Pemerintah Daerah Dalam Prespektif Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan
antara pemerintah pusat. Provinsi dan kabupaten/kota yang menurut UndangUndang No. 5 Tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pusat di
daerah. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah provinsi dan kabupaten
untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum
kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut konstitusi UndangUndang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi
pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah yang bersifat otonom atau
bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan UU.
Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antar
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis
maupun teknis. Secara politis, desentralisasi kewenangan pada masing-masing
daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti direfleksikan
dalam GBHN1. Secara teknis masih terdapat sejumlah besar persiapan yang
harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi

tersebut secara efektif.2
Dan Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,
telah dipraktekkan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara.
Semenjak wafatnya Rasulullah Saw, Islam tampil dalam bentuk yang nyata
1 Garis-Garis Besar Haluan Negara
2 H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Cet ke-3, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2004), hal. 1

sebagai institusi Negara. Dalam banyak hal, bisa ditemukan kenyataankenyataan sejarah yang menunjuk pada eksistensi Negara, terutama semenjak
berdirinya Daulah Bani Umayyah hingga hancurnya Khilafah Turki Utsmani.
Dari kenyataan sejarah yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke21 M, umat islam telah mempraktikkan kehidupan politik yang begitu kaya
dan beragam yang meliputi bentuk Negara dan sistem pemerintahan. Lebihlebih sejak terbebasnya dunia Islam dari kolonialisme Barat, dunia Islam telah
mempraktikkan sistem politik yang berbeda dengan masa lalunya. Jika dilihat
dari kenyataan sejarah, umat islam telah mempraktikkan bentuk Negara
kesatuan dan Negara federal.3
Dan disini kami akan mencoba untuk mengulas lebih jauh tentang
kepemerintahan daerah di Indonesia dan menghubungkannya dengan sistem
kepemerintahan dalam islam, apakah dalam islam sendiri mengenal adanya
sistem kepemerintahan daerah seperti di Indonesia ini atau tidak?.


BAB II
3 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah “Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam”, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 198

PEMBAHASAN
A. Siyasah Syar’iyyah
Kelahiran qanun terlebih dahulu melalui proses siyasah syar’iyyah
(politik hukum islam), yakni proses penyerapan, pembahasan, dan penetapan
materi hukum islam tertentu untuk di format ke dalam bentuk qanun atau
undang-undang. Dengan demikian berarti ada kaitan yang sangat erat antara
siyasah syar’iyyah pada satu sisi dengan qanun pada sisi yang lainnya. Supaya
dapat diperoleh pemahaman yang memadai mengenai apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan kedua istilah tersebut, maka sebelum disajikan pembahasan
tentang qanun, ada baiknya jika lebih dulu diuraikan pembahasan mengenai
siyasah syar’iyyah.4
1. Definisi Siyasah Syar’iyyah
a. Definisi Siyasah Syar’iyyah Menurut Bahasa
Secara etimologis siyasah syar’iyyah itu terdiri dari dua kata, yaitu
“siyasah” dan “syar’iyyah”. Kata siyasah merupakan bentuk masdar dari
tashrif kata sasa-yasusu-siyasatan, yang berarti mengatur, mengurus,

mengemudikkan, memimpin, dan memerintah. Di samping itu, kata
siyasah dapat pula diartikan sebagai politik dan penetapan suatu bentuk
kebijakan. Sedangkan kata syar’iyyah merupakan bentuk nisbah (kata
sifat) dari syar’un, yang berarti menurut ‘Abd al-ahmad ‘uthwah, berarti
sesuai dengan hokum syari’at dan dengan kaidah-kaidahnya yang bersifat
umum.
Berdasarkan analisis etimologis tersebut, siyasah syar’iyyah dapat
di artikan sebagai politics based on sharia5 atau dapat juga disebut dengan
politik islami.
b. Definisi Siyasah Syar’iyyah menurut istilah
4 Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum, Cet. 1, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2012) hal. 93-94
5 Politik yang sejalan atau tidak bertentangan dengan syari’at

1) Definisi Siyasah Secara Umum
Dalam kepustakaan politik banyak definisi siyasah yang telah
dikemukakan oleh para yuris muslim. Sebagai acuan teoretis berikut
ini disajikan empat buah definisi siyasah yang diformulasikan oleh
empat orang ulama yang berbeda. Keempat buah definisi siyasah yang
dimaksud adalah sebagai berikut.

