RUANG PUBLIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

1

RUANG PUBLIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PERSPEKTIF DEMOKRASI DELIBERATIF
(STUDI TENTANG ALUN-ALUN “TAMAN KUSUMA WICITRA”
TULUNGAGUNG)

Rendra Wahyu Kurniawan
Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya Malang, Indonesia
Email : rendramvp@gmail.com
Abstract
Kusuma Wicitra Park name of Tulungagung Square, is a form of public
space in Tulungagung, public space in the study of Jurgen Habermas has some
requirements to be met including free, inclusive, and without government
intervention. In addition, public space can be used as a forum to increase public
participation and community outreach in Tulungagung. The square as a major
public space in Tulungagung apparently has not reached the public as a whole,
especially away from urban centers, then with these problems, an alternative
public sphere emerged in each village to facilitate the community. The presence of
this alternative public space, people can socialize with each other without leaving

for Tulungagung Square.
Keyword : Public Space, Square (Alun-Alun), Public Participation
Pendahuluan
Ruang publik selama ini diikuti oleh masalah-masalah perkotaan (urban
issue) yang terkait dengan proses modernisasi. Dalam perkembangannya suatu
kota tidak hanya tumbuh dalam bentuk fisik saja, akan tetapi akan tumbuh
bersama dengan masyarakatnya. Perkembangan zaman membuat ruang publik
menjamur di setiap daerah dalam bentuk yang bermacam-macam, sehingga
dibutuhkan ruang publik yang benar-benar representatif untuk semua kalangan
tanpa ada klasifikasi sosial.
Keberadaan ruang publik dalam hal ini juga merupakan salah satu bagian
penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawal kebijakan
yang dimunculkan pemerintah, melalui diskursus yang rasional dengan tanpa ada

2

tekanan, sehingga nantinya konsep demokrasi deliberatif dapat dimunculkan
dalam forum-forum tersebut. Pada dasarnya (1) ruang publik, (2) partisipasi
masyarakat dengan tindakan komunikatif untuk menghasilkan konsensus dan juga
(3) demokrasi deliberatif, merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisahkan, karena

sesuai dengan konsep demokrasi deliberatif, yakni:
“Sebagai sebuah konsep dalam teori diskursus, istilah “demokrasi
deliberatif” sudah tersirat di dalam apa yang telah kita bicarakan sebagai diskursus
praktis,

formasi

opini

dan

aspirasi

politis

(politische

Meinungs-und

Willenbildung), proseduralisme atau kedaulatan rakyat sebagai prosedur

(Volksouveranitat als Verfahen). Teori demokrasi deliberatif tidak memusatkan
pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukkan apa yang harus
dilakukan warganegara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturanaturan itu. Sedemikian rupa sehingga warga negara mematuhi aturan-aturan itu”.
(Hardiman, 2009:128).
Sebagai bentuk keterkaitan diantara ruang publik dalam konsep demokrasi
deliberatif telah digambarkan oleh Jurgen Habermas. Habermas memahami ruang
publik politis itu sebagai prosedur komunikasi. Ruang publik itu memungkinkan
para warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu
menciptakan kondisi yang memungkinkan pada warganegara untuk menggunakan
kekuatan argumen. (Hardiman, 2009:134).
Proses partisipasi masyarakat dalam bentuk tindakan komunikatif dapat
menekan sistem yang dikelola pemerintah sebagai pemilik kekuasaan dan uang
untuk dapat memberikan langkah strategis yang dapat dinikmati oleh masyarakat,
tentunya dalam hal ini tetap dalam prosedur hukum sebagai landasan. Hal tersebut
digambarkan dalam sebuah bagan seperti halnya berikut :

