INTEGRASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNI

INTEGRASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
DALAM PEMBELAJARAN: SOLUSI ATAU UTOPIA?
Sabri
Abstrak: Contextual Teaching and Learning (CTL) yang diharapkan
menjadi napas pelaksanaan kurikulum sekolah menuntut kreativitas guru
yang tinggi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Kreativitas
tersebut diperlukan guna menjalankan proses belajar mengajar yang
diwarnai dengan komponen CTL. Pencapaian kompetensi adalah tujuan
pembelajaran yang esensial dan ini dapat difasilitasi secara lebih efektif
dengan menggunakan alat bantu yang tepat dalam pembelajaran.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang diintegrasikan ke
dalam proses belajar mengajar dapat membantu pencapaian kompetensi
yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien.
Kata Kunci: Pembelajaran, Teknologi Informasi dan Komunikasi,
integrasi.

PENDAHULUAN
Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran
konteksual menjadi warna yang diharapkan mengedepan dalam penerapan
kurikulum sekolah di Indonesia. Sejarah CTL bermula dari pandangan
seorang ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916

mengemukakan teori kurikulum dan metodologi pembelajaran yang terkait
dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual
berakar pada paham progressivisme yang intinya adalah “… siswa akan
belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan
apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa
terlibat aktif dalam proses belajar …” (Nurhadi, Yasin, & Senduk, 2004, h. 8).
Pendapat ini sejalan dengan ungkapan lugas Ausubel (1968) bahwa faktor
terpenting yang mempengaruhi belajar adalah pengetahuan yang telah dimiliki
oleh peserta didik; hal tersebut harus digali dan proses pembelajaran
selanjutnya dimulai darinya.
Penerapan pembelajaran kontekstual mensyaratkan tujuh komponen,
yaitu: konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan,
refleksi, dan penilaian yang sebenarnya. Memunculkan setiap komponen
untuk mewarnai pembelajaran kontekstual menuntut guru lebih kreatif dan
dukungan kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai. Perangkatperangkat teknologi mutakhir (hampir) mutlak diperlukan untuk membantu
guru dalam melaksanakan tugas professionalnya. Tampaknya, tugas guru
bukannya menjadi lebih ringan dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan; malah sebaliknya, peran guru, yang berubah dari peran
tradisional sebagai sumber utama ilmu menjadi fasilitator pembelajaran,
menjadi semakin rumit dan menantang.


1

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah teknologi yang
berkembang sangat dahsyat di dunia saat ini. Hampir semua aspek dinamika
kehidupan diarahkan untuk dikomputerisasi. Kemudahan-kemudahan hidup
memang sangat mungkin diwujudkan dengan penggunaan TIK yang
bertanggung jawab, proporsional, dan bermoral. TIK sekarang ini
memungkinkan terjadinya proses komunikasi sejagat dari dan ke seluruh
penjuru dunia sehingga batas wilayah suatu negara menjadi (hampir) tiada.
Implikasinya adalah bahwa warga dunia dengan sangat mudah saling
terhubung menjadi satu kesatuan yang disebut perkampungan dunia yang
cenderung tidak lagi terbatasi oleh sekat-sekat geografis. Dunia menjadi
terasa lebih sempit dan kecil sehingga dapat digenggam, dijangkau, dan
diakses hanya dengan tindisan seujung jari.
Peran TIK sebagai alat yang memungkinkan perubahan—yang baik
atau buruk—tidak bisa disangkal. Akan tetapi, penggunaan TIK dalam
pendidikan di beberapa negara berkembang malahan dikaitkan dengan
masalah pembiayaan tinggi dan potensi kegagalan (Gaible & Burns, 2005).
Lebih lanjut, Gaible dan Burns (2005) mengatakan bahwa TIK memang

bukanlah jawaban untuk masalah pendidikan, khususnya di negara
berkembang, tetapi paling tidak TIK bisa membantu.
TIK DAN PENDIDIKAN
TIK adalah teknologi yang berkembang sangat pesat dan dahsyat
saat ini. Segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses dan
mengirimkan informasi dalam bentuk elektronik, seperti micro computer,
komputer mainframe, pembaca barcode, perangkat lunak pemroses
transaksi, perangkat lunak lembar kerja (worksheet), dan peralatan
komunikasi dan jaringan merupakan sebagian contoh teknologi ini. Menurut
Wardiana (dalam Munir, 2008), TIK adalah teknologi yang digunakan untuk
mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun,
menyimpan, dan memanipulasi data dengan berbagi cara untuk
menghasilkan informasi yang berkualitas dan digunakan untuk keperluan
pribadi, pendidikan, bisnis, dan pemerintahan sebagai pertimbangan
strategis untuk pengambilan keputusan. Informasi yang berkualitas paling
tidak memenuhi kriteria sahih, terandalkan, relevan, akurat, dan tepat waktu.
Integrasi TIK dalam pembelajaran adalah peluang sekaligus
tantangan yang besar. Sederhananya, menurut Gaible dan Burns (2005),
integrasi teknologi mengacu pada penggunaan komputer dan Internet untuk
mendukung pembelajaran. Pengintegrasian TIK bukan menjadikannya

