Membangun komunitas perempuan tangguh bencana di Desa Surenlor Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek.

(1)

MEMBANGUN KOMUNITAS PEREMPUAN TANGGUH BENCANA DI DESA SURENLOR KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN

TRENGGALEK SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.)

Oleh :

FITRI KURNIAWATI B02213017

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM KONSENTRASI KEBENCANAAN

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Fitri Kurniawati, B02213017, (2017) : MEMBANGUN PEREMPUAN

TANGGUH BENCANA (Pengorganisasian Masyarakat Dalam Upaya

Pengurangan Risiko Bencana Dengan Pendekatan Perempuan Sebagai Strategi Untuk Tangguh Bencana Desa Surenlor Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek)

Skripsi ini membahas tentang proses pendampingan dan pengorganisasian masyarakat terhadap kerentanan bahaya tanah longsor. Tujuan dari pendampingan ini untuk mengurangi kerentanan masyarakat dari bahaya tanah longsor yang timbul karena berbagai faktor penyebabnya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya dampak bahaya tanah longsor terhadap kehidupan mereka, kurangnya respon dan partisipasi masyarakat terhadap bencana dan belum adanya regulasi dari desa dalam upaya pengurangan risiko bencana. Kesadaran masyarakat terhadap bencana masih pada kesadaran yang responsif, bukan pada preventif (pencegahan). Seringkali masyarakat baru sadar ketika bencana sudah menimpa mereka. Budaya sadar akan bencana juga masih sangat minim.

Penelitian dan pendampingan ini menggunakan metode PAR (Participatory Action Research).Di dalam kegiatan PAR, penelitimelebur ke dalamnya dan bekerja bersama dengan masyarakat dalam melakukan perubahan. PAR membahas kondisi masyarakat berdasarkan sistem makna yang berlaku. PAR tidak berposisi bebas nilai dan tidak memihak seperti yang dituntut ilmu pengetahuan sebagai syarat obyektivitas, melainkan harus memihak pada kelompok yang lemah, miskin, dirugikan, dan menjadi korban. Pendekatan ini sebagai alat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat untuk memahami dan mengubah situasi kehidupan mereka menjadi lebih baik dan berkeadilan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan meliputi, agenda riset bersama, merumuskan masalah bersama komunitas dan membuat perencanaan strategis

Di dalam proses pendampingan ini, pendamping dan masyarakat membentuk kelompok wanita siaga bencana yang didalamnya merupakan sebuah wadah untuk belajar dan mengakses informasi tentang kebencanaan. Pendamping memilih pendekatan ibu-ibu karena perempuan merupakan kelompok yang rentan terkena bencana. perempuan juga merupakan seseorang yang mampu melindungi anak-anaknya. mereka lebih sering berada di rumah dan keberadaannya hampir selalu ada di lingkungan sekitar wilayah bencana, menyebabkan penyebaran informasi melalui perempuan sangat efektif .Ibarat sebuah pepatah yang diungkapkan oleh Presiden Tanzania Nyerere yang mengatakan bahwajika kita mendidik seorang laki-laki berarti kita telah mendidik seorang saja, tetapi jika kita mendidik seorang perempuan berarti kita telah mendidik seluruh anggota keluarga. Karena perempuan merupakan orang yang bertanggung jawab dan telaten ketika diberi beban atau dipercaya untuk memegang suatu program.

Kata Kunci: Pengorganisasian, Budaya Sadar Bencana, Pemberdayaan


(7)

✁✂✄ ✁☎✆ ✝✆

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiii

DAFTAR ISI... xv

DAFTAR BAGAN ... xx

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR TABEL... xxiii

DAFTAR DIAGRAM... xxv

✞✁ ✞✆✟✠ ✡ ✁☛ ☞✌ ☞✁✡ A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian Untuk Pemberdayaan ... 9

D. Strategi Pemecahan Masalah Dan Harapan... 10


(8)

✍✎ ✍✏ ✏✑✎JIAN TEORI DAN PENELITIAN TERKAIT

A. Pengurangan Risiko Bencana ... 26

1. Landasan Global ... 30

a. Resolusi PBB ... 30

b. Strategi Yokohama... 31

c. Kerangka Aksi Hyogo... 34

2. Landasan Regional... 37

a. Rencana Aksi Beijing... 37

B. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas... 38

C. Gender Dalam Pengurangan Risiko Bencana... 42

D. Konsep Desa tangguh Bencana ... 48

E. Konsep Desa Tangguh Bencana Dalam Perspektif Islam ... 50

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF A. Metode Penelitian Pemberdayaan ... 60

1. Pendekatan Penelitian ... 60

2. Ruang Lingkup ... 63

3. Prosedur atau Langkah-langkah Pendampingan... 64

4. Wilayah dan Subjek Pendampingan ... 68

5. Teknik Pengumpulan Data... 69

6. Teknik Validasi Data ... 72


(9)

BAB IV MENERABAS DESA SURENLOR KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK

A. Surenlor Secara Geografis... 75

B. Surenlor Secara Topografis... 77

C. Surenlor Secara Demografis... 78

D. Kondisi Pendidikan ... 79

E. Kondisi Ekonomi... 82

F. Kondisi Kesehatan... 88

G. Hubungan Sosial dan Budaya ... 90

BAB V DESA SURENLOR SEBAGAI DESA RENTAN BENCANA TANAH LONGSOR A. Kerentanan Alam dan Lingkungan Desa Surenlor... 96

B. Kerentanan Masyarakat... 113

1. Kelompok Rentan ... 113

2. Paradigma Masyarakat ... 118

3. Kesadaran masyarakat ... 121

4. Respon dan Partisipasi Masyarakat ... 124

5. Perspektif Pemangku Kebijakan Terhadap Isu Bencana ... 137

BAB VI DINAMIKA PROSES PENGORGANISASIAN KOMUNITAS DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA A. Proses Menemu Kenali Komunitas Dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana... 128


(10)

B. Proses Merubah Paradigma Dari Responsif Menjadi

Preventif ... 138

1. Agenda Riset Bersama ... 138

2. Merumuskan Masalah Bersama Komunitas ... 145

3. Membuat Perencanaan Strategis... 147

4. Membangun Jaringan Stakeholders... 148

BAB VII MENUJU DESA SIAGA MELALUI PEREMPUAN TANGGUH BENCANA A. Aksi Penyadaran Masyarakat dalam Perspektif Islam ... 154

1. Pemetaan Daerah Rawan Bencana Sebagai Langkah Awal Untuk Menemu Kenali Tanda Bencana Tanah Longsor... 156

2. Media Visual Sebagai Aksi Dalam Membangun Kesadaran dan Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Dalam Pengurangan Risiko Bencana ... 163

B. Aksi Kesiapsiagaan Dan Mitigasi Sebagai Upaya Dalam Pengurangan Risiko Bencana... 169

1. Kelompok Wanita Siaga Bencana Sebagai Bentuk Kesiapsiagaan Dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana ... 169

2. Penanaman Sengon Sebagai Aksi Mitigasi Jangka Panjang Dalam Pengurangan Risiko Bencana ... 175


(11)

3. Advokasi Kebijakan Desa Terkait dengan Pengurangan Risiko Bancana ... 180

BAB VIII MEMBANGUN PARADIGMA MASYARAKAT

TENTANG KEBENCANAAN (SEBUAH CATATAN REFLEKSI)

A. Perubahan Paradigma Dari Responsif Menjadi Preventif... 182 B. Pengurangan Risiko Bencana Sebuah Upaya Membangun

Kesiapsiagaan... 191 C. Melepaskan Pandangan Masyarakat Bahwa Bencana ItuTerjadi

Karena Cuaca Yang Ekstrim Dan Sudah Menjadi Takdir ... 194 D. Murubah Paradigma Masyarakat Dari Bencana Sebagai

Musibah Menjadi Peringatan ... 197

BAB XI PENUTUP

A. Kesimpulan... 199 B. Rekomendasi ... 200

DAFTAR PUSTAKA ... 203 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1AnalisisPohon Masalah Kerentanan Masyarakat Terhadap

Bahaya Tanah Longsor ... 11 Bagan 1.2Analisis Pohon Harapan Kemandirian Masyarakat Terhadap

Bahaya Tanah Longsor ... 17 Bagan 1.3Matriks Strategi Perumusan program ... 20


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1Hubungan Konseptual antara Bahaya, Kerentanan dan

Kapasitas... 28

Gambar 4.1Peta Desa Surenlor ... 76

Gambar 4.2Tradisi Bayi yang Berumur 7 Bulan ... 93

Gambar 4.3Pertunjukan Jaranan dalam Menyambut Tahun Baru 2017 ... 94

Gambar 5.1Peta Topografi Desa Surenlor ... 104

Gambar 5.2Longsor Megakibatkan Tertutupnya Akses Jalan Menuju RT 01. 107 Gambar 5.3Selang-selang Air Dibiarkan Tanpa Pelingdung Yang Sering Kali Mengalami Kebocoran... 108

Gambar 5.4Morfometri Kemiringan Lereng Desa Surenlor ... 110

Gambar 5.5Peta Rawan Longsor Desa Surenlor... 112

Gambar 5.6Kejadian Longsor yang Menimpa sebagian Rumah Warga... 115

Gambar 6.1Pemetaan Daerah Rawan Bencana Oleh Ketua RT 05 ... 136

Gambar 6.2FGD 1 dirumah Sarti (48) RT 04 Dusun Jeruk Gulung ... 139

Gambar 6.3Suasana FGD ke 2 di rumah Jiyah (54) RT 13 dusun Jeruk Gulung ... 145

Gambar 6.4Diskusi bersama Dedi (32) sebagai BABINKAMTIBMAS Desa Surenlor ... 147

Gambar 6.5Ketua Umum BPBD Kabupaten Trenggalek Menyambut dengan Baik Kedatangan Pendamping ... 152

Gambar 7.1Paikun (47) menggambar Peta Daerah Rawan Bencana ... 158 Gambar 7.2Peninjauan langsung lokasi yang selalu menjadi langganan tanah


(14)

Gerak ... 159 Gambar 7.3Retakan tanah yang semakin melebar yang terjadi di RT 13 dusun

Jeruk Gulung ... 160 Gambar 7.3Retakan tanah yang semakin melebar yang terjadi di RT 13 dusun

Jeruk Gulung ... 161 Gambar 7.4Diskuji dan Mengkaji Daerah yang Rawan Longsor ... 163 Gambar 7.5Pemutaran film-film dokumenter sebagai aksi penyadaran

terhadap paradigma masyarakat ... 164 Gambar 7.6Pemetaan daerah yang rawan bencana oleh masyarakat RT 13

Dusun Jeruk Gulung... 166 Gambar 7.8Suasana FGD dengan ibu-ibu PKK, Guru PAUD, dan Ketua

Kelompok Yasinan per RT yang diadakan di Balai Desa

Surenlor. ... 170 Gambar 7.9Suasana Ketika Kepala Desa Memberikan Pengarahan

Tentang Kelompok Wanita Siaga Bencana Desa Surenlor ... 171 Gambar 7.10Pendamping Foto Bersama Kelompok wanita Tangguh Bencana

Desa Surenlor ... 173 Gambar 7.11Diskusi Bersama Kepala Sekolah SMPN 1 Bendungan ... 176 Gambar 7.12Suasana Ketika Kegiatan Penanaman Berlangsung ... 177 Gambar 7.16Aksi Penanaman Sengon Sebagai bentuk Mitigasi dalam


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1Kerangka Berfikir dalam Pemberdayaan Kelompok Rentan

Desa Surenlor ... 19

Tabel 2.1Perbandingan Penelitian yang Terdahulu dengan yang Sekarang .... 58

Tabel 4.1Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Tahun 2013... 77

Tabel 4.2Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 78

Tabel 4.3Jumlah Kepala Keluarga ... 79

Tabel 4.4Contoh belanja rumah tangga tergolong cukup mampu dari keluarga Sayuti ... 83

