka atau wiski

Boti: obat

BT: Bad trip (halusinasi yang serem)

BT (Bad trip): rasa kesal karena terganggu pada saat fly/mabuk

Buprenorphine: suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid Buddha sticks: ganja


(56)

C

Camp’s: campuran (tembakau) untuk ganja pada saat melinting Cannabis: ganja, daun ganja; kependekan dari Canabis Sativa Chasing the dragon: pencandu heroin

Chasra: ganja

Chimenk: ganja/kanabis Cimeng: ganja

CMD: cuaca mendukung (untuk ngeganja) Coke: kokain

CS (sobat): istilah sesama pemakai

D

Dagga: ganja Dinsemilla: ganja Dum-dum titik: dumolid Fly: mabuk

G

Gantung: setengah mabok Gauw: gram

Gaw: gram Gelek: ganja

Gepang: punya putauw atau heroin Giber: mabok atau teller


(57)

Giberway (giting berat way): mabuk ganja Ginting: mabok atau teller

Girl: kokain

Gitber (ginting berat): mabok berat Glass: shabu-shabu

Gocapan: gocip; paketan 50 ribu/0.1 gram. Gonjes: mabok atau teller

Grass: daun ganja

H

Haluasi (halusinasi): khayalan / imajinasi yang berlebihan

Halusinogen: Obat yang dapat mengubah perasaan dan pikiran, sering kali dengan menciptakan daya pandang yang berbeda, meskipun seluruh perasaan dapat terganggu.

Harm reduction: Suatu upaya untuk mengurangi beban dan penderitaan penyalagunaan zat, seperti memberikan jarum suntik baru agar mereka bisa terhindar dari penyebaran virus yang ditularkan melalui darah.

Hashish: daun ganja (biasanya juga disebut hash) Hawi: ganja

Hemp: ganja

Hirropon: shabu-shabu

I


(58)

Ice Cream: shabu-shabu Inex: Ekstasi

Inex: ecstasy

Insul/spidol: alat suntik

Iv (ngive): intravena, memasukan obat ke urat darah (vena)

J

Jackpot: tumbang/muntah Jayus: ganja

Joints: daun ganja yang dipotong, dikeringkan, dirajang halus dan digulung menjadi rokok

Jokul: jual

Junkies: pencandu

K

Kamput: kambing putih, gambar pada label salah satu minuman beralkohol Kancing: ekstasi

Kar: alat untuk menggerus Putaw Kartim: kertas timah

KD (kode): kodein

Kentang: kena tanggung/gantung /kurang mabuk Kentang kurus: kena tanggung kurang terus Kipe: nyuntik atau memasukan obat ketubuh Kipean: insulin, suntikan


(59)

Kompor: untuk bakar shabu di alumunium foil Koncian: simpanan barang

Kotak kaset/CD: digunakan sebagai alat pengerus putaw Kurus: kurang terus

KW: kualitas

L

Lady dan crack: kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih kuat

Lates: getah tanaman candu (papaver somniferum) yang didapat dengan menyadap (menggores) buah yang mulai masak.

Lexo: lexotan (obat penenang yang isinya bromazepam 12 mgr) LL (double L): artan

M

Marijuana: daun ganja Mary Jane: daun ganja

Metadon: obat narkotik yang dipakai sebagai pengganti heroin dalam pengobatan pecandunya, dengan memakai metadon, pecandu dapat menghentikan penggunaan heroin tanpa ada efek samping yang parah.

MG: megadon

Mixing drugs: mencampur jenis drug yang berlawanan jenis untuk mendapatkan efek yang berbeda


(60)

N

Narkoba: narkotik dan bahan berbahaya. Ngebaks (nyimenk/ngegele): ngebakar ganja Ngeblenk: kelebihan takaran pemakaian putaw Ngecak: memisahkan barang

Ngecam: nyuntik atau memasukan obat ketubuh Ngedarag: bakar putauw diatas timah

Ngedreg: cheasing the dragon, menggunakan heroin dengan cara dibakar dan asapnya dihirup melalui hidung

Ngedrop (low bed): gejala berakhirnya rasa nikmatnya mabuk Ngejel: mampet /beku pada saat ngepam/mompa

Ngepam (pamping): memompa insulin secara berkali-kali Ngupas: memakai shabu-shabu

