Materi Pasca Sertifikasi PROFESIONALISME GURU

MANAJEMEN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
PASCASERTIFIKASI 1
Oleh: Haryono2
Pendahuluan
Profesionalisme guru di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sering
dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu kompetensi, sertifikasi, dan tunjangan
profesi. Ketiga hal ini nampaknya menjadi diterminan kualitas pendidikan.
Guru profesional adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik S 1 atau D-IV,
memiliki kompetensi untuk melaksanakan fungsi sebagai agen pembelajaran
dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru yang
memenuhi kualifikasi akademik dan kompeten, diberikan sertifikat pendidik,
dan diberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan
tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh
tunjangan profesi. Secara formal guru yang telah tersertifikasi, diasumsikan
telah memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi. Kompetensi yang
dimaksud

mencakup

kompetensi;


pedagogik,

profesional,

sosial,

dan

kepribadian.
Persoalan yang muncul dan berkembang, adalah bahwa guru yang
diasumsikan telah memenuhi kualifikasi akademik dan memiliki kompetensi
karena telah tersertifikasi, dalam jangka panjang sulit untuk dipertanggung
-jawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya guru adalah kondisi
sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat
ketika proses sertifikasi berlangsung. Sementara sertifikasi sesungguhnya
erat kaitannya dengan proses belajar, sehinga sertifikasi tidak dapat
digunakan sebagai asumsi cerminan kompetensi unggul sepanjang hayat.
Pasca sertifikasi sesungguhnya adalah awal bagi guru untuk selalu
1


Disajikan dalam Program Teaching Clinic Pascasertifikasi Guru yang Diselenggrakan oleh Bidang
PPTK Dinas Pendidikan Propvinsi Jawa Tengah Tahun 2010.
2
Pengajar Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Pascasarjana Unnes.

1

meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk
memfasilitasi peningkatan kompetensi guru pasca sertifikasi, diperlukan
sistem manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan
oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi
guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru dan sekaligus
peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai
usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian,
kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas profesi.
Pengembangan

kompetensi


guru

didasarkan

atas

pertimbangan-

pertimbangan (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
arus globalisasi dan informasi, (2) menutup kelemahan-kelemahan yang tidak
(belum) nampak pada saat seleksi guru maupun calon guru, (3) untuk
membangun

dan

mengembangkan

sikap


profesional

guru,

dan

(4)

mengembangkan kompetensi utuh profesionalisme guru (Santyasa, 2008).
Secara

teknis,

kegiatan

yang

dapat

dilakukan


untuk

meningkatkan

kompetensi guru, antara lain adalah program (1) pembimbingan dan
penugasan, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) studi lanjut, (4) promosi jabatan,
(5) konferensi, lokakarya, dan seminar, serta (6) pembinaan melalui kegiatan
supervisi pembelajaran.
Walau guru telah tersertifikasi dan diasumsikan telah memiliki
kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan
perubahan dan perkembangan pendidikan, guru dituntut untuk terus menerus
berupaya meningkatkan kompetensinya. Peningkatan kompetensi tidak hanya
ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, tetapi yang lebih
penting adalah kemauan diri dan komitmen untuk mau terus menerus
melakukan peningkatan kompetensi (Mantja, 2002). Asumsi profesionalisme
guru pasca sertifikasi, diharapkan lebih menjadi spring board bagi guru dalam
2


upaya untuk terus menata komitmen melakukan perbaikan diri ke arah
peningkatan kompetensi. Peningkatan kompetensi atas dorongan komitmen
diri ini selanjutnya diharapkan mampu rneningkatkan keefektifan kinerjanya di
sekolah.
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa untuk memfasilitasi
guru meningkatkan profesionalismenya, diperlukan adanya sinergi antara
komitmen diri dan sistem manajemen. Sinergi antara komitmen guru dan
sistem manajemen diharapkan mampu melahirkan suatu proses kolaborasi
yang efektif untuk meningkatkan kompetensi guru. Berikut dikaji empat
dimensi teoretik konseptual sebagai alternatif landasan bagi guru dan
lembaga

pendidikan

dalam

kerangka

memfasilitasi


pengembangan

profesionalisme guru. Keempat dimensi yang dimaksud adalah; (1) dukungan
kompetensi

manajemen,

(2)

strategi

pemberdayaan,

(3)