3

Bagan 1.1 Partisipasi Masyarakat tehadap Sistem


Sumber : Hardiman 2009:63
Di berbagai daerah, alun-alun menjadi pusat kota yang menjadi tempat
berkumpulnya masyarakat dari berbagai macam lapisan, menurut sejarahnya
sendiri, Alun-Alun Kabupaten Tulungagung banyak dipengaruhi oleh arsitektur
Mataram, hal ini disebabkan karena kabupaten Tulungagung merupakan salah
satu daerah yang masuk ke dalam wilayah Kadipaten milik Kerajaan Mataram
pada saat itu. Seiring berjalannya waktu alun-alun yang awalnya menjadi ruang
publik di zaman kerajaan dialih fungsikan sebagai tempat kegiatan jual beli,
dimana banyak pedagang kaki lima (PKL) berjejeran mengelilingi Alun-Alun
Kabupaten Tulungagung, hingga kini dilakukan relokasi PKL ke tempat baru,
sehingga fungsi alun-alun kembali lagi sebagai ruang publik dengan didukung
berbagai macam fasilitas bagi masyarakat. Pengembangan ruang publik semacam
ini tentunya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam hal diskursus.
Dalam konteks kali ini Kabupaten Tulungagung merupakan daerah yang
menempatkan alun-alun sebagai pusat kota sekaligus menjadikan ruang publik
bagi masyarakat untuk melakukan diskursus. Adanya infrastruktur yang memadai

4

dan rimbunnya tanaman membuat masyarakat merasa nyaman untuk berdiskusi

atau sekedar berbincang di Alun-Alun Kabupaten Tulungagung.
Berbagai macam komunitas dan LSM di Kabupaten Tulungagung
seringkali memanfaatkan fasilitas yang ada di ruang publik berupa Alun-Alun ini.
Terkadang mereka juga membicarakan tentang isu-isu politik, pemerintahan baik
lokal maupun nasional. Hal ini merupakan wujud positif dari penggunaan alunalun sebagai ruang publik dengan semangat menuju masyarakat yang partisipatif.
Fokus masalah yang dibahas dalam penelitian ini berkaitan dengan
eksistensi alun-alun Kabupaten Tulungagung sebagai ruang public dan juga peran
pemerintah Kabupaten Tulungagung dalam meningkatkan partisipasi public di
daerah dengan memanfaatkan ruang public tersebut.
Partisipasi Masyarakat dalam Demokrasi Deliberatif
Arimbi

(1993:1)

mendefinisikan

partisipasi

sebagai


feed-forward

information and feedback information. Dengan definisi ini, partisipasi masyarakat
sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus dapat diartikan bahwa
partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak pemerintah sebagai
pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai pihak yang merasakan
langsung dampak dari kebijakan tersebut. Dari pendapat Canter juga tersirat
bahwa masyarakat dapat memberikan respon positif dalam artian mendukung atau
memberikan masukan terhadap program atau kebijakan yang diambil oleh
pemerintah, namun dapat juga menolak kebijakan.
Demokrasi tentunya tidak bisa dipahami secara minimalis dengan
pemilihan umum saja, proses-proses di antara pemilihan umum yang satu dengan
yang lainnya harus dilihat sebagai proses-proses demokratis, karena dari beberapa
proses tersebut tentunya menghasilkan kesenjangan dari keputusan yang dibuat
pemerintah.
Sejak tahun 1960-an di Amerika dan Eropa telah tumbuh gerakan
menentang pendekatan perencanaan dan perancangan teknis-rasional yang
dominan pada masa itu, serta juga memperjuangkan terbentuknya praktek

5


pofesional baru yang memiliki unsur moral dan politik, berkeadilan sosial, dan
memberi

kekuasaan

pengambilan

keputusan

pada

masyarakat

(citizen

empowerment). Gerakan ini kemudian menghasilkan beberapa paradigma
perencanaan dan perancangan partisipatif seperti Community Architecture
(Christopher dan Rossi, 2003:45).
Dalam pandangan Hardiman (2009:133) jika demokrasi ingin dimengerti