matapelajaran tersendiri, melainkan digunakan dengan tujuan yang terkait
dengan pencapaian kompetensi tertentu dalam pembelajaran. TIK digunakan
sebagai alat pembelajaran dan pembelajaran berlangsung melalui
penggunaannya (Gaible & Burns, 2005).
Kehadiran TIK hampir tidak memberikan pilihan lain kepada dunia
pendidikan selain turut serta dalam memanfaatkannya. Melalui pemanfaatan
TIK, siapa saja dapat memperoleh layanan informasi pendidikan dari
lembaga pendidikan mana saja—yang menyediakan layanan online, di mana
2

saja, dan kapan saja dikehendaki. Dalam bidang pendidikan, inovasi TIK
telah meluas digunakan mulai dari kebutuhan administrasi hingga pada
ranah interaksi individu dalam dunia maya yang dibentuk menyerupai
suasana belajar mengajar di kelas.
Penggunaan TIK sebagai teknologi pendidikan baru secara strategis
dipandang mampu meningkatkan proses dan hasil belajar. Supaya efektif,
teknologi tersebut perlu didukung dengan pendekatan pedagogis yang
inovatif sedemikian sehingga memungkinkan terwujudnya kolaborasi,
komunikasi, dan mobilitas dinamis dan bermakna (Webster & Murphy,
2008). Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran diyakini akan: (a)

meningkatkan kualitas pembelajaran; (b) mengembangkan keterampilan
TIK yang diperlukan oleh siswa ketika bekerja dan dalam kehidupannya
nanti; (c) memperluas akses terhadap pendidikan dan pembelajaran; (d)
menjawab keharusan berpartisipasi dalam penggunaan TIK; (e)
mengefisienkan biaya pendidikan; dan (f) meningkatkan rasio biayamanfaat dalam pendidikan (Pannen, Yunus, & Prakoso, 2003). Penggunaan
TIK yang tepat tidak hanya memacu kreativitas, memperluas kebebasan,
dan memungkinkan fleksibilitas bagi guru dan siswa, tetapi, yang lebih
penting lagi, juga merubah beberapa dimensi proses belajar mengajar.
Perbedaan antara kelas biasa dan kelas yang menggunakan TIK (dan
Internet) dirangkumkan oleh Kessell (1997) pada tabel berikut.
Dimensi
Sumber pengetahuan
utama
Kelompok belajar
Rentang umur
peserta didik
Inisiator belajar
Jadwal belajar
Tempat belajar
Peralatan belajar

Gaya belajar
Keadaan ilmu
pengetahuan
Pertanyaan siswa
diarahkan ke
Evaluasi
Kegiatan
laboratorium

Kelas Biasa
Guru

Kelas berbasis IT
Berbagai sumber: Internet

Kelas atau kelompok
kecil
Seragam

Kelas atau individual sebatas

luasnya jangkauan jaringan
8 hingga 80

Pada umumnya guru
Di sekolah, jam
tertentu
Sekolah
Materi bacaan dan
tertulis
Linier
Pengetahuan jarang
diperbaharui
Guru: waktu
bertanya terbatas
Guru sebagai sumber
utama
Mungkin sedikit dari
waktu di kelas

Siswa

Di sekolah dan juga di
waktu yang lain
Dekat komputer
Teknologi komputer
Sejajar
Pengetahuan terkini
Guru dan pakar: waktu
bertanya fleksibel
Proyek sebagai sumber
utama
Secara tidak langsung
sebagai simulasi
laboratorium
3

Dalam kelas yang menggunakan TIK secara efektif, terjadi
peningkatan yang nyata dalam proses belajar mengajar—peningkatan
adalah kata kunci. TIK tidak akan menggantikan guru, melainkan hanya
meningkatkan upayanya di mana kegiatan belajar bisa lebih hidup dengan
banyaknya interaksi bermakna yang terjadi antara siswa dengan perangkat