supervisi

pengembangan, dan (4) penelitian tindakan kelas.
Dukungan Kompetensi Manajemen
Kompetensi


manajemen

yang

dibutuhkan

unruk

peningkatan

profesionaiisme guru dibedakan atas tiga aras, yaitu (1) manajemen aras
kebijakan di tingkat birokrasi dinas pendidikan, (2) manajemen aras sekolah
di tingkat kepala sekolah, dan (3) manajemen aras operasional di tingkat guru
(Surya Dharma, 2003).
Pada aras kebijakan di tingkat dinas pendidikan, menurut Santyarsa
(2008) dibutuhkan kompetensi tentang (1) pemikiran strategik (strategic
thinking), (2) kepemimpinan yang berubah (change leadership), dan (3)
manajemen


hubungan

(relationship

management).

Pemikiran

strategik

merupakan kompetensi untuk memahami kecenderungan perubahan sistem
pendidikan yang begitu cepat, peka terhadap kondisi eksternal berupa
peluang dan tantangan, memberdayakan potensi internal berbasis kekuatan
dan kelemahan sistem pendidikan yang diterapkan, sehingga mampu
3

mengidentifikasi respons strategik secara optimal. Aspek kepemimpinan yang
berubah menunjuk pada kompetensi untuk mengkomunikasikan visi dan
strategi organisasi (dinas pendidikan) yang dapat ditransformasikan kepada
guru.


Sementara

kompetensi

manajemen

hubungan

menunjuk

pada

kernampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan instansi lain
yang terkait, misalnya dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Kompetensikompetensi ini diperlukan untuk mendorong peningkatan profesionalisme guru
di wilayah tanggungjawab birokrasi dinas pendidikan terkait.
Pada aras sekolah oleh kepala sekolah, dibutuhkan kompetensikompetensi;

(1)


fleksibilitas,

(2)

terapan

perubahan,

(3)

pemahaman

interpersonal, (4) pemberdayaan, (5) fasilitasi tim, dan (6) portabilitas
(Santyarsa,

2008).

Aspek

fleksibilitas

adalah

kemampuan

melakukan

perubahan pada struktur dan proses manajerial sekolah. Aspek terapan
perubahan merujuk pada kemampuan untuk melakukan perubahan strategi
implementasi kebijakan demi tercapainya keefektifan pelaksanaan tugas
sekolah. Aspek pemahaman interpersonal merujuk pada kemampuan untuk
memahami nilai berbagai tipe individu guru layaknya sebagai seorang
manusia. Aspek pemberdayaan (empowering) adalah kemampuan berbagi
informasi, akomodatif terhadap gagasan guru, mengakomodasi kebutuhan
guru dalam peningkatan profesionalisme, mendelegasikan tanggung jawab
secara proporsional, menyiapkan sarana dan umpan balik yang efektif,
menyatakan harapan-harapan yang positif kepada guru dan menyediakan
penghargaan bagi peningkatan kinerja guru. Dimensi fasilitasi tim mengarah
pada kemampuan untuk menyatukan para guru dalam bekerja sama secara
efektif untuk mencapai tujuan bersama, temasuk memberi kesempatan
kepada guru untuk berpartisipasi dalam mengatasi konflik yang ada. Dimensi
portabilitas adalah kemampuan beradaptasi dan berfungsi secara efektif
dengan lingkungan luar sekolah. Kompetensi-kompetensi itu diperlukan untuk
4

mendorong timbulnya motivasi intriksik para guru dan rasa tanggung jawab
yang lebih besar dalam meningkatkan profesionalismenya.
Pada aras operasional di tingkat personal guru, dibutuhkan kompetensi;
(1) fleksibilitas, (2) mencari dan menggunakan informasi, motivasi,

