MODEL KONTRAK DAN PENYELESAIAN SENGKETA

MODEL KONTRAK DAN PENYELESAIAN SENGKETA DI PERBANKAN
SYARIAH
Oleh Muhammad Abduh
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak : Perbankan Syari’ah dalam prakteknya menjalankan fungsi penyaluran dana
ke masyarakat, perbankan syariah menggunakan bermacam-macam desain akad atau
kontrak, diantaranya yaitu akad atau kontrak berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli
(al-Bai’), sewa (al-Ijarah) dan pinjaman (al-Qardh). Penyelesaian sengketa kontrak
syari’ah di Indonesia dapat ditempuh melalui jalan litigasi dan non litigasi. Melalui
litigasi maka peyelesaian sengketa kontrak perbankan syariah dapat diselesaikan di
Pengadilan Umum maupun Pengadilan Negeri dan juga melalui Mediasi. Sedangkan
penyelesaian secara non litigasi dapat diselesaikan dengan cara menggunakan Arbiter
atau dengan cara Musyawarah.
Keyword : Kontrak Perbankan Syari’ah, sengketa syari’ah, litigasi, non litigasi.
A. Pendahuluan
Hukum Kontrak Syari’ah adalah Suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat
secara tertulis sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang
berkepentingan Hukum Kontrak Syari’ah yang dimaksud disini, adalah sebagian dari hukum
islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia didalam menjalankan hubungan

ekonominya.
Hukum kontrak Syari’ah sebagai bagian dari hukum islam di bidang muamalah, juga
memiliki sifat terbuka yang berarti segala sesuatu di bidang Muamalah dapat dimungkinkan
diadakan modifikasi selama tidak bertentangan atau melanggar larangan yang sudah
ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang memungkinkan
Hukum Perikatan Islam dapat mengikuti Perkemabangan zamannya.
Secara Yuridis, penerapan Hukum Perjanjian Syari’ah di Indonesia memilki dasar yang
sangat kuat. Ketentuan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini pada dasarnya mengandung beberapa
makna, salah satunya adalah Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan
atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya . Kemudian pada
pasal Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, hal ini mengindikasikan bahwa Negara tidak
boleh membuat peraturan hukum yang bertentangan dengan syari’at suatu agama, karena jika
demikian, pemeluk suatu agama menentang aturan agamanya sendiri. Alasan inilah yang
selanjutnya melahirkan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No.
02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

Pengesahan UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa
implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan
perdagangan secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

B. Model Kontrak Ekonomi Syari’ah di Perbankan Syariah
Fungsi dari perbankan syariah adalah melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran
dana ke masyarakat. Dalam hal fungsi penyaluran dana ke masyarakat, perbankan syariah
memakai bermacam-macam akad yang dipakai, diantaranya yaitu akad atau kontrak
berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli (al-Bai’), sewa (al-Ijarah) dan pinjaman (al-Qardh).
Berikut desain kontrak perbankan syariah yang umumnya diterapkan pada sistem
perbankan syari’ah di Indonesia ;
1. Kontrak Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Kontrak al-Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Biasanya kontrak akad al-Musyarakah di bank syariah dipakai untuk produk-produk
pembiayaan proyek dan modal ventura. Menurut buku yang dikeluarkan oleh Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia yang berjudul Kodifikasi Produk Perbankan Syariah,
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha
Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas
dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujroh, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan
bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah
perusahaan (syirkah al inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak
memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai
hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian
keuntungan, setiap pihak menerima bagian ke-untungan secara proporsional dengan
kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan
sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional

kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang
diterapkan pada usaha atau proyek di mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah

kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad
atau kontrak ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan. Dalam
kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain
tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap.
Inilah yang disebut Musyarakah al Mutanaqishah.1 Aplikasinya dalam perbankan
adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga
keuangan lainnya, di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak
lainnya dengan cara mengangsur. Akad atau kontrak ini juga dapat dilaksanakan pada
mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal
yang tetap.
Terdapat banyak manfaat dari kontrak al-Musyarakah ini, diantaranya yaitu:
1) bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan nasabah
meningkat.
2) bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan
secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank
tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha
nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent)mencari usha yang benar-benar halal,
aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi

itulah yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam kontrak al-Musyarakah/al-Mudharabah ini berbeda dengan
prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu
jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun
merugi dan terjadi krisis ekonomi.2
Adapun risiko yang terdapat dalam kontrak al-Musyarakah, terutama pada
penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut:
 Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.
 Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika pembiayaan atas dasar
akad musyarakah diberikan dalam valuta asing.
 Risiko Operasional yang disebabkan oleh internal fraud antara lain pencatatan yang
tidak benar atas nilai posisi, penyogokan/ penyuapan, ketidaksesuaian pencatatan pajak

1 Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta, Gema Insani Press: 2001) hal 90
2 AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat (Jakarta, UIN Jakarta Press:2005) hal 120--121

(secara sengaja), kesalahan, manipulasi dan mark up dalam akuntansi/ pencatatan
maupun pelaporan.3
Kontrak al-Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Biasanya kontrak akad al-Mudharabah di bank syariah dipakai untuk banyak produk

baik itu produk penghimpunan dana seperti tabungan, giro, deposito atau pun produk
penyaluran dana seperti produk pembiayaan. Menurut buku yang dikeluarkan oleh Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia yang berjudul Kodifikasi Produk Perbankan Syariah,
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha
Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas
dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujroh
Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi mempunyai
bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan
antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur
(mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah
tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit
ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi

trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal
tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya.
Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib
kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya. Bank dan
lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi
pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan investor, atau
dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan mereka dengan pihak
pengguna dana.4 Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah
(terikat);
1) Mudharabah Muthlaqah adalah Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan
pemilik dana.
3 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.12
4 Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta, Gema Insani Press: 2001) hal 112

2) Mudharabah Muqayyadah adalah Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan
pemilik dana.
Terdapat banyak manfaat dari kontrak al-Mudharabah ini, diantaranya yaitu:
1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah

meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap,
tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan
pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha
nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent)mencari usha yang benar-benar halal,
aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi
itulah yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam kontrak al-Musyarakah/al-Mudharabah ini berbeda dengan
prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu
jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun
merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Adapun risiko yang terdapat dalam kontrak al-Mudharabah, terutama pada
penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut :
1) Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.
2) Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika pembiayaan atas dasar
akad mudharabah diberikan dalam valuta asing.
3) Risiko Operasional yang disebabkan oleh internal fraud antara lain pencatatan yang
tidak benar atas nilai posisi, penyogokan/ penyuapan, ketidaksesuaian pencatatan pajak

(secara sengaja), kesalahan, manipulasi dan mark up dalam akuntansi/ pencatatan
maupun pelaporan
Kontrak al-Muzara’ah (Harvest-Yield Profit Sharing)
Al-Muzara’ah adalah kontrak kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan
dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Al-Muzara’ah seringkali diidentikkan dengan mukharabah. Di antara keduanya terdapat
sedikit perbedaan yaitu: Muzara’ah untuk benihnya dari pemilik lahan dan Mukharabah
untuk benihnya dari penggarap.5
Adapun rukun yang terdapat dalam kontrak kerjasama berbentuk muzara’ah terdiri dari
pemilik lahan (Shahib al-ardhi), petani penggarap (al-amil/muzari’), objek muzara’ah yaitu
5 Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta, Gema Insani Press: 2001) hal 92

lahan dan hasil yang diperoleh sebagai keuntungan, dan ijab qabul. Masing-masing unsur ini
mesti memenuhi syarat yang telah ditentukan. Sementara syarat-syarat yang menyangkut
tanah pertanian antara lain; tanah tersebut merupakan tanah yang boleh digarap dan
menghasilkan, bukan tanah tandus, batas-batas tanah harus jelas, dan tanah tersebut
diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Sedangkan syarat yang berkaitan
dengan hasil panen yaitu; pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil
itu benar-benar milik bersama orang yang akad tanpa boleh ada pengkhususan, dan