Pertama, menurut Ibn Manzhur yang dimaksud dengan siyasah
itu adalah mengatur sesuatu dengan dengan cara yag membawa kepada
kemaslahatan. Kedua, menurut ‘Abd al-wahhab khallaf yang dimaksud
dengan siyasah itu adalah Undang-undang yang dibuat untuk
memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta untuk mengatur
berbagai hal. Ketiga, menurut ‘Abd al-rahman taj, yang dimaksud
siyasah itu adalah hokum-hukum dan kebijakan-kebijakan yang
mengatur

berbagai

urusan

umat/masyarakat

dalam

bidang

pemerintahan, peradilan, dan dalam seluruh jajaran institusi eksekutif

dan administrasi, serta hubungan internasional dengan bangsa-bangsa
lain. Keempat, menurut Husayn fawzi al-najjar siyasah adalah
pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta
pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya
kebaikan bagi mereka.
Namun demikian esensi yang dikehendaki oleh keempat
definisi tersebut pada prinsipnya sama. Yaitu sama-sama menyatakan
bahwa “siyasah” merupakan sebuah cara yang biasa digunakan untuk
konsep pengaturan tata kehidupan umat manusia dalam konteks
berbangsa dan bernegara yang diorientasikan untuk mewujudkan
kemaslahatan dan mencegah kemudharatan.
2) Definisi Siyasah Syar’iyyah Secara Redaksional
Seperti halnya pengertian siyasah secara umum, mengenai
definisi siyasah syar’iyyah pun secara redaksional terjadi keragaman.

Timbulnya perbedaan semacam ini juga antara lain disebabkan karena
latar belakang dan sudut pandang yang digunakan oleh ulama yang
satu relative berbeda dengan yang lainnya. Berikut ini disajikan lima
definisi siyasah syar’iyyah yang dirumuskan oleh lima orang ulama
yang berbeda. Kelima definisi siyasah syar’iyyah yang di maksud

adalah sebagai berikut.6
Pertama, menurut ‘Abd al-wahhab khallaf yang dimaksud
dengan siyasah syar’iyyah adalah pengaturan urusan-urusan umum
Negara islam yang menjamin terealisasinya kemaslahatan dan
terhindarkannya kemudharatan mengenai hal-hal yang tidak melanggar
batas-batas

dan

prinsip-prinsip

syari’at

yang

bersifat

umum,

kendatipun rumusan aturan tersebut berbeda dengan pendapat para

mujtahid. Kedua, menurut ‘Abd al-rahman taj , siyasah syar’iyyah
adalah nama bagi hokum-hukum yang mengatur alat kelengkapan
Negara dan urusan-urusan umat yang sejalan dengan jiwa dan prinsipprinsip syari’at yang bersifat universal guna merealisasikan tujuantujuan social kemasyarakatan, kendatipun hal tersebut tidak diatur
dalam nash-nash al-Qur’an ataupun sunnah yang bersifat rinci. Ketiga,
menurut Abu al-wafa ibn ‘Aqil, siyasah syar’iyyah itu berarti suatu
kebijakan yang dapat membawa rakyat lebih dekat kepada
kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan, kendatipunRasulullah
tidak pernah menetapkannya dan juga tidak pernah diturunkan wahyu
untuk mengaturnya. Keempat, menurut para fuqaha, siyasah syar’iyyah
berarti

otoritas

pemerintah

untuk

membuat

kebijakan


yang

dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan
dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu yang mengaturnya.
Kelima, sedangkan menurut para ulama selain fuqaha, mengartikan
siyasah syar’iyyah berarti

pengaturan kemaslahatan umat sesuai

dengan ketentuan syariat.