Tabel 4.5Contoh belanja rumah tangga keluarga mampu dari Riko... 84

Tabel 4.6Contoh belanja rumah tangga kurang mampu dari Pait ... 86

Tabel 5.1Daftar Kejadian Tanah Longsor dari Tahun 2005-2016... 96

Tabel 5.2 Karakteristik Tanah Longsor ... 99

Tabel 5.2Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor ... 101

Tabel 5.3Kalender Harian Keluarga Narti (36)... 105

Tabel 5.4Tingkat Kejadian Tanah Longsor ... 107

Tabel 5.5Hubungan Kelas Lereng Dengan Sifat-Sifat Proses Dan Kondisi Lahan Disertai Simbol Warna Yang Disarankan (dalam peta rawan Bencana)... 111

Tabel 5.6Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerentanan Masyarakat terhadap Tanah Longsor ... 117

Tabel 5.7Kerentanan Desa Surenlor ... 117


(16)

Tabel 7.1Aksi Pemetaan Daerah Rawan Bencana ... 161

Tabel 7.2Aksi Kampanye Tentang Pengurangan Risiko Bencana... 167

Tabel 7.3Partisipasi Masyarakat terhadap Kampanye Sadar Bencana ... 168

Tabel 7.4Susunan Kelompok Wanita Siaga Bencana Desa Surenlor Tahun 2017... ... 172

Tabel 7.5Aksi Pembentukan Perempuan Kelompok Siaga Bencana Desa... 173

Tabel 7.6Aksi Penanaman sebagai Bentuk Mitigasi dalam Pengurangan Risiko Bencana Tanah longsor ... 179

Tabel 8.1Tabel Perubahan Masyarakat Sebelum dan Sesudah Pendampingan Aksi ... ... 183

Tabel 8.2Tingkat keaktifan Masyarakat dalam Kegiatan ... 184

Tabel 8.3HasilTrend And Change...186

Tabel 8.4Trend And ChangeRespon dan Partisipasi Masyarakat ... 188


(17)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1Diagram Pendidikan Terakhir Masyarakat Desa Surenlor... 81

Diagram 4.2Prosentase Pekerjaan Kepala Keluarga ... 87

Diagram 4.3Daftar Kejadian Penyakit Di Tahun 2015 ... 89


(18)

✒✓ ✒✔✔

✕✓JIAN TEORI DAN PENELITIAN TERKAIT A. Pengurangan Risiko Bencana

Dalam perkembangannya secara global, sejak dikumandangkannya dekade internasional pengurangan bencana (UNDR) yang kemudian dilanjutkan oleh strategi internasional pengurangan risiko bencana (ISDR), muncul istilah pengurangan risiko bencana (PRB) yang lebih memberikan pesan menguatkan penanggulangan bencana pada aspek antisipatif, preventif, dan mitigatif. Pada saat yang bersamaan terminologi-terminologi seperti penanggulangan bencana tidak lagi populer dan menjadi bagian dari status quo.1

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan mengurangi risiko-risiko bencana. PRB bertujuan untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lainnya yang menimbulkan kerentanan.2 Menurut definisi dari UNISDR, makna PRB yaitu sebuah kerangka konseptual dari elemen-elemen yang mengandung kemungkinan dalam mereduksi kerentanan dan bencana di dalam masyarakat, atau juga mencegah/menghindari atau membatasi (memitigasi dan upaya kesiapsiagaan) dampak dari ancaman-ancaman dalam konteks yang lebih luas, yakni pembangunan berkelanjutan.3

1Eko Teguh Paripurno, Panduan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK),

Buku 1: pentingnya PRBBK, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia 2011 hal. 13

2Ibid, hal 12

3 Jonatan Lassa dkk, Kiat Tepat Mengurangi Resiko Bencana Pengelolaan Resiko Bencana


(19)

27

Komponen-komponen utama PRB meliputi: 1) Kesadaran tentang dan penilaian risiko, termasuk di dalamnya analisis ancaman serta analisis kapasitas dan kerentanan, 2) Pengembangan pengetahuan termasuk pendidikan, pelatihan, penelitian dan informasi, 3) Komitmen kebijakan dan kerangka kelembagaan termasuk organisasi, kebijakan, legislasi, dan aksi komunitas (yang bisa diterjemahkan disini sebagai pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK), 4) Penerapan ukuran-ukuran PRB seperti pengelolaan lingkungan, tata guna lahan, perencanaan perkotaan, proteksi fasilitas-fasilitas sosial (critical facilities), penerapan ilmu teknologi, kemitraan dan jejaring, instrumen keuangan, dan 5) Sistem peringatan dini, termasuk di dalamnya prakiraan, sebaran peringatan, ukuran-ukuran kesiapsiagaan, dan kapasitas respons (UNISDR, 2004).4

Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu dipahami potensi risiko yang mungkin muncul, yaitu besarnya kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa, korban, kerusakan dan kerugian ekonomi) yang disebabkan oleh bahaya tertentu. Risiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas dari dampak atau konsekuensi suatu bahaya. Jika potensi risiko pada pelaksanaan kegiatan jauh lebih besar dari manfaatnya, maka kehati-hatian perlu dilipat gandakan. Upaya mengurangi kerentanan yang melekat, yaitu sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekuensi (fisik, sosial, ekonomi dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana, misalnya: menebang hutan, penambangan batu, membakar hutan.5

4Ibid,hal 8 5Ibid, hal 12


(20)

28

Dalam pengkajian risiko bencana, dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:

Risiko bencana = Ancaman*Kerentanan Kapasitas

Gambar 2.1

Hubungan Konseptual antara Bahaya, Kerentanan dan Kapasitas Ancaman Bahaya

Kapasitas/ketidakmampuan Kerentanan Sumber: UNDP/UNDRO,19926

Kerentanan menunjukkan kerawanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman. Kemampuan adalah upaya atau kegiatan yang dapat mengurangi korban jiwa atau kerusakan. Ketidakmampuan merupakan kelangkaan upaya atau kegiatan yang dapat mengurangi korban jiwa atau kerusakan. Semakin tinggi bahaya, kerentanan, dan ketidakmampuan maka semakin besar risiko bencana yang dihadapi.7

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan

6Rosalina Kumalawati, Penginderaan Jauh Pemetaan Daerah Rawan Bencana Lahar Gunung

Api Merapi .2015. (Jakarta: Penerbit Ombak). Hal. 15

7Ibid, hal 15


(21)

29

antara ancaman, kerentanan, dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana sangat bergantung pada:

1. Tingkat ancaman kawasan;

2. Tingkat kerentanan kawasan yang terancam; 3. Tingkat kawasan yang terancam.8

Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 komponen risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu kawasan. Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. adapun upaya pengurangan risiko bencana berupa:

1. Memperkecil ancaman kawasan;

2. Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam; 3. Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.9

Pelaksanaan pengurangan risiko bencana di Indonesia merupakan bagian dari upaya pengurangan risiko bencana di tingkat global dan regional. Beberapa forum Internasional telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang melandasi upaya pengurangan risiko bencana di tingkat nasional. Agar dapat terlaksana dengan efektif dan efisien, upaya pengurangan risiko bencana di indonesia perlu didukung

8Peraturan kepala badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 tentang pedoman

umum pengkajian risiko bencana

9


(22)

30

dengan landasan yang kuat dengan mengacu pada kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

1. Landasan Global a. Resolusi PBB

Perhatian PBB terhadap masalah pengurangan risiko bencana dimulai dengan dikeluarkannya resolusi dalam sidang Majelis Umum ke-2018 mengenai Bantuan dalam Situasi Bencana Alam dan Bencana Lainnya pada tanggal 14 Desember 1971. Resolusi ini kemudian ditindaklanjuti dengan Resolusi Nomor 46/182 tahun 1991 mengenai Penguatan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB dalam hal Bencana.10

Pada tanggal 30 Juli 1999, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 63 tahun 1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Dalam resolusi ini, Dewan Ekonomi dan Sosial mengharapkan agar PBB memfokuskan tindakan kepada pelaksanaan Strategi Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (International Strategy for Disaster Reduction/ISDR). Strategi ini merupakan landasan dari kegiatan-kegiatan PBB

dalam pengurangan risiko bencana yang sekaligus memberikan arahan kelembagaan melalui pembentukan kelompok kerja lintas instansi lembaga-organisasi. Sasaran utama ISDR adalah untuk: (1) mewujudkan ketahanan masyarakat terhadap dampak bencana alam, teknologi dan lingkungan. (2) mengubah pola perlindungan terhadap bencana menjadi manajemen risiko


(23)

31

bencana dengan melakukan penggabungan strategi pencegahan risiko kedalam kegiatan pembangunan berkelanjutan.11

Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana dilakukan dengan tujuan:

1. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bencana alam, teknologi, lingkungan dan bencana sosial.

2. Mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi risiko bencana terhadap manusia, kehidupan manusia, infrastruktur sosial dan ekonomi serta sumber daya lingkungan.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksaan kegiatan pengurangan risiko bencana melalui peningkatan kemitraan dan perluasan jaringan upaya pengurangan risiko bencana.

4. Mengurangi kerugian ekonomi dan sosial akibat bencana. b. Strategi Yokohama

Strategi Yokohama ditetapkan pada tahun 1994. Dokumen ini merupakan panduan internasional bagi upaya pengurangan risiko dan dampak bencana. strategi yokohama menitikberatkan pada upaya untuk melakukan kegiatan yang sistematik untuk menerapkan upaya pengurangan risiko bencana dalam pembangunan berkelanjutan. Disamping itu, strategi Yokohama juga menganjurkan dilksanakannnya upaya untuk meningkatkan ketahanan masyarakat melalui peningkatan kemampuan untuk mengelola dan mengurangi risiko bencana. upaya ini, dilakukan dengan pendekatan yang lebih proaktif


(24)

32

dalam memberikan informasi, motivasi dan melibatkan masyarakat dalam segala aspek pengurangan risiko bencana.12

Beberapa isu dan tantangan yang teridentifikasi dalam Strategi Yokohama antara lain:

1. Tata pemerintahan, organisasi, hukum dan kerangka kebijakan. 2. Identifikasi risiko, pengkajian, monitoring dan peringatan dini. 3. Pengetahuan dan pendidikan

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana. 5. Persiapan tanggap darurat dan pemulihan yang efektif.

Kelima aspek diatas merupakan kunci dasar pengembangan kerangka rencana aksi pengurangan risiko bencana. aspek-aspek tersebut dijabarkan melalui prinsip-prinsip dasar dalam upaya pengurangan risiko bencana antara lain:13 1. Pengkajian risiko bencana adalah langkah yang diperlukan untuk penerapan

kebijakan dan upaya pengurangan risiko bencana yang efektif.

2. Pencegahan dan kesiapsiagaan bencana sangat penting dalam mengurangi kebutuhan tanggap bencana.

3. Pencegahan bencana dan kesiapsiagaan merupakan aspek terpadu dari kebijakan pembangunan dan perencanaan pada tingkat nasional, regional dan internasional.

12Ibid 13ibid


(25)

33

4. Pengembangan dan penguatan kemampuan untuk mencegah, mengurangi dan mitigasi bencana adalah perioritas utama dalam Dekade Pengurangan Bencana Alam Internasional.

5. Peringatan dini terhadap bencana dan penyebarluasan informasi bencana yang dilakukan secara efektif dengan menggunakan sarana telekomunikasi adalah faktor kunci bagi kesuksesan pencegahan dan kesiapsiagaan bencana. 6. Upaya-upaya pencegahan akan sangat efektif bila melibatkan partisipasi masyarakat lokal (lembaga adat dan budaya setempat), nasional, regional dan internasional.

7. Kerentanan terhadap bencana dapat dikurangi dengan menerapkan desain dan pola pembangunan yang difokuskan pada kelompok-kelompok masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat.

