Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 439 K Pid 2010 Atas Tuduhan Penipuan Yang Dilakukan Oleh Oknum Notaris

25

BAB II
PERBUATAN NOTARIS YANG DAPAT DIKELOMPOKKAN
SEBAGAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

A. Aspek Hukum Pidana Penipuan
Menurut bahasa Indonesia penipuan berasal dari kata tipu yang berarti
perbuatan atau perkataan tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud
untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Sedangkan Penipuan merupakan
proses dari tindakan menipu. Secara yuridis penipuan merupakan perbuatan dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat palsu, tipu muslihat atau
kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan
barang, uang atau kekayaannya.32
Pengertian tersebut diambil dalam pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya

memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur obyektif yang meliputi
perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada
orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, menghapuskan piutang), dan cara
32

S.A. Soehandi, Kamus Populer Kepolisian, (Semarang: Koperasi Wira Raharja, 2006),

hlm.78.

25

Universitas Sumatera Utara

26

melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai
rangakaian kebohongan. Selanjutnya adalah unsur-unsur subyektif yang meliputi
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan maksud melawan

hukum.33
B. Unsur-Unsur Objektif Penipuan
Unsur Obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.34
1.

Perbuatan Menggerakkan (Bewegen)
Kata bewegen selain diterjemahkan dengan menggerakkan, ada juga sebagian

ahli dengan menggunakan istilah membujuk atau menggerakkan hati. KUHP sendiri
tidak memberikan keterangan apapun tentang istilah bewegen itu. Menggerakkan
dapat didefinisikan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan pengaruh
pada orang lain.
Objek yang dipengaruhi adalah kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan
adalah berupa perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara konkret
apabila dihubungkan dengan cara melakukannya. Cara melakukan perbuatan inilah
sesungguhnya yang lebih berbentuk yang bila dilakukan dengan perbuatan-perbuatan
yang benar dan dengan perbuatan yang tidak benar. Dengan perbuatan yang benar,


33

Konsultasi Hukum Gratis, “Sengketa Hutang Piutang= Sengketa Tindak Pidana
Penipuan”, http:/konsultasihukumgratis.blogspot.com. diakses tanggal 30 Mei 2014
34
P.A.F. Lamintang (a), Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm.193.

Universitas Sumatera Utara

27

misalnya dalam pasal 55 (1) KUHP membujuk atau mengganjurkan untuk melakukan
tindak pidana dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan
kekuasaan dan lain sebagainya.35
Sedangkan dalam penipuan menggerakkan adalah dengan cara-cara yang
didalamnya mengandung ketidakbenaran, palsu dan bersifat membohongi atau
menipu. Jika menggerakkan dilakukan dengan cara yang sesungguhnya, cara yang
benar dan tidak palsu, maka tidak mungkin kehendak orang lain (korban) akan
menjadi terpengaruh, yang pada akhirnya ia menyerahkan benda, memberi hutang

maupun menghapuskan piutang. Tujuan yang ingin dicapai pelaku dalam penipuan
hanya mungkin dicapai dengan melalui perbuatan menggerakkan dengan cara-cara
yang tidak benar.
2.

Yang Digerakkan (Orang)
Pada umumnya orang yang menyerahkan benda, orang yang memberi hutang

dan orang yang menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah orang yang
digerakkan itu sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan keharusan, karena dalam
rumusan Pasal 378 KUHP tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang
menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang adalah harus
orang yang digerakkan. Orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun
menghapuskan piutang bisa juga selain yang digerakkan, asalkan orang lain (pihak
ketiga) menyerahkan benda itu atas perintah/kehendak orang yang digerakkan.

35

P.A.F. Lamintang (b), Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
(Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm.149.


Universitas Sumatera Utara

28

Artinya penyerahan benda itu dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain
selain orang yang digerakkan. Kepada siapa barang diserahkan, atau untuk
kepentingan siapa diberinya hutang atau dihapusnya piutang, tidak perlu harus kepada
atau bagi kepentingan orang yang mengerakkan. Penyerahan benda dapat dilakukan
kepada orang lain selain yang menggerakkan, asalkan perantaraan ini adalah orang
yang dikehendaki oleh yang menggerakkan.36 Untuk ini ada arrest HR (24-7-1928)
yang menyatakan bahwa: “Penyerahan merupakan unsur yang konstitutif dari
kejahatan ini dan tidak perlu bahwa penyerahan dilakukan pada pelaku sendiri”. Dari
unsur maksud mengguntungkan yang ditujukan dalam 2 hal, yaitu diri sendiri atau
orang lain, maka dapat dipastikan bahwa dalam penipuan bukan saja untuk
kepentingan yang menggerakkan semata-mata melainkan dapat juga untuk
kepentingan orang lain.
3.