6 Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Ibid,. hal.95-97

Dari kelima definisi di atas dapat ditarik konklusi bahwa para
pemegang

tampuk

kekuasaan


(pemerintah),

disamping

punya

kompetensi untuk menerapkan hokum-hukum allah, juga memiliki
otoritas untuk membuat berbagai peraturan hokum berkenaan dengan
hal-hal yang tidak diatur secara eksplisit dan rinci dalam syari’at.7
2. Objek Studi dan Pembidangan Siyasah Syar’iyyah
Objek studi siyasah syar’iyyah menurut ‘Abd al-rahman taj, adalah
seluruh perbuatan mukallaf (subjek hokum) dan hal ihwal yang berkaitan
dengan tata cara pengaturan masyarakat dan Negara sesuai dengan jiwa
dan tujuan syari’at, kendatipun hal yang diatur tidak pernah disinggung
baik dalam al-qur’an maupun sunnah. Dengan kata lain, objek studi
siyasah syar’iyyah adalah berbagai aspek perbuatan mukallaf sebagai
sebagai subjek hokum yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang diatur berdasarkan ketentuan yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar nas syari’at yang bersifat

universal. Dan ‘Abd al-wahhab khallaf menyatakan, objek studi siyasah
syar’iyyah adalah berbagai peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan
untuk mengatur Negara, sesuai dengan pokok ajaran agama guna
merealisasikan kemaslahatan umat manusia dan membantunya memenuhi
berbagai kebutuhan hidupnya.8
Mengenai pembidangan siyasah syar’iyyah dikalangan pakar
siyasah syar’iyyah terjadi perbedaan pendapat. Namun, pembidangan yang
beragam tersebut dapat dipersempit kepada empat bidang saja. Yaitu
bidang fiqih siyasah dusturiyah, fiqih siyasah maliyah, fiqih siyasah
dauliyah, dan fiqih siyasah harbiyah.9

7 Ibid,. hal. 98-99
8 Ibid,. hal. 115
9 Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Cet. 2, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995) hal.
40-41

B. Sistem Pemerintahan Daerah
Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.10 Dengan istilah Negara Kesatuan
itu, dimaksud bahwa susunan Negaranya hanya terdiri dari satu Negara saja

dan tidak dikenal adanya Negara di dalam Negara seperti halnya pada suatu
Negara Federal11.
Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturen delandchappen12 dan volksgemeen schappen13, seperti desa di
Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.14
Ketentuan tentang Pemerintah Daerah ini tertuang dalam UUD 1945
pasal 18 yang telah diamandemen, yaitu:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap

10 Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan Amandemen I, II, III, IV, (Yogyakarta: Pustaka
Timur, 2009), hal. 4

11 Negara serikat atau Federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari
beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut
merupakan negara yang merdeka, berdaulat dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan dengan
Negara serikat, dengan sendirinya Negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan
menyerahkannya kepada Negara Serikat. Penyerahan kekuasaan dari negara-negara bagian kepada
nagara serikat tersebut dikenal dengan istilah limitative (satu demi satu) dimana hanya kekuasaan
yang diberikan oleh Negara-Negara bagian saja (delagated powers) yang menjadi kekuasaan
Negara Serikat. Namun pada perkembangan selanjutnya, negara serikat mengatur hal yang bersifat
strategis seperti kebijakan politik luar negeri, keamanan dan pertahanan negara. (C. S. T. Kansil,
Ilmu Negara Umum dan Indonesia, (Jakarta: Pradya Paramita, 2004), hal. 136)
12 Berpemerintahan sendiri
13 Komunitas rakyat
14 H. Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet. Ke-3, (Jakarta
: Sinar Grafika, 2009), hal. 1

provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur UU.
2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD
yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
UU.
Dalam pasal 18A UUD 1945, mengatur tentang:
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi, kabupaten serta kota,
diatur dengan UU dengan memerhatikan kekhususan dan keragamaan
daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU
Demikian pula dalam pasal 18B UUD 1945, mengatur tentang:
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU.
2. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat-masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam UU.15
Untuk mengurus penyelenggaraan pemerintahan Negara sampai
kepada seluruh pelosok daerah Negara, maka perlu dibentuk suatu
pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah ini sebenarnya menyelenggarakan
pemerintahan yang secara langsung berhubungan dengan masyarakatnya.
Kedudukan