lunak, siswa dengan siswa lainnya, dan siswa dengan guru. Bagaimana
sebaiknya TIK digunakan dalam pembelajaran? Beberapa contoh sekolah
(di luar negeri) yang menggunakan TIK menempatkannya sebagai latar
belakang saja. Perangkat lunak pembelajaran digunakan untuk memicu dan
memacu siswa belajar, bukan mendominasi pembelajaran siswa, meskipun
disadari bahwa ada saja beberapa paket pembelajaran (dan juga situs www)
yang berkualitas sangat baik dan sangat bisa diandalkan.
Apakah TIK bisa menjadikan gaya pengajaran seorang guru berbeda
dari yang sebelumnya? Semua guru yang baik memang memiliki gaya
mengajar yang berbeda. Pembelajaran berbasis penemuan tidak
mengharuskan tersedianya akses ke situs www. Tetapi seringkali, dengan
mengarahkan siswa mengakses situs www tertentu yang telah dievaluasi
dengan baik, proses penemuan bisa lebih bermakna dan menarik bagi siswa.
Kerja kelompok, interaksi komunikasi dalam kelas, atau kegiatan
pemecahan masalah difasilitasi oleh guru yang baik, bukannya oleh
perangkat lunak yang mahal; meskipun tidak bisa dimungkiri bahwa
perangkat lunak yang tepat memang sangat membantu. Keterkaitan antara
mata pelajaran dimungkinkan oleh kurikulum yang baik, silabus yang
dirancang dengan matang, dan guru yang berkemampuan dan berdedikasi
tinggi, bukannya dengan perangkat keras yang termutakhir dan semacamnya.

Kebanyakan guru telah menyadari bahwa TIK sangat membantu
dalam proses belajar mengajar. Akan tetapi, juga masih banyak pendapat
umum yang cenderung tidak akurat dan sifatnya menyurutkan semangat
misalnya: “Program pengolah kata mengurangi kemampuan siswa untuk
menulis,” padahal, adanya kemudahan revisi, kemudahan dalam presentasi,
dan kemudahan lainnya sangat membantu siswa meningkatkan kemampuan
menulisnya. Juga, ungkapan seperti “Interaksi antar siswa berkurang karena
mereka akan hanya berfokus pada layar komputer,” padahal justru kegiatan
belajar yang berbasis TIK yang difasilitasi dengan baik malah mendorong
interaksi sebagai komponen utama pembelajaran aktif.
APA YANG DAPAT DILAKUKAN?
Pada dasarnya, terdapat tiga kategori guru ditinjau dari sikapnya
terhadap teknologi informasi dan komunikasi. Kelompok yang pertama
adalah guru-guru yang phobia terhadap TIK, misalnya komputer. Mereka
hampir tidak mau (atau mungkin juga tidak tahu) menggunakan komputer.
Penggunaannya—kalau ada—dilakukan seminimal mungkin; mereka masih
belum merasa nyaman menggunakannya. Kalaupun digunakan, tidak efektif.
Kelompok kedua adalah guru-guru yang cukup mampu menggunakan
komputer tetapi memiliki keinginan setengah hati untuk menggunakan
komputer dalam pembelajarannya. Penggunaannya dilakukan hanya karena

4

ada tuntutan dari pihak tertentu, yang tidak didasari dengan pelatihan yang
memadai untuk menggunakannya. Akhirnya, penggunaan fasilitas TIK yang
ada di sekolah tidak seefektif yang diharapkan. Kelompok ketiga adalah
guru-guru yang dengan sadar dan nyaman mengoptimalkan penggunaan
komputer dalam proses pembelajaran guna mencapai kompetensi yang telah
ditetapkan. Sekolah juga mendukung dengan penyediaan fasilitas dan
alokasi dana untuk pelatihan yang mencukupi. Pengklasifikasian ini
mungkin saja belum mencakup guru secara keseluruhan yang sangat
mungkin masih banyak yang tidak mampu mengidentifikasi diri, pada
kelompok mana dari ketiganya mereka berada, atau malah sama sekali tidak
pada salah satupun.
Bagi para guru, menurut Gaible dan Burns (2005), integrasi TIK ke
dalam pembelajaran menyangkut beragam aspek, yaitu: aspek teknis
(bagaimana menggunakan TIK?); aspek fungsional (apa fungsi TIK yang
bisa membantu dalam pekerjaan?); aspek logistik (bagaimana bisa
menggunakan sedikit TIK untuk banyak peserta didik?); aspek afektif
(akankah TIK menggantikan peran guru? akankah peserta didik tidak
menghargai guru lagi jika mereka lebih banyak terhubung dengan komputer
dibandingkan berinteraksi dengan guru?); aspek organisasi (bagaimana
menata kelas untuk mendukung penggunaan TIK? bagaimana menggunakan
TIK sebagai bagian dari kegiatan tang telah dilakukan di kelas?); aspek
konseptual (bagaimana guru belajar dari dan dengan TIK?); aspek
instruksional (bagaimana TIK membantu peserta didik belajar dengan cara
yang berbeda? Bagaimana TIK mendukung kurikulum? Bagaimana TIK
mendukung pembelajaran? bagaimana seharusnya pembelajaran yang
mengintegrasikan TIK); dan aspek evaluasi (bagaimana menilai
pembelajaran yang berbasis pada proyek dengan bantuan TIK? bagaimana
pembelajaran dengan TIK disesuaikan dengan ujian nasional?)
Di kalangan tertentu, penggunaan TIK untuk kegiatan pembelajaran
dirasakan sudah menjadi keharusan. Persoalannya adalah bahwa integrasi
TIK tidak semata-mata menyangkut masalah teknologi, tetapi dalam
prakteknya, lebih banyak berurusan dengan pelaku-pelaku pembelajaran.
Pada dasarnya, pengembangan pembelajaran berbasis TI terkait dengan:
1. penyediaan sarana fisik berupa peralatan TIK dan jaringannya;
2. persiapan untuk perubahan proses pembelajaran; dan
3. pengembangan materi presentasi dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Ketiga hal ini memiliki hubungan saling ketergantungan yang erat.
Komputer menawarkan fasilitas multimedia dalam satu sistem untuk
penyajian materi pembelajaran. Layanan media-media presentasi lama
dalam bentuk papan tulis, tape recorder, OHP (Over Head Projector), slide
projector, movie projector, sampai ke alat-alat peraga pembelajaran dan
praktikum dapat diberikan dengan kualitas yang sama atau setidaknya
mendekati dengan menggunakan sebuah komputer. Komputer menyatukan
media presentasi dengan alat pengembangan presentasi itu sendiri.
Penyediaan sarana fisik peralatan TIK adalah investasi yang menjanjikan
dalam hal peningkatan mutu proses pembelajaran.
5