8. Masyarakat internasioanal perlu berbagi teknologi untuk mencegah, mengurangi dan mitigasi bencana, dan hal ini sebaiknya dilaksanakan secara bebas dan tepat waktu sebagai bagian dari kerjasama teknik.

9. Perlindungan lingkungan merupakan salah satu komponen pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan pengentasan kemiskinan dan merupakan upaya yang sangat penting dalam pencegahan dan mitigasi bencana alam. 10. Setiap negara bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat,

infrastruktur dan aset nasional lainnya dari dampak yang ditimbulkan oleh bencana. masyarakat internasional harus menunjukkkan kemauan politik yang kuat untuk mengerahkan sumberdaya yang ada secara optimal dan efisien termasuk dalam hal pendanaan, ilmu pengetahuan dan teknologidalam


(26)

34

upaya pengurangan risiko bencana yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara berkembang.

c. Kerangka Aksi Hyogo

Dengan memperhatikan beberapa aspek upaya pengurangan risiko bencana, Konferensi Pengurangan Risiko Bencana Dunia(World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada bulan Januari tahun 2005 di

Kobe, menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi dasar tersebut perlu menjadi komitmen pemerintah, organisasi-organisasi regional dan internasional, masyarakat, swasta, akademisi dan para pemangku kepentingan terkait lainnya. Strategi yang digunakan untuk melaksanakan substansi dasar tersebut antara lain:14

1. Memasukkan risiko bencana dalam kebijakan, perencanaan dan program-program pembangunan berkelanjutan secara terpadu dan efektif dengan penekanan khusus pada pencegahan, mitigasi, persiapan, dan pengurangan kerentanan bencana.

2. Pengembangan dan penguatan institusi, mekanisme dan kapasitas kelembagaan pada semua tingkatan, khususnya pada masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan ketahanan terhadap bencana secara sistematik.

14


(27)

35

3. Kerjasama yang sistematik dalam pengurangan risiko bencana, pelaksanaan kesiapsiagaan darurat dan program pemulihan dalam rangka rekonstruksi bagi masyarakat terkena dampak bencana.

Substansi dasar yang selanjutnya merupakan perioritas kegiatan untuk tahun 2005-2015 antara lain:

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat. 2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan

sistem peringatan dini.

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat.

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.

Tindak lanjut dari kerangka Aksi Hyogo ini telah dilakukan di beberapa negara dan kawasan diantaranya dikawasan negara-negara Kepulauan Pasifik yang telah menetapkan Framework for Action 2005-2015: An Investment for Sustainable Development in Pacific Island Countries; Kawasan Afrika

membentukAfrica Advisory Group on Disaster Risk reductiondan menetapkan African Regional Platform of National Platfrom for Disaster Risk Reduction;

dan di kawasan Asia telah disepakati dokumenBeijing Declaration on the 2005 World Conference on Disaster Reduction.Pada lingkup negara-negara ASEAN


(28)

36

telah disepakati ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response.

Sejak Kerangka Hyogo diadopsi tahun 2005, seperti terdokumentasi dalam laporan kemajuan implementasi nasional dan regional demikian juga di laporan-laporan dunia lainnya, telah banyak dicapai kemajuan dalam mengurangi risiko bencana di tatarn lokal, nasional, regional dan dunia yang dilakukan oleh negara-negara dan pemangku kepentingan terkait lainnya, hasilnya adalah menurunnya tingkat kematian dalam beberapa kasus risiko bahaya.15 Namun, selama kurun waktu 10 tahun bencana masih terus memberikan dampak berat dan sebagai hasilnya, kesejahteraan dan keselamatan manusia, masyarakat dan negara secara keseluruhan terkena dampaknya yang kebanyakan diakibatkan oleh perubahan iklim serta makin meningkat baik dalam frekuensi dan intensitasnya.16 Selama konferensi Dunia, negara-negara juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk mengatasi masalah Pengurangan Risiko Bencana dengan mempertimbangkannya dengan kerangka yang sesuai.

Maka dibentuklah Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana tahun 2015-2030 yang diresmikan penggunaanya dalam Konferensi Dunia ketiga PBB di Sendai, Jepang, pada tanggal 8 Maret 2015. Kerangka kerja ini adalah hasil dari konsultasi antar pemegang kepentingan yang dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2012 serta negosiasi antar negara yang yang dilaksanakan

15Kerangka Kerja Sendai untuk pengurangan risiko bencana Tahun 2015-2030 16Ibid


(29)

37

mulai bulan Juli 2014 hingga bulan Maret 2015, didukung oleh Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana atas permintaan Majelis Umum PBB.17

Kerangka Kerja Sendai disusun menggunakan elemen-elemen yang dapat memastikan keberlanjutan pekerjaan yang telah dilakukan oleh negara-negara dan pemangku kepentingan di bawah HFA dan mengenalkan beberapa inovasi yang disarankan dalam konsultasi dan negosiasi. Banyak komentator menyebutkan bahwa perubahan terpenting dalam kerangka kerja ini adalah penekanannya terhadap manajemen risiko bencana dan bukan lagi manajemen bencana seperti sebelumnya. Fakus tujuannya yaitu pada pencegahan munculnya risiko baru, mengurangi risiko yang ada dan memperkuat ketahanan, juga menghasilkan prinsip-prinsip panduan, termasuk tanggung jawab utama negara dalam mencegah dan mengurangi risiko bencana.18

2. Landasan Regional a. Rencana Aksi Beijing

Rencana Aksi Beijing(Beijing Action Plan)merumuskan strategi dan pola

kemitraan dalam penanganan dan pengurangan bencana dikawasan Asia dengan melibatkan semua pihak terkait. Selain menegaskan kembali komitmen terhadap pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo, Rencana Aksi Beijing juga menghasilkan kesepakatan bahwa semua negara di Asia diharapkan segera memperioritaskan penyusunan RAN-PRB.19

17Ibid 18Ibid


(30)

38

B. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas

Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) atauCommunity Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) sering dianggap sinonim dengan

Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas (PBBK) / Community Based Disaster Management (CBDM). PRBBK adalah sebuah pendekatan yang

mendorong komunitas akar rumput dalam melakukan interpretasi sendiri atas yang dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/pengurangan yang dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi kinerjanya sendiri dalam upaya pengurangan bencana. Namun pokok dari keduanya adalah penyelenggaraan yang seoptimal mungkin memobilisasi sumberdaya yang dimiliki dan dikuasainya serta merupakan bagian internal dari kehidupan keseharian komunitas. Pemahaman ini penting, karena masyarakat akar rumput yang berhadapan dengan ancaman bukanlah pihak yang tak berdaya sebagaimana dikonstruksikan oleh kaum teknokrat. Kegagalan dalam memahami hal ini berakibat pada ketidak berlanjutan pengurangan risiko bencana ditingkat akar rumput.20

PRBBK adalah suatu proses pengelolaan risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanannya dan meningkatkan kemampuannya, PRBBK merupakan proses internalisasi PRB di tingkat komunitas rentan yang dirancang secara partisipatoris dengan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya lokal dilakukan untuk membangun

20 Eko Teguh Paripurno, Panduan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)


(31)

39

pondasi rasa aman yang segala kegiatannya mendorong untuk ketercukupan kebutuhan dasar serta membangun berbagai perangkat dan kegiatan untuk pengurangan risiko bencana. Dibentuk sebagai proses yang berkelanjutan sebagai bagian dari proses pembangunan.21 Pelaksanaan PRBBK di Indonesia dalam gambaran besarnya masih mencari bentuk di masing-masing konteks lokal. Berbagai inisiatif membangun , desa tangguh , desa siaga , desa kenyal bencana , desa model PRBBK , mukim daulat bencana , hingga rentetan penamaan lainnya ynag berbeda-beda, masih dalam taraf proyek percontohan dari berbagai versi organisasi nonpemerintah maupun pemerintah dan donor. Semuanya masih dalam tahap mencari bentuk yang terbaik.22

Masyarakat lokal dengan ancaman bencana bukanlah pihak yang tidak berdaya, apabila agenda pengurangan risiko bencana bukan lahir dari kesadaran atas kapasitas komunitas lokal serta perioritas yang dimiliki oleh komunitas maka upaya tersebut tidak mungkin berkelanjutan. Namun, seringkali pemerintah cenderung menerapkan pendekatan atas ke bawah(top down) dalam perencanaan

manajemen bencana dimana kelompok sasaran diberi solusi yang dirancang untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri. Pendekatan seperti itu cenderung mendekatkan tindakan-tindakan manajemen

21United Nations Development Programme and Government of Indonesia.panduan Pengurangan

Resiko Bencana Berbasis Komunitas.Tahun 2012 hal. 18

22 Jonatan Lassa dkk, Kiat Tepat Mengurangi Resiko Bencana Pengelolaan Resiko Bencana


(32)

40

bencana fisik dibandingkan perubahan-perubahan sosial untuk membangun sumber daya dari kelompok yang rentan.23

Salah satu pendekatan alternatif adalah mengembangkan kebijakan manajemen bencana lewat konsultasi dengan kelompok-kelompok setempat dan menggunakan tehnik serta tindakan dimana masyarakat dapat mengorganisasi diri secara mandiri dengan bantuan teknis terbatas dari luar. Program manajemen bencana berbasis masyarakat tersebut dianggap lebih memungkinkan untuk melahirkan tindakan yang responsive terhadap kebutuhan komunitas, dan untuk mengambil bagian dalam pembangunan komunitas. Pendekatan ini juga cenderung memaksimalkan penggunaan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja, material dan organisasi. Praktek manajemen bencana yang berhasil harus melibatkan kerjasama antara komunitas dengan instansi yang terkait. Komunitas lokal harus sadar akan risiko dan peduli untuk melakukan tindakan untuk menghadapi risikonya. Masyarakat mungkin memerlukan bantuan tehnis, bantuan materi dan bantuan dalam membangun kapabilitas-kapabilitas mereka sendiri.24

Tujuan PRBBK adalah mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas komunitas untuk menghadapi risiko bencana yang mereka hadapi. Keterlibatan langsung komunitas dalam melaksanakan tindakan-tindakan peredaman risiko di tingkat lokal adalah suatu keharusan. Beberapa penulis membedakan antara keikutsertaan komunitas dan dengan keterlibatan komunitas. Keikutsertaan dan keterlibatan komunitas digunakan secara bergantian, yang berarti bahwa komunitas

23 Habibullah, Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas: Kampung Siaga

Bencana dan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana .jurnal informasi vol. 18, No. 02, Tahun 2013, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial RI


(33)

41

bertanggung jawab untuk semua tahapan program termasuk perencanaan dan pelaksanaan. Pada akhirnya, ujung dari partisipasi komunitas dalam penanggulangan bencana adalah penanggulangan bencana oleh komunitas itu sendiri. Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana yang berorientasi pada pemberdayaan dan kemandirian komunitas akan merujuk pada: (1) melakukan upaya pengurangan risiko bencana bersama komunitas dikawasan rawan bencana, agar selanjutnya komunitas mampu mengelola risiko bencana secara mandiri, (2) menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan komunitas di kawasan rawan bencana pada pihak luar, (3) penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pemberlanjutan kehidupan komunitas di kawasan rawan bencana, (4) pendekatan multisektor, multi disiplin, dan multi budaya.25

Ada berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) dan aktor dalam proses

pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas. Stakeholderpengelolaan bencana

secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) penerima manfaat, komunitas yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung, (2) intermediari, kelompok komunitas, lembaga, atau perseorangan yang dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam pengelolaan bencana antara lain: konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang kebencanaan, dan (3) pembuat kebijakan, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum seperti lembaga pemerintahan dan dewan kebencanaan. Penentuan dan

25United Nations Development Programme and Government of Indonesia.

panduan Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas.Tahun 2012 hal. 22


(34)

42

pemilahan stakeholder dilakukan dengan metode stakeholder Analysis yang

dilakukan melalui 4 (empat) tahap proses yaitu: (1) identifikasi stakeholder; (2)

penilaian ketertarikan stakeholderterhadap kegiatan penanggulangan bencana; (3)

penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiapstakeholder; dan (4) perumusan

rencana strategi partisipasistakeholderdalam penanggulangan bencana pada setiap

fase kegiatan. Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan kegiatan pembelajaran dan meningkatkan potensi komunitas untuk secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan penanggulangan bencana.26

C. Gender Dalam Pengurangan Risiko Bencana

Gender adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Ada bentuk- bentuk pembedaan yang lain misalnya pembedaan berdasarkan warna kelas, kasta, warna kulit, etnis, agama, umur dan lain sebagainya.27Gender juga sebuah alat analisis yang dapat digunakan untuk membedah kasus untuk memahami lebih dalam hubungan sebab akibat yang menghasilkan kenyataan. Analisis gender menganalisis hubungan-hubungan kuasa dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan manusia. Melalui analisis gender kita dapat menelaah ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh bangunan peradaban dan kebudayaan manusia.