NP (nipam): Nitrazepam

Nugi (numpang giting): mabuk tanpa duit Nutup: sekedar menghilangkan sakaw/nagih Nyabu: memakai shabu-shabu

Nyipet: nyuntik atau memasukan obat ketubuh

O

OD: ogah ngedrop perasaan/kemauan untuk tetap mabuk. OD (over dosis): kelebihan takaran pemakaian putaw


(61)

P

P.T-P.T: patungan untuk membeli drug

Pahe: pembelian heroin atau putauw dalam jumlah terkecil PA-HE: paket hemat (paket 20 ribu/10 ribu)

Pakauw: pakai putauw

Paket: pembelian heroin atau putauw dalam jumlah terkecil Paketan (tekapan): paket / bungkusan untuk putaw

Papir: kertas untuk melinting ganja

Papir (pap’s; paspor; tissue: kertas untuk melinting ganja Parno: paranoid karena ngedrungs

Parno: paranoid/rasa takut berlebihan karena pemakaian shabu yang sangat banyak Pasang badan: menahan sakaw tanpa obat / pengobatan dokter

Pasien: pembeli

Pedauw: teler atau mabok

Per 1/per 2, ost: 1 atau 2, ost gram

Pil koplo (bo’at; boti; dados): obat daftar ‘G’ Pil Gedek: ecstacy

Polydrug use: menambah dosis dan menggunakan jenis narkoba yang berbeda Pot: daun ganja

PS (pasien): pembeli narkoba

Psikedelik: berhubungan dengan/berciri halusinasi visual persepsi meningkat. PT: putauw (heroin)


(62)

Pyur: murni

Q

Quartz: shabu-shabu

R

R (rohip): rohypnol Rasta: ganja

Relaps: kembali lagi ngedrugs karena `kangen` Rivot /R /rhivotril: Klonazepam

S

Sakaw: sakit karena ketagihan atau gejala putus obat

Scale (Sekil): timbangan untuk menimbang putaw, shabu, cocain (biasanya digunakan timbangan emas yang berbentuk timbangan digital) Se’empel (seamplop) : satu amplop untuk ganja

Segaw: 1 gram

Se-lap: dua kali bolak-balik / 2 kali hisap Selinting: 1 batang rokok atau gaja

Semata: setetes air yang sudah dicampur heroin

Semprit: dari kata syringe; sejenis alat suntik yang terdiri dari tabung dilengkapi penghisap, naf jarum dan jarum.

Sendok: tempat mencampur/melarutkan/meracik putaw dengan air yang dimasukan kedalam insulin


(63)

Separdu: sepaket berdua Seperempi: ¼ gram

Sepotek: satu butir obat dibagi 2 Setangki: 1/2 gram

Set-du (seting dua): dibagi untuk 2 orang Setengki: ½ gram

Seting (ngeset): proses mencampurkan heroin dengan air Se-track: sekali hisap / sekali baker

Shabu-shabu (ubas/basu): metamfetamin Snip: pakai putauw lewat hidung (dihisap) Snow: kokain

Snuk: pusing / buntu

Speedball: campuran heroin-kokain Sperempi: 1/4 gram

Spirdu: sepaket berdua

Stag: shabu yang sedang dibakar di alumunium foil berhenti /mampet

Stock (STB/stock badai): sisa heroin yang disimpan untuk dipakai pada saat nagih Stone: mabuk

Stokun: mabuk

Stengky: setengah gram


(64)

T

Tea: daun ganja

Teken: minum obat / pil / kapsul Tokipan: minuman

Trigger: sugesti/ingin TU: ngutang

U

Ubas: shabu

V

Val: valium (cair & tablet)

W

Wakas: ketagihan

Wangi: menunjukkan kualitas putaw yang baik yang terasa beraroma bila di dragon/disuntikkan

Weed: daun ganja.

1. Stock = STB / stock badai: sisa heroin yang disimpan untuk dipakai pada saat nagih.

2. Ngepam = pamping: memompa insulin secara berkali-kali. 3. Ngejel: mampet / beku pada saat ngepam / mompa.

4. Paketan = tekapan: paket / bungkusan untuk putaw. Contoh:


(65)

b. Paket B = Rp.50.000,- c. Paket C = Rp.20.000,- 5. P.S = pasien: pembeli narkoba.