secara deliberatif, pemilihan umum dapat dianggap sebagai “hasil pemakaian
publik atas hak-hak komunikatif” (offentlicher Gebrauch der kommunikativen
Freiheiten) yang berlangsung terus menerus. Dapat diartikan juga bahwa proses
pemilihan umum sebagai produk demokrasi adalah hasil dari diskursus atau
partisipasi masyarakat di dalam ruang publik.
Keberadaan forum-forum diskursus warga untuk menanggapi isu-isu lokal
daerah dan nasional merupakan wujud konkrit dari partisipasi yang melibatkan
masyarakat di dalamnya. Terlebih lagi, alun-alun selama ini menjadi wadah yang
relevan digunakan karena letaknya yang berada di pusat kota dan berada ditengahtengah antara gedung DPRD Kabupaten Tulungagung dan Pendopo yang
merupakan rumah seorang Bupati, maka wajar ketika alun-alun berperan sentral
dalam peningkatan partisipasi publik.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, pendekatan
kualitatif dilakukan dengan metode pencatatan atas pengamatan fakta yang
berhasil dilihat. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007:4) mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Pertimbangan penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena
penyesuaian metode kualitatif lebih mudah apabila menghadapi kenyataan ganda.
Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan

informan lebih peka dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan pengaruh dan polapola nilai-nilai yang dihadapi.

6

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive typical
sampling dimana informan yang dipilih bersifat tipikal untuk mendukung data
dalam penelitian ini, sehingga dimunculkan informan seperti halnya Bupati,
Kepala Dinas Pariwisata, Budayawan, LSM, Organisasi Pemuda, dan pengunjung
yang mengetahui fenomena dalam alun-alun Kabupaten Tulungagung selama ini.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan tiga hal yakni, observasi,
wawancara dan juga dokumentasi, sehingg dapat dianalisis dengan menggunakan
kerangka Miles dan Hubberman.
Pembahasan
Seorang Budayawan bernama Trijono hendak menyampaikan betapa
sebenarnya Alun-alun juga memiliki kaitan erat dengan kekuasaan, hal itu
ditunjukkan dengan keberadaan bangunan-bangunan yang mengelilinginya,
seperti halnya Gedung DPRD Kabupaten Tulungagung, Pendopo Kabupaten
Tulungagung, dan juga Masjid Agung Al-Munawar. Seperti halnya yang kita
ketahui bersama bahwa DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) adalah
representasi dari kepentingan rakyat, memiliki gedung di area alun-alun, sehingga

menunjukkan bahwa mereka dekat dengan rakyat yang disimbolkan oleh alunalun. Hal itu juga ditunjukkan dengan dekatnya lokasi pendopo “Kongas Arum
Kusumaning Bongso” yang tepat berada di depan alun-alun sebagai tempat
tinggal seorang bupati Kabupaten Tulungagung mencerminkan relasi antara
penguasa dan rakyat telah terjadi sejak dulu dan berjalan hingga kini. (Sumber:
www.tulungagung.go.id)
Selain itu, alun-alun Kabupaten Tulungagung juga memiliki sejarah
panjang tentang kuasa seorang pemimpin, hal itu ditunjukkan pada perubahanperubahan fungsi dari zaman pra kolonial hingga pasca kolonial, hal itu pula yang
mempengaruhi tingkat partisipasi publik dan pemanfaatan fungsi alun-alun oleh
publik. Trauma masa lalu di zaman kolonial membuat beberapa orang memiliki
ketakutan untuk menyampaikan aspirasinya saat ini, sehingga partisipasi publik
hanya meninggalkan beberapa orang seperti halnya organisasi pemuda atau LSM

7

yang berusaha menjaring aspirasi lewat musyawarah dan diskusi di Alun-Alun
Kabupaten Tulungagung.
Pada masa pra kolonial tumenggungan (penguasa daerah) di Kabupaten
Tulungagung, peran alun-alun sebagai tempat untuk menyalurkan informasi
seorang tumenggung pada rakyatnya. Dalam perjalanannya alun-alun hanya terdiri
dari tanah lapang di depan pendopo dan masjid setelah masuknya pengaruh