Penyediaan sarana TIK yang dirangkai dalam suatu jaringan di
sekolah diperlukan untuk menjalankan proses belajar yang berbasis TIK.
LAN (Local Area Network) dan Intranet memungkinkan siswa mengakses
sumber belajar mereka pada komputer mana saja yang terhubung. Guru
kemudian mengisikan bahan dan sumber pembelajaran ke dalam Intranet
sekolah. Kerja tambahan ini mungkin akan terasa sebagai beban berat pada
awalnya. Akan tetapi, jika dilakukan dengan penuh dedikasi, maka ini akan
menjadi investasi untuk kemudian tinggal diperbaiki atau ditingkatkan
sesuai dengan kebutuhan dan kreativitas guru daru waktu ke waktu. Materi
pelajaran dapat ditampilkan dalam beragam model. Ini dapat berupa dokumen
tertulis biasa (buku elektronik), slide presentasi, rekaman film, program
interaktif, atau bentuk lainnya. Untuk suatu program pengajaran online yang
lengkap, media diskusi hingga alat dan hasil penilaian juga tersedia. Bahan
pembelajaran juga bisa dibuat dalam bentuk CD-ROM yang dapat
digunakan oleh siswa di sekolah atau di luar sekolah.
Dalam lingkungan belajar seperti tersebut di atas, interaksi guru
dengan siswa tidak akan berkurang, tetapi lebih mungkin akan berubah.
Guru membantu dan mengarahkan siswa secara lebih fleksibel sehingga
peran fasilitasinya terlaksana secara efektif. Untuk sekolah yang jaringannya
terhubung dengan Internet, peran guru akan lebih penting dalam hal
membantu siswa menyeleksi sumber-sumber informasi berupa situs www
yang baik dan tepat. Memperhatikan secara umum kondisi nyata sekolah,
salah satu yang mungkin dilakukan adalah melaksanakan proses belajar
mengajar dalam suatu ruangan (laboratorium) komputer tertentu yang
disediakan di sekolah. Dengan banyaknya mata pelajaran di sekolah, proses
belajar mengajar berbasis TIK tentu tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Guru mungkin akan menjadikan kegiatan belajar berbasis TIK sebagai salah
satu variasi bagi siswa.
Alternatif lain adalah menyebarkan komputer ke masing-masing
ruang kelas, sehingga setiap kelas memiliki satu unit komputer yang
terhubung dengan yang unit lain. Yang dapat dilakukan adalah guru
menggunakan komputer tersebut untuk produktivitas pribadi, misalnya
membantu tugas-tugas administratif (penyiapan rencana pembelajaran,
administrasi dan dokumentasi penilaian); guru menggunakan komputer
tersebut untuk keperluan presentasi di kelas yang sebaiknya dilengkapi
dengan LCD projector; perangkat lunak interaktif digunakan dalam
komputer sehingga siswa secara aktif terpacu dalam kegiatan belajar yang
dibantu dengan perangkat tersebut; dan komputer tersebut digunakan
sebagai pusat atau stasiun pembelajaran (sumber informasi). Penggunaan
ini tetap akan memperhatikan kebutuhan dan kondisi kelas. Intinya, TIK
dapat difungsikan sekreatif mungkin oleh guru dalam proses belajar
mengajar. Intensitas dan tingkat penggunaannya sangat bergantung pada
profesionalisme guru, ketersediaan sarana dan prasaran, serta dukungan dari
pihak sekolah. Penggunaan yang tepat akan menjadikan TIK sebagai solusi
dalam mengatasi tantangan, kerumitan, dan besarnya beban kerja guru.