6. PA-HE: paket hemat (paket 20 ribu / 10 ribu). 7. Gocapan: gocip: paketan 50 ribu / 0.1 gram. 8. Gaw: gram.

9. Segaw: 1 gram. 10. Seperempi: ¼ gram. 11. Setengki: ½ gram.

12. Per 1 / per 2, ost: 1 atau 2, ost gram 13. Separdu: sepaket berdua.

14. Semata: setetes air yang sudah dicampur heroin.

15. Seting = ngeset: proses mencampurkan heroin dengan air. 16. Set-du = seting dua: dibagi untuk 2 orang.

17. Jokul: jual.

18. Bokul = Bok’s = beli.

19. Barcon = tester: barang contoh (gratis).

20. Abses: benjolan karena heroin yang disuntik tidak masuk ke dalam urat. 21. Kentang = kena tanggung = gantung: kurang mabuk.

22. Kentang kurus: kena tanggung kurang terus.

23. OD: ogah ngedrop: perasaan / kemauan untuk tetap mabuk. 24. Nutup: sekedar menghilangkan sakaw / nagih.


(66)

25. Stone = stokun = giting = fly = beler = bahlul: mabuk. 26. Badai = pedaw = high: tinggi.

27. Jackpot = tumbang: muntah.

28. O.D = over dosis = ngeblenk: kelebihan takaran pemakaian putaw. 29. Pasang badan: menahan sakaw tanpa obat / pengobatan dokter21.

3. Akibat penyalahgunaan narkotika

Narkotika memang diakui merupakan obat untuk menghilangkan rasa sakit dan penderitaan pada penyakit tertentu dan paling penting bagi keperluan ilmu pengetahuan22. Ini dengan jelas tertuang dalam konsiderans Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika yang mengatakan bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat, pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam kenyataannya banyak pengunaan narkotika menjadi masalah karena disalahgunakan.

Berdasarkan uraian di atas bahwa narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan pengembangan ilmu

21

http://bomberppitpipit.wordpress.com/istilah_gaul_narkoba/ (Minggu, 29 April 2007)

22

Budarti,Pengaturan Hukum Tindak Pidana Narkotika, Kertas Kerja Pada Pertemuan Ilmiah tentang Penyitaan Hak Milik Pelaku Tindak Pidana Narkotika, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1994, hlm 12.


(67)

pengetahuan. Penyalahgunaan sendiri adalah pemakaian di luar pegawasan dan pengendalian yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara23. Menurut Dra. Kartika Kartono di dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Anak “mengatakan bahwa gejala-gejala umum dari remaja yang kecanduan ganja dan bahan narkotika, antara lain adalah:

3. Jasmaniah : Badan jadi tidak terurus dan semakin lemah, kurus kering, kumal dan berbau, tidak suka makan, matanya sayu dan menjadi merah.

4. Rohaniah : Pembohong, pemalas dan daya tangkap otaknya makin melemah. Fungsi inteleknya lama-kelamaan menjadi rusak, tidak biasa bereaksi dengan cepat, tugas disia-siakan, mudah tersinggung, mudah marah, sangat eksplosif, hati nuraninya melemah, tingkah lakunya boleh dikatakan tidak terkendalikan.

Adapun efek bahaya dari penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut: 5. Fisik : Badan jadi ketagihan system syaraf jadi lemah atau rusak secara

total, lalu menimbulkan komplikasi kerusakan pada lever dan jantung. Kondisi tubuh jadi rusak, karena muncul macam-macam penyakit lainnya. 6. Psykhis : Ketergantungan psykis, kemauan melemah atau musnah sama

sekali, daya pikir dan perasaan jadi rusak, jiwanya jadi murung, depresif, aktivitas dan kreativitas intelektualnya hilang sama sekali.

23

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, PT Citra Aditya, Bandung, 1990, hlm 3.


(68)

7. Ekonomis : Ganja dan bahan-bahan narkotika harganya sangat mahal, sedangkan kebutuhan rutin, diperlukan supply yang kontinyu/terus menerus, dan harus dipenuhi. Oleh karena itu betapa pun besarnya harta kekayaan, lama kelamaan pasti menjadi jatuh miskin atau bangkrut, akibat dari kecanduan narkotika yang tidak tertolong lagi.