kerajaan Mataram Islam di Kabupaten Tulungagung.
Selanjutnya pada masa kolonialisme Belanda, terdapat perubahan
arsitektur dalam tatanan pemerintahan di Kabupaten Tulungagung, pembangunan
pagar yang mengelilingi tanah lapang menunjukkan adanya jarak antara penguasa
dengan rakyatnya. Selain pagar yang mengelilingi alun-alun, juga terdapat
pembangunan Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kabupaten Tulungagung di
selatan alun-alun atau berhadapan langsung dengan pendopo. Tata letak Lapas
dalam bingkai sejarah yang berada di area alun-alun menunjukkan bahwa relasi
kekuasaan pada masa itu begitu kuat. (Handinoto, 1992: 18)
Pasca kolonialisme bentuk arsitektur alun-alun Kabupaten Tulungagung
terlihat lebih ramah, dengan pembangunan beberapa fasilitas untuk masyarakat
walaupun masih menyimpan relasi kuasa didalam arsitekturnya, seperti halnya
keberadaan pendopo, gedung DPRD Kabupaten Tulungagung, dan gedunggedung dinas seperti halnya Dinas Pencatatan Sipil yang mengelilingi alun-alun
Kabupaten Tulungagung. Lapas yang pada masa kolonialisme sempat berada di
dekat Alun-Alun Kabupaten Tulungagung, kemudian di relokasi di selatan Taman
Makam Pahlawan Kabupaten Tulungagung. Hampir secara keseluruhan lembaga
inti pemerintahan berada di dekat Alun-Alun Kabupaten Tulungagung.
Alun-Alun “Taman Kusuma Wicitra” selain ditumbuhi pepohonan yang
rindang dan tanaman hias yang tertata rapi, juga dilengkapi dengan fasilitas
bermain anak-anak, tempat outbond serta sarana olah raga jalan kaki merupakan
salah satu tujuan rekreasi keluarga, seringkali ditemui orang tua dan putraputrinya di Alun-Alun Kabupaten Tulungagung pada siang hari atupun sore saat

8

matahari sudah tidak lagi terik. Pada siang hari ratusan burung merpati menjadi
hiburan tersendiri bagi pengunjung yang ingin memberikan makan berupa jagung
yang dijual oleh beberapa penjual di area alun-alun. Sedangkan sore hari beberapa
pengunjung banyak memanfaatkan wahana bermain dan outbond untuk menemani
anak-anaknya bermain.
Pada hari biasa sekumpulan anak muda dan juga beberapa aktivis
mahasiswa di Kabupaten Tulungagung memanfaatkan tanah lapang yang berada
di tengah-tengah alun-alun dan juga balai rakyat untuk berdiskusi membahas isu
nasional maupun daerah khususnya Kabupaten Tulungagung. Keadaan di hari
minggu pagi lebih ramai karena kegiatan Car Free Day banyak yang
memanfaatkan hari libur untuk berolah raga di alun-alun ataupun rekreasi melihat
satwa yang berada di area pendopo Kabupaten Tulungagung, selain itu beberapa
komunitas kreatif dan pecinta binatang seperti halnya kelompok Breaking Rooster
Crew, Skate Board Community, Pecinta Sepeda BMX, dan komunitas pecinta
reptil dan musang menampilkan keahliannya di alun-alun. Terdapat fasilitas dokar
(kereta kuda) yang dapat digunakan untuk berkeliling di sekitar alun-alun yang
memang disediakan untuk para pengunjung.
Berbagai macam kegiatan di atas belum menjadi tolak ukur eksistensi
alun-alun sebagai ruang publik, maka dari itu terdapat tiga hal yang dapat menjadi
syarat ruang publik, yakni (1) partisipasi publik dalam komunikasi politis, fakta
dilapangan seperti halnya yang terjadi di Alun-Alun Kabupaten Tulungagung,
secara umum mereka menggunakan bahasa kedaerahan (Jawa) dan juga bahasa
nasional (Indonesia) ketika melakukan komunikasi dan juga forum-forum diskusi.
Selain itu secara khusus bahasa

daerah yang digunakan adalah bahasa jawa

“mataraman”, yang umum di masyarakat Tulungagung dan sekitarnya; (2)
Kebebasan berpendapat, dan aturan hukum yang melindungi setiap kegiatan
partiipatif

masyarakat.

Menurut

Habermas

dalam

Hardiman

(1995:15)

menyatakan bahwa sistem politik modern dapat tercapai apabila terjalin
komunikasi politis antara ruang publik dan juga sistem politik.