6

Apa yang dapat Dilakukan
dengan Satu Komputer
Satu komputer untuk
produktivitas pribadi

Satu komputer untuk
keperluan presentasi

Satu komputer dan perangkat lunak interaktif

Satu komputer sebagai
pusat/stasiun belajar
Kelas dengan Satu Komputer (Kessell, 2001)
Pada saat memfasilitasi pembelajaran di kelas dengan menggunakan
program-program perangkat lunak komputer, kenyataannya guru memiliki
kesempatan yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan siswa dan
dibutuhkan kreativitas yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran
yang demikian. Yang penting, guru memiliki keterampilan dan pengetahuan
yang memadai dan mereka berupaya keras untuk mengembangkan
profesionalismenya untuk menghadapi laju perkembangan kemampuan dan
tuntutan belajar siswa. Dalam konteks pembelajaran, pemanfaatan TIK,
menurut Daniel dan David dalam (Isjoni, Ismail, & Mahmud, 2008), terbagi
atas tiga yaitu: mempresentasikan informasi, misalnya komputer dengan
mudah menampilkan grafik dan tabel secara otomatis hanya dengan
memasukkan data sesuai dengan yang diinginkan; menyelesaikan tugastugas rutin dengan cepat dan otomatis; dan memperoleh dan mengirimkan
informasi dengan mudah, akurat, dan cepat.
Munir (2008) menyatakan bahwa, integrasi sumber belajar secara
tepat ke dalam suatu program pembelajaran merupakan salah satu faktor
penting untuk mengoptimalkan keefektifan penggunaan TIK. Program
pembelajaran berbasis TIK perlu disesuaikan dengan program sekolah agar
tujuan kurikulum tercapai. Dengan demikian, menjadi tuntutan bagi guru
supaya bisa menggunakan aplikasi komputer dengan tepat jika
menginginkan proses pembelajaran yang lebih bermakna. Lebih dari itu,
7

seorang guru saat ini seharusnya mampu mengembangkan media
pembelajaran sendiri sekalipun menggunakan aplikasi komputer yang
sederhana. Jika pun mereka tidak mengembangkan sendiri, di pasaran saat
ini telah banyak dikembangkan media pembelajaran berbasis komputer
yang umum dikenal dengan nama CAI (Computer Aided Instruction) atau
pembelajaran berbantuan komputer. Program yang banyak antara lain
Microsoft Powerpoint, Multimedia Builder, Illumination, Adobe Flash,
Macromedia Director, dan Macromedia.
Program aplikasi yang mudah digunakan dalam membuat media
pembelajaran berbantuan komputer adalah Microsoft PowerPoint (lihat
Finkelstein & Samsonov, 2008). Beberapa contoh di Internet dapat ditemui
dalam beberapa situs yang menampilkan Model Game Jeopardy. Model ini
membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi pada siswa. Permainan
Jeopardy bisa dikembangkan dengan dua cara. Cara pertama adalah
mengajukan pertanyaan dan menuntut jawaban dari siswa, dan cara kedua
adalah mengajukan jawaban (situasi) dan menuntut siswa mengajukan
pertanyaan yang tepat. Ranah kognitif yang dikembangkan dapat meliputi
pengetahuan dan pengembangan keterampilan kognitif. Ini berarti
melibatkan proses mengingat (recall) atau pengenalan kembali (recognition)
fakta-fakta, pola-pola prosedural, serta konsep-konsep yang dibutuhkan
untuk pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual.
Dari sudut pandang pembelajaran aktif, proses pembelajaran
seharusnya mendorong dan mendukung semangat siswa untuk melakukan
penyelidikan, pemecahan masalah, dan mengkonstruksi pemahaman. Di
dalamnya, mereka menemukan, menguji, dan memperbaiki gagasan guna
membangun pemahaman yang dari waktu ke waktu semakin kompleks, kuat,
abstrak, dan canggih. Khusus dalam pembelajaran matematika, milsanya,
bukti visual, yang sangat dimungkinkan dengan TIK, memiliki peran penting
bersama dengan alat peraga lainnya untuk memjembatani pemahaman siswa
dari tingkat konkret ke tingkat abstrak. Menurut Martínez-Santaolalla
Martínez, Bienvenido Bárcena, dan Túnez Rodríguez (2005), TIK
memungkinkan terciptanya ’realitas virtual’, gambar yang indah serta animasi
yang interaktif. Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa TIK bisa membantu
siwa membangun pemahaman yang lebih dalam tentang struktur geometri.
Pemahaman ini terbangun melalui fase tindakan (manipulasi fisik dan
mental), abstraksi (tindakan berproses menjadi bermakna secara mental dan
selanjutnya bisa digunakan sebagai landasan untuk bertindak dan merefleksi),
dan refleksi (menganalis pemikiran sendiri secara sadar). Proses siklis ini
membantu siswa membangun model mental yang semakin canggih dari
waktu ke waktu.
Program dynamic geometry, seperti Cabri Geometry, Geometers
Sketchpad dan GeoGebra, membawa dimensi baru pembelajaran goemetri
di sekolah. Eksplorasi sangat mungkin dilakukan oleh siswa dengan
program tersebut dan kreativitas siswa akan didorong sekaligus ditantang.
Kemampuan komputer menampilkan animasi yang menarik dan tampak
nyata sangat berguna dalam pembelajaran geometri. Pembelajaran
8