Tujuan Perbuatan


a.

Menyerahkan Barang
Pengertian benda dalam penipuan mempunyai arti yang sama dengan benda

dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak.
Pada pencurian, pemerasan, pengancaman dan kejahatan terhadap harta benda
lainnya, dimana secara tegas disebutkan unsur milik orang lain bagi benda obyek
kejahatan, berbeda dengan penipuan dimana tidak menyebutkan secara tegas adanya
unsur yang demikian. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa pada penipuan benda
yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal

36

Ibid., hlm.145.

Universitas Sumatera Utara

29


ini terkandung maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.37 Pendapat
ini didasarkan pada, bahwa dalam penipuan menguntungkan diri tidak perlu menjadi
kenyataan, karena dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan untuk
menambah kekayaan.
b. Memberi hutang dan menghapuskan piutang,
Perkataan hutang disini tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan
diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Hoge Raad dalam suatu arrestnya
(30-1-1928) menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan hutang adalah suatu
perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan” oleh karena itulah memberi
hutang tidak dapat diartikan sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan
diberi pengertian yang lebih luas sebagai membuat sesuatu perikatan hukum yang
membawa akibat timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan/membayar
sejumlah uang tertentu.38 Misalnya dalam suatu jual beli, timbul suatu kewajiban
pembeli untuk membayar/menyerahkan sejumlah uang tertentu yakni harga benda itu
kepada penjual. Demikian dengan istilah utang dalam kalimat menghapuskan piutang
mempunyai arti suatu perikatan.
Menghapuskan piutang mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar
membebaskan kewajiban dalam hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka.
Menghapuskan piutang adalah menghapuskan segala macam perikatan hukum yang

sudah ada, dimana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk
menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain.

37

LN
&
Associates,
“Penipuan
Dalam
Hukum
Pidana
Indonesia”,
http://www.lnassociates.com/articles-fraud-in-criminal-law-indonesia.html, terakhir diakses tanggal 30
Juli 2014.
38
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


30

4. Upaya-Upaya Penipuan
a. Menggunakan Nama Palsu (valsche naam),39
Ada dua pengertian nama palsu, pertama: diartikan sebagai suatu bukan
namanya sendiri melainkan nama orang lain. Misalnya Rahmat menggunakan nama
temannya yang bernama Rochmat, kedua: suatu nama yang tidak diketahui secara
pasti pemiliknya atau tidak ada pemiliknya. Misalnya orang yang bernama Aldi
menggunakan nama Samin, nama Samin tidak ada pemiliknya atau tidak diketahui
secara pasti ada tidaknya orang yang menggunakannya.
b. Menggunakan Martabat/Kedudukan Palsu (valsche hoedanigheid),40
Ada beberapa istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan
valsche hoedanigheid itu, ialah: keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan
kedudukan

palsu.

Kedudukan

palsu


itu

adalah

suatu

kedudukan

yang

disebut/digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan/mempunyai hak-hak
tertentu, padahal sesungguhya ia tidak mempunyai hak tertentu itu. Jadi kedudukan
palsu ini jauh lebih pengertiannya daripada sekedar mengaku mempunyai sesuatu
jabatan tertentu, seperti dosen, jaksa, notaris, dan sebagainnya. Sudah cukup ada
kedudukan palsu misalnya seseorang mengaku seorang pewaris, yang dengan
demikian menerima bagian tertentu dari boedel waris atau sebagai seorang wali, ayah
atau ibu, kuasa dan lain sebagainya. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (27-1-1893)
menyatakan bahwa “perbuatan menggunakan kedudukan palsu adalah bersikap secara
menipu terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa, seorang agen,