pembagian hasil panen ditentukan sejak dari awal akad, agar tidak timbul perselisihan.6
Kontrak al-Musaqah (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of
Yield)
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap
hanya bertaanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan tanaman. Sebagai imbalan, si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Yang dimaksud dengan “tanaman”
dalam akad kontrak ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk
mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan
getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya.
Perawatan di sini mencakup mengairi (inilah arti sebenarnya dengan musaqat),
menyiangi, merawat, dan usaha lain yang berkenaan dengan buahnya. Karena kerjasama
disini dalam hal yang kerjanya maupun hasilnya berketerusan, maka ukuran kerjasama
ditentukan oleh waktu.7
Adapun persyaratan objek kerja sama al-Musaqah dalam hal ini yaitu pohon-pohon atau
tanaman keras mestilah jelas wujudnya dan diketahui kedua belah pihak, dapat dikerjakan,
menghasilkan namun belum dapat dipanen sehingga memerlukan perawatan. Keuntungan
yang diperoleh adalah bagian dari hasil pepohonan yang dirawat tersebut secara ukuran
persentase, bukan dengan kadar yang pasti ditentukan.8
2. Kontrak Prinsip Jual-Beli
Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu

barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau
harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara
tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt
financing) syarat-syarat al bai' menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred
contract of exchange).9
Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jualbeli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang
dipertukarkan, dan pembagian jual beli berdasarkan harganya. Di antara jenis-jenis jual-beli
tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan
berdasarkan prinsip bai' al murabahah, bai' as- salam dan bai' al istishna'.
6 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.19
7 AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat (Jakarta, UIN Jakarta Press:2005) hal 128
8 Ibid. hal 127
9 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.34

Kontrak Prinsip jual beli al-Murabahah
Kontrak jual beli al-Murabahah adalah Transaksi jual beli suatu barang sebesar harga
perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati olah para pihak, dimana penjual
menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli. 10 Fatwa syariah yang
mengatur mengenai kontrak jual beli al-Murabahah adalah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 13/DSNMUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No: 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah, Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah (Khashm
Fi Al-Murabahah), Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang
Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar, Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan
Murabahah dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi
Akad Murabahah. Dan tercantum dalam PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi
Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan
perubahannya, PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Dan mengenai
perlakuan akuntansi kontrak atau akad bai’ murabahah diatur dalam Pedoman Standar
Akuntansi Keuangan/PSAK No.102 tentang Akuntansi Murabahah dan Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang berlaku.
Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad atau kontrak jual-beli antara bank
selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang.
Bank memperoleh keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat
murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain
seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang
disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank.11
Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi
perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya
disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara angsuran ini disebut juga bai' bi tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang
memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan
barang dengan spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank
melakukan pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya,
kemudian menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad
murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang
yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah
telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang tersebut.
10 Ibid. hal 37
11 Muhammad. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syari’ah. (Yogjakarta: UII Press: 2009) hal 90

Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak bai’ al-murabahah adalah sebagai
berikut:12
1) Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Murabahah
dengan nasabah;
2) Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya;
3) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan
nasabah; dan
4) Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa
diperjanjikan dimuka.
Kontrak prinsip jual beli Bai' as Salam
Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai' as salam adalah akad jual-beli suatu
barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan
kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Menurut buku kodifikasi produk perbankan
syariah yang ditulis oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia bahwa yang
dimaksud dengan kontrak jual beli as-Salam adalah Transaksi jual beli barang dengan cara
pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
Fatwa syariah yang mengatur mengenai kontrak jual beli as-Salam adalah Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Dan diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank
dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya. PBI
No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya
yaitu terdapat pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No. 103 tentang akuntansi
Salam dan PAPSI yang berlaku.
Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank
dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati
bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan
dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya
melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh
keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu
diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila
penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel
salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema
murabahah.13
Adapun risiko yang terdapat dalam kontrak bai’ as-Salam, terutama pada penerapannya
dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut:14
12 Ibid. hal 90
13 Ibid. Hal 97
14 Ibid. Hal 98

1) Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.
2) Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika modal Salam dalam
penyelesaian adalah dalam valuta asing.
Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang
menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan
dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup
untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh
dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya,
melainkan menjual kepada bank dengan salam dan posisinya sebagai penjual terhadap
pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan
nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang disepakati antara produsen dengan
pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank.
Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak bai’ as-Salam adalah sebagai berikut:15
 Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Salam
dengan nasabah;
 Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis
berupa Akad Pembiayaan atas dasar Salam;
 Penyediaan dana oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan di muka secara penuh
yaitu pembayaran segera setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati atau
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati; dan
 Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang
nasabah kepada Bank atau dalam bentuk piutang Bank.
Kontrak prinsip jual beli Bai’ al-Istishna’
Bai’ al-Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu
berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang
telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas
harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut buku kodifikasi
produk perbankan syariah yang ditulis oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia
bahwa yang dimaksud dengan kontrak jual beli istishna’ adalah Transaksi jual beli barang
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Musthofa Ahmad al-Zarqa’
mendefinisikan istishna’ sebagai “akad penjualan barang yang bersifat manufacture (barang
hasil olahan/kerajinan), dengan kewajiban bagi penjual untuk menghadirkan barang tersebut,
dengan materilnya berasal dari pihak penjual dengan spesifikasi dan harga yang telah
disepakati”. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily, istishna’ adalah akad dengan pihak
pengrajin untuk mengerjakan suatu barang (pesanan) tertentu, di mana materi dan biaya
15 AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat (Jakarta, UIN Jakarta Press:2005) hal 117

produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin. Dalam akad istishna’ hanya berlaku pada
objek barang yang dapat dibuat (melalui proses produksi) dan tidak berlaku pada barang
seperti padi, jagung, kapas, buah-buahan dan lain-lain, serta objek barang harus dapat
dispesifikasikan dengan jelas hal ini ditujukan untuk menghindari unsur gharar
(ketidakjelasan).16
Fatwa syariah yang mengatur mengenai kontrak jual beli istishna’ adalah Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’ dan Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna’ Paralel. Dan diatur
dalam Peraturan bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya dan PBI
No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya
yaitu terdapat pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No. 104 tentang akuntansi
istishna’.
Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak bai’ istishna’ adalah sebagai berikut:
 Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Istishna’
dengan nasabah; dan
 Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang
nasabah kepada Bank atau dalam bentuk piutang Bank.
Adapun tujuan/manfaat dari bai’ istishna’ ini, bagi bank ialah sebagai salah satu bentuk
penyaluran dana dalam rangka menyediakan barang yang diperlukan oleh nasabah dan
memperoleh pendapatan dalam bentuk margin.Sedangkan bagi nasabah yakni memperoleh
barang yang dibutuhkan sesuai spesifikasi tertentu.17
Dan terdapat risiko dalam kontrak bai’ istishna’ ini, terutama pada penerapannya dalam
pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut:
 Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default,
baik dalam penyelesaian aktiva istishna’ dalam penyelesaian maupun penyelesaian
kewajiban pembayaran aktiva istishna’ yang sudah diserahkan.
 Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika modal aktiva istishna’
dalam penyelesaian adalah dalam valuta asing.