matematika yang menyangkut data, pengolahan, dan presentasinya sangat
mungkin lebih efektif jika menggunakan bantuan komputer. Dengan
menggunakan fasilitas spreadseheet, siswa bisa diarahkan untuk mengolah
data secara sederhana dan mempresentasikan hasil analisis tersebut dengan
tampilan yang jauh lebih menarik dan bermakna. Sebagai open software,
Excel bisa digunakan dalam perhitungan yang lebih ekonomis, statistika
sederhana, simulasi, dan menemukan pola bilangan serta pembelajaran
aljabar pada tingkat dasar.
Potensi yang ditawarkan oleh perkembangan TIK begitu banyak.
Suasana kelas yang menyenangkan dan memotivasi sangat mungkin
diciptakan dengan TIK. Siswa bisa diperlombakan dengan menggunakan
program sederhana, misalnya dengan Jeopardy yang telah disebutkan di
atas. Interaksi dalam pembelajaran matematika bisa dioptimalkan dengan
merancang stasiun pembelajaran dengan komputer yang akan didatangi oleh
siswa secara berkelompok dan bergantian. Presentasi dalam pembelajaran
bisa dipoles sedemikian menarik. Ini perlu kehati-hatian, karena kadangkadang, perhatian beralih dari fungsi pembelajaran menjadi fungsi
presentasi dengan aksesoris yang macam-macam dan cenderung berlebihan.
Masalahnya sekarang paling tidak ada di pihak guru. Jika fasilitasnya ada,
seberapa mampu mereka mengoptimalkan pemanfaatannya.
Sekarang ini, salah satu bidang kajian penelitian pendidikan
matematika di sekolah adalah bagaimana TIK bisa meningkatkan prestasi
siswa. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pemanfaatan
yang tepat dan terencana, proses pembelajaran bisa dilaksanakan jauh lebih
efektif dibandingkan dengan pembelajaran tradisional (lihat Adelsberger,
Kishuk, Pawloski, & Sampson, 2008).
Saat menjalani perkuliahan pasca sarjana di luar negeri, penulis
menghadapi berbagai model perkuliahan yang ditawarkan. Mahasiswa bisa
memilih model online, tatap muka, atau modul (jarak jauh). Khusus untuk
model online, kemandirian mahasiswa sangat dibutuhkan untuk mampu
mengatur diri dan belajarnya. Beban kredit matakuliah menuntut mahasiswa
untuk memprogramkan secara ketat alokasi waktu untuk dapat
menyelesaikan matakuliah. Tenggat waktu untuk mengumpulkan tugastugas telah ditentukan lebih awal dan mahasiswa harus mengikuti jadwal
tersebut secara ketat. Tatap muka dengan dosen dilakukan secara online.
Diskusi dengan dosen dan sesama mahasiswa dilakukan juga secara online.
Dalam kuliah seperti ini, kata kuncinya adalah kemandirian. Kendali
dari dosen hampir tidak ada. Yang ada hanya berupa penetapan tenggat
waktu dan mungkin beberapa kali peringatan untuk mengikuti jadwal yang
telah ditentukan. Akan tetapi, informasi tersebut tidak akan dapat diketahui
kecuali dengan secara aktif mengakses internet. Mudahnya, mahasiswa
sangat fleksible mengatur jadwal belajarnya, dan mengakses matakuliah
dapat dilakukan di mana saja yang memungkinkan akses jaringan internet.
Pada beberapa matakuliah yang tidak banyak pengikutnya, ketiga model
tersebut di atas kadangkala digabungkan oleh dosen. Mahasiswa dapat
mengakses materi dan semua yang terkait dengan matakuliah di Internet, di
9