dan

kemampuan untuk belajar, (3) motivasi berprestasi, (4) motivasi kerja di
bawah tekanan waktu, (5) kolaboratif, dan (6) orientasi pelayanan kepada
siswa (Santyarsa, 2008). Dimensi fleksibilitas adalah kemampuan untuk
melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan
ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi, motivasi, dan
kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasisme dalam mencari
kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal. Dimensi
motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk mendorong inovasi, perbaikan
berkelanjutan baik kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan sesuai dengan
tantangan kompetensi. Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan
kombinasi antara fleksibilitas, motivasi berprestasi, menahan stress, dan
komitmen untuk meningkatan profesionalisme. Dimensi kolaborasi adalah
kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multidisiplin,
menaruh harapan positif kepada kolega lain, pemahaman interpersonal dan
komitmen pendidikan. Dimensi keinginan yang besar melayani siswa dengan
baik adalah kompetensi yang dibutuhkan oleh guru sebagai konsekuensi
berlakunya paradigma custumisation.
Strategi Pemberdayaan
Dewasa ini guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan
dari sebelumnya yang lebih bersifat physical asset menuju pada paradigma
knowledge based competition. Perubahan paradigrna tersebut menuntut
efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru
merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan. Pemantapan sumber
daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan
5

pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimiliki, sehingga
mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi.
Strategi pemberdayaan adalah salah satu cara pengembangan guru
melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman
(2003), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala
sekolah untuk meberikan wewenang dan tanggung jawab yang proporasional,
menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan
tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis
dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini
kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi
wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini di satu sisi
dapat merupakan proses kaderisasi, dan di sisi lain sekaligus sebagai proses
peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.
Unfuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan guru, dapat
digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003)
dengan paradigma desire, trust, confident, credibility, accountability, dan
communication.
Paradigma desire merupakan upaya untuk (a) memberi kesempatan
kepada guru mengidentifkasi permasalahan yang sedang berkembang, (b)
memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, c)
mendorong terciptanya perspektif baru untuk meningkatkan kinerja guru, dan
(d) melatih guru untuk melakukan self-control.
Paradigma trust mencakup upaya untuk; (a) memberi kesempatan
kepada guru berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan
waktu dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk
meningkatkan kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi
kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d) menghargai perbedaan pandangan
dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan akses
informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerjanya.
6

Paradigma Confident merupakan upaya untuk (a) mendelegasikan
tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan
mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan
membangun jaringan dengan sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan
jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win solution.
Beberapa upaya dengan paradigma credibility, adalah (a) memandang
guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peringkat standar tinggi di
semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu
kepada guru lain untuk rnelakukan perubahan secara partisipatif, dan (d)
menggagas win-win solution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam
penentuan tujuan dan penetapan prioritas.
Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a)
menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan
tugas yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam
penentuan standar dan ukuran kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran
kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e) menyediakan
periode dan waktu pemberian feedback.
Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a)
menetapkan kebijakan komunikasi buka pintu, (b) menyediakan waktu untuk
memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalahan secara terbuka, dan
(c) menciptakan kesempatan untuk cross-training.
Supervisi Pengembangan
Secara

umum

kepala

sekolah

berfungsi

sebagai

supervisor

pembelajaran. Kepala sekolah bertanggung jawab mengkoordinasikan semua
program pembelajaran. Para guru diseyogakan berpengharapan agar kepala
sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk perbaikan dan
peningkatan pembelajaran. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus memiliki

7

kompetensi kepemimpinan pembelajaran, dan

memiliki pemahaman yang

memadai tentang cara yang tepat dalam melaksanakan supervisi.
Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan pendekatan supervisi
pengembangan (developmental supervision). Pendekatan ini bertolak dari
kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar.
Dalam proses supervisi, hubungan antara kepala sekolah analog dengan
hubungan antara guru dengan siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki
kewajiban untuk memahami semua karakteristik siswa. Demikian pula, kepala
sekolah

dalam

melakukan

supervisi

kepada

guru,

seyogyanya

guru

diperhatikan sebagai individu, karena ada perbedaan-perbedaan individual
dalam perkembangan manusiawinya. Perlakuan ini sangat diperlukan, terlebih
jika guru dituntut untuk terlibat secara langsung dalam peningkatan kualitas
pendidikan. Pendekatan supervisi perlu didasarkan atas perkembangan,
kebutuhan, dan karakteristik guru. Pendekatan ini erat kaitannya dengan dua
unsur penting keefektifan guru dalam menjalankan tugas keprofesionalan,
yaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks.
Komitmen guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu
dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan mengembangkan profesinya.
Komitmen diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga
kategori, yaitu kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap
profesionalisme. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif
berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian
untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi
tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan
bagi siswa. Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas kognitif.
Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas kognitif melahirkan tiga
tahapan perkembangan profesionalisme, yaitu perkembangan tingkat rendah,
sedang, dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut membutuhkan fasilitas
supervisi pengembangan, yang dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1)
8