39
40

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

31

seorang wali, seorang kurator ataupun yang dimaksud untuk memperoleh
kepercayaan sebagai seorang pedagang atau seorang pejabat”.
c. Menggunakan Tipu Muslihat (listige kunstgreoen) dan Rangkaian Kebohongan
(zamenweefsel van verdichtsels),41
Kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat menipu atau
isinya tidak benar atau palsu, namun dapat menimbulkan kepercayaan/kesan bagi
orang lain bahwa semua itu seolah-olah benar adanya. Namun ada perbedaan, yaitu:
pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada rangkaian kebohongan berupa
rangkaian kebohongan berupa ucapan/perkataan. Tipu muslihat diartikan sebagai
suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau
kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar.
Karenanya orang bisa menjadi percaya dan tertarik atau tergerak hatinya. Tergerak
hati orang lain itulah yang sebenarnya dituju oleh si penipu, karena dengan tergerak
hatinya/terpengaruh kehendaknya itu adalah berupa sarana agar orang lain (korban)
berbuat menyerahkan benda yang dimaksud.
C. Unsur-Unsur Subjektif Penipuan
Unsur Subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.42
1. Maksud Untuk Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain,
Maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan menggerakkan harus ditujukan
pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain adalah berupa unsur kesengajaan
41
42

Ibid.
P.A.F. Lamintang (a), Op.Cit., hlm.193.

Universitas Sumatera Utara

32

dalam penipuan. Kesengajaan sebagai maksud ini selain harus ditujukan pada
menguntungkan diri, juga ditujukan pada unsur lain dibelakangnya seperti unsur
melawan hukum, menggerakkan, menggunakan nama palsu dan lain sebagainya.
Kesengajaan dalam maksud ini sudah harus ada dalam diri orang yang menggerakkan
sebelum atau setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan menggerakkan.
Menguntungkan artinya menambah kekayaan dari sudah ada, menambah kekayaan
ini baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.43
2. Dengan Melawan Hukum
Unsur maksud sebagaimana yang diterangkan di atas, juga menguntungkan
diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan menggerakkan haruslah
berupa maksud yang melawan hukum. Unsur maksud dalam rumusan penipuan
ditempatkan sebelum unsur melawan hukum, yang artinya unsur maksud itu juga
harus ditujukan pada unsur melawan hukum.44
Oleh karena itu tindakan melawan hukum disini adalah berupa unsur
subjektif. Dalam hal ini sebelum melakukan atau setidaknya ketika memulai
perbuatan menggerakkan, petindak telah memiliki kesadaran dalam dirinya bahwa
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan perbuatan itu adalah melawan
hukum.45 Melawan hukum disini tidak semata-mata diartikan sekedar dilarang oleh
undang-undang atau melawan hukum formil, melainkan harus diartikan yang lebih
43
Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media Publishing,
2006), hlm.49.
44
Ibid., hlm.50.
45
Eka An Aqimuddin, dan Marye Agung Kusmagi, Tips Hukum Praktis: Solusi Bila Terjerat
Kasus Bisnis, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010), hlm.74.

Universitas Sumatera Utara

33

luas yakni sebagai pertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat, suatu
celaan masyarakat. Karena unsur melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan
tindak pidana, maka menjadi wajib dibuktikan dalam persidangan. Perlu dibuktikan
ialah si petindak mengerti maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
menggerakkan orang lain dengan cara tertentu dan seterusnya dalam rumusan
penipuan sebagai dicela masyarakat.
D. Bentuk-Bentuk Perbuatan Notaris Yang Dapat Dikelompokkan Sebagai
Tindak Pidana Penipuan
Seorang Notaris dapat dipidanakan apabila dapat dibuktikan secara mendalam
dengan mencari unsur kesalahan atau kesengajaan dari notaris yang merupakan suatu
tindakan tanpa dasar hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Untuk kepentingan
pembuktian tersebut, maka diperlukan keterangan dari Notaris oleh penyidik
disamping itu untuk menghindari terjadinya kesalahan dakwaan tersebut, maka
diperlukan kehadiran Notaris dalam pemeriksaan pidana. Dengan kehadiran Notaris
dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, sampai dengan persidangan, kiranya dapat
membantu para penegak hukum untuk membuktikan apakah Notaris terlibat dalam
tindak pidana yang dipersangkakan ataukah hanya berakibat pada akta yang dibuat
yaitu hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau
menjadi batal demi hukum sebagaimana ketentuan pasal 84 UUJN.46

46

Agustining, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi
Pidana, Tesis, (Medan: Magister Kenotariatan FH USU, 2009), hlm.87.