Pemerintah

daerah

bertingkat-tingkat,

ada

yang

tingkatannya di atas Pemerintah Daerah lainnya dan ada yang tingkatannya di
bawahnya, sehingga suatu Pemerintah Daerah dapat meliputi beberapa
pemerintahan daerah bawahan. Antara Pemerintah Daerah yang satu dengan
yang lainnya terdapat pembagian wilayah yang menentukan pula batas
wewenang masing-masing. Dan Pemerintah Daerah ini memiliki 2 macam
bentuk, yaitu:
1. Pemerintah Daerah Administratif
Pemerintah Daerah administratif dibentuk karena Pemerintah Pusat
tidak mungkin dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan Negara
seluruhnya dari pusat sendiri. Untuk itu, maka perlu dibentuk
pemerintahan di daerah yang akan menyelenggarakan segala urusan pusat
di daerah. Pemerintah Daerah ini merupakan wakil dari pusat dan tugasnya
menyelenggarakan pemerintahan di daerah atas perintah-perintah atau
petunjuk-petunjuk Pemerintah Pusat. Karena itu tugasnya hanya sebagai
pelenyelenggara administratif saja, sehingga Pemerintah daerahnya disebut
sebagai Pemerintah Daerah Administratif.16
Pemerintah Daerah ini dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan
yang berkedudukan sebagai pegawai Pemerintah Pusat yang ditetapkan di
daerah administratif yang bersangkutan dan dibantu oleh pegawai-pegawai

15 Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan Amandemen I, II, III, IV, hal. 41-42
16 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet. Ke-7, (Jakarta: CV Sinar Bakti, 1988), hal. 250

Pemerintah Pusat lainnya yang ditempatkan di kantor-kantor atau jawatanjawatan pusat.
Sistem

daerah

administratif

ini

berdasarkan

atas

asas

“Dekonsentrasi”17. Ada pun latar belakang politik pelaksanaan asas
dekonsentrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda sejak tahun 1903
menurut Amrah Muslimin disebabkan oleh “Ethische Politiek” yang dianut
oleh Pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia dengan maksud tujuan
meninggikan tingkat kecerdasan dan kehidupan ekonominya.18
2. Pemerintahan Daerah Otonom
Disamping sistem pemerintahan daerah administratif, terdapat pula
sistem

pemerintahan

daerah

otonom

yang

berasaskan

pada

“Desentralisasi”19. Dikatakan demikian karena Pemerintah Pusat dalam
beberapa hal tertentu menyerahkan kekuasaannya kepada daerah masingmasing untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
Penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri juga berarti bahwa
rakyat di daerah diikutsertakan dalam menyelenggarakan kepentingan
masyarakat di daerah dan ini adalah sesuai dengan cita-cita Negara yang
demokratis. Mengurus rumah tangga sendiri, berarti masyarakat atau
daerah mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan kepentingannya
menurut inisiatif dan kebijaksanaan sendiri.
Karena itu dalam daerah-daerah otonom, pemerintahnya dilengkapi
dengan badan-badan legislatif daerah yang akan mengatur urusan rumah
tangga sendiri itu sesuai dengan keinginan masyarakat daerah itu. Jadi
17 Pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada aparat Pemerintah Pusat yang
ada di daerah untuk melaksanakan tugas Pemerintah Pusat di daerah dengan kata lain
“Dekonsentrasi” adalah perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah.
18 Amrah Muslimin, Ichtisat Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, (Jakarta:
Penerbit Jembatan: 1960), hal. 8-9
19 Penyerahan wewenang dari pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk
mengurus urusan yang ada di daerah. Dan wujud nyata dari desentralisasi adalah adanya otonomi
daerah