samping mereka juga dilengkapi dengan modul, CD-ROM bahan kuliah dan
kadangkala diadakan tatap muka langsung jika dirasa perlu.
BEBERAPA MASALAH
Terdapat tiga isu kritis yang membatasi penggunaan dan integrasi
TIK, khususnya penggunaan Internet, ke dalam kurikulum, yaitu: kualitas
akses, kesesuaian akses, dan dukungan guru (Kessell, 1997). Kualitas akses
terkait dengan kualitas dan jangkauan peralatan yang tersedia di sekolah,
dan juga sejauh mana pengetahuan dan keterlibatan guru. Jika banyak
sekolah sedang berusaha mengadakan perangkat keras dan perangkat lunak
dengan jumlah yang cukup memadai, pengadaan itu sendiri tidak menjamin
akan digunakannya dengan tepat. Salah satu kasus adalah pengadaan
laboratorium (ruang) komputer yang diperuntukkan bagi sejumlah besar
siswa dalam belajar mata pelajaran dengan menggunakan TIK karena
laboratorium tersebut sepenuhnya digunakan untuk mengajarkan
keterampilan dasar komputer.
Isu kedua sesungguhnya akan muncul jika peralatan dan akses telah
tersedia. Siswa dan guru harus selektif dalam memilih sumber informasi
yang tepat dari ketersediaan informasi yang hampir tidak terbatas. Dalam
hal ini, siswa dan guru harus mampu mengevaluasi sumber-sumber yang
layak untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Kehati-hatian ini
mutlak diperlukan karena dari informasi yang tersedia, tidak sedikit dari
mereka yang merupakan “sampah.”
Isu yang ketiga mungkin adalah isu yang paling krusial. Ini terkait
dengan kemampuan dan kesiapan guru. Kesiapan guru dalam hal
pengetahuan dan keterampilan untuk mengintegrasikan TIK ke dalam proses
belajar mengajar yang dilaksanakan sangat diperlukan. Guru mengalami
kesulitan menghadapi TIK dan penggunaan TIK masih terbatas hanya oleh
guru yang memiliki daya inovasi tinggi dan telah terlatih dengan baik
(Baron & Harrari, 2005). Keterampilan mengintegrasikan TIK ke dalam
proses yang dijalankan seharusnya didasari dengan keterampilan dan
pengetahuan praktis TIK yang memadai. Di kawasan Eropa, misalnya di
Norwegia, penggunaan TIK secara umum masih kurang dalam kegiatan
pedagogik. Menurut Fuglestad (2007), guru di sana juga masih kekurangan
pengetahuan tentang bagaimana memberdayakan TIK dalam proses belajar
mengajar, misalnya matematika, dan mereka membutuhkan contoh praktek
yang baik sebagai acuan. Masalah berikutnya yang mengemuka adalah
kebanyakan guru tidak memiliki keluangan waktu yang cukup untuk
mengikuti pelatihan pengembangan professional. Tantangannya adalah
bagaimana upaya memotivasi, meyakinkan, dan mendidik para guru di
lapangan tentang penggunaan TIK sebagai alat bantu pedagogi secara
terintegrasi (Baron & Harrari, 2005).
Pemerintah—dan masyarakat—bertanggung jawab untuk menyediakan
fasilitas TIK yang memadai di sekolah. Fasilitas tersebut, jika belum
memungkinkan, tidak harus digunakan sebagai alat bantu proses belajar
mengajar, tetapi cukup untuk diadakan untuk dipelajari, karena daya saing
10