Universitas Sumatera Utara

34

Faktor

yang

menyebabkan

Notaris

diperlukan

kehadirannya

dalam

pemeriksaan perkara pidana apabila akta yang dibuat oleh Notaris menimbulkan
kerugian yang diderita para pihak maupun pihak lain dan berdasarkan bukti awal
bahwa Notaris patut diduga turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu
tindak pidana, berkaitan dengan kewenangan Notaris berdasarkan Pasal 15 UUJN
yaitu membuat akta otentik dengan adanya unsur-unsur tindak pidana seperti :47
1. Pasal 55 KUHP yaitu turut serta melakukan tindak pidana;
2. Pasal 231 KUHP yaitu membantu pelaku dalam melakukan kejahatan;
3. Pasal 263 KUHP yaitu membuat surat palsu;
4. Pasal 266 KUHP yaitu memberikan keterangan palsu dalam akta otentik;
5. Pasal 372 KUHP yaitu penggelapan;
6. Pasal 378 KUHP yaitu penipuan;
7. Pasal 385 KUHP yaitu menjual, menukarkan atau membebani dengan
credietverband (sekarang Hak Tanggungan) atas tanah yang belum bersertifikat.
E. Tanggung Jawab Notaris Secara Pidana Atas Akta Yang Dibuatnya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) tidak
mengatur mengenai ketentuan pidana. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran
yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJN, sanksi tersebut dapat berupa sanksi
terhadap akta yang dibuatnya dan terhadap Notaris. Sanksi terhadap akta yang
dibuatnya menjadikan akta yang dibuat oleh notaris turun derajatnya dari akta otentik

47

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

35

atau menjadi akta di bawah tangan, sedangkan untuk Notaris diberikan sanksi mulai
dari teguran hingga berujung pada pemberhentian dengan tidak hormat.
Nico membedakan tanggung jawab Notaris menjadi empat macam yaitu:48
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap
akata yang dibuatnya;
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta
yang dibuatnya;
3. Tanggung Jawab Notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode
etik Notaris.
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, apabila melakukan pelanggaran terhadap larangan tersebut maka akan
diiukuti oleh sanksi yang berupa pidana tertentu. Dalam menjalankan jabatannya
sebagai Notaris maka pidana yang dimaksudkan adalah pidana yang dilakukan oleh
notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik yang diamanatkan oleh UUJN, bukan merupakan kapasitas pribadi atau
individu dari notaris tersebut sebagai subjek hukum.
Unsur-unsur perbuatan pidana meliputi:49

48

Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center for
Documentation and Studies of Business Law, 2003), hlm.21.
49
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm.38-39.

Universitas Sumatera Utara

36

1. Perbuatan (manusia)
Perbuatan merupakan tindakan dan kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan
tersebut, Moeljatno berpendapat yang dimaksud dengan perbuatan manusia dalam
undur-undur tindak pidana adalah kelakuan plus kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa:
“Dalam hukum pidana, kelakuan atau tingkah laku itu ada yang bersifat positif
dan yang negatif. Di dalam hal kelakuan yang bersifat positif dan yang negatif.
Di dalam hal kelakuan yang bersifat positif terdakwa berbuat sesuatu,
sedangkan dalam hal yang bersifat negatif seseorang tidak berbuat sesuatu yang
seharusnya dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan kelakuan adalah sikap
jasmani, sebab tidak berbuat sesuatu tidak dapat dimasukkan dalam pengertian
tersebut dan yang termasuk dalam pengertian kelakuan tersebut terbatas hanya
pada sikap jasmani yang disadari saja.”
2. Memenuhi rumusan undang-undang (syarat formil)
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah memenuhi
rumusan atau unsur-unsur yang terkandung dalam aturan tersebut. Hal ini berasal
dari adanya asas legalitas “nullum delictum nulla poena sine pravia lege
poenali”, dimana seseorang tidak dapat dipidana atas perbuatan yang tidak ada
aturannya dalam ketentuan hukum pidana.
3. Bersifat melawan hukum
Selain dua unsur di ats, untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana
juga harus memenuhi unsur yang ketiga yaitu unsur melawan hukum, unsur ini
merupakan unsur yang mutlak dari tindak pidana.
Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku
kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan

Universitas Sumatera Utara

37

membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang
tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif
maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur
subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet) secara
teori adalah mencakup makna willen en witens (menghendaki dan atau mengetahui),
maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah:50
1. Bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum;
2. “Menghendaki” atau setidaknya “'mengetahui/menyadari” bahwa perbuatannya
sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain
tersebut menyerahkan suatu benda/ memberi hutang/ menghapuskan piutang
kepadanya (pelaku delik);
3. “Mengetahui/ menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang
lain, sehingga menyerahkan suatu benda/ memberi hutang /menghapuskan
piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau
sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak
mudah untuk ditemukan fakta hukumnya, karena harus dibuktikan adanya maksud
menguntungkan diri sendiri, adanya kehendak, adanya kesadaran dari pelaku delik
yang bersifat immateriil. Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban” penipuan
semula memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian
50

P.A.F Lamintang (b), Op.Cit., hlm.142.