Sosiologis: Bila pecandu tidak mempunyai uang, tetapi terus menerus ketagihan narkotika, sedangkan minta uang kepada orang tua atau keluarga lainnya tidak diberi atau harta miliknya sudah habis, maka para pecandu lalu melakukan macam-macam tindak pidana dan tindakan amoral. Berkembanglah kemudian gejala-gejala sosial seperti: prostitusi, kenakalan remaja, kriminalitas, radikalisme ekstrim (pembunuhan, penculikan, penyanderaan dan lain-lain). Semua ini merupakan masalah sosial yang mengganggu ketentraman masyarakat dan tidak mudah memberantasnya24. Dengan demikian sudah jelaslah bagi kita bahaya dari narkotika yang bukan saja merugikan diri sipelaku tetapi juga dapat merugikan lingkungan di sekitarnya sehingga hal ini sudah dapat menjadi alasan bagi kita untuk ikut ambil bagian dalam melakukan pemberantasan penyalahgunaan narkotika.

Terlibatnya seseorang kedalam narkoba bermula dari beberapa faktor, antara lain:

a. Faktor Pelajar/Perorangan:

1. Adanya kepercayaan bahwa obat dapat mengatasi semua persoalan. 2. Harapan untuk dapat memperoleh “kenikmatan” dari efek obat yang ada.

24


(69)

3. Untuk dapat menghilangkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasakan. 4. Merasakan kurang/tidak percaya diri.

5. Bagi generasi muda adanya tekanan kelompok sebaya untuk dapat diterima/diakui dalam kelompoknya.

6. Sebagai pernyataan tidak puas terhadap sistem atau nilai sosial yang berlaku. 7. Sebagai pernyataan sudah dewasa atau ikut zaman (mode).

8. Ingin coba-coba/ingin tahu.

9. Kurang pengawasan dari orang tua.

10. Serta beberapa alasan lain: putus pacar, tuntutan yang tidak dituruti dan lain-lain.

b. Faktor Lingkungan:

1. Tempat tinggal di lingkungan peredaran atau pemakaian narkotika, psikotrapika atau zat adiktif lainnya.

2. Bersekolah di tempat atau lingkungan yang rawan terhadap obat yang sering disalahgunakan

3. Bergaul dengan para pegedar dan pemakai. c. Faktor Lain:

1. Jumlah/dosis obat yang disalahgunakan serta frekuensi pemakaian. 2. Cara pemakaian (dihisap, ditelan, disuntikkan dan lain-lain). 3. Pemakaian bersama obat lain/tidak.

4. Pengalaman/sudah berapa lama pemakaian obat tersebut. 5. Kondisi badan pemakai.


(70)

6. Suasana lingkungan dimana obat tersebut dipakai25.

B. Tinjauan umum tentang Badan Narkotika Nasional 1. Tujuan Pembentukan Badan Narkotika Nasional

Tujuan pembentukan Badan Narkotika Nasional dapat dilihat dalam Pasal 3 (tiga) Keputusan Presiden nomor 17 Tahun 2002 yaitu melakukan:

a. Pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya;

b. Pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kebijakan di bidang ketersedian, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas;

c. Pengkoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, pengawasan di bidang narkotika, psikotrapika, perkursor dan zat adiktif lainnya;

d. Pengoperasian satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah terkait dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

25

Dampak Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Remaja dan Kamtibnas, Bp. Dharma Bhakti, Jakarta, 2002 hlm 50.


(71)

gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya sesuai dengan bidang tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing;

e. Pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya melalui satuan tugas-satuan tugas;

f. Pelaksanaan kerja sama nasional, regional dan internasional dalam rangka penanggulangan masalah narkotika, psikotrapika, perkursor dan zat adiktif lainnya;

g. Pembangunan dan pengembangan sistem informasi dan laboratorium narkotika, psikotrapika, prekursor dan zat adiktif lainnya.

2. Organisasi Badan Narkotika Nasional

Susunan kepengurusan Badan narkotika Nasional terdiri dari: a. Ketua : Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia b. Anggota:

1. Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa Departemen Dalam Negeri;

2. Direktur Jenderal Multirateral Politik, Sosial dan Keamanan, Departemen Luar Negeri;

3. Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan, Departemen Pertahanan; 4. Direktur Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia;

5. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;


(1)

Kabag Perlengkapan : Kasubbag Kesehatan dan Olahraga Robinsos Kabid Cegah : Kabag Bimtibluh Ro. Bina Mitra Poldasu Kabag Penyuluhan : Ketua LSM LETUPAN