3. Kontrak Prinsip al-Ijarah (Operational Lease And Financial Lease)
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran
upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang
16 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.24
17 AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat (Jakarta, UIN Jakarta Press:2005) hal 123--124

itu sendiri. 18 Kontrak al-Ijarah adalah Transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau
jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan
penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. Sedangkan yang
dimaksud dengan kontrak al-Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah Transaksi sewa menyewa
antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang
disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa. Fatwa syariah yang mengatur
mengenai kontrak al-Ijarah dan al-Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah dan Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah al Muntahiyah bi al-Tamlik. Dan diatur
dalam Peraturan bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya. Dan PBI
No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya
yaitu terdapat pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No.59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah dan PAPSI yang berlaku.
Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina' atau disebut juga ijarah muntahiyah bi
tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah
Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al
ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa
atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang
yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina'
atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai
pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk
cicilan pokok harga barang.
Karakteristik akad/kontrak al-Ijarah yaitu;19
 al-Ijarah merupakan akad yang objeknya adalah manfaat, bukan benda (al-‘ain)
 manfaat yang menjadi objek al-Ijarah adalah manfaat terhadap sesuatu yang
diperbolehkan berdasarkan ketentuan syara’
 hak memanfaatkan dalam al-Ijarah harus disertai dengan imbalan
Adapun tujuan/manfaat dari kontrak al-Ijarah dan al-Ijarah Muntahiya Bittamlik bagi
bank ialah sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam
bentuk imbalan/fee/ujroh. Sedangkan bagi nasabah ialah memperoleh hak manfaat atas
barang yang dibutuhkan.20
Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak al-Ijarah dan kontrak al-Ijarah
Muntahiya Bittamlik adalah sebagai berikut:
1) Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah;
18 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.29

19
20 Muhammad. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syari’ah. (Yogjakarta: UII Press: 2009) hal 90

2) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang
dipesan nasabah;
3) Pengembalian atas penyediaan dana Bank dapat dilakukan baik dengan angsuran
maupun sekaligus;
4) Pengembalian atas penyediaan dana Bank tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang
maupun dalam bentuk pembebasan utang; dan
5) Dalam hal pembiayaan atas dasar Ijarah Muntahiya Bittamlik, selain Bank sebagai
penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah, juga bertindak sebagai
pemberi janji (wa’ad) antara lain untuk memberikan opsi pengalihan hak penguasaan
obyek sewa kepada nasabah sesuai kesepakatan.

4. Kontrak Prinsip al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)
Al-Qardh adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan.
Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu', yaitu akad saling membantu
dan bukan transaksi komersial.21 Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank
Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penyediaan pinjaman
dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Menurut buku kodifikasi produk
perbankan syariah yang ditulis oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia bahwa
yang dimaksud dengan kontrak al-Qardh adalah Transaksi pinjam meminjam dana tanpa
imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus
atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya,
walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan
keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. Bank juga
dapat menggunakan akad ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang
membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek.
Fatwa syariah yang mengatur mengenai kontrak al-Qardh adalah Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al Qardh. Dan diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah Beserta ketentuan perubahannya. Dan PBI
No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya
yaitu pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No.59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah dan PAPSI yang berlaku.
Dan terdapat risiko dalam kontrak al-Qardh ini, yaitu sebagai berikut:22
1) Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.
21 Ibid. Hal 92
22 AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat (Jakarta, UIN Jakarta Press:2005) hal 120--121

2) Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika Qardh untuk transaksi
komersial adalah dalam valuta asing.
Adapun tujuan/manfaat dari kontrak al-Qardh bagi bank ialah sebagai salah satu bentuk
penyaluran dana termasuk dalam rangka pelaksanaan fungsi sosial Bank dan peluang bank
untuk mendapatkan fee dari jasa lain yang disertai dengan pemberian fasilitas Qardh.
Sedangkan bagi nasabah ialah sebagai sumber pinjaman yang bersifat non komersial, sumber
pembiayaan bagi nasabah yang membutuhkan dana talangan antara lain terkait dengan
garansi dan pengambilalihan kewajiban.
Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak al-Qardh yaitu sebagai berikut:23
 Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman (Qardh) kepada
nasabah berdasarkan kesepakatan;


Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi
dari jumlah nominal yang sesuai Akad;



Bank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran Pembiayaan atas
dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran;



Pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar Qardh, harus dilakukan oleh nasabah
pada waktu yang telah disepakati; dan



Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak mengembalikan sebagian atau
seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat
memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah.