26Panduan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas tahun 2012, hal.26

27Titin Murtakhamah, Pentingnya Pengarusutamaan Gender dalam Program Pengurangan Risiko

Bencana ,dalam jurnal WELFARE, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol.2, No.1, Juni 2013 hal 38


(35)

43

Salah satu isu kunci yang menjadi concern dari proses mentoring dalam

peredaman risiko bencana ini adalah memastikan bahwa analisis gender menjadi perspektif yang terintegrasi di dalamnya. Beberapa alasan yang mendasari mengapa mengapa integrasi perspektif ini begitu penting, akan dielaborasi dalam analisis kerentanan, analisis dampak, relasi antar pihak dan pilihan-pilihan yang tersedia untuk membuat upaya antisipasi bencana menjadi lebih terkelola dengan baik. penting untuk memandang bahwa gender mainstreaming dalam pengurangan risiko bencana berarti mendorong perempuan agar memiliki posisi kunci dalam manajemen, kepemimpinan dan juga dalam pengambilan keputusanprogram penanganan bencana. juga harus diperhatikan, karena pengurangan risiko bencana adalah bagian integral dari pembangunan, maka gender mainstreaming dalam proses ini juga berarti upaya mendorong kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan dan masyarakat.28

Deklarasi Beijing dan Rencana Aksinya dengan jelas mengakui bahwa degradasi lingkungan dan bencana mempengaruhi seluruh kehidupan manusia dan seringkali membawa dampak langsung yang lebih bagi perempuan. Sessi khusus ke 23 dari General Assembly pada tahun 2000 juga mengidentifikasi bencana alam sebagai tantangan terkini yang bisa mempengaruhi implementasi menyeluruh dari rencana aksi Beijing ini. Karenanya, dibutuhkan strategi untuk mengintegrasikan

28 Dati Fatimah, Gender Mainstreaming dalam Pengurangan Risiko Bencana, Penulis adalah

konsultan dan penulis lepas untuk isu-isu gender dalam anggaran, korupsi dan bencana, yang dipelajarinya dari berbagai interaksi dengan beragam komunitas perempuan di beberapa daerah. Laporan ini disusun sebagai catatan dengan mendasarkan pada proses mentoring Peredaman Risiko Bencana bagi mitra-mitra Hivos di Jawa Tengah dan DIY. Proses mentoring ini difasilitasi oleh tim fasilitator dari DREAM UPN bekerja sama dengan fasilitator dari 3 lembaga mitra Hivos yaitu Persepsi-Setara di Gantiwarno, FKISP di Kemalang keduanya di wilayah kabupaten Klaten, dan RTND di Piyungan, Bantul, Jogjakarta. Tulisan yang sama pernah di muat dihttp://bencana.net.


(36)

44

perspektif gender dalam pengembangan dan implementasi pencegahan bencana, mitigasi, dan strategi recovery.29

Berdasarkan pengalaman komunitas perempuan yang menjadi komunitas

survivor di India, Turki, Honduras, Jamaika dan Iran, mereka melakukan aksi

penanggulangan bencana alam dan bekerjasama dengan komunitas lainnya dalam membangun kembali secara fisik dan psikis. Hal ini terjadi karena perempuan mengerti kondisi di sekitarnya. Komunitas survivor ini mengarahkan dan

mengawasi distribusi yang diberikan pada masyarakat dengan tepat seperti pendistribusian air, membuka kembali sekolah-sekolah, memberikan pelayanan kesehatan reproduksi, mengurusi perempuan yang mengalami menstruasi, hamil, melahirkan sampai pada perempuan yang menyusui anaknya.30

Komunitas survivor menganggap perempuan terbiasa dengan hal-hal yang

berhubungan dengan realitas lokal, maka kekuatan inilah yang digunakan untuk memperbaiki kondisi mereka sendiri. Mereka bisa mengenal tetangga dan berkomunikasi antar sesama. Perempuan-perempuan di komunitas survivor ini

berbagi pengetahuan, budaya, pengalaman dan kepercayaan. Mereka ternyata menemukan beberapa hal yang mereka butuhkan seperti air, makanan, pemukiman dan kesehatan keluarga. Pertemuan dan diskusi yang intensif membuat mereka mampu merumuskan solusi bersama. Secara bersama pula mereka menemukan

29Ibid.

30 Tri Joko Sri Haryono dkk, Model Strategi Mitigasi Berbasis Kepentingan Perempuan pada

Komunitas Survivor di Wilayah Rawan Banjir , Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga.

Tri Joko Sri Haryono adalah Korespondesi: T.J.S. Haryono. Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Airlangga. Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286, Indonesia. Telepon: (031) 5034015. E-mail: trijoko.unair@gmail.com


(37)

45

kapasitas dan kekuatan mereka, kemudian mengoptimalkan keahlian yang ada dalam diri mereka sendiri untuk bersama membangun kembali daerahnya. Komunitas survivorinilah yang merupakan kelompok transformasi yang berbasis

pada manajemen bencana alam. Kelompok ini juga menyebarkan informasi yang mereka ketahui darisurvivorkesurvivoryang lain. Fakta dimasyarakat, perempuan

selalu tidak dipertimbangkan dalam memberikan bantuan bencana alam. Manajemen bantuan bencana alam yang berbasis pada kepentingan perempuan sangat perlu sebagai tataran kebijakan yang akan membantu perempuan yang selama ini tidak terpikirkan.31

Komunitassurvivortidak melibatkan perempuan dalam memikirkan tentang

langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana, padahal perempuan dan anak merupakan kelompok rentan bencana. salah sebab tidak dilibatkannya perempuan dalam penanggulangan bencana, yaitu kebijakan penanggulangan bencana yang tidak sensitif terhadap isu gender mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan (termasuk anak-anak dan lansia) dalam kesempatan memperoleh akses, manfaat serta partisipasi dan kontrol dari kebijakan, program maupun bantuan bencana yang diberikan. Para pengambil kebijakan dan pelaksanaan penanggulangan bencana sering memahami penanganan bencana tidak berpihak atau disebut netral gender. Pelaksana penanggulangan bencana umumnya melihat masyarakat terkena bencana sebagai kelompok homogen, padahal perempuan dan laki-laki berbeda, bukan hanya secara biologis saja, tetapi juga


(38)

46

berbeda dalam kebutuhan, peran dan status gender. Hal ini berdampak pada tanggung jawab, hak, kewajiban, pengalaman, termasuk dalam memperoleh akses dan manfaat dari program pembangunan, serta mempromosikan partisipasi perempuan dalam setiap usaha rehabilitasi dan rekonstruksi.32Jika ada perempuan yang terlibat dalam penanganan bencana, terutama dalam mengambil kebijakan maupun menetapkan strategi penanggulangan bencana, perempuan hanya dilibatkan dalam penanganan hanya bagi mereka yang bertugas di dinas-dinas pemerintah saja seperti bidan, perawat, sedangkan perempuan dari masyarakat biasa yaitu hanya bertugas sebagai pengelola bahan makanan saja, sedangkan yang lainnya dikerjakan oleh laki-laki.

Perempuan lebih rentan terhadap bencana karena peranan-peranan mereka yang terbentuk secara sosial. Seperti pernyataan Elain Enarson, Gender membentuk dunia sosial yang di dalamnya peristiwa-peristiwa alam terjadi .33  Perempuan kurang mempunyai akses kepada sumberdaya, jaringan dan

pengaruh sosial, transportasi, informasi, keahlian (termasuk literasi), kontrol atas tanah dan sumberdaya ekonomi lainnya, mobilitas pribadi, tempat tinggal dan pekerjaan yang aman, kebebasan dari kekerasan dan kontrol atas pengambilan keputusan yang esensial dalam kesiapan, mitigasi dan rehabilitasi bencana.  Perempuan adalah korban pembagian kerja berdasarkan gender. Mereka terlalu

banyak dilibatkan dalam industri pertanian, kerja mandiri, dan ekonomi

32

Ibid

33Fact Sheet, women Health and Development Program, pan America Health Organization dalam

United Nations Development Programme and Government of Indonesia. Panduan Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas . Tahun 2012 hal. 47


(39)

47

informal, dalam kerja bergaji kecil dengan keamanan yang kurang dan tidak menguntungkan seperti pelayanan kesehatan atau representasi serikat kerja. Sektor-sektor informasi dan pertanian biasanya yang paling banyak terkena dampak bencana alam, dengan demikian perempuan terlalu banyak dilibatkan di antara penganggur setelah terjadi bencana.

 Karena perempuanlah yang pertama-tama bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah tangga seperti mengurus anak dan dan orang tua atau orang cacat, maka mereka tidak bebas pindah untuk mencari kerja selepas bencana. Laki-laki memang sering pindah dan meninggalkan sejumlah besar rumah tangga yang dikepalai perempuan. Kegagalan dalam mengakui realitas dan beban ganda perempuan akibat tugas produktif dan reproduktif berarti peranan nyata perempuan dalam masyarakat tetap rendah, dan perhatian terhadap kebutuhan mereka secara menyedihkan tidak memadai.

 Bencana itu sendiri dapat menambah kerentanan perempuan.

Walaupun kita telah melihat perempuan secara serius dilanda bencana alam, ini hanyalah sebagian gambaran. Bencana alam sering memberi perempuan peluang unik dan menantang status gender mereka dalam masyarakat.34

 Perempuan telah membuktikan bahwa dirinya sangat diperlukan ketika menanggapi bencana. Setelah bencana badai di Mitch pada tahun 1998, perempuan di Guatemala dan Honduras tampak membangun rumah, menggali sumur dan selokan, menimba air dan membangun kamp penampungan. walaupun kadang tidak sesuai dengan keinginan laki-laki, perempuan rela dan

34


(40)

48

dapat mengambil perana aktif dalam tugas-tugas yang secara tradisional dianggap sebagai tugas-tugas laki-laki. Hal ini dapat berpengaruh terhadap perubahan gambaran masyarakat tentang kemampuan perempuan.

 Perempuan paling efektif dalam menggerakkan masyarakat untuk menanggapi bencana. Mereka membentuk kelompok dan jaringan pelaku sosial yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendesak dalam komunitas. Jenis pengaturan komunitas ini telah terbukti esensial dalam kesiapan dan mitigasi bencana.

 Setelah gempa bumi tahun 1985 di Mexico City, para perempuan pekerja pabrik perakitan membentuk organisasi mereka sebagai bagian Serikat Pekerja Garmen 19 September, yang diakui pemerintah Meksiko dan terbukti menjadi alat runding bagi pemulihan pekerjaan perempuan.

 Menyusul Badai Joan, perempuan di Mulukutu, Nikaragua mengorganisasikan diri untuk mengembangkan rencana kesiapan menghadapi bencana yang melibatkan semua anggota keluarga. Hasilnya, Mulukutu lebih siap dilanda badai yang sama.