9

Masyarakat Kabupaten Tulungagung telah lama memanfaatkan Alun-Alun
Kabupaten Tulungagung sebagai ruang yang berfungsi untuk menyampaikan
aspirasi. Lokasi alun-alun yang berdekatan dengan gedung-gedung pemerintahan
seperti halnya gedung DPRD Kabupaten Tulungagung dan juga Pendopo
Kabupaten sebagai rumah dinas seorang Bupati, membuat alun-alun dianggap
ideal oleh masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai ruang publik politis. Tidak
jarang ditemui beberapa anggota DPRD dan juga Bupati turut serta dalam forumforum masyarakat yang dilaksanakan di pendopo seperti halnya yang diadakan
salah satu LSM di Kabupaten Tulungagung.
Salah satu kesuksesan pemerintah kabupaten Tulungagung dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat adalah, merubah fungsi alun-alun dari
tempat berjualan PKL menjadi ruang terbuka publik bagi masyarakat, penataan
PKL yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Tulungagung bukan tanpa
alasan, menurut Heru Cahyono mantan Bupati Kabupaten Tulungagung perlunya
Kabupaten Tulungagung memilliki ruang publik dimana para orang tua, anak
muda, dan anak-anak bisa menikmati kesegaran suasana taman di Alun-Alun,
selain itu Tulungagung juga belum memiliki tempat yang ideal untuk
bersosialisasi ketika di pusat kota, tuturnya. (Heru Cahyono, Mantan Bupati
Kabupaten Tulungagung, wawancara 10 Juni 2014).
Selain itu dengan adanya tempat untuk bersosialisasi yang nyaman dan
sejuk, masyarakat Kabupaten Tulungagung tentunya akan lebih banyak kegiatan
di Alun-Alun Kabupaten Tulungagung tanpa harus terganggu riuhnya PKL yang
dulunya berjualan. Munculnya berbagai macam kelompok dan komunitas kreatif
dari anak-anak muda Kabupaten Tulungagung seperti halnya Persatuan Serikat
Muda (PSM), Komunitas Grafitty Tulungagung, Komunitas Muda Kreatif
(KMK), dll. merupakan salah satu hasil keberhasilan pemanfaatan Alun-Alun
sebagai ruang publik. Walaupun beberapa komunitas bergerak bukan di ranah
politik, seringkali mereka juga menanggapi isu-isu politik di daerah saat
berkumpul. Hal ini adalah wujud pembangunan partisipasi politik dari anak-anak
muda yang tergabung dalam tiap komunitas.

10

Urgensi akses informasi public di era desentralisasi berhasil dijawab oleh
pemerintah Kabupaten Tulungagung dengan memanfaatkan keberadaan alun-alun.
Masyarakat dapat memberikan respon positif dalam artian mendukung atau
memberikan masukan terhadap program atau kebijakan yang diambil oleh
pemerintah, namun dapat juga menolak kebijakan. Seperti halnya cita-cita dari
Juergen Habermas yang menginginkan masyarakat dapat melakukan konsensus
atau musyawarah sehingga memunculkan keputusan bersama. Hal itu dapat
dikatakan sebagai langkah awal menuju demokrasi deliberatif. Karena demokrasi
deliberatif pada dasarnya memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis,
formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.
(Hardiman, 2009:128)
Adanya beberapa fasilitas penunjang akses informasi publik berupa free
hotspot area untuk pengunjung di area alun-alun dan juga video tron yang tak
jarang menampilkan informasi-informasi terbaru dari pemerintah daerah
kabupaten Tulungagung seperti halnya anjuran untuk membuat e-ktp dan juga
kampanye “keluarga berencana” . Selain area hotspot terdapat juga perpustakaan
yang berada di area alun-alun sebagai ruang baca untuk publik, sehingga pada
dasarnya wilayah alun-alun memiliki potensi untuk menjadi ruang publik yang
ideal bagi semua kalangan.
Namun, kesuksesan alun-alun Kabupaten Tulungagung sebagai ruang
publik tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai macam permasalahan seperti
halnya lokasi alun-alun yang belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat
yang berada di pelosok-pelosok desa di Kabupaten Tulungagung seperti halnya
desa Besuki, Campurdarat, Ngunut, Kalidawir, sehingga muncul ruang publik
alternatif seperti halnya warung kopi dan balai desa sebagai wadah berinteraksi
masyarakat. Menjadi sesuatu yang mustahil untuk kemudian alun-alun bisa
menjadi ruang publik utama bagi mereka yang memiliki akses yang terlalu jauh
dari pusat kota. Namun, seperti halnya yang disampaikan Bapak Syahri Mulyo,
SE dalam wawancaranya bahwasanya, setiap forum yang diadakan di pendopo