C.

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Perkembangan perbankan syariah yang ada di Indonesia harus juga bersamaan dengan
perkembangan peraturan yang ada, mulai dari sistem hingga bagaimana penyelesaian
sengketanya. Diawal perkembangan perbankan syariah di indonesia, belum dikenal dengan
adanya lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara syariah, di saat itu hanya
dikenal dengan nama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Lembaga ini dibentuk
oleh MUI dengan dasar hukumnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul ketika
BAMUI yang kini menjadi BASYARNAS mengeluarkan suatu putusan. Pihak yang kalah
tidak mau mengikuti putusan tersebut secara sukarela. Arbitrase tidak dapat melakukan
eksekusi karena tidak memiliki kewenagan untuk melakukannya. Adanya kekurangan pada
lembaga arbitrase inilah maka diterbitkan Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai
lembaga yang dapat melaksanakan eksekusi yang telah diputuskan oleh Arbitrase Syariah
Nasional. Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan yang saat ini
banyak diminati oleh kalangan bisnis, baik nasional maupun internasional. Hal ini karena

23 Muhammad. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syari’ah. (Yogjakarta: UII Press: 2009) hal 102

melalui lembaga arbitrase, sebuah sengketa bisnis dapat terselesaikan dalam waktu yang
relatif cepat dengan prosedur sederhana.24
Perjanjian arbitrase semata-mata ditujukan terhadap masalah penyelesaian perselisihan
yang timbul dari perjanjian. Para pihak dapat menentukan kata sepakat agar penyelesaian
perselisihan yang timbul dari perjanjian tidak diajukan oleh sebuah badan peradilan resmi,
tetapi akan diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim
disebut “wasit” atau “arbitrase”.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian
Sengketa adalah sebagai dasar dimana penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dapat
muncul. Melalui undang-undang ini pula hingga saat ini, Arbitrase Syariah mengalami
perubahan yang menuju perbaikan dimana awalnya bernamakan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Melalui Jalur Litigasi
Penyelesaian sengketa perbankan syariah disaat sekarang telah memiliki kejelasan
dimana peraturannya telah diatur dengan jelas. Para pihak yang bersengketa memiliki
kebebasan dalam memilih, dimana penyelesaian sengketa itu diselesaikan apakah melalui
lembaga peradilan atau diluar pengadilan. Hukum acara atau prosedur dalam menangani
perkara perbankan syariah yang diajukan di lingkungan peradilan agama adalah bentuk
hukum acara perdata yang biasa dilaksanakan di peradilan negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal
54 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama adalah
hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Hukum acara perdata
tersebut sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum, HIR (Het Herzeine
Inlandsche Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) termasuk ketentuan
yang diatur dalam Rv (Reglement of de Rechtsvordering), KUH Perdata, Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
Tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum
serta beberapa peraturan lain yang berkenaan dengan itu Ada 3 (tiga) bentuk kewenangan
peradilan agama, pertama; perkara-perkara perdata di luar dibidang ekonomi syariah, yang
tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di
lingkungan peradilan umum, kedua; perkaraperkara di bidang perkawinan yang tunduk pada
ketentuan-ketentuan hukum acara khusus sebagaimana dalam Undang-Undang Peradilan
Agama itu sendiri, dan ketiga; perkara-perkara dalam bidang jinayah (pidana), yang tunduk
pada ketentuan hukum acara pidana yang tidak lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).25
Perbankan syariah merupakan perkara perdata di luar bidang perkawinan, oleh karena
itu ketentuan hukum acara yang harus diterapkan dalam menyelesaikan perkaraperkara di
bidang perbankan syariah di lingkungan peradilan agama adalah ketentuan yang berlaku di