Kabag Penerangan : Ketua MUI Sumut Kabag Pendidikan dan

Latihan : Ketua LSM PIMAN SU

Kabag Bimbingan Potensi

Masyarakat : Seketaris LSM Pemuda Mitra Kamtibmas Kabid Penegakan hukum : Direktur Narkoba Poldasu

Kabag Intelijen : Dit Intelkam Poldasu Kabag Tindak : Kasat Idik Poldasu Kabag Inventaris : Ka. Kejati Negeri Medan Kabag Pengawasan Asset : Staf Ass. Intelijen Kodam I/BB Kabid Terapi dan Rehabilitasi: Ka. Dinas Kesehatan Prop. Su

Anggota : Kasi Anak Nakal dan Korban Narkotika (Dinas Sosial Prop. Su)

Kabag Rehabilitasi : Ketua LSM GAN Kabag Sosial : Ketua LSM GRANAT Kabag Medik : Dir RS. Jiwa Medan Kabid Penelitian

Pengembangan dan Informasi : Staf Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Kabag Penelitian

Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008


(2)

Pengembangan dan Informasi: Ketua LSM GEPENTA Kabag Program : Ka. Lapas Kelas I Medan Kabag Pengolahan Informasi : Ketua KNPI Sumatera Utara Satgas Aiport : Ka. Kantor Bea dan Cukai Medan Satgas Prekursor : Ka. Balai POM Medan

Satgas Seaport Interdection : Ka. KPBC Belawan

Catatan: Berdasarkan Lampiran Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 354/3035.K/Tahun 2004 Tanggal 5 November 2004


(3)

BAB IV PENUTUP

Berdasarkan penelitian dan analis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan:

1. Pembentukan Badan Narkotika Propinsi Sumut menyebabkan ada perubahan yang signifikan terhadap jumlah pelaku peyalahgunaan narkotika di propinsi Sumut, ini didasarkan pada tabel 1 – 7 dimana setiap tahun jumlah kasus dan tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangani Polisi bertambah sehingga dapat disimpulkan pelaku penyalahgunaan narkotika semakin sedikit karena tertangkap.

2. Hubungan Badan Narkotika Propinsi Sumut dengan badan terkait dalam pencegahan penyalahgunaan penyalahgunaan narkotika di propinsi Sumut belum maksimal karena masih adanya rangkap jabatan para anggota BNP Sumut.

B. Saran

Dalam menjalankan tugas BNP Sumatera Utara hendaknya anggota yang bekerja di instansi Pemerintah tidak merangkap sehingga mereka dapat bekerja secara maksimal dan secepatnya membangun fasilitas untuk rehabilitasi pengguna narkotika yang mau bertobat karena mayoritas adalah kaum muda yang masih dapat

Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008


(4)

memberikan yang terbaik bagi masyarakat dan negara, serta melakukan penggalangan dana yang rasional.


(5)

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

---, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993

Budiarti, pengaturan Hukum Tindak Pidana Narkotika, Kertas Kerja Pada Pertemuan Ilmiah Tentang Penyitaan Hak Milik Pelaku Tindak Pidana Nakotika, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1994

Dampak Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Remaja dan Kamtibmas, Bp. Dharma Bakti, Jakarta, 2002

M. Wresniwiro (penyunting), Masalah Narkotika dan Obat Berbahaya, Yayasan Mitra Bintibmas, Jakarta, 2000

Moh. Taufik Makarao, Suhasril, H. Moh. Zakky, A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992

---, Teoti-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandug, 1984

Mustafa Abdullah dan Ruben Acmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, S.H., Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, PT Citra Aditya, Bandung, 1990

Sudjono D., Kriminalistik dan Ilmu Forensik, Pengantar Sederhana Tentang Teknik Dalam Pendidikan Kejahatan, PT. Tribinasa Karya, Bandung, 1976

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Victor Keenan Barus : Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Di Propinsi Sumatera Utara, 2008


(6)

Peraturan Perundang-undangan Keputusan Presiden No. 116 tahun 1999 Keputusan Presiden No. 17 tahun 20002

Undang-undang No. 22 tahun 1997 Tentang Narkotika

Majalah, Makalah, Buletin dan Tulisan Ilmiah Harian Analisa, Senin, 19 Juni 2006, No. 12007 Harian Analisa, Rabu, 31 Mei 2006, No. 11988 Harian Analisa, Kamis, 27 April 2006, No. 11956 Harian Analisa, Senin, 30 April 2007, No. 12308