 Sebagai hasil upaya-upaya responsif mereka, perempuan mengembangkan keahlian baru seperti pengelolaan sumberdaya alam dan pertanian yang dalam lingkungan yang baik, mereka dapat menjadikannya pasar kerja.

D. Konsep Desa Tangguh Bencana

Masyarakat yang tangguh ialah masyarakat yang mampu mengantisipasi dan meminimalisir kekuatan yang merusak, melalui adaptasi. Mereka juga mampu mengelola dan menjaga struktur dan fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana.


(41)

49

Dan jika terkena dampak bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun kehidupannya menjadi normal kembali atau paling tidak dapat dengan cepat memulihkan diri secara mandiri.35

Tangguh merupakan kesadaran yang terinternalisasi dalam sebuah komunitas sehingga menghasilkan kesiapsiagaan dan kapasitas yang tinggi dalam menghadapi bencana. Untuk mewujudkan bangsa yang tangguh menghadapi bencana tersebut terdapat 4 ciri, yaitu masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki : daya antisipasi, kemampuan menghindar atau menolak, kemampuan daya adaptasi dengan lingkungannya, dan daya melenting. Empat ciri tersebut dapat ditempuh melalui 4 strategi secara komprehensif, yakni dengan menjauhkan bencana dari masyarakat, menjauhkan masyarakat dari bencana, hidup harmoni dengan risiko bencana atau menumbuhkembangkan dan mendorong kearifan lokal masyarakat dalam penanggulangan bencana. Menjauhkan bahaya atau ancaman itu dari masyarakat. Sebagai contoh, bahaya alam seperti gempa bumi, gunungapi, tampaknya akan sulit atau bahkan kadang tidak mungkin dilakukan. Mencegah timbulnya bahaya atau mengeliminasi suatu ancaman, memerlukan upaya yang sangat besar. Maka kemungkinan kedua dengan menjauhkan masyarakat dari bencana. Upaya inilah yang disebut dengan relokasi. Pekerjaan ini bisa dilakukan, namun memerlukan pendekatan sosial yang tepat. Adalah Tidak mudah memindahkan manusia dari lingkungan yang sudah menjadi satu kesatuan. Cara ini bisa berhasil, bisa juga tidak. Apabila kedua cara tersebut sulit dilakukan, maka kita tempuh cara

35 Yan Agus Supianto,

Membangun Kemandirian Melalui Desa Tangguh Bencana . Kasi Pencegahan BPBD Kabupaten Garut


(42)

50

berikutnya, yaitu hidup harmoni dengan risiko bencana (living harmony with risk). Namun persoalannya, dalam kondisi ini kita harus mengenal karakter dan sifat-sifat alam, agar kita dapat menyesuaikan setiap perilaku alam. Mengenali sifat-sifat alam ini dimulai dengan memahami proses dinamikanya, waktu kejadiannya dan dampak yang ditimbulkan, karena manusia telah diberikan akal dan pikiran untuk bisa mengatasi dan mengadaptasi kondisi alam di sekitarnya. Sedangkan upaya yang terakhir adalah bagaimana kita belajar dari pengalamannya, masyarakat selalu berusaha untuk mendapatkan cara yang paling bijak dalam melawan, menghindari dan mengadaptasi terhadap bahaya yang mengancamnya. Dari pelajaran inilah kemudian setiap masyarakat terdampak menemukan kearifan lokal yang sangat spesifik dalam menghadapi ancaman bencana di masing-masing wilayah.36

E. Konsep Desa Tangguh Bencana Dalam Perspektif Islam

Dari tahapan penanggulangan bencana menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB), proses penanggulangan bencana tidak selalu dilaksanakan pada saat yang bersamaan dan dilakukan secara berurutan. Seperti tahapan tanggap darurat yang pada dasarnya dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana atau dikenal dengan istilah siaga bencana ketika perkiraan bencana akan segera terjadi. Pada tahapan siaga ini terdapat dua kemungkinan yaitu bencana benar-benar terjadi atau bencana tidak terjadi.37

36

Ibid.

37Abdillah Imron Nasution, Siaga bencana dalam islam, http://aceh.tribunnews.com/2011/12/23/siaga-bencana-dalam-islam diakses pada tanggal 30 November 2016


(43)

51

Sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 200 yang berbunyi sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. ( hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu) melakukan taat dan menghadapi musibah serta menghindari maksiat

(dan teguhkanlah kesabaranmu) menghadapi orang-orang kafir hingga mereka

tidak lebih sabar dari pada kamu. (dan tetaplah waspada serta siap-siaga)

dalam perjuangan. (serta bertakwalah kepada Allah) dalam setiap keadaan.

(supaya kamu beruntung) merebut surga dan bebas dari neraka.38 Dari

ayat diatas, bisa dilihat bahwa Allah menyuruh kita untuk lebih bersabar ketika datangnya musibah. Dijelaskan lagi bahwa hendaknya kita bersiap siaga sebelum terjadinya bencana. karena ketika terjadi suatu bencana yang mengharuskan seseorang untuk kehilangan semua harta bendanya maka kesabaran dan ketakwaan kita kepada Allah benar-benar akan diuji. Sehingga apabila kita masih berada pada jalan kita, yaitu jalan yang diridhoi oleh Allah, maka bagi kita adalah surganya Allah.

Lebih lanjut, dalam Surah Al An aam ayat 131:

38Imam Jalaluddin Al mahalli,

Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul Ayat Surat Al-fatihah s.d Al-Isra . 2013. (Yogyakarta : Jalasutra). Hal. 291


(44)

52

Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan siaga. , (yang demikian itu) mengutus para utusan. (supaya) huruf lam dimuqoddarohkan , sedangkanan

berasal dari anna yang di takhfifkan, yaitu, berasal dari li-annahu.

(Tuhanmu tidak membinasakan kota-kota secara aniaya) sebagian dari

kota-kota itu. (sedangkan penduduknya dalam keadaan lengah ) dan

belum pernah diutus kepada mereka seorang rasul pun yang memberikan penjelasan kepada mereka.39Al Quran menganjurkan untuk sebuah daerah berpenduduk dan memiliki pemerintahan untuk memiliki perencanaan siaga yang mengarah kepada kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan, mengurangi dampak, menangani secara efektif serta melakukan pemulihan diri dari dampak, dan jika memungkinkan dapat mencegah bencana itu sendiri.40

Dalam konteks manajemen, kesiapsiagaan membutuhkan perencanaan. Perencanaan merupakan fungsi-fungsi manajemen yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan yang ditetapkan dalam rangkaian proses yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana, jadi perencanaan menjadi hal yang sangat penting karena akan menjadi penentu dalam ketercapaian sebuah tujuan. Ayat 18 dari Surat Al-Hasyr dikenal sebagai konsep perencanaan.

. .

39Ibidhal 564

40 Abdillah Imron Nasution, Siaga bencana dalam islam, http://aceh.tribunnews.com/2011/12/23/siaga-bencana-dalam-islam diakses pada tanggal 30 November 2016


(45)

53

Ulama terkemuka seperti Imam Al Ghazali menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah kepada manusia untuk memperbaiki, meningkatkan keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui proses kehidupan yang tidak boleh sama dengan kehidupan yang sebelumnya. Imam Ghazali juga memberi penegasan pada kata perhatikanlah di mana manusia harus memperhatikan setiap perbuatan yang telah dikerjakan, serta mempersiapkan diri (merencanakan) untuk selalu berbuat yang terbaik demi hari esok. Konsep perencanaan siaga dalam Surat Al-Hasyr ayat 18 ini merupakan pokok pikiran yang sama dengan panduan penyusunan rencana kontinjensi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana di tahun 2011. Ada lima aspek yang dapat dilihat dari kesamaan konsep perencanaan tersebut, yaitu: Pertama, perencanaan harus melibatkan proses penetapan keadaan masa depan yang diinginkan (analisis dampak), kedua, keadaan masa depan yang diinginkan dibandingkan dengan kenyataan sekarang sehingga dapat dilihat kesenjangannya (analisis kesenjangan). Ketiga, untuk menutup kesenjangan perlu dilakukan usaha yang dapat dilakukan dengan berbagai ikhtiar dan alternatif (skenario kedaruratan). Keempat, perlu pemilihan alternatif yang baik, dalam hal ini mencakup efektifitas dan efisiensi (alokasi tugas dan sumber daya). Kelima, alternatif yang sudah dipilih hendaknya dirinci untuk dapat menjadi petunjuk dan pedoman dalam pengambilan keputusan maupun kebijaksanaan (sinkronisasi dan harmonisasi).41

Ketika Allah SWT memberikan kita semua kehidupan, kemudian Allah memberikan kepada kita makna kebaikan, kali ini, Allah memberikan petunjuk

41


(46)

54

jalan menuju hidup yang bahagia tersebut. Diantara anugerah terbesar Allah adalah kesempatan untuk hidup, tapi kita juga diberikan resep untuk beramal salih, berarti dia bahagia dalam hidupnya. Orang yang beriman dan beramal sholeh itu bahagia dalam hidupnya. Kehidupan yang baik bagi orang yang beramal sholeh, pada dasarnya adalah kehidupan yang produktif dan indah. Hidupnya itu produktif. Dan untuk menunjukkan iman kita benar, maka kita harus produktif.

Sementara orang yang melaksanakan kewajiban kepada Allah dan masyarakat, melalui sikap kita yang peduli dan menjaga lingkungan, serta berusaha agar tangguh dalam menghadapi bencana, merupakan kesholihan sosial. Kesholihan sosial yang dimaksud disini yaitu lebih kepada sikap kesholihan sosial perempuan. Karena setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan bagiannya dalam menikmati fasilitas duniawi.

Seperti firman Allah dalam al-qur an surat An-Nahl ayat 97 sebagai berikut:

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan

Dikatakan bahwa pada dasarnya, Al-qur an/ islam menyebutkan bahwa kedudukan dan peran wanita adalah setara. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja baik didalam atau diluar rumah, dengan catatan pekerjaan itu dilakukan dalam suasana yang tetap menjaga kehormatannya. Al-qur an juga memberikan petunjuk bagaimana sewajarnya seorang perempuan muslimah menjalani hidupnya sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah SWT.


(47)

55

Salah satu contoh pengabdian tersebut yaitu melalui sikap kesalihan sosial. Yaitu menjadi perempuan yang tangguh, yang mampu menjaga lingkungan, yang mampu bersiapsiaga sebelum terjadinya bencana, dan mampu menjadi contoh atau suri tauladan bagi anak-anaknya dan bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-qur an surat an-nahl ayat 97 yang merupakan janji Allah bagi orang yang mengerjakan amal shalih, yaitu amal yang mengikuti kitab Allah SWT (Al-qur an) dan Sunnah Nabi-Nya, Muhammad, baik laki-laki maupun perempuan yang hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Allah akan memberinya kehidupan yang baik di dunia dan akan memberikan balasan di akhirat kelak dengan balasan yang lebih baik dari pada amalnya.

Adapun kriteria dari kesalihan sosial perempuan yang tangguh bencana yaitu: 1. Adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan tentang bencana. 2. Adanya kelompok atau komunitas perempuan tangguh bencana

3. Adanya kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana 4. Masyarakat mampu menangani atau menanggulangi bencana

5. Adanya peraturan yang mampu menggerakkan kelompok perempuan tersebut 6. Adanya sikap keingintahuan masyarakat akan bencana.

7. Adanya sikap kemandirian masyarakat dalam menghadapi bencana.

Ketika seorang wanita mampu dan mempunyai kriteria kesholihan sosial diatas, maka perempuan bukanlah menjadi hal yang remeh dan diremehkan lagi. bahkan perempuan bisa menjadi obatnya bagi kaum-kaum muslim yang lain, terutama perempuan yang sholih, yang salah satunya mampu dan mau melakukan kesholihan sosial. Ketika dunia ini dihuni oleh kebanyakan wanita sholihah, maka


(48)

56

dunia akan terbebas dari bencana sebab kebanyakan timbulnya bencana adalah berasal dari rusaknya wanita. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang mengatakan bahwa wanita adalah tiang negara. Bila wanitanya sholihah (baik), maka akan baik pulalah negaranya. Namun sebaliknya, jika wanitanya rusak maka akan rusak pula negaranya.