11

dipastikan ada perwakilan dari setiap desa sehingga aspirasi yang terserap bisa
secara utuh.
Partisipasi publik selama ini menjadi program yang sedang dimaksimalkan
oleh pemerintah daerah kabupaten Tulungagung, dengan adanya ruang publik
seperti halnya alun-alun ataupun balai desa di setiap kelurahan, diharapkan bisa
menjadi infrastruktur penunjang keberhasilan partisipasi publik di Kabupaten
Tulungagung. Selain balai desa dan juga alun-alun sebagai tempat untuk
melakukan musyawarah atau diskursus, Kabupaten Tulungagung memiliki potensi
lain yang dapat digunakan sebagai ruang publik baru, membanjirnya warung kopi
di Kabupaten Tulungagung juga menjadi lokasi baru yang bisa digunakan sebagai
ruang publik bagi masyarakat.
Sehingga urgensi ruang publik yang selama ini dipertanyakan sudah
terjawab, bahwa sesungguhnya masyarakat sebagai individu yang memiliki
karakteristik sosial membutuhkan adanya ruang untuk sekedar berkumpul atau
bersosialisasi. Hal ini juga tidak mengurangi sisi privat dari masing-masing
individu masyarakatnya sendiri, ada ranah lebenswelt (dunia-kehidupan) dimana
mereka dapat membedakan ranah privat dan publik tergantung dimana mereka
berada.
Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dalam penelitian ini, yakni
terjadinya perkembangan fungsi alun-alun Kabupaten Tulungagung sebagai ruang
publik bagi masyarakat, dalam perkembangannya tersebut alun-alun turut
mengembangkan sarana dan prasarana fasilitas publik, sehingga dapat digunakan
secara nyaman untuk kegiatan masyarakat. Selain itu, keberadaan beberapa
baliho, poster dan juga video tron yang terpasang di sekitar alun-alun mendukung
program pemerintah untuk memberikan akses informasi terhadap publik, sehingga
partisipasi masyarakat terhadap program pemerintah meningkat.
Berbagai macam permasalahan yang dihadapi pemerintah kabupaten
Tulungagung dalam meningkatkan partisipasi publik diantaranya karena,

12

partisipasi selama ini hanya terdapat pada segmentasi masyarakat tertentu seperti
halnya organisasi pemuda, LSM, dan organisasi kemahasiswaan, belum bersifat
menyeluruh terhadap masyarakat umum. Selain itu, akses alun-alun yang jauh
bagi mereka yang berada di pelosok desa seperti halnya Besuki dan Campurdarat
memunculkan ruang-ruang publik baru bagi masyarakat. Ruang publik alternatif
tersebut, sedikit banyak mempengaruhi eksistensi alun-alun sebagai ruang public
yang selama ini telah dikembangkan oleh pemerintah kabupaten Tulungagung.
Daftar Pustaka
Arimbi, Mas Achmad, 1993, Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan
Lingkungan. Jakarta: Walhi.
Craigh Calhoun, and Habermos.1993. The Public Sphere, Rethingking the Publik
Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,
MITPress.
Day, Christopher.2003. Consensus Design Socially Inclusive Process, London:
Architectural Press.
Habermas, Jurgen. 2007. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio
Fungsionaris. Terjemahan oleh Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Handinoto, 1992. Arsitektur Kota-Kota di Jawa Pada Masa Kolonial.Yogyakarta:
Graha Ilmu
Hardiman, F. Budi.2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta : Kanisius
Hardiman, F. Budi.2009. Menuju Masyarakat Komunikatif : Ilmu, Masyarakat,
Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta :
Kanisius
Hardiman, F. Budi.2010. Ruang Publik : Melacak “Partisipasi Demokratis” dari
Polis sampai Cyberspace.Yogyakarta: Kanisius.
Moleong, Lexy J.2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.