24 Dam Wahyu Wiryono. Penyelesaian Sengketa Bank Syari’ah (Yogyakarta) Hal 63
25 Abdulkadir Muhammad. Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung; Citra Aditya Bhakti) hal 75

peradilan umum. Dalam hal menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara
ekonomi syariah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara perdata.
Suatu kewajiban hakim apabila menerima suatu perkara adalah mendamaikan kedua
belah pihak dalam hukum acara perdata. Upaya damai yang harus dilakukan hakim dalam
rangka penyelesaian sengketa syariah khususnya di Pengadilan Agama tertuju pada ketentuan
Pasal 154 R.Bg/130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR dan PERMA No. 01 Tahun 2008 adalah landasan
yuridis dalam mengupayakan perdamaian di tingkat pertama. Adanya PERMA ini membuat
hakim lebih proaktif dalam mendorong kedua belah pihak untuk berdamai, Tindakan yang
harus dilakukan oleh hakim dalam mengupayakan damai berdasarkan ketentuan Pasal 154
R.Bg/130 HIR adalah:
1) Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan
negeri dengan perantara ketua berusaha mendamaikan
2) Bila dapat dicapai perdamaian, maka didalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan
para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat dan akta itu
mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa tindakan pertama harus dilakukan
oleh seorang hakim adalah mengupayakan perdamaian di kedua belah pihak. Kemudian
apabila tercapai kesepakatan unutuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai, maka
kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian (akta) perdamaian. Apabila anjuran
damai yang dilakukan semata-mata atas dasar ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR ternyata
tidak berhasil, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan hakim adalah mengupayakan
perdamaian melalui mediasi sesuai dengan ketentuan PERMA No. 01 Tahun 2008. Mediasi
yang diterapkan dalam sistem peradilan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 PERMA diartikan
“cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para
pihak dengan dibantu oleh mediator.
Kedudukan dan fungsi mediator dalam proses perundingan tersebut menurut Pasal 1
butir 6 PERMA adalah sebagai pihak yang netral yang akan membantu para pihak dalam
proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian tertentu. Tindakan
seorang hakim setelah memerintahkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh proses
mediasi adalah menyampaikan penundaan proses persidangan perkara, hal ini sesuai dengan
Pasal 7 ayat (5) PERMA. Penundaan itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
kedua belah pihak menempuh proses mediasi.26
Tidak adanya kata perdamaian baik dalam anjuran hakim hingga perdamaian melalui
mediator, maka pemeriksaan perkara pun harus dilanjutkan. Namun dalam pemeriksaan
perkara itu, hakim harus melihat dengan cermat mengenai perjanjian antara kedua belah
pihak yang bersengketa. Hakim harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua belah pihak
tidak membuat klausula arbitrase. Ini suatu hal yang menjadi fokus utama seorang hakim
dalam mencermati isi perjanjian oleh pihak yang bersengketa.