berbeda dengan pemerintahan di daerah menurut garis kebijaksanaan
pusat, maka Pemerintah Daerah Otonom menyelenggarakan pemerintahan
menurut kebijaksanaan daerah masing-masing, asal tidak menyimpang
dari kepentingan pusat.20
Tentang pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri dibahas pada
Undang-Undang No. 5 tahun 197421, yang mana ini adalah merupakan
pelaksanaan dari prinsip pokok yang telah digariskan dalam Ketetapan
Majelis permusyawaratan rakyat No. IV/MPR/1973.22
Berdasarkan

kebijakan

politik

hukum

pemerintahan

di

atas,

penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan penetapan strategi
dibawah ini:
Pertama, peningkatan pelayanan. Pelayanan bidang pemerintahan,
kemasyarakatan, dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial
guna mendorong atau menunjang dinamika interaksi kehidupan masyarakat
baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana
kewajiban masyarakat sebagai warga Negara yang baik. Bentuk-bentuk
layanan pemerintahan tersebut, antara lain meliputi rekomendasi, perizinan,
dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan, dan sebagainya.
Kedua,

pemberdayaan

dan

peran

serta

masyarakat.

Konsep

pembangunan dalam rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta
masyarakat lebih menonjol yang dituntut kreativitas masyarakat baik
pengusaha, perencana, pengusaha jasa, pengembang, dalam menyusun konsep
strategi pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada
memfasilitasi dan mediasi.
20 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, hal. 257
21 “Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh
pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa maka hubungan
yang serasi antara pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diserahkan
pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.”
22 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, hal. 279

Ketiga, peningkatan daya saing daerah. Guna tercapainya keunggulan
local dan apabila dipupuk kekuatan ini secara nasional akan terwujud
resultant keunggulan daya saing nasional. Di samping itu daya saing nasional
akan menunjang system ekonomi nasional yang bertumpu pada strategi
kebijakan perekonomian kerakyatan.23
Di samping itu, kebijakan politik hukum pemerintah guna efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, diperlukan peningkatan
dengan

lebih

memerhatikan

aspek-aspek

hubungan

antarsusunan

pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman
daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian
hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Dengan politik hukum itu maka yang paling esensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat otonomi ialah pemberian
kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian
hak dan kewajiban tertentu. Hubungan antar pemerintahan, yakni hubungan
antara pemerintahan pusat, pemerintah daerah provinsi, dengan pemerintah
kabupaten/kota, di era awal pemberlakuan otonomi daerah, kebiasaankebiasan penyelenggaraan pemerintahan daerah telah terjadi salah tafsir yang
berimplikasi pada hubungan masing-masing kepala daerah. Adapun hubungan
antar pemerintahan daerah , khususnya hubungan antara pemerintah daerah
dengan badan legislatif daerah sering terjadi disharmonisasi sehingga
mengganggu sistem kemitraan antara pemerintah daerah dan legislatif daerah.
Atas dasar itulah, UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tidak
sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi
daerah sehingga perlu diganti dengan UU No.32 tahun 2004.24

23 H. Siswanto Sunarno, hal. 3
24 Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Cet. Ke-1, (Bogor: Ghalia
Indonesia: 2007), hal. 167-168