Banyak dari kita yang meremehkan peranan wanita. Terlebih dalam hal penanganan pada saat dan pasca bencana. seringkali wanita hanya dilibatkan di dapur saja ketika terjadinya bencana. Padahal wanita juga mampu jika dilibatkan dalam hal pemutusan kebijakan terkait dengan kebencanaan. Seringkali hal semacam ini diabaikan. Padahal kebutuhan laki-laki dan wanita sudah jelas berbeda. Dan yang mengerti kebutuhan wanita pasca bencana hanyalah wanita itu sendiri.

Begitu juga dengan kaum wanita itu sendiri. Kaum wanita adalah pilarnya suatu negara, jadi jangan sampai kita malah menghancurkan negara. Sehingga solusi yang tepat yaitu dengan melaksanakan tanggung jawab sosial melalui sikap kesholihan sosial.

F. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Dalam penelitian skripsi ini, perlu adanya penelitian terdahulu yang relevan yang mampu membantu mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian, karena penelitian terdahulu yang relevan dapat menjadi acuan bagi peneliti sebagai refrensi penelitian. Tetapi, peneliti tidak menjadikan peneletian terdahulu ini sebagai patokan dalam penelitian. Justru penelitian yang dilakukan oleh peneliti


(49)

57

dengan judul Membangun Perempuan Tangguh Bencana (Pengorganisasian Masyarakat dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana Melalui Pendekatan Perempuan sebagai Strategi untuk Tangguh Bencana di Dusun Jeruk Gulung Desa Surenlor Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek) dirasa lebih kompleks karena dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya meneliti tetapi peneliti juga melibatkan masyarakat secara langsung untuk melakukan perubahan sosial yang tentunya sangat berbeda dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya.

Berikut penelitian-penelitian terdahulu yang relevan:

1. Jurnal : Model Starlet, suatu Usulan untuk Mitigasi Bencana Longsor dengan Pendekatan Genetika Wilayah (Studi Kasus: Longsoran Citatah, Padalarang, Jawa) oleh Z. Zakaria.42

2. Skripsi : Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor oleh Ahmad Danil Effendi.43

3. Skripsi : Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang oleh Agus Sriyono.44

4. Jurnal : Kajian Mitigasi Bencana Tanah Longsor Di Kabupaten Banjarnegara oleh Amni Zarkasyi Rahman.45

42Z. Zakaria, Model Starlet, suatu Usulan untuk Mitigasi Bencana Longsor dengan Pendekatan

Cgenetika Wilayah (Studi Kasus: Longsoran Citatah, Padalarang, Jawa) . Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010:93-112. Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjajaran Jln. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinagor 45363

43 Ahmad Danil Effendi, Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-faktor Utama

Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor . Skripsi. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 2008

44Agus Sriyono, Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan Banyubiru Kabupaten

Semarang . Skripsi. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang 2012


(50)

58

Dalam ke-empat penelitian diatas, terdapat kemiripan dengan proses pendampingan yang dilakukan oleh peneliti. Hanya saja, di penelitian sebelumnya, masyarakat tidak ikut terlibat dalam setiap kegiatan, jadi tidak terdapat perubahan pada masyarakat. Sedangkan dalam proses pendampingan kali ini, masyarakat ikut secara langsung dalam setiap kegiatan. Bahkan cenderung masyarakat sendiri yang merumuskan program yang sesuai dengan kebutuhan mereka saat ini. Dalam penelitian sebelumnya, hanya dijelaskan bagaimana cara penanggulangannya dengan menggunakan teknologi saja, sedangkan dalam proses pendampingan kali ini, berusaha untuk memberdayakan perempuan dan berusaha membangun kesadaran mereka akan pentingnya bahaya dari bencana.

Tabel 2.1

Perbandingan Penelitian yang Terdahulu dengan yang Sekarang Penelitian yang Terdahulu Penelitian yang Sekarang Jurnal: Model Starlet suatu usulan

untuk mitigasi bencana longsor dengan pendekatan genetika wilayah (Studi kasus: longsoran citatah, Pedalarang, Jawa). Fokus Masalahnya: hanya pada penanganan lereng rawan longsor

Lebih kepada pengorganisasian masyarakat dalam menghidupkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya sadar bencana

Skripsi: Identifikasi kejadian longsor dan penentuan faktor-faktor utama penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Fokus Masalahnya: Identifikasi daerah kejadian tanah longsor agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor

Lebih kepada mencari masalah yang terjadi beserta faktor-faktor penyebabnya yang kemudian diselesaikan bersama-sama dengan masyarakat atau komunitas

Skripsi : Identifikasi kawasan rawan bencana longsor Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Fokus Masalahnya: Sebaran potensi rawan bencana longsor di Kecamatan Bnyubiru

Penelitian ini bukan hanya meneliti sebagai kepentingan akademis saja, tetapi penelitian ini memang berdasarkan pada keinginan masyarakat yang didalamnya terdapat aksi nyata sebagai contoh dalam


(51)

59

menuju perubahan sosial yang berkeadilan

Jurnal : Kajian mitigasi bencana tanah longsor di kabupaten Banjarnegara. Fokus Masalahnya: Peningkatan mitigasi bencana tanah longsor

Sama sama peningkatan mitigasi bencana tanah longsor juga disertai kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tanah longsor


(1)

200

❲❳❨ ❲❩❬❩ ❭❩ ❪ ❫❳❨❳ ❴❩ ❲❵❛❩ ❛❩ ❜❩ ❝❳ ❞❩ ❴❡ ❴❩ ❢ ❴❳❣ ❵❩ ❤❩❢ ✐❳❝ ❳ ❢❡ ❬❩ ❢ ❳ ❴❥ ❢❥❝ ❵ ❦❳ ❢❣❩ ❢

❤❵❢❦❩ ❴❩ ❢❭❩ ❢❣❲ ❵❛❩❛❩ ❜❩❝ ❳❨ ❡ ❛❩ ❴❞❵❢❣ ❴ ❡❢❣❩ ❢❪❧❢♠❩❝ ❩ ❢❦❩ ❢❨❵❛❵❴ ❥❲❳ ❢♠❩ ❢❩❲❵❛❩❛❩ ❜❩

❤❵❝❲❡ ❞❩ ❴ ❵❲❩ ❤❩ ❴ ❤❵♥ ❵❤❩ ❛❵❢❵♦❛❳❦❩ ❢❣ ❴❩ ❢❲❳ ❞❡❝❩❦ ❩❤❵❢❦❩ ❴❩ ❢✐ ❨❳♣ ❳ ❢❤❵♥❦❩ ❢✐❳❝❡❞❵❬❩ ❢

❦ ❩ ❞❩❝ ❡✐ ❩ ❭❩ ❝❳ ❢❣ ❡❨❩ ❢❣ ❵❨❵❛❵❴ ❥❲❳ ❢♠❩ ❢❩❪ q❵❦ ❩ ❴❬❩ ❢ ❭❩ ❵ ❤❡♦✐ ❳❝❩ ❢❩ ❛❩ ❢❣ ❞❥ ❲❩ ❞❜❡❣❩

❦ ❩✐❩ ❤ ❝❳❝❵♠❡ ❩❦ ❩ ❢ ❭❩ ❴❳ ❜❩❦ ❵❩ ❢ ❲❳ ❢♠❩ ❢❩❪ ❧❦ ❩ ❢ ❭❩ ✐❳❨❡❲❩ ❬❩ ❢❲ ❡❦ ❩ ❭❩ ♦❣ ❩ ❭❩ ❬ ❵❦ ❡✐ ♦

❦ ❩ ❢✐❳❨ ❵❞❩ ❴ ❡❴❥❝ ❡ ❢❵❤❩ ❛♠❳ ❢❦ ❳❨ ❡❢❣❝❳ ❢❣ ❳ ❴❛✐ ❞❥ ❵❤❩ ❛❵❛ ❡❝❲❳❨❦❩❭❩❩ ❞❩❝ ❪r❩ ❢❛❳♠❩❨❩

❤❵❦ ❩ ❴❛❩❦ ❩❨❲ ❵❛❩❝❳ ❢❣❩ ❴ ❵❲❩ ❤❴❩ ❢❴❳❨ ❡ ❛❩ ❴❩ ❢❞❵❢❣ ❴❡ ❢❣❩ ❢❪

❫❩ ❛ ❭❩ ❨❩ ❴❩ ❤❭❩ ❢❣❦ ❡ ❞❡❢ ❭❩❝ ❩ ❛❵❬❩✐ ❩ ❤❵❛❦ ❩ ❢❤❵❦❩ ❴✐❳❨ ❦ ❡ ❞❵❤❳❨ ❬❩❦❩✐❞❵❢❣ ❴❡ ❢❣❩ ❢

❛❳ ❴❵❤❩❨❢ ❭❩ ♦❝❳ ❢ ❜❩❦ ❵❝❩ ❛ ❭❩❨ ❩ ❴❩ ❤❭❩ ❢❣❲❳❨ ❡❲❩ ❬❦ ❩ ❢❲❳ ❞❩ ❜❩❨❪s ❩ ❞❩ ❡✐❡❢❛❳ ❞❩❝❩❦ ❩ ❞❩❝

✐ ❨ ❥ ❛❳ ❛✐❳ ❨ ❜❩ ❞❩ ❢❩ ❢✐ ❩ ❢❜❩ ❢❣❝❳ ❨ ❡❲❩ ❬✐❩❨ ❩❦ ❵❣❝ ❩ ❝ ❩ ❛ ❭❩❨❩ ❴❩ ❤❲❳ ❣ ❵❤❡ ❲❳❨❩ ❤❦❵❨❩ ❛❩ ❴❩ ❢

❥ ❞❳ ❬✐ ❳ ❢❦ ❩❝✐❵❢❣ ❪ r❩❨ ❵ ❝❡❞❩ ❵❦ ❩ ❤❩ ❢❣ ❴❳ ❴ ❥❝❡❢ ❵❤❩ ❛ ❛❩ ❤❡ ❝❳ ❢ ❡❜❡ ❴❥❝ ❡ ❢❵❤❩ ❛ ❭❩ ❢❣

❞❩ ❵❢ ❡❢ ❤❡❴ ❝ ❳❝ ❲❩ ❢❣ ❡ ❢ ❴❳✐❳❨♠❩❭❩❩ ❢ ❴❳✐ ❩❦ ❩ ❝❩ ❛ ❭❩ ❨❩ ❴❩ ❤❪ q❵❦ ❩ ❴ ❝ ❡❦❩ ❬ ❝ ❳❝❩ ❢❣ ♦

❴❩❨❳ ❢❩ ❛❳ ❤❵❩✐ ❴❥❝ ❡ ❢❵❤❩ ❛ ✐ ❩ ❛ ❤❵ ❲❳❨ ❲❳❦ ❩ t ❲❳❦ ❩ ❤❩ ❢❣❣ ❩✐❩ ❢ ❢ ❭❩❪ r❩❨ ❵ ❲❳ ❲❳❨❩✐❩

❴ ❥❝❡❢ ❵❤❩ ❛ ❭❩ ❢❣ ❦ ❵❦ ❩❝✐❵❢❣ ❵ ❥ ❞❳ ❬ ✐ ❳ ❢❦ ❩❝ ✐ ❵❢❣ ♦ ❲❩ ❢❭❩❴ ❛❳ ❴❩ ❞❵ ✐❳❨ ❡ ❲❩ ❬❩ ❢ ❭❩ ❢❣