26 Dam Wahyu Wiryono. Penyelesaian Sengketa Bank Syari’ah (Yogyakarta) Hal 63

Proses pemeriksaan perkara dalam sengketa perbankan syariah adalah sesuai dengan
hukum acara perdata yang berlaku. Setelah melewati proses pengajuan perdamaian yang
ditengahi oleh seorang hakim hingga mediasi yang ditengahi oleh seorang mediator ternyata
tidak mencapai kata kesepakatan, maka akan dimulai dengan proses pembacaan surat gugatan
oleh penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang diawali dengan jawaban
dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab selesai lalu persidangan dilanjutkan dengan acara
pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua belah pihak berpekara masing-masing
mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan di
persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap terakhir
adalah kesimpulan dari pihak yang merupakan tahap terakhir dari proses pemeriksaan perkara
di persidangan. Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim
melanjutkan untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan
dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara
tersebut adalah melakukan konstatir, kualifsir dan konstituir.27 Mengkonstituir adalah menguji
benar tidaknya suatu peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak melalui proses
pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian.
Meng-kualifsir adalah menilai peristiwa atau fakta yang telah terbukti termasuk hubungan
hukum apa dan menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah di konstatir. Mengkonstituir adalah menetapkan hukum atas perkara tersebut.
Di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam
penjelasan Pasal 55 penyelesaian sengketa perbankan syariah menempatkan Pengadilan
Negeri sebagai salah satunya. Banyak pendapat yang tidak setuju akan hal ini karena secara
peraturan, perbankan syariah menggunakan Al-Quran dan Al-Hadist. Pemeriksaan yang
masuk kedalam Pengadilan Negeri secara keseluruhan khususya menggunakan hukum acara
perdata sama sekali tidak menggunakan hukum Islam. Secara kompetensi Pengadilan Negeri
sama sekali tidak berwenang memeriksa bahkan mengadili sengketa ekonomi syariah.
Namun di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di
penjelasan Pasal 55 disebutkan bahwa pengadilan Negeri dapat dipilih sebagai tempat
penyelesaian sengketa syariah. Para pihak disaat ber akad atau melakukan perjanjian
diberikan kebebasan untuk memilih dimana penyelesaian sengketa yang akan diambil.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan yang memiliki kompetensi abosolut dalam
menangani sengketa syariah yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Melalui Non Litigasi
Didalam Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah, Musyawarah merupakan salah
satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan. Kata musyawarah sedikit asing
atau tidak terlalu familiar dikalangan masyarakat, namun sebenarnya musyawah ini dapat
disamakan dengan proses negosiasi. Kata “negotiation” dalam bahasa inggris yang
diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu memiliki arti “berunding” atau
“bermusyawarah”28. Menurut Joni Emiron secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai
suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan
untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
27 Ibid. Hal 67
28 Ibid. Hal 66

Sedangkan menurut Garry Goodpaster yang dimaksud dengan negosiasi adalah proses
bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan
komunikasi yang dinamis dan bervariasi serta bernuansa sebagaimana keadaan atau yang
dapat dicapai orang. Maka dapat dipahami bahwa musyawarah merupakan negosiasi yang
mana lebih dikenal oleh banyak pihak.29
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa melalui jalur perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak
netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus suatu putusan.
Unsur-unsur esensial yang dapat dipahami didalam mediasi, yaitu30:
1) Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan
pendekatan mufakat atau konsensus para pihak
2) Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut
mediator
3) Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak
yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak.
Mediasi perbankan berbeda dengan mediasi yang ada didalam persidangan. Mediasi
didalam persidangan yang sesuai dengan PERMA, merupakan mediasi yang sudah masuk
diwilayah peradilan namun perkara belum diperiksa oleh hakim dan mediator yang
menangani mediasi tersebut adalah seorang hakim pula. Sedangkan mediasi perbankan
merupakan mediasi yang belum masuk ke wilayah peradilan dan mediator nya bukan seorang
hakim.
Dasar hukum mediasi perbankan adalah PBI No. 10/1/PBI/2008 tanggal 30 Januari
2008 tentang perubahan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan. Dalam
melaksanakan fungsi mediasi perbankan, Bank Indonesia tidak memberikan keputusan dan
atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan bank. Dalam hal ini,
pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan dengan cara memfasilitasi nasabah dan bank untuk
mengkaji kembali pokok permasalahan sengketa secara mendasar agar tercapai kesepakatan.
Proses mediasi dapat dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan
domisili nasabah. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia
untuk sementara waktu sampai saat pembentukan lembaga mediasi perbankan independen
oleh asosiasi perbankan. Sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia, sengketa
keperdataan yang berpotensi menimbulkan kerugian materil bagi nasabah dengan tuntutan
finansial paling banyak Rp. 500 juta, yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial
nasabah dalam penyelesaian pengaduan nasabah, dapat diupayakan penyelesaiannya melalui
mediasi perbankan.
Pengajuan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan hanya
dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan
atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut. Sengketa yang dapat diajukan
penye