Universitas Sumatera Utara

38

murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana dinyatakan bahwa seseorang telah
memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan
informasi peluang usaha kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin
menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut namun kemudian tidak berjalan
seperti yang diharapkan/merugi. Karena pengadilan tetap harus membuktikan bahwa
ketika orang tersebut menyampaikan informasi peluang usaha kepada orang lain tadi,
harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang bermaksud agar
orang yang diberi informasi tadi tergerak menyerahkan benda/ hartanya dan
seterusnya, informasi usaha tersebut adalah palsu/ bohong dan ia dengan semua itu
memang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.51
Di samping itu, karena sifat/ kualifikasi tindak pidana penipuan adalah
merupakan delik formil-materiil, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan
pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya
kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan
disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 378
KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di
Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wanprestasi pun seharusnya
tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai
kejahatan penipuan.52

51

M. Abdul Kholiq, Tinjauan Yuridis Tentang Wanprestasi, Penipuan dan Penggelapan,
Jurnal, (Yogyakarta: UII, 2010), hlm.3
52
Ibid., hlm.4.

Universitas Sumatera Utara

39

Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah mengaturnya
dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu
dari Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik
genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP
yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam
memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik
penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
1. Unsur Subyektif Delik
berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang
dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan
2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas :
a. Unsur barang siapa;
b. Unsur menguasai secara melawan hukum;
c. Unsur suatu benda;
d. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
e. Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan, Majelis
Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah
dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti

Universitas Sumatera Utara

40

unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur
obyektifnya.53 Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan
pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah
benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang :
1.

“Menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan
hukum.

2.

“Mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah
sebuah benda.

3.

“Mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya
adalah milik orang lain.

4.

“Mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif

doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut :
1.

Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang
lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk
toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai
benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut
van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini
cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam
pergaulan masyarakat”.

53

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm.112.

Universitas Sumatera Utara

41

2.

Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku
penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada
pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa
disebut dengan istilah “benda bergerak”.

3.

Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau
seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut
berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat
nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.
Berdasarkan paparan singkat mengenai apakah hakekat perbuatan wan

prestiasi, penipuan, dan pengelapan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa meskipun
batas antara ketiganya dalam realitas kasus seringkali memang tipis, namun tetap
dapat dibedakan berdasar doktrin-doktrin hukum terkait. Sehingga suatu kasus wan
prestasi sebagaimana telah diilustrasikan pada pendahuluan, yang hakekatnya
merupakan masalah murni keperdataan (kontraktual indivual), semestinya tetap harus
dipandang dan diletakkan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana
apalagi dengan “pemaksaan rekayasa” sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun
penggelapan, terlebih lagi jika hal itu dilakukan dengan maksud atau tujuan-tujuan
tertentu. Disini etika berperkara atau mendampingi perkara seorang klien yang
berbasis filosofi pengungkapan dan pembelaan yang benar (bukan sekedar yang
bayar), menjadi hal yang signifikan untuk direnungkan dan lebih penting lagi ialah
dipraktekkan.

Universitas Sumatera Utara

42

Berdasarkan pasal 91 UUJN yang merupakan pasal penutup dengan tegas
mencabut dan menyatakan tidak berlakunya peraturan-peraturan yang terdahulu
mengenai jabatan notaris, sehingga yang menjadi acuan dalam pelaksanaan jabatan
Notaris saat ini adalah UUJN. Tanggung jawab Notaris dalam UUJN secara eksplisit
disebutkan dalam pasal 65 UUJN yang menyatakan bahwa Notaris (Notaris
Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan pejabat sementara Notaris) bertanggung
jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol Notaris telah diserahkan
atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol Notaris.
Terdapat korelasi yang sangat kuat antara UUJN dengan kode etik profesi.
Kode etik profesi mengatur Notaris secara internal dan UUJN secara eksternal.
Menurut Muhammad, sebagaimana dikutip Nico, dan Abdul Ghofur Anshori, Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya:54
1.

Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta
yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan karena jabatannya.

2.

Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu, artinya akta yang dibuatnya itu
sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan
dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akata
yang dibuatnya itu.

54

Ibid., hlm.49.

Universitas Sumatera Utara

43

3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna.
Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungjawab terhadap akta
yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung
sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan
Notaris atau kesalahan para pihak tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya
terhadap notaris, ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara Notaris dengan
salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan Notaris mengandung
cacat hukum yang terjadi karena kesalahan Notaris baik karena kelalaiannya maupun
karena

kesengajaan

Notaris

itu

sendiri

maka

Notaris

memberikan

pertanggungjawaban. Akta otentik sebagai produk Notaris yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta Notaris tidak
memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit,
individual, dan final, dan akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak para
pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris
dan bukan kehendak Notaris. Akta notaris yang mana akibat kelalaian Notaris dalam
pembuatannya sehingga mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut menjadi batal demi
hukum, dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris yang membuat akta tersebut.
Akhir-akhir ini banyak Notaris yang dipanggil ke kantor polisi, baik dalam
kapasitasnya sebagai saksi atau diindikasikan menjadi tersangka, maupun yang sudah

Universitas Sumatera Utara

44

berstatus sebagai tahanan POLRI. Jumlah kasus tindak pidana yang melibatkan
notaris, sejak tahun 2005 sampai 2007 di Direktorat Reskrim dan satuan wilayah di
jajaran Poldasu, sebanyak 153 kasus. Dimana 10 (sepuluh) orang Notaris sebagai
tersangka dan sebanyak 143 orang Notaris jadi saksi.55
Dalam pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan Notaris/PPAT telah ada
suatu kesepakatan antara POLRI dengan Ikatan Notaris Indonesia yang tertuang
dalam Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
Ikatan Notaris Indonesia yaitu No. Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PPINI/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006, Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah No.Pol:
B/1055/V/2006 dan Nomor: 05/PPIPPAT/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006 tentang
Pembinaan Dan Peningkatan Profesionalisme Di Bidang Penegakan Hukum. Notaris
yang melanggar hukum dalam melaksanakan jabatannya baik disengaja maupun
karena kelalaian kini tidak bisa tenang lagi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat
membuat pengaduan ke pihak Majelis Pengawas Notaris dan Kepolisian. Apabila
Notaris mengabaikan tugas jabatannya dan keluhuran dari martabatnya dan
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku maka
Majelis Pengawas dapat bertindak tegas mengenakan sanksi. Bahkan dapat
memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk

55

Waspada Online, Notaris Terlibat 153 Kasus Tindak Pidana, http://www.waspada.co.id/
index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=6025, terakhir diakses tanggal 17 Januari 2009

Universitas Sumatera Utara

45

mencabut izin operasionalnya. Kepada Notaris yang bersangkutan tidak tertutup
kemungkinan untuk dituntut ke pengadilan, baik dalam perkara pidana maupun
perkara perdata.56
Atas dugaan Notaris turut serta melakukan tindak pidana dan atau
memberikan keterangan palsu ke dalam akta, maka Notaris harus bertanggung jawab
secara pidana, mulai mengikuti pemeriksaan dalam proses penyidikan hingga proses
pembuktian di persidangan dan melaksanakan keputusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, dan apabila terbukti bersalah akan dijatuhi sanksi pidana
mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tindak lanjut dari putusan sanksi pidana terhadap seorang Notaris yang
terbukti bersalah maka Majelis Pengawas Notaris akan mengusulkan kepada Menteri
Hukum dan HAM untuk mencabut ijin operasionalnya, apabila dijatuhi dengan
hukuman penjara 5 tahun atau lebih maka Notaris yang bersangkutan akan
diberhentikan dengan tidak hormat dan protokolnya diserahkan kepada Notaris lain
yang ditunjuk menteri atas usulan Majelis Pengawasan Pusat.

56

Edita Natasari Sembiring, Kewenangan Notaris Dalam Status Tersangka Menjalankan
Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat Akta Otentik, Tesis, (Medan: Magister Kenotariatan FH USU,
2009), hlm.18.

Universitas Sumatera Utara