❤❳❨ ❜❩❦❵❪ r❩❨ ❵ ❩✉❩ ❞❝ ❡ ❞❩ ❝❳❨ ❳ ❴❩ ❭❩ ❢❣ ❝❳ ❢ ❥❞❩ ❴ ♦ ❝ ❳ ❢❜❩❦❵ ❝❳❨❳ ❴❩ ❭❩ ❢❣ ✐ ❳❦❡❞❵❦ ❩ ❢

❝ ❩ ❡❲❳ ❞❩ ❜❩❨❪

✈✇①②③④ ⑤②⑥⑦⑧ ⑨ ⑩

r❩ ❞❩❝ ✐❳ ❢❣ ❡❩ ❤❩ ❢ ❴❩✐ ❩ ❛ ❵❤❩ ❛ ❝ ❩ ❛ ❭❩❨❩ ❴❩ ❤♦ ❝❩ ❛ ❵❬ ❦❵✐❳❨❞❡❴❩ ❢ ❡ ❢❤❡ ❴

❝ ❳❝ ♥❩ ❛ ❵❞❵❤❩ ❛ ❵ ❦❩ ❞❩❝ ✐❳ ❢❣ ❡❩ ❤❩ ❢ ❴❳❝❩❝ ✐ ❡❩ ❢ ❴ ❥❝❡❢ ❵❤❩ ❛ ❦ ❩ ❞❩❝ ❝ ❳ ❢❣ ❴❩ ❜❵ ❦ ❩ ❢

❝ ❳❝❩ ❬❩❝ ❵ ❩ ❢♠❩❝ ❩ ❢♦ ❴❩✐❩ ❛ ❵❤❩ ❛ ♦ ❴❳❨ ❳ ❢❤❩ ❢❩ ❢ ❦ ❩ ❢ ❨ ❵❛ ❵❴❥ ❛❳♠❩❨❩ ✐ ❩❨ ❤❵❛ ❵✐❩ ❤❵♥ ❭❩ ❢❣

❦❵❦ ❡ ❴❡ ❢❣ ❥ ❞❳ ❬ ✐❳ ❢❣❳ ❤❩ ❬ ❡❩ ❢ ❞❥❴❩ ❞ ❦ ❩ ❢ ❵❞❝❵❩ ❬❪ r❩ ❞❩❝ ❬❩ ❞ ✐ ❳ ❢❵❢❣ ❴❩ ❤❩ ❢ ❴❩✐ ❩ ❛ ❵❤❩ ❛


(2)

201

❶❷❸❹❺ ❷ ❻❹ ❷❼❷ ❽❾ ❸❿❷❸ ❷ ➀❾ ❻ ❷ ❽➁ ➂ ❷❸ ➃❾ ❸➄ ❷➀❹ ➅ ❷❺ ➆ ➂❷❸ ❽ ❷➇ ❶ ❷ ➀❾ ❻ ❷ ❺❾ ➈❷➇ ➃❷❸➀❹➉❹

❺❾➉➇❷➀❷➅❽❾ ❸❿❷❸ ❷➊❺❾❺ ❷➅❹➃ ❷❻➋❷➉ ❷➂ ❷❺➃❷❻❹➇➅ ❾➉ ➈➁❽❾ ➈❷➄ ❷➉➀❷❸❽❾ ➈❷➄ ❷➉➊

➌❾➉ ❷❸ ❼❾ ❸➀❾➉ ➀ ❷➈❷➃ ➃❹❺❹ ❼ ❷❻❹ ❻❾ ❽ ❷❼ ❷❹ ➁➅❷➋❷ ➅❾❸❼➁ ➉ ❷❸ ❼❷❸ ➉ ❹❻❹ ➂ ➆ ❽❾ ❸❿ ❷❸❷

➃❷❻❹➇ ➂➁➉ ❷❸ ❼➍ ➂❷➉ ❾ ❸❷ ➃ ❷❻❹➇ ❷➀ ❷❸➋❷ ➅❾➉ ❺❹➃➅❷❸❼ ❷❸ ❻❺➉➁➂❺➁ ➉ ❻ ➆ ❻❹ ❷➈ ➀ ❷➈❷➃

➃❷❻➋❷➉ ❷➂ ❷❺➊ ➌❷➀ ❷➇ ❷➈➍ ➅ ❾➉ ❷❸ ❼❾ ❸➀❾➉ ➀ ❷➈❷➃ ➇❷➈ ❹ ❸❹ ➃❾➃ ❹ ➈❹ ➂❹ ➀ ❷➃➅❷➂ ➋❷❸❼ ➎❹❺ ❷➈➍

➃ ❾ ❸❼❹ ❸ ❼❷❺ ➂➆➉ ❽❷❸➀ ❷➉❹❽❾➉ ❽ ❷❼❷❹❽❾ ❸❺➁➂❽❾ ❸❿❷❸ ❷➄➁❻❺➉➁❽ ❷❸➋❷➂➂ ❷➈❷❸ ❼❷❸❷❸❷ ➂➏❷❸ ❷➂

➀ ❷❸ ➅ ❾➉❾➃ ➅➁❷❸➊ ➐❾ ➈❷❹ ❸ ❹❺➁ ➂❾❺❾➉ ➈❹ ❽❷❺ ❷❸ ❼❾ ❸ ➀❾➉ ➋❷❸❼ ➃❹ ❸❹➃ ➀ ❷➈❷➃ ➁ ➅ ❷➋❷

➅ ❾ ❸❼➁➉ ❷❸ ❼❷❸ ➉❹ ❻❹ ➂➆ ❽❾ ❸ ❿❷❸❷ ➃ ❾ ❸ ❼❷➂❹ ❽ ❷❺ ➂ ❷❸ ➂➁ ➉ ❷❸ ❼❸➋❷ ➅ ❾ ❸❷❸ ❼❷❸ ❷❸ ❺❾ ➉➇ ❷➀ ❷➅

➃❷❻❷➈❷➇➋❷❸❼❺❹➃ ❽➁ ➈ ➀❹➂ ❷➈❷❸❼ ❷❸➅ ❾➉❾➃ ➅➁❷❸❻ ❷❷❺❺❾➉➄ ❷➀❹ ❽❾ ❸ ❿❷❸ ❷➊

➑❷➈❷➃ ➃❷❻❷ ➅➉❷❽❾ ❸ ❿❷❸ ❷➍ ➃ ❹ ❻ ❷➈❸➋❷➍ ❻ ➆❻❹ ❷➈❹ ❻ ❷❻❹ ➈❷❸ ❼❻➁ ❸ ❼ ➋❷❸ ❼ ➀❹ ➈❷➂➁➂ ❷❸

❿❾ ❸ ➀❾➉➁❸ ❼➇❷❸➋❷➃❾ ➈❹ ❽ ❷❺ ➂❷❸ ➈❷➂❹➏➈❷➂❹➊ ➌❾➉ ❾➃➅ ➁ ❷❸➃❾ ❸➄ ❷➀❹ ➆➉ ❷❸ ❼➂❾ ❻❾ ➂❹ ❷❸ ➀❷➈❷➃

➁ ➉➁ ❺❷❸➅❾ ❸❾➉❹➃❷❷❸❹ ❸➒➆➉➃❷❻❹➍❻❾➇ ❹ ❸❼ ❼❷❹ ❸➒➆➉➃❷❻❹➋❷❸ ❼➀❹➅❾ ➉ ➆➈❾➇❺❾➉ ❽ ❷❺ ❷❻➊➌❾➉❹ ❻❺❹ ❶❷

❹ ❸❹➄➁❼❷❺❾ ➉➄ ❷➀❹➀❷➈❷➃➅ ❾ ❸ ❷❸❼ ❼➁ ➈ ❷❸❼ ❷❸❽❾ ❸ ❿❷❸ ❷➊➓❾➉ ❽ ❷❺ ❷❻❸➋❷➅ ❷➉ ❺❹ ❻❹➅❷❻❹➅ ❾➉❾➃ ➅➁❷❸

➀ ❷➈❷➃ ➅ ❾ ❸ ❼❷➃ ❽❹ ➈❷❸ ➂❾➅ ➁❺➁❻ ❷❸ ❻ ❷❷❺ ➅ ❾ ❸ ❷❸❼ ❼➁➈❷❸❼ ❷❸ ❽❾ ❸ ❿❷❸❷ ➃❾ ❸ ❼❷➂❹ ❽❷❺ ➂ ❷❸

➒❷❻❹ ➈❹❺ ❷❻ ➂❾ ❽➁❺➁ ➇ ❷❸ ➅❾➉ ❾➃➅ ➁ ❷❸ ➃❾ ❸➄ ❷➀❹ ➂➁➉ ❷❸ ❼ ➃ ❾➃ ❷➀ ❷❹➊ ➐❾ ➈❷❹ ❸ ❹❺➁ ➀❷➈❷➃

➅ ❾ ❸❷❸ ❼❼➁ ➈❷❸ ❼❷❸ ❽❾ ❸❿❷❸ ❷➍ ➈❷➂❹➏➈❷➂❹❿❾ ❸ ➀❾➉ ➁ ❸ ❼➃❾ ❸➒❷❻❹ ➈❹❺ ❷❻❹ ➇ ❷➈➏➇ ❷➈ ❽❾➉ ❻❹➒❷❺➁➃ ➁➃

❻❾➅❾➉ ❺❹ ➈➆❼❹ ❻❺❹ ➂➍ ❽❾➉❷❻➍ ➀❷❸ ➃ ❷➂ ❷❸❷❸➊ ➌❷➀ ❷➇ ❷➈➍ ➅ ❾➉❾➃ ➅➁❷❸ ❻❾ ❿❷➉ ❷ ❽❹ ➆ ➈➆❼❹ ❻ ➋❷❸ ❼

❻❾➇ ❷➉ ➁ ❻ ❸➋❷➄➁❼❷➀❹➅ ❾➉➇ ❷❺❹➂❷❸➊

➌❾➃ ❾➉❹ ❸❺ ❷➇ ❻❾➇❷➉➁❻ ❸➋❷ ➈❾ ❽❹➇ ❻❾➉ ❹➁ ❻ ➃❾➃❽❷❸ ❼➁❸ ❻❹ ❻❺❾➃ ➅❾ ❸ ❷❸❼ ❼➁➈❷❸❼ ❷❸

❽❾ ❸❿❷❸ ❷❸➋❷➀❾ ❸❼ ❷❸➃ ❾➃❷❻➁➂➂ ❷❸➅ ❾➉ ❻➅❾ ➂❺❹➒ ❼❾ ❸➀❾➉ ➀❹➀❷➈❷➃❸➋❷➊ ➔❾ ❸ ❼ ❷➅ ❷➇❷➈❹ ❸❹

➅ ❾ ❸❺❹ ❸ ❼➍➂ ❷➉❾ ❸ ❷❻❾ ➈❷➃ ❷❹ ❸❹❻❹ ❻❺❾➃➅❾ ❸ ❷❸❼ ❼➁ ➈❷❸ ❼❷❸❽❾ ❸❿❷❸ ❷➂❹❺ ❷❺❹ ➀❷➂➃ ❾ ❸❼❷ ❸❷➈❹ ❻❹ ❻

➅ ❾➉ ❷❸➏➅❾➉❷❸ ❼❾ ❸➀❾➉ ➋❷❸❼ ❺❹➃ ➅ ❷❸ ❼ ➀❹ ➃❷❻➋❷➉ ❷➂ ❷❺ ➋❷❸ ❼ ❺❾➉ ❸➋❷❺ ❷ ❻ ❷❸ ❼❷❺


(3)

202

→➣↔↕➙➛ ➜➙ ➝➞ ➝➟ ➟➠➡➞ ➝ ➟➞ ➝ ➢➙ ➝➤➞ ➝➞ ➥➞ ➝➟ ➜ ➙ ➦➞ ➟➙ ➝➧➙➨ ➞ ➦➞ ➝ ➡➙➢➣➩

➛ ➙ ➝➟➠ ➝↕ ➠ ➝ ➟➦➞ ➝ ➦➞➨➙ ➝➞ ➞ ➦➞ ➝ ➛➙➛ ➞ ↔➠ ➦➦➞ ➝ ➦➙➢➣➫➞ ➦➞ ➝➜➙ ➝➞ ➝ ➟➟ ➠➡➞ ➝ ➟➞ ➝ ➥➞ ➝ ➟➜ ➙ ➦➞