Perjalanan otonomi daerah yang ditandai dengan berlakunya UU
No.22 tahun 1999 dalam sejarah penyelenggaraan otonomi daerah,
kelihatannya hanya mampu bertahan selama lima tahun akibat adanya
perubahan dinamis dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan
UU No.22 tahun 1999, akibat implikasi dengan adanya amandemen UUD
1945 mulai perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat. Di
samping itu, juga memerhatikan ketetapan-ketetapan MPR-RI, yang harus
dijabarkan dalam bentuk UU.25
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, sistem pemerintahan di
Indonesia meliputi:
1. Pemerintahan pusat, yakni pemerintah
2. Pemerintahan daerah, yang meliputi pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota
3. Pemerintahan desa
Presiden

sebagai

pemegang

kekuasaan

pemerintahan

Negara,

sedangkan gubernur dan bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan
pemerintahan daerah. Berdasarkan ajaran trias politika oleh Montesquieu,
dimana kekuasaan pemerintahan yang dipisahkan menjadi kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif.
Sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal istilah pemisahan
kekuasaan, namun terjadi sistem pembagian kekuasaan yang meliputi
kekuasaan menjalankan fungsi pemerintahan dalam arti kekuasaan eksekutif
dilakukan oleh presiden beserta menteri-menterinya. Kekuasaan membuat UU
atau legislatif dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan
yudikatif atau bidang peradilan, dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta
perangkat di daerah.26

25 H. Siswanto Sunarno, hal. 4
26 H.A.W. Widjaja, hal. 14-15

C. Sistem Pemerintah Daerah di Indonesia Dalam Konsep Hukum Islam
Dalam praktik sejarah politik umat islam, sejak zaman Rasulullah
hingga Khulafa Rasyidin jelas tampak bahwa Islam dipraktikkan di dalam
ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan, dimana kekuasaan terletak pada
pemerintah pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta
diberhentikan oleh Khalifah.
Baik di masa pemerintahan daerah masih “imarah khashah” di zaman
Nabi dan Khalifah Abu Bakar, maupun sesudah menjadi “imarah ‘ammah”
yang dimulai oleh Khalifah Umar, Negara Islam masih tetap merupakan
Negara kestuan.
Tetapi, setelah pemerintahan daerah menjadi “imarah istila” barulah
berubah bentuk menjadi Negara federasi. Muhammad Kurdi Ali mengatakan
bahwa pemerintahan daerah di zaman Khalifah Mansur, masih tetap
desentralisasi atau daerah-daerah otonom.27
Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu
sama lain, yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Uluwiyah di Mesir
dan Daulah Umawiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu
terpisah, akan tetapi kaum muslimin sebagai umat dimana saja dia berada,
bahasa apa saja yang ia pakai dan ke dalam kebangsaan apapun dia termasuk,
dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain.
Oleh karena itu, walaupun dunia Islam pada waktu itu terpacah menjadi tiga
pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya
menganggap ketiga-tiganya ada di dalam wilayah darul Islam.28
Model Negara kesatuan Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat
muslim di zaman sekarang tidak lagi dalam bentuk Negara yang wilayahnya
berskala internasional seperti pada masa dinasti-dinasti Islam masa lalu,
27 Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, (Jakarta: Iqro Pustaka, 1956), hal.
182-183
28 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syar’iah, (Bandung: Gunung Djati Press, 2000), hal. 111

melainkan dalam bentuk Negara bangsa (nation-state). Kini, umat Islam
mempraktikkan Negara kesatuan Islam dalam bentuk Negara bangsa (nationstate) sebagai respons terhadap konteks Negara-Negara yang berkembang di
masa sekarang.29
Dan Indonesia adalah salah satu Negara yang mempraktikkan Negara
kesatuan dalam bentuk Negara bangsa dan menganut sistem kepemerintahan
yang sama seperti masa ketika islam masih menjadi Negara kesatuan di masa
kejayaannya yaitu dengan desentralisasi atau otonom.
Jika dilihat dalam kajian fiqh siyasah, maka persoalan tentang
kepemerintahan daerah ini akan masuk dalam pembahasan siyasah dusturiyah,
karena siyasah dusturiyah membahas tentang hubungan antara pemimpin di
satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang
ada di dalam masyarakatnya.30

29 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, hal. 201
30 A. Djazuli, hal. 47