supervisi direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian pada diri
sendiri dengan kompleksitas kognitif rendah, (2) supervisi kolaboratif
diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan
kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi nondirektif diperuntukkan
bagi guru yang memiliki kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif
tinggi.
Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi pada supervisi direktif
adalah

clarifying,

presenting,

demonstrating,

directing,

standardizing,

reinforcing. Tindakan-tindakan ini dilakukan untuk mengarahkan kegiatan
dalam perbaikan pembelajaran, menetapkan perangkat standar untuk
perbaikan pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai dorongan untuk
meningkatkan pembelajaran. Tampak, bahwa dalam supervisi direktif,
tanggung jawab cenderung lebih banyak pada kepala sekolah dibandingkan
dengan tanggung jawab guru.
Dalam supervisi kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah
listening, clarifying, pressenting, problem solving, negotiating, initiating. Polapola tindakan tersebut mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan
guru berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya mendengarkan
persepsi guru tentang masalah pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar
persepsi guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan masalah.
Proses tersebut melahirkan alternatif pemecahan masalah yang kemudian
disepakati untuk diterapkan dalam pembelajaran.
Beranjak dari pemahaman kepala sekolah, bahwa guru mampu
berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang lebih profesional,
maka pola tindakan yang dapat dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah
listening, clarifying, encouraging, pressenting, negotiating, accomodating
teacher-initiated. Tindakan-tindakan tersebut bertolak dari premis, bahwa
proses belajar bagi guru diwarnai oleh pengalaman pribadinya, sehingga pada
akhirnya guru tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi
9

guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah upaya memperbaiki dan
meningkatkan pengalaman belajar siswa di kelas. Peranan kepala sekolah
adalah

mendengarkan,

tidak

memberi

pertimbangan,

membangkitkan

kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi pengalaman-pengalaman guru. Kepala
sekolah lebih menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh informasi
dengan tujuan membuka komunikasi. Peranan kepala sekolah sebagai
supervisor perkembangan yang melaksanakan tugasnya seperti itu, niscaya
akan membuat persepsi guru menjadi lebih positif.
Penelitian Tindakan Kelas sebagai Model Profesionalisasi Guru
Dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan
supervisi pengembangan, merupakan wujud perhatian dan kepedulian
birokrasi dan utamanya kepala sekolah terhadap guru di sekolah. Perhatian
itu

bermuara

pada

profesionalismenya.
meningkatkan

upaya

Guru

kualitas

membantu

profesional

pembelajaran

guru

secara
di

kelas,

dalam
teoretis

meningkatkan
akan

mampu

memberikan

layanan

pembelajaran kepada siswa untuk belajar secara interaktif, inspiratif,
memotivasi, menantang, dan menyenangkan. Pembelajaran seperti itu akan
dapat diwujudkan oleh guru, apabila guru secara kontiniu melakukan
penelitian tindakan kelas atau PTK.
Secara konseptual PTK adalah langkah reflektif bagi guru terhadap
praktik pembelajaran dalam kesehariannya. Tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan kualitas praktik pembelajaran, yang akhirnya bermuara pada
peningkatan kualitas pendidikan secara umum. PTK adalah suatu bentuk
penelitian yang bersifat reflektif mandiri, yang dapat digunakan dalam proses
pengembangan kurikulum sekolah, perbaikan sekolah, dan perbaikan kualitas
pembelajaran di kelas.
Menurut Kemmis dan Carr (dalam McNiff, 1992), PTK merupakan
bentuk penelitian refleksi diri yang dilakukan oleh guru, siswa, atau kepala
sekolah dalam pendidikan untuk memperbaiki dan memahami praktik-praktik
10

pendidikan. Fokus utama PTK adalah mendorong guru terlibat melakukan
kegiatan-kegiatan dengan sikap ilmiah, situasional, praktis, empiris, fleksibel,
adaptif, partisipatoris, dan self-evaluation.
Secara

rasional

PTK

memiliki

landasan

sosial

dan

landasan

kependidikan. Landasan sosial PTK adalah keterlibatan, sedangkan landasan
kependidikannya adalah perbaikan. Operasionalisasi PTK menuntut adanya
perubahan. PTK mengandung makna tindakan baik terhadap sistem maupun
terhadap orang yang ada di dalam sistem itu.
PTK memiliki prosedur partisipatoris yang efektif digunakan untuk
memecahkan

masalah-masalah

peningkatan

hubungan

interpersonal,

kolaboratif, partisipatif, pengakomodasian, dan demokratis. Tantangan bagi
guru adalah bahwa dia harus selalu membangkitkan kesadaran terhadap
praktik-praktik pembelajarannya di kelas. PTK merupakan wahana dan sarana
untuk meningkatkan strategi belajar mengajar dengan mewajibkan guru untuk
selalu sadar, kritis, dan terbuka melakukan perbaikan. Dengan demikian dapat
mendorong guru untuk selalu berpikir kritis dan logis terhadap pengetahuan
profesionalnya. PTK bersifat sistematis dan fleksibel dengan menyertakan
kegiatan perencanaan yang bersifat reflektif, tindakan, pengamatan dan
evaluasi, refleksi, dan perencanaan ulang. Proses ini merupakan langkahlangkah yang bersifat siklik atau siklus.
PTK ini sangat bermanfaat dalam membangun hubungan interpersonal,
tipe pembelajaran yang bervariasi, pengukuran bentuk-bentuk wacana kelas,
penyelidikan terhadap manusia dengan melakukan komunikasi interpersonal
selektif dan langsung. Kesahihan PTK bersifat personal, dan tidak sematamata menekankan kesahihan metodologis. PTK memberikan kontribusi dalam
pernecahan masalah secara empirik dan faktual. PTK dapat digunakan oleh
peneliti yang berupaya ingin mengetahui secara sistematis dan terkendali atas
praktik-praktik pembelajarannya sendiri. Dengan mengadaptasi pandangan
yang humanis dalam penelitian pendidikan, maka peneliti mengubah
11

perilakunya ke dalam suatu penelitian yang lebih manusiawi. PTK memberi
bekal kepada guru untuk berpikir secara rasional dan memilih dasar filosofis
yang tepat serta metodologis. PTK lebih banyak menekankan partisipasi
demokratis.
PTK terbuka terhadap pengalaman, proses baru, dan bersifat mendidik.
Melalui PTK, guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Dalam hal ini,
komitmen personal sangat menentukan dengan dasar filosofi bahwa dalam
rangka menerima tanggung jawab profesional sebagai pendidik, guru
hendaknya terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri. Secara empiris PTK lebih
menekankan pada validitas dan reliabilitas data. Paham ini lebih menekankan
pada pendekatan etik, sehingga guru tidak diberitahukan mengenai metode,
tujuan, dan alasan penelitian. Penelitian tidak menekankan pengumpulan dan
analisis

data

secara

statistik.

Isu

yang

diteliti

tidak

terfokus

pada

perkembangan personal. Secara interpretatif PTK bersifat sosiologis yang
lebih menekankan kesamaan interpretasi antara guru sebagai aktor dan
peneliti sebagai pengamat. Tradisi ini menggunakan pendekatan emic yang
lebih bersifat kualitatif (Glaser dan Straus dalam McNeiff, 1992b).
Berdasarkan uraian di atas, para guru diseyogyakan untuk melakukan
PTK seeara berkesinambungan. Praktik pembelajaran yang dikritisi dengan
kemudian ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan melalui PTK, secara
bertahap akan meningkatkan profesionalisme guru (Jones & Song, 2005;
Kirkey, 2005; McIntosh, 2005; McNeiff, 1992). Hal ini dapat terjadi karena PTK
dapat membantu guru, dalam; (l) pengembangan kompetensi melalui
penyelesaian masalah pembelajaran yang mencakup kualitas isi, efisiensi,
dan efektivitas baik yang menyangkut proses maupun hasil belajar siswa, (2)
peningkatan kemampuan pembelajaran yang berdampak pada peningkatan
kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru. PTK merupakan cara
guru untuk mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan pengalaman
sendiri maupun pengalaman berkolaborasi dengan guru lain.
12

PTK adalah suatu metode untuk memberdayakan guru agar mampu
mendukung kinerja kreatif sekolah. PTK merupakan wahana bagi guru dalam
melakukan refleksi dan tindakan secara sistematis dalam upaya memperbaiki
proses dan hasil belajar siswa. Cole dan Knowles (Prendergast (2002)
menyatakan bahwa, PTK dapat mengarahkan guru untuk melakukan
kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu dengan yang lain. Di samping itu PTK
juga dapat mendorong guru ntuk melakukan refleksi terhadap praktik
pernbelajarannya dan untuk membangun pemahaman yang mendalam, serta
mengembangkan hubungan personal dan sosial antar guru. PTK dapat
memfasilitasi guru dalam mengembangkan pemahaman tentang pedagogi
untuk memperbaiki pemberlajarannya (Whitehead, 1993). Dengan demikian
jelas bahwa penerapan PTK scara baik dan benar dalam pembelajaran akan
dapat meningkatkan profesionalisme guru.
Berkaitan

dengan

perolehan

belajar

siswa,

PTK

berpotensi

meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan perolehan belajar
konseptual dan praktikal siswa, memperbaiki perilaku belajar siswa, bahkan
menumbuhkan kepedulian siswa terhadap pemeliharaan perolehan belajar. Di
samping dapat meningkatkan keterampilan berpikir reflektif dan kritis, menurut
Webster (2003) PTK berpotensi meningkatkan keterampilan-keterampilan
siswa dalam pemecahan masalah, komunikasi, menulis, pemahaman, dan
pengorganisasian gagasan.

Kesimpulan
Program

sertifikasi

guru

adalah

upaya

pemerintah

untuk

mengidentifikasi guru-guru berkualitas dan berkompetensi. Guru profesional
yang dinyatakan dalam bentuk pemberian sertifakat pendidik, merupakan
dasar untuk memberikan tunjangan profesi. Guru yang memperoleh
tunjangan profesi dikategorikan sebagai guru profesional.
13

Untuk menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, diperlukan upayaupaya peningkatan profesionalisme secara berkesinambungan. Secara
preskriptif

dukungan

kompetensi

manajemen,

strategi

pemberdayaan,

supervisi pengembangan, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensidimensi teoretis alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Dukungan kampetensi manajemen diperankan oleh dinas pendidikan
dan kepala sekolah. Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan
merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi teoretis tersebut
berlandaskan pada filosofi humanistik, bahwa guru yang harus berkembang
secara profesional, pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya
itu secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi manajemen, strategi
pemberdayaan, dan supervisi pengembangan tidak lebih dari sebatas
fasilitasi dan pijakan bagi guru dalam membangun komitmen. Sedangkan
pelaksanaan penelitian tindakan kelas merupakan wujud kesadaran guru
berbasis refleksi diri untuk meningkatkan profesionalismenya. Dukungan
kebijakan

dinas

pendidikan

dan

kepala

sekolah,

diperlukan

dalam

meningkatkan keefektifan pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang
dikembangkan oleh guru.
Daftar Rujukan
Kirkey, T. L. 2005. Differentiated instruction and enrichment opportunities: An
action research report. http: //www. nipissingu. caloarlFDFSlY833E. pdf.
Mantja, W. 2002. Manajemen pendidikan dan supervisi pembelajaran. Malang:
Wineka Media.
McNiff, J. 1992(a). Action research: Principles and practice. London: Routledge.
McNiff, J. 1992(b). Action research for professional development:
Concise
advise
for
new
action
research.
http://www.ieanmcneiff.com/bookletl.html.

14

Ryan, T. G. 2002. Action research: Collecting and analyzing data. http://www.
nipissingu.ca.oar/Reports/reports and document-Thomas G Ryan
%20.pdf.
Stringer, R. T. 1996. Action research: A handbook for practitioners. London:
International Educational and Profesional Publisher.
Santyarsa, I Wayan.
Profesionalisme
8095.pdf.

2008. “Dimensi-Dimensi Teoretis Peningkatan
Guru”.
http://www.koranpendidikan.com/artikel-

Surya Dharma. 2003. Pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam
Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia.
105-120. Yogyakarta: Amara Book.
Wahibur Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai
kesuksesan organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam
Usmara, A (Ed.): Paradigma baru manajemen sumber daya manusia.
121-133. Yogyakarta: Amara Book.
Wideman, R., Delong, J., Morgan, D., & Hallett, K. 2003. An action research
approach to improving student learning using provincial test results.
Tersedia pada httpa/www. educ.queensu.ca/-ar/reports/Jwebster.pdf.
Diakses pada tanggal 25 Juni 2007.

15