➟➙ ➝➧➙➨➭ ➯ ➠➟➞ ➧➞➡➞➛ ➛➙➨ ➞ ➝➤➞ ➝ ➟ ➜➨ ➲ ➟➨➞➛ ➜ ➙ ➝➞ ➝ ➟ ➟➠➡➞ ➝ ➟➞ ➝ ➢➙ ➝➤➞ ➝➞ ➳ ➛➙➨ ➙ ➦➞ ➞ ➦➞ ➝

➡➙➢➣➩➢ ➞ ➣➦➭ ➵➙➨↔➜ ➙ ➦↕ ➣➸➣↕ ➠➞ ➦➞ ➝➧➣➞➺➞➡ ➣➧➙ ➝➟➞ ➝➦➙➜➙ ➦➞ ➞ ➝➧➞➡➞➛ ➛➙➛ ➢➙ ➝↕ ➠➦↔ ➣↔↕➙➛

➧➞↕➞➢➞ ↔➙ ➧➞ ➝ ➦➙➢➣➫➞ ➦➞ ➝ ➥➞ ➝ ➟ ➫➙➡➞ ↔ ➳ ➜➨ ➲ ➟➨➞➛ ➜ ➙ ➝➞ ➝➟ ➟➠➡➞ ➝ ➟➞ ➝ ➥➞ ➝ ➟ ➨ ➙ ↔➜➲➝↔ ➣➻➙

➟➙ ➝➧➙➨➭➵➙ ➨➙➛➜➠➞ ➝➞ ➦➞ ➝➛➙➛ ➜➙➨ ➲➡➙➩➞ ➦↔➙ ↔ ➳➦➙ ↔➙➛ ➜➞↕➞ ➝ ➳➦➙↕➙➨➡ ➣➢➞↕ ➞ ➝➳➧➞ ➝➛➞ ➝➸➞➞↕

➥➞ ➝ ➟↔➞➛ ➞➧➙ ➝ ➟➞ ➝➡➞ ➦ ➣➼➡➞ ➦ ➣➧➞➡➞➛➜ ➙ ➝➞ ➝ ➟ ➟➠➡➞ ➝ ➟➞ ➝➢ ➙ ➝➤➞ ➝➞➦➞➜➞ ➝➧➞ ➝➧➣➛ ➞ ➝➞➜➠➝

➢ ➙➨➞ ➧➞➭ ➽➞ ➝ ➟➜ ➞➡ ➣➝ ➟➜ ➙ ➝↕ ➣➝ ➟➳ ↔ ➣↔↕➙➛ ➜➙ ➝➞ ➝➟ ➟➠➡➞ ➝ ➟➞ ➝➢ ➙ ➝➤ ➞ ➝➞ ➥➞ ➝ ➟➢ ➙➨➜ ➙➨ ↔➜➙ ➦↕ ➣➸

➟➙ ➝➧➙➨➞ ➦➞ ➝➙➸➙ ➦↕ ➣➸➞➜➞➢➣➡➞↔ ➠➛ ➢➙➨ ➧➞➥➞➛ ➞ ➝➠ ↔ ➣➞➥➞ ➝ ➟➛ ➙ ➝➫➞➡➞ ➝ ➦➞ ➝↔ ➣↔↕➙➛ ➣↕ ➠➫➠ ➟➞

↕➙➨➢ ➞ ➝ ➟➠➝➭➾➡ ➙➩➦➞➨➙ ➝➞➣↕ ➠ ➳➜ ➙ ➝➧ ➣➧➣➦➞ ➝➥➞ ➝ ➟↕➙➨➠↔➼ ➛➙ ➝➙➨ ➠↔➛ ➙ ➝ ➟➙ ➝➞ ➣➜ ➙➨ ↔➜➙ ➦↕ ➣➸➣↕ ➠

➩ ➞➨ ➠ ↔ ➧➣➡➞ ➦ ➠➦➞ ➝ ↔➙➤➞➨➞ ↔➞ ➧➞➨➭ ➚➞ ➝➜ ➞ ➦➙ ↔➞ ➧➞➨ ➞ ➝ ➠➝↕ ➠➦ ➢ ➙➨ ➠➢➞➩ ➧➞➨ ➣ ➛➞ ➝ ➠↔ ➣➞ ➼

➛ ➞ ➝➠ ↔➣➞ ➝➥➞ ➞ ➦➞ ➝↔ ➠➡ ➣↕ ➧➣➜➞ ↔↕ ➣➦➞ ➝➢➞➩➺➞↔ ➣↔↕➙➛ ➥➞ ➝➟ ➢➞ ➣➦➞ ➦➞ ➝➧ ➣↕➙➨➞➜➦➞ ➝ ↔➙➤➞➨➞

➢ ➞ ➣➦➜➠➡➞➭➯ ➞ ➧➣➳➦➙ ↔➞ ➧➞➨➞ ➝➛ ➞ ↔➥➞➨➞ ➦➞↕➞ ➦➞ ➝➜ ➙ ➝↕ ➣➝ ➟ ➝➥➞➜➙ ➝ ➟➠➨➞ ➝ ➟➞ ➝➨ ➣↔ ➣➦➲➢ ➙ ➝➤➞ ➝➞

➜ ➙➨➡ ➠ ➧➣↕➞➛ ➢➞➩ ➡➞ ➟➣➭ ↔➙ ➩ ➣➝ ➟➟➞ ➜➙➡➞↕ ➣➩ ➞ ➝➼➜ ➙➡➞↕ ➣➩➞ ➝ ➥➞ ➝ ➟ ↔➣➸➞↕➝➥➞ ➛➙➛ ➢ ➞ ➝➟➠ ➝

➦➙ ↔➞ ➧➞➨ ➝↔➞ ➝ ➟➞↕➧➣➜ ➙➨➡ ➠➦➞ ➝➭➚ ➣➧➞ ➦➩ ➞ ➝➥➞➜➙➡ ➞↕ ➣➩➞ ➝ ➝➥➞↔➞➫➞ ➳↕➙↕➞➜ ➣➣➛➜ ➡➙➛➞ ➝↕➞ ↔ ➣➝➥➞


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku dan Jurnal:

Afandi, Agus dkk. Modul Participatory Action Research (PAR), Surabaya : LPPM

UIN Sunan Ampel, 2016

Candraningrum, Dewi. Ekofeminisme Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi

dan Budaya. Yogyakarta: JALASUTRA (Anggota IKAPI), 2013

Cavestro, Luigi. P.R.A.- Participatory Rural Appraisal Concepts, Methodologies,

and Techniques.

Universita’ Degli Studi Di Padova Facolta’ Di Agraria.

Dipartimento Territorio E Sistemi Agro-Forestali. Master In Cooperazione

Allo Sviluppo Nelle Aree Rurali. 10 October 2003

Data Statistik Daerah Kecamatan Bendungan Tahun 2014

Effendi, Ahmad Danil. Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-faktor

Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor.

Skripsi. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor. 2008

Habibullah. Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas: Kampung

Siaga Bencana dan Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana.

Dalam Jurnal

Informasi Vol 18. No 02. 2013, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kesejahteraan Sosial RI

Haryono, Tri Joko Sri dkk.

Model Strategi Mitigasi Berbasis Kepentingan

Perempuan Pada Komunitas Survivor di Wilayah Rawan Banjir. Dalam

Artikel. Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga

Indianto, Agus & Kuswanjono, Arqom. Respon Masyarakat Lokal Atas Bencana,

Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012

Kumalawati, Rosalina.

Penginderaan Jauh Pemetaan Daerah Rawan Bencana

Lahar Gunung Api Merapi. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015

Lassa, Jonatan dkk.

Kiat Tepat Mengurangi Risiko Bencana Pengelolaan Risiko

Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK), Jakarta: PT Grasindo 2009

May, Nicky & The Networkers.

Tiada Jalan Pintas Panduan Untuk Pendamping

Kelompok Perempuan. Jakarta : LKPSM NU DIY, 1993

Murtakhamah, Titin.

Pentingnya Pengarusutamaan Gender dalam Program

Pengurangan Risiko Bencana.

Dalam Jurnal WELFARE, Jurnal Ilmu

Kesejahteraan Sosial. Vol 2. No 1. Juni 2013

Panduan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas.

Making Aceh Safer

Through Disaster Risk Reduction In Development (DRR-A). United Nations

Development Programme and Government of Indonesia (UNDP). 2012


(5)

Pain, Rachel dkk. Participatory Action Research Toolkit: An Introduction to Using

PAR as an Approach to Learning, Research and Action. Durham University

Paripurno, Eko Teguh. Panduan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas

(PRBBK), Buku 1: Pentingnya PRBBK, Masyarakat Penanggulangan

Bencana Indonesia. 2011

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012

Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana

Prasojo, Siswanto Budi.

Pembelajaran Pemulihan Ekonomi Dengan Model

Pendampingan Di Wilayah Pasca Bencana.

Jakarta: Direktorat Pemulihan

dan Peningkatan Sosial Ekonomi Deputi Bidang Rehabilitasi dan

Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2015

Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2006-2009

Rahman, Amni Zarkasyi. Kajian Mitigasi Bencana Tanah Longsor Di Kabupaten

Banjarnegara. Dalam Jurnal Manajemen dan Kebijakan Publik ISSN

2460-9714

Sayuti. Profil Desa Surenlor. Trenggalek. 2015

Sriyono, Agus.

Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan

Banyubiru Kabupaten Semarang. Skripsi. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu

Sosial Universitas Negeri Semarang. 2012

Sutrisno, Lukman.

Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan.

Yogyakarta:

Penerbit KANSIUS (Anggota IKAPI), 1997

UU No. 39 Tahun 1999

Yustiningrum, Emilia.

Bencana Alam, Kerentanan dan Kebijakan di Indonesia

Studi Kasus Gempa Padang dan Tsunami Mentawai.

Yogyakarta:

CALPULIS, 2016

Zakaria, Z. Model Starlet, Suatu Usulan Untuk Mitigasi Bencana Longsor Dengan

Pendekatan Genetika Wilayah (Studi Kasus: Longsoran Citatah,

Padalarang, Jawa).

Dalam Jurnal Geologi Indonesia. Vol 5. No 2. Juni

2010:93-112. Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjajaran.

Referensi Internet:

https://www.linkedin.com/pulse/pemanfaatan-modal-sosial-sebagai-strategi-masyarakat-dalam-verayanti

http://aceh.tribunnews.com/2011/12/23/siaga-bencana-dalam-islam

https://cakrawalaruhum.wordpress.com/2013/11/20/perspektif-gender-dalam-penanggulangan-bencana/


(6)

Referensi Wawancara:

Wawancara dengan Rianto (45 tahun) di Rumah Bapak Rianto pada tanggal 16

November 2016. Pukul 10.05

Wawancara dengan Sujiono (46 tahun) di Rumah Bapak Sujiono pada tanggal 10

November 2016. Pukul 16.30

Wawancara dengan Dakun (63 tahun) di Rumah Bapak Dakun pada tanggal 15

November 2016 pukul 11.40

Wawancara dengan Misrini (45 tahun ) di Rumah Ibu Misrini pada tanggal 15

Desember 2016 pukul 18.30

Wawancara dengan Damis (47 tahun) di Rumah Bapak Damis pada tanggal 15

Januari 2017 pukul 14.00

Wawancara dengan Dedi (32 tahun) di kantor Balai Desa Surenlor pada tanggal 12

Januari 2017 pukul 07.00

Wawancara dengan Supini (46) di Rumah Ibu Supini pada tanggal 11 November

2016

Wawancara dengan Masykur (73) di TPQ masjid Ulul Albab pada tanggal 13

November 2016