bangsa mulai sekarang ditentukan oleh sejauh mana warga bangsa menguasai
TIK. Pemerintan juga bertanggung jawab menyediakan pelatihan
pengembangan profesionalisme guru dalam hal TIK.
Dengan berbagai peluang dan kemudahan yang menjanjikan dari
integrasi TIK ke dalam pembelajaran, beberapa pertanyaan patut dicermati.
Apa yang bisa kita perbuat? Bagaimana kondisi terkini pendidikan di
Indonesia? Bagaimana kreativitas guru? Bagaimana keinginan guru untuk
berubah tercapai dengan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada
mereka untuk berubah ke arah yang lebih baik? Dan, bagaimana langkah
nyata pemerintah sekarang?
Ataukah, integrasi TIK dalam proses pembelajaran adalah masih
sebatas utopia?
CATATAN AKHIR
Ke depan, menurut Pahl dan Kenny (2008), semua program dan
kegiatan pengintegrasian TIK dalam pembelajaran paling tidak menyasar
empat aspek, yaitu:
1. Muatan, yang terkait dengan perspektif matapelajaran tentang bahan
yang akan dipelajari oleh peserta didik sebagai hasil rancangan cerdas
dan kreatif para guru.
2. Format, yang terkait dengan perspektif penataan dan pengorganisasian
tentang bagaimana silabus dikembangkan, pemangku kepentingan
dilibatkan, dan bagaimana lingkungan pembelajaran dikondisikan.
3. Infrastruktur, yang terkait dengan perspektif teknis tentang bagaimana
semua pihak pemangku kepentingan mengemban amanahnya dan
menentukan TIK mana dan bagaimana yang akan digunakan.
4. Pedagogi, yang terkait dengan perspektif pendidikan menyangkut
bagaimana guru berperan sebagai aktor utama proses pembelajaran.
Integrasi TIK ke dalam proses belajar mengajar bergantung pada
ketersediaan sarana pendukung, pengetahuan, keterampilan, dan kemauan
guru, dan dukungan dari pihak sekolah, pemerintah, dan masyarakat.
Penggunaan yang tepat akan menjadikan TIK sebagai solusi. Ataukah
kemajuan TIK akan melesat maju tanpa bisa kita optimalkan
penggunaannya dan pencapaian-pencapaian orang di negara lain hanya akan
terus menjadi utopia bagi kita.
DAFTAR PUSTAKA
Adelsberger, H. H., Kishuk, Pawloski, J. M., & Sampson, D. G. 2008.
Handbook on Information Technologies for Education and Training
(Edisi Kedua). Heidelberg: Springer-Verlag.
Baron, G-L, Harrari, M. 2005. ICT in French Primary Education, Twenty
Years Later: Infusion or Transformation? Education and Information
Technologies, 10(3), 147–156.
Gaible, E. & Burns, M. 2005. Using Technology to Train Teachers:
Appropriate Uses of ICT for Teacher Professional Development in
Developing Countries. Washington, DC: infoDev/World Bank.
11

Finkelstein E. & Samsonov, P. 2008. PowepointPoint for Teachers:
Dynamic Presentations and Interactive Classroom Projects. San
Francisco, CA: Jossey-Bass.
Fuglestad, A. B. 2007. Teaching and Teachers’ Competence with ICT in
Mathematics in a Community of Inquiry. Dalam J. H. Woo, H. C.
Lew, K. S. Park, & D. Y. Seo (Ed.), Proceedings of the 31st
Conference of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education, Vol. 2, 249-256. Seoul: PME.
Isjoni, Hj. Ismail, M. A,. & Mahmud, R. 2008. ICT untuk Sekolah Unggul:
Pengintegrasian Teknologi Informasi dalam Pembelajaran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kessell, S. R. 1997. Staff Development in Computing and Information
Systems Literacy: Computing as a Tool, Not an End in Itself. Makalah
dipresentasikan dalam The International Organisation for Science and
Technology Education Conference, di Curtin University of
Technology, Perth Australia, 5-8 Desember 1997.
Kessell, S. R. 2001. Graduate Certificate in Learning Technologies K12
Version – Course Material CD ROM (Version 4.4). Perth: Curtin
University of Technology.
Martinez-Santaolalla Martinez, M. J., Bienvenido Barcena, F., & Tunez
Rodriguez, S. 2005. ICT in Mathematics Education: Geometry
Problem Solving with Applets. Makalah disampaikan pada The III
International Conference on multimedia and Information &
Communication Technologies in Education (m-ICTE2005), Cáceres,
Spanyol, 7-10 Juni 2005.
Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan
CV. Alfabeta.
Nurhadi, Yasin, B., & Senduk, A. G. 2004. Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: Universitas Negeri Malang Press.
Pahl, C. & Kenny ,C. 2008. The Future of Technology Enhanced Active
Learning: A Roadmap. Dalam M. D. Lytras, D. Gašević, P. O. de
Pablos, & W. Huang (Ed.), Technology Enhanced Learning: Best
Practices, 348-375. New York: IGI Publishing.
Pannen, P., Yunus, M., & Prakoso, T. 2003. Pemanfaatan Teknologi
Informasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Pusat
Bahasa, Jakarta, 14-17 Oktober 2003.
Webster, L. & Murphy, D. 2008. Enhancing Learning through Technology:
Challenges and Responses. Dalam R. Kwan, R. Fox, F. T. Chan, & P.
Tsang Ed.), Enhancing Learning through Technology: Research on
Emerging Technologies and Pedagogies, 1-16. Singapore: World
